Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

INTERRELASI ISLAM DAN ILMU

Disusun Oleh :

KELOMPOK XI

Taufik Hidayat H

Muhammad Akbar Hadi

Prodi :

HUKUM KELUARGA ISLAM

STAIN MAJENE
TAHUN AJARAN
2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu

Puji syukur kelompok XI ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya yang berjudul “INTERRELASI ISLAM DAN ILMU”. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua tentang Prespektif Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu,
Kritik Islam terhadap Ilmu Modern, dan Al qur’an & Filsafatnya mengenai Ilmu. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir.

Wallahu Muafiq Ila Aqwamittoriq


Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

I. PENDAHULUAN .....................................................................................................

II. PEMBAHASAN ........................................................................................................

A. Prespektif Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu ................................................

1. Konsep Pengetahuan .......................................................................................


2. Klasifikasi Pengetahuan..................................................................................
3. Akar-akar Pengetahuan ...................................................................................

B. Kritik Islam terhadap Ilmu Modern ......................................................................

C. Al qur’an dan Filsafatnya mengenai Ilmu ............................................................

III. PENUTUP ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh
kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari sebuah kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah
ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah
konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu
menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka
memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat
dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal
ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah
swt telah kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak
punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi
yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata
berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab”
terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.

Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan
demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia
dan bukan sebaliknya.

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler.
Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu
dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu
–ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu
kealaman dan begitu pula sebaliknya.

Atas dasar hal di atas, maka diperlukan suatu formula yang dapat menjadi jembatan idealisme
intelektual Islam pada abad pertengahan dengan segala keagungan ajaran dan keilmuwannya dan
kenyataan bahwa saat ini Barat-lah yang telah memiliki dominasi sains modern yang mapan dengan
segala dampak yang ditimbulkan. Konsep, klasifikasi dan akar-akar pengetahuan pada periode
pertengahan, kritik Islam terhadap ilmu Modern; Al qur’an dan Filsafatnya mengenai ilmu serta model
interrelasi merupakan sebuah tawaran yang mencoba dicari formulasinya dalam tulisan ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prespektif Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu

Sejarah perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: priode klasik (650 -
1250 M), priode pertengahan (1250 – 1800 M) dan priode modern (1800 – sekarang). Namun, dalam
pandangan Mehdi Nakotseen, abad pertengahan adalah antara 750 – 1350 M. pada abad ini, spirit
skolatikisme muslim yakni berupaya menyelaraskan akal dengan agama dalam pola pendidikan,
pengetahuan skolastik, logika dan metode yang dilakukan untuk mempertemukan pengetahuan sekuler
dan dogma religious. Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan Ilmu yang begitu
banyak dan varian dalam waktu singkat yang kemudian menjadi steril sedemikian cepat dapat
diketahui melalui sifat dasar skolatikisme Islam. Bersifat kreatif dan dinamus di satu sisi tetapi juga
reaksioner dan finalistic di sisi lain.

1) Konsep Pengetahuan

Dalam membahas konsep ilmu pengetahuan dalam ranah filsafat, epistemology merupakan
pembahasan yang secara khusus membahas tentang ilmu pengetahuan. Harun Nasution menjelaskan
bahwa pengertian epistemologi berakar dari episteme, yang bermakna pengetahuan. Epistemology
diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperolehnya.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia
merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan
sehari-hari.

Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu
sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah
datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai
sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya
jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau obyek ilmu. Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal.

Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada
kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berbeda. Dalam
menjelaskan definisi sains, Mulyadi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World
Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan
yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji. Definisi ini dari hari ke
hari semakin mengalami pembatasan yang semakins sempit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala
obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian
fisik empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari
epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung
bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik
saja. Di sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.

Menurut al-Ghazali, terdapat empat kelompok manusia pencari kebenaran. Masing-masing


kelompok mempunyai ciri-ciri khas sendiri. Pertama, kelompok mutakallimun(ahli teologi), yaitu
mereka yang mengakui dirinya sebagai eksponen pemikir intelektual (ra’y) dan nazar. Menurut
pandangan ini, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui
penyelidikan. Kedua, kelompok bathiniyah, terdiri dari para pengajar yangmempunyai
wewenang (ashab al ta’lim) menyatakan bahwa hanya merekalah yang mendapat kebenaran yang
datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna. Ketiga, para filosof yang menyatakan diri
sebagai kelompok logikus (mantiq) dan burhan, dan orang yang dapat menjangkau kebenaran melalui
logika tersebut. Dan keempat adalah kelompok sufi yang menyatakan bahwa hanya merekalah yang
dapat mencapai tingkat kebenaran terhadap Allah melalui penglihatan (musyahadah) dalam pengertian
secara bathiniah dan pembukaan tabir (mukasyafah)dan dengan kedua hal itulah hakikat pengetahuan
dapat diraih.

Al Kirmani dalam Hunzai mendefinikan knowledge dan ‘ilm sebagai sesuatu yang
rumit. ‘Ilm dengan “ to find out things according to their term” (untuk menemukan sesuatu sesuai
dengan bentuknya (term)”. Ia mengkategorikan eksistensi pengetahuan kedalam fisik dan non fisik.
Yang dhohir dengan yang batin. Semua ilmu yang berkembang dalam Islam (secara umum ilmu-ilmu
alam dan kosmologi yang berkembang pada zaman pertengahan) menunjukkan kepada suatu kesatuan
yang saling berhubungan. Karena itu, di dalam memandang kesatuan alam atau kosmos, seseorang
harus mengakui pula asas ketuhanan.

2) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana dikemukakan Nash, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan
dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal
pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu, tetapi hierarki itu
pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang Hakikat Yang Maha Tunggal yang merupakan
substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim
berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke
dalam hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa para ulama, pemikir,
filosof, dan ilmuwan Muslim sejak dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-
Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu.

Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli bukan bertujuan untuk medikotomi ilmu yang pada
perkembangannya lebih banyak menimbulkan mudhorot daripada kemaslahatan dalam kehidupan
manuasi itu sendiri. Klasifikasi ilmu sendiri dimaksud untuk lebih mempermudah manusia dalam
mempelajari ilmu agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak
menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang membawa kemanfaatan.

Dasar epistimologis yang digunakan cukup kuat. Selama ini, telah muncul pandangan dan
keyakinan bahwa Islam menuntun agar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dilakukan secara
utuh, yaitu bersumberkan pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan sekaligus ayat-
ayat kauniyah (hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis). Kedua sumber itu harus dipandang
sama pentingnya. Melalui al-Qur’an, umat manusia disuruh untuk memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan, dan bagaimana gunung ditegakkan. Perintah seperti
ini adalah sangat erat terkait dengan pengembangan sains yang bermanfaat untuk membangun sebuah
peradaban.

Berikut klasifikasi ilmu pengetahuan oleh beberapa ilmuwan Muslim:

a) Al Farabi

b) Ibnu Khaldun.

c) Imam Al Ghazali

d) Quthb Al Din Al Syirazi


3) Akar-Akar Ilmu Pengetahuan (Science)

Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat
metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak
terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa
argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang diperoleh dari
pendengaran, penglihatan dan hati.

Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum
adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan
alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung
bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.

Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada


manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan
memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-
kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material
lewat penemuan-penemuan ilmiahnya

Al Qur’an sebagai “kitab tertutup” dan alam semesta sebagai “kitab terbuka” saling memperkuat
kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi tentang material dan
struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al
Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam adalah
ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga
bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif
alias Pencipta.

Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-
petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu
kepada Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah yang kita
lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita mendapat model atau
contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan
cara-cara yang lain.

Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa “Sunnah


merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan
sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu
pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat
manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun melengkapi
pengetahuan eksperimental mereka”

Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah
SWT. Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam
Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah
mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”. Tauhid memiliki
implikasi tidak hanya sebagai kerangka keimanan (frame of faith) tetapi juga sebagai kerangka
pemikiran (frame of tought) dalam menenukan hakikat kebenaran yang ada di semesta ini. Tauhid
sebagai kerangka pemikiran merupakan dimensi filosofis yang sangat relefan dalam upaya memahami
hakikat ilmu pengetahuan Ia merupakan akar tradisi para intelektual muslim pada masa keemasannya.

Kehadiran tauhid ditengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi mengandung makna bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner
atau multidisipliner, diamalkan secara etis dan tidak bebas nilai. Tauhid menghendaki umat Islam
melihat segala sesuatunya melampui yang bersifat fisik, sebab pada realitasnya, yang fisik tersebut
masih terdapat hal lain yang justru dapat melengkapi pemahaman mengenai realitas apa adanya (das
ding an sich).

