Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

“(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI)”

DOSEN PEMBIMBINNG : Fibrika Basuki Rahmat, s.pd.,m.pd

DISUSUN OLEH

Yolara zaki (206220009)


Mina Kurnia Eka Wati (206220005)

PROGRAM STUDY TADRIS FISIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
TAHUN AJARAN 2023

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Tujuan.......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Ontologi....................................................................................................3

B. Epistemologi.............................................................................................6

C. Aksiologi...................................................................................................9

BAB III KESIMPULAN....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................14

PERTANYAAN.................................................................................................15
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“(Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi)“
Penulis memohon maaf jika masih banyak terdapat kekurangan pada makalah
ini. Kritik dan saran membangun sangat berarti untuk kemajuan penulis. Semoga
makalah ini bermanfaat sebagai sumber belajar bagi penulis dan pembaca.

Jambi, 19 Maret 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa
berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar
dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut
tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran
filosofis sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia
adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh
karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam
filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme,
eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan
lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam
filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti
pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan
dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama
berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari
perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan
upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni
untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala
sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis).
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang
hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing
aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal
tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang
menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam
makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, maka kami akan mengemukakan beberapa permasalahan
pokok yang berkaitan dengan materi sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan Ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana  tinjauan Epistemologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana tinjauan Aksiologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

