Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PERKEMBANGAN PARADIGMA

DAN TEORI PSIKOLOGI ISLAM

Disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Psikologi Islam


Dosen Pengampu: Ermita Zakiyah, M.Th.I

Disusun oleh kelompok 2 :

1. Inayah (18410216)
2. Dyah Yufi Syafi’atul Laili (18410218)
3. Safira Reduk Penalun (18410219)
4. Labbaika Sayyida Mumtaza (18410220)

Psikologi Islam (E)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhadulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurahkan limpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Islam yang bertujuan
untuk menambah wawasan tentang perkembangan dan pergeseran berbagai teori psikologi
modern melalui perspektif Thomas Kuhn & Karl Popper, serta potensi Psikologi Islam sebagai
paradigma dan teori penggantinya. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ermita
Zakiyah, M.Th.I, selaku dosen mata kuliah Psikologi Islam yang telah membimbing kami agar
dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati kami meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik serta
saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami. Untuk itu kami mengucapkan
banyak terimakasih dan semoga karya tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi sains harus dimulai dengan integrasi sains
modern dan Islam. Zaiuddin Sardar tidak setuju dengan gagasan Faruqi. Ia meyakini bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu dari pandangan
dunia Islam dan paradigma Islam itu sendiri.

Menurut Jamaluddin Ancock, perkembangan psikologi Islam berawal dari pemikiran dan
gerakan Islamisasi ilmiah yang digagas oleh kedua tokoh tersebut. Mengenai Islamisasi
psikologi, menurut pemikiran Farrucci, makna psikologi Islam berarti harus dimulai dari
penemuan-penemuan dan teori-teori psikologi Barat yang mapan. Konsekuensi pertama,
psikologi digunakan sebagai pisau analisis untuk masalah psikologi (kejiwaan) umat islam, dan
kedua, islam digunakan sebagai pisau analisis untuk mengevaluasi konsep-konsep psikologi
barat. Di sisi lain, setelah Sardar, psikologi Islam harus didasarkan pada model pemikiran Islam
itu sendiri. Hal itu terjadi karena banyak informasi tentang masalah psikologis terutama dalam
teks, seperti al-fitrah, al-rruh, al-nafsh, al-qalb, al-dhamir, dll.

Di satu sisi, keberadaan psikologi Islam merupakan respon positif dari serangkaian upaya
pengembangan wacana psikologi modern. Dalam rentang sejarah perkembangan psikologi,
terdapat beberapa aliran: Spesifikasi arah pribadi. Ketika pengetahuan Yunani kuno mencapai
puncaknya, perkembangan psikologi cenderung lebih ontologis, seperti mempelajari esensi jiwa
dan keberadaannya pada manusia. Kehidupan manusia, saat ini sulit untuk membedakan antara
bidang psikologi dan bidang filsafat, karena keduanya terintegrasi. Meskipun upaya ini telah
memberikan kontribusi yang signifikan bagi kehidupan manusia. Selama berabad-abad, tidak ada
tempat yang tepat untuk pengembangan ilmu pengetahuan modern. Ciri-ciri psikologi yang
berkembang mengacu pada metode spekulasi filosofis, sedangkan psikologi modern
membutuhkan metode pengalaman-eksperimental.

Terkait dengan hal di atas, makalah ini akan membahas tentang perkembangan dan
pergeseran berbagai teori psikologi modern melalui perspektif Thomas Kuhn & Karl Popper,
serta potensi Psikologi Islam sebagai paradigma dan teori penggantinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui perspektif
Thomas Kuhn?
2. Bagaimana perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui prespektif Karl
Popper?
3. Bagaimana potensi Psikologi Islam sebagai paradigma dan teori penggantinya?

C. Tujuan
1. Mampu memahami perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui
prespektif Thomas Kuhn.
2. Mampu memahami perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui
prespektif Karl Popper.
3. Mampu memahami potensi Psikologi Islam sebagai paradigma dan teori penggantinya.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui prespektif Thomas
Kuhn
Transformasi pemikiran ilmiah, khususnya pemikiran Thomas Kuhn ke
paradigma filsafat Islam, adalah unik. Dilihat dari sejarah peradaban manusia, sangat
sedikit orang menemukan bahwa suatu budaya asing dapat ditransformasikan dan
diterima oleh budaya lain, terutama sebagai dasar pemahaman filosofisnya, karena setiap
budaya memiliki karakteristik yang berbeda. Tetapi beberapa filosof Muslim, seperti Al-
kindi, Al-Farabi, dan Ibn Rasyid, adalah contoh Muslim yang engemukakan poin-poin
menarik, terutama penyebaran filsafat dan penetrasinya dalam studi Islam, yang
memungkinkan para filosof Muslim ini mengembangkan afinitas dan ikatan yang kuat
antara filsafat Arab dan Yunani. Selain itu, tahap perkembangan tradisi keilmuan Islam
ditunjukkan dengan masuknya unsur-unsur eksternal lainnya, seperti budaya Persia-Semit
(Zoroastrianisme, khususnya Mazdaisme, Yudaisme, dan Kristen) dan budaya Yunani.

