Anda di halaman 1dari 17

PARADIGMA TAUHID DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Matakuliah Pendidikan Kampus Bertauhid

Disusun Oleh:

Adam Erza Ferdiansyah (B.1810680)


Ahmaludin (B.1811024)
Bayu Adetya Kurniawan (B.1810920)
Dihya Alfaqih Aulia Robbani (B.1810181)
Khairul Raffi Yaman (B.1810742)
Muhammad Arif Budiman (B.1810970)
Rafif Alfiansyah (B.1810999)
Sultan Guna Wibawa (B.1810670)

FAKULTAS ILMU PANGAN HALAL


TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu (sains) pada zaman modem sangat dihargai, namun sejumlah penulis memandang
sains sebagai proses dehumanisasi yang mengandung unsur perlakuan tidak layak pada
manusia, masyarakat, juga alam. Banyak yang beranggapan bahwa sains yang selama ini
diyakini bebas nilai hanya merupakan kepura-puraan semata yang berakibat pada kehancuran
lingkungan kita. Sebagian penulis lain berpendapat bahwa sains adalah lembaga yang
diindustrialisasikan yang melahirkan penindasan clan teknologi yang tidak manusiawi. Oleh
karena itu muncul kesadaran (baru) pada ilmuwan bahwa komitmen pada nilai kemanusiaan
hams menjadi inti usaha-usaha sains,' jika tidak ingin menjadi usaha siasia. Nilai harus
dimasukkan dalam kerja sains.
Konsep ilmu pengetahuan yang utuh (komprehensif) clan. integral berdasarkan Islam
cenderung belum ada sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan
hal tersebut. Langkahlangkah yang dimaksud adalah: 1) merekonstruksi · konsep ilmu dengan
berdasarkan paradigma tauhid, 2) merekonstruksi kelembagaan pendidikan berdasarkan
paradigma ilmu clan prinsip universalisme Islam, 3) merestrukturisasi (kesadaran) mental
pribadi masyarakat lewat jalur pendidikan dan pembelajaran, clan 4) membangun peradaban
Islam berlandasan humanisasi, liberasi, dan transendensi Islam.
Rekonstrukturisasi ilmu dalam paradigma tauhid sering disebut dengan kerja
"Islamisasi ilmu" atau lebih tepatnya 'pengkajian ilmu dalam perspektif Islam". Kerja
"Islamisasi Ilmu" ini merupakan "jihad intelektual". Usaha keras mengintegrasikan berbagai
bentuk ilmu dalam suatu perspektif Islam dengan paradigma tauhid. Sekaligus mengkritisi,
mempertanyakan kerangka kerja, serta menolak pemikiran ilmu yang sekularistik-dikotomik.
Integrasi ilmu dalam pangkuan moral agama ini berangkat dari kesadaran bahwa segala
bentuk ilmu berasal dari dan diarahkan untuk Allah Yang Transenden. Secara filosofis,
integrasi ini mempererat relasi konsep fitrah kemanusiaan, wahyu ilahi, dan sunnatul/ah
(hukum Allah yang berlaku pada alam raya), secara terpadu. Implikasi integrasi ilmu ini
berpengaruh pada desain kurikulum yang terpadu, atas · dasar klasifikasi dan hirarki ilmu clan
kesiapan peserta didik dalam menerima ilmu, sesuai perkembangan mentalnya.
Rekonstruksi kelembagaan diharapkan mempermudah usaha rekonstruksi (kesadaran)
mental pribadi dan masyarakat. Melalui lembaga pendidikan yang memiliki program·
Qrurikulum) pembelajaran terpadu, diharapkan dapat menghasilkan manusia kreatif yang
menguasai seni belajar dan haus akan ilmu pengetahuan disertai dengan semangat
intelektualisme untuk berpikir kontekstual, dalam hubungan organik dengan psiko-sosio-
historis dan tantangan masa depan masyarakat lingkungannya.
Dengan konstruksi (kesadaran) manusia diharapkan mereka memiliki integritas
kepribadian. utuh, insan rabbani yang hidupnya dilandasi komitmen iman-tauhid clan semangat
nalar Islam dalam upaya menyelaraskan teori-teori ilmu pengetahuan dengan dalil-dalil Al-
Qur'an clan sunnah Rasulullah · SAW sekaligus memiliki kesungguhan untuk mengamalkan
dan menyebarluaskan ilmu dalam perspektif Islam. Pribadi (manusia seutuhnya) yang cerdas,
kreatif, terampil, mandiri, dan berakhlak karimah, serta mengakar pada nilai-nilai luhur
budaya, menjadi unsur pembentuk peradaban tata dunia baru yang humanis, liberal dan
transenden.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar paradigma secara umum?


