Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT ILMU

ETIKA DAN RASIONALISME

DiajukanUntukMemenuhi TugasMata Kuliah Filsafat Ilmu


DosenPengampu Prof. Dr. Jufri, M.Pd.

Disusunoleh:

Oleh:

Disusun oleh:

Andi Nirwana Sari

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu Etika
dan Rasionalisme” ini tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Jufri, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu atas pengetahuan baru yang penulis dapatkan melalui
makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi memberikan sumbangan pemikiran dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 1 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Ontologi................................................................................................... 1
B. Epsitemologi............................................................................................ 6
C. Aksiologi..................................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN
A. Filsafat Etika.......................................................................................... 10
B. Filsafat Rasionalisme............................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 8
B. Saran........................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai ideologi dalam filsafat ilmu yang dimaksud dalam buku referensi
tersebut adalah dieksplansi berbagai paham, aliran, pikiran, pandangan tentang hakikat
segala sesuatu atau mengkaji asal usul ilmu dalam perspektif filsafat. Hakikat Ilmu
pengetahuan dikategorikan ilmu apabila memilki tiga komponen/aspek, yaitu; (1) aspek
ontologi, (2) aspek epistimologi, dan (3) aspek aksiologi. Ketiga komponen tersebut
menjadi ciri khas karya ilmiah tersebut berbasis wacana kritis dalam pengembangannya
didasari riset pengembangan. Riset pengembangan tersebut, meliputi antara lain: (1)
analisis kebutuhan (daya tarik sampel tentang tema/judul, mengkaji tuntutan dan
tantangan kurikulum, kompotensi sampel, mendiskusikan tema tersebut hasil pilihannya,
media sebagai sarana dalam beriteraksi), (2) merangcang konsep bahan ajar filsafat ilmu
(mengidentifikasi, mengklasifikasi, mengklarifikasi, mengvalidasi, dan memperbaiki), (3)
memaparkan secara bergiliran hasil temuannya (presentasi dengan menggunakan media
power point, melakukan tanya-jawab, menanggapi, mengoreksi, menyarankan,
merumuskan kesimpulan sementara dengan mempertimbangkan berbagai pandangan
sampel selama 5 bulan, (4) menguji bahan ajar filsafat ilmu secara terbatas (mereview
dan mempertanggunjawabkan tema yang dipilih, melakukan tanya jawab, merangkum
berbagai pandangan sesuai tema yang dibahas), (5) menguji secara meluas untuk
memperoleh kevalidan, kepratisan, dan keefektivan.
Sehubungan hal tersebut, disajikan tiga landasan yang digunakan filsafat ilmu
untuk menjelaskan hakikat ilmu. Ketiga aspek tersebut meliputi: (1) ontologi membahas
tentang hakikat objek. Landasan ini menjadi sentral dalam filsafat metafisika, (2)
epistemologi disebut juga sebagai teori ilmu, membahas bagaimana pengetahuan itu
diperoleh. Hal ini mencakup bagaimana prosedur memperoleh pengetahuan, hal yang
harus diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan yang benar, hal (apa) itu kebenaran,
hal (apa) kriteria kebenaran, bagaimana cara dan teknik memperoleh pengetahuan, dan
sarana apa (hal) saja yang dibutuhkan untuk memperoleh kebenaran, (3) selanjutjnya,
aksiologi sebagai landasan filsafat yang membahas tentang nilai, yaitu untuk apa
pengatahuan itu digunakan. Ketiga landasan filsafat menjadi dasar perkembangan cabang
ilmu disajikan sebagai berikut:

A. ONTOLOGI
Hakikatnya ontologi mengkaji dan membantu ilmu untuk menyusun suatu
pandangan dunia secara integral, komphrehensif dan koheren serta utuh dari sisi hakikat
segala sesuatu. Selain itu, memberikan masukan informasi untuk mengatasi
permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu khusus. Pembahasan teori dan
hakikat sesuatu sangat luas sekali. Segala yang ada memungkinkan ada. Bisa juga
mencakup keyakinan, pengetahuan dan nilai (mencari hakikat keyakinan, pengetahuan
dan hakikat nilai). Nama lain, untuk teori adalah hakikat teori tentang keadaan. Hakikat
ialah realitas, realitas ialah kerealan. Real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi
hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan
sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah.
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari hal yang nyata secara fundamental dan cara
yang berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori yang logis yang berlainan (objek fisik,
hal universal, abstraksi). Ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip umum dari
hal yang ada. Dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini, ontologi dipandang sebagai teori
mengenai apa yang ada. Ontologi sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut
proto-filsafia (filsafat yang pertama), atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah

1
hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala
sifatnya. Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles. Pada dasarnya, kebanyakan orang belum membedakan antara
penampakan dengan kenyataan. Theles terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala
sesuatu.
Pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas, meliputi segala yang ada dan yang
mungkin ada. Hakikat ada adalah kenyataan sebenarnya bukan kenyataan sementara atau
berubah-ubah. Secara ringkas, ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa
adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta.
Ontologi juga merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan
batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (being), baik berupa wujud fisik
(al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da alThobi’ah). Ontologi atau bagian metafisika
yang umum, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh yang mengkaji
persoalan seperti hubungan akal dengan benda. Hakikat perubahan, pengertian tentang
kebebasan dan lainnya.
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat istilah
ontologi adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah itu berakar dari bahasa Yunani,
yang terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau keberadaan”, dan logos
berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga pemikran (Lorens Bagus:2000). Maka
ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada
ilmu. Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu dan keilmuan (setiap bidang ilmu dalam
jurusan dan program studi) itu apa? Juga dapat diartikan bahwa ontologi adalah
pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Sedangkan menurut Jujun
S.Suriasumantri (1998) dalam pengantar Ilmu dalam perspektif menyatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Menurut pandangan The
Liang Gie, ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari
sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan objek ilmu atau keilmuan itu
empiric. Dunia yang dapat dijangkau dengan panca indra. Jadi objek ilmu adalah
pengalaman indrawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat
sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada penalaran logis. Argumen
ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya.
Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu.
Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep
universal yang berlaku untuk tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang
berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea itu
adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yabg
berada di Benua manapun di Dunia ini.
Demikan pula manusia juga punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah
“badan hidup” yang kita kenal dan dapat berfikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah
“binatang yang berfikir”. Konsep binatang ini bersifat universal, berlaku untuk semua
manusia baik itu besar atau kecil, tua atau muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, India,
Asia, China, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah
yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea itu berada
dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi.

2
Benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap oleh panca-indra senantiasa
berubah. Karena itu, ia “bukanlah hakikat”, tetapi hanya “bayangan”, “kopi” atau
“gambaran” dari ideanya. Dengan kata lain, benda yang dapat ditangkap dengan panca-
indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka. Para ahli memberikan pendapatnya tentang
realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia menyatakan bahwa ontologi ialah interpretasi
tentang suatu realita dapat bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti
setiap orang berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya
pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud dari setiap
orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan jika berada di
dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita nampaknya
cukup nyata atau real.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
Metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakn tentang jiwa
manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan
Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu
pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) dan Amsal Bakhtiar, (2017) menjelaskan bahwa
ontologi itu ilmu yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu
hakikat realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah.
Adapun dalam penelitian kualitatif, ontologi muncul dalam bentuk aliran, misalnya
idealisme, rasionalisme, emperisme dan lain-lain. Keterkaitan antara penelitian
kuantitatif dan kualitatif memang tidak perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu
yang membahas seluk beluk ilmu.
Secara etimologi ilmu dalam bahasa Inggris berarti science. Pengetahuan berasal
dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy
dijelaskan, bahwa deflnisi pengetahuan yaitu kepercayaan yang benar (knowledge is
justified true belief). Ontologi itu ilmu yang menelusuri tentang hakikat ilmu
pengetahuan.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan keflisafatan yang
paling kuno. Awal pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di
bidang ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dan segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada
persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Kedua realitas ini, yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia. Manusia
memiliki dua sumber ilmu, yaitu (1) ilmu lahir yang kasatmata dan bersifat tampak,
kelihatan (observable), aset berwujud (tangible); dan (2) ilmu batin, metafisik yang tidak
kasatmata.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab
pertanyaan “apa itu ada,” yang menurut Aristoteles sebagai the first philosophy
menyatakan bahwa ilmu mengenai esensi benda (sesuatu). Sebenarnya bukan sekadar
benda yang penting, melainkan fenomena di jagat raya ini, apa dan mengapa ada? Di
alam Semesta ini, kalau direnungkan banyak hal yang menimbulkan tanda tanya besar.
Selanjutnya, dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ontos: being atau ada, dan logos ilmu. Jadi, ontologi adalah teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan (the theory of being quq being). Juga disebut sebagai
ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, satu pemikiran fisafat
selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat ada atau yang sejauh bisa
diadakan oleh kegiatan manusia.