Kajian pemikiran Thomas Kuhn dan transformasinya ke paradigma keilmuan


Islam dapat dianalisis dari aspek-aspek berikut:

Pertama, pemikiran paradigma Kuhn dapat dipahami sebagai landasan awal


untuk menentukan landasan filsafat ilmiah dan teori ilmiah. Wacana yang berkembang
dalam paradigma terjadi secara dialektis dan interaktif dalam pembentukan dan
penolakan terhadap paradigma ilmiah. Oleh karena itu, dalam konteks pemikiran ilmiah
Islam dapat dimaknai sebagai pemikiran progresif yang berlandaskan landasan normatif,
dinamika ideologis, kontinuitas dan kepekaan untuk memahami paradigma doktrin Islam,
membutuhkan paradigma yang kuat ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan di
masyarakat. Arah dan tujuannya adalah menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil
Alamin.

Kedua, Pemikiran Kuhn tentang normal science menggambarkan suatu keadaan


kala suatu paradigma jadi sedemikian dominan serta digunakan selaku penanda utama.
Normal science dalam konteks pemikiran Islam didasarkan pada teori yang ada dalam
sumber hukum Islam yang mana dalam perkembangannya senantiasa bisa dijadikan
selaku norma ataupun kaidah serta tidak terdapat penyimpangan serta kesusahan dalam
melakukannya dalam kehidupan instan. Normal science dalam kajian riset Islam bisa
dianalogikan dengan menguasai teori-teori ajaran Islam memakai pendekatan teologis
normatif.

Ketiga, Pemikiran Kuhn tentang anomali merupakan terbentuknya


ketidakselarasan antara realitas dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan.
Anomali terjalin sebab paradigma awal tidak sanggup membagikan uraian serta
menanggapi terhadap perkara yang mencuat serta kesimpulannya terjalin penyimpangan.
Anomali dalam konteks pemikiran Islam terjalin bersamaan dengan berkembangnya
kehidupan serta pergantian era. Dalam perihal ini terjalin sesuatu keadaan kalau ajaran
Islam yang terletak dalam ranah teologis normatif tidak seluruhnya bisa menanggapi
segala perkara umat Islam. Sehingga pada fase ini, kajian tentang pemikiran Islam hadapi
suatu yang dalam istilahnya Kuhn diucap selaku crisis.

Keempat, Revolusi Ilmu (scientific revolution) dalam pemikiran Kuhn


merupakan terbentuknya lompatan-lompatan serta perubahan-perubahan secara ekstrem
serta pada kesimpulannya hendak menimbulkan paradigma baru bersumber pada riset
ilmiah lanjutan serta dikaji bersumber pada sudut pandang serta metode metodologi yang
lebih unggul dibandingkan paradigma lama dalam upaya membongkar permasalahan.
Revolusi ilmiah dalam konteks pemikiran Islam merupakan upaya buat melaksanakan
pergantian secara ekstrem menimpa uraian serta interpretasi ajaran Islam buat bisa
menanggapi perkara yang terdapat dalam masyarakat selaku akibat dari pertumbuhan era.

Senada dengan pemikiran Kuhn, kalau kunci utama revolusi ilmiah terdapat pada
metodologi. Alam tidak dan merta berganti tetapi tata cara pencarian uraian hendak
indikasi alam kadang- kadang revolutif (butuh pergantian kilat). Sehingga dalam
pemikiran Islam, bukan bacaan al-Qur’annya yang dirubah. Tetapi metodologi dalam
menguasai teksnya yang wajib dirubah( direvolusi). Agama Islam selaku agama yang
rahmatan lil alamin mempunyai ajaran yang cocok dengan pertumbuhan era serta waktu.
Oleh karena itu, tidak butuh terdapat update terhadap bacaan terhadap ajaran Islam.
Hendak namun yang butuh diperbarui merupakan paradigma manusia terhadap agama
serta bukan al-Qur’an yang wajib digugat buat mengalami pertumbuhan era. Tetapi
dinamika paradigma umat Islam dalam menguasai bacaan angkatan laut (AL) Quran yang
selalu dicoba sejauh era. Dalam perihal ini, ayat-ayat Al-Qur’an butuh dimengerti serta
diberi interpretasi bersumber pada kenyataan kekinian. Dengan intrepretasi beserta
reintrpretasi tersebut menjadikan agama sanggup dan sejajar ataupun apalagi letaknya
lebih besar serta paling atas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta
teknologi.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, kala dalam pemaknaan terhadap ajaran