2. Bagaimana konsep dasar tauhid?
3. Definisi tauhid sebagai paradigma keilmuwan?
4. Bagaimana relevansi tauhid dengan keilmuwan?
5. Apa saja sumber-sumber ilmu pengetahuan?
6. Definisi tauhid sebagai sumber ilmu pengetahuan yang kokoh?

1.3. Tujuan

1. Mampu menjelaskan konsep dasar paradigma secara umum


2. Mampu menjelaskan konsep dasar tauhid
3. Dapat menjelaskan definisi tauhid sebagai paradigma keilmuwan
4. Mampu menjeleaskan relevansi tauhid dengan keilmuwan
5. Mampu menyebutkan sumber-sumber ilmu pengetahuan
6. Mampu mendefinisikan tauhid sebagai sumber ilmu pengetahuan yang kokoh
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Dasar Paradigma Secara Umum

Pradigma berkaitan erat dengan prinsip – prinsi dasar yang menentukan berbagai
macam pandangan manusia terhadap dunia sebagai bagian dari sistem bricoluer. Sebuah
paradigma biasanya meliputi tiga elemen utama yaitu elemen metodologi, elemen
epistemologi, dan elemen ontologi. Dengan menggunakan tiga elemen ini, manusia
menggunakan paradigma untuk meraih berbagai macam pengetahuan mengenai dunia dan
berbagai macam fenomena yang terjadi di dalamnya.
Kumpulan keyakinan dan konsep adalah apa yang dikenal sebagai paradigma. Lebih
lanjut, pengertian paradigma merupakan seperangkat teori, asumsi, dan ide yang berkontribusi
pada pandangan dunia Anda atau menciptakan kerangka dari mana Anda beroperasi setiap hari.
Sebuah teori paradigma adalah teori umum yang membantu para ilmuwan yang bekerja di
bidang tertentu untuk dapat bekerja dalam suatu kerangka teoritis yang luas. Hal ini oleh filsuf
Thomas Kuhn disebut “skema konseptual” ilmuwan. Teori paradigma memberi ilmuwan
asumsi dasar, konsep kunci, dan metodologi. Teori paradigma memberikan penelitian mereka
arah dan tujuan umum. Ini merupakan model teladan ilmiah yang baik dalam disiplin tertentu.
Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu
dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan kata “diegma” yang artinya
teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan secara terminologis, istilah paradigma
diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai
dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara-
cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Menurut salah satu ahli Robert Freidrichs, paradigma merupakan kumpulan tata nilai
yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga terbentuk
citra subjektif seseorang terhadap ralita sehingga berujung pada ketentuan bagaimana cara
untuk menangani realita tersebut.
2.2. Konsep Dasar Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-
yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan
penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian
baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Tauhid berasal dari bahasa arab yaitu dari
kata wahhada, yuwahhidu, yang berarti keesaan. Maksudnya itikad atau keyakinan bahwa
Allah Swt adalah esa, tunggal. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan
dalam bahasa Indonesia yaitu “keesaan Allah”.

Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah. Menurut Syekh Muhammad Abduh,


Tauhid Adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap kepada-
Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali
wajib dilenyapkan kepada-Nya. Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil
Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan
sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau
bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak
dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga yaitu
Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Al-Asma Wa Sifat.

a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang
hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah
Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah
keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini
kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan
langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang
mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll.
b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan
baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan
bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga
berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang
bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak
kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka
juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi
Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya,
mendakwahkan tauhid uluhiyyah.

c. Al-Asma Wa Sifat
Tauhid Al Asma’ Wa Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan
nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an
dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah
dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan
menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari dirinya, dengan tanpa tahrif,
tanpa ta’thil dan tanpa takyif .
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang
artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’. Ta’thil adalah mengingkari dan
menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah
berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana. Takyif adalah
menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan
makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya.
Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah,
dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah
adalah tasybih dan tafwidh. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan
menetapkan maknanya.
Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy
namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini
tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah
agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab
yang jelas dipahami.

