Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ONTOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU


Diajukan untuk memenuhi mata kuliah

Dosen pengampu : Dr. Syamsul Arifin, M.Pd.I

DISUSUN OLEH
1. Nurcahyono ( 21112373 )
2. Muhammad Nurwahid Nasruloh ( 21112374 )

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya baik kesehatan maupun keselamatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunanan makalah yang berjudul
“Ontologi Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu”.
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun menyampaikan ucapan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu meluangkan segala waktu,
tenaga, dan pikiran dalam rangka penyusunan makalah ini. Pada makalah ini,
penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun
tata bahasa serta penulisan, mengingat akan keterbatasan kemampuan yang
dimiliki penulis, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak guna penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membaca. Aamiin.

Ponorogo, 21 Juli 2023

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

SAMPUL MAKALAH i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Ontologi 3
B. Aliran dan Objek Kajian Ontolog 5
C. Ontologi sebagai Ilmu Pengetahuan 14

BAB III PENUTUP 16


DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat adalah pengetahuan tentang cara berpikir terhadap segala setuatu


atau seluruh alam. Artinya segala materi yang menjadi kajian dalam filsafat
menyangkut segala sesuatu yang bersifat universal. Dengan demikian, filsafat
sebagai cara atau metode berpikir tentang sagala sesuatu yang ada dan
memungkinkan ada.
Objek kajian filsafat meliputi segala permasalahan. Namun yang menjadi
masalah utama yaitu tentang kenyataan atau realitas dari sesuatu. Filsafat berperan
dalam memecahkan permasalahan realitas dengan berbagai masalah yang
dipikirkan manusia. Sesuai fungsinya, filsafat sebagai langkah awal untuk
mengetahui segala pengetahuan, filsafat mempermasalahkan hal-hal yang pokok,
apabila terjawab masalah yang satu maka akan mulai merambah pada
permasalahan selanjutnya.
Pada hakikatnya, segala pengetahuan digerakkan oleh pertanyaan yang
didasarkan pada apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan dan apakan nilai pegetahuan tersebut. Hal ini memerlukan sistem
berpikir secara radikal, sistematis, dan universal sebagai kebenaran ilmu
(Saefuddin, et. al. 1998).
Ontologi hadir sebagai langkah awal untuk mengetahui apa yang ingin
diketahui. Ontologi adalah ilmu yang mengkaji tentang ilmu pengetahuan yang
ilmiah, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif, dan kenyataan
empiris yang tidak terlepas dari apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri
pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan
bisa diamati melalui panca indera manusia. Pembatasan ini disebakan karena
fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya sehari-hari. Masalah
yang dimaksud antara lain : membantu melawan penyakit, membangun
jembatan,
mambuat irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendirikan gedung,
perkembangan teknologi, perkembangan pendidikan, dan lain-lain sebagainya.
Perkembangan pengetahuan ini bersifat dinamis atau terus berkembang.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh ilmu, dimana ilmu itu dibangun berdasarkan
metode ilmiah, prosedur yang mengikat, bersifat empiris, diketahui dan diukur
serta mampu menjelaskan dan meprediksi peristiwa lainnya. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan Dwiloka (2005) bahwa pengetahuan berkembang
secara signifikan karena mengikuti kaidah karya ilmiah, ditulis secara ilmiah, dan
merupakan karya atau hasil pengembangan seorang ilmuawan yang ingin
mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang diperoleh melalui kepustakaan,
pengalaman, dan pengetahuan orang sebelumnya. Berdasar pada latar belakang
inilah, penulis membuat makalah dengan judul “Ontologi Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah
ini yaitu :
1. Bagaimana hakikat ontologi?
2. Apa saja aliran dan objek kajian ontologi?
3. Bagaimana ontologi sebagai ilmu pengetahuan ?

