Anda di halaman 1dari 20

SISTEMATIKA FILSAFAT ONTOLOGI, AKSIOLOGI,

EPISTEMOLOGI
Makalah ini disusun dan dipresentasikan untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Filsafat Umum

Di susun oleh :
Indah Septiani (2021010015)
Iqbal Irsandi Maulana (2021010016)
Ismy Halizah (2021010017)

Dosen Pengampu:
H. YUMNI AL-HILAL, M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS CENDEKIA ABDITAMA
TANGERANG-BANTEN
MARET 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Atas izin dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tepat waktu
tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan Shalawat serta
salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul “Sistematika Filsafat Ontologi, Aksiologi,
Epistimologi” bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum.
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan
saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Aamiin.

Tangerang, 17 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................2

C. Tujuan penulisan...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

A. Pengertian Umum.............................................................................................3

B. Pengertian Ontologi..........................................................................................3

C. Pengertian Epistimologi....................................................................................6

D. Pengertian Aksiologi.......................................................................................11

BAB III PENUTUP...................................................................................................16

A. KESIMPULAN...............................................................................................16

B. SARAN...........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang
terapan untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan
cara yang lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu
pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk
mencapai tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada
baik bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta.
Sehingga untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa
adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian
dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau
bagian yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana
kita memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas
tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi
atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga,
mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami
filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahansannya.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui
mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek
yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas
tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas

1
tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa
hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak
akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka penulis akan membahas
pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi serta segala
permasalahannya sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat ilmu yang
dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan
yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Ontologi?
2. Apa Pengertian dari Epistimologi?
3. Apa Pengertian dari Aksiologi?

C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari Ontologi?
2. Mengetahui dan memahami pengertian dari Epistimologi?
3. Mengetahui dan memahami pengertian dari Aksiologi?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Umum
Kata ontologi berasal dari kata yunani, On: being, Logos: logic. Jadi
ontologi adalah pemikiran mengenani yang ada dan keberadaannya. Kata
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya knowledge yaitu
pengetahuan. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya
pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan. Jadi pengertian
etimologi tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan
pengetahuan tentang pengetahuan. Dan kata Aksiologi berasal dari kata
“Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan
kata “logos” berarti ilmu pengetahuan, ajaran dan teori. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai.
Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam
nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi adalah ilmu
yang membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan
yang benar. Sedangkan Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.1

B. Pengertian Ontologi
Adapun aspek pertama ialah ontologi, secara bahasa Yunani terdiri
dari dua kata; on: being, dan logos; Logic. Jadi ontology ialah The theory of
being qua being atau teori tentang keberadaan sebagai keberadaan.
Sementara menurut istilah ontology ialah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.2
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang membahas

1 Moh. Hifni, ‘Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam’, ResearchGate,
November, 2018, p. 4 <https://www.researchgate.net/publication/328981574>.
2 Mohammad Random Dasuki, ‘Tiga Aspek Utama Dalam Kajian Filsafat Ilmu; Ontologi,
Epistemologi, Dan Aksiologi’, Proceedings, 1.2 (2019), 81–85 (p. 2).

3
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Kajian ini ingin mendapatkan
pengetahuan tentang objek yang dipelajari, membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau suatu pengkajian mengenai teori
tentang ada. Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau
merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab
dari filsafat.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu
perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal
yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya. Setelah menjelajahi segala bidang
utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan,
kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi. Maka
ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang
filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang
bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak
dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan
empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi
pada dunia empiris.
Dalam ontologi ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara:
metodis, sistematis, koheren, rasional, komprehensif, radikal, universal.
Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam:
1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh
lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik
pandang terhadap obyek material.
Beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:
1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya.

4
2. Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu.
3. Determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan.
Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu
membuat beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah
dianggap benar dan tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan
dasar dan titik tolak segala pandang kegiatan. Asumsi itu perlu sebab
pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan
penelaahan.
Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu,
yaitu: Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan
antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan sebagainya. Kedua, menganggap bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, determinisme
yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar
mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan
berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia.
Asumsi tersebut dapat dikembangkan jika pengalaman manusia
dianalisis dengan berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan
beberapa hal: Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan
pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan
dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari
“keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”.
Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah
untuk apa penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai
ilmu apabila kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain,
misalnya seorang ahli ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi

5
menyengsarakan orang lain, seorang ilmuan politik yang memiliki strategi
perebutan kekuasaan secara licik.

Manfaat ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai
beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
1. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai
bangunan sistem pemikiran yang ada.
2. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten
dan eksistensi.
3. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah
keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.

