Dosen Pengampu :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr,Wb Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta karunia-NYA sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah Psikologi Islam ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Psikologi Islam yang diampuh oleh Ermita Zakiyah, M. Th.I. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Psikologi Islam bagi para
pembaca dan penulis.
Kami menyadari,bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.
Penulis.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan psikologi islam bermula dari ide dan gerakan
islamisasi sains. Berkaitan dengan islamisasi psikologi brarti membahas
mengenai apa yang dimaksud psikologi islam maka harus dimulai dari
penemuan dan teori-teori psikologi barat yang sudah mapan.
Konsekuensinya: pertama, psikologi dipakai sebagai pisau analisis
terhadap masalah-masalah kejiwaan umat islam, dan kedua, islam
dijadikan sebagai pisau analisis untuk menilai konsep-konsep psikologi
barat. Sebaliknya, mengikuti sardar, psikologi islam harus dibangun dari
kerangka pikir (mode of thought) islam sendiri. Ini bisa terjadi, karena
dalam nash terdapat sejumlah informasi mengenai persoalanpersoalan
substansial psikologi, misalnya al-fitrah, al-rruh, al-nafsh, al-qalb,
aldhamir, dan sebagainya.
Kehadiran psikologi islam di satu sisi merupakan reaksi positif
bagi serangkaian upaya pengembangan wacana psikologi modern. Dalam
rentang sejarah perkembangan psikologi, terdapat beberapa aliran yang
memiliki spesifikasi orientasi sendiri-sendiri. Terkait dengan hal di atas,
makalah ini akan membahas tentang perkembangan paradigma dan teori
psikologi modern melalui perspektif thomas Kuhn dan Karl Popper beserta
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Paradigma menurut Thomas Khun
2. Bagaimana Paradigma menurut Karl Popper
3. Bagaimana Fase perkembangan psikologi islam
C. Tujuan
1. Bagaimana Paradigma menurut Thomas Khun
2. Bagaimana Paradigma menurut Karl Popper
3. Bagaimana Fase perkembangan psikologi islam
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. THOMAS KUHN
1. Biografi Thomas Kuhn dan Penolakan atas Positivisme
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika
Serikat. Kuhn memulai awal kariernya sebagai seorang ahli fisika, yang
selanjutnya ia mengembangkan dalam ilmu sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Kuhn
menyelesaikan studi doktornya dan mendapat gelar Ph.D dalam ilmu pasti alam
di Harvard dan University of California di Berkeley. Di sini pula ia kemudian
bekerja sebagai asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.
Pada tahun 1964-1979 Kuhn mengajar pada Universitas Princeton dan dari tahun
1979-1991 ia bertugas di Massachusetts Institute of Technology yang pada tahun
1983 menganugerahinya gelar Profesor (Erwiningsih, 2007:78). Thomas Kuhn
menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang
akhirnya meninggal pada Senin 17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusetts USA
dalam usia 73 tahun.
2
representasi realitas dan fenomena. Ilmu pengetahuan secara natural memiliki
kesempatan dan otonomi dalam pencarian kebenaran antara prediksi dan deteksi
sebagai penelusuran ilmiah dalam menemukan kebenaran ilmiah baru. Apa yang
benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru
(adanya relativisme).
Dengan demikian paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau
salah. Akan tetapi juga bisa terbimbing oleh sesuatu yang baik atau yang paling
baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, hasil
final dari penelitian dilakukan ilmuwan seharusnya tidak terpaku pada hanya
untuk menemukan kebenaran, tapi juga bisa memberikan makna aksiologinya,
yaitu nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa
paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif,
karena nilai objektifnya tersebut relatif dan dapat diperoleh berdasarkan
penggunaan metode tertentu yang disepakati masyarakat ilmiah. Dengan kata lain,
penggunaan paradigma akan menentukan metode apa yang sesuai lalu disepakati
untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah ilmiah.
3
2. Paradigma Sosiologi, Paradigma ini seperti eksemplar (pengetahuan yang
diterima secara umum) yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan,
keputusan-keputusan dan aturan yang diterima dari hasil penelitian yang
diterima secara umum. Misalnya penelitian Frued, Skinner, dan Maslow
dalam psikologi yang kemudian dijadikan contoh penelitian oleh pendukung
paradigma tersebut.