C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan pembelajaran yaitu untuk menelaah:
1. Hakikat ontologi.
2. Aliran dan objek kajian ontologi.
3. Ontologi sebagai ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani yaitu On = Being, dan Logos
= Logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (toeri tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan menurut Louis O Kattsoff (1953)
dalam Elements Of Filosophy mengatakan bahwa, ontologi itu mencari ultimate
reality. Jadi dapat dikatakan bahwa ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang ada. Sebagai contoh pemikiran
ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa air yang menjadi
ultimate subtances yang mengeluarkan semua benda. Jadi, asal semua hanya dari
satu saja yaitu air.
Louis O. Kattsoff (1953) membagi ontology dalam 3 (tiga) bagian:
ontology bersahaja, ontology kuantitatif, dan ontology monistik. Dikatakan
ontology bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan
apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai
tunggal atau jamaknya. Sedangkan ontology monistik melahirkan monism atau
idealism. Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran
filsafat. Misalnya pertanyaan apakah yang ada itu? (what is being?)
Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Dan dimanakah yang ada itu?
(where is being?).
Defenisi lain tentang ontologi yaitu Noeng Muhadir (dalam Amsal
Bahtiar (2010) mengatakan bahwa, ontologi membahasa tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. Ontologi terkait tentang inti yang
termuat dalam setiap kenyataan.Sedangkan Junaedi, M dalam bukunya Paradigma
Baru Filsafat Pendidikan Ilmu mengatakan bahwa (2017) yaitu ontologi secara
etimologi diartikan sebagai keberadaan (The theory of being qua being) atau Ilmu
tentang yang ada.
Sementara Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan ontologi membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”, yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan :
1. apakah obyek ilmu yang akan ditelaah
2. bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
3. bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan
Adapun karakteristik ontologi (Bagus, 2002), yaitu sebagai berikut:
1. Ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari yang Ada dalam
dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara
khusus, yang menurut bentuknya abstrak.
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti:
ada atau menjadi, aktualisasi atau potensialisasi, nyata atau penampakan,
esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan
sebagainya.
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada yang
terakhir, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi, sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
4. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas
apakah nyata atau semu.
Jadi, dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Ontologi berasal dari Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu On/Ontos yang
artinya berada (yang ada), logos yang artinya ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu
tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana
keadaan sebenarnya. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan yang
meneliti segala sesuatu yang ada (Bahrum, 2013).
Istilah Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M, untuk menamai hakekat yang ada bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya, Cristian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi
dua yaitu metafisika umum sebagai istilah lain dari ontologi dan metafisika
khusus. Metafisika umum atau ontologi adalah cabang yang membicarakan
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada,
sedangkan metafisika khusus terbagi menjadi kosmologi, psikologi dan teologi.
Ontologi cenderung dengan metafisika umum, yaitu ilmu tentang keberadaan
dibalik yang ada.
Dari pengertian tersebut, Ilmu membahas tentang yang ada sedangkan
ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya.
Ilmu itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi,
manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger
eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya manusia ada. Manusia ada ketika
dia sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi
wilayah garapan ontologi keilmuan.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelahaan keilmuannya hanya
pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek
penelahaan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia)
dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari
pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan
dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas
ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelahaan keilmuan yang bersifat
empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuaan yang
mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan
penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.

B. Aliran Dan Objek Ontologi


1. Aliran Ontologi
Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan
pokok atau aliran-aliran pemikiran, seperti yang dipaparkan oleh Amsal Bahtiar
(2010) sebagai berikut:
a. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu, dan tidak mungkin dua. Hakikat ini sebagai sumber yang asal, baik
berupa materi maupun rohani Istilah ini menurut thomas Davidson di sebut juga
Block Universe. Paham ini kemudian terbagi dua yaitu :
1) Materialisme
Pada materialisme, aliran ini menganggap sumber asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini dipelopori oleh Thales (624-546 SM) dan
Anaximander (585-525 SM). Aliran ini disebut juga naturalisme. Menurutnya
bahwa zat yang mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada
hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh merupakan suatu kenyataan yang
berdiri sendiri.
2) Idealisme
Aliran idealisme adalah lawan materialisme yang dinamakan juga dengan
spritualisme. Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuau yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Aliran ini dipelopori
oleh Plato (428 -
348 SM), Aristoteles (384-322 SM), George Barkeley (1685-1753 M),
Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831
M), dan Schelling (1775-1854 M).
Ahmad Tafsir (2002, p. 30) menyatakan alasan dari aliran ini yang
menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya
dikarenakan:
a) Nilai ruh lebih tinggi dari badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi
kehidupan manusia. Sehingga materi hanyalah badan, bayangan atau
penjelmaan saja.
b) Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya
c) Materi adalah kumpulan energi yang mnepati ruang. Benda tidak ada,
yang ada energi itu saja.
b. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang bertentangan dengan materialisme dan
idealisme. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad
dan spirit. Kedua maca hakika ini masing bebas dan berdiri sendiri, sama sama
azali dan abadi. Sebagai contoh yaitu adanya kerjasama kedua hakikat ini dalam
diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai
bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia
kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Tokoh yang lain: Benedictus De
spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646- 1716 M).
c. Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme dalam Dictionary Of Philosophy and Religion dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada
itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada.
Doktrin ini ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandagan Gorgias
(483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas, antara lain:
1) Tidak ada sesuatu yang eksis atau dapat diktakan realitas itu sebenarnya tidak
ada
2) Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh
penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi.
3) Apabila realitas itu dapat diketahui, Ia tida akan dapat kita beritahukan
kepada orang lain.
Tokoh modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan
Friedrich Nietzsche (1844-1900 )M.
e. Agnostitisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda. Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa
Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya know.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti: Soren Kierkegaar (1813-1855M), yang terkenal dengan julukan sebagai
Bapak Filsafat Eksistensialisme dan Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang
filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan
sastrawan Prancis yang atheis, Bagus (1996).
2. Objek Kajian Ontologi
Obyek dapat dibedakan atas dua hal yaitu obyek material (material
object), yaitu obyek atau lapangan jika dilihat secara keseluruhan dan obyek
formal (formal object), yaitu obyek atau lapangan jika dipandang menurut suatu
aspek atau sudut tertentu saja. Seperti, manusia sakit “untuk kedokteran”. Abdul
Khobir (2009) menjelaskan ruang kajian ontologi antara lain, sebagai berikut:
a. Yang Ada (Being)
Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada yang menciptakan dan ada yang
diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Ada yang
menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena
hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan dan yang
diciptakan. Hukum sebab akibat bisa bersifat fisik,mekanis, berdimensi material,
sementara pencipta dan ciptaan didalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang
bersifat spiritual.
b. Yang nyata (realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa nyata dan ada
mempunyai pengertian serupa. Kata ada dipandang sebagai keragaman yang
spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan apa
yang sebenarnya nyata.
c. Esensi dan eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun tidak nyata selalu ada dua
sisi didalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang
nampak
adalah eksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang menolak bias
kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Eksistensi berada pada hubungan-
hubungan yang bersifat konkret, baik vertikal maupun horizontal dan bersifat
aktual dan eksistensi juga berorientasi pada masa kini dan masa depan, sedangkan
esensi adalah kemasalaluan.
Adapun cakupan ontologi yaitu :
1. Metafisika
Metafisika berasal dari kata “meta” berarti sesudah dan “fisika” berarti
nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat yang
membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata. Atau
dengan kata lain yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji
segala sesuatu secara komprehensif atau memikirkan hakikat di balik alam nyata.
Tafsiran Metafisika yang paling pertama diberikan oleh manusia terhadap