C. Pengertian Epistimologi
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal
katanya Episteme artinya “pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”. Secara
istilah, epistemologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber
pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut.
Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasarnya, serta penegasan bahwa
seseorang memiliki pengetahuan. Azyumardi Azra menambahkan bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pengetahuan dan dipelajari secara substantif.3
Dalam mengkaji epistemologi, kita harus memahami bahwa
epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode
dan batasan pengetahuan manusia. Hal demikian memunculkan Terjadinya

3 Dewi Rokhmah, ‘Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi’, CENDEKIA:
Jurnal Studi Keislaman, 7.2 (2021), 172–86 (p. 180)
<https://ejurnal.staiha.ac.id/index.php/cendekia/article/view/124>.

6
perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern.
Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk
membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka
sumber-sumber pemikiran manusia, kriteriakriteria, dan nilai-nilainya tidak
ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun
bentuknya.
Perdebatan besar itu, salah satunya adalah diskusi yang
mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti,
mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan
struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan
demikian ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana
pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan
intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep
(nations) yang muncul sejak dini? dan apa sumber yang memberikan kepada
manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini? Bagaimana validitas
pengetahuan itu dapat dinilai?
Hal yang perlu dipahami, sebelum menjawab semua pertanyaan-
petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu
terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan
sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang
mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan
penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq
dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang
dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa
atom itu dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat
kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa
menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran
terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya
digiring ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan

7
ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika
manusia mengamati sesuatu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia berpikir
tentang kenyataan-kenyataan alam pada pengamatan objek empiris.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai
apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan
ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap
epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masingmasing ilmu.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana
sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita
membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi
ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Landasan yang ada dalam tataran
epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan
pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur
memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah, kebaikan moral, dan keindahan seni.
Untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan
tidak hanya cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya
berpikir secara empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam
mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut
ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan
gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapi.
Langkah inilah yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga
disebut dengan metode ilmiah. Secara sederhana semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama yaitu:
1. Harus konsisten dengan teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.

8
2. Harus cocok dengan fakta empiris sebab yang bagaimanapun
konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak
dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam
langkah sebagai berikut:
1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
3. Penyusunan atau klarifikasi data
4. Perumusan hipotesis
5. Deduksi dari hipotesis
6. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi).
Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut
masingmasing terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Proses metode
keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian
kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga
ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori
kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini
sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau merubah
hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, diantaranya adalah:
1. Metode induktif adalah metode yang menyimpulkan
pernyataanpernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum.
2. Metode deduktif adalah metode yang menyimpulkan data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
3. Metode positivisme adalah metode yang berpangkal dari apa yang telah
diketahui, faktual, yang positif.
4. Metode kontemplatif adalah metodenyang mengatakan adanta
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan.

9
5. Metode Dialektis adalah Metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat.
Aliran-aliran Epistemologi
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut
mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan
yaitu aliran:
1. Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber
pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.
2. Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia
berasal dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang
ditangkap oleh panca inderanya.
3. Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau
pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif
di dalamnya aliran-aliran:
1. Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia
adalah gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam
pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya
2. Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah
kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia
semuanya terletak di luar dirinya.
Manfaat Epistemologi
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri
umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud
mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan

10
obyektivitasnya. Dari maksud itu, maka epistemologi dapat dinyatakan
suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normative, dan kritis.

D. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan
logos yang berarti ilmu. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai.
Aksiologis dasarnya berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah
ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena berhubungan dengan
nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan
dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan
dulu ingin membentuk satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus
atau telah melakukan uji aksiologis.4
Prinsip Muncul sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita?
Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam
memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai
wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu
selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari
atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi
keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya,
yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka.
Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika?
Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan
prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi
menjadi dua kelompok:
1. Ilmu Bebas Nilai
Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena
sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau
4 Elfira Rahmadani and others, ‘Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Karakter’,
Journal of Science and Social Research, 4.3 (2021), 307–11 (p. 310)
<https://doi.org/10.54314/jssr.v4i3.680>.

11
tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya
atau tidak. Perjalanan waktu, sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu
sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang
berbeda.
Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh
agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik
ilmu ingin mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan
agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan nilai berasal dari
agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun
1633 M.
Sementara Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir
di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang
ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran
(agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang untuk menegakkan
ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas
nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan
leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya.
Dalam tatanan selanjutnya, tahap perkembangan ilmu ini berada pada
ambang kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya
ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap
seluruh tatanan hidup manusia.
Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam
dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya
ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan
ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas
bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan
seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang

12
telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga.
Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini
maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.
Munculnya masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan
pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa
netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam
penggunaannya harus berlandaskan pada moral.
Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang
sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral
universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika
sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam
semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi
rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif. Dari berbagai pernyataan di
atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi,
epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu
tidak bebas nilai.
2. Teori tentang nilai
Membicarakan tentang nilai ada poin yang menjadi pijakan diantaranya
tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala
sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap orang
tuanya dengan sopan santun, serta suasana lingkungan dengan
menyenangkan. Kita tahu, ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan
pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan
pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati. Walaupun para filosof berbeda
pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa
nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan.
Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara
keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati
juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita

13
berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu
sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya
sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai
nilai.
Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai. Teori
tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Nilai etika.
Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia
dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari
nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku
secara universal bagi seluruh manusia. Nilai etika diperuntukkan pada
manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak
mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau
buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakan ia mencuri, mencuri itu
nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah.
Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak
dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati,
tidak mengunci pintu.
b. Nilai estetika
Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan
kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan
seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan
kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan
dengan keindahan. Syarat nilai estetika terbatas pada lingkungannya,
disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut
supaya yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai
estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga
kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai
ruhani. Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan
apakah ia baik atau buruk.

14
Nilai estetika tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat
kepada estetika, dan dapat merusak. Dari beberapa penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada
manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya
sesuatu mempunyai nilai yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan
yaitu al-Qur’an dan hadis.5
      Manfaat Aksiologi
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan
kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi
ialah:
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan
kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan
penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak
mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat
dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup
yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,
kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

5 Bahrum, ‘Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi’, Sulesana, 8.2 (2013), 35–45 (p. 42).

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan telah menjadi bagian penting bagi kehidupan social
masyarakat. Ilmu pengetahuan dapat menjadi tolok ukur untuk melihat maju
atau mundurnya suatu bangsa. Suatu bangsa yang memiliki tingkat ilmu
pengetahuan yang sempurna maka semakin modern juga kehidupan
masyarakatnya. Sebaliknya, jika ilmu pengetahuannya rendah maka kualitas
masyarakat di suatu bangsanya juga rendah. Hal tersebut yang menjadi ilmu
pengetahuan sangat penting dan berpengaruh di suatu bangsa dan menjadikan
masyarakatnya bersungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia menjadikan para
filosof berupaya membangun pola pikir yang logis dan sistematis terkait
dengan kajian suatu ilmu pengetahuan. Kajian tersebut kemudian mendorong
lahirnya filsafat ilmu yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas
ilmu itu sendiri. Dengan demikian, lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan
tanpa terkecuali dalam bidang ilmu sosial dengan berbagai cabang ilmu di
dalamnya.
Pada dasarnya pada ahli filsafat membagi studi filsafat ilmu
pengetahuan menjadi 3 (tiga) aspek yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Dalam pembahasannya ontologi fokus pada hakikat dari suatu ilmu
pengetahuan. Ontologi mencoba membuktikan dan menelaah bahwa suatu ilmu
pengetahuan tersebut benar dapat dibuktikan kebenarannya. Selanjutnya
epistemologi dalam pembahasannya fokus pada pentingnya cara atau
metodologi ilmu pengetahuan tersebut. Jadi ketika ilmu pengetahuan disoroti
melalui epistemologi maka pembahasannya terarah pada bagaimana sumber
yang dipakai oleh para ilmuwan di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan metodenya seperti apa. Kemudian aksiologi, dimana pembahasan aksiologi

16
fokus pada manfaat atau nilai guna dari ilmu pengetahuan tersebut. Pada
intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu
pengetahuan dikembangkan. Dari paparan tersebut, sederhananya bahwa
ontologi berbicara tentang eksistensinya, epistemologi berbicara tentang
perkembangannya, dan aksiologi berbicara tentang nilainya.

B. SARAN
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk
mempelajari filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan
cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal,
yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat
relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu
menjadi perekat antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya
satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA
Bahrum, ‘Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi’, Sulesana, 8.2 (2013), 35–45
Moh. Hifni, ‘Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi Dalam Pendidikan Islam’,
ResearchGate, November, 2018
<https://www.researchgate.net/publication/328981574>
Rahmadani, Elfira, Dian Armanto, Ely Syafitri, and Reza Umami, ‘Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Karakter’, Journal of Science and
Social Research, 4.3 (2021), 307–11 <https://doi.org/10.54314/jssr.v4i3.680>
Random Dasuki, Mohammad, ‘Tiga Aspek Utama Dalam Kajian Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi’, Proceedings, 1.2 (2019), 81–85
Rokhmah, Dewi, ‘Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, Dan
Aksiologi’, CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 7.2 (2021), 172–86
<https://ejurnal.staiha.ac.id/index.php/cendekia/article/view/124>

17

Anda mungkin juga menyukai