3
Tegasnya, bila suatu pemikiran tidak merniliki keberadaan (landasan ontologi)
atau tidak mungkin pula untuk diadakan, maka pikiran itu hanya berupa khayalan,
dorongan perasaan subjektif, atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal
kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh
(eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berpikir tentang kebenaran atau
keadilan, maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa
diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal)
kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan atau jiwa maka sekurang-
kurangnya harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila
tidak maka pikiran itu hanya berupa suatu ide kosong atau khayalan yang mudah ditolak
kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi,
atau psikologi, sehingga pemikiran hukum, teologi, atau psikologi ini bias buktikan dan
didukung (diafirmasi) atau difalsiflkasikan (ditolak), atau disingkirkan (dinegasi).
Realitas ada yang menjadi objek pemikiran dan pembuktian suatu pemikiran flisafat
selalu dipahami sebagai suatu kenyataan yang utuh, sempurna, dan dinamis, baik dari sisi
materi maupun rohani, atas-bawah, hitam-putih, dan sebagamnya. Ontologi terbagi atas
dua, yaitu ontologi umum yang disebut metafisika (ilmu yang tidak kelihatan), dan
ontologi khusus seperti kosmologi, teologi, dan sebagainya.
Heidegger (1981) mengatakan, istilah ontologi pertama kali diperke- nalkan oleh
Rudolf Goclenius pada 1936 M, untuk menamai hakikat yang ada bersifat metafisis.
Dalarn perkernbangannya, Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan khusus. Metaflsika umum yaitu istilah lain dan ontologi.
Dengan demikian, metafisika atau ontologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentang
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dan segala sesuatu yang ada.
Ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya.
Ilmu itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi, manusia
akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger eksistensi
membicarakan masalah ada, misalnya cara manusia ada. Manusia ada ketika dia sadar
diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi wilayah garapan
ontologi keilmuan.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi ini yaitu realitas yang ada. Ontologi
yaitu studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran semesta
universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau
menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi, ontologi merupakan studi yang
terdalam dan setiap hakikat kenyataan, misalnya; (a) dapatkah manusia sungguhsungguh
memilih sesuatu; (b) apakah ada Tuhan di duniaini; (c) apakah nyata dalam hakikat
material ataukah spiritual; (d) apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan; (e)
apakah hidup dan mati itu dan sebagainya.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia dan proses berpikir kritis, Akal
budi manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam fenomena hidup yang sangat
sederhana pun akan terkait dengan ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara
belut pun butuh ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara ular pun begitu. Tidak
ada satu pun fenomena yang lepas dan ilmu pengetahuan. Maka, di jagat perguruan
tinggi sudah lahir sekian banyak cabang ilmu pengetahuan yang mungkin kita tidak
begitu mengenal. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran
keilmuan yaitu pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh
kedisiplinan.
Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang
dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada suatu
tujuan tertentu, yaitu pengetahuan, keyakinan. Jadi, berpikir keilmuan secara fliosofis,

4
yaitu: (a) berpikir sungguh-sungguh; (b) disiplin; (c) metodis; dan (d) terarah kepada
pengetahuan dan keyakinan. Berpikir keilmuan, secara fllosofis, karenanya hendak
mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar
terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.
Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat
sesuatu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu
yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus
dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada ontologi
adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah
ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap
representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat
diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian,
ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, properti dari suatu objek,
dan relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang: Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau
jamak dan Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu
yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian
melahirkan aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa
sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa, yaitu:
Apakah yang ada itu? (What is being?)
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Dimanakah yang ada itu? (What is being?)
Apakah yang ada itu? (What is being?)
Monoisme sebagai salah satu dalam Filsafat, berpendapat bahwa yang ada itu
hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal,
baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Salah satunya merupakan sumber
yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato (427-347)
adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan
bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua
aliran
Ontologi sering diartikan dengan metafisika atau filsafat ketuhanan yang pokok
bahasannya adalah hakikat sesuatu, keesaan, sebab akibat dan realita. Ontologi adalah
teori dari cabang filsafat yang membahas realitas (kebenaran).

5
B. EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat. Dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara mendalam dengan diri dan kehidupan manusia serta mencari suatu kebenaran.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi
meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan “bagaimanakah dan
sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan sebagai suatu kebenaran. Jika kita
mengetahui batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya, kita baru dapat menganggap
mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan epistemologi. Kita
mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau
mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa hal yang kita punyai hanya kemungkinan dan
bukannya suatu kepastian. Mungkin dapat menetapkan batas antara bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang yang tidak
memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004).
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat.
Sistem filsafat di samping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori
tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran.
Selanjutnya, aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat,
kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub
sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi,
kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang
dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul
hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata
“Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan.
Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa
Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis
diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut
filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat
ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Pengetahuan, pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Masalah utama dari epistemologi
adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Sebenarnya seseorang baru dapat
dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan epistemologi.
Artinya, pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan.
Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia
berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah yang
dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epis-temologi adalah nilai
tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan

6
ilmu lainnya.
Dalam epistemologi peroses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang paling
mendasar. Sebab hal inilah mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang
sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a
priori maupun a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa
adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin.
Sebaliknya, a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan
dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara
cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran
sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek
dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan. Sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan. Sebagai subsistem filsafat, epistemologi atau teori
pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu.
Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri (1998) berupa segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Proses untuk
memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan. Sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil
tujuan bisa terealisir. Sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah
sama sekali. Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut?
Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki
potensi untuk memperoleh pengetahuan. Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki
makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan
kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh
pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan,
sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut
ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat tertentu. Syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu
yang tercantum dalam metode ilmiah. Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan
demikian, metode ilmiah selalu didukung dua pilar pengetahuan, yaitu: rasio dan fakta
secara integratif. Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh
pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau
menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua
yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang
mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional dengan pegertian lain disebut dengan
metode deduktif yang dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh
Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik

7
menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada
pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau
dasar berpijak dari kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan
premis minor yang merupakan bagian dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik
kesimpulan deduktif. Di samping itu, pendekatan rasional ini selalu mendayagunakan
pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi yang logis. Jika kita
berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memiliki kerangka
berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan
persoalan, sebab kriteria penilainya bersifat nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula
kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan.
Seseorang yang menguasai teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan
yang besar, ketika dia mempraktekan teoriteorinya. Padahal teori itu dibangun menurut
alur pemikiran yang benar, karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah,
maka memunculkan aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-
1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mau
mengumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode
induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagai implikasi dari metode induktif,
tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan
dan hasil pengamatan.
Ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan.
Mudlor Achmad (1998) merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam,
tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Lebih lanjut, epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa
hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu,
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai
dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah
pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Mengingat epistemologi
mencakup aspek yang begitu luas, sampai secara ekstrem disimpulkan bahwa
epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan
kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan hal yang diketahui dibidang
tertentu.
Dalam pembahasan epistemologi, ternyata hanya aspek tertentu yang mendapat
perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolaholah wilayah
pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek tertentu. Aspek lain, yang
jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Epistemologi lebih banyak terbatas pada
tataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.
Paul Suparno (1997) menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai hal
yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek lainnya justru diabaikan
dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang
layak. Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan
pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat,
khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan
pemahaman epistemologi. Tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi
sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan
yang amat luas, yaitu komponen yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.

8
C. AKSIOLOGI
Ilmu pengetahuan menjadi hal paling fundamental dalam pengembangan harkat
dan martabat manusia. Berbagai macam inovasi telah dilakukan untuk membuat hidup
manusia lebih mudah dan efisien. Namun banyak manusia yang menjadikan ilmu sebagai
sarana untuk menghancurkan sendi sosial dan ketentraman hidup manusia. Aksiologi
menjadi ilmu untuk mengkaji nilai dan hakikat dari sebuah ilmu. Aksiologi melihat nilai
sebagai ilmu dari dua hal, yaitu: (1) penilaian etika dan (2) penilaian estetika. Aksiologi
juga akan melihat kegunaan ilmu sebagai sarana seseorang untuk mengubah dunia
mengikuti perkembangan zaman. Kaitan aksiologi dan ilmu dalam hal ini, filsafat ilmu
dengan melihat ilmu dari dua sisi, yaitu subjektif dan objektif. Nilai ilmu pengetahuan
bergantung pada objektivitasnya, bukan dari subjektivitasnya.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu
semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah.
Kenyataan yang terjadi adalah peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu
telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai kesulitan dalam hidup lainnya. Dengan kemajuan ilmu
pengetahuan juga bisa dirasakan dengan kemudahan transportasi, permukiman,
pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Ilmu menjadi sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Dengan segala keunggulan dan kemudahan yang diberikan ilmu tersebut, apakah
ilmu selalu memberikan berkah dan kemudahan bagi manusia? memang terbukti dengan
ilmu manusia bisa menciptakan teknologi yang pada awalnya dikatakan sebagai hal yang
mustahil adanya, tetapi dengan ilmu, ketidakmungkinan itu menjadi hal yang nyata. Tapi
ada hal yang kadang dimanfaatkan oleh manusia dalam ilmu yang bertentangan dengan
nilai kemanusiaan. Hal inilah yang menjadikan ilmu menjadi mesin pembunuh bagi
penciptanya. Ilmu harus diletakkan pada nilai, karena jika tidak, maka yang terjadi
adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu perlu ditempatkan pada posisi yang seharunya, yaitu untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berpikir. Namun,
perlu adanya nilai yang menjadi batas bagi ilmu pengetahuan aksiologi menjadi ilmu
untuk mengkaji hal tersebut. Dalam ilmu aksiologi, akan ditemukan jawaban untuk
pertanyaan untuk apa ilmu itu dan bagaimana cara penggunaannya dengan kaidah moral.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu, axios yang berarti wajar atau sesuai,
dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Secara umum
aksiologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan bagaimana manusia
mempergunakan ilmunya. Aksiologi membahas tentang tujuan dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya dan
dijalan yang baik pula.
Aksiologi mencakup semua cabang filsafat moral, filsafat sosial politik, estetika,
filsafat feminis, dan filsafat agama. Menurut Brammel (dalam Mas’ud Zein:5) membagi
aksiologi ke dalam tiga kategori yaitu perilaku pembangkit moral dan etika, ekspresi
estetis yang menghasilkan keindahan, dan kehidupan politik yang menghasilkan politik
sosial.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu itu ada
yang bebas nilai (pengembangannya untuk ilmu itu sendiri) dan tidak bebas nilai
(pengembangannya untuk hal-hal di luar ilmu, seperti bidang politik, agama, dan budaya).
Jadi, melihat fenomena sekarang, ilmu tidaklah bebas nilai, karena ilmu menjadi alat
untuk memajukan berbagai sisi kehidupan manusia.

9
Dalam aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan, yaitu: (1) penilaian
etika, yaitu cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah moral.
Makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Kajian etika lebih fokus pada
perilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Pada etika, dipermasalahkan masalah kebaikan dan keburukan, keadilan,
keutamaan, dan lain sebagainya. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan
mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Etika menjadi refleksi dari apa
yang disebut “self control” karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kelompok sosial itu sendiri, (2) nilai estetika adalah nilai yang membahas tentang
indah atau tidaknya sesuatu. Nilai ini lebih cenderung digunakan pada aspek kesenian.
Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang
indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau
mengenai alam semesta ini.
Proses pemerolehan ilmu kemudian diterapkan dalam kehidupan dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan awal penciptaan ilmu tersebut.
Nilai dari ilmu menjadi buruk dan cenderung merusak tatanan kehidupan manusia.
Namun pendapat Plato (dalam SS. Avanesof: 184) menyatakan tidak ada sesuatu yang
baik jika tidak diikuti sesuatu yang jahat. Ini menunjukkan bahwa ilmu itu akan selalu
berada pada dua sisi mata uang yang berseberangan. Manusia sebagai pencipta dan
pengguna ilmu yang harus memberi batasan dalam pemanfaatan ilmu tersebut. Disinilah
peran aksiologi untuk melihat nilai guna dari sebuah ilmu.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak
bebas nilai. Artinya, pada tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai
budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Menurut (Samad, 2012) dalam aksiologi, ada dua penilaian yang umum
digunakan yaitu; Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis
masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya, ia telah menjadi
pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan
mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam
buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno (.. ) diartikan sebagai pemikiran
kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Isi dari pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan tersebut adalah norma,
adat, wejangan, petuah, nasihat dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan
sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan hal yang ia lakukan. Di dalam etika,
nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya, tingkah
laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri,
masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai Sang Pencipta.
Selain etika, estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan
tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu
terdapat unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan
yang utuh menyeluruh. Maksudnya, suatu objek yang indah bukan sematamata bersifat
selaras dan berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Dalam
kehidupan sehari-hari, tentunya pengetahuan sains memiliki nilai guna yang membantu