Islam ditemui anomaly( keganjilan/ penyimpangan) dari paradigma manusia tentang isi
angkatan laut (AL) Quran hingga butuh diadakan reintrepretasi terhadap teksnya.
Sehingga, kajian bisa memakai analisis bacaan serta konteks. Paradigm Kuhn dalam
pertumbuhan ilmu pengetahuan pula tidak dapat lepas dari nilai. Tercantum di dalamnya
nilai- nilai agama, sosial, serta kemanusiaan. Maksudnya, ilmu pengetahuan tidak dapat
berdiri sendiri. Nilai tersebut mempunyai kedudukan yang sangat signifikan dalam
memastikan arah pertumbuhan ilmu pengetahuan. Tanpa terdapatnya faktor nilai hingga
ilmu pengetahuan hendak tidak bermakna.

B. Perkembangan dan pergeseran teori psikologi modern melalui perspektif Karl


Popper
Salah satu aliran yang paling terkenal adalah idealisme pada abad ke-19. Dimana
hal ini sangat kontras dengan Prancis, rasionalisme dan idealisme masing-masing
memiliki tempatnya masing-masing, yang merupakan ciri khas aliran filsafat. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu ide merupakan reaksi terhadap ide-ide sebelumnya dan oleh
karena itu akan terus berkembang. Dengan perkembangan tersebut, ciri-ciri yang
memunculkan ide-ide tersebut tidak akan hilang, dan hal-hal yang mempengaruhinya
akan terlihat dengan jelas, terlepas dari perbedaannya.

Dalam hal ini, pengembangan ilmu pengetahuan merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh para ilmuwan sepanjang sejarah dan perkembangannya. Positivisme juga
menilai standar ilmiah dan tidak ilmiah dari suatu teori atau pernyataan berdasarkan
prinsip verifikasi. Meskipun Popper cenderung tidak setuju dengan prinsip verifikasi dan
menggantinya dengan pemalsuan, ini berarti teori, pernyataan, atau asumsi dapat
dibuktikan salah. Menurut Popper, pengembangan ilmu pengetahuan dimulai dengan
mengajukan hipotesis dan kemudian mencoba membuktikan bahwa hipotesis itu salah.
Jadi jika suatu teori terbukti salah, maka teori sebelumnya secara otomatis akan menjadi
tidak valid. Namun, jika hipotesis tidak lagi menemukan kesalahan, hipotesis tersebut
akan menjadi karangan sementara (teori) yang diterima sebagai kebenaran. Dengan kata
lain, keaslian teori diterima sampai ilmuwan lain memeriksa untuk menemukan
kekurangan dalam teori tersebut.
Epistemologi Karl R. Popper

