Anda di halaman 1dari 48

ISLAMISASI ILMU-ILMU KONTEMPORER

DAN PERAN UNIVERSITAS ISLAM


DALAM KONTEKS DEWESTERNISASI
DAN DEKOLONISASI

Oleh
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud

Dalam kuliah ini saya akan memaparkan arkitektonik dan kepentingan strategis dari
Institusi Pendidikan Tinggi dalam perkembangan yang tepat bagi individu dan masyarakat
muslim di berbagai penjuru dunia. Di saat westernisasi dan kolonisasi dalam berbagai
bentuknya masih berpengaruh dalam konteks globalisasi saat ini, saya juga akan mengajukan
hujjah, bahwa upaya sejumlah ilmuwan Muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, dan keterkaitannya dengan diskursus tentang pendidikan dan
universitas dalam Islam, adalah bukan hanya usaha yang sah untuk mempertahankan identitas
agama dan budaya mereka, tetapi juga menawarkan alternatif yang lebih baik dari
modernitas Barat, yang telah menunjukkan defisit yang serius pada level global. Akan segera
tampak bahwa realisasi dari defisit modernitas Barat itu melintasi batas-batas agama,
budaya, dan batas-batas negara, di saat banyak ilmuwan non-muslim dan pembuat kebijakan
menyampaikan hujjah tentang perlunya melakukan usaha de-westernisasi, dekolonialisasi,
dan pribumisasi dari framework ilmu pengetahuan. De-westernisasi dan Islamisasi ilmu
kontemporer – dalam keterkaitannya dengan konsep universitas Islam dan adab – adalah
salah satu dari usaha-usaha ini. Dibandingkan dengan gerakan sejenis, Islamisasi ilmu
kontemporer, lebih bersifat spiritual, komprehensif, universal dan lebih kuat pengaruhnya. Ini
akan dijelaskan nanti.
Saya akan menegaskan kembali framework epistemologi tradisional, yang telah
dipahami dan dipraktikkan oleh mazhab Sunni. Kerangka filosofis dan metodologis yang
saya gunakan, sebagian besarnya berdasarkan pada apa yang telah dirumuskan oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas, seorang yang dipandang paling otoritatif di dunia muslim
kontemporer, dan juga pendiri sebuah insitusi Perguruan Tinggi yang sangat bermartabat,
yaitu the International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1987-2002.1

1
Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas:
An Exposition on the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998); Wan Mohd Nor Wan Daud
and Muhammad Zainiy Uthman, eds. Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in
Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Skudai; UTM Press, 2010); Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic
Civilization (New Haven and London: Yale University Press, 2009), Chap. 4; dan Mohd Zaidi Ismail dan Wan
Suhaimi Wan Abdullah, eds. Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas
(Kuala Lumpur: MPH, 2012).
1
Arkitektonik dan Kepetingan Strategis Pendidikan Tinggi

Pendidikan – tak diragukan lagi – merupakan wahana terpenting bagi individu dan
masyarakat untuk meraih kesejahteraan dan kemajuan. Tujuan pendidikan, sebagaimana
sebagian besar aktivitas manusia yang fundamental, adalah satu refleksi dari pandangan alam
(worldview) tertentu – apakah bersifat individual atau sosial – yang pada gilirannya akan
dimasukkan ke dalam materi, metodologi, dan evaluasi pendidikan. Suatu worldview pada
umumnya terbentuk oleh agama dan atau orientasi filsafat ditambah dengan lingkungan
sosio-historisnya dalam berbagai derajat interaksi yang sangat kompleks. 2 Dalam beberapa
dekade, komunitas muslim internasional telah dan masih terus menekankan pentingnya
pendidikan dasar dan menengah. Betapa pun, ketika para ilmuwan di Perguruan Tinggi
menekankan pentingnya suatu universitas, mereka sempat dianggap memiliki kepentingan
tertentu oleh sebagian orang. 3
Arkitektonik dan kepentingan strategis dari institusi Pendidikan Tinggi belum lama
dan ekonomi berbasis pengetahuan. 4 Beberapa ilmuwan dengan tepat telah mengakui bahwa
institusi Pendidikan Tinggi telah memainkan sebuah peran – meskipun dalam jumlah yang
masih kecil – dalam perjuangan meraih supremasi internasional. 5 Sejumlah akademisi
terkemuka, seperti Clerk Kerr, lebih dari setengah abad lalu telah menekankan bahwa bangsa-
bangsa yang bermaksud meraih pengaruh intenasional seyogyanya mendirikan pusat-pusat
studi yang unggul (excellent) pada level tertinggi.6 Kepentingan strategis lembaga semacam
ini, adalah sebagaimana pernah dinyatakan oleh Philip Coombs, mantan wakil Menteri Luar

2
Pemaparan lebih komprehensif dan filosofis tentang worldview of Islam lihat Syed Muhammad Naquib al-
Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview
of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); tentang kaitan worldview of Islam dengan pendidikan tinggi, khususnya,
lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, especially pp. 33-69; juga Alparslan Acikgenc,
Scientific Thought and Its Burdens (Istanbul: Fatih University Publications, 2000), Chap. 2.
3
Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity: The Emergence of Parallel Discourses in Higher Education in
Europe”. In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of
Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London:
Taylor and Francis, 2007), p. 15.
4
Lihat, sebagai contoh, Rajani Naidu, “Higher Education: A Powerhouse for Development in a Neo-Liberal
Age?”, dalam Geographies of Knowledge, hal. 248-261; diskusi menarik tentang kerangka ilmu pengetahuan
dan hubungannya dengan ekonomi dan geopolitik, lihat Vinay Lal, Empires of Knowledge: Culture and Plurality
in the Global Economy. New and Expanded Edition (New Delhi: Vistaar Publications, 2005), khususnya bab 4
dan 5. Lihat juga Phillip G. Altbach, Higher Education in the Third World: Themes and Variations (Singapore:
Maruzen Asia/Regional Institute of Higher Education and Development, 1982), bab 4, “Servitude of the Mind?
Education, Dependency, and Neocolonialism.”
5
Phillip G. Altbach and Gail P. Kelly, Education and Colonialism (New York and London: Longman, 1978), hal.
31.

6
Lihat, Clerk Kerr, “The Frantic Rush to Remain Contemporary” Deadalus. Journal of the American Academy of
Arts and Sciences. Volume 94, No. 4 Fall 1964, hal. 1051. Lihat juga Wan Mohd Nor, Masyarakat Islam Hadhari:
Suatu Tinjauan Epistimologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2006), hal. 19-23.
2
Negeri AS semasa pemerintahan John F Kennedy, bahwa pendidikan dan budaya adalah
“aspek keempat” dari politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi dan aspek militer. 7
Babak Perang Dingin telah meningkatkan kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi, saat
dipahami bahwa persenjataan modern sangat bergantung pada ilmu pegetahuan ilmiah
dibandingkan dengan hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya perlengkapan
militer. 8
Gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang disusun oleh para ilmuwan yang
menekankan pentingnya institusi Pendidikan Tinggi dan Pusat Pemikiran berlanjut pada
pembentukan strategi geopolitik. Thomas Farr, yang bekerja di Kebijakan Luar Negeri AS
lebih dari 16 tahun, mengajukan gagasan tentang desekularisasi diplomasi. Ia mengusulkan
agar kebebasan beragama (religious freedom) harus dijadikan sebagai bagian terpenting dari
kebijakan politik luar negeri AS yang akan menghasilkan banyak aspek manfaat. Diantaranya
adalah penguatan keamanan nasional AS, dengan meruntuhkan terorisme Islam transnasional
dan ekstrimisme, menstabilkan perjuangan demokrasi di seluruh dunia Islam dan bagian
dunia lainnya; serta mendorong terjadinya transisi politik tanpa kekacauan di dalam negeri
sebagaimana terjadi di Cina. Kebijakan semacam itu juga dapat mengurangi persepsi di luar
negeri, bahwa AS adalah imperialis, hedonis, dan penjaja demokrasi bebas nilai. Juga, ini
akan mendorong perluasan bantuan kelompok-kelompok kepentingan AS dan memajukan
kerjasama di antara kelompok-kelompok agama di AS. 9
Kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi semakin tampak di masa kini,
khususnya di dunia Arab, dimana meskipun sebagian besar penduduknya memiliki persepsi
negatif terhadap kebijakan luar negeri AS, tetapi mereka memberikan apresiasi terhadap
pendidikan Tinggi AS. Hal ini telah memuluskan berdirinya berbagai cabang universitas-
universitas AS di dunia Arab. 10 Amerikanisasi institusi Pendidikan Tinggi di dunia Arab
difokuskan pada gagasan-gagasan dan nilai-nilai program ilmu-ilmu humaniora (liberal arts).
Menurut Peter Heath, Ketua American University di Beirut, yang merupakan universitas
Amerika tertua di dunia Arab, bahwa universitas-universitas Amerika di dunia Arab,
seharusnya mendidik manusia secara utuh dengan perhatian pada ilmu-ilmu humaniora.
“Jika mereka mengerjakan hal itu, maka sekalipun mereka tidak begitu bagus dalam
akademisnya, saya menghormati mereka. Sebab, mereka berada pada jalan yang benar."11
Shafeeq Ghabra, Presiden Universitas Amerika di Kuwait, menyatakan bahwa Amerikanisasi
pendidikan tinggi artinya menerapkan Bahasa Inggris, menggunakan strategi dan model
pendidikan, buku-buku bacaan, kehidupan komunal, dan kegiatan ekstrakurikuler yang