10
hubungan kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Paling sedikit ada tiga kegunaan
teori sains antara lain: (1) sebagai alat eksplanasi, (2) sebagai alat peramal dan (3)
sebagai alat pengontrol.
Teori sebagai alat eksplanasi merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling
dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam mempelajari masa lampau,
menjalani masa sekarang, serta mempersiapkan untuk masa depan, (T. Jacob, 1993).
Menurut teori sains pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai atau sering disebut
broken home, pada umumnya akan berkembang menjadi anak yang nakal. Penyebabnya
ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
Padahal pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju
dewasa. Teori sebagai alat peramal, ketika membuat eksplanasi, biasanya para ilmuwan
telah mengetahui faktor yang menyebabkan timbulnya suatu gejala. Dari faktor tersebut
para ilmuwan dapat membuat sebuah ramalan atau prediksi. Sebagai contoh, jika banyak
kasus perceraian antara hubungan rumah tangga, maka dapat diramalkan bahwa
kenakalan remaja akan meningkat, meningkatnya aksi anarkis remaja seperti pada kasus
geng motor. Teori sebagai alat pengontrol, dimaknai sebagai bahan untuk membuat
ramalan atau prediksi dan alat pengontrol. Perbedaan antara prediksi dengan alat
pengontrol adalah prediksi lebih cenderung bersifat pasif, karena ketika timbul gejala
tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi keadaan atau kondisi
tertentu pula. Sedangkan alat pengontrol lebih bersifat aktif terhadap sesuatu keadaan,
contohnya kita membuat tindakan efektif yang mampu meminimalisir dampak yang
ditimbulkan dari adanya suatu gejala tersebut.
Kita mengambil contoh seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni jika
banyak kasus perceraian maka timbul prediksi kenakalan remaja akan meningkat. Dalam
kasus ini kenakalan remaja disebabkan oleh minimnya perhatian orang tua terhadap
perkembangan emosional anak mereka, sehingga mereka mencari sendiri guru yang
mampu mengajari mereka bagaimana cara bertahan hidup. Untuk mencegah
meningkatnya kenakalan remaja yang disebabkan oleh perceraian orang tua mereka,
maka harus diadakannya tindakan yang preventif dari kerabat dekat mereka seperti kakek
atau nenek, paman atau bibi yang menggantikan peran orang tua mereka. Tindakan inilah
yang disebut dengan ilmu sains sebagai alat pengontrol. Cara sains menyelesaikan
masalah yaitu pertama, ia mengidentifikasi masalah. Kedua, ia mencari teori tentang
sebab-sebab masalah tersebut. Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi.
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji
secara terbuka oleh masyarakat sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat keilmuwan
maka diterima sebagai kumpulan ilmu dan digunakan dalam masyarakat. Jelas terlihat
tanggung jawab sosial yang diembang oleh seorang ilmuwan. Fungsinya selaku ilmuwan
tidak berhenti pada penelahaan dan keilmuwan secara individual, namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuwan itu sampai dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sikap soisal seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelahaan
keilmuwan. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberinya nilai. ilmuwan
juga untuk menyampaikan kepada masyarakat baik buruk dari ilmu yang telah
dikembangkan dengan bahasa yang dapat dicerna oleh masyarakat awam.
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai khususnya etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada
masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi
manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan
pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik–baiknya. Dalam filsafat penerapan
teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan. Seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik.

11
BAB II
PEMBAHASAN

A. FILSAFAT ETIKA

1. Ontologi Filsafat Etika


Perkembangan ilmu pengetahuan telah membuka era baru dalam pendidikan.
Berbagai inovasi telah berkembang dimasyarakat untuk mencerdaskan dan
memanusiakan manusia. Namun dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan selain
mengefisienkan kerja manusia, ternyata dapat memberikan keburukan bagi umat
manusia jika ilmu pengetahuan tersebut digunakan tanpa adanya kontrol dan
pengawasan.
Disinilah peran etika dalam ilmu pengetahuan. Etika adalah sistem prinsip moral
dalam berperilaku. Etika berkaitan erat dengan apa saja yang baik atau buruk tentang
perilaku hidup manusia. Etika dalam ilmu pengetahuan adalah norma yang perlu
diperhatikan agar ilmu itu tidak menjadi hal yang kurang baik bagi manusia, tetapi
menjadi alat untukmengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk sosial dan
makhluk berpikir dan makhluk berzikir (Jufri;2020). Menurut Beliau hakikat etika
dalam ilmu pengetahuan menjadi hal yang fundamental dan relevan di era sekarang ini.
Sederhananya, etika adalah sistem prinsip moral yang berperan penting dalam
pengambilan keputusan dan berpengaruh besar dalam menjalani kehidupan. Etika
berkaitan dengan “hal baik atau buruk” individu dan masyarakat. Etika memberikan
batasan kepada setiap manusia dalam bertingkah laku di masyarakat. Dalam ilmu
pengetahuan etika dibutuhkan untuk mengontrol setiap pemerolehan ilmu sehingga sisi
negatif dari ilmu tersebut bisa diminnimalisir. Etika bukanlah bagian dari ilmu
pengetahuan, tetapi etika lebih menjadi sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang
berhadapan dengan moralitas atau perwujudan dalam bentuk perilaku yang baik.
Namun demikian etika tetaplah berperan penting dalam ilmu pengetahuan. Penerapan
ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis
sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
ilmu pengetahuan selanjutnya. Menurut Jufri (2020) etika sebenarnya suatu kajian ilmu
karena memiliki pengetahuan baik buruknya sesuatu atau rendah tingginya moral
seseorang atau kelompok. Lebih lanjut dinyatakan bahwa etika sifat implementatif akan
tetapi harus didasari prinsip etika. Ketika berada pada prinsip etika ketika itu juga
pengkajian secara salah satu cabang ilmu yang perlu dikaji dan dikembangkan. Hakikat
etika menurut dia, pengetahuan etika sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman,
dan keyakinan seseorang atau kelompok yang dapat dijadikan instrumen untuk
menentukan apakah seseorang tersebut atau kelompok tersebut beretika

