Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT PENDIDIKAN

“Materialisme dan pragmatism serta implikasinya terhadap Pendidikan”


Dosen Pembina:
Muarif syam

Kelompok 2:
1. Khoiriyah Yaya
2. Putri Nabilla

Jurusan/kelas PGMI

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah Jakarta


(STAI AL-HIKMAH JAKARTA)

Jl. Jeruk Purut No 10 Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta


Tahun ajaran 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat mempunyai dua cabang yaitu filsafat umum dan khusus. Filsafat pendidikan
merupakan cabang khusus dari filsafat. Filsafat mempunyai beraneka ragam
aliran,demikian  halnya dalam filsafat pendidikan pun ditemukan berbagai aliran. Beberapa
aliran dipelopori para ahli pendidikan, yang didasarkan cara pandang, pemahaman, dan
perenungan yang berbeda sesuai kondisi zaman saat itu. Semua aliran filsafat pendidikan
mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Salah satu aliran filsafat pendidikan adalah aliran materialisme. Aliran filsafat
materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi. Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau
super natural. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modren ,
manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang
materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama  dengan benda seperti kayu dan batu. Akan
tetapi, materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya,
manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut
bentuknya memang manusia lebih tunggal ketimbang benda-benda tersebut,tetapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan mereka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, materi dapat dipahami sebagai bahan; benda;
segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala
sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan
mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam
bahasa indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah
paham atau aliran.
            Dengan demikian,manusia sebagai makhluk alamiah harus dibedakan dengan benda-
benda seperti bintang, pohon atau batu, sebab manusia adalah makhluk yang bermasyarakat,
makhluk yang dilibatkan kedalam proses produksi, dilibatkan kedalam hubungan kerja dan
hubungan milik.

BAB II
PEMASALAHAN

1.    Apa yang mendasari pemikiran materialisme?


2.    Siapa saja tokoh aliran materialisme?
3.    Bagimana karakteristik aliran materialisme?
4.    Bagaimana pandangan implementasi aliran materialisme dalam dunia pendidikan?

   
BAB III
PEMBAHASAN

     A.  Dasar  dan Definisi Pemikiran  Materialisme


           1. Dasar Pemikiran Materialisme
                  Menurut pandangan epikuros, dapat ditemukan dua zaman materialisme yaitu zaman
kuno dan modern. Para pemikir materialisme diawali dari Barat, seperti Prancis, Jerman, dan
Yunani.  Beberapa tokoh antara lain Lucrateus Carus, L’homme, Feuerbach, Moleschott,
Bucher, dan Haecka. Pandangan mereka hampir sama bersifat mekanis-otomatis (manusia
mesin). Muncul kisaran abad ke-18 hinga abad ke-19. Sudah ada pandangan jiwa sebetulnya
sama dengan fungsi otak.
              Pandangan materialisme mereka terhadap alam, alam semesta terdiri dari suatu
aglomerasi atom-atom,yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan
tertinggi atom-atom itu ialah dapat membentuk manusia. Atom-atom merupakan bagian dari
yang begitu terkecil sehinggamata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu
bergerak,sehingga dengan demikian membentuk realitas pada panca indra kita.

2.   Definisi Pemikiran Materialisme


       Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara,diantaranya:
a.   Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan
bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran
(conciousness) termasuk didalamnya segala proses pisikal merupakan mode materi tersebut
dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik.
b.    Bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk
menyajikan bentuk materialism yang lebih tradisional.
           Pada akhir-akhir ini,doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme yang
mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energy,atau sebagai suatu bentuk dari
positivisme yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate
nature of reality (realitas yang paling tinggi,baca: Allah SWT). Disini masih dapat dibedakan
materilisme dalam arti kata luas yang mengakui kekhususan alam rohani dan jiwa,tetapi
memandangnya sebagai semacam alam kebendaan yang halus sekali sifatnya,lain daripada
alam kebendaan biasa atau kasar. Pandangan ini juga disebut materialism dualitas (atau
bahkan pluralitas) seperti dianut oleh Demokritos.yang membedakan atom-atom jiwa
daripada atom-atom biasa,atau mazhab Stoa,yang berpendapat bahwa segala sesuatu
mempunyai struktur badani,namun juga menerima adanya semacam “angin” ilahi yang
menjiwai segal sesuatu (pneuma).