2.3. Tauhid Sebagai Paradigma Keilmuwan

Kembali pada pembahasan tentang paradigma tauhîd. Paradigma tersebut


berpandangan, bahwa alam dan kehidupan merupakan satu sistem yang holistik dan integral
yang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya sentral. Bagi orang beriman, tidak ada
keraguan untuk memaknai sentral tersebut sebagai "Yang Maha Kaya/tak tergantung, sedang
manusia serba tergantung (QS.47: 38)" dan "Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Lahir
dan Maha Bathin (QS.57: 3). Paradigma tersebut tentu saja sangat luas, sebab pembelajaran
menyakut pengembangan ilmu dan kehidupan manusia yang menyentuh segala aspek dan
bidangnya.
Konsep tauhid yang diangkat dan digunakannya di sini adalah rumuan wadatul wujud
dari Mulla Shadra yang menyatakan, bahwa segala wujud yang ada – dengan segala bentuk
dan karakternya – pada hekekatnya adalah satu dan sama. Yang membedakan satu dari yang
lainnya hanyalah gradasinya (tasykîk al-wujûd) yang disebabkan oleh esesnsinya. Oleh karena
itu, menurutnya (2005: 35) segala wujud yang ada, baik yang bersifat spiritual atau materil
dapat dijadikan objek yang valid bagi ilmu. Berangkat dari pemikiran latarbelakang yang sama,
yakni ada paradigma ilmu Barat yang sekuler, Kuntowijoyo (1991: 327) menawarkan pula
suatu paradigma yang disebutnya paradigma Alquran. Beliau mengartikannya sebagai suatu
konstruk pengetahuan yang memungkinkan kita mamhami realitas sebagaimana Alquran
memahaminya. Konstruk pengathuan ini dibangun oleh Alquran pertama-tama dengan tujuan
agar kita memamiliki "hikmah" yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan denan
nilai-nilai normatif Alquran, baik pada level moral maupun sosial.
Pendekatan yang digunkana mengkaji al-Quran dalam rangka mengangkatnya sebagai
paradigma, menurutnya adalah pendekatan sintetik-analitik. Dengan pendekatan ini, al-Quran
dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian mengenai konsep- konsep danbagian mengenai kisah-
kisah dan amtsal (perumpamaan). Pendekatan sintetik memandang pengembangan arche-type
dari sisi pesan moralnya yantg bersifat abadi dan univeersal, bukan segi peristiwa-peristiwa
historisnya dan bukan segi bukti empirisnya.
Sedang pendekatan analitik memandang ayat-ayat al-Quran sebagai pernyataan-
pernyataan normatif yang harus dianalisis dan diterjemahkan pada level yang obyektif. Ini
berarti al-Quran harus dirumuskan dalam bentuk kontruk-konstruk teoritis. Elaborasi terhadap
konstruk-kontruk teoritis al-Quran ini pada akhirnya merupakan kegiatan Quranic theority
building (perumusan teori Alquran). Dan dari sinilah muncul paradigma qurani.
Dengan pemahaman mengenai adanya struktur transendental Alquran, yaitu gambaran
kita mengenai sebuah bangunan idea yang sempurna mengenai kehidupan, Alquran
sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara
berfikir. Cara berfikir inilah yang dimaksud dengan paradigma Alquran, paradigma Islam.
Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma
Alquran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-
premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional.
Sebab, proses semacam ini pula yang ditemukan dalam perkembangan ilmu-ilmu modern yang
kita kenal sekarang. Kita mengetahui bahwa ilmu-ilmu sempiris maupun rasional yang
diwariskan oleh peradaban Barat berasal dari paham-paham etik dan filosofis yang bersifat
normatif. Dari idea-idea normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat yang
empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan- kebijakan aktual.
Struktur transendental Alquran adalah sebuah idea normatif dan filosofis yang dapat
dirumuskan menjadi paradigma teoritis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinil, dalam arti sesuai dengan
kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu untuk mengaktualisasikan misisnya sebagai
khalifah di muka bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia. Islam mewarisi sumbangan ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban lain sesuai dengan kepentingan pragmatis
semacam ini. Tapi tentu saja pewarisan semua khazanak ilmu pengetahuan itu harus melewati
proses islamisasi. Bisa diyakini bahwa kita akan dapat menemukan mekanisme untuk
mengislamisasikan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana mengkonversikan dan
mengintegrasikan semua pemikiran dan warisan intelektual dari manapun ke dalam teori-teori
yang dipayungi oleh paradigma Alquran.