1. Persoalan Induksi
Induksi adalah suatu metode yang digunakan untuk memutuskan kebenaran yang
bersifat universal melalui pengamatan-pengamatan terhadap obyek yang partikular.
Sederhananya adalah menarik kesimpulan umum dengan meneliti unsur-unsur
partikular atau khusus. Metode ini sangat identik dengan ilmu-ilmu empiris.
Dapat dikatakan bahwa induksi merupakan metode yang paten dalam ilmu-ilmu
empiris atau ilmiah. Jika suatu teori tidak menggunakan metode induksi, maka
dengan cepat dapat disimpulkan bahwa hal tersebut tidak ilmiah. Sehingga tak dapat
diragukan bahwa prinsip induksi dengan pasti diterima tanpa syarat. Seakan-akan
prinsip induksi menjadi dogma dalam ilmu pengetahuan alam.
Oleh karena itu, menurut Popper bahwa pandangan yang demikian tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Ia berpendapat bahwa bagaimana mungkin pernyataan
tunggal dapat menjadi pernyataan universal. Ini sangat tidak logis. Menurutnya:
seberapa banyak kita menemukan angsa putih, ini tak dapat membenarkan
kesimpulan bahwa semua angsa putih. Dengan kata lain apakah penyimpulan-
penyimpulan induktif dapat dibenarkan secara logis.
2. Persoalan Demarkasi
Demarkasi adalah garis pembatas antara pengetahuan ilmiah dan tidak ilmiah bagi
Popper. Akan tetapi menurut kaum positivis ialah tembok pembatas antara penyataan
bermakna dan tidak bermakna dengan cara diverifikasi. Disinilah yang menurut
Popper perlu adanya koreksi terhadap demarkasi yang dilontarkan oleh kaum
positivis. Ini bukan persoalan bermakna atau tidak. Namun ini adalah persoalan
ilmiah atau tidak ilmiah.
Menurut Popper sebagaiman dikutip oleh K. Bertens bahwa prinsip verifikasi
tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-
hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak dapat diverifikasi. Tetapi kalau begitu,
harus diakui juga bahwa (seperti halnya dengan metafisika) seluruh ilmu
pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) tidak
bermakna.
Pengetahuan ilmiah tidak didasarkan pada prinsip verifikasi yang kemudian
menggunakan metode induksi. Popper juga mengakui bahwa salah satu prisnsip
ilmiah ialah berbasis pada empiris (dapat di uji oleh pengalaman15). Dan sesuatu
yang berbau empiris tidak selalu induksi.

3. Falsifikasi
Secara sederhana falsifikasi dapat diartikan sebagai pengujian terhadap
pengetahuan bukan dengan menjabarkan kebenaran hipotesisnya, melainkan dengan
melatakkan negasi-negasi. Di sini tampak jelas bahwa pengetahuan akan berkembang
bukan karena memberikan data-data atau akumulasi pengetahuan, melainkan lewat
proses eleminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan.
Menurut Popper sebagaimana dikutip oleh Sumedi bahwa teori adalah ciptaan
sendiri. Ia merupakan hasil kreativitas akal. Teori diciptakan ketika ada problem atau
masalah lalu diakan observasi dan eksperimen untuk mengeliminasi kekurangan-
kekurangan (error-elimination) yang ada pada suatu teori yang dianggap ilmiah.
Hal ini dapat dibuat skema seperti berikut :

P1 TT EE P2

P adalah Problem atau masalah; TT melambangkan Tentative Theory atau teori


tentatif; EE adalah ErrorElimination atau pembuangan kesalahan-kesalahan (yang
telah dilakukan) khususnya melalui diskusi kritis.
Untuk menguatkan hal ini dapat dilihat dari pernyataan Popper sendiri yaitu :
“Harus diperhatikan, suatu putusan positif hanya dapat mendukung teori itu untuk
sementara waktu, karena putusan-putusan negatif berikutnya selalu mungkin
menjatuhkannya. Selama sebuah teori mampu bertahan menghadapi ujian-ujian yang
terperinci dan keras, dan ia tidak digantikan oleh teori lain dalam perjalanan gerak
maju ilmiah, kita dapat mengatakan bahwa ia ‘telah membuktikan keberaniannya’
(mettle), atau ia telah ’dikoroborasikan’ (dikuatkan).”
Sebuah teori yang telah diuji dan ternyata tahan atau lulus uji coba, maka teori
tersebut telah dikokohkan untuk sementara waktu setidaknya hingga ada penyangkalan
yang berhasil menjatuhkan teori tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa gerak maju
ilmiah bukan dengan menghadirkan bukti-bukti yang mendukung tapi dengan
membuktikan kesalahannya. Dengan begitu, pengetahuan ilmiah akan terus maju
dinamis tidak statis.

C. Potensi Psikologi Islam sebagai paradigma dan teori penggantinya


Kemunculan paradigma psikologi Islam sesungguhnya bisa dikatakan sebagai
reaksi dari kemajuan diskursus psikologi Barat. Reaksi itu semakin memuncak setelah
munculnya banyak benturan-benturan akibat psikologi Barat yang antroposentis dan
netral etik dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami fenomena psikologis
masyarakat Islam yang teosentris dan sarat etik.