B.    Tokoh-Tokoh Aliran Materialisme

1. Macam-macam aliran materialisme


Terdapat beberapa macam-macam yang terdapat pada aliran materialisme:
a.  Materialisme Mekanik
           Menurut materialism mekanik, akal dan aktivitas-aktivitasnya merupakan bentuk-
bentuk behavior (pelaku makhluk hidup). Karena itu,psikologi menjadi suatu penyelidikan
tentang brhavior,dan akibatnya,otak dan kesadaran dijelaskan sebagai tindakan-tindakan
otot,urat syaraf dan kelenjar-kelenjar. Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang
sangat besar oleh karena kesederhanaannya.
b. Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis melibatkan subyek didalam filsafatnya, jalan untuk memahami alam
kebendaan kini lewat manusia,yaitu manusia dalam dimensi sosialnya,manusia yang hidup
dalam suatu masyarakat yang berproduksi.
c.  Materialisme Extrim
            Materialisme extrim merupakan semua perubahan dan perkembangan di dunia ini
sama sekali gerak mesin, mesin dunia dan alam ini. Manusia tidak mempunyai kedudukan
istimewa sebagai benda alam. Menurut  Feurbach, hanya mengakui realitas alam,manusia pun
tak lain dari benda alam. Pengetahuannya ialah pengalamannya,arah tujuannya ialah
cenderung alam. Adapun cebderung alam itu amat utama.
            Pengetahuan hanya merupakan alat untuk memuaskan cenderung. Kepuasan yang
disetujui manusia itu,karena memang tujuannya,merupakan kebahagiaan manusia. Bagi
kesusilaan dan tindakan manapun juga serta dalam berpikir berlakulah sikap,terimalah dunia
(alam) ini apa adanya.
d.  Materialisme Vitalistis
            Dalam pandangan yang vitalistis ini diterima adanya prinsip hidup. Yang hidup itu
lain sekali dari yang tidak hidup. Walaupun memiliki prinsip hidup,namun tidak berbeda
dengan binatang pada intinya,maka pandangan yang demikian itu disebut materialisme.[9]
e.   Materialisme Modern
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) itu merupakan kesatuan material
yang tak terbatas,alam  selalu ada dan akan tetap ada.

C.   Karakteristik Materialisme
       Karekteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu
asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami
perubahan gerak dalam ruang (Randall,et al,1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1.  Semua sains seperi biologi,kimia,psikologi,fisika,sosiologi,ekonomi,dan yang lainnya
ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).
Jadi,semua sains merupakan cabang dari sains mekanika.
2.  Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatan-kegiatannya (berpikir,memahami)
adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf,atau organ-organ
jasmani yang lainnya.
3.  Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup,keindahan dan
kesenangan,serta kebebasan,hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan,symbol subjektif
manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi,semua fenomena social maupun
fenomena psikologis adalah merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik.
Hubungan-hubungannya dapat berubah secara kausal.

D.  Implementasi Aliran Materialisme dalam Dunia Pendidikan


1.   Pandangan Materialisme Mengenai Belajar Positivisme
           Materilisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan
secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1956). Materialisme belum pernah menjadi
penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat
positivisme sebagai cabang dari materialism lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-
faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memilih aliran
positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.
           Dikatakn positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari
hanyalah yang mendasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata,yaitu yang mereka
namakan positif.

2.  Pandangan Materialisme Mengenai  Belajar Behaviorisme


           Menurut behaviorisme,apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya
tergantung pada kegiatan fisik,yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak.
Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain
dalam dunia materi,baik material yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang
berada diluar tubuh manusia.
           Pendidikan,dalam hal ini proses belajar,merupakan proses kondisionaisasi lingkungan.
Misalnya, dengan mengadakan percobaan terhadap anak yang tidak pernah takut pada
kucing,akhirnya ia menjadi takut pada kucing. Menurut behaviorisme, perilaku manusia
adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh anal dan kucing diatas).
Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang berubah,dapat diamati,dan dapat diukur
(materialisme dan positivisme).
3.  Pandangan Materialisme Terhadap Implikasi Pendidikan
            Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivism
behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialism,sebagai berikut:
a. Tema
Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah.
Dalam proses pembelajaran saat ini pendekatan pembelajaran pada kurikulum 2013 yaitu
saintific menggunakan langkah-langkah ilmiah dalam menggali imformasi. Pendekatan ini
relevan dengan pandangan materialisme positivisme.
b.  Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung
jawab hidup social dan pribadi yang kompleks. Perubahan perilaku tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional antara lain membentuk jiwa
mandiri, cerdas, dan kreatif. Namun pandangan materialisme kurang memperhatikan aspek
kompetensi spiritual.
c.  Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya, dan organisasi, selalu
berhubungan dengan sasaran perilaku. Muatan lebih banyak didominasi pengetahuan alam
dan sosial. Pengetahuan relegius, moral, dan budipekerti kurang mendapat perhatian pada
aliran materialisme.
d.  Metode
Pembelajaran lebih banyak menggunakan cara memberikan stimulus-respon. Guru harus
pandai memberikan rangsangan siswa untuk belajar, melalui reinforcemen pemberian hadiah,
dan penghargaan. Bentuk penghargaan nyata, bisa menumbuhkan motivasi untuk melakukan
kegiatan.
e.   Kedudukan Siswa
Materialisme menuntuk siswa untuk giat belajar. Siswa tidak diberi ruang kebebasan.
Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang oleh guru. Siswa
dipersiapkan untuk hidup sesuai harapan orang tua atau guru. Kompetensi dalam diri siwa
sulit untuk berkembang dengan baik.

f.   Peranan Guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa. Pembelajaran lebih banyak diketahui
guru, sementara siswa mengikuti skenario yang telah disusun sesusuai yang dikehendaki
guru.
4.   Pandangan Materialisme Mengenai Belajar Empiris
           Pandangan Thomas Hobbes,sebagai pengikut empirisme materialistis,ia berpendapat
bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang
memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis
semata,sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan
pengurangan.

FILSAFAT PRAGMATISME
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula yang
menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi. Pragmatisme berarti
filsafat atau pemikiran tentang tindakan (Keraf,1987:15). Filsafat ini menyatakan bahwa benar
tidaknya suatu teori bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu bagi manusia dalam
penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk segala perbuatan adalah manfaatnya dalam
praktek dan hasil yang memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori,
dinilai menurut manfaatnya dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam
kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang dapat
membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah
tidak benar. Aliran filsafat ini mencuat ke permukaan selama seratus tahun terakhir dan dikaitkan
dengan nama-nama berikut: Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910)
dan
John Dewey (1859-1952).3 Filsafat-filsafat tradisional bersifat statis dan cenderung melihat
segala
sesuatu sebagaimana adanya. Pada paruh terakhir abad XIX terlihat adanya perubahan yang tak
terduga setelah revolusi industri meluncur dengan cepat. Industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi
penduduk secara besar-besaran merupakan faktor sentral dalam alam kehidupan bangsa Amerika.
Perubahan menjadi ciri sentral dari eksistensi manusia. Dalam kancah intelektual, teori biologis
sosial Darwinisme telah berkembang dan secara luas diakui sebagai pengetahuan umum
masyarakat untuk merasionalkan dan menyetujui tentang konsep perubahan. Pragmatisme (sering
juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme) adalah reaksi filosofis terhadap fenomena
ini.4 William James merumuskan pragmatisme sebagai “sikap memalingkan muka dari segala
sesuatu, prinsip-prinsip, kategori-kategori, keniscayaan-keniscayaan awal, untuk kemudian
beralih
pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta baru.” Pragmatisme
bersifat kritis terhadap sistem-sistem filsafat lama, yang menurut penganut pragmatisme, telah
membuat kesalahan mencari sesuatu yang puncak (ultimate), mutlak, dan esensi-esensi abadi.
Para
penganut pragmatisme menekankan sains empiris, dunia yang berubah dan masalah-masalahnya,
dan alam sebagai seluruh realitas inklusif di luar keyakinan ilmiah tidak mendapat tempat.
Pragmatisme mempunyai pijakan intelektual dalam pemikir-pemikir Yunani, seperti Heracleitos
(abad V SM) yang mempostulatkan keniscayaan perubahan5 dan para penganut empirisme
Inggris6 (abad XVII dan XVIII) yang menandaskan bahwa orang hanya dapat mengetahui apa
yang dialami indera mereka. Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian
pada
hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa
yang berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam
masyarakat
(George R. Knight, 1982). Pertama, dari perspektif penganut pragmatisme, kita hidup dalam
sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan waktu, pengalaman manusia tersebut berubah dan
karenanya konsep pragmatisme tentang kenyataanpun juga berubah. Di luar pengalaman
manusia,
tak ada kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, penganut pragmatism
menolak pemikiran metafisika. Bagi mereka, tidak ada hal yang absolut, tidak ada prinsip apriori
atau hukum alam yang tidak berubah. Kenyataan bukanlah sesuatu yang abstrak, ia lebih sebagai
sebuah pengalaman transaksional yang terus-menerus berubah. Apa yang “nyata” di hari ini
dapat
“tidak nyata” di hari esok, sebab kenyataan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup
dalam dunia yang dinamis, yang selalu berubah dan ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan
pada pengalaman manusia yang terbatas, yang harus dipandang sebagai probabilitas, bukan yang
absolut. Menurut kaum pragmatis, pikiran dan materi bukanlah dua hal yang terpisah dan
substansi
yang independen. Orang hanya mengetahui tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya
dan merefleksikan pengalaman ini dengan pikirannya. Oleh karena itu kenyataan tidak pernah
terpisah dari manusia yang mengetahui. Kedua, pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah
pemikiran epistemologis. Pengetahuan, menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman.
Manusia mempunyai pemikiran yang aktif dan eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia
tidak
hanya menerima pengetahuan, ia juga membuat pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya
dengan
lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat
terhadap
lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari
pengalaman transaksionalnya dengan dunia di sekelilingnya. Selain itu, pengetahuan dari
perspektif pragmatis perlu dibedakan dari keyakinan atau kepercayaan. Hal-hal autentik tentang
keyakinan manusia adalah urusan pribadi, tetapi apa yang ia anggap perlu diketahui harus dapat
didemonstrasikan kepada pengamat yang memenuhi syarat dan tak berpihak. Dengan kata lain,
kepercayaan (keimanan) itu bersifat pribadi, sedangkan pengetahuan adalah hal yang senantiasa
bersifat publik. Dari sudut pandang pragmatis, sebuah pernyataan dikatakan benar adalah jika
dapat diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Selain itu, posisi epistemologi kaum
pragmatis tidak memberi tempat pada konsep-konsep apriori dan kebenaran-kebenaran absolut.
Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah secara terusmenerus dan “apa yang
berguna dan berfungsi” di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang tidak memadai
lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar di hari ini bisa
tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda. Ketiga, manusia
bertanggung jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada
prinsip-prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya berubah, demikian juga
nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak mengalami pasang surut dari hari
ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal
yang mengikat secara universal. Menurut kaum pragmatis, apa yang secara etis baik adalah apa
yang berguna dan berfungsi. Dengan demikian, seperti halnya pengujian epistemologis itu
bersifat publik, maka pengujian etis itu juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria
sosial kemasyarakatan dan bukan semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat
pribadi.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Implementasi pendidikan sekarang pada dasarnya tidak disusun secara eksplisit sesuai
dengan filsafat pendidikan materialisme. Aliran ini bisa diimplimentasikan hanya pada
sebagian kecil proses pembelajaran. Bahkan belum pernah menjadi penting dalam
menentukan sumber teori pendidikan. Materialisme mempunyai macam-macam varian,tetapi
semuanya memegang bahwa material merupakan dasar dari segala sesuatu yang ada dan
semua hal lain tergantung kepada material ini. Dan pada hakikat realismenya adalah materi
bukan spiritual,atau super natural. Jadi materialism merupakan paham yang menyatakan
bahwa yang nyata hanyalah materi.
            Implikasi yang bersumber pada filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
1.      Tema
2.      Tujuan Pendidikan
3.      Kurikulum
4.      Metode
5.      Kedudukan Siswa
6.      Peranan Guru

B.   Saran
          Paham materialisme  bisa memberi kontribusi bagi pendidik dalam menjalankan
pendidikan. namun hendaknya tidak hanya menggunakan satu literatur filsafat pendidikan
saja, yang mendasari dalam menyelesaikan masalah pendidikan yang kompleks. Hakikatnya
semua paham filsafat pendidikan mempunya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
 Selanjutnya penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk
itu saya mengharapkan  kritik dan sarannya dari makalah saya ini untuk menjadi acuan saya
kedepann dan kesempurnaannya.
DAFTAR PUSAKA
[1]Ahmad Syadil dan Mudzakir,”Filsafat Umum”,Bandung: Pustaka setia,1997,hlm.134
[2] Sudarsono,”Ilmu Filsafat Suatu Pengantar”Jakarta: Rineka Cipta,1993,hlm.334
[3] . P.A.Van der Weij,”Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia”,Jakarta: PT Gramedia
Pustaka,hlm.108
[4]. Usiono,”Filsafat Pendidikan”,Medan: Perdana Publishing,hlm.116
[5] . P.A.Van der Weij, op.,cit, hlm.109
[6] . Juhaya S. Praja,”Aliran-Aliran Filsafat dan Etika”,Jakarta: Kencana,2003, hlm. 144
[7] . Dick Hartoko,”Orientasi didalam Filsafat”,Jakarta: PT.Gramedia,1980, hlm. 157
[8] . Usiono, 0p.,cit ,hlm.116
[9] . Poedjawijayatna,”Manusia dengan Alamnya”,Jakarta: Bina Aksara,1997,hlm.61
[10]. Asmoro Achmad,”Filsafat Umum”,Jakarta: Rajawali Pers,2010,hlm.135

Sumber internet:
http://muslimahasy-syauq.blogspot.com/2013/04/aliran-materialisme-dalam-pendidikan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme
http://hidayatullah-budaya.blogspot.com/2009/03/mengenal-paham-materialisme.html

Anda mungkin juga menyukai