Anda di halaman 1dari 18

Makalah Kelompok IV

DIMENSI ILMU
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen : Dr. Syarifuddin, M. Ag.

Disusun Oleh

Ayu Hayati
NIM. 1602130073
Ikhwanuril Muslimah
NIM. 1602130066
Iis Sholikhah
NIM. 1602130068

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2017 M / 1438 H
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk social dan menugaskannya untuk
menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan damai.
Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Dimensi Ilmu Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan,
maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya
dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami
ucapkan terimakasih.

WassalamualaikumWr.Wb.

Palangka Raya, Maret 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
D. Metode Penulisan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3
A. Dimensi Ontologi dalam Kajian Filsafat Ilmu ................................................... 3
B. Dimensi Epistemologi dalam Kajian Filsafat Ilmu ............................................ 6
C. Dimensi Aksiologis dalam Kajian Filsafat Ilmu ................................................ 9
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 13
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada
perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya.
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia
untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang
terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun
aksiologi.
Dimensi filsafat ilmu itu sendiri mencakup tiga hal, yang pertama dimensi
ontologi, yang kedua dimensi epistemologis, dan yang ketiga dimensi aksiologi.
Landasan ontologi dari ilmu itu sendiri adalah anaisis dari objek materi, yang
terkait dengan hal atau benda empiris. Landasan epistemologi ilmu adalah analisis
tentang proses tersusunnya ilmu atau metode ilmiah. Landasan axiologi ilmu
adalah analisisis tentang penerapan hasil temuan illmu (ilmu pengetahuan).
Pemahaman terhadap ketiga dimensi tersebut sangat penting karena merupakan
pokok pemahaman dari kerangka pemikiran filsafat.
Melihat pentingnya pemahaman terhadap ketiga dimensi tersebut, maka dari
itu penulis merasa tertarik untuk menjabarkan materi ini lebih rinci yang dimuat
dalam pembahasan pada makalah ini yang disusun secara sistematis.

1
2

B. Rumusan Masalah
Memperlihatkan latar belakang di atas, agar pembahasan makalah ini terarah,
penulis perlu mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana dimensi ontologi dalam kajian filsafat ilmu?
2. Bagaimana dimensi epistemologi dalam kajian filsafat ilmu?
3. Bagaimana dimensi aksiologis dalam kajian filsafat ilmu?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjawab dari rumusan
masalah yang tertera di atas, lebih rincinya antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami dimensi ontologi dalam kajian filsafat
ilmu.
2. Untuk mengetahui dan memahami dimensi epistemologi dalam kajian filsafat
ilmu.
3. Untuk mengetahui dan memahami dimensi aksiologis dalam kajian filsafat
ilmu.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah perpustakaan
sebagai bahan referensi, metode pencarian melalui internet dan kemudian penulis
mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dimensi Ontologi dalam Kajian Filsafat Ilmu


Menurut bahasa, ontologi adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu, ta onta
yang berarti yang berada, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah
ilmu tentang yang ada.1 Sedangkan menurut istilah ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani , kongkrit, maupun rohani (abstrak). Ontologi adalah
teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak
berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.2
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Geclenius pada tahun
1636 M. untuk memahami teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.
Dalam perkembangannya Chiristian Wolff (1679-1754) membagi metafisika
menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum
dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika
umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan
metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.3
Ontology merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis adalah
Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedakan antara penampakkan dan kenyataan. Dari pendekatan ontologi
dalam filsafat munculah beberapa paham yaitu, (1) paham monoisme yang
terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, (2) paham dualisme, dan (3)

1
A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2013, h. 90.
2
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012, h. 134.
3
Ibid., h. 134-135.

3
4

pluralism 4) paham nihilisme dan 5) paham agnotisisme dengan berbagai


nuansanya, merupakan paham ontologis.4
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat
dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui pancaindra
manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah
manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada dalam batasan pra
pengalaman (seperti penciptaan Tuhan) dan pasca pengalaman (seperti surga dan
neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.5
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut.
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan
itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai
sumber yang asal, baik yang asal berupa materi maupun rohani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan
perkembangan yang lainnya. 6
Paham ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran materialisme dan aliran
idealisme. Aliran materialisme atau disebut juga naturalisme menganggap
bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Menurutnya bahwa
zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan
aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita,
sedang spiritualisme berarti serba ruh, idealisme diambil dari kata idea yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam ini semua berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang

4
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011,
h. 142.
5
Ibid., h. 143.
6
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 135.
5

tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat hanyalah suatu jenis
dari penjelmaan rohani.7
2. Dualisme
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan
ruh, jasa dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari
benda. Sama-sama hakikat kedua macam hakikat itu masing-masing bebas
dan berdiri sendiri. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam
ini. Contoh, yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
adalah dalam diri manusia.8
Demikianlah materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat
terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi.
Tiap benda yang dapat diamati disusun dari bentuk dan materi.
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of
philoshophy and religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas.9 Tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
4. Nihilisme
Paham ini menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif positif.