12
atau tidak beretika. Tergantung sarana yang dipakai untuk mengukur suatuperilaku.
Dengan pertimbangan tersebut, maka dapat dikatakan tanggung jawab etis
dalam ilmu pengetahuan berkaitan dengan kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang. Etika dalam ilmu
pengetahuan harus bersifat universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah
untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, bukan untuk
menghancurkan dan menjadi budak dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Keberadaan etika
dalam ilmu pengetahuan tidak bermaksud menghambat, tapi justru menjadi pengendali
kemajuan ilmu pengetahuan sehingga semakin meningkatkan martabat manusia sebagai
“tuan” ilmu pengetahuan, bukan “hamba” ilmu pengetahuan. Etika dalam ilmu
pengetahuan diharapkan mampu menginspirasi dan memotivasi manusia untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak mencelakakan manusia dan aman bagi
lingkungan hidup.
Dari segi ontologi, hakikat etika adalah untuk menjaga agar manusia dalam
relasinya dengan sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat sendiri. Nilai-nilai,
norma, dan kumpulan asas haruslah memampukan manusia hidup sebagai manusia yang
berharkat dan bermartabat. Karena etika merupakan salah satu cabang dalam ilmu
filsafat dan tidak terpisahkan dalam peradaban umat manusia, maka sifatnya mendasar
dan membahas norma-norma yang berlaku di masyarakat. Secara ontologi, etika dalam
filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat dan tidak terpisahkan dari peradaban
manusia. Sifat dasarnya sangat kritis karena selalu mempersoalkan norma yang berlaku,
menyelidiki dasar dari norma tersebut, begitu juga siapa yang menetapkan norma
tersebut.

2. Epistemologi Filsafat Etika


Etika berasal dari bahasa Yunani “etos” yang berarti adat, kebiasaan, karakter
atau watak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
bisa juga disebut sopan santun. Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan ethic dan
etiquette. Immanuel Kant (1980), dalam pendekatan etikanya, menekankan bahwa salah
satu unsur etika adalah negara. Untuk mencari kebenarannya, disamping memanfaatkan
panca indra, juga memanfaatkan kesantunan dalam menkaji ilmu pengetahuan. Etika
dapat memanfaatkan dua model (Jufri;2020), yaitu model induiktif dengan paradigma
kualitiatif dan model deduktif dengan paradigma kuantitatif. Puncak etika tersebut
dijadikan landasan untuk mengkaji kebenaran pengetahuan etika dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari.

13
3. Aksiologi Filsafat Etika
Etika dari segi aksiologi mencakup empat hal, yaitu bagaimana menjalani
kehidupan yang baik dan buruk, hak dan tanggung jawab, bahasa yang baik dan benar
dan tidak baik dan salah, dan keputusan moral. Namun sejatinya, nilai yang terkandung
di dalam etika hanya ada dua, yakni nilai etika baik dan nilai etika buruk. Karena
tingkah laku manusia tidaklah sama dan tidak semua dapat dinilai oleh etika, maka
diberlakukan pengambilan sanksi etika sebagai acuan dalam melakukan penilaian
berdasarkan syarat sebagai berikut: (1) perbuatan manusia dikerjakan dengan penuh
pengertian (orang yang melakukan suatu perbuatan jahat tetapi tidak mengetahui
sebelumnya bahwa yang dilakukan adalah perbuatan jahat, maka perbuatan seperti itu
tidak mendapat sanksi dalam etika), (2) perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (jadi
perbuatan jahat manusia yang dilakukan tanpa sengaja tidak akan mendapatkan sanksi
dalam etika) (3) perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau kehendak sendiri
(maka kejahatan yang dilakukan oleh manusia dalam keadaan terpaksa/ada paksaaan
juga tidak akan mendapat sanksi dalam etika). Dari ketiga persyaratan itulah etika
manusia selanjutnya bisa dinilai baik buruknya. Perlu digarisbawahi bahwa bukan
keadaan manusia yang dipermasalahkan dalam etika, melainkan tindakan manusia yang
seharusnya.
Jika etika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat
mempengaruhi perilaku manusia. Tapi beberapa filsuf beranggapan bahwa etika tidak
melakukan hal tersebut, intuisi manusia sendirilah yang menentukan baik atau buruknya
perilaku manusia. Etika hanya menyediakan konsep baik atau buruk sesuatu.
Selanjutnya, manusialah yang menentukan akan berbuat baik atau buruk melalui intuisi.
Jadi etika tidak hanya mengenai moralitas tindakan manusia, tetapi juga menentukan
kelangsungan kehidupan manusia.
Setiap manusia akan selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sebab
bagaimanapun manusia selalu akan menemui masalah dalam perjalanan hidupnya.
Problema tersebut harus dipecahkan dengan pengetahuan yang dimiliki atau apa yang
diketahui. Sesuai dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu, maka manusia akan
selalu bergumul dengan prosespencarian pengetahuan.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap hal yang kita ketahui tentang
objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia selain agama dan seni. Ilmu pengetahuan
merupakan langkah akhir dari perkembangan mental manusia dan merupakan
pencapaian tertinggi dari kebudayaan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan siklus hidup manusia semakin
berjalan cepat, efektif dan efisien.. Diperlukan kebijaksanaan dalam menyikapi
perubahan tersebut. Disinilah peran etika sebagai bahan pertimbangan dan terkadang
mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab
etik

14
merupakan sarana pendukung atau hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, ilmu pengetahuan digunakan dalam penciptaan teknologi yang
bertujuan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya.
Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin
meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan
manusia budak teknologi dan semakinacuh tak acuh atau individualistis.
Manusia semestinya memajukan ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai
intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi
akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan
ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan
menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada
fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai
makhluk spiritual.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan merendahkan atau meningkatkan keberadaan
manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena ilmu pengetahuan
merupakan salah satu dari tujuh budaya umum yang dihasilkan manusia, yaitu; sistem
mata pencaharian, kepercayaan, bahasa, sistem ilmu pengetahuan, sistem
kemasyarakatan, kesenian, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu perkembangan
ilmu pengetahuan haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang
baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Disinilah peran etika untuk ikut mengontrol
perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak bertentangan dengan nilai dan norma dalam
masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan
menyoroti kejujuran, tanggung jawab, dan bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang bebas nilai maksudnya ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri atau bersifat otonom tanpa dipengaruhi tujuan diluar ilmu pengetahuan.
Pembatasan etika dalam ilmu pengetahuan bebas nilai adalah mencegah ilmu itu
dikembangkan atau dieksplor untuk hal diluar ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan
ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai adalah ilmu pengetahuan yang
perkembangannya diperngaruhi banyak hal diluar ilmu itu sendiri, seperti faktor politik,
ideologi, agama, budaya, dan lain-lain. Jadi jelas bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah
bisa bebas nilai, selalu ada kepentingan yang memengaruhi perkembangan ilmu itu
sendiri. Dari aksiologi (kegunaan) etika bahwa kehidupan manusia perluditopang oleh
nilai etika, agar keberadaannya betul dinikmati dengan penuh arti.

15
B. FILSAFAT RASIONALISME

Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia,
menurut aliran ini, menmperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek.
Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descartes seorang filosof yang tidak
puas dengan filsafat scholastic yang pandangannya bertentangan, dan tidak ada
kepastian disebabkan oleh kurangnya metode berpikir yang tepat. Ia juga
mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap
segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang
berpikir itu tentu ada. Cogito Ergo Sun (saya berpikir, maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa
orang kepada kebenaran. Yang benar hanya tindakal akal yang terang benderang yang
disebut Ideas Claires el Distictes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah).
Idea terang benderang inilah pemberian tuhan seorang dilahirkan ( idea innatae = ide
bawaan). Sebagai pemberian tuhan, maka tak mungkin tak benar. Karena rasio saja
yang dianggap sebagai sumber kebenaran, aliran ini disebut rasionlisme. Aliran
rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat.
Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya
digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme
adalah lawan dari empirisme dan seringberguna dalam menyusun teori pengetahuan.

Raioalime lawanotorita

Raioalime Lawaemperime

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari segi ontologi, hakikat etika adalah untuk menjaga agar manusia dalam
relasinya dengan sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat sendiri. Nilai-nilai,
norma, dan kumpulan asas haruslah memampukan manusia hidup sebagai manusia yang
berharkat dan bermartabat. Etika berasal dari bahasa Yunani “etos” yang berarti adat,
kebiasaan, karakter atau watak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika
adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Dari aksiologi (kegunaan) etika bahwa kehidupan manusia perlu
ditopang oleh nilai etika, agar keberadaannya betul dinikmati dengan penuh arti.
Secara singkat aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang
kepada kebenaran. Yang benar hanya tindakal akal yang terang benderang yang disebut
Ideas Claires el Distictes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah).

B. SARAN

Dengan membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat mengambil manfaat


dari aliran filsafat etika dan rasionalisme dari segi positifnya. Aliran filsafat etika dan
rasionalisme ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam dunia
pendidikan

17
18

Anda mungkin juga menyukai