C. TUJUAN
Adapun tujuan penbuatan makalah ini adalah :
Membahas tentang dimensi kajian filsafat ilmu yang terbagi menjadi tiga poin
utama, sehingga diharapkan dapat memahami pentingnya ilmu dalam kehidupan
umat manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ONTOLOGI
Sebelum kita masuk pada cangkupan dan kajian aspek ontologi filsafat
hukum, maka kita perlu meletakan fungsi ontologi. Ajaran ontologi dalam filsafat
ilmu, tidak membatasi jangkauannya hanya pada suatu wujud tertentu.
Penelusuran ontologi mengkaji apa yang merupakan keseluruhan yang ada secara
objektif ditangkap oleh panca indra, yaitu pada taraf metafisika akan mengkaji
dan membicarakan problem watak yang sangat mendasar dari benda atau realitas
yang ada dibelakang pengalaman yang langsung secara koperhensif, oleh karena
itu, ontologi akan mencari dan mengkaji serta membicarakan watak realitas
tertinggi (hakekat) atau wujud (being). Noeng Muhajir berpandangan bahwa objek
telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada sesuatu perwujudan tertentu,
ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti
yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua
bentuknya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa titik tolak kajian ontologi
dalam filsafat ilmu akan mempersoalkan; apa objeknya, bagaimana hakekat dari
keberadaan (wujud) objek tersebut, serta bagaimana perhubungan objeknya
terhadap jangkauan penalaran (pikiran) dan deteksi panca indara manusia.
Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya,
bagaiman kita dapat memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna
tertinggi), sementara kita hanya mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan
hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa sesungguhnya dari objek hukum itu
sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori bahwa objek
filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai
pada inti atau dasarnya, yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat
hukum adalah hukum, maka permasalahan dan pertanyaan yang dibahas oleh
filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa yang telah diuraikan diatas,
seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum
positif, apa sebab orang mentati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-
masalah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini oleh sebahagian orang
disebut sebagai masalah filsafat hukum kontemporer meskipun itu belum tentu
benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu telah diperbincangkan. Para
filsuf terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek dalam kajian filsafat
hukum. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan
masalah hukum yang mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang
memerluka suatu pemecahan, karena perkembangan filsafat hukum saat ini bukan
lagi filsafat hukum para fisuf zaman yunani dan romawi.
Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya dinamis menembus permsalahan
yang bersinggungan hukum, dan secara terus menerus mencari jawaban debalik
apa yang telah tertuntaskan (ultimate). Pandangan fisafat hukum juga tidak secara
langsung mempersoalkan hukum positif sebagai objek yang inti. Adalah Gustav
Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”, yaitu Keadilan, Kegunaan dan
Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi bekerja diluar
jangkauan yang mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak hanya
melihat hukum sebagai objeknya melainkan segala pola perilaku manusia, dasar
dimana timbal balik hak dan kewajiban (manusia) berperan, serta hubungan
timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya yang berkemungkinan
bersentuhan (perlindungan) dengan kewajiban negara, pemerintah dan
masyarakat. Menurut hemat kami, bahwa yang dimaksudkan dengan objek filsafat
hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan, perlindungan/pencegahan.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat
empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji
oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang
sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat
dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri
tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris.
Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam:
1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh
lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik
pandang terhadap obyek material.
Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat
beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap
benar dan tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik
tolak segala pandang kegiatan. Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah
yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Ada beberapa
asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu: Pertama,
menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan
yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua,
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan
agar mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan
berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia.
Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan
berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama,
asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
Kedua, asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”.
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan
asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang
ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula
konsep pemikiran yang dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah
dilandasi dengan asumsi yang tegas, yaitu tersurat karena yang belum tersurat
dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa
penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila
kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli
ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain,
seorang ilmuan politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.
B. EPISTEMOLOGI
Pada tataran Epistimologi dalam filsafat hukum, akan mempersoalkan
darimana unsur-unsur hukum itu datang (ada), selanjutnya bagaimana orang dapat
memperoleh pengetahuan hukum dan bagaimana orang dapat merumuskan
tentang struktur pengetahuan tentang ilmu-ilmu hukum. Untuk ilmu pengetahuan
hukum, lahirlah pertanyaan mendasar yakni, untuk aypa penggunaan hukum, apa
batasan wewenang penelitian (jangkauan) hukum dan bagaimana hukum raharus
diarahkan, serta bagaimana kita dapat memperoleh jaminan-jaminan hak dan
kewajiban hukum pada taraf yang wajar.
Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain;
pertama, ajaran yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan, (preskriptif),
dan yang kedua, yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup.
Sedangkan unsur-unsur hukum mencangkup unsur-unsur idiil serta unsur-unsur
riil. Epistimologi filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar
belakan yang tidak dapat diubah oleh panca indra”, sehingga filsafat hukum (pada
tataran epistimologinya), menjadi suatu ilmu normatif , seperti halnya dengan
ilmu politik hukum.
Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa
unsu-unsur hukum merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa
teliti perkembangan dan persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya
dimana hukum diberlakukan serta segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
hubungan-hubungan hukum.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu
pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara
dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni,
apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan
berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena
keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan.
Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode
ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan
empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Banyak pendapat para
pakar tentang metode ilmu pengetahuan, namun penulis hanya memaparkan
beberapa metode keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang ditempuh
dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk
mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Epistemologi
dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan perhatian
kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang
diatur dalam suatu urutan tertentu .
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah
sebagai berikut:
a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c. Penyusunan atau klarifikasi data
d. Perumusan hipotesis
e. Deduksi dari hipotesis
f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)

Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masing-masing


terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk
menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori) maka hendaklah melalui metode
ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan:
Pendekatan deduktif dan Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat
dipisahkan dengan menggunakan salah satunya saja, sebab deduksi tanpa
diperkuat induksi dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya
induksi tanpa deduksi menghasilkan buah pikiran yang mandul.
Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik
“pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada
tiga ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori
kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini
sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa,
selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.

