DISUSUN OLEH
1. Nurcahyono ( 21112373 )
2. Muhammad Nurwahid Nasruloh ( 21112374 )
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL MAKALAH i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Ontologi 3
B. Aliran dan Objek Kajian Ontolog 5
C. Ontologi sebagai Ilmu Pengetahuan 14
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah
ini yaitu :
1. Bagaimana hakikat ontologi?
2. Apa saja aliran dan objek kajian ontologi?
3. Bagaimana ontologi sebagai ilmu pengetahuan ?
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan pembelajaran yaitu untuk menelaah:
1. Hakikat ontologi.
2. Aliran dan objek kajian ontologi.
3. Ontologi sebagai ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani yaitu On = Being, dan Logos
= Logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (toeri tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan menurut Louis O Kattsoff (1953)
dalam Elements Of Filosophy mengatakan bahwa, ontologi itu mencari ultimate
reality. Jadi dapat dikatakan bahwa ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang ada. Sebagai contoh pemikiran
ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa air yang menjadi
ultimate subtances yang mengeluarkan semua benda. Jadi, asal semua hanya dari
satu saja yaitu air.
Louis O. Kattsoff (1953) membagi ontology dalam 3 (tiga) bagian:
ontology bersahaja, ontology kuantitatif, dan ontology monistik. Dikatakan
ontology bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan
apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai
tunggal atau jamaknya. Sedangkan ontology monistik melahirkan monism atau
idealism. Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran
filsafat. Misalnya pertanyaan apakah yang ada itu? (what is being?)
Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Dan dimanakah yang ada itu?
(where is being?).
Defenisi lain tentang ontologi yaitu Noeng Muhadir (dalam Amsal
Bahtiar (2010) mengatakan bahwa, ontologi membahasa tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. Ontologi terkait tentang inti yang
termuat dalam setiap kenyataan.Sedangkan Junaedi, M dalam bukunya Paradigma
Baru Filsafat Pendidikan Ilmu mengatakan bahwa (2017) yaitu ontologi secara
etimologi diartikan sebagai keberadaan (The theory of being qua being) atau Ilmu
tentang yang ada.
Sementara Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan ontologi membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”, yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan :
1. apakah obyek ilmu yang akan ditelaah
2. bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
3. bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan
Adapun karakteristik ontologi (Bagus, 2002), yaitu sebagai berikut:
1. Ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari yang Ada dalam
dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara
khusus, yang menurut bentuknya abstrak.
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti:
ada atau menjadi, aktualisasi atau potensialisasi, nyata atau penampakan,
esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan
sebagainya.
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada yang
terakhir, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi, sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
4. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas
apakah nyata atau semu.
Jadi, dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Ontologi berasal dari Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu On/Ontos yang
artinya berada (yang ada), logos yang artinya ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu
tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana
keadaan sebenarnya. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan yang
meneliti segala sesuatu yang ada (Bahrum, 2013).
Istilah Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M, untuk menamai hakekat yang ada bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya, Cristian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi
dua yaitu metafisika umum sebagai istilah lain dari ontologi dan metafisika
khusus. Metafisika umum atau ontologi adalah cabang yang membicarakan
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada,
sedangkan metafisika khusus terbagi menjadi kosmologi, psikologi dan teologi.
Ontologi cenderung dengan metafisika umum, yaitu ilmu tentang keberadaan
dibalik yang ada.
Dari pengertian tersebut, Ilmu membahas tentang yang ada sedangkan
ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya.
Ilmu itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi,
manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger
eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya manusia ada. Manusia ada ketika
dia sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi
wilayah garapan ontologi keilmuan.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelahaan keilmuannya hanya
pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek
penelahaan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia)
dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari
pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan
dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas
ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelahaan keilmuan yang bersifat
empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuaan yang
mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan
penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
2. Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih
dibuktikan). Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalis yang berpendapat
bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu.
Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan
bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan
alternatif.
Tiga karakteristik yang perlu ditinjau dari awal bahwa gejala alam tunduk
pada:
a. Determinisme
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal.
Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa
pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
uiversal.
b. Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak
ditemukan pada bidang ilmu sosial.
c. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada
namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk
memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas.
Ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan
seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling
hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demeikian sampai tahap tertentu ilmu perlu
memiliki keabsahan salam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang
bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi,
diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya
terhadap penafsiran probalistik.
3. Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8
secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu
adalah
8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut
memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak
ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
4. Batas – Batas Asumsi dalam Peluang
Hal hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan asumsi yaitu :
a. Asumsi dalam ilmu harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian
disiplin keilmuan.
b. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi
yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang
mendasari telaah moral.
5. Pembelajaran dalam Ilmu
Terdapat dua cabang ilmu yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi ilmu
alam (the natural sciences); dan filsafat moral yang kemudian menjadi ilmu sosial
(the social sciences). Dalam kajiannya, ilmu alam terbagi menjadi dua yaitu yang
ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science).
Kattsoff, L. O. (1953). Pengantar Filsafat (1953rd ed.). New York: The Roland
Press Company.