B. Kritik Islam terhadap Ilmu Modern

Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan


dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya,
maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam
pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual
menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa,
sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal
timbulnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan
kehidupan manusia dewasa ini.

Pada era millennium ketiga ini, perkembangan sains berlangsung begitu sangat mengesankan dan
bahkan sangat spektakuler di hampir semua bidang kajian. Sebuah kemajuan yang pada abad
sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan. Namun kemajuan diberbagai bidang sains itu
kebanyakan masih dipelopori oleh para ilmuan dan cendikiawan Barat, dan karenanya menjadikan
sains berada dalam kerangka filosofis pemikiran mereka yang sekuler, pragmatis, positivistik dan
materialistik. Paradigma pemikiran ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep, interpretasi,
makna-makna, dan idiom-idiom ilmu pengetahuan. Thomas Khun dalam The Structure of Scientific
Revolution mengungkapkan bahwa dalam pembentukan suatu teori selalu terdapat factor-faktor lain
seperti citarasa estetis, nilai moral, dan ikatan-ikatan sosial tertentu. Dimensi subyektif ini memang
tidak bersifat eksplisit sehingga tidak dapat diukur secara kuantitatif dan empiris, tetapi secara implisit
hal tersebut sangat menentukan dalam proses penemuan sebuah teori.

Di satu sisi, perkembangan sains yang sedemikian hebat tersebut membawa berbagai kemudahan dan
kenyamanan dalam kehidupan manusia. Hal-hal yang pada masa sebelumnya hanya merupakan
hayalan belaka kemudian pada zaman sekarang diwujudkan keberadaannya oleh perkembangan sains
tersebut. Manusia benar-benar dimanjakan oleh kemajuan sains dan anak keturunannya, yakni
teknologi.

Tapi di sisi yang lain, perkembangan tersebut membawa dampak negatif yang sangat
mengkhawatirkan, terutama bila bila dipandang dari perspektif nilai-nilai etis agama. Dari segi
hubungan antar manusia, sains telah mengantarkan manusia pada kehidupan yang sedemikian
individualistis bahkan apatis terhadap manusia yang lain. Praktek kanibalisasi model hewani sudah
menjadi sarapan pagi manusia dengan sains sebagai pendukung utamanya. Sains telah menyebabkan
patologi social berupa alienasi, anomali, schizophrenia, split of personality, kenestapaan dan menangis
dalam bingkai tawa.

Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia,
tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakuran baru bagi kehidupan
manusia. Ibarat Raja Midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya berubah jadi emas, ternyata
ketika keinginannya dikabulkan, dia tidak semakin senang, tetapi semakin gelisah bahkan gila. Sebab
tidak saja rumah dan isi rumahnya yang berubah jadi emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun
menjadi emas sehingga sang Raja meratapi nasibnya yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang
mendampinginya. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semula untuk
memudahkan urusan manusia, namun ketika urusan itu semakin mudah malah memunculkan rasa
kesepian dan keterasingan yang baru. Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan
ketidakbermaknaan hidup.

Dari segi hubungan manusia dengan alam tidak kalah buruknya dengan dua segi hubungan di
atas. Alam telah menjadi komoditas utama untuk dieksplorasi dan direduksi sedemikian rupa semata-
semata untuk memuaskan hasrat dan keinginan manusia. Alam hanya diperlakukan sebagai sebuah
komoditi yang seutuhnya menjadi hak manusia untuk diapakan dan dibagaimanakan saja tanpa
memperhatikan ekosistem, keseimbangan hayati dan keanekaragamannya serta keberlangsungannya.
Bencana-bencana dahsyat yang disinyalir disebabkan oleh rusaknya keseimbangan alam tetap tidak
mampu mengerem apalagi menghentikan nafsu manusia untuk merusak alam demi sains dan
teknologi.

Dari segi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia telah tercerabut dari akar-akar
spiritulitasnya yang fitrah. Agama telah menjadi sampah karena Tuhan telah mati di hati para manusia
pemuja sains tersebut. Oleh karenanya, maka agama dan Tuhan sama sekali tidak menjadi
pertimbangan utama dalam menjalani kehidupan ini sehingga tidak heran jika manusia-manusia
tersebut mengalami ketidakbermaknaan dalam kehidupannya sebagai akibat dari pengingkaran mereka
akan kebutuhannya pada agama dan Tuhan. Sains pada segi tertentu telah menghantarkan manusia
pada kehampaan spiritual. Sains telah mencerabut diri dari maksud utama kelahirannya sendiri, yakni
memanusiakan manusia, oleh karena filsafat sekuler yang membidani lahirnya sains tersebut telah
kontradiktif dengan fitrah manusia. Bahkan, pada taraf tertentu, sains harus mampu menafikan peran
agama dan sama sekali tidak menyertakan Tuhan agar agar sains bisa semakin maju.