2.4. Relevansi Tauhid Dengan Keilmuwan


Dalam Islam, perintah yang paling mendasar adalah menyembah Allah dan
mengesakanNya. Larangannya adalah menyekutukan Allah, atau melakukan tindakan syirik.
Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu
dengan yang lainnya sangat berbeda. Dalam Al-qur'an, Allah berfirman: "katakanlah: "Dia-lah
Allah Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia
tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Sebagaimana dikatakan di atas, sisi kedua adalah cegahan syirik. Setelah Allah menciptakan
manusia dan menyuruh ciptaanNya itu mengesakannya - berarti manusia hanya boleh tunduk
padanya dan tidak boleh tunduk pada sesama ciptaanNya - Allah menjadikannya sebagai
khalifah di atas bumi. Dalam posisinya itu manusia diberi wewenang untuk mengatur dan
mengelola alam, karenanya, Allah menundukkan alam untuk manusia.
Bila ada manusia yang tunduk pada alam maka dia telah menyalahi fungsi
penciptaannya, karena sebagaimana firman Allah di atas, seharusnya alamlah yang tunduk pada
manusia bukan sebaliknya. Manusia yang tunduk pada alam berarti telah melakukan perbuatan
syirik karena tunduk pada yang selain Allah. Dengan demikian, ajaran tauhid melarang
manusia untuk tunduk pada alam tapi sebaliknya justru menguasai alam dan memanfaatkannya
untuk kepentingan manusia yang pada gilirannya memaksa manusia untuk menguasai hukum
alam, yang darinya bersumber ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sekarang ini kita dihadapkan pada ilmu agama dan ilmu non-agama. Ilmu adalah hasil
pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya.
Antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan tidak
terpisahkan, karena iman tidak saja mendorong bahkan menghasilkan ilmu, tetapi juga
membimbing ilmu dalam bentuk pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Untuk
kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat kita bedakan menjadi tiga, yaitu jagad raya,
manusia, dan wahyu. Dari ketiga objek ini, kita akan melihat ilmu yang berbeda-beda tetapi
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa jagad raya,
menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik. Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia
Allah melalui tanda-Nya berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan. Manusia yang hendak
menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia, akan memunculkan berbagai
ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan
kedokteran. Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi.Paradigma ini
sekaligus merupakan jawaban terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu nonagama.

Pada dasarnya, ilmu agama dan ilmu nonagama hanya dapat dibedakan untuk
kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apalagi dipertentangkan. Hanya saja, tidak
semua manusia dapat membaca tanda-tanda atau alamat yang sudah diberikan Tuhan.
Nurcholis Madjid (1998:25) menjelaskan bahwa manusia yang akan mampu menangkap
berbagai pertanda Tuhan dalam alam raya ialah, Mereka yang berpikiran mendalam (ulu al
albab), Mereka yang memiliki kesadaran tujuan dan makna hidup abadi, Mereka yang
menyadari penciptaan alam raya sebagai manifestasi wujud trasendental; dan Mereka yang
berpandangan positif dan optimis terhadap alam raya, menyadari bahwa kebahagiaan dapat
hilang karena pandangan negatif-pesimis terhadap alam.