Upaya pemetaan metode dan pendekatan psikologi Islam harus ditopang oleh
suatu paradigma yang mapan. Pemikiran ini didasarkan atas asumsi bahwa suatu disiplin
ilmu tidak akan bernilai obyektif apabila tidak didasarkan atas paradigma-paradigma
yang mapan berikut asumsi-asumsinya. Karena itu, penelusuran paradigma ini
merupakan kerja awal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke
arah penyusunan substansi psikologi Islam. Paradigma psikologi Islam harus
dihubungkan dengan pemikiran filosofis dalam Islam. Setidaknya ada dua kelompok
yang berbeda berkaitan dengan kerangka dasar paradigma psikologi Islam ini.
1. Kelompok yang mengehendaki keterbukaan terhadap pandangan hidup dan
kehidupan nonmuslim. Kelompok ini berusaha mengadopsi konsepkonsep
psikologi nonIslam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran psikologi Islam.
2. Kelompok yang berusaha mengangkat pesan besar Ilahi ke dalam pemikiran
psikologi, baik dari Alquran, Sunah maupun penafsiran ulama terhadap kedua
sumber tersebut.

Berbeda dengan penjelasan di atas, Muhammad Izuddin Taufiq


mengklasifikasikan kajian kejiwaan kelasik Islam dalam dua kategori. Pertama,
paradigma yang mengkaji definisi dan teori kejiwaan dalam Alquran dan Hadis dengan
berbagai topik dan terminologinya. Salah satu produk dalam kategori ini adalah Al-
Qur’ân wa ‘Ilm al-Nafs dan Al-Hadîts wa ‘Ilm al-Nafs karya Utsman Najati. Kedua,
paradigma yang mengkaji definisi dan teori kejiwaan dalam kitab-kitab klasik Islam
dengan berbagai topik dan terminologinya. Salah satu produk kategori ini adalah Dalil al-
Bahitsin Ilâ Mafâhim Nafsiyah fî alTurats (Petunjuk Bagi Para Peneliti Bagi Memahami
Masalah Kejiwaan dalam Kitab-kitab Klasik) hasil kerja sama antara Lajnah ‘Ilmiah
dengan al-Ma‘had al- ‘Alamiy lî al-Fikr al-Islamiy.

Kelompok pertama didasarkan atas asumsi bahwa tidak ada salahnya jika pemikir
Muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Rasul saw.
sendiri menyatakan, ”Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan
darimana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya” (HR. Turmudzi). Hadis ini
memberikan sinyalemen agar pemikir Muslim tidak segan-segan mengadopsi pemikiran
non Islam, dengan catatan bahwa pemikiran tersebut mengandung suatu kebenaran.
Adapun dasar dari pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan sistem
ajaran yang universal dan komprehensif. Tak satupun persoalan termasuk persoalan
psikologis yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Firman Allah swt., Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan
(QS. al-An’am, 6:38). Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri (QS. al-Nahl, 16:89). Dua ayat di atas memberi isyarat bahwa
konsep dasar psikologi Islam telah ada dalam sumber otentik Islam, al-Alquran dan
Hadis.

Selanjutnya dari sisi metodologi, metode pengkajian dan pengembangan psikologi


Islam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu metode pragmatis dan idealistik. Metode
pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam yang lebih
mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Untuk itu, bangunan psikologi Islam
dapat diadopsi dan ditransformasikan dari kerangka teori-teori dan psikologi Barat yang
sudah mapan. Teori-teori tersebut kemudian dicarikan legalitasnya dari nash atau
diupayakan pentazkiyah-an sehingga kesimpulannya bernuansakan Islami. Metode ini
akan menghasilkan rumusan yang lazim disebut dengan “Psikologi Islami”.
Pada pertengahan abad XIX, psikologi Barat lahir sebagai disiplin ilmu yang
mandiri dan sampai saat ini telah memunculkan beberapa cabang dan aliran. Cabang-
cabang dalam psikologi adalah (a). Psikologi umum, yang menyelidiki dan mempelajari
kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia yang tercermin tingkah laku
pada umumnya, dan (b) Psikologi khusus yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi
kekhususan dari aktivitas-aktivitas psikis manusia, yaitu antara lain Psikologi
Perkembangan, Psikologi Sosial, Psikologi Pendidikan, Psikologi Kepribadian,
Psikopatologi, Psikologi Kriminologi, Psikologi Perusahaan dan sebagainya. Adapun
aliran-aliran dalam psikologi, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
(a) psikoanalisis, (b) behavioristik, (c) humanistik dan (d) logoterapi. Masing-masing
aliran tersebut memiliki kerangka berpikir yang berbeda dalam bangunan teorinya.