7
A. Susanto, Filsafat Ilmu...., h. 90.
8
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 142.
9
Ibid., h.143-144.
6

Dalam pandangan nihilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak


dan berkreativitas.10
5. Agnotisisme
Aliran agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin
mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Sebab kemampuan
manusia manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu
yang ada, baik oleh indranya maupun oleh pikirannya.11 Aliran ini adalah
paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia
mengetahui hakikat benda baik materi maupun rohani. Aliran ini mirip
dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengenai hakikat. 12

B. Dimensi Epistemologi dalam Kajian Filsafat Ilmu


Epistemologi merupakan cabang imu filsafat yang menyelidiki asal, sifat,
metode, dan batasan pengetahuan manusia. Epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge) berasal dari kata Yunani episteme, yang
berarti pengetahuan, pengetahuan yang benar, pengetahuan ilmiah, dan logos
yang berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya pengetahuan.
Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah Apakah ada itu? sedangkan
dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah Apa yang dapat saya
ketahui?.13
Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemologi berusaha untuk
mencari jawaban atas pertanyaan. Akan tetapi secara spesifik epistemologi
berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks seperti hubungan antara
pengetahuan dengan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui

10
A. Susanto, Filsafat Ilmu...., h. 98.
11
Ibid.
12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 148.
13
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari, Filsafat Ilmu..., h. 142.
7

panca indra, status ontologis atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-
objek yang ditunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata, dan analisis antara
tindakan mengetahui itu sendiri. Jadi, epistemologi merupakan cabang atau
bagian dari filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan.14
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas
tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin
dipikirkan.15 Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti
(dipikirkannya). Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah pendidikan. Jika
yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentunya hukum dan seterusnya. Inilah
objek filsafat. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sains.16
Secara sistematis, Harold Titus menjelaskan tiga persoalan pokok dalam
bidang epistemologi, yaitu sebagai berikut.
1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang
benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan
yang benar dari yang salah? 17
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan

14
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011, h. 35.
15
Anonim,https://www.academia.edu/23499540/DIMENSI_KAJIAN_FILSAFAT_ILMU,
diakses tanggal 3 April 2017, Pada pukul. 10.00 WIB.
16
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, h. 8.
17
A. Susanto, Filsafat Ilmu...., h. 103.
8

menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai


dengan metode induktif, suatu inferensi bias disebut induktif bila bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan
dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.18
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga
akan mengembang. Bertolak dari teori ini akan tahu bahwa logam lain yang
kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui
bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut
sintetik.19
2. Metode Deduktif
Metode deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empirik diolah lebih lnjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal
yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik oleh
teori tersebut.20
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini
berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
mengesampingkan segala uraian di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena
itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif adalah segala
yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.

18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 152.
19
A. Susanto, Filsafat Ilmu...., h. 104.
20
Ibid.
9

4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia
untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan
berbeda-beda, harusnya dikembangkan satu kemampuan akala yang disebut
dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh
dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan Al-Ghazali.
5. Metode Dialeksis
Dalam filsafat, dialekta mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun
Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis
sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan.21 Dalam kehidupan sehari-hari dialekta berarti kecakapan untuk
melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk
pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti
seperti percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.22
Jadi, Epistemologi atau teori pengetahuan ini membahas secara
mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita memperoleh
pengetahuan. Proses tertentu ini dikenal dengan metode ilmiah, yang
merupakan paduan dari berpikir sebelumnya yaitu rasionalisme dan
empirisme. Kebenaran ilmu adalah tidak absolut, oleh karena itu hasil
pengetahuan yang diperoleh secara rasionalisme dan empirisme selalu diuji
kebenaran sesuai dengan berjalannya waktu.23