Dalil tersebut bisa dilacak pada pendapat Auguste Comte ketika mengkategorikan sejarah
perkembangan intelektual manusia dengan membaginya pada tiga tahapan. Pertama, tahap teologis,
yaitu tahapan dimana manusia selalu mencari dan menemukan sebab dan rujuan akhir dari segala
sesuatu yang ada. Tahap awal perkembanga intelektual masyarakat ini disebut juga dengan tahap
fiktif, karena segala fenomena yang menarik perhatian manusia di alam semesta selalu dikaitkan
dengan atau diletakkan dalam konteksnya dengan sesuatu yang mutlak. Kedua, tahap metafisik, yakni
suatu tahap peralihan menuju perkembangan jiwa yang paling akhir karena manusia mulai berubah
cara berpikirnya dalam usahanya mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan fenomena alam. Pada tahap metafisik ini, meskipun jiwa manusia masih
menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukannya pada tahap teologi, namun di
sini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati dan beralih pada kekuatan
abstraksinya. Ketiga, tahap positif, merupakan tahap akhir dari perkembangan jiwa di mana manusia
tidak lagi berkepentingan pada hal-hal yang berkaitan dengan sebab pertama dan tujuan akhir.
Manusia pada tahap ini merasa lebih dekat dan memerlukan penjelasan tentang fenomena alam secara
jelas, pasti, dan bermanfaat melalui observasi, dan pada tahap ketiga inilah perkembangan sains
berlangsung.

Dalam pandangan Islam, kekeliruan paling mendasar dari sains modern dari perspektif
filosofis, dapat dipandang paling tidak dari tiga aspek, yakni ontologi, epistemology dan
aksiologi. Kekeliruan dalam aspek ontologi, terkait dengan yang ada (being) sebagai obyek kajian
dalam sains. Dalam konteks ini, sains modern hanya membatasi diri pada obyek-obyek empiris, fisik,
materi, dan eksternal. Dengan kata lain, sains modern hanya akan berurusan dengan obyek-obyek yang
teramati oleh indra. Hal-hal abstrak yang di luar jangkauan panca indera dan pengalaman manusia
dianggap sebagai bukan urusan sains. Dengan demikian, berdasarkan perspektif positivisme tersebut,
sifat utama sains modern adalah berorientasi pada fenomena empiris. Sedangkan hal-hal yang tidak
dapat dibuktikan secara empiris, meskipun sebenarnya ada seperti Tuhan, ruh atau jiwa, malaikat, dan
seterusnya dikeluarkan dari wilayah kajian sains. Sebagai konsekwensinya, maka wahyu, moral,
ruhani, dan spiritual yang tidak dapat diukur dan dibuktikan secara empiris-kuantitatif menjadi tidak
berarti dan dianggap lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya segala ilmu yang bersumber agama
mengenai masalah-masalah moral, kehidupan setelah mati, surga, neraka, dan seterusnya yang tidak
bisa diobservasi, diukur, dan dibuktikan dikategorikan sebagai tahayul, rendahan, tidak bermuatan
ilmu, serta tidak ada nilainya sama sekali. Inilah sebagian indikasi sedang berlangsungnya proses
sekularisasi terhadap ilmu pengetahuan yang telah berlangsung sejak lama di Eropa.

Ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas paradigm filsafar Barat yang sekuler tersebut
jelas tidak memberikan tempat bagi pemahaman tauhid. Filsafat materialism misalnya yang
menganggap materi merupakan satu-satunya kejadian di alam dan merupakan tujuan dari gerak-gerak
alam semesta sangat jelas telah menafikan dunia spiritual, rohani, dan persoalan supranatural yang
mendasari segala keberadaan benda-benda material di alam jagad. Pemikiran seperti ini sama artinya
dengan menempatkan alam semesta sebagai realitas yang independen dari pencipta. Singkat kata,
berdasarkan filsafat ini maka alam semesta tidak dipandang sebagai ciptaan Tuhan. Alam semesta
dianggap terjadi begitu saja secara kebetulan—meminjam istilah dalam teori Darwin: sebagai hasil
dari sebuah proses evolusi. Dengan demikian sains modern telah meniadakan pemaham tauhid tentang
asal usul dan tujuan alam semesta ini sebagai berasal dan akan kembali pada Tuhan. Disinilah filsafat
Barat sebagai landasan sains modern yang memiliki watak materialism tersebut dapat
mendiskreditkan sendi-sendi keimanan masyarakat muslim.

Kekeliruan mendasar lain dari filsafat materialisme dan positivisme dapat pula dipandang dari
sudut epistemologi, yaitu bagaimana seseorang dapat memperoleh sesuatu pengetahuan yang benar.
Secara epistemologis sains Barat hanya membenarkan pengetahuan yang diperoleh melalui metode
ilmiah, dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara matematis, verbal, empirisnya.
Mereka memandang metode ilmiah dalam pengertiannya yang positivistic itu, sebagai satu-satunya
jalan untuk mengetahui dan memperoleh pengetahuan. Berdasarkan anggapan itu, sains modern
dengan demikian menolah secara tegas metode-metode lain sebagai cara yang abash untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan Islam merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk
mencapai ilmu pengetahuan seperti observasi, eksperimen, intuisi, dan pemikiran rasional. Sumber
sains Barat yang berlandaskan positivism dan materialism hanya terpaku pada fenomena alam atau
realitas empiris dan menolah wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Islam di lain pihak,
menyatakan bahwa disamping fenomena alam, wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) yang sahih juga
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang abash.

Kesalahan dan kerancuan yang lebih mendasar dari filsafat positivistik ini dapat ditinjau dari
sudut pandang aksiologi. Persoalan aksiologi di sini terkait dengan nilai-nilai yang melandasi dan
menentukan tujuan dirumuskan dan digunakannya ilmu pengetahuan. Sains Barat mengklaim bahwa
ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, sehingga kaum akademisi Barat mempertahankan ide “sains
untuk sains”. Mereka menolak dan mengabaikan nilai-nilai moral dan menganggapnya sebagai relatif,
subyektif dan personal. Mereka juga menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Akan tetapi,
tatkala Barat menolak nilai-nilai moral mereka sesungguhnya menggantinya dengan nilai-nilai lain,
yakni yang sarat dengan muatan nilai-nilai positivistik, pragmatis, utilitarian, dan materialistis, oleh
karenanya tidak bebas nilai. Jadi, sesungguhnya tujuan dari sains Barat adalah untuk memuaskan
kebutuhan materi yang bersifat duniawi dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan rohani, moral,
dan spiritual. Sains tanpa nilai-nilai moral benar-benar akan membawa ke jurang kehancuran yang
massif. Sedangkan tujuan sains menurut pandangan Islam, disamping untuk memperoleh manfaat bagi
kebahagiaan hidup di dunia, juga untuk memenuhi kebutuhan rohani, moral, dan spiritual demi
kebahagiaan akhirat yang justru menjadi tujuan utama. Dengan ungkapan lain, tujuan akhir untuk
mencari ilmu pengetahuan adalah mengetahui dan mengabdi kepada Allah dalam rangka mencari
keridhaan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan jalan ini, maka kebutuhan fisik yang bersifat
materi dan kebutuhan rohani yang bersifat spiritual dapat terpenuhi sehingga manusia mampu
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman Pencerahan adalah
sebuah eksperimin yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga umat manusia
menjadi ragu akan pertanyaan apakah mereka menemukan cara-cara yang lain di masa yang akan
datang. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hossein Nasr , karena manusia modern yang memberontak
melawan Allah, telah menciptakan sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek, jadi berbeda dengan
yang kita saksikan di dalam sains Islam pada masa kejayaan klasik, tetapi berdasarkan kekuatan akal
(rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera, sehingga peradaban modern hanya
ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling
esensial dari manusia itu sendiri.

C. Al qur’an dan Filsafatnya mengenai Ilmu

Berusaha memahami konseps ilmu-ilmu ke-Islam-an, pertama-tama harus


dilacak terlebih dahulu pengertian dan hakikat ilmu secara umum. Pengertian dan
hakikat ilmu sejak lama menjadi bahan polemik di kalangan filosof dan ilmuwan.
Bahkan dalam konteks bahasa Indonesia, istilah “ilmu” seringkali dikacaukan dengan
istilah “pengetahuan”. Itulah sebabnya menjadi tidak mudah memberikan definisi
“ilmu”. JuJun Suriasumantri, mengartikan ilmu sebagai pengetahuan yang memiliki tiga
karakteristik, yaitu: rasional, empiris, dan sistematis.

Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Amsal Bachtiar, yang menyatakan bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebena
rannya secra
empiris.[69] Dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan penggunaan kata ilmu serta
karakteristik yang dimilikinya, istilah ilmu merupakan padanan dari bahasa Inggris,
“science”. Ilmu yang berasal dari kata bahasa Arab, ‘ilm ( ‫ )ﻋ–ـﻠ–ﻢ‬adalah sinonim dengan
“science” dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya Mulyadhi Kartanegara menyatakan:

Menurut saya, istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah
science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan
dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara
sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Dengan demikian, ilmu bukan sembarang pengetahuan atau
sekadar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.

Di dalam Ensiklopedi Islam kata ilmu berasal dari bahasa Arab, ilmu yang berarti pengetahuan,
merupakan lawan kata dari jahil ketidaktahuan atau kebodohan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya
terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan
objek pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini
berbeda dengan ’arafa (mengetahui), ‘arif (yang mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan).” Karena
kata ‘ilm lebih mengandung arti kejelasan.

Allah Swt. tidak dinamakan arif, tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan
biasanya Al-Quran menggunakan kata itu-untuk Allah-dalam hal-hal yang diketahui-Nya, walaupun
gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Seperti; ya’lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang
mereka rahasiakan) [Q.S. Al-Baqarah: 77], ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang
berada di dalam rahim) [Q.S. Luqman : 34], ya’lamu ma tahmil kullu untsa (Allah mengetahui apa
yang dikandung oleh setiap betina/perempuan) [Q.S. Al-Ra’d: 8], ya’lamu ma fi anfusikum (Allah
mengetahui apa yang di dalam hatimu) [Q.S. Al-Baqarah: 235], ya’lamu ma fissamawat wa ma fil
ardh (Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi) [Q.S. Al-Hujarat: 16], khainat al-‘ayun wa
ma tukh fiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan di dalam dada) [Q.S. Al-Mu’min:20].
Demikian juga ‘ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.

Ini menunjukkan bahwa makna dasar akar kata ‘ain-lam-mim adalah diambil dari kata ‘alamah, yang
berarti ‘tanda’, ‘simbol’ atau ‘lambang’, yang dengan itu seseorang atau sesuatu dapat dikenal. Juga
berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk atau gejala. Karenanya, ma’lam (jamak ma’alim)
berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya, atau dengan apa yang seseorang
ditunjukkan. Hal yang sama, alam juga berarti rambu jalan sebagai petunjuk

Di dalam al-Mu’jam al-Mufahras li-alfaz Al-Qur’an al-Karim yang dinukil oleh Yusuf al-Qardhawi,
kata ‘ilm (ilmu) baik dalam bentuk definitive (ma’rifah) maupun dalam bentuk indefinitif (nakirah)
terdapat 80 kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti
kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka mengetahui), ya’lamu (ia mengetahui), ‘alim (sangat
tahu) dan sebagainya disebut beratus-ratus kali.Hal ini belum termasuk kata al-‘aql, al-Albab dan an-
Nuha, al-Fiqh, al-Hikmah dan al-Fikr yang mana semuanya memiliki keterkaitan dengan kegiatan
ilmiah.

Selain dalam Al-Qur’an, dalam al-Hadis juga banyak dijumpai tentang diskursus ilmu. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai kitab Hadis yang secara spesifik menampilkan bab tentang ilmu. Misalnya dalam
kitab Hadis al-Jami’ Al-Sahih karya Imam Muhamad Bin Isma’il al-Bukhari -sebagaimana dinukil
oleh al-Qardawi – didapati bab ilmu sesudah hadis-hadis permulaan yang menjelaskan tentang
turunnya wahyu dan iman. Demikian pula dikatakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar dalam kitabnya al-Fath,
hadis–hadis tersebut dengan katagori marfu’ sejumlah 102 hadis. Demikian pula kitab Hadis lainnya
seperti Sahih Muslim, sunan al-Turmudhi, sunan Abi Daud, Al-Nasa‘i dan Ibn Majah terdapat pula
bab ilmu baik yang mengupas secara luas maupun singkat dengan berbagai tipologi faliditasnya yang
sahih, dha’if maupun hasan.

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu,
‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, Delapan bentuk ilmu tersebut di atas
dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan
dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu
sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap
mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat
dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas
lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 :
36). “Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat
“suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan
oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan
intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia
itu melampaui yang konkrit” .

Dalam bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ur.
Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah
satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata ‘ilm dan diambil dari kata ‘alamah, yang berarti
“tanda”, “simbol”, atau ”lambang”, yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Tapi alamah juga
berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan gejala. Karenanya ma’lam (jamak ma’alim)
berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan.
Hal yang sama juga pada kata alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di samping itu, bukan tanpa
tujuan al-Quran menggunakan istilah ayat baik terhadap wahyu, maupun terhadap fenomena alam.
Pengertian ayat (dan juga ilm, alam, dan ’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi
SAW mengutuk orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas menggambarkan
karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat Allah SWT di muka bumi
tanpa mau merenungkan (makna)nya.

Dalam al qur’an kata ilm ternyata disebut sebanyak 105 kali lebih banyak dari penyebutan kata al dien
sebanyak 103 kali, tetapi dengan kata jadianya ia disebut tidak kurang dari 744 kali untuk
menyebutnya secara terinci sebagi
berikut; alima (35), ya’lamu (215), I’lam (31),yu’lam’u (1) ilm (105), alim (18), ma’lum(13), almiin (7
3), ’alam (3), a’lam (49), alima atau ulama’ (163), allam (4), a’lama (12) Yu’limu (16), ulima (3), Mu’
alam (1), ta’lama (2), dari kata jadian itu timbul berbagai pengertian.

Dari sudut bahasa Indonesia Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ilm kata jadian dari ‘alima, ya’lamu,
‘ilman,menjadi ilmun, ma’lumun, alim’un, dalam bahasa arab alimasebagai kata kerja, berarti tahu
atau mengetahui yang berarti juga mengetahui.[81] ‘Alima, ya’lamu, ‘ilman, menjadi ilmun,
ma’lumun, alim’un dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. Kata
al ilmu dikenal dengan ummu sifaat (sifat-sifat) tertingggi oleh karena itu kata al ilmu merupakan
termasuk dalam tujuh sifat penting Allah yang bersifat melingkupi (Komprehensif). Jadi pengertian
yang terdapat dalam kamus bahasa indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-
gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

Berdasarkan ayat pertama kali yang diturunkan dalam Al Qur’an, Ada yang merasa heran mengapa
kata pertama dari ayat yang pertama kali turun tersebut adalah iqra’ atau perintah membaca. Padahal
beliau tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran. Keheranan ini akan sirna jika
disadari arti ‘iqra dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditunjukan kepada pribadi
Rasulullah Saw. semata-mata, tetapi juga kepada umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Relasi
perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Kata iqra’ (‫ )اقرأ‬terambil dari kata kerja qara’a (‫ )قرأ‬yang pada mulanya berarti
“menghimpun”.[84] Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.

Dengan demikian wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat
untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek
perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa Ayat Al-Quran yang pertama turun (surat Al-‘Alaq: 1-5)
adalah ayat-ayat yang mulia lagi penuh berkah. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat pertama yang
dengannya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya sekaligus nikmat yang pertama yang diberikan
kepada mereka. Di dalam ayat-ayat tersebut juga memuat peringatan mengenai permulaan penciptaan
manusia dari segumpal darah. Dan bahwasanya diantara kemurahan Allah Swt. adalah dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah
memuliakannya dengan ilmu.

Hal tersebut tentunya merupakan suatu penghargaan yang sangat mulia bagi ilmu pengetahuan dan
bagi para ilmuwan. Jadi, jelaslah, bagaimana pandangan Al-Quran terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu
merupakan hal yang istimewa yang menjadikan manusia unggul daripada makhluk-makhluk Allah
yang lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi ini. Ini tercermin dari kisah
kejadian manusia pertama yang dijelaskan di dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat [2] 30-33.
Selanjutnya, dalam pandangan Al-Quran-seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama-ilmu itu terdiri dari
dua macam, yaitu; pertama ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, ini disebut ‘ilm ladunni, seperti
diinformasikan antara lain dalam surat al-Kahfi ayat 65:

‫فَ َو َجدَا َع ْبدًا ِم ْن ِعبَا ِدنَا آت َ ْينَاهُ َرحْ َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَدُنَّا ِع ْل ًما‬

Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.

Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, ini disebut ‘ilm kasbi. Ayat-ayat tentang ‘ilm
kasbi ini jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘il ladunni. Pembagian ini disebabkan
dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya
manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran,
antara lain dalam surat Al-Haqqah ayat 38-39:

ِ ‫فَال أ ُ ْق ِس ُم ِب َما تُب‬


ِ ‫) َو َما ال تُب‬٣٨( َ‫ْص ُرون‬
)٣٩( َ‫ْص ُرون‬

Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat.

Dengan demikian, objek ilmu di dalam Islam meliputi materi dan non materi, fenomena dan non
fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.[88] Hal ini
seperti diterangkan di dalam surat Al-Nahl [16]: 8:

َ ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِم‬


َ‫ير ِلت َْر َكبُوهَا َو ِزينَةً َويَ ْخلُ ُق َما ال تَ ْع َل ُمون‬

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

Dari sini jelaslah, bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, karena itu wajar sekali Allah
menegaskan di dalam surat Al-Isra [17] : 85

‫الرو ُح ِم ْن أَ ْم ِر َربِِّي َو َما أُوتِيت ُ ْم ِمنَ ْال ِع ْل ِم إِال قَ ِليال‬ ُّ ‫َويَسْأَلُونَكَ َع ِن‬
ُّ ‫الروحِ قُ ِل‬

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda dengan
konsep sekuler tentang pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid dan monoteistik
yang tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis harus selalu
dikaitkan dengan etika dan spiritualitas.

Tujuan filsafat dan ilmu dalam presepsi al qur’an yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja
filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga
dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu
kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk
mencari kebenaran yang lain lagi.

Dalam filsafat illuminasi, “Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang
beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia
privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi,
pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu, subyek
mengetahui dapat menangkap esensi obyek”
BAB III

PENUTUP

Konsep ilmu pada masa abad pertengahan dan para ilmuwan Muslim diantaranya Al Farabi,
Ibnu Khaldun, Al Ghazali maupun Al Siraziy yang dibawanya pada dasarnya masih belum ada
klasifikasi ilmu disatu sisi dan agama disisi lain. Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli pada masa
ini bukan bertujuan untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu agar manusia
memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak menafikkan ilmu lain sehingga terjadi
keseimbangan dalam dirinya yang membawa kemanfaatan. Dan inilah falsafah yang dikandung al
qur’an terkait dengan ilmu sebagaimana tercermin dalam wahyu pertama surat al ‘Alaq: 1-5.

Berbagai konsep hubungan antara ilmu dan sains yang pada intinya mengericut pada empat tipologi
yakni: konflik, independensi, dialog, dan integrasi merupakan sebuah pilihan yang masing-masing
membawa konsekwensi dalam konseptualnya.

Tipe dialog (interelasi) merupakan upaya konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya tidak
menjadi instrumen dan medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, tetapi
sebaliknya diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kearifan dan kesadaran dinamis
dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam (makrokosmos) dan dalam hubungannya dengan
sesama manusia (mikrokosmos) dan dalam hubungannya dengan yang Ilahy (transcendental). Dengan
demikian, baik agama maupun sains sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan
kemakmuran manusia.
Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, 2002. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

2007. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I; Yogyakarta: Penerbit SUKA Press

al-Attas, Syed Mohd. Naquib .1984, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan)

Al-Ghazali, Imam. t.t.. Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr.)

al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. ter. Hasan Bahri. )Bandung: Rosda
Karya)

2001. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya).

Arief, Armai. 2005. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press

Arifin, Zainul. Model-Model Relasi Agama dan Sains dalam Diakses 15 Desember 2011)

Audah, Ali. 1997. Konkordasi Qur’an, (Bandung: Litera antar Nusa)

Azra, Azyumardi. 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi,(Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara)

Baali, Fuad dan Ali Wardi, 1989. Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdas)

Bagir, Zainal Abidin dkk. 2009. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi.(Bandung: Mizan)

Bakar, Osman .1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu,(Bandung: Mizan)

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Radjawali Press,). Cetakan Kedua.

Barbour, Ian. 2004. Bumi yang Terdesak, (Bandung: Mizan)

Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung,Pustaka Hidayah).

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1997. ‘The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for Education in a Developing
Country” diterjemahkan oleh Munir, Konsep Pengetahua dalam Islam, (Bandung: pustaka Amani)

Anda mungkin juga menyukai