3. Paradigma konstruk, adalah konsep yang paling sempit dibanding kedua
paradigma di atas. Contoh pembangunan reaktor nuklir merupakan paradigma
konstruk dalam fisika nuklir dan mendirikan laboratorium menjadi paradigma
konstruk bagi ilmu psikologi eksperimental.
Kuhn memiliki kriteria di mana satu teori (ilmiah) dianggap lebih baik
dari teori yang lainnya (Rofiq, 2015) kriteria tersebut adalah:
4
Paradigma I
Normal Sains
Anomali
Krisis
Revolusi Sains
Paradigma II
5
Teori Teori Teori
B. Karl Popper
Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan filsuf
tetapi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua bukunya, The Open
Society and its Enemies dan The Poverty of Historicsm,1 telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Dalam dua karyanya itu
Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap ilmu (science) karena itu
akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang membahayakan kebebasan umat
manusia. Popper, sebaliknya, mengajukan pentingnya sikap terbuka terhadapnya,
yaitu sikap yang siap dengan kemungkinan bahwa ia bisa benar dan/atau bisa
salah. Gagasan yang kemudian disebut prinsip „falsifikasi‟ tersebut sentral dalam
pemikiran Popper. Dengan tegas Popper menyatakan bahwa „problem demarkasi‟
antara apa yang disebutnya „ilmu‟ dan „ilmu-semu‟ berpangkal pada pertanyaan
apakah ia bisa „dibuktikan salah‟ atau tidak.
6
Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria,
pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh
minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang
yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi
buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan
yang „decidedly bookish‟. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia
intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan
sekolah „realgymnasium‟-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana
terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas
Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di
universitas itu.
Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk
menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan,
Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris.
Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College,
Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan
the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato,
7
Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut
pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme,
yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat
totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.
8
memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan
yang benar?
9
objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu
ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi
atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna.
Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna.
Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris,
yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.
10
Teori Popper ini menegaskan bahwa kebenaran proposisi suatu ilmu tidak
ditentukan melalui uji verifikasi, tetapi upaya penyangkalan atas kebenarannya
melalui berbagai percobaan yang sistematis. Semakin besar upaya untuk
menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka
semakin kokoh pula keberadaannya. Menurut Popper, kemajuan ilmu
pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat
adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya.
Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa
ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang
salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-
hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan
diganti dengan teori yang baru.
Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada
Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai
suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian
intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk
epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). Analisis yang lahir dari
epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi
tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-
problem baru.
11
Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak
pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara
jelas Popper menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif
dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam
interaksi yang terus menerus untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa
binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang
sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih
tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif”. Kutipan ini merupakan
kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat
dari permasalahan bahasa.
12
Dahulu ilmuwan muslim sangat mengagumi pandangan froid tentang
bagaimana perkembangan keagamaan pada anak seperti profesor Mustofa
mengungkapkan pandangannya yang didasarkan pada psychoanalysis belum
menyatakan tidak diragukan lagi bahwa psychoanalysis dengan caranya yang
jelas mengungkapkan sumber perasaan keagamaan dan perkembangan
kehidupan beragama dalam diri manusia. Anak membayangkan ayahnya dan
memandangnya sebagai tokoh yang paling kuat untuk mengetahui segala
sesuatu. Namun ketika telah melewati tahap di Oedipal, anak mulai
menemukan kelemahan-kelemahan ayahnya. Sehingga ia berfikir untuk
memindahkan kualitas tokoh yang serba tahu dan kuat kecuali kepada dzat
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi Dan inilah Tuhan. (Malik B. Badri,
1996)
Pada fase ini psikologi Islam sama sekali belum menemukan jati
dirinya psikologi. Psikologi Islam digunakan oleh para ilmuwan muslim
sebagai penggunaan teori-teori atau konsep-konsep psikologi barat modern
untuk menjelaskan kondisi Islam atau ajaran Islam.