2.5. Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan

Sumber pengetahuan adalah tanda-tanda yang ada di dalam alam semesta, yang ada
dalam diri manusia sendiri, dalam sejarah, atau dalam berbagai peristiwa sosial dan berbagai
aspek bangsa dan masyarakat, dalam akal atau prinsip-prinsip yang sudah jelas dan di dalam
hati. Sumber-sumber ilmu pengetahuan itu secara garis besar ada tiga, diantaranya yaitu:
A. Alam Semesta (Alam Fisik)

Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas
dari hubungannya dengan materi secara interaktif. Hubungan manusia dengan materi ,
menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra, karena sesuatu
yang materi tidak bisa diubah menjadi yang tidak materi . Contoh yang paling nyata dari
hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian
manusia di dunia ini, seperti makan, minum, dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam
semesta yang materi merupakan sumber pengetahuan yang paling awal dan indra merupakan
alat untuk mendapatkan pengetahuan dari alam fisik ini . Pengetahuan yang bersumber dari
indra-indra lahiriah seperti hasil dari melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa
adalah suatu jenis pengenalan dan pemahaman yang bersifat lahiriah, permukaan, dan tidak
mendalam. Berhubungan dengan alat dan sumber pengetahuan ini tidak terdapat perbedaan
antara manusia dan hewan, karena keduanya sama-sama dapat melihat, mencium, merasa, dan
mendengar, bahkan pada sebagian binatang mempunyai indra yang sangat kuat dan tajam
dibanding manusia.

Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam fisik. Pengetahuan indrawi bersifat
parsial, disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya.
Masing-masing indra menangkap objek atau sesuatu yang berbeda menurut perbedaan indra
dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu, oleh karena itu, secara objektif,
pengetahuan yang ditangkap satu indra saja, tidak dapat dipandang sebagai pengetahuan yang
utuh . Namun pengetahuan indrawi menjadi sangat penting karena bertindak sebagai pintu
gerbang pertama menuju pengetahuan yang lebih utuh. Dalam filsafat Aristoteles klasik
pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (Analityca
Posteriora). Benda-benda alam seperti bumi, langit, matahari, lautan, dan segala sesuatu yang
ada di sekitar manusia yang ditangkap manusia dengan indra disebut sebagai hal yang dapat
disimpulkan.
B. Alam Akal (Nalar)

Kaum Rasionalis, selain alam semesta atau alam fisik, meyakini bahwa akal merupakan
sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka
menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya
pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun
yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak
ada artinya, dan untuk meng-generalisasi-kan indra juga dibutuhkan akal.
Alam akal digolongkan sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan karena, dalam pemikiran,
Akal menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil
sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general.

Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif. Mengetahui
konsep-konsep yang general. Mengatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang
general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman ke dalam
benak, dan penyimpulan. Pengelompokkan Wujud. Akal mempunyai kemampuan
mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-
realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, apakah benda itu bersifat cair atau keras, dan
lain sebagainya.Pemilahan dan Penguraian. Akal dapat menggabungan dan dapat menyusun.
Akal juga dapat memilah dan menguraikan. Kreativitas. Dalam hal ini, akal dapat bersifat
membangun dan mengeluarkan pendapat atau pemikiran dalam mengefisiankan sesuatu.
Sebagian konsepsi-konsepsi dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tidak
mungkin bersumber dari indra dan empiris, melainkan hanya dapat diperoleh dengan
perantaraan akal dan rasio, seperti konsepsi-konsepsi tentang Tuhan, jiwa, dan yang sejenisnya.

Menurut Imam Khomeni, manusia secara fitri bersandar pada argumentasi akal dan
demonstrasi rasional, yakni fitrah manusia tunduk pada dalil dan burhan akal. Itulah fitrah yang
dikhususkan bagi manusia dan tidak ada perubahan dalam penciptaan Tuhan.
Al-Ghazali mengatakan, bahwa akal juga termasuk sumber ilmu pengetahuan sekaligus
sebagai alat mencapai pengetahuan,. Akal itu sebagai kekuatan fitri sehingga membuat manusia
lebih tinngi dibandingkan dengan hewan. Diperjelas dalam karyanya Ihya ‘Ulum Ad-din
bahwa yang menjadi jiwa rasional adalah akal . Sama halnya menurut Immanuel Kant bahwa
Akal mengucapkan putusan-putusan. Artinya, akal menyimpulkan yang ditangkap oleh indra,
akan sifat, bentuk, kandungan dan proses yang ada pada objek yang ditangkap oleh indra
tersebut.