C. Aksiologi
Yang menjadi objek kajian filsafat pada tataran aksiologi adalah bagaimana
manusia dalam penerapan pengetahuan itu, dapat mengklasifikasinya, tujuan
pengetahuan dan perkembangannya. Pada taraf tertinggi, aksilogi filsafat hukum
akan mempersoalkan bagaiman hukum itu berfungsi secara ideal. Nilai, azas dan
norma (azas objektif hukum yang bersifat moral, Azas objektif hukum yang
bersifat Rasional, dan Azas subjektif hukum yang bersifat Moral dan Rasional)
yang merupakan unsur-unsur hukum. Pengertian azas hukum adalah prinsip-
prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum atau pengertian dan nilai-nilai
yang menjadi titik tolak pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-
undang atau prinsip-prinsip yang merupakan kedudukannya yang lebih tinggi dari
pada hukum yang ditentukan manusia.
Aksiologi filsafat hukum pada kebanyakan (masyarakat) umumnya dikenal
dengan peranan hukum, dimana dasar keadilan dan kepastian hukum menjadi pilar
yang seyogianya ditopang dengan segenap keseimbangan hukum. Tidak
bermaksud untuk memadukan antara aksiologi filsafat hukum dan penemuan
hukum, namun pada kausalitasnya penerapan hukum, unsur-unsur penemuan
hukum merupakan kosekwesi dari penerapan hukum secara empirik. Sudikno
Mortokusumo berpandangan bahwa, jikalau mencari hukumnya, arti sebuah kata
maka dicari terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat
autentik, berbentuk tertulis, dan menjamin kepastian hukum. Nilai (value)
merupakan salah satu cabang filsafat yaitu axiologi (filsafat nilai). Nilai biasanya
digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat dinyatakan
sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula,
Bahanuddin Salam menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah
sampai pada teori nilai yaitu teori yang menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu
proses-proses yang mendahului, mengiringkan malahan menentukan semua
kelakuan manusia.
Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga
tahapan pembedahan hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum,
kepastian hukum, jaminan hak dan kewajiban serta hubungan-hubungan hukum
merupakan ruang bersekutunya unsur-unsur hukum, yang menjadi alasan objektif
ke-dinamisasian hukum itu berproses.
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika, ilmu itu dapat dibagi menjadi 2
(dua) kelompok :
1. Ilmu Bebas Nilai
Dalam tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan
karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu
kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup
manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam
dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu
dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana
perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi
ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan
yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia
dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk
menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral. Masalah
moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para
ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral
dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Golongan
kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan,
namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral.
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas
dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga
ilmu itu tidak bebas nilai.
2. Teori tentang nilai
Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai
perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai.
Pemandangan indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun,
suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat.
Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta
berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya
dapat dihayati. Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai,
namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang
penghargaan. Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan,
antara keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati
juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini
berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral,
tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung
nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah
criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai.
Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai
estetika, Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia
dan memandangnya dari sudut baik dan buruk.
Adapun cakupan dari nilai etika adalah:
Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh
manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma
universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk
dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah
implikasi suatu perbuatan baik dan buruk.
Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang,
benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum
baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu
nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi
kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah.
Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu
lemari.
Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,
dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian.
Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang
berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan.
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak
pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya
sesuatu mempunyai nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat
mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama
filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia
memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu
dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan
pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan
“Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”

DAFTAR PUSAKA

Zilullah, Wa ode.2019. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai


Landasan Penelaahan Ilmu.
https://www.academia.edu/7155203/
Ontologi_Epistemologi_dan_Aksiologi_sebagai_Landasan_Penelaahan_Ilmu
(diakses tanggal 04 November 2019)

Bakri. 2010.Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi mengenai :


Sekurasi Ilmu Pengetahuan.
https://mrbthoan.wordpress.com/2010/12/27/tinjauan-ontologi-
epistemologi-dan-aksiologi-mengenai-sekularisasi-ilmu-pengetahuan/
(diakses 04 November 2019)

Almadili, Ahmad Gozali. 2011. Filsafat Ilmu.


http://islamiceducation001.blogspot.com/2019/02/filsafat-ilmu.html
(diakses tanggal 04 November 2019)

Madilis, Hasan. 2011. Filsafat Hukum dalam Kajian Aspek Ontologi,


Epistimologi dan Aksiologi.
http://jambilawclub.blogspot.com/2011/03/filsafat-hukum-dalam-kajian-
aspek.html (diakses tanggal 04 November 2019)

Anda mungkin juga menyukai