Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

“ONTOLOGI ,EPISTEMOLOGI,AKSIOLOGI”

Dosen Pengampu : FIBRIKA BASUKI RAHMAT ,S.Pd.,M.Pd

DISUSUN OLEH :

YOLARA ZAKI (206220009)

MINA KURNIA EKA WATI (206220005)

PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

TAHUN AJARAN 2023


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur Allah SWT senantiasa kita ucapkan.


Ataskarunia-NYA berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya saya bisa
menyelesaikan makalah pada mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan. Shalawat
serta salam tidak lupa pula tercurahkan bagi Baginda Agung Nabi Muhammad
SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada bapak Fibrika Basuki Rahmat


,S.Pd.,M.Pd yang telah membantu saya untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini berjudul “Ontologi ,Epistemologi,Aksiolog”

Namun saya menyadari bahwa makalah ini masih ada hal-hal yang belum
sempurna dan luput dari perhatian saya, baik itu dari bahasa yang digunakan
maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu dengan segala kekurangan dan
kerendahan hati. Saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian demi perbaikan makalah ini kedepannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi
saya selaku penyusun, saya mengharapkan kritik dan sarannya demi
kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 19 Maret 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN....................................................................................................4

a. Latar belakang.............................................................................................5
b. Rumusan masalah........................................................................................5
c. Tujuan.........................................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

a. Pengertian Ontologi,epistemologi dan aksiologi........................................6


b. Pengertian Ontologi ilmu (Hakikat ilmu)....................................................6
c. Pandangan pokok pemikiran dalam pemahaman ontologi...........................8
d. Pengertian epistemologi...............................................................................9
e. Hubungan Epistemologi Dengan Ilmu-Ilmu Lain......................................11
f. Pengertian Aksiologi..................................................................................12
g. Hakikat dan makna nilai............................................................................12

BAB III..................................................................................................................15

PENUTUP..............................................................................................................15

a. Kesimpulsn ................................................................................................15
b. Daftar pustaka............................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang,


sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat
dan ilmu selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu
mempunyai titik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan
dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada
disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang
pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika
kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika
filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat,
yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Ilmu pengetahuan sebagai
produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban dimana manusia
menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana masalah
dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu
mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk
pencari kebenaran. Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan
yang didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui,
bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan tersebut.
Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat sederhana, namun mencakup
permasalahan yang sangat asasi.

Maka untuk menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis


dan universal sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan. Oleh
karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “
dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga
membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses
memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga
unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang
sebenarnya,maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana
mestinya.Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka penulis akan membahas
pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi serta segala permasalahannya
sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat ilmu yang dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.

4
B. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Ontologi,epistemologi dan aksiologi
B. Pengertian Ontologi ilmu (Hakikat ilmu)
C. Pandangan pokok pemikiran dalam pemahaman ontologi
D. Pengertian epistemologi
E. Hubungan Epistemologi Dengan Ilmu-Ilmu Lain
F. Pengertian Aksiologi
G. Hakikat dan makna nilai

C. TUJUAN PENULISAN
1. mengatahui Pengertian Ontologi,epistemologi dan aksiologi
2. mengetahui Pengertian Ontologi ilmu (Hakikat ilmu)
3. mengetahui Pandangan pokok pemikiran dalam pemahaman ontologi
4. mengetahui Pengertian epistemologi
5. mengetahui Hubungan Epistemologi Dengan Ilmu-Ilmu Lain
6. mengetahui Pengertian Aksiologi
7. mengetahui Hakikat dan makna nilai

5
BAB II

PEMBAHASAN

1).PENGERTIAN

Kata Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi menurut bahasa berasal dari


bahasa Yunani. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada
(yang ada)”. Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya knowledge
yaitu pengetahuan.Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya
pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan. Jadi pengertian etimologi
tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan
tentang pengetahuan. Dan kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti
“bermanfaat”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu
pengetahuan, ajaran dan teori”.Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat
yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. 6
Epistemologi adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses
penyusunan pengetahuan yang benar.Sedangkan Aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan.Dengan demikian Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti
segala sesuatu yang ada. Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang teori,
sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu pengetahuan.

A. ONTOLOGI
1. Pengertian Ontologi ilmu (Hakikat ilmu)

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan yang paling


kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan
munculnya perenungan di bidang ontologi.Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret.Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang
bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales. merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi
belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri) 1

1
Aceng Rachmat, Op.Cit., hlm. 144
2
Ibid., hlm. 2

6
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia ontologi artinya cabang ilmu filsafat yg berhubungan dengan
hakikat hidup. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan
hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa
prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam
keharmonisan.Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang
dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, objek ilmu adalah pengalaman
inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika
semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is
the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

Noeng Muhadjir dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan,ontologi


membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan pembahasan


tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal dengan mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan atau objek yang akan ditelaah dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir,merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan
sebuah pengetahuan. Serta menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang
lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas
dari objek penelaahan tersebut.2

2 3
Amsal Bakhtiar, hlm. 131
4
http://kbbi.web.id/
5
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz
Media, 2007)

7
2. PANDANGAN POKOK PEMIKIRAN DALAM PEMAHAMAN
ONTOLOGI

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun
1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.
Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika
menjadi dua, yaitu:

a. Metafisika umum
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari
segala sesuatu yang ada.
b. Metafisika khusus.
1) Kosmologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta
2) Psikologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa
manusia
3) Teologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.

Sedangkan arti metafisika itu sendiri menurut Reza A.A Wattimena, dalam
bukunya yang berjudul “Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar” adalah cabang
filsafat yang merefleksikan hakekat dari realitas pada levelnya yang paling
abstrak. Ada beberapa pandangan pemahaman tentang ontologi, diantaranya yaitu:

1. Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Thomas Davidson menyebut dengan
Block Universe. Kemudian paham ini terbagi ke dalam dua aliran:

a. Materialisme (naturalisme)

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
rohani.22 Seperti halnya manusia, karena manusia pada instansi terakhir adalah
benda dunia (materi) seperti benda (materi) lainnya.3

3 6
Amsal Bakhtiar, hlm. 133
Ibid., hlm. 134
7

8
Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo), hlm.10

8
b. Idealisme

Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah nurani, spirit atau
sebangsanya.

2. Dualisme

Paham ini menganggap bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan
spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda.25

3. Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.


Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk
itu semuanya nyata.

4. Nihilisme

Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Pertama,
tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya karena sumber ilusi.
Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan
kepada orang lain.

5. Agnostisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat


benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.

B. EPISTEMOLOGI
1. Pengertian epistemologi

Sebagaimana ontologi, epistemologi juga merupakan salah satu dari sub


sistem filsafat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi dimaknai
dengan cabang ilmu filsafat tertentu, dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.30
Istilah epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani episteme = pengetahuan
dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. 4

4 9
Surajiyo, hlm. 151
10
http://kbbi.web.id/
11
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), cet. 9, hlm. 18

9
Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai,
artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam
bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemologi” dalam
sejarah pernah juga disebut gnoseologi. Sebagian kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi
kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge;
Erkentnistheorie).Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
“misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami.

Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi


mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya,
sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda bukan saja pada redaksinya,
melainkan juga pada substansi persoalannya.Menurut P. Hardono Hadi
menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian
dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan lingkup pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Inti
pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Tetapi ada perbedaan
pada persoalan kodrat pengetahuan dan hakikat pengetahuan.

Kodrat pengetahuan berkaitan dengan sifat asli dari pengetahuan, sedang


hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya.33 Sedangkan menurut Surajiyo,
epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal,
sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan
dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.5

2. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAIN


5 12
Mujamil Qomar, hlm. 2
13
Ibid., hlm. 3

10
1. Hubungan epistemologi dengan ilmu logika

Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah


suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode
yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas
eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran.
Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi
jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan
mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji
dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk
mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan
oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil
masih menjadi hal yang diragukan.

2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat.

Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi


(ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat
dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah
umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah
diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam
memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu
logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir.

Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-


proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi
mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu
yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi
berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya
pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal
dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena
akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.6

C. AKSIOLOGI

6 14
Mujamil Qomar, hlm. 20-21
15
Surajiyo, hlm. 90
16
Mohammad Adib, hlm. 74

11
1. Pengertian Aksiologi

Adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai


suatu kehidupan. Disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana
orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat
fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? Teori
nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Dengan
kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan
kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai
dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan
dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.

Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh


manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia
dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom
kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa,
tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi
manusia.Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan
dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam
keselamatan umat manusia. Landasan aksiologi ilmu menyangkut
permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran
Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas
nilai, sebab nilainilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.

2. HAKIKAT DAN MAKNA NILAI

Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam


cara: orang dapat mengatakan bahwa:

a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif


Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-
reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”.7
Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
7 17
Ibid., hlm. 79
18
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit
Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000), hlm. 91

12
diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
b. Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna,


diantaranya:

a. Mengandung nilai (artinya berguna)


b. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”) .
c. Mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai
kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”,
atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d. Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan
atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu)
3. Kegunaan dan nilai ilmu

Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia


tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu
terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal
ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu
mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat
ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya
dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu
merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas
yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan
keinginan pribadi sehingga dengan ilmu ,manusia tidak akan mementingkan
dirinya8

8 19
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 331
20
Ibid., hlm. 332
21
Aceng Rahmat., hlm. 140
22
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2003), hlm. 34-35

13
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ini berarti bahwa
secara metafisika ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik Galileo
(1564-1642).47 Yaitu ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa“bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh
pengadilan agama tersebut,dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.

Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan suatu


pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan
manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan
manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada pada manusia itu
sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada
pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat
membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya
ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran
aksiologis

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Menyingkap ilmu pengetahuan landasan yang digunakan adalah ontologi,


epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan
kemana ilmu itu.
2. Hakekat obyek ilmu (ontologi) terdiri dari objek materi yang terdiri dari
jenis-jenis dan sifat-sifat ilmu pengetahuan dan objek forma yang terdiri
dari sudut pandang dari objek itu.
3. Epistemologi diawali dengan langkah-langkah : perumusan masalah,
penyusunan kerangka pikiran, perumusan hipotesis, dan penarikan
kesimpulan.
4. Nilai kegunaan ilmu tergantung dari manusia yang memanfaatkannya.
Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan ;pertama golongan yang
mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri. Golongan kedua
berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun dalam Islam ilmu
itu tidak bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental. Nilai
yang menjadi dasar dalam penilaian baik buruknya segala sesuatu dapat
dilihat dari nilai etika (agama) dan estetika.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, filsafat ilmu; Ontologi, Epistemologi, aksiologi, dan logika


ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011)

Bakhtiar, Amsal, filsafat ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011)

http://kbbi.web.id/

Kattsoff, Louis O, Pengantar filsafat, Ahli Bahasa oleh Soedjono soemargono,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari metode Rasional hingga


metode kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007)

Rachmat, Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan,(Jakarta: Kencana, 2011)

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan,


(Yogyakarta: Kanisius, 2002)

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi


Aksara, 2010)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat,
2000)

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo)

16

Anda mungkin juga menyukai