alam adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-
ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang
nyata. Ada beberapa tafsiran metafisika, yaitu:
a. Animisme
Animisme merupakan kepercayaan yang berkaitan dengan pemikiran
supernaturalisme yaitu manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib
yang terdapat dalam benda-benda seperti batu, pohon, air terjun. Animisme ini
merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan
kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.
b. Naturalisme
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalism yang
menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini.
c. Materalisme
Materalisme merupakan paham berdasarkan oleh pengaruh kekuatan yang
bersifat gaib, melainkan oleh pengaruh kekuatan yang terdapat dalam alam itu
sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Prinsip-prinsip materalisme dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M).
Dia mengembangkan teori tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya
Leucippus. Bagi Democritos, unsur dari alam ini adalah atom. Hanya berdasarkan
kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu
warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, obyek
dari penginderaan sering kita anggap nyata padahal tidak demikian. Hanya atom
dan kehamaap itulah yang bersifat nyata.
Terminologi yang kita berikan pada gejala yang kita tangkap lewat panca
indera. Ransangan pancaindera ini disalurkan ke otak kita dan menghadirkan
gejala tersebut. Sehingga gejala yang didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini
tidak terlalu menimbulkan permasalahan selama diterapkan kepada zat-zat yang
mati seperti batuan atau karat besi. Manusia menganut paham mekanistik
ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup hanya
merupakan gejala kimis-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup
adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantive dengan proses tersebut.
Mengenai pikiran dan kesadaran. Secara fisiologis otak manusia terdiri dari 10
sampai 15 biliun neuron. Neuron adalah sel saraf yang merupakan dasar dari
berbagai disiplin ilmu seperti fisiologi, psikologi, kimia, matematika, fisika,
teknik, dan neuro-fisiologi. Sehingga proses berpikir manusia menghasilkan
pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya.
Dalam hal ini maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak
membedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda-beda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat
zat dan energi, dalam teori relativitas Einstein, energi hanya merupakan bentuk
lain dari zat. Dalam hal ini maka proses berpikir dianggap sebagai aktivitas
elektrokimia dari otak. Jadi yang membedakan robot dan manuisa bagi kaum yang
menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang
membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada
hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat
menyamai manusia, maka robot itu pun bisa menjadi manusia.
Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Terminologi
dualism ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1700) sedangkan monoisme
oleh Cristian Wolff (1679-1754). Dalam metafisika maka penafsiran dualisme
membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda sui
generis secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualistic ini diantaranya
Rene Descrates (1596-1650), John Locke (1632-1714), dan George Berkely
(1685- 1753).
Ketiga ahli filsafat ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikian,
termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental.
Bagi Decrates maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah
maka sesuatu itu lantas ada. Decrates mulai menyusun filsafat secara deduktif
berdasarkan pertanyaan yang baginya merupakan kebenaran yang tidak diragukan
lagi.
Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat
diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula rasa) menjelaskan bahwa
pengalaman indera kemudian melekat pada lempengan tersebut. Semakin lama
maka semakin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari
pengalaman-pengalaman Indera itu seterusnya membuahkan ide yang kian lama
kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang
menagkap dan menyimpan pengalaman indera. Pada dasarnya tiap ilmuan boleh
mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda yang bisa menganut paham
mekanistik, vitalistik, atau idealistil. Titik pertemuan kaum ilmuan adalah bersifat
pragmatis dari ilmu.
Dengan lahirnya sains, banyak orang beranggaban bahwa metafisika
merupakan barang kuno. Menurut mereka, penemuan ilmiah betul betul dapat di
percaya karna dapat diukur, sebaliknya pemikiran metafisika dapat dibuktikan
kebenarannya dan tidak memiliki aplikasi pratis. Tetapi dewasa ini kita kenal
bahwa metafisika dan sains merupakan dua kegiatan yang berbeda, memiliki nilai
dan manfaat dalam lapangannya masing masing. Keduanya berusaha menyusun
pertanyaan pertanyaan umum. Tetapi, metafisika berkaitan dengan konsep yang
kejadiannya tidak dapat diukur secara empiris, seperti menyatakan :”Allah adalah
penciptaan alam semesta” tujuan akhir manusia adalah hidup bahagia dunia dan
akhirat.
Metafisika berusaha untuk memecahkan masalah hakikat realitas yang
tidak mampu sains memecahakannya. Metafisika secara praktis akan menjadi
persoalan utama dalam pendidikan. Karna anak bergaul dengan alam sekitarnya,
maka ia memiliki dorongan kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang
ada. Anak, baik disekolah maupun dimasyarakat, selalu kehidupannya ralitas,
mengalami segala macam kejadian alam kehidupannya. Anak meliihat benda mati,
mahluk hidup, hewan, manusia, bahkan menyaksikan tentang kematian mahluk
hidup.

2. Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih
dibuktikan). Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalis yang berpendapat
bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu.
Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan
bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan
alternatif.
Tiga karakteristik yang perlu ditinjau dari awal bahwa gejala alam tunduk
pada:
a. Determinisme
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal.
Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa
pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
uiversal.
b. Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak
ditemukan pada bidang ilmu sosial.
c. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada
namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk
memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas.
Ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan
seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling
hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demeikian sampai tahap tertentu ilmu perlu
memiliki keabsahan salam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang
bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi,
diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya
terhadap penafsiran probalistik.
3. Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8
secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu
adalah
8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut
memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak
ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
4. Batas – Batas Asumsi dalam Peluang
Hal hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan asumsi yaitu :
a. Asumsi dalam ilmu harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian
disiplin keilmuan.
b. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi
yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang
mendasari telaah moral.
5. Pembelajaran dalam Ilmu
Terdapat dua cabang ilmu yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi ilmu
alam (the natural sciences); dan filsafat moral yang kemudian menjadi ilmu sosial
(the social sciences). Dalam kajiannya, ilmu alam terbagi menjadi dua yaitu yang
ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science).

3. Ontologi Ilmu Pengetahuan


Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat
ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) menjelaskan bahwa ontologi itu ilmu
yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu hakikat
realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah. Adapun
dalam penelitian kualitatif, ontologi muncul dalam bentuk aliran, misalnya
idealisme, rasionalisme, materialisme. Keterkaitan antara penelitian kuantitatif dan
kualitatif memang tidak perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu yang
membahas seluk beluk ilmu.
Adapun aspek dalam tahapan ontologi ilmu pengetahuan adalah seperti
pada tabel berikut:
1. Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
2. Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
3. Bagaimana hubungan anatara objek tadi dan daya tangkap manusia (sepeti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
4. Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa
ilmu?
5. Bagaimana prosedurnya?
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia. Hal ini disebabkan karena metode yang dipergunakan dalam menyusun
telah teruji kebenarannya secara empiris. Ilmu hanya berwenang dalam
menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan, tentang baik dan buruk,
sumber-sumber moral, tentang indah dan jelek, serta terkait estetik.
Terdapat dua cabang ilmu yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi
ilmu alam (the natural sciences); dan filsafat moral yang kemudian menjadi ilmu
sosial
(the social sciences). Dalam kajiannya, ilmu alam terbagi menjadi dua yaitu yang
ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science).
Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, yang
kemudian bercabang kembali menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi.
Tiap-tiap cabang ini terus berkembang menjadi ranting-ranting yang baru.
Sedangkan ilmu sosial berkembang menjadi ilmu sosial antropologi, psikologi,
ekonomi, sosiologi dan politik. Cabang ilmu ini juga terus mengalami
perkembangan. Contoh perkembangan ilmu seperti di bawah ini:

ILMU MURNI ILMU TERAPAN


Mekanika Mekanika Teknik
Hidrodinamika Teknik Aeronautikal/
Teknik & Desain
kapal
Bunyi Teknik Akusitik
Cahaya & Optik Teknik Iluminasi
Kelistrikan/ Magnestisme Teknik Elektronik/
Teknik Kelistrikan
Fisika Nuklir Teknik Nuklir
BAB III
PENUTUP

Ontologi merupakan salah satu paham dalam filsafat yang membicarakan


tentang hakikat tentang segala sesuatu. Objek kajiannya antara lain metafisika,
asumsi, peluang, dan batas-batas asumsi dalam peluang. Ontologi hadir sebagai
langkah awal untuk mengetahui apa yang ingin diketahui.
Secara ontologi, ilmu mengkaji tentang ilmu pengetahuan yang ilmiah,
apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif, dan kenyataan empiris
yang tidak terlepas dari apa dan bagaimana. Dengan kata lain, ontologi ilmu
membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara
rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia. Pembatasan ini disebakan
karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat
pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris dan penilaian
secara empiris dalam proses pememuan/penyusunan pernyataan yang bersifat
benar secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemogi dan Aksiologi. Jurnal Sulesana, 8, 35–45.


Retrieved from http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/sls/article/view/1276

Bakhtiar, A. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dwiloka, B. (2005). Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.

Junaedi, M. (2017). Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Ilmu. Depok: PT


Kharisma Putra Utama.

Kattsoff, L. O. (1953). Pengantar Filsafat (1953rd ed.). New York: The Roland
Press Company.

Khobir, Abdul. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: Gama Media


Offset.

Saefuddin. (1998). Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi (Cet. IV).


Bandung: Mizan.

Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer (Cet. 20).


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai