Kelompok 2:
1. Khoiriyah Yaya
2. Putri Nabilla
Jurusan/kelas PGMI
Filsafat mempunyai dua cabang yaitu filsafat umum dan khusus. Filsafat pendidikan
merupakan cabang khusus dari filsafat. Filsafat mempunyai beraneka ragam
aliran,demikian halnya dalam filsafat pendidikan pun ditemukan berbagai aliran. Beberapa
aliran dipelopori para ahli pendidikan, yang didasarkan cara pandang, pemahaman, dan
perenungan yang berbeda sesuai kondisi zaman saat itu. Semua aliran filsafat pendidikan
mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Salah satu aliran filsafat pendidikan adalah aliran materialisme. Aliran filsafat
materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi. Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau
super natural. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modren ,
manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang
materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu. Akan
tetapi, materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya,
manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut
bentuknya memang manusia lebih tunggal ketimbang benda-benda tersebut,tetapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan mereka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, materi dapat dipahami sebagai bahan; benda;
segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala
sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan
mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam
bahasa indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah
paham atau aliran.
Dengan demikian,manusia sebagai makhluk alamiah harus dibedakan dengan benda-
benda seperti bintang, pohon atau batu, sebab manusia adalah makhluk yang bermasyarakat,
makhluk yang dilibatkan kedalam proses produksi, dilibatkan kedalam hubungan kerja dan
hubungan milik.
BAB II
PEMASALAHAN
BAB III
PEMBAHASAN
C. Karakteristik Materialisme
Karekteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu
asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami
perubahan gerak dalam ruang (Randall,et al,1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1. Semua sains seperi biologi,kimia,psikologi,fisika,sosiologi,ekonomi,dan yang lainnya
ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).
Jadi,semua sains merupakan cabang dari sains mekanika.
2. Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatan-kegiatannya (berpikir,memahami)
adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf,atau organ-organ
jasmani yang lainnya.
3. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup,keindahan dan
kesenangan,serta kebebasan,hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan,symbol subjektif
manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi,semua fenomena social maupun
fenomena psikologis adalah merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik.
Hubungan-hubungannya dapat berubah secara kausal.
f. Peranan Guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa. Pembelajaran lebih banyak diketahui
guru, sementara siswa mengikuti skenario yang telah disusun sesusuai yang dikehendaki
guru.
4. Pandangan Materialisme Mengenai Belajar Empiris
Pandangan Thomas Hobbes,sebagai pengikut empirisme materialistis,ia berpendapat
bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang
memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis
semata,sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan
pengurangan.
FILSAFAT PRAGMATISME
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula yang
menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi. Pragmatisme berarti
filsafat atau pemikiran tentang tindakan (Keraf,1987:15). Filsafat ini menyatakan bahwa benar
tidaknya suatu teori bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu bagi manusia dalam
penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk segala perbuatan adalah manfaatnya dalam
praktek dan hasil yang memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori,
dinilai menurut manfaatnya dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam
kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang dapat
membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah
tidak benar. Aliran filsafat ini mencuat ke permukaan selama seratus tahun terakhir dan dikaitkan
dengan nama-nama berikut: Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910)
dan
John Dewey (1859-1952).3 Filsafat-filsafat tradisional bersifat statis dan cenderung melihat
segala
sesuatu sebagaimana adanya. Pada paruh terakhir abad XIX terlihat adanya perubahan yang tak
terduga setelah revolusi industri meluncur dengan cepat. Industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi
penduduk secara besar-besaran merupakan faktor sentral dalam alam kehidupan bangsa Amerika.
Perubahan menjadi ciri sentral dari eksistensi manusia. Dalam kancah intelektual, teori biologis
sosial Darwinisme telah berkembang dan secara luas diakui sebagai pengetahuan umum
masyarakat untuk merasionalkan dan menyetujui tentang konsep perubahan. Pragmatisme (sering
juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme) adalah reaksi filosofis terhadap fenomena
ini.4 William James merumuskan pragmatisme sebagai “sikap memalingkan muka dari segala
sesuatu, prinsip-prinsip, kategori-kategori, keniscayaan-keniscayaan awal, untuk kemudian
beralih
pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta baru.” Pragmatisme
bersifat kritis terhadap sistem-sistem filsafat lama, yang menurut penganut pragmatisme, telah
membuat kesalahan mencari sesuatu yang puncak (ultimate), mutlak, dan esensi-esensi abadi.
Para
penganut pragmatisme menekankan sains empiris, dunia yang berubah dan masalah-masalahnya,
dan alam sebagai seluruh realitas inklusif di luar keyakinan ilmiah tidak mendapat tempat.