2. Fase kritik
Pada fase ini muncul berbagai pemikiran kritis dalam muslim tak
terkecuali sikap kritis terhadap psikologi modern memperdalam dan mencari
perbedaan dan pertentangan antara Islam dan psikologi modern. Beberapa
ilmuwan muslim mulai menemukan konsep-konsep psikologi barat modern
yang perlu dilakukan dan mengandung kelemahan-kelemahan fundamental
hingga muncullah beberapa sikap yang sangat reaktif terhadap psikologi
modern. Pada fase ini, kritik terhadap psikologi barat modern sangat gencar
dilakukan terutama semenjak terbitnya telaah kritis profesor Malik Badri
seorang psikolog berkebangsaan dan dalam bukunya the dilemma of Muslim
psychologist yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 di London,
profesor baterai mengungkapkan bahwa telah terjadi penjiplakan secara
besar-besaran tanpa adaptasi yang dilakukan ilmuwan muslim terhadap teori-
teori yang dikembangkan masyarakat barat fenomena tersebut profesor
13
bakteri sebagai fenomena " psikologi muslim yang mengulang suara
tuannya"
Salah satu kritiknya dilakukan pada pemikiran B.F Skinner, salah satu
tokoh behaviorisme yang berpendapat bahwa berdasarkan karya
eksperimental nya tentang reinforcement dan operant conditioning ia
menyimpulkan bahwa tingkah laku yang kita sebut benar dan salah tidak
disebabkan oleh kebaikan atau keburukan yang ternyata ada dalam suatu
situasi, dan tidak pula disebabkan oleh pengetahuan bawaan tentang benar
atau salah halal atau haram tapi itu hanya disebabkan oleh kemungkinan-
kemungkinan yang melibatkan berbagai macam penguat positif dan negatif
ganjaran dan hukuman. Jadi menurut skinner kehidupan beragama seseorang
bisa disusutkan menjadi refleks refleks dan respon-respon yang terkondisi.
(Badri 1996).
3. Fase perumusan dan pengembangan
Pada masa ini sudah mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
dan luas mengenai kelemahan psikologi modern, selanjutnya muncul
kesadaran untuk menghadirkan konsep Islam tentang psikologi islami.
Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan selalu ditandai oleh adanya objek
material dan objek formal tertentu. Objek material psikologi Islam jelas adalah
manusia sementara objek formalnya adalah pengalaman kepribadian dan
perilaku manusia.
4. Fase penerapan
Fase penerapan dapat ditandai mual terapkannya konsep konsep
psikologi islami dalam kehidupan umat manusia dan pemanfaatan hasil hasil
penelitian untuk memecahkan berbagai problem yang berkembang dalam
kehidupan manusia.
Dalam fase ini sesungguhnya dapat diakomodasikan pendekatan yang
sebaliknya yaitu menggunakan tradisi umat Islam sebagai ajang pengukuhan
psikologi islami. Sebagai contoh dapat berubah penggunaan dzikir untuk
menyembuhkan gangguan gangguan kejiwaan. Pendekatan pertama dapat
dengan menerapkan teori teori atau konsep konsep ke dalam satu praktik
14
tertentu misalnya penerapan konsep insan Kamil untuk mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendekatan kedua dapat
menggunakan tradisi Islam Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
mempercepat proses penerapan psikologi Islam itu adalah dengan
mengadakan penelitian terhadap aktivitas yang dilakukan oleh lembaga
lembaga atau perorangan yang berakar pada tradisi Islam. Sebagai contoh
pondok pesantren yang menerapkan pendekatan dzikir untuk menangani
gangguan kejiwaan dengan melakukan penelitian tersebut akan dapat
peneguhan secara ilmiah terhadap praktek praktek psikologi Islam serta
pengembangan psikologi Islam. Fase penerapan ini merupakan salah satu
tantangan terbesar dalam psikologi Islam agar mengetahui seberapa besar
sambutan psikologi Islam dapat dilaksanakan di masyarakat.
Perkembangan psikologi agama di wilayah timur (Islam) sebenarnya
telah lebih dulu dilakukan dibanding di dunia barat, seperti dalam kurun
waktu yang lebih awal yaitu Ibn Tufail (1110-1185 M), dan juga Imam
Ghazali (1059-1111M), kedua tokoh ini telah membahas apa yang disebut
oleh dunia barat sebagai psikologi agama. Sedangkan pada abad ke-20 mulai
berkembang khususnya dalam dunia Islam kajian-kajian tentang psikologi
agama seperti Abdul Mun‟in Abdul Aziz al-Malighy (1955) dengan buku
berjudul Tatawwur al-Syu’rr al-diny inda Tfil wa al-Murahiq Kairo yang
membahas tentang perkembangan agama secara spesifik yang berdasarkan
pada konteks kejiwaan, dikalangan Islam buku ini dianggap sebagai awal
kemunculan kajian psikologi agama khususnya Islam dikalangan ilmuwan
muslim modern (Baharuddin, 2011)
D. Tokoh-Tokoh Psikologi Islam
15
kesehatan sempurna jika tidak mencapai antara kesehatan jiwa dan raga.
Hal ini sesuai dengan psikologi modern pada saat ini di mana membahas
akal sehat psikologi situ sendiri sebagaimana yang disampaikan oleh Lind
berg bahwa akal sehat adalah sebuah bentuk pengetahuan yang operatif
umum untuk sebuah kelompok mengenai alam sifat manusia dan situasi
sosial yang sangat menekankan pada barisan hidup dapat kita lihat bahwa
ilmuwan muslim sudah lebih dulu mengaji pembahasan ini.
2. Ibnu Sina
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagai kesimpulan awal yang
dengannya spesies menjadi sempurna sehingga manusia yang nyata yang
bagi dalam tiga bagian yaitu jiwa nabati hewani dan jiwa rasional (najati,
2013)
a. Jiwa nabati, aspek ini mengandung 3 daya yaitu: daya nutrisi yang
berfungsi untuk mengolah makanan menjadi bentuk tubuh, daya
pertumbuhan yang berfungsi untuk pengolahan makanan yang telah
diserap tubuh agar mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan
perkembangan tubuh, dan yang terakhir daya generatif yang
merupakan daya untuk pengolahan secara harmonis unsur-unsur
makanan yang ada dalam tubuh sehingga menghasilkan pertumbuhan
dan perkembangan tubuh yang sempurna.
b. Jiwa hewani, aspek ini mengandung dua daya yaitu daya penggerak
dan bahaya persepsi daya penggerak bagi terbagi atas daya hasrat dan
daya motorik. Daya persepsi terbagi dari dua bagian yaitu Indra
internal yang terdiri dari: Indra kolektif, konsepsi, fantasi, waham, dan
memori. Indra eksternal : Indra penglihatan, pendengaran, dan
pengecapan.
c. Jiwa rasional, merupakan ciri khusus yang dimiliki manusia yang
fungsinya berhubungan dengan akal. Dari satu sisi jiwa rasional
melaksanakan berbagai perilaku berdasarkan hasil kerja pikiran dan
kesimpulan ide. Dari sisi lain mempersepsikan semua persoalan secara
universal.
16
3. Al-Ghazali
17
walaupun ia hanya mengungkapkan dalil-dalilnya”. Nafsu disamping
menampung ide pengetahuan dan nurani juga menampung pengetahuan
yang di dipendam atau terpendam yang tak lagi disadari pemiliknya hal ini
terungkap melalui firman Allah:
18
humanistik fisik psychosis ngetik atau spiritual hingga menjadi struktur
kepribadian manusia yang baru.
Menurut dimensi dimensi manusia seluruhnya berada dalam
kendali ruh-ruh sumber hidup dapat diartikan sebagai suatu yang halus dan
indah dalam diri manusia yang mengetahui dan mengenal segalanya.
6. Fuad Nashori
Fuad Nashori (1994,1995,1996) mengungkapkan konsep tentang
fitrah manusia. Dituturkan bahwa pada dasarnya sifat asam manusia
adalah baik dan manusia selalu ingin kembali kepada kebaikan dan
kebenaran sejati. Fitrah manusia adalah mempercayai dan mengakui Allah
subhanahu wa ta'ala sebagai Tuhannya dorongan religius dengan demikian
adalah alamiah sifatnya. Iya ada sebelum manusia dilahirkan sejak ada di
zaman azali. Ketika manusia di alam dunia Allah mengambil kesaksian
terhadap manusia dengan firman-Nya:
19
dalam diri manusia sejak zaman azali. Namun adanya perpaduan ruh
dengan tubuh kesibukan manusia dengan berbagai tuntunan tubuhnya dan
tuntutan-tuntutan kehidupannya di dunia dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dan dalam rangka memakmurkan bumi telah membuat
pengetahuannya akan diberikan Allah sebagai Tuhan dan kesiapan
alamiahnya untuk mengesakan Allah tertimpa kelengahan dan kelemahan
dan airnya tersembunyi dalam alam bawah sadarnya. Dalam kondisi
demikian kesucian fitrah manusia ternoda dan menjadikan manusia
sebagai seburuk-buruk makhluk. Hal ini sebagaimana terungkap dalam
sebuah firman Allah yang menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan dia dapat mengembalikan manusia
ke tempat yang serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang berada
dalam kebenaran yang digariskan-Nya (QS. At-Tiin 95: 4-6)
E. Masa Depan Psikologi Islam
20
Menurut Djumhana, (2011) Konsep psikologi Islam pada dasarnya
dilandasi dengan keyakinan bahwa kebenaran kebenaran yang hakiki terungkap
secara verbal dalam firman-firman Allah dan tersirat dalam sunnatullah atau
hukum alam termasuk sunnatullah yang bekerja pada diri manusia itu sendiri.