Melalui metode pragmatis, teori-teori yang ada dapat dimasukkan ke dalam


keutuhan psikologi Islam setelah diadakan eliminasi dan pengkudusan. Upaya ini bukan
sekedar mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh, ia berfungsi sebagai
pemahaman sunah-sunah Allah swt., penjabaran universalitas Islam serta upaya
operasionalisasinya agar misi Islam sebagai rahmah li al’alamin dapat terwujud.
Kelebihan metode pragmatis ini adalah responsif, akomodatif dan toleran terhadap
perkembangan sains modern, khususnya pada disiplin psikologi. Metode ini sangat
efektif dan efisien untuk membangun disiplin baru dalam psikologi Islami, sebab ia tidak
beranjak dari pemikiran yang kosong. Namun boleh jadi metode ini membawa psikologi
Islami ke arah frame sekuler yang menyalahi kode etik ilmiah Qurani. Kekhawatiran itu
sangat mungkin karena paradigma yang digunakan adalah psikologi Barat yang berbeda
dengan paradigma Islam, apalagi proses adopsi tidak melalui proses seleksi yang ketat,
sehingga sulit dibedakan antara psikologi yang bercorak Islam dengan psikologi yang
bercorak sekuler.

Psikologi Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan paradigma psikologi


Barat, sebagai berikut:

1. Jika psikologi Barat merupakan produk pemikiran dan penelitian empirik, psikologi
Islam, sumber utamanya adalah wahyu (Alquran dan Sunah), yakni apa dijelaskan
wahyu tentang jiwa, dengan asumsi bahwa Allah swt. sebagai pencipta manusia yang
paling mengetahui anatomi kejiwaan manusia. Selanjutnya penelitian empirik
membantu menafsirkan wahyu.
2. Jika tujuan psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan
tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku
yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah swt.
3. Jika konseling dalam psikologi Barat hanya di sekitar masalah sehat dan tidak sehat
secara psikologis, konseling psikologi Islam menembus hingga bagaimana orang
merasa hidupnya bermakna, benar dan merasa dekat dengan Allah swt.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Wacana yang berkembang dalam paradigma terjadi secara dialektis dan interaktif dalam
pembentukan dan penolakan terhadap paradigma ilmiah. Oleh karena itu, dalam konteks
pemikiran ilmiah Islam dapat dimaknai sebagai pemikiran progresif yang berlandaskan landasan
normatif, dinamika ideologis, kontinuitas dan kepekaan untuk memahami paradigma doktrin
Islam, membutuhkan paradigma yang kuat ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan di
masyarakat. Normal science dalam konteks pemikiran Islam didasarkan pada teori yang ada
dalam sumber hukum Islam yang mana dalam perkembangannya senantiasa bisa dijadikan
selaku norma ataupun kaidah serta tidak terdapat penyimpangan serta kesusahan dalam
melakukannya dalam kehidupan instan. Ketiga, Pemikiran Kuhn tentang anomali merupakan
terbentuknya ketidakselarasan antara realitas dengan paradigma-paradigma yang digunakan
ilmuwan.

Induksi adalah suatu metode yang digunakan untuk memutuskan kebenaran yang bersifat
universal melalui pengamatan-pengamatan terhadap obyek yang partikular. Dapat dikatakan
bahwa induksi merupakan metode yang paten dalam ilmu-ilmu empiris atau ilmiah. Seakan-akan
prinsip induksi menjadi dogma dalam ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu, menurut Popper
bahwa pandangan yang demikian tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Akan tetapi menurut kaum positivis ialah tembok pembatas antara penyataan bermakna
dan tidak bermakna dengan cara diverifikasi. Disinilah yang menurut Popper perlu adanya
koreksi terhadap demarkasi yang dilontarkan oleh kaum positivis. Hukum-hukum umum dalam
ilmu pengetahuan tidak dapat diverifikasi. Pengetahuan ilmiah tidak didasarkan pada prinsip
verifikasi yang kemudian menggunakan metode induksi.

Dan sesuatu yang berbau empiris tidak selalu induksi. Secara sederhana falsifikasi dapat
diartikan sebagai pengujian terhadap pengetahuan bukan dengan menjabarkan kebenaran
hipotesisnya, melainkan dengan melatakkan negasi-negasi. Teori diciptakan ketika ada problem
atau masalah lalu diakan observasi dan eksperimen untuk mengeliminasi kekurangan-
kekurangan yang ada pada suatu teori yang dianggap ilmiah.
Daftar Pustaka

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, hlm. 162-163.

Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2008), 5

Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, 12.

Sumedi, Kritisisme Hikma, 200

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Anda mungkin juga menyukai