Pragmatisme mempunyai pijakan intelektual dalam pemikir-pemikir Yunani, seperti Heracleitos
(abad V SM) yang mempostulatkan keniscayaan perubahan5 dan para penganut empirisme
Inggris6 (abad XVII dan XVIII) yang menandaskan bahwa orang hanya dapat mengetahui apa
yang dialami indera mereka. Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian
pada
hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa
yang berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam
masyarakat
(George R. Knight, 1982). Pertama, dari perspektif penganut pragmatisme, kita hidup dalam
sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan waktu, pengalaman manusia tersebut berubah dan
karenanya konsep pragmatisme tentang kenyataanpun juga berubah. Di luar pengalaman
manusia,
tak ada kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, penganut pragmatism
menolak pemikiran metafisika. Bagi mereka, tidak ada hal yang absolut, tidak ada prinsip apriori
atau hukum alam yang tidak berubah. Kenyataan bukanlah sesuatu yang abstrak, ia lebih sebagai
sebuah pengalaman transaksional yang terus-menerus berubah. Apa yang “nyata” di hari ini
dapat
“tidak nyata” di hari esok, sebab kenyataan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup
dalam dunia yang dinamis, yang selalu berubah dan ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan
pada pengalaman manusia yang terbatas, yang harus dipandang sebagai probabilitas, bukan yang
absolut. Menurut kaum pragmatis, pikiran dan materi bukanlah dua hal yang terpisah dan
substansi
yang independen. Orang hanya mengetahui tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya
dan merefleksikan pengalaman ini dengan pikirannya. Oleh karena itu kenyataan tidak pernah
terpisah dari manusia yang mengetahui. Kedua, pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah
pemikiran epistemologis. Pengetahuan, menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman.
Manusia mempunyai pemikiran yang aktif dan eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia
tidak
hanya menerima pengetahuan, ia juga membuat pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya
dengan
lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat
terhadap
lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari
pengalaman transaksionalnya dengan dunia di sekelilingnya. Selain itu, pengetahuan dari
perspektif pragmatis perlu dibedakan dari keyakinan atau kepercayaan. Hal-hal autentik tentang
keyakinan manusia adalah urusan pribadi, tetapi apa yang ia anggap perlu diketahui harus dapat
didemonstrasikan kepada pengamat yang memenuhi syarat dan tak berpihak. Dengan kata lain,
kepercayaan (keimanan) itu bersifat pribadi, sedangkan pengetahuan adalah hal yang senantiasa
bersifat publik. Dari sudut pandang pragmatis, sebuah pernyataan dikatakan benar adalah jika
dapat diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Selain itu, posisi epistemologi kaum
pragmatis tidak memberi tempat pada konsep-konsep apriori dan kebenaran-kebenaran absolut.
Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah secara terusmenerus dan “apa yang
berguna dan berfungsi” di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang tidak memadai
lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar di hari ini bisa
tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda. Ketiga, manusia
bertanggung jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada
prinsip-prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya berubah, demikian juga
nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak mengalami pasang surut dari hari
ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal
yang mengikat secara universal. Menurut kaum pragmatis, apa yang secara etis baik adalah apa
yang berguna dan berfungsi. Dengan demikian, seperti halnya pengujian epistemologis itu
bersifat publik, maka pengujian etis itu juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria
sosial kemasyarakatan dan bukan semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat
pribadi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi pendidikan sekarang pada dasarnya tidak disusun secara eksplisit sesuai
dengan filsafat pendidikan materialisme. Aliran ini bisa diimplimentasikan hanya pada
sebagian kecil proses pembelajaran. Bahkan belum pernah menjadi penting dalam
menentukan sumber teori pendidikan. Materialisme mempunyai macam-macam varian,tetapi
semuanya memegang bahwa material merupakan dasar dari segala sesuatu yang ada dan
semua hal lain tergantung kepada material ini. Dan pada hakikat realismenya adalah materi
bukan spiritual,atau super natural. Jadi materialism merupakan paham yang menyatakan
bahwa yang nyata hanyalah materi.
Implikasi yang bersumber pada filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Tema
2. Tujuan Pendidikan
3. Kurikulum
4. Metode
5. Kedudukan Siswa
6. Peranan Guru
B. Saran
Paham materialisme bisa memberi kontribusi bagi pendidik dalam menjalankan
pendidikan. namun hendaknya tidak hanya menggunakan satu literatur filsafat pendidikan
saja, yang mendasari dalam menyelesaikan masalah pendidikan yang kompleks. Hakikatnya
semua paham filsafat pendidikan mempunya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Selanjutnya penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk
itu saya mengharapkan kritik dan sarannya dari makalah saya ini untuk menjadi acuan saya
kedepann dan kesempurnaannya.
DAFTAR PUSAKA
[1]Ahmad Syadil dan Mudzakir,”Filsafat Umum”,Bandung: Pustaka setia,1997,hlm.134
[2] Sudarsono,”Ilmu Filsafat Suatu Pengantar”Jakarta: Rineka Cipta,1993,hlm.334
[3] . P.A.Van der Weij,”Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia”,Jakarta: PT Gramedia
Pustaka,hlm.108
[4]. Usiono,”Filsafat Pendidikan”,Medan: Perdana Publishing,hlm.116
[5] . P.A.Van der Weij, op.,cit, hlm.109
[6] . Juhaya S. Praja,”Aliran-Aliran Filsafat dan Etika”,Jakarta: Kencana,2003, hlm. 144
[7] . Dick Hartoko,”Orientasi didalam Filsafat”,Jakarta: PT.Gramedia,1980, hlm. 157
[8] . Usiono, 0p.,cit ,hlm.116
[9] . Poedjawijayatna,”Manusia dengan Alamnya”,Jakarta: Bina Aksara,1997,hlm.61
[10]. Asmoro Achmad,”Filsafat Umum”,Jakarta: Rajawali Pers,2010,hlm.135
Sumber internet:
http://muslimahasy-syauq.blogspot.com/2013/04/aliran-materialisme-dalam-pendidikan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme
http://hidayatullah-budaya.blogspot.com/2009/03/mengenal-paham-materialisme.html