Orientasi filosofi dan asumsi-asumsi dasar yang melandasi psikologi Islam sama
sekali tidak membuat corak psikologi kehilangan nilai keabsahannya karena pada
dasarnya bahwa asas asas psikologi yang diungkapkan dalam Alquran adalah
Maha benar abadi dan universal. Sehingga para calon-calon psikolog muslim
diharapkan dapat memberikan andil besar dalam proses pengembangan psikologi
Islam. Berbagai usaha dapat dilakukan antara lain membentuk kelompok studi
dengan berbagai kegiatan seperti pengelompokan ayat alquran mengenai manusia,
melakukan telaah pustaka yang bahas antar agama, dan psikologi beredukasi
dengan para cendekiawan di bidang lain yang berpotensi dalam mengembangkan
psikologi Islam.
21
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi Islam memiliki objek kajian berupa manusia dan tingkah laku
manusia. Psikologi islam memiliki keunikan sendiri yang terfokus dengan
bagaimana mengatasi problem kaum muslim dalam menghadapi kehidupannya,
bagaimana telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang
dipandang menyimpang dari ajaran islam, serta bagaimana tawaran konsep
alternated tentang psikologi, yakni dengan membangun konsep islamisasi
psikologi.
1. Persoalan induksi
Popper berpendapat bahwa bagaimana mungkin pernyataan tunggal dapat
menjadi pernyataan universal. Ini sangat tidak logis.
2. Persoalan demarkasi
Demarkasi adalah garis pembatas antara pengetahuan ilmiah dan tidak
ilmiah bagi Popper. Akan tetapi menurut kaum positivis ialah tembok
pembatas antara penyataan bermakna dan tidak bermakna dengan cara
diverifikasi. Disinilah yang menurut Popper perlu adanya koreksi terhadap
demarkasi yang dilontarkan oleh kaum positivis. Ini bukan persoalan
bermakna atau tidak. Namun ini adalah persoalan ilmiah atau tidak
22
ilmiah.Persoalan ini berhubungan dengan persoalan induksi. Misalnya
ketika kita memverifikasi suatu teori dan hasilnya berbeda (tidak sesuai
dengan teori tersebut), maka mungkin kita dapat mengatakan bahwa teori
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmiah. Karena terori
tersebut tidak memiliki konsekuensi empiris (dapat diuji dengan
pengalaman). Akan tetapi bukan berarti teori tersebut tidak bermakna. Dan
sesuatu yang berbau empiris tidak musti induksi. Sehingga popper
menawarkan falsifikasi.
3. Persoalan Falsifikasi
Pengetahuan akan berkembang bukan karena memberikan data-data atau
akumulasi pengetahuan, melainkan lewat proses eleminasi terhadap
kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Ia menerima hasil observasi dan
eksperimen, namun menambahkan pengalaman sebagai alat eliminasi
kesalahan dalam suatu teori.
4. Validasi kebenaran
Validasi kebenaran Popper adalah kebenaran koherensi yaitu sesuatu yang
koheran dengan sesuatu lain berarti ada kesesuaian atau keharmonisan
dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih tinggi. Koherensi tersebut
mungkin saja tetap pada dataran sesuai rasional, tetapi juga mungkin pula
menjangkau dataran transenden
23
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, F. A. (2015). Analisa Redaksi Tindak Tutur Imperatif dalam Surat Al-
Baqarah. Kodifikasia, 9(1).
Almas, Afiq Fikri. (2018). Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu
Dan Pendidikan (Penerapan Metode Problem Based Learning dan
Discovery Learning). Volume. 3, No. 1.
Mudzakkir, Ahmad. (2012). Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka.
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/590-karl-popper-dan-masa-depan-
masyarakat-terbuka-
Popper, Karl R., “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick
Gardiner (ed.), Theories of History, New York: The Free Press, 1959.
24