C. Dimensi Aksiologis dalam Kajian Filsafat Ilmu


Aksiologi berasal dari kata axio yakni dari bahasa yunani yang berrti nilai dan
logos yang berarti teori. Dengan demikian, maka aksiologi adalah teori tentang

21
Ibid., h. 105.
22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 156.
23
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2013, h. 50.
10

nilai. Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga
bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika.
Kedua, estehic expression, yaitu ekspresi keindahan. ketiga, sosio-politica life,
yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.24
Aksiologi yang dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya
melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau
yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada
jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value bound. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu
maupun dalam ilmu, maka muncullah dua penilaian yang sering digunakan yaitu
etika dan estetika.25 Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya baru diperkenalkan
oleh Paul Lapie dalam bukunya, Grundrisder Axiologie.
Ilmu dikembangkan oleh ilmuwan untuk mencapai kebenaran atau
memperoleh pengetahuan. Ilmu dapat memberikan pemahaman kepada manusia
mengenai alam semestanya, dunia sekelilingnya (masyarakat) dan dirinya
sendirinya. Ilmu adalah netral, tidak mengenal sifat baik dan buruk. Manusia yang
menjadi penentu untuk apa ilmu digunakan.26
Aksiologi disamakan dengan Value and Valuation yang memiki tiga bentuk,
yaitu: 1) Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. 2) Nilai sebagai kata benda
konkret. 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai dan dinilai.
Jadi terlihat jelas, bahwa pembahasan utama dalam aksiologi adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

24
Ibid., h. 163.
25
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari, Filsafat Ilmu..., h. 156.
26
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, h. 51.
11

1. Etika
Istilah etika berasal dari yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan
dengan moral.27 Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis
dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada
prilaku,norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah
menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates dan para kaum shopis.
Disitu dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan
sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz
Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-
pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-
norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika
adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggung jawabkan apa
yang ia lakukan.28
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung
jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun
terhadap Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika ada
empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme,
eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral
yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.
Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan
adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan. Selanjutnya

27
Latif Mukhtar, Orientasi Kearah Pemahaman filsafat, Jakarta: Kencana, 2014, h. 229.
28
Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h. 14.
12

utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan


kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah
ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya
deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel
Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau
dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik
oleh kehendak manusia.29
2. Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang
nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala
sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam
satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu
objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik
melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek,
melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya
kita bngun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara
umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri
tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini
orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya
memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan.30

29
Ibid., h .16-17.
30
Praja Juhaya S, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Bandung: PT Yayasan Piara , 1997, h. 51.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan:
1. Ontologi adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu, ta onta yang berarti yang
berada, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang
ada. Sedangkan secara istilah ontologi diartikan ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani , kongkrit, maupun rohani (abstrak). Ontologi adalah teori/ilmu
tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada
alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata. Ontologi ilmu
membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia
secara rasional dan yang bisa diamati melalui pancaindra manusia. Adapun
aliran dalam metafisika ontologi antara lain: Monoisme, dualisme, pluralisme,
nikhilisme, dan agnotisisme.
2. Epistemologi disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) berasal dari
kata Yunani episteme, yang berarti pengetahuan, pengetahuan yang benar,
pengetahuan ilmiah, dan logos yang berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya pengetahuan. Dalam epistemologi pertanyaan
pokoknya adalah Apa yang dapat saya ketahui?. Secara umum epistemologi
berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-
lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya
adalah: metode induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialeksis.
3. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dan dalam perkembangannya
melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai
atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya

13
14

ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih
dikenal sebagai value bound. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam
filsafat ilmu maupun dalam ilmu, maka muncullah dua penilaian yang sering
digunakan yaitu etika dan estetika.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Abidin, Zainal, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2011.
Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi Listyasari, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta:
Kencana, 2011.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Juhaya S., Praha, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Bandung: PT Yayasan Piara,
1997.
Latif Mukhtar, Latif, Orientasi kearah Pemahaman Filsafat, Jakarta: Kencana,
2014.
Supriyanto, Stefanus, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2013.
Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Susanto, A., Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2013.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
B. Internet
Anonim (Tanpa Nama), Dimensi Kajian Filsafat Ilmu, https://www.acade-
mia.edu/23499540/DIMENSI_KAJIAN_FILSAFAT_ILMU, diakses
pada tanggal 3 April 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai