Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERKEMBANGAN PARADIGMA DAN TEORI PSIKOLOGI

(Untuk memenuhi tugas kelompok matakuliah Psikologi Islam)

Dosen Pengampu :

Ermita Zakiyah, M. Th.I.

Disusun oleh Kelompok 4:

Itsna Mazro‟atun N (18410039)


Risma Ana Wahdati (18410096)
Fitri Jalilah S (18410215)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr,Wb Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta karunia-NYA sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah Psikologi Islam ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Psikologi Islam yang diampuh oleh Ermita Zakiyah, M. Th.I. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Psikologi Islam bagi para
pembaca dan penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ermita Zakiyah, M. Th.I.


selaku dosen Psikologi Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni saat ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuanya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari,bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Malang, 23 September 2021

Penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. THOMAS KUHN .............................................................................................. 2
1. Biografi Thomas Kuhn dan Penolakan atas Positivisme .............................. 2
2. Konsep Paradigma Thomas Kuhn ................................................................ 2
3. Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn ...................................................................... 4
B. Karl Popper ....................................................................................................... 6
1. Latar belakang Karl Popper ......................................................................... 6
2. Dasar-dasar Pemikiran Popper.........................................................................8
C. Potensi Psikologi Islam Masa Depan .............................................................. 12
D. Tokoh-Tokoh Psikologi Islam ......................................................................... 15
E. Masa Depan Psikologi Islam ........................................................................... 20
BAB III ........................................................................................................................ 22
PENUTUP ................................................................................................................... 22
Kesimpulan.............................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan psikologi islam bermula dari ide dan gerakan
islamisasi sains. Berkaitan dengan islamisasi psikologi brarti membahas
mengenai apa yang dimaksud psikologi islam maka harus dimulai dari
penemuan dan teori-teori psikologi barat yang sudah mapan.
Konsekuensinya: pertama, psikologi dipakai sebagai pisau analisis
terhadap masalah-masalah kejiwaan umat islam, dan kedua, islam
dijadikan sebagai pisau analisis untuk menilai konsep-konsep psikologi
barat. Sebaliknya, mengikuti sardar, psikologi islam harus dibangun dari
kerangka pikir (mode of thought) islam sendiri. Ini bisa terjadi, karena
dalam nash terdapat sejumlah informasi mengenai persoalanpersoalan
substansial psikologi, misalnya al-fitrah, al-rruh, al-nafsh, al-qalb,
aldhamir, dan sebagainya.
Kehadiran psikologi islam di satu sisi merupakan reaksi positif
bagi serangkaian upaya pengembangan wacana psikologi modern. Dalam
rentang sejarah perkembangan psikologi, terdapat beberapa aliran yang
memiliki spesifikasi orientasi sendiri-sendiri. Terkait dengan hal di atas,
makalah ini akan membahas tentang perkembangan paradigma dan teori
psikologi modern melalui perspektif thomas Kuhn dan Karl Popper beserta

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Paradigma menurut Thomas Khun
2. Bagaimana Paradigma menurut Karl Popper
3. Bagaimana Fase perkembangan psikologi islam
C. Tujuan
1. Bagaimana Paradigma menurut Thomas Khun
2. Bagaimana Paradigma menurut Karl Popper
3. Bagaimana Fase perkembangan psikologi islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. THOMAS KUHN
1. Biografi Thomas Kuhn dan Penolakan atas Positivisme

Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika
Serikat. Kuhn memulai awal kariernya sebagai seorang ahli fisika, yang
selanjutnya ia mengembangkan dalam ilmu sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Kuhn
menyelesaikan studi doktornya dan mendapat gelar Ph.D dalam ilmu pasti alam
di Harvard dan University of California di Berkeley. Di sini pula ia kemudian
bekerja sebagai asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.
Pada tahun 1964-1979 Kuhn mengajar pada Universitas Princeton dan dari tahun
1979-1991 ia bertugas di Massachusetts Institute of Technology yang pada tahun
1983 menganugerahinya gelar Profesor (Erwiningsih, 2007:78). Thomas Kuhn
menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang
akhirnya meninggal pada Senin 17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusetts USA
dalam usia 73 tahun.

Karyanya yang paling terkenal adalah The Structure of Scientific


Revolutions diterbitkan pada tahun 1962 oleh University of Chicago Press dan
The Essential Tension; Selected Studies in Scientific Tradition and Change
(1977). Karya Kuhn “The Structure of Scientific Revolutions” merupakan karya
monumental mengenai sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan
mengemukakan konsep paradigma sebagai konsep yang sentral. Buku ini terjual
lebih dari satu juta copy dalam 16 bahasa. Kuhn menulis karya ini ketika ia
hampir menyelesaikan disertasinya di bidang fisika teoretis (Lubis, 2014)

2. Konsep Paradigma Thomas Kuhn

Menurut Kuhn objektivitas ilmu tidak bersifat otoritatif hanya sebatas


pada sebuah justifikasi kebenaran. Inilah landasan epistimologi paradigma yang
mengkritik keyakinan manusia terhadap kebenaran ilmu pengetahuan sebagai

2
representasi realitas dan fenomena. Ilmu pengetahuan secara natural memiliki
kesempatan dan otonomi dalam pencarian kebenaran antara prediksi dan deteksi
sebagai penelusuran ilmiah dalam menemukan kebenaran ilmiah baru. Apa yang
benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru
(adanya relativisme).

Dengan demikian paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau
salah. Akan tetapi juga bisa terbimbing oleh sesuatu yang baik atau yang paling
baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, hasil
final dari penelitian dilakukan ilmuwan seharusnya tidak terpaku pada hanya
untuk menemukan kebenaran, tapi juga bisa memberikan makna aksiologinya,
yaitu nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa
paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif,
karena nilai objektifnya tersebut relatif dan dapat diperoleh berdasarkan
penggunaan metode tertentu yang disepakati masyarakat ilmiah. Dengan kata lain,
penggunaan paradigma akan menentukan metode apa yang sesuai lalu disepakati
untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah ilmiah.

Berdasarkan hal tersebut kebenaran ilmiah pun berubah-ubah secara


revolusioner. Ilmu pengetahuan merupakan suatu pembelajaran yang terakumulasi
dan sistematik tentang fenomena. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya
ditandai oleh suatu akumulasi fakta-fakta ilmiah, tetapi oleh berkembangnya
metode dan sikap ilmiah yang terus mengalami perkembangan (Lubis, 2014).

Thomas Kuhn membagi paradigma dalam beberapa tipe paradigma, yaitu


paradigma metafisik, paradigma sosiologis dan paradigma konstruk. Berikut
penjelasan ringkasnya:

1. Paradigma Metafisik, Paradigma ini yang menjadi konsesus terluas dan


membatasi bidang kajian dari satu bidang keilmuan saja, sehingga ilmuan
akan lebih terfokus dalam penelitiannya. Paradigma metafisik ini memiliki
beberapa fungsi: untuk menentukan masalah ontologi, menemukan realitas
atau objek, dan menemukan teori serta penjelasan tentang objek.

3
2. Paradigma Sosiologi, Paradigma ini seperti eksemplar (pengetahuan yang
diterima secara umum) yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan,
keputusan-keputusan dan aturan yang diterima dari hasil penelitian yang
diterima secara umum. Misalnya penelitian Frued, Skinner, dan Maslow
dalam psikologi yang kemudian dijadikan contoh penelitian oleh pendukung
paradigma tersebut.
3. Paradigma konstruk, adalah konsep yang paling sempit dibanding kedua
paradigma di atas. Contoh pembangunan reaktor nuklir merupakan paradigma
konstruk dalam fisika nuklir dan mendirikan laboratorium menjadi paradigma
konstruk bagi ilmu psikologi eksperimental.

Kuhn memiliki kriteria di mana satu teori (ilmiah) dianggap lebih baik
dari teori yang lainnya (Rofiq, 2015) kriteria tersebut adalah:

1. Accuracy Teori ilmiah harus ilmiah dalam domain penelitiannya.


2. Consistency Teori secara internal konsisten dan demikian pula dengan
teori lain dalam paradigma yang sama.
3. Scope Teori mampu menjelaskan secara luas dari sekadar yang
dikemukakan.
4. Simplicity Teori harus jelas dan tidak berlilit.
5. Fruitfulnees Teori harus bermanfaat untuk mengidentifikasi fenomena
baru atau hubungan yang belum atau tidak diketahui sebelumnya pada
teori tersebut.
3. Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn

Revolusi ilmiah merupakan konsep Thomas Kuhn yang didefinisikan


sebagai perubahan drastis dalam tahap kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan atau merupakan episode perkembangan nonkomulatif yang
didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh
paradigma baru yang dianggap berseberangan/bertentangan.

Revolusi ilmiah dalam perspektif Kuhn terjadi melalui beberapa lompatan-


lompatan radikal dan revolusioner sebagai berikut:

4
Paradigma I

Normal Sains

Anomali

Krisis

Revolusi Sains

Paradigma II

Model yang Model yang dikembangkan Thomas Kuhn pada paradigm I


berlangsung normal science. Pada periode ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan
yang mana para ilmuan berusaha mengembangkan paradigma yang sedang
menjadi mainstream atau yg paling banyak berpengaruh. Kemudian dalam
perkembangannnya paradigma lama mengalami kelumpuhan analitik atau tidak
mampu memberi jawaban dan penjelasan terhadap banyaknya persoalan yang
timbul. Pada fase ini, para ilmuan tidak mampu lagi mengelak dari pertentangan
karena terjadi banyak penyimpangan. Fase inilah yang disebut fase anomalies.
Akibat yang muncul karena banyaknya anomali, maka timbullah crisis. Pada fase
krisis ini, paradigma mulai diragukan kebenarannya. Krisis tersebut terjadi dengan
hebatnya, kemudian mengantarkan jalan untuk menuju fase revolusi (revolution).
Pada fase revolusi inilah kemudian muncul paradigm II yang memiliki jawaban
atas persoalan yang muncul dari paradigma sebelumnya.

Contoh Tabel Revolusi Ilmiah Sejarah Ilmu Alam

No Ilmuwan Periode Ilmuwan Periode Ilmuwan Periode

5
Teori Teori Teori

1 Sebelum filsuf Yunani Pra Ilmiah Mitos-mitos (mitologi)

2 Filsuf Yunani Ilmiah Rasional (Spekulatif)

3 Aristoteles Ilmiah Paradigma Ilmiah


Geosentris (bumi
sebagai pusat tata
surya)
4 Copernicus & Galileo 1543-1600 Heliosentris (matahari
Galilei sebagai pusat tata
surya)
5 Tycho Brahe, Keppler, Abad-17 sampai 18 Memperkuat
dan Newton heliosentris

B. Karl Popper

Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan filsuf
tetapi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua bukunya, The Open
Society and its Enemies dan The Poverty of Historicsm,1 telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Dalam dua karyanya itu
Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap ilmu (science) karena itu
akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang membahayakan kebebasan umat
manusia. Popper, sebaliknya, mengajukan pentingnya sikap terbuka terhadapnya,
yaitu sikap yang siap dengan kemungkinan bahwa ia bisa benar dan/atau bisa
salah. Gagasan yang kemudian disebut prinsip „falsifikasi‟ tersebut sentral dalam
pemikiran Popper. Dengan tegas Popper menyatakan bahwa „problem demarkasi‟
antara apa yang disebutnya „ilmu‟ dan „ilmu-semu‟ berpangkal pada pertanyaan
apakah ia bisa „dibuktikan salah‟ atau tidak.

1. Latar belakang Karl Popper

6
Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria,
pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh
minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang
yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi
buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan
yang „decidedly bookish‟. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia
intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan
sekolah „realgymnasium‟-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana
terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas
Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di
universitas itu.

Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan


Austria-Hongaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi
perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi
di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan
pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper
terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh
kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut
cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan
menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper,
“sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan
kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika
kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan diantara orang yang tak
bebas.

Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk
menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan,
Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris.
Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College,
Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan
the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato,

7
Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut
pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme,
yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat
totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.

Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk


mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana dia terus
mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya
dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas
cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan
memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara,
sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang
„masyarakat terbuka‟ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita
politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE,
mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up
closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical
mode of thinking”.Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif
mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper
ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan
oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan
Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema „Masyarakat Terbuka
Indonesia: Pesona atau Persoalan?‟.

2. Dasar-dasar Pemikiran Popper


Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup
dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang
epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan
skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan
rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di
antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar
pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal

8
memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan
yang benar?

Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut


rasionalisme. Pandangan ini—dikenal sebagai pandangan Cartesian—
mendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya
bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi
terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah
John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari
pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya
beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar
menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut menyangsikan apakah
pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi
pengetahuan yang universal.

Immanuel Kant adalah filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan


empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk
pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum
pengalaman. Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai keabsahan
pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan kita yang
bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan
pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori
pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada
epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi
sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang
bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.

Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi


dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek
Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang
berbasis di Wina, Austria—dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek
mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan
yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai

9
objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu
ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi
atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna.
Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna.
Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris,
yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.

Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam


pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan hanya
dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa
putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun
percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak
ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh
ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di
Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang
Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di
„dunia objektif‟. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat
hipotesis dan konjektural.

Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan


empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper
dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme
Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang
partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan
apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan
itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi. Ketika ada bukti empiris yang lebih
kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris
baru ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated)
oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu penegetahuan
berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi
mitos dan ideologi.

10
Teori Popper ini menegaskan bahwa kebenaran proposisi suatu ilmu tidak
ditentukan melalui uji verifikasi, tetapi upaya penyangkalan atas kebenarannya
melalui berbagai percobaan yang sistematis. Semakin besar upaya untuk
menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka
semakin kokoh pula keberadaannya. Menurut Popper, kemajuan ilmu
pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat
adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya.
Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa
ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang
salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-
hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan
diganti dengan teori yang baru.

Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme


dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan
gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah
dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling
berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak
bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata
lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-
benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda
fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali
terlebihdulu melalui dunia psikologis.

Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada
Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai
suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian
intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk
epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). Analisis yang lahir dari
epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi
tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-
problem baru.

11
Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak
pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara
jelas Popper menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif
dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam
interaksi yang terus menerus untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa
binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang
sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih
tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif”. Kutipan ini merupakan
kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat
dari permasalahan bahasa.

C. Potensi Psikologi Islam Masa Depan


Simposium internasional tentang psikologi dan Islam pada tahun 1978
merupakan awal pembicaraan antara keterkaitan psikologi dan Islam merebak ke
berbagai belahan dunia khususnya negara-negara Islam. Upaya-upaya untuk
menghasilkan psikologi islami pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat
fase perkembangan yaitu fase terpesona fase kritis fase perumusan dan masa
perkembangan serta fase penerapan.
1. Fase terpesona
Pada fase ini terdapat upaya-upaya ya dari ilmuwan muslim psikologi
untuk memanfaatkan psikologi modern menjelaskan berbagai fenomena umat
atau ajaran Islam ilmuwan muslim meyakini sepenuhnya bahwa psikologi
modern benar-benar dapat menjelaskan secara ilmiah kondisi umat atau ajaran
Islam. Sehingga terdapat kecenderungan untuk menyesuaikan konsep-konsep
Islam dengan konsep psikologi modern.
Contoh: pada teori refleks terkondisi dari kaum behaviorisme ilmuwan
muslim sangat meyakini adanya kebenaran akan dari tersebut dokter Faiz Al
Hajj dalam disertasi doktornya di universitas Aris mencoba mencari-cari
beberapa pemikiran Al Ghazali yang sesuai dengan teori refleks kondisi
tersebut.
Contoh lain:

12
Dahulu ilmuwan muslim sangat mengagumi pandangan froid tentang
bagaimana perkembangan keagamaan pada anak seperti profesor Mustofa
mengungkapkan pandangannya yang didasarkan pada psychoanalysis belum
menyatakan tidak diragukan lagi bahwa psychoanalysis dengan caranya yang
jelas mengungkapkan sumber perasaan keagamaan dan perkembangan
kehidupan beragama dalam diri manusia. Anak membayangkan ayahnya dan
memandangnya sebagai tokoh yang paling kuat untuk mengetahui segala
sesuatu. Namun ketika telah melewati tahap di Oedipal, anak mulai
menemukan kelemahan-kelemahan ayahnya. Sehingga ia berfikir untuk
memindahkan kualitas tokoh yang serba tahu dan kuat kecuali kepada dzat
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi Dan inilah Tuhan. (Malik B. Badri,
1996)
Pada fase ini psikologi Islam sama sekali belum menemukan jati
dirinya psikologi. Psikologi Islam digunakan oleh para ilmuwan muslim
sebagai penggunaan teori-teori atau konsep-konsep psikologi barat modern
untuk menjelaskan kondisi Islam atau ajaran Islam.
2. Fase kritik
Pada fase ini muncul berbagai pemikiran kritis dalam muslim tak
terkecuali sikap kritis terhadap psikologi modern memperdalam dan mencari
perbedaan dan pertentangan antara Islam dan psikologi modern. Beberapa
ilmuwan muslim mulai menemukan konsep-konsep psikologi barat modern
yang perlu dilakukan dan mengandung kelemahan-kelemahan fundamental
hingga muncullah beberapa sikap yang sangat reaktif terhadap psikologi
modern. Pada fase ini, kritik terhadap psikologi barat modern sangat gencar
dilakukan terutama semenjak terbitnya telaah kritis profesor Malik Badri
seorang psikolog berkebangsaan dan dalam bukunya the dilemma of Muslim
psychologist yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 di London,
profesor baterai mengungkapkan bahwa telah terjadi penjiplakan secara
besar-besaran tanpa adaptasi yang dilakukan ilmuwan muslim terhadap teori-
teori yang dikembangkan masyarakat barat fenomena tersebut profesor

13
bakteri sebagai fenomena " psikologi muslim yang mengulang suara
tuannya"
Salah satu kritiknya dilakukan pada pemikiran B.F Skinner, salah satu
tokoh behaviorisme yang berpendapat bahwa berdasarkan karya
eksperimental nya tentang reinforcement dan operant conditioning ia
menyimpulkan bahwa tingkah laku yang kita sebut benar dan salah tidak
disebabkan oleh kebaikan atau keburukan yang ternyata ada dalam suatu
situasi, dan tidak pula disebabkan oleh pengetahuan bawaan tentang benar
atau salah halal atau haram tapi itu hanya disebabkan oleh kemungkinan-
kemungkinan yang melibatkan berbagai macam penguat positif dan negatif
ganjaran dan hukuman. Jadi menurut skinner kehidupan beragama seseorang
bisa disusutkan menjadi refleks refleks dan respon-respon yang terkondisi.
(Badri 1996).
3. Fase perumusan dan pengembangan
Pada masa ini sudah mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
dan luas mengenai kelemahan psikologi modern, selanjutnya muncul
kesadaran untuk menghadirkan konsep Islam tentang psikologi islami.
Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan selalu ditandai oleh adanya objek
material dan objek formal tertentu. Objek material psikologi Islam jelas adalah
manusia sementara objek formalnya adalah pengalaman kepribadian dan
perilaku manusia.
4. Fase penerapan
Fase penerapan dapat ditandai mual terapkannya konsep konsep
psikologi islami dalam kehidupan umat manusia dan pemanfaatan hasil hasil
penelitian untuk memecahkan berbagai problem yang berkembang dalam
kehidupan manusia.
Dalam fase ini sesungguhnya dapat diakomodasikan pendekatan yang
sebaliknya yaitu menggunakan tradisi umat Islam sebagai ajang pengukuhan
psikologi islami. Sebagai contoh dapat berubah penggunaan dzikir untuk
menyembuhkan gangguan gangguan kejiwaan. Pendekatan pertama dapat
dengan menerapkan teori teori atau konsep konsep ke dalam satu praktik

14
tertentu misalnya penerapan konsep insan Kamil untuk mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendekatan kedua dapat
menggunakan tradisi Islam Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
mempercepat proses penerapan psikologi Islam itu adalah dengan
mengadakan penelitian terhadap aktivitas yang dilakukan oleh lembaga
lembaga atau perorangan yang berakar pada tradisi Islam. Sebagai contoh
pondok pesantren yang menerapkan pendekatan dzikir untuk menangani
gangguan kejiwaan dengan melakukan penelitian tersebut akan dapat
peneguhan secara ilmiah terhadap praktek praktek psikologi Islam serta
pengembangan psikologi Islam. Fase penerapan ini merupakan salah satu
tantangan terbesar dalam psikologi Islam agar mengetahui seberapa besar
sambutan psikologi Islam dapat dilaksanakan di masyarakat.
Perkembangan psikologi agama di wilayah timur (Islam) sebenarnya
telah lebih dulu dilakukan dibanding di dunia barat, seperti dalam kurun
waktu yang lebih awal yaitu Ibn Tufail (1110-1185 M), dan juga Imam
Ghazali (1059-1111M), kedua tokoh ini telah membahas apa yang disebut
oleh dunia barat sebagai psikologi agama. Sedangkan pada abad ke-20 mulai
berkembang khususnya dalam dunia Islam kajian-kajian tentang psikologi
agama seperti Abdul Mun‟in Abdul Aziz al-Malighy (1955) dengan buku
berjudul Tatawwur al-Syu’rr al-diny inda Tfil wa al-Murahiq Kairo yang
membahas tentang perkembangan agama secara spesifik yang berdasarkan
pada konteks kejiwaan, dikalangan Islam buku ini dianggap sebagai awal
kemunculan kajian psikologi agama khususnya Islam dikalangan ilmuwan
muslim modern (Baharuddin, 2011)
D. Tokoh-Tokoh Psikologi Islam

1. Ahmad Ibnu Sahl Al-Baihak


Ia mengeritik para dokter pada massanya yang fokus pada penyakit
fisik saja. Ia mendasarkan teorinya pada Al-quran dan hadits yang banyak
menyatakan akan kesehatan jiwa dan penyakit penyakit jiwa yang
menyatakan bahwa karena manusia terjadi jiwa dan raga maka keduanya
akan saling mempengaruhi pemikiran manusia tidak akan mencapai

15
kesehatan sempurna jika tidak mencapai antara kesehatan jiwa dan raga.
Hal ini sesuai dengan psikologi modern pada saat ini di mana membahas
akal sehat psikologi situ sendiri sebagaimana yang disampaikan oleh Lind
berg bahwa akal sehat adalah sebuah bentuk pengetahuan yang operatif
umum untuk sebuah kelompok mengenai alam sifat manusia dan situasi
sosial yang sangat menekankan pada barisan hidup dapat kita lihat bahwa
ilmuwan muslim sudah lebih dulu mengaji pembahasan ini.
2. Ibnu Sina
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagai kesimpulan awal yang
dengannya spesies menjadi sempurna sehingga manusia yang nyata yang
bagi dalam tiga bagian yaitu jiwa nabati hewani dan jiwa rasional (najati,
2013)
a. Jiwa nabati, aspek ini mengandung 3 daya yaitu: daya nutrisi yang
berfungsi untuk mengolah makanan menjadi bentuk tubuh, daya
pertumbuhan yang berfungsi untuk pengolahan makanan yang telah
diserap tubuh agar mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan
perkembangan tubuh, dan yang terakhir daya generatif yang
merupakan daya untuk pengolahan secara harmonis unsur-unsur
makanan yang ada dalam tubuh sehingga menghasilkan pertumbuhan
dan perkembangan tubuh yang sempurna.
b. Jiwa hewani, aspek ini mengandung dua daya yaitu daya penggerak
dan bahaya persepsi daya penggerak bagi terbagi atas daya hasrat dan
daya motorik. Daya persepsi terbagi dari dua bagian yaitu Indra
internal yang terdiri dari: Indra kolektif, konsepsi, fantasi, waham, dan
memori. Indra eksternal : Indra penglihatan, pendengaran, dan
pengecapan.
c. Jiwa rasional, merupakan ciri khusus yang dimiliki manusia yang
fungsinya berhubungan dengan akal. Dari satu sisi jiwa rasional
melaksanakan berbagai perilaku berdasarkan hasil kerja pikiran dan
kesimpulan ide. Dari sisi lain mempersepsikan semua persoalan secara
universal.

16
3. Al-Ghazali

Berdasarkan kekuatan seperti emosi dan sifat yang menguasai


manusia Al Ghazali membagi manusia menjadi empat. Keempat sifat ini
merupakan potensi yang dimiliki manusia secara alami dan dapat di
inovasi dari penarikan melalui proses belajar yaitu: sifat hewan liar, sifat
hewan buas, sifat setan, dan sifat ketuhanan.

4. Muhammad Quraish Shihab (1994)


Dalam Simposlum Nasional Psikologi Islami di Surakarta,
mencoba melihat manusia dengan mencermati aspek-aspek manusia yang
meliputi: nafs, ruh, aql, dan qolb. Beliau mengungkapkan bahwa manusia
berpotensi positif dan negatif namun potensi positif manusia lebih kuat
dibandingkan potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik ke keburukan
lebih kuat dari daya tarik kebaikan karena itu nafsu manusia selalu berada
dalam tantangan yaitu manusia diharapkan memelihara kesucian nafas
atau tidak mengotorinya.
Menurut Quraish Shihab Nafis dapat diartikan sebagai wadah ide
atau kemauan hal ini dicari oleh Allah dalam FirmanNya

                  

  ……    

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sampai


mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….(Q.S. Ar-
Ro‟d 13: 11).
Dalam wadah nafsu juga terdapat nurani inilah yang mengatur
manusia menyesali perbuatannya merasa berdosa atas kesalahan-
kesalahannya walaupun secara lahiriyah ia menutup-nutupi kesalahan itu
dengan berbagai dalih. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya: “
Bahkan manusia akan menjadi saksi yang memberatkan dirinya sendiri

17
walaupun ia hanya mengungkapkan dalil-dalilnya”. Nafsu disamping
menampung ide pengetahuan dan nurani juga menampung pengetahuan
yang di dipendam atau terpendam yang tak lagi disadari pemiliknya hal ini
terungkap melalui firman Allah:

        

Artinga: Kalau engkau mengeraskan ucapanmu maka sesungguhnya Allah


mengetahui karena dia pun mengetahui yang rahasia dan tersembunyi
(Q.S. Thoha20:7)
Kalau nafsu berisi ide nurani dan pengetahuan yang terpendam
maka qalbu adalah wadah dari pengajaran kasih sayangnya kuat keimanan.
Qolbu menampung hal-hal yang diketahui atau disadari oleh pemiliknya
ini merupakan salah satu perbedaan antara qalbu dan nafsu. Menurut
Quraish Shihab nafsu adalah sisi dalam manusia qalbu pun demikian
hanya saja kalau Bu berada dalam kotak tersendiri yang berada dalam
kotak besar nafsu. Adapun akal mempunyai arti daya untuk memahami
dan menggambarkan suatu dorongan moral daya untuk mengambil
pelajaran kesimpulan dan hikmah. Ruh merupakan unsur paling rahasia
dalam diri manusia adalah suatu yang menjadikan manusia sebagai
makhluk yang unik yang berbeda dengan makhluk lain ruh menurut
Quraish Shihab jelas bukan nyawa karena orang hutan pun mempunyai
nyawa.
5. Hanna Djumhana Bastaman (1995)
Secara khas pertama menempatkan aspek spiritual sebagai aspek
yang paling dominan peranannya dalam kehidupan manusia. Mengambil
alih konsep ruang dalam Hasanah sufisme Islam pertama menempatkan
ruh sebagai pusat kehidupan. Disamping itu Bustaman juga menggunakan
dan memodifikasi dimensi manusia versi psikoanalisis yang meliputi alam
sadar alam prasadar dan alam tidak sadar, manusia versi behaviorisme
yaitu kognitif afektif psikomotor. Serta dimensi manusia versi psikologi

18
humanistik fisik psychosis ngetik atau spiritual hingga menjadi struktur
kepribadian manusia yang baru.
Menurut dimensi dimensi manusia seluruhnya berada dalam
kendali ruh-ruh sumber hidup dapat diartikan sebagai suatu yang halus dan
indah dalam diri manusia yang mengetahui dan mengenal segalanya.
6. Fuad Nashori
Fuad Nashori (1994,1995,1996) mengungkapkan konsep tentang
fitrah manusia. Dituturkan bahwa pada dasarnya sifat asam manusia
adalah baik dan manusia selalu ingin kembali kepada kebaikan dan
kebenaran sejati. Fitrah manusia adalah mempercayai dan mengakui Allah
subhanahu wa ta'ala sebagai Tuhannya dorongan religius dengan demikian
adalah alamiah sifatnya. Iya ada sebelum manusia dilahirkan sejak ada di
zaman azali. Ketika manusia di alam dunia Allah mengambil kesaksian
terhadap manusia dengan firman-Nya:

                

             

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-


anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan) (Q.S Al-A‟raf 7: 172)
Dan Allah menyatakan bahwa Dia mengambil kesaksian mereka
akan kedudukan-Nya sebagai Tuhan agar mereka pada hari kiamat, tidak
menyatakan bahwa mereka tidak tahu akan hal itu. Dari sini tampak jelas
bahwa dalam diri manusia terdapat kesiapan alamnya untuk mengenal
Allah dan mengesakan-Nya. Sehingga pengakuan terhadap kehidupan
Allah sebagai Tuhan tertanam kuat dalam fitrah manusia dan telah ada

19
dalam diri manusia sejak zaman azali. Namun adanya perpaduan ruh
dengan tubuh kesibukan manusia dengan berbagai tuntunan tubuhnya dan
tuntutan-tuntutan kehidupannya di dunia dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dan dalam rangka memakmurkan bumi telah membuat
pengetahuannya akan diberikan Allah sebagai Tuhan dan kesiapan
alamiahnya untuk mengesakan Allah tertimpa kelengahan dan kelemahan
dan airnya tersembunyi dalam alam bawah sadarnya. Dalam kondisi
demikian kesucian fitrah manusia ternoda dan menjadikan manusia
sebagai seburuk-buruk makhluk. Hal ini sebagaimana terungkap dalam
sebuah firman Allah yang menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan dia dapat mengembalikan manusia
ke tempat yang serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang berada
dalam kebenaran yang digariskan-Nya (QS. At-Tiin 95: 4-6)
E. Masa Depan Psikologi Islam

Psikologi Islam adalah ilmu yang menjadikan wawasan Islam mengenai


manusia dan perilaku manusia yang berbasis pada Alquran dan tinjau melalui
keilmuan filsafat maupun psikologi dan berarti tidak menghapus atau menganggap
salah teori, sistem, metode dan pendekatan-pendekatan yang sudah ada dan
berkembang di lingkungan psikologi melainkan melengkapi menyempurnakan
dan memberi kerangka acuan bagi konsep-konsep yang sudah ada.

Dengan munculnya pemikiran-pemikiran kritik dari ilmuwan muslim,


dapat dikatakan pada masa ini psikologi Islam berada dalam fase perumusan dan
pengembangan tahap permulaan. Konsep dan teori yang di coba rumuskan masih
berupa Grand theory dan cenderung masih berupa pandangan filsafat tentang
manusia dan belum komprehensif. Menurut Kuntowijoyo 1998 dalam paradigma
Islam mengungkapkan bahwa konsep Tazkiyyah dapat dijadikan ukuran untuk
melihat perkembangan kepribadian atau personality manusia konsep-konsep
Alquran mengenai nafas Alam arah nafsu lawwamah dan nafsu Muthmainnah
menurut beliau selain menjadi konsep ilmu tasawuf dapat diturunkan menjadi
konsep psikologi untuk mengukur kematangan seseorang.

20
Menurut Djumhana, (2011) Konsep psikologi Islam pada dasarnya
dilandasi dengan keyakinan bahwa kebenaran kebenaran yang hakiki terungkap
secara verbal dalam firman-firman Allah dan tersirat dalam sunnatullah atau
hukum alam termasuk sunnatullah yang bekerja pada diri manusia itu sendiri.
Orientasi filosofi dan asumsi-asumsi dasar yang melandasi psikologi Islam sama
sekali tidak membuat corak psikologi kehilangan nilai keabsahannya karena pada
dasarnya bahwa asas asas psikologi yang diungkapkan dalam Alquran adalah
Maha benar abadi dan universal. Sehingga para calon-calon psikolog muslim
diharapkan dapat memberikan andil besar dalam proses pengembangan psikologi
Islam. Berbagai usaha dapat dilakukan antara lain membentuk kelompok studi
dengan berbagai kegiatan seperti pengelompokan ayat alquran mengenai manusia,
melakukan telaah pustaka yang bahas antar agama, dan psikologi beredukasi
dengan para cendekiawan di bidang lain yang berpotensi dalam mengembangkan
psikologi Islam.

21
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Psikologi Islam memiliki objek kajian berupa manusia dan tingkah laku
manusia. Psikologi islam memiliki keunikan sendiri yang terfokus dengan
bagaimana mengatasi problem kaum muslim dalam menghadapi kehidupannya,
bagaimana telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang
dipandang menyimpang dari ajaran islam, serta bagaimana tawaran konsep
alternated tentang psikologi, yakni dengan membangun konsep islamisasi
psikologi.

Suatu penelitian psikologi Islam harus menggunakan teori yang berasal


dari pandangan dunia Islam atau setidaknya teori tersebut telah melalui proses
islamisasi, yaitu menghubungkan teori Barat dengan ajaranajaran Islam. Metode-
metode penelitian dalam Psikologi Islam antara lain : Metode llmlah Menurut,
Metode lntuisi, Metode Eksperimen

Berdasarkan uraian diatas, kita dapat menyimpulkan dasar pemikiran Popper


menjadi 4 persoalan yakni :

1. Persoalan induksi
Popper berpendapat bahwa bagaimana mungkin pernyataan tunggal dapat
menjadi pernyataan universal. Ini sangat tidak logis.

2. Persoalan demarkasi
Demarkasi adalah garis pembatas antara pengetahuan ilmiah dan tidak
ilmiah bagi Popper. Akan tetapi menurut kaum positivis ialah tembok
pembatas antara penyataan bermakna dan tidak bermakna dengan cara
diverifikasi. Disinilah yang menurut Popper perlu adanya koreksi terhadap
demarkasi yang dilontarkan oleh kaum positivis. Ini bukan persoalan
bermakna atau tidak. Namun ini adalah persoalan ilmiah atau tidak

22
ilmiah.Persoalan ini berhubungan dengan persoalan induksi. Misalnya
ketika kita memverifikasi suatu teori dan hasilnya berbeda (tidak sesuai
dengan teori tersebut), maka mungkin kita dapat mengatakan bahwa teori
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmiah. Karena terori
tersebut tidak memiliki konsekuensi empiris (dapat diuji dengan
pengalaman). Akan tetapi bukan berarti teori tersebut tidak bermakna. Dan
sesuatu yang berbau empiris tidak musti induksi. Sehingga popper
menawarkan falsifikasi.

3. Persoalan Falsifikasi
Pengetahuan akan berkembang bukan karena memberikan data-data atau
akumulasi pengetahuan, melainkan lewat proses eleminasi terhadap
kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Ia menerima hasil observasi dan
eksperimen, namun menambahkan pengalaman sebagai alat eliminasi
kesalahan dalam suatu teori.

4. Validasi kebenaran
Validasi kebenaran Popper adalah kebenaran koherensi yaitu sesuatu yang
koheran dengan sesuatu lain berarti ada kesesuaian atau keharmonisan
dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih tinggi. Koherensi tersebut
mungkin saja tetap pada dataran sesuai rasional, tetapi juga mungkin pula
menjangkau dataran transenden

23
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, A. Y. (2014). Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada. Hlm : 162.

Rofiq, F. A. (2015). Analisa Redaksi Tindak Tutur Imperatif dalam Surat Al-
Baqarah. Kodifikasia, 9(1).

Almas, Afiq Fikri. (2018). Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu
Dan Pendidikan (Penerapan Metode Problem Based Learning dan
Discovery Learning). Volume. 3, No. 1.

Komaruddin. (2104). Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinan Penerapannya


dalam Islam. Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014

Mudzakkir, Ahmad. (2012). Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka.
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/590-karl-popper-dan-masa-depan-
masyarakat-terbuka-

Rahman, Syaifur. (2017). Relevansi Epistemologi Karl Popper dalam Pemikiran


Islam. Jurnal Komunike, Volume ix, No. 2, Desember 2017

Sudarminta, J., 2002.Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,


Yogyakarta: Kanisius

Popper, Karl R., “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick
Gardiner (ed.), Theories of History, New York: The Free Press, 1959.

Nashori, Fuad (1996). Fase-Fase Perkembangan Psikologi Islami. Psikologika.


Vol 1.Hal 28-34

Zulkarnain. (2019). Eksistensi Perkembangan Mazhab Psikologi Islam Sebagai


Aliran Baru Dalam Psikologi. Psychoshopia. Vol 1 (1). Hal 26-29

24

Anda mungkin juga menyukai