C. Hati (Intuisi dan Ilham)

Kaum empiris memandang bahwa sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka
pengetahuan tentang inmateri tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosofi) yang
meyakini bahwa ada sesuatu hal yang lebih luas dari sekedar materi, mereka meyakini
keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi
lewat akal dan hati. Hati dapat merasakan sesuatu hal lain yang bukan bersifat materi, tetapi
merasakan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya sendiri seperti rasa sakit, rasa lapar, dan
sebagainya. Seperti yang tertulis di batu nisan kant, bahwa “Ada dua hal yang sangat
mengundang decak kagum manusia, yaitu langit berbintang di atas kepala kita, dan hati nurani
di dalam diri kita . Intinya, Kant sendiri meyakini bahwa yang merupakan sumber ilmu
pengetahuan selain alam semesta adalah hati. Menurut Henry Bergson, Intuisi adalah semacam
kekuatan rohani atau tenaga rohani untuk menyelami hakikat segala kenyataan yang tentunya
telah mendapat kesadaran diri.

Menurut Murtadha Muthahhari, untuk sampai kepada tingkatan manusia sempurna ,


para filosof berpegang pada argumen-argumen akal. Akan tetapi mereka memandang bahwa
argumentasi akal berada pada tataran yang rendah, tidak mencukupi, dan bahkan terkadang
melahirkan kesalahan, maka dari itu mereka begitu sangat menekankan unsur-unsur lain selain
akal, seperti menapaki jalan-jalan spiritual. Para filosof meletakkan akal dan indra-indra
lahiriah sebagai alat untuk mengenal alam yang terendah (alam materi, alam mulk, alam
kegelapan), sementara alam-alam lain yang bersifat metafisik (alam malakut dan alam cahaya)
hanya dapat disingkap dengan cara intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan pensucian hati.

Walaupun pengetahuan rasional itu melahirkan bentuk-bentuk keyakinan tertentu akan


tetapi sangatlah terbatas, sedangkan keyakinan dan makrifat yang dihadirkan oleh intuisi dan
hati lebih sempurna, mendalam, dan bersifat abadi. Peran argumen-argumen akal dalam hal ini
lebih pada penegasan terhadap dasar-dasar akidah dan asas-asas keagamaan bagi kalangan
awam. Dalam konteks islam, pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan khas manusia.
Pengetahuan ini sebenarnya juga berada pada akal budi manusia, tetapi yang dibedakan disini
adalah menekankan pada sistematika dan kekuatan metodologis.

Selain itu, terdapat sumber pengetahuan lagi dalam perspektif islam, yaitu Ilham dan
wahyu. Hal ini disebutkan sebagai sumber pengetahuan tertinggi di luar struktur pengalaman
dan pengetahuan rasio, bahkan diluar jangkauan akal. Para filosof sufilah yang memaparkan
hal ini. Pengetahuan wahyu juga dapat mengungkap tabir metafisik. Muhyiddin Arabi
memandang bahwa hati itu bersumber dari rahmat Tuhan dan bahkan lebih luas dari rahmat
Tuhan itu sendiri, karena hati dan kalbu para insan kamil dan urafa ialah satu-satunya “wadah”
yang dapat menerima hakikat-hakikat Ilahi. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di
dalamnya yakni ruh manusia yang suci rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan
tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual
mata, gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir.

Tabir dalam pembahasan ini adalah pengaruh-pengaruh alam fisik dan kesibukan-
kesibukan dunia, karena hati dan ruh (jiwa) sesuai dengan bentuk ciptaannya mempunyai
kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang
merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang
berkaitan dengannya. Perbedaan antara Wahyu dan ilham ialah Pengetahuan tentang alam gaib
yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham
atau, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka
dengan syariat disebut wahyu. Dalam pengetahuan akli dan rasional, manusia mengetahui dan
memahami sesuatu, sedangkan dalam pengetahuan hati dan intuisi, sesuatu tersebut hadir
dalam jiwa seseorang dan bersifat “dirasakan” serta dihayati. Pengetahuan intuisi diraih dengan
suatu penghambaan hakiki kepada Yang Maha Mutlak dan ilham-ilham yang hadir dalam jiwa
manusia dalam bentuk emanasi.

2.6. Tauhid Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan Yang Kokoh

Iman Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan
sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan Muslim, khusunya agama yang sangat
menghargai Ilmu pengetahuan. Dalam konsep Ilmu Pengetahuan, Islam menjadikan Iman
sebagai dasar utama yang melandasai ilmu, karenanya kaum Muslim diwajikan beriman dan
beramal dengan ilmu. Jika ilmunya salah maka iman dan amalnya juga akan salah. Al-Faruqi
menjelaskan bahwa iman dalam Islam tidaklah sama dengan iman yang terdapat pada agama-
agama selainnya, karena iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan
kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran-kebenaran atau
proposisi-proposisi dari iman bukanlah misteri-misteri, hal-hal yang sulit dipahami, tidak dapat
diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Mengapa iman dijadikan
landasan ilmu pengetahuan? karena iman mengandung pernyataan syahadah yang mencakup
kebenaran tauhid.

Sumber Ilmu Pengetahuan Disamping iman yang dijadikan sebagai dasar keilmuan,
Islam menjadikan Wahyu sebagai sumber utama ilmu. Sebagaimana wahyu pertama (Qs. Al-
‘Alaq: 1-5),“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” Dalam menafsirkan kelima ayat di atas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya
ilmu bagi manusia. Serta memberikan tekanan pada pembacaan sebagai wahana penting dalam
usaha keilmuan, dan pengukuhan kedudukan Allah ‘azza wajalla sebagai sumber tertinggi ilmu
pengetahuan manusia.Selain itu ayat tersebut memilki arti khusus sebagai epistemologi yang
secara mendalam membahas proses yang terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh
ilmu. Oleh karena itu, penjelasan mengenai sumber-sumber ilmu dalam Islam ditekankan
kepada kalam Allah yang berupa Kitab Suci al-Qur’an. Kedua, Nabi atau Rasulullah Sallallahu
‘Alaihiwasallam sebagai penerima wahyu, dan merujuk pada Hadits.

Dimensi Tauhid dalam Membetuk Esensi Peradaban Manusia Berilmu Selain


mengetahui landasan dan sumber ilmu, perlu juga memahami dimensi dan prisnsip-prinsip
Tauhid. Karena sifat dari pernyataan tauhid mengakui akan kebenaran sebagaimana pernyataan
syahadah, La ilaha illa Allah, tidak ada Tuhan selain Allah.338 Dalam rangka membangun
peradaban manusia berilmu yang beresensi tauhid, al-Faruqi menekankan dua dimensi penting
dalam tauhid, yaitu dimensi metodelogis dan dimensi kontentual. Pertama, dimensi
metodelogis yang meliputi tiga prinsip utama, yakni unitas, rasionalisme dan toleransi. Ketiga
prinsip inilah yang menentukan bentuk peradaban Islam.

a. Prinsip Unitas (Kesatuan), bahwa suatu peradaban akan terbangun jika segenap unsur-unsur
peradaban tersebut disatukan, diintegrasikan dan diseleraskan menjadi bangunan yang utuh.
Sebaliknya jika unsur-unsur tersebut tidak menyatu, maka yang terbentuk adalah campuran
unsur yang tidak teratur. Sehingga kesatuan merupakan hal yang mendasar dalam pembentukan
peradaban.
b. Prinsip Rasionalisme, bahwa sebagai prinsip metodelogis, rasionalisme merupakan unsur
pembentuk esensi peradaban Islam. Prinsip ini terdiri dari tiga hukum. Pertama, hukum rejeki
(penolakan) bahwa tidak semua ide sesuai dengan realitas. Kedua, menyangkut persoalan
terakhir (ultimate contradictories). Ketiga, keterbukaan terhadap bukti yang berlawanan.

c. Prinsip Toleransi, yang merupakan sikap menerima terhadap realitas yang ada atau tengah
terjadi. Maka toleransi relevan dengan prinsip-prinsip epistemologis, relevan dengan prinsip
etika, yang menerima kondisi yang dikehendaki atau tidak dikehendaki. Sebenarnya toleransi
disini merupakan pengakuan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan umat-Nya tanpa terlebih
dahulu mengirim RasulNya di antara mereka, untuk mengajar bahwa “tidak Tuhan selain
Allah”, serta mengajar guna mengabdi kepada-Nya. Toleransi berfungsi sebagai peringatan
kepada umat manusia untuk melakukan perlawanan terhadap kejahatan dan faktor-faktor
penyebabnya. Dalam perjumpaan antar agama, toleransi juga merubah konfrontasi dan
kondemnasi (pengutukan) terhadap agama lain dalam suatu forum kajian yang kooperatif.

Dari prinsip-prinsip tersebut jelaslah bahwa tauhid merupakan penegasan dari kesatuan
sumbersumber kebenaran. Tuhan adalah pencipta alam dari mana manusia memperoleh
pengetahuannya, dan obyek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya
Tuhan. Tuhan mengetahuinya secara pasti karena Tuhan adalah Penciptanya, dan secara pasti
pula karena Dia adalah sumber wahyu, sehingga pengetahuanNya merupakan suatu hal yang
mutlak dan universal.

Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil
dalil yang pasti, dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah—sifat-sifat yang sempurna;
dan menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan yang dimiliki makhluk, serta dan
membenarkan risalah seluruh rasul-rasul-Nya. Dengan ilmu Tauhid kita terhindar dari
pengaruh aqidah-aqidah yang menyeleweng dari kebenaran. Dan dengan demikian semakin
mengukuhkan paham aqidah mayoritas umat Islam di dunia, yakni Ahlussunnah wal Jamaah,
dengan dua imamnya yang utama, Imam Abul Hasan Al-Asyari (w. 324 H), dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidy.
KESIMPULAN

Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu
dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan kata “diegma” yang artinya
teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan secara terminologis, istilah paradigma
diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai
dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara-
cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan
yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia,
bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain,
namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Konsep tauhid yang diangkat dan digunakannya di sini adalah rumuan wadatul wujud
dari Mulla Shadra yang menyatakan, bahwa segala wujud yang ada – dengan segala bentuk
dan karakternya – pada hekekatnya adalah satu dan sama. Dalam Islam, perintah yang paling
mendasar adalah menyembah Allah dan mengesakanNya. Larangannya adalah menyekutukan
Allah, atau melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat
dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Sumber
pengetahuan adalah tanda-tanda yang ada di dalam alam semesta, yang ada dalam diri manusia
sendiri, dalam sejarah, atau dalam berbagai peristiwa sosial dan berbagai aspek bangsa dan
masyarakat, dalam akal atau prinsip-prinsip yang sudah jelas dan di dalam hati.
Iman Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan
sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan Muslim, khusunya agama yang sangat
menghargai Ilmu pengetahuan. Dalam konsep Ilmu Pengetahuan, Islam menjadikan Iman
sebagai dasar utama yang melandasai ilmu, karenanya kaum Muslim diwajikan beriman dan
beramal dengan ilmu. Jika ilmunya salah maka iman dan amalnya juga akan salah.
DAFTAR PUSTAKA

- Inayah, Firda. 2016. TAUHID SEBAGAI PRINSIP ILMU PENGETAHUAN.


ISBN:978-602-361-048-8. Universitas Muhammadiyah Surakarta
- Abdussalam, Aam. 2011. PARADIGMA TAUHID : KAJIAN PARADIGMA
ALTERNATIF DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAN
PEMBELAJARAN. Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim vol. 9. No. 2.
- Am, Kartina. 2004. KONSEP ILMU DENGAN PARADIGMA TAUHID. Vol 21,
No. 102.
- https://www.academia.edu/24895242/Sumber_Ilmu_Pengetahuan
- http://fahmi170592islam.blogspot.com/2012/02/hubungan-ilmu-akhlak-dengan-ilmu-
tauhid.html
- http://oppahermanto.blogspot.com/2013/04/hubungan-ilmu-tauhid-dengan-ilmu.html
- https://www.academia.edu/12747680/Sumber_-_Sumber_Ilmu_Menurut_Islam
- https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html
- https://pengertiandefinisi.com/pengertian-paradigma/
- http://berbagilmu13.blogspot.com/2015/01/sumber-sumber-ilmu-pengetahuan.html
- https://islam.nu.or.id/post/read/86477/sumber-ilmu-tauhid-dan-kedudukannya-di-
antara-ilmu-ilmu-lain
- http://fahmi170592islam.blogspot.com/2012/02/hubungan-ilmu-akhlak-dengan-ilmu-
tauhid.html

Anda mungkin juga menyukai