7
Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs (New York: Harper and
Row, 1964).
8
Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 18.
9
Thomas F. Farr, World of Faith and Freedom: Why International Religious Liberty is Vital to American National
Security (Oxford: OUP, 2008), hal. 26.
10
Shafeeq Ghabra with Margreet Arnold, “Studying the American Way: An Assessment of American-Style
Higher Education in the Arab Countries”. Policy Focus #7 June 2007. Washington DC: The Washington Institute
for Near East Policy, 2007).
11
Dikutip dari Gordon Robison, "Education: An American Growth Industry in the Arab World”. Sebuah Proyek
dari Pusat USC tentang Diplomasi Publik, Proyek Media Timur Tengah, Los Angeles, Juli 2005, hal. 7-8.
Robison adalah Senior Fellow di USC Annenberg School of Communication.
3
popular dalam sistem pendidikan Amerika.12 Dalam Arab Knowledge Report tahun 2009, hal
terpenting dari kebebasan, sebagai salah satu persyaratan penting dalam mengembangkan
pengetahuan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, adalah secara empatik dan konsisten
menekankan: "pengetahuan adalah kebebasan dan perkembangan, dan tidak mungkin ada
pengetahuan ataupun perkembangan tanpa kebebasan." (knowledge is freedom and development
13
and that there can be neither knowledge nor development without freedom). Laporan ini
memperingatkan hal yang mungkin relevan bahkan sampai hari ini, bahwa hubungan ini tidak
mekanis maupun terpisahkan14. Namun, di tempat lain secara kategoris menegaskan bahwa
"hal ini adalah kebebasan faktual dan pengetahuan yang tidak terpisahkan sebagaimana
pengetahuan dan perkembangan"; dan hal itu tidak seharusnya terbatas pada bidang ekonomi
dan politik, tetapi "dalam segala manifestasinya."15 Pada Arab Knowledge Report Tahun
2010/2011 , telah diakui bahwa revolusi dan protes di dunia Arab sejak akhir 2011 ke depan
dimotivasi secara signifikan oleh generasi muda kelas menengah dan atas. Selanjutnya,
generasi muda di kelas sosial lain bergabung, dibantu oleh teknologi informasi dan
komunikasi. Sebagian besar generasi muda kelas menengah dan atas ini "memiliki kesamaan
akan prinsip, keyakinan dan keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial dan politik dalam
realitas kehidupan mereka…. (yang juga dibantu oleh) globalisasi prinsip-prinsip
keikutsertaan, kewarganegaraan dan organisasi kemasyarakatan."16
Dari perspektif Islam, kesadaran yang relatif baru dari kepentingan jangka panjang
dari pendidikan tinggi ini adalah yang paling akurat. Penekanan Islam pada pentingnya
pendidikan masa kanak-kanak berakar dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Anak-anak adalah titipan Tuhan, dan adalah orang tuanya yang mengubah mereka menjadi
Yahudi, Kristen dan Zoroaster.17 Dalam dunia Melayu-Indonesia, pesan ini disampaikan
melalui peribahasa yang sangat popular: jika mahu melentur buluh, biarlah diwaktu
rebungnya (bambu paling mudah dibentuk ketika rebungnya masih muda).
Hal yang tidak ditekankan dalam tradisi yang sering diturunkan ini adalah bahwa
orang dewasanya, terutama orang tua dan para guru, adalah yang paling berperan dalam
proses ini. Nabi dikirim di semua tingkatan masyarakat, namun langsung pada pemikiran
orang dewasa yang matang (bulugh) yang bisa bertanggungjawab.18 Yang terbaik dari
generasi pertama kaum Muslim—Sahabat para Nabi—dilahirkan dan dibesarkan dalam masa

12
Ibid., hal. 7.
13
Arab Knowledge Report Tahun 2009: Towards Productive Intercommunication for Knowledge. Diterbitkan
oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/Biro Regional
untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 220.
14
Ibid., hal. 220.
15
Ibid., hal. 225-226.
16
Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011: Preparing Future Generations for the Knowledge Society.
Diterbitkan oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/ Biro
Regional untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 2.
17
Al-Bukhari, Sahih sv: kitab al-Jana’iz, No. 1319 (1292); also Muslim, Sahi sv: kitab al-Qadar,no. 2138
(2658).
18
Hal ini tampaknya konsisten dengan klasifikasi internasional misalnya dari UNESCO yang menganggap
orang dewasa yang di atas usia 15 tahun. Lihat Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011, hal. 4. Namun, perlu
disampaikan bahwa kriteria Islami dari masuknya usia tanggung jawab (taklif), kedewasaan (bulugh), tidak
selalu kronologis, tetapi berdasarkan pengalaman, dan spesifik secara gender: menstruasi pertama untuk wanita,
mimpi basah pertama untuk pria.
4
para-Islam, dan kenyataannya, lingkungan anti-Islami yang kuat, tetapi kemampuan yang
mendalam dari pembentuk manusia dewasa, yakni Nabi Muhammad saw, sukses
mengislamkan pandangan alam, etika dan kemanusiaan mereka. Sebagian besar dari mereka
sudah dewasa ketika mereka menerima Islam, dan kemudian melakukan kontribusi yang
penting dan kekal tidak hanya kepada komunitas Muslim tetapi juga pada yang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan efektif terjadi di tingkat dewasa, yaitu
institusi Pendidikan Tinggi dalam makna modernnya, dapat mengatasi kelemahan filosofis
dan etis pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Lebih jauh lagi, kesuksesan tingkat dasar
dan menengah tergantung sekali pada kesuksesan terdahulu dan keefektivan dari institusi
Pendidikan Tinggi, di mana pembuat kebijakan, perancang kurikulum, guru-guru,
administrator senior, dan bahkan orang tua sendiri, dididik dan dilatih. Lalu, sejumlah besar
orang-orang di bidang pendidikan non-formal seperti media massa dan elektronik, institusi
keagamaan dan politik adalah produk-produk dari institusi Pendidikan Tinggi. Semua
individu ini, secara langsung maupun tidak, mempengaruhi isi dan metode dari pendidikan
formal dan non-formal pada tingkat yang lebih rendah.
Mengenali kepentingan pendidikan tinggi secara arkitektonik dan strategis, negara-
negara yang memiliki ambisi tinggi, telah membangun tidak hanya jaringan universitas-
universitas terbaik, tetapi juga berbagai institusi untuk pendidikan lanjutan yang secara
serius berusaha memperluas batasan intelektual dan ilmiah di segala bidang ilmu
pengetahuan. Institut dan pusat ilmu semacam ini pertama kali didirikan di Universitas
Princeton, USA pada 1930; lalu dilanjutkan di Bielefeld (1968) dan Berlin (1980) di Jerman.
Lainnya didirikan di Wassenaar, Belanda (1971); Kansas, Jepang (1984); Uppsala, Swedia
(1985); dan Helsinki, Finlandia (2002). Pembangunan ini, nyatanya, disediakan dengan dana
yang cukup dan mempunyai staf akademis dan penelitian yang sangat terpercaya serta
memiliki administrasi yang fleksibel yang menaati budaya akademis dan penelitian yang
sangat kuat.19
Seiring dengan munculnya Cina sebagai salah satu kekuatan ekonomi global dan
militer yang paling dominan, ia juga ingin memiliki pengaruh yang lebih besar dalam hakekat
tatanan dunia baru, yang sampai sekarang hampir seluruhnya dibentuk oleh perspektif sosio-
ekonomi dan budaya Barat. Hal itu menekankan pentingnya pendekatan non-militer (soft
approach), yang berpusat pada ide-ide dan berbagi bentuk kerja sama. Baru-baru ini,
Universitas Fudan (didirikan tahun 1905) membuka institusi baru, Pusat untuk Kajian Budaya
dan Nilai-nilai Cina dalam Konteks Global (Center for the Study of Chinese Culture and
Values in the Global Context (SCCV)) dan mengadakan konferensi internasional dengan tema
"Merevitalisasi Budaya Cina: Nilai-nilai dan Norma-norma pada Satu Era Global", diadakan
26-27 Juni 2011. Di antaranya, konferensi ini mencoba mempelajari bagaimana Cina bisa
merevitalisasi nilai-nilai dan norma-norma budayanya untuk menghadapi tantangan
modernisasi dan globalisasi dan untuk memberikan 'kekuatan non militer' (soft power) untuk
masa depan global. Ia bermaksud untuk berbagi visinya dan menjadi peran utama dalam

19
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia
(Kuala Lumpur: CASIS/BTN, 2012), hal. 30-31.
5
membentuk dunia baru serta untuk "berbagi visinya dengan dunia serta menjadi pemimpin
dalam membentuk era global yang baru".20

Dekolonisasi dan Dewesternisasi Pengetahuan dan Pendididkan


Globalisasi Eropa dimulai dengan perjalanan-perjalanan “penemuan” (discovery)
pada akhir abad ke-15. Hal ini diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya
penaklukan dan pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar Eropa. Sejak abad
ke-17 dan seterusnya, imperialisme ini berhasil terwujud berkat kolonisasi –dengan
pembentukan komunitas-komunitas imigran di wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota
besar, dan didukung dengan adanya perbudakan dan buruh kontrak— menghasilkan
kolonisasi — sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan secara sistematis bangsa
terjajah.21 Perkembangan yang saling terkait ini, yang dimungkinkan oleh worldview
Eropasentris yang menggambarkan perspektif epistemik tertentu, telah menimbulkan banyak
penderitaan dan kerugian politik, ekonomi, serta sosial budaya penduduk asli.
Dominasi Barat menjadi lebih intensif – dengan ikut berperannya Amerika Serikat
pada pertengahan abad ke-20 dalam bentuk neokolonialisme – terutama melalui konsep
modernisasi dan pembangunan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan
Hak Asasi Manusia.22 Sepanjang abad ini, globalisasi telah menjadi, secara nyata,
fundamental terkait atas tersebarnya, penanaman ‘’pandangan tertentu tentang kebenaran dan
realitas dunia’’ (a particular view of truth and reality of the world); atau dengan kata yang
biasa digunakan para ahli sosiologi, “universalisasi rangkaian asumsi dan narasi”, melalui
saluran pendidikan dan komunikasi yang informal dan formal, ke seluruh bagian dunia.
Globalisasi saat ini, terutama jika dikaitkan pada kerangka pengetahuan, telah
melampaui proses-proses sosio-geografis, budaya, dan ekonomi, dan menjadi "alasan dan
pembenaran untuk kelanjutan beberapa bentuk yang sangat destruktif eksploitatif.”23
Neokolonialisme -- melalui hegemoni proyek modernitasnya -- memperdalam mitos
keunggulan Barat dalam semua dimensi, aturan budaya, ilmiah, dan sosial politik ekonomi.24
Hegemoni ini bahkan memasuki wilayah interpretasi agama masyarakat non-Barat, dimana
sifat atau batas toleransi beragama, moderasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia ditentukan
secara signifikan dari perspektif Barat dan sekuler; diartikulasikan dan ditanamkan terutama
di lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi.

20
Mohon rujuk pada brosur online konferensi di http://www.crvp.org/conf/2011// fudan.htm, downloaded
18/5/2011; see also, Wan Mohd Nor, Budaya Ilmu, hal.31.
21
Peter Cox, “Globalization of What? Power, Knowledge and Neo-Colonialism”. Paper untuk Implications for
Globalisation: Present Imperfect, Future Tense. 17-19 December 2003. Annual Conference. Department of
Social and Communication Studies, University College Chester. P. 5. Downloaded 6/14/2005); juga Wan
Mohd Nor Wan Daud, “Dewesternisation and Islamisation: The Epistemic Framework and Final Purpose”. In
N. Omar, W Che Dan, Jason S. Ganesan and R. Talif, eds. Critical Perspectives on Literature and Culture in the
New World Order (Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing, 2010) hal. 1-7.
22
Ramon Grosfuguel, “Decolonizing Political-Economy and Post Colonial Studies: Transmodernity, Border
Thinking, and Global Coloniality”. Dalam Ramon Grosfuguel, Jose David Saldivar and Nelson Maldonado
Torres (eds). Unsettling Postcoloniality: Coloniality, Transmodernity and Border Thinking (Durham: Duke
University Press, 2007) versi internet, hal. 7-8
23
Cox, “Globalization for What?”, hal. 3.
24
Ibid,hal. 6.
6
Karena adanya dominasi global Barat di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, militer
dan ekonomi selama tiga abad terakhir, dapat dipahami -- walaupun bukan berarti diinginkan
-- jika Barat beranggapan bahwa bagian lain dari dunia ini berada di belakangnya dalam
berbagai kriteria utama kemajuan dan pengembangan manusia sebagaimana diterapkan di
Barat. Juga dianggap bahwa semua manusia non-Barat harus menjalani urutan serupa dalam
perkembangan spiritual, sosial, dan politik sebagaimana Barat dalam rangka untuk mengejar
ketinggalannya dengan, dan menjadi bagian dari umat manusia dalam masyarakat yang
berkembang.25 Konsep linier dan evolusi dari sejarah dan kemajuan manusia dari pusat Barat
ini tidak mentoleransi adanya perbedaan pemikiran atau gagasan dari pihak lain yang
bertentangan dengannya. Gagasan-gagasan yang berbeda ini akan dianggap sebagai
reaksioner, anti-modern, anakronistik, tradisional, tidak wajar, radikal, anti-kemanusiaan;
atau akan dikemas ke dalam idiom dan kategori yang dapat diterima oleh pandangan yang
dominan dan kepentingan pusat (Barat). Pandangan non-Barat tentang Kebenaran dan
Realitas, dan bentuk serta perspektif pengetahuan dan pembangunan mereka tentang manusia,
dianggap sebagai bersifat lokal dan partikular, dan karenanya tidak betsifat universal.26
Maka, kemanusiaan dianggap tidak akan memiliki masa depan kecuali apa yang telah
dipahamai dalam kerangka ilmiah dan worldview demokrasi dan liberal Eropa. Bahkan,
panggilan Protagorian, yang menggaris bawahi kerangka sekular kemanusiaan sejak masa
Helenisme – “Manusia adalah ukuran dari segala hal….”,27 saat ini secara praktis dianggap
sebagai “Manusia Barat adalah ukuran dari segala hal; segala yang memang benar sebagai
mana adanya; segala yang tidak benar, dan tidak seperti adanya…”

Dengan itu, bahasa, masyarakat, kebudayaan, ekonomi, dan teknologi China dan
Timur Jauh, India dan Benua Asia, Negara-negara Melayu dan Pasifik, Amerika Latin, Timur
Tengah, dan Afrika telah berubah secara signifikan, yang bahkan dalam beberapa kasus tidak
dapat dikembalikan lagi. Untuk menjadi modern dan beradab dan agar dapat diterima sejajar
dengan Barat, pada dasarnya suatu negara akan menjadi ke-Barat-baratan, sebuah persyaratan
yang sebenarnya diragukan, namun banyak negara non-Barat dan negara muslim yang
tampaknya menerima pandangan semacam itu. Alexander Solzhenitsyn mungkin benar
ketika ia mengamati, dalam pidatonya di Harvard University pada tahun 1978, bahwa
walaupun Jepang masih mempertahankan ciri-ciri ketimuran, tetapi ia tidak lagi menjadi
Negara Timur Jauh (Far East), tetapi lebih menjadi Barat Jauh (Far West) -- (A World Split
Apart).28

25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of
Malaysia, 1978) ) hal. 25. Setelah ini disingkat ‘IS’. Martin Jacques menulis sekitar 40 tahun terakhir, “Hitherto
the world has been characterized by Western hubris—the Western conviction that its values, belief systems,
institutions and arrangements are superior to all others. The power and persistence of this mentality should
not be underestimated.” Martin Jacques, When China Rules the World (London: Penguin Books, 2009) hal.
167.
26
Ninay Lal, Empires of Knowledge, Introduction dan bab 1; lihat juga Syed Farid Alatas, Alternative Discourses
in Asian Social Sciences: Responses to Eurocentrism (New Delhi: Sage Publications, 2006).
27
James L Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York: Teachers College/Columbia University
Press, 1965).
28
Alexander I Solzhenitsyn, A World Split Apart (London: Harper and Row, 1978).
7
Kolonisasi memainkan peran penting dalam konsepsi dan sifat Perguruan Tinggi di
semua negara yang baru merdeka, dalam arti bahwa meskipun banyak diantaranya yang
didirikan sebelum kemerdekaan, namun keberadaan mereka hingga kini -- dan pembentukan
Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi yang baru -– dibuat untuk melayani kepentingan
modernisasi bangsa negara baru dengan dibentuk sesuai dengan pola yang "benar" ala Barat.
Perkembangan ekonomi negara-negara "belum berkembang" ini dipaksa untuk mengikuti
dengan ketat semua tahapan Rostowian yang memungkinkan modernisasi termasuk
penerapan semua lembaga yang memungkinkan pencapaian tersebut di Barat, termasuk
Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi.29 Sejak tahun 1950an, beberapa ilmuwan dari berbagai
bangsa seperti Franz Fannon, pada Black Skin, White Masks (1952), Jalal Ale Ahmad, pada
The Occidentosis: Plague from the West (1952), Aime Cesaire, pada Discourse on
Colonialism (1955), Albert Memmi, pada The Colonizer and the Colonized (1957), mengutip
hanya empat ilmuwan tersebut, telah dapat mendokumentasikan bagaimana munculnya
perspektif Barat yang sekaligus memiskinkan bangsa lain, dan dengan demikian melakukan
tindakan merugikan bagi kemajuan manusia secara keseluruhan dan pembangunan di
berbagai belahan dunia. Aspek terburuk dari efek ini adalah apa yang telah dengan tepat
digambarkan oleh Syed Husin Alattas sebagai "captive mind".30 Sejak tahun 1970-an telah
dilakukan banyak diskusi serius mengenai dilakukannya de-westernisasi, dan pada negara-
negara bekas jajahan Barat – Amerika Latin, India, Afrika, dan Dunia Islam secara
keseluruhan – dilakukan dekolonisasi, sebuah proses yang masih dalam masa pertumbuhan.31
Sejak tahun 1970-an, gerakan Ilmu Pengetahuan Pribumi (Indigenous Knowledge
Movement), terutama di Amerika Utara, yang berusaha untuk menawarkan sebuah sistem
alternatif bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan selain yang ditawarkan Eropa, menerima
penghargaan dan pengakuan internasional. Pada tahun 1990-an, gerakan ini telah
menghasilkan wacana dekolonisasi dan memikirkan kembali pendidikan bagi masyarakat
pribumi. Secara konseptual, pengetahuan asli menggarisbawahi orientasi teoritis dan
metodologis dari kerangka Eropasentris dan merekonseptualisasi ketahanan dan kemandirian
masyarakat pribumi, dan menitikberatkan pada orientasi agama, filsafat, dan pendidikan
mereka sendiri. Maka, ia mengisi ruang kosong antara etika dan ilmu pada ilmu dan
penelitian yang bersifat Eropasentris; dan juga menciptakan suatu keseimbangan baru dan
sudut pandang yang segar, untuk dapat menganalisa pendidikan yang bersifat Eropasentris
dan pedagoginya.32 Di antara bangsa-bangsa pertama, masyarakat, setidaknya di Kanada,

29
Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 18.
30
Syed Husin Alatas, “The Captive Mind and Creative Development”. International Social Science Journal (36)
4: 691-700, 1974. Karya lainnya, The Myth of the Lazy Native (1977), dan Intellectuals in Developing Societies
(1977) juga relevan.
31
Untuk konteks Malaysia, dapat dilihat misalnya, Mohamad Daud Mohamad dan Zabidah Yahya, (Compilers),
Pascakolonialisme Dalam Pemikiran Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), dan Rahimah
A. Hamid, Fiksyen Pascakolonial: Yang Menjajah dan Dijajah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
2010); untuk Indonesia, lihat Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevensi Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008).
32
Marie Battiste, “Indigenous Knowledge: Foundations for First Nations”, World Indigenous Higher Education
Consortium Journal 2005, hal. 2-3. Http://www.win-hec.org/=node/34.. Lihat juga Evangelia Papoutsaki, “De-
Westernizing Research Methodologies: Alternative Approaches to Research for Higher Education Curricula in
8
telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kapasitas bersama yang dapat
mengentaskan kemiskinan dan menciptakan pembangunan berkelanjutan.33
Banyak ilmuwan di tahun 1990-an, seperti Subaltern Study Group (SSG) terhadap
Amerika Latin, mengembangkan kritik-kritik intelektual dan segala hal yang terkait
denganya. Tapi, kerangka kerja mereka pada dasarnya masih diambil dari, dan dipengaruhi
oleh analisa post-strukturalis dan post-modern yang merupakan produk intelektual Barat.
Sementara kelompok berpengaruh lainnya, yang terpengaruh oleh karya-karya Ranujit Guha,
berusaha untuk mengkritik perspektif pendidikan Barat dari perspektif non-Barat dan
sebagian besar dalam perspektif India, dengan menyajikan kritik post-kolonial. Yang
dimaksudkan SSG dengan kritik post-modern (post-modern critique), adalah sebuah kritik
Erosentris atas Erosentrisme. Sedangkan kritik post-kolonial (postcolonial critique) mereka
dimaksudkan sebagai kritik Erosentrisme dari perspektif subaltern dan kerangka
pengetahuan yang tidak dikembangkan. Walaupun demikian, masih ada pendapat-pendapat
lain, seperti dari Ramon Grosfuguel, yang menyampaikan “kebutuhan untuk mendekolonisasi
tidak saja ilmu-ilmu Subaltern, tetapi juga ilmu-ilmu post-kolonial”. 34 Yang lain, seperti
Nelson Maldonado-Torres, mengimbau untuk dilakukannya diversalitas radikal dan
dekolonialisasi geopolitik ilmu. Sementara beberapa lainnya, seperti Vinay Lal,
mengusulkan perspektif Gandhi dalam menangani perbedaan pendapat intelektual terhadap
Barat. 35

Afrika dan Cina


Para cendekiawan Afrika telah menganalisis peran Perguruan--perguruan tinggi di
Afrika dalam westernisasi dan kemudian menawarkan beberapa pandangan dalam menangani
tantangan yang meluas. Ali Mazrui, sebagai contoh, telah mengamati bahwa Perguruan
Tinggi di Afrika sejak tahun 1960-an telah berfungsi sebagai suatu korporasi multinasional.
Perkembangan ini menjadi lebih diintensifkan dan meluas.36 Ia berpendapat perlunya
diadakan suatu agenda dekolonisasi dari proses modernisasi, namun tidak dengan
mematikannya.37 Ia mengamati, dengan nada keheranan, bahwa “Sebagian besar analis
pengembangan Afrika telah menekankan ketergantungan ekonomi; sedikit perhatian terhadap
sastra atau dalam forum-forum kebijakan diberikan pada isu-isu cultural dependency
(ketergantungan kultural)”.38 Ia berpendapat bahwa walaupun sarjana perguruan tinggi Afrika
memainkan peran kunci dalam pembebasan politik nasional dari imperialis Barat, mereka,
tanpa menyadari telah melanggengkan ketergantungan budaya dan intelektual, setelah

Developing Countries”. Dipresentasikan pada Global Colloquium of the UNESCO Forum on Higher Education,
Research and Knowledge. Paris, 29 Nov-1 Des. 2006.
33
Marie Battiste, “Indigenous Knowledge”,hal.3; Lihat juga McConaghy, Cathryn, Rethinking Indigenous
Education: Culturalism, Colonialism and the Politics of Knowing. (Flaxton, Qld: Post Pressed, 2000).
34
Grosfuguel, “Decolonizing Political-Economy”, hal.3.
35
Nelson Maldonado-Torres, “The Topology of Being and the Geopolitics of Knowledge: modernity, Empire,
Coloniality” CITY, vol 8, no 1 April 2004; Ninay Lal, Empires of Knowledge.
36
Ali A. Mazrui, “The African University as a Multinational Corporation: Problems of Penetration and
Dependency.” In Philip G. Altbach and Gail P. Kelly, eds. Education and Colonialism (New York and London:
Longman, 1978).
37
Ibid, hal. 333, and 341.
38
Ibid, hal. 332.
9
kemerdekaan.39 Ia berpendapat bahwa “suatu pemikiran baru dan tegas diperlukan” untuk
menangani berbagai aspek ketergantungan.40
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi kultural yang melibatkan keahlian-keahlian
(skills) dan nilai-nilai (values), dan harus secara berkesinambungan menilai ulang dirinya
sendiri atas program-program dan orientasi-orientasinya, apakah tetap relevan secara praktis
dan kultural. Ia mengakui bahwa beberapa perbaikan memang telah dilakukan dalam aspek-
aspek teknis, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu sosial (yang telah mengubah beberapa konten
walaupun bukan metodologinya), terutama dalam mengenali elemen-elemen lokal seperti
penggunaan tradisi-tradisi oral.41 Ia memperingatkan: “Jika orang-orang Afrika tidak secara
drastis mengubah metodologi-metodologi asing agar sesuai dengan kondisi masyarakat
Afrika, mereka tidak akan dapat maju lebih jauh pada alur substitusi budaya impor.”42
Mazrui menyarankan agar pemikir-pemikir Afrika mengembangkan “strategi bergigi
tiga” (three-pronged strategy) dalam menangani tantangan-tantangan modernitas Barat dan
untuk memulai Afrikanisasi. Yang pertama adalah domestikasi dari modernitas dalam tiga
wilayah kunci seperti persyaratan masuk perguruan tinggi dan implikasinya terhadap tingkat
pendidikan yang lebih rendah, kriteria -- untuk persyaratan staf akademis -- dan organisasi
perguruan tinggi. Semua ini harus mencerminkan bakat dan kebutuhan non formal yang
memenuhi syarat dari suku asli. Namun demikian, ia mengkritik Gerakan Negritude dari
Leopold Senghor, mantan President Senegal, yang mengagung-agungkan tradisi-tradisi
Afrika yang tidak memiliki maksud yang jelas dan tidak ilmiah, dan keilmuan Marxis Afrika.
Kedua, diversifikasi muatan budaya modernitas yang menyertakan keduanya, muatan lokal
dan muatan asing non-Barat seperti yang berasal dari Timur dan Timur Tengah. Dan ketiga,
kontra penetrasi elemen-elemen dan ide-ide Afrika ke dalam peradaban Barat. Ia menekankan
bahwa domestikasi dan diversifikasi tidak akan dapat berhasil sepenuhnya hingga Afrika
sendiri dapat mempengaruhi Barat. Ia menyarankan bahwa hal ini dapat terjadi dengan
adanya hubungan dengan dunia Arab melalui pengaruh Dunia Arab terhadap Barat karena
minyak, dan melalui ikatan Afrika dengan Afro-Amerika yang merupakan komunitas orang-
orang Afrika terbesar kedua di dunia.43
Mazrui menyimpulkan bahwa pendewasaan penuh dari pendidikan Afrika akan dapat
hadir hanya melalui kapasitas yang independen dan inovatif, yang melibatkan tiga pekerjaan:
menyeimbangkan pengaruh Barat dengan budaya aslinya sendiri; mengijinkan peradaban
non-Barat dihargai oleh elit-elit pendidikan; dan mengubah lingkungan pendidikan dan
intelektual Afrika untuk dapat menghasilkan kreativitas asli. Maka setelah itu modernitas
tidak saja dapat di-dekolonisasi, atau dipartisipasi, tetapi dapat didefinisikan bagi generasi
yang akan datang.44 Ilmuwan-ilmuan dan filsuf-filsuf Afrika terdahulu telah secara aktif
mempelajari subjek-subjek ini selama beberapa waktu, sebagaimana dapat dilihat dari kerja,

39
Ibid, hal. 334, 338-341.
40
Ibid, hal. 341.
41
Ibid, hal. 342, 344.
42
Ibid, hal. 344.
43
Ibid, hal. 346-352.
44
Ibid.
10
misalnya, Okot p’Bitek, Thing’o, Chinwenzu dan Wiredu.45 Wiredu, sejak 1980, sebagai
contoh, telah melaksanakan suatu program yang ia sebut sebagai “ dekolonisasi konseptual
atas filosofi Afrika” (conceptual decolonization of African philosophy) yang melibatkan
“domestikasi bidang-bidang ilmu” (domestication of disciplines).46
Wacana dan perhatian yang serius ini terus berlanjut dengan publikasi berbagai karya,
sebagaimana diindikasikan oleh suatu publikasi khusus “African Philosophy of Education”,
pada edisi terbaru jurnal ini, Educational Philosophy and Theory, dimana semua kontributor
berpendapat adanya kebutuhan untuk, dan relevansi beberapa elemen filosofi tradisional
Afrika dalam pendidikan modern Afrika, maka:
“Usaha Afrika berabad-abad untuk menaklukan eksploitasi kolonial, mulai
dari perbudakan hingga menciptaan struktur sosial ekonomi dimasa kolonial
yang dirancang sepenuhnya hanya untuk memperoleh hasil dan ekspor yang
maksimum atas bahan-bahan baku, mendatangkan kerusakan serius yang tetap
tampak bertahun-tahun setelah kehancuran pemerintahan kolonial. Hal ini
dapat tercapai ... melalui berbagai macam pengaturan, termasuk filsafat
pendidikan, kurikulum dan praktek-praktek yang berhubungan dengan
pemerintahan kolonial yang berkuasa. Untuk mengatasi keadaan ini, sistem
ilmu pengetahuan asli Afrika memiliki tujuan utnuk memperbaiki prinsip-
prinsip humanistis dan etis dengan menancapkannya pada worldview Afrika,
dan lebih khusus pada konsep communality dan ubuntu. Sistem-sistem ini
juga… merupakan upaya untuk mengembangkan baik visi dan praktik
pendidikan yang meletakkan dasar bagi orang-orang Afrika untuk
berpartisipasi dalam menguasai dan mengarahkan jalannya perubahan dan
memenuhi visi belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk
menjadi, dan belajar untuk hidup bersama sebagai sama dengan orang lain.
Wacana semacam ini dalam pendidikan, pengetahuan dan pandangan pikiran
bukan sebagai komoditas, bukan hanya sumber daya manusia untuk
dikembangkan dan dieksploitasi, dan kemudian dibuang, tetapi sebagai harta
yang akan dibudidayakan untuk meningkatkan kualitas hidup dari baik bagi
individu maupun masyarakat.” 47

45
Lihat juga Nwa Thiong’o, Decolonizing the Mind: The Politics of Language in African Literature (Portmouth:
Heinemann, 1986), Chinweizu, Decolonizing the African Mind (Lagos: Pero, Press, 1987), N wa Thiong’o,
Moving the Centre: the Struggle for Cultural Freedom (London: James Currey, 1993), Wiredu, Cultural
Universals and Particulars: An African Perspective (Indianapolis: Indiana University Press, 1996).
46
Kwasi Wiredu, “Toward Decolonizing African Philosophy and Religion”. African Studies Quarterly. The Online
Journal for African Studies. Html:file://G:\Decolonizing%20African%20Philosophy%20and%20Religion.mht.
diunduh 21 July 2008.

47
Phillip Higgs, "African Philosophy and the Decolonisation of Education in Africa: Some Critical Reflections". In
Educational Philosophy and Theory. Special Issue. African Philosophy of Education. Guest editors, Yusef
Waghid and Paul Smeyers. vol 44, no S2, Sept 2012, pp 48-49. Saya ingin berterima kasih pada Prof Yusef
Waghid yang telah mengirimkan salinan jurnal ini.
11
Seperti halnya Afrika, Cina dan India juga memiliki tradisi ilmiah dan intelektual
yang panjang, meskipun dengan pandangan alam filosofi keagamaan yang berbeda.
Perkembangan pendidikan tinggi mereka sangat mengesankan; tetapi, sebagaimana diamati
oleh ahli Pendidikan Internasional dunia, Philip G. Altbach, “Sebagaimana halnya negara-
negara berkembang pada umumnya, kedua negara (Cina dan India), tidak memanfaatkan
tradisi keilmuan dan budaya asli mereka yang kaya.”48 Dalam teori komunikasi, sebuah
bidang ilmu sosial yang baru, disebutkan bahwa “…Ilmuwan Asia dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dalam me-universalkan komunikasi/ ilmu sosial dengan memberi
penjelasan kompleksitas sains dalam kaitannya dengan wawasan yang tertanam dalam
Budisme, Konfusianisme, Taoisme dan Hinduisme, diantara yang lainnya.”49
Cina modern, negara terbesar di dunia dan salah satu negara terkemuka dalam
ekonomi dan politik global, senantiasa sadar akan peran khusus dari insitusi Pendidikan
Tinggi terhadap kepentingan nasional dan globalnya. Dalam Project 211 yang diluncurkan
tahun 1995, yang dikatakan sebagai “kunci terbesar dalam program konstruksi Pendidikan
Tinggi dalam sejarah negara Cina” 50dan kemudian dalam “The Action Plan for Rejuvenating
Education for the 21st Century” yang diluncurkan tahun 2001, strategi dan pengembangan
akselerasi Pendidikan Tinggi senantiasa dikaitkan dengan pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial, dan keamanan nasional. 51
Sementara pendidikan tinggi di Cina terus berupaya mengembangkan kapasitas
teknologi ke tingkatan tertinggi, penekanan pada promosi reset dalam filsafat dan ilmu-ilmu
social juga ditempatkan sebagai “tugas strategis dan mendesak” (urgent strategic task).52
Berbagai rencana dan proposal dalam skala besar dihasilkan untuk membentuk apa yang
disebut sebagai “socialism with Chinese characteristics”.53 Ia menegaskan:

“Proposal-proposal itu memerlukan penguatan pengembangan penelitian, baik yang


tradisional, baru, antar-disiplin, maupun yang basis atau aplikatif… imbauan untuk
proyek –proyek penelitian yang memiliki konsekuensi semua aspek pengembangan
filsafat dan ilmu-ilmu sosial, dan proyek-proyek yang memiliki pengaruh kritis pada

48
Philip G. Altbach, “One-third of the Globe: The Future of Higher Education in India and China”, Prospects
(2009) vol. 39, hal. 13.
49
Shelton A. Gunaratne, “De-Westernizing Communication/Social Science Research: Opportunities and
Limitations”. Media, Culture & Society. Vol 32, no 3, 2010, hal. 474-475. Downloaded from MCS Sagepub.com
at University of Colorado on August 25, 2011. Lihat juga S. A. Gunaratne, “Buddhist Goals of Journalism and
the News Paradigm”. Javnost-The Public, vol 16, no 2, hal. 61-75; C.Y. Cheng, “Chinese Philosophy and
Contemporary Human Communication Theory”, dalam D.L. Kincaid, (ed) Communication Theory: Eastern and
Western Perspectives. (San Diego: Academic Press, 1987) hal. 23-43; dan Y. Ito, “Mass Communication
Theories from a Japanese Perspective”, Media, Culture and Society vol 12, 1990, hal. 423-264.
50
Zhou Ji, Higher Education in China (Singapore: Thomson, 2006), p. 37. Mr Zhuo Ji adalah Menteri Pendidikan
Tinggi China.
51
Ibid, hal. 44-45.
52
Ibid, hal. 128.
53
Ibid, hal. 132.
12
inovasi-inovasi berbagai disiplin ilmu, pada pengembangan spirit dan budaya
nasional, pada pengembangan sosial-ekonomi, dan pada keamanan nasional.” 54

Cina berkeinginan menjadi masyarakat yang sejahtera di semua bidang pada 2020 dan
“adalah tugas pendidikan tinggi untuk mencapai tujuan ini dengan cara mempercepat
pengembangan manusia dan masyarakat yang komprehensif dan mengalihkan beban
penduduk yang besar menjadi sumber daya manusia yang menguntungkan.55 Pada tahap awal
abad ke-21, universitas-universitas di Cina telah mengembangkan “model-model Cina yang
unik dalam mengkombinasikan pendidikan, penelitian, dan industri” 56 sebagaimana
melakukan kerjasama dengan “perusahaan-perusahaan local untuk memberikan kontribusi
pada pembangunan local,” merancang organisasi-organisasi perkembangan sains dan
teknologi untuk mengelola proyek-proyek kerjasama dengan berbagai perusahaan;
mengenalkan modal ventura untuk menginkubasikan dan mengembangkan hasil-hasil
penelitian universitas lebih jauh; mempromosikan dan menyebarkan hasil-hasil penelitian
melalui berbagai pusat penelitian; mengembangkan perusahaan-perusahaan high-tech di
universitas untuk memaksimalkan hasil-hasil penelitian, dan membangun jaringan
universitas sains dan teknologi untuk mendorong kerjasama antara universitas dan
perusahaan.57
Indikasi tentang gambaran unik pendidikan di Universitas Cina lainnya adalah bahwa
perkembangan kesehatan moral dan mental mahasiswa dipantau secara cermat, sekurang-
kurangnya di tingkat pendidikan S1. Setiap kelas mempunyai seorang pembimbing dan
asisten untuk memonitor dan membimbing studi dan kehidupan mahasiswa, cara berfikir,
kecenderungan psikologis dan kesehatan mereka.58 Zhuo Ji menyatakan bahwa universitas-
universitas di Cina telah menjadi penyebar budaya Cina, baik di dalam maupun di luar
negeri.59 Lebih dari 292 lembaga-lembaga Konfusius yang disponsori Pemerintah telah
dibentuk. Lembaga-lembaga ini menyediakan pengajaran bahasa Cina dan program budaya
untuk mahasiswa asing, telah dibentuk. Pada tahun 2007, ada lebih dari 200.000 mahasiswa
asing di Cina, dan lembaga-lembaga Konfusius ini direncanakan akan meningkat menjadi
1000 pada tahun 2025.60
Meningkatnya pengaruh Cina di dunia, terutama di Afrika, telah menyebabkan
keprihatinan di Barat- terutama di Amerika Serikat. Hillary Clinton, mantan Menteri Luar
Negeri AS, belum lama ini memperingatkan terhadap "penjajahan baru" di Afrika ketika ia
berbicara di Lusaka Zambia selama kunjungan kenegaraannya. Dia memperingatkan Afrika
tentang kepentingan ekonomi baru dan aktivitas Cina di Benua (Afrika).61

54
Ibid, hal. 132.
55
Ibid, hal. 276.
56
Ibid, hal. 140.
57
Ibid, hal. 140.
58
Ibid, hal. 166.
59
Ibid, hal. 133.
60
Philip G. Altbach, “The Future of higher Education in China and India”, hal. 18—19.
61
Reuters. Saturday, June 11th, 2011. Clinton warns against “new colonialism” in Africa.
13
Merupakan pendapat yang benar bahwa penting bagi warga demokrasi liberal Eropa
untuk memahami suara-suara alternatif dan bahkan tidak setuju dengan yang lain, yang
tidak hanya akan memperlambat roda neo-kolonialisme, tetapi yang lebih penting, akan
membuat orang Barat memahami bagaimana mitos superioritas mereka telah merusak diri
mereka sendiri sehingga mereka berusaha untuk membuat dunia yang lebih baik. Mereka
mungkin bisa mulai menangani ekses mereka sendiri; mempertanyakan lembaga dan gaya
hidup mereka sendiri; sebelum memutuskan suatu tindakan yang benar bagi
bangsa/masyarakat lain.”62 Kesadaran akan fakta bahwa penafsiran Barat tentang realitas
mungkin bukan satu-satunya yang sah, tercermin dalam dokumen penting dalam wacana
publik Amerika modern, Piagam Williamsburg, yang ditandatangani pada bulan Juni 1988.
Piagam itu mengakui "Kesadaran filosofis dan budaya yang berkembang, bahwa semua
orang hidup dengan komitmen dan cita-cita, bahwa netralitas nilai adalah sesuatu yang
mustahil dalam mengatur masyarakat; dan bahwa kita berada di tepi momen yang
menjanjikan untuk menilai kembali tentang pluralisme dan kebebasan."63
Bahwa, setiap aktivitas manusia yang penting didasarkan pada satu perangkat
tertentu dari orientasi keagamaan, filsafat dan budaya telah menjadi lebih diterima. Yang
sama pentingnya, jika tidak lebih, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai wacana
dewesternisasi dan dekolonisasi di atas dan di tempat lain, adalah kenyataan bahwa konsep
Barat tentang modernitas dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya telah sengit
diperdebatkan. Kini, sebuah tantangan yang lebih besar terhadap Barat setelah Perang
Dingin, bukanlah “terorisme Islam”, tetapi suatu era yang disebut Martin Jacques sebagai
"Era modernitas yang Diperdebatkan" yang menghasilkan dunia dalam beberapa
modernitas.64 Di antara banyak isu-isu kunci, menurut Jacques, ide-ide yang berkaitan
dengan makna kemajuan, pengembangan, dan peradaban tidak akan lagi identik dengan
Barat.65
Seorang pakar Cina kontemporer terkemuka, Huang Ping, dengan percaya diri
menekankan perbedaan mendasar antara peradaban Cina dan Barat dan seseorang akan
berpendapat bahwa, "Praktek Cina sendiri mampu menghasilkan alternatif konsep, teori,
dan framework yang lebih meyakinkan.”66
Ulrich Beck, seorang sosiolog di University of Munich dan London School of
Economics, dalam sebuah wawancara baru-baru ini, berbicara tentang bagaimana
kesuksesan besar Modernitas Eropa pertama dari abad ke-18 hingga tahun 1960-an dan
1970-an, kini telah menghasilkan konsekuensi dan dampak yang tak terjawab, seperti
perubahan iklim dan krisis keuangan. Dia menambahkan dengan sindiran, "Krisis keuangan
adalah contoh kemenangan interpretasi spesifik dari modernitas: modernitas neo-liberal

62
Peter Cox, “Globalization of What?”, hal. 6.
63
The Williamsburg Charter: A Celebration and Reaffirmation of the First Amendment. In Os Guinness, The
Case for Civility and Why our Future Depends on It. HarperCollins e-books, 2008, hal. 178.
64
Jacques, When China Rules the World, hal. 166-167.
65
Ibid, hal. 167.
66
Dikutip dari Ibid, hal. 129.
14
setelah keruntuhan sistem komunis, yang menyatakan bahwa pasar adalah solusi dan
semakin kita meningkatkan peran pasar, semakin baik. Tapi sekarang kita melihat bahwa
model ini telah jatuh dan kita tidak memiliki jawaban." Menurutnya, " ... modernitas Eropa
adalah proyek bunuh diri ... Menciptakan modernitas kembali bisa menjadi tujuan khusus
untuk Eropa.”67

Dunia Arab

Seperti yang telah saya bahas sebelumnya, dunia Arab secara agresif memulai
modernisasi lembaga pendidikan tinggi dengan mengadopsi model pendidikan Barat,
terutama Anglo-Amerika. Erat terkait dengan hal ini adalah proyek Arab yang berusaha
untuk mengurangi kesenjangan defisit pengetahuan antara belahan dunia tersebut dan
daerah yang lebih maju dengan menciptakan dan memelihara lingkungan (dan lembaga)
yang mendukung, serta pribumisasi pengetahuan.
The Arab Knowledge Report 2009 mengakui, meskipun tampaknya tanpa rasa
bangga: "Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, orang-orang Arab selama
sejarah mereka telah membangun sebuah saham besar pengetahuan yang mengekspresikan
cara hidup dan keterampilan mereka dalam pekerjaan dan produksi."68 Tapi ini tidak
membantu mereka untuk mendapatkan keuntungan dari kemajuan teknologi, atau
mempribumikan media baru dan mekanisme yang akan memungkinkan mereka untuk
mengakses bentuk-bentuk baru pengetahuan.69
Laporan ini menunjukkan bahwa orang-orang Arab mentransfer dan
mempribumikan semua produk modern dari masyarakat ilmu pengetahuan dengan
"pengembangan bahasa Arab, revitalisasi pemikiran Arab serta adopsi dari prasyarat sejarah
dan perbandingan pemikiran modern.”70 Pribumisasi "adalah operasi gabungan yang
menggabungkan pengalihan, terjemahan, pendidikan, pelatihan dan semua aktivitas yang
mengubah apa yang ditransfer ... menjadi tindakan berakar yang baik.... (yang
membutuhkan) pembinaan mentalitas baru yang mampu beradaptasi dengan mekanisme
baru dari pekerjaan dan produksi.”71
Ini melibatkan penyalinan dari karakter substantif lokal, spesifik, dan Arab, menuju
apa yang ditransfer, baik selama proses maupun setelahnya, sehingga informasi yang
ditransfer menjadi terpadu secara organis dengan struktur masyarakat yang menerima.72
Hal ini memerlukan sikap mental keterbukaan dan inter-komunikasi. Dan ini mengandaikan
sebuah reformasi budaya dan pendidikan. Hal tersebut mengkIaim bahwa pra-persyaratan
konseptual dari revolusi pengetahuan tentang sifat manusia dan alam masih kurang di dunia

67
Ulrich Beck, “Germany Has Created An Accidental Empire”, Social Europe Journal, 25/3/2013, diakses pada
30/3/2013.
68
Arab Knowledge Report 2009, hal. 223-224.
69
Ibid, hal. 224.
70
Ibid, hal. 228.
71
Ibid, hal. 229.
72
Ibid, hal. 232.
15
Arab.73
Di seluruh teks The Arab Knowledge Report 2009, tidak dijelaskan bagaimana budaya
Arab dan warisan epistemologis, yang dipengaruhi oleh agama Islam, bisa membantu proses
pribumisasi dan pengembangan pengetahuan masyarakat. Menarik untuk membandingkan
dengan para sarjana dan pemikir Afrika seperti yang dikutip di atas -- meskipun keragaman
yang lebih besar di antara para sarjana dan pemikir Afrika -- Arab terlihat tidak peduli
dengan memanfaatkan elemen epistemologis dan pendidikan tradisional Arab-Islam dalam
pembangunan manusia mereka. Sebaliknya, di akhir Laporan 2010/2011, sangat jelas
disarankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat melalui pengembangan
pendidikan, "Apa yang dibutuhkan adalah untuk membuat lompatan kuantum dari
'pedagogi tradisional' yang berlaku dalam sistem pendidikan di kawasan Arab dan yang
didasarkan pada hafalan dan dikte menjadi 'pedagogi konstruktif'".74 Pedagogi alternatif ini
memiliki empat komponen yang bisa diidentifikasi, yaitu pusat pembelajaran siswa (student
centered learning), evaluasi siswa yang komprehensif (comprehensive student evaluation),
kerja informasi dan teknologi komunikasi dalam proses belajar mengajar, dan pendekatan
yang fleksibel dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pendidikan kontemporer dan
bidang ilmiah, kehidupan siswa, dan lingkungan sosial mereka.75
Laporan 2010/2011 mengakui pentingnya peran agama dalam membentuk
kehidupan pribadi dan sosial, serta membagi kepekaan agama pada dua perspektif kontras,
ekstrimis dan yang tercerahkan secara etik. Perspektif ekstrimis yaitu "menolak ilmu
pengetahuan, mengabaikan toleransi, menolak relativitas, [yang mengarah ke] ...penolakan
metode ilmiah dan merusak ilmu pengetahuan, yang membatasi kebebasan berpikir,
kreativitas, prioritas dialog, dan pengalaman sebagai pembangkit ilmu pengetahuan.”76
Di sisi lain, perspektif yang tercerahkan secara etik menekankan pada pembangunan
etika ilmu pengetahuan, mengembangkan dan mereformasi wacana agama, dan
menanamkan nilai-nilai penelitian, integritas ilmiah, obyektifitas evaluasi, dan kerja keras.
Mendukung 'keraguan metodis' dalam meneliti dan mengevaluasi pengetahuan
berdasarkan kreativitas dan berpikir kritis.Sebuah sistem pendidikan keagamaan baru yang
diperlukan pada semua tahap, di mana kegiatan-kegiatan teoritis, ilmiah dan penelitian
memenuhi tuntutan zaman.
Laporan (2010/2011), tanpa kualifikasi peringatan, mendesak keluarga dan semua
media massa modern "untuk mengadopsi pola-pola pengembangan tertentu yang
didasarkan pada penghormatan terhadap intelektual dan pluralisme agama, serta
pernghormatan terhadap kepercayaan dan etika masyarakat berilmu pengetahuan:
kebebasan, ko-eksistensi, keadilan, keselamatan, kepercayaan, etika lingkungan, informasi,
internet, teknologi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan.”77
Situasi ini kontras dengan perkembangan di Turki dalam dekade ini, dan di Malaysia sejak
lima dekade terakhir, yang telah sangat berhasil dalam memproyeksikan modernitas dengan
pengaruh agama yang moderat. Fethullah Gulen, salah satu pemikir kontemporer Turki yang
paling berpengaruh, yang mencetuskan gagasan pembangunan ratusan proyek pendidikan
dan kemanusiaan, termasuk lebih dari 20 universitas di berbagai belahan dunia,

73
Ibid, hal. 253.
74
Arab Knowledge Report 2010/2011, hal. 43.
75
Ibid, pp 43-44.
76
Ibid, hal. 55.
77
Ibid, hal. 56.
16
merefleksikan kepercayaan pendidikan ini ketika ia mengatakan:
“Asal usulnya [yakni sistem pemikiran kami] adalah pasti dan dikenal,
bercahaya serta berdasarkan dan berhubungan dengan kebenaran yang
diciptakan. Jika sebuah penafsiran seperti yang dipahami dalam ruh dan
esensinya, maka akan mungkin bahkan hingga pada saat ini untuk
mengedepankan dan mewujudkan sistem pemikiran kita sendiri, yang
hasilnya akan membawa pembaharuan yang serius di seluruh dunia,
membuka lebih banyak jalan dan rute untuk semua orang.”78

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer


Beberapa pemikir Muslim yang serius, terutama yang dipimpin oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas yang telah memahami dasar-dasar perbedaan ontologis,
epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominan—telah
meluncurkan wacana serius dewesternisasi dan dekolonisasi melalui proyek intelektual
Islamisasi pengetahuan kontemporer, yang berpusat di universitas.79 Konsepsi intelektual
tentang Islamisasi pengetahuan masa kini, memang merupakan salah satu kontribusi paling
revolusioner dan orisinal dalam pemikiran Muslim modern. Hal ini karena pemikiran Muslim
modern telah terperangkap dalam rawa-rawa dan tawanan intelektual dalam dilema yang
melemahkan antara tampilan indah dari hasil ilmu dan teknologi modern sekular yang
tersebar, dan antara kekakuan mutlak dan kebangkrutan pemikiran tradisional itu sendiri,
seperti yang telah dikonsep dan disajikan oleh para ahli hukum dan teolog. Meskipun
konsepsi Islamisasi pengetahuan kontemporer sebagai ide intelektual dan metode
epistemologis merupakan prestasi kontemporer, praktek Islamisasi pengetahuan yang
aktual dimulai dengan wahyu pertama dalam ajaran Islam dan berlanjut sepanjang abad,
meskipun dengan derajat keberhasilan yang berbeda.80
Konseptualisasi intelektual formal dalam proses Islamisasi, dimana umat Islam dapat
melakukan kritik secara tepat dan memperoleh manfaat dari budaya dan peradaban lain,
belum pernah dilakukan sampai abad ini. Tampaknya, kesadaran bahwa sains Barat modern
adalah ateis secara alami dan oleh karena itu perlu diislamkan, pertama kali terdengar di
awal tahun 1930-an, melalui Dr. Sir Muhammad Iqbal yang tidak menjelaskan atau
mendefinisikan gagasannya.81 Syed Hosen Nasr, pada tahun 1960 secara implisit menunjuk
metode Islamisasi sains modern dengan menyarankan bahwa yang terakhir harus ditafsirkan

78
M. Fethullah Gulen, The Statue of Our Souls: Revival in Islamic Thought and Revivalism (New Jersey: Tughra,
2009) , hal. 139.
79
Syed Muhammad Naquib al-Attas, IS,chap v: De-Westernization of knowledge. Buku yang berpengaruh ini
dibaca luas dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Turki, Persia, Benggali, Malayalam,
Serbia-Kroatia, Kosovo, dan Indonesia. Bab ini dimuat dalam Jeniffer M. Webb, Powerful Ideas: Perspective on
Good Society. 2 vols (Victoria: The Cranlana Programme, 2002) 1: 229-240. Untuk pembahasan lebih detail
tentang tema Islamisasi pengetahuan masa kini seperti yang diuraikan oleh al-Attas and Ismail R. al-Faruqi,
Seyyed Hossein Nasr dan lain-lainnya, silahkan melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy, bab 6 dan 7.
80
Untuk penjelasan yang baik tentang proses pengembangan berbagai ilmu agama dan non-agama dalam
Islam dari kerangka konseptual Islam dari zaman awal, silahkan melihat Alparslan Acikgenc, Scientific Thought
and Its Burdens, esp. chaps 4 and 5; and idem, Islamic Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: Institute
of Islamic Understanding Malaysia, 2012); lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, hal.
316-369.
81
Dikutip dari K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1942) hal. 99
17
dan diterapkan dalam "konsepsi Islam tentang kosmos".82 Ismail R. al-Faruqi -- yang
diuntungkan dari tulisan al-Attas -- dan International Institute of Islamic Thought (IIIT)
kemudian mempopulerkan agenda Islamisasi ke banyak bagian dunia Muslim.83 Namun,
Islamisasi pertama kali dan paling meyakinkan didefinisikan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas sebagai berikut:
“…membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos,
animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang
membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan
bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi
nasionalisme dan kulturalnya. Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme
… Ia juga membebaskan dari ketundukpatuhan terhadap tuntutan fisik yang
condong kepada sekularisme dan ketidakadilan (dan mengabaikan)
kebenaran jiwanya, manusia secara fisik condong pada kelupaan terhadap
alam sejatinya, mengabaikan tujuan hakikinya dan berlaku tidak adil
padanya. Islamisasi adalah proses yang tidak membutuhkan banyak evolusi
seperti perpindahan menuju alam aslinya… Jadi, dalam tataran individu,
keberadaan islamisasi secara personal mengacu pada apa yang dijelaskan di
atas, di mana Nabi saw merupakan contoh tertinggi dan paling sempurna;
sedangkan dalam tataran kolektif, keberadaan islamisasi secara sosial dan
historis merujuk kepada Komunitas yang berjuang menuju realisasi kualitas
moral dan etika kesempurnaan sosial yang dicapai selama zaman Nabi
Muhammad saw.”84

Dari definisi di atas, harus dipahami bahwa meskipun Islamisasi pengetahuan


kontemporer yang diperlukan melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada
dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan alam yang metafisik,
kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam. Sayangnya, Islamisasi sering
direduksi untuk melegalkan atau menegakkan sebagian entitas sosial-politik, dan ilmu
pengetahuan secara serampangan disamakan sebatas fakta, keterampilan dan teknologi.
Pengetahuan, sebagai unit makna yang saling berkaitan dengan hal-hal yang masuk akal dan
dimengerti yang hadir dalam jiwa manusia, atau ketika jiwa hadir padanya, pastilah tidak
netral, karena makna tersebut secara organik berkaitan dengan kualitas dan kapasitas jiwa
manusia dan dengan pandangan hidupnya.85 Namun, esensi hakiki dari hal-hal atau fakta
yang sebenarnya yang merupakan unit makna tersebut bukanlah semata-mata dari
imajinasinya, tetapi fakta tersebut adalah realitas objektif dan universal yang ada secara
independen dari pikirannya.86
Maka inilah sebabnya bahwa "fakta", keterampilan dan teknologi secara zatnya,
berpotensi menjadi baik atau buruk, benar atau salah, dan dengan demikian bisa

82
S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Revised edition (London: Thames and Hudson,
1978) hal. xxi-xxii.
83
Ismail R al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Washington DC: IIIT, 1982).
Untuk pembahasan masa kini yang lebih lanjut tentang konsepsi al-Faruqi tentang agama dan pengetahuan,
silahkan melihat Imtiaz A. Yusuf, Al-Faruqi’s Concept of Religion in Islamic Thought (London: I.B.Taurus, 2012).
84
Al-Attas, IS, hal. 41-42.
85
Al-Attas, IS, hal. 154, also idem, The Concept of Education in Islam (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement
of Malaysia, 1980), hal. 17. Hereafter, it will be cited as CEII.
86
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989) hal. 18-25; setelah ini ditulis ‘IPS’.
18
bermanfaat secara langsung, jika ditafsirkan dan diterapkan secara tepat sesuai dengan
kerangka Islam, sehingga dapat membuatnya lebih berarti, adil, dan bijaksana.87
Namun, sayangnya sebagian besar pengetahuan sekarang ini pada dasarnya
diyakinkan dan diinterpretasikan oleh Barat dan oleh karena itu sangat kuat dipengaruhi
Barat dalam pandangan orang Timur. Karakteristik dominan dari pandangan hidup dan spirit
Barat pada dasarnya didasarkan pada empat pilar utama, yaitu sekularisme, dualisme,
humanisme, dan tragedi, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran Barat, dan
melalui mereka, sebagian besar dari dunia yang sudah terdidik.88 Jadi dewesternisasi dan
Islamisasi pengetahuan masa kini mengacu pada proses ganda dengan mengisolasi dan
menghapus hal-hal yang tidak Islami ini, hampir sebagian unsur-unsur dan konsep Barat,
dan sekaligus menanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ke dalam unsur-unsur
dan konsep-konsep baru atau asing. Sebagian unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ada
yang berkaitan dengan agama (din), manusia (insan), pengetahuan (‘ilm dan ma’rifah),
kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), dan tindakan yang tepat (‘amal sebagai adab), di
mana pada gilirannya didasarkan pada, dan berhubungan erat dengan konsep Tuhan, Dzat
dan sifat-Nya (tauhid), makna dan pesan Al-Qur'an, Sunnah, serta Syariah.89
Meskipun kebanyakan yang telah dibahas di sini secara garis besarnya berhubungan
dengan humaniora, tetapi ia juga menyentuh ilmu alam, fisika dan sains terapan, utamanya
dalam penafsiran fakta dan perumusan teori.90 Dengan kata lain, dewesternisasi dan
Islamisasi pengetahuan masa kini adalah proses ganda dalam memilih, mengevaluasi, dan
menafsirkan, di samping juga menilai ide-ide dan fakta, menciptakan dan memproduksi
makna yang relevan -baik individu maupun sosial-, sesuai dengan metafisika Islam,
epistemologinya, serta prinsip-prinsip etika-hukum. Tetapi, proses itu tidak hanya dilakukan
dengan mencangkok atau memindahkan hal-hal ini pada tubuh pengetahuan atau sains
masa kini yang merupakan produk dari pandangan alam (worldview) dan kerangka
epistemologi sekuler.91
Pembangunan manusia dalam Islam, dalam arti yang fundamental, bergantung pada
penanaman pandangan alam, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika-hukum. Islam
memandang pengetahuan sebagai dasar dalam konsepsi manusia. Kepada Adam, manusia
dan Nabi pertama, telah diajarkan "nama-nama benda" oleh Allah sendiri, hingga
membuatnya lebih hebat dibanding para malaikat. Hal ini secara epistemologi merupakan
sifat positif bagi manusia dalam Islam, yakni refleksi langsung dari tujuannya sebagai hamba
Allah dan khalifah di bumi, yang mengharuskan manusia memiliki kemungkinan untuk
mencapai pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, tentang Tuhan, dan alam
semesta. Oleh karena itu, dalam akidah kaum muslimin, yang bersumber dari Al-Qur'an dan
ajaran Nabi Muhammad saw, telah tertanam kemungkinan mencapai suatu pengetahuan
dipandang berlawanan dengan sekedar pendapat (ra'y), keraguan (shakk), dan dugaan
(zann). Akidah Islam juga jelas-jelas menyatakan adanya beragam sarana diperolehnya
pengetahuan yang mencerminkan pandangan kesatuan, yaitu persepsi indrawi, akal sehat,
87
Berkenaan dengan hubungan antara “fakta” (fact) dan “kebenaran” (truth), silahkan melihat al-Attas, IPS,
hal. 23-24; tentang beragam definisi atau karakterisasi pengetahuan yang dibuat oleh sarjana Muslim,
silahkan melihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1972) hal. 46-69.
88
Al-Attas, IS, bab 1 dan 2; idem, CEII, hal. 45-46
89
Al-Attas, IS, bab 3,4 dan 5; idem, CEII, hal. 39-46
90
Al-Attas, IS, hal. 155 ; idem, CEII, hal. 20-25
91
Lihat juga Al-Attas, IS, hal. 156; Nasr, An Introduction, hal. xxii
19
dan berita yang benar (khabar sadiq/wahyu). Kepastian (yaqin) dapat dicapai oleh akal
(ilmul yaqin), dengan penglihatan ('ainul yaqin) dan pengalaman (haqqul yaqin).92
Pengetahuan manusia secara alami dimiliki oleh orang tertentu yang berjenis
kelamin, berada dalam sosio-historis tertentu, dan dengan tingkat kekuatan spiritual atau
kelemahannya. Kenyataan ini, bagaimanapun, tidak selalu berarti relatifnya pengetahuan
menurut gender tertentu, kondisi sosio-historis, dan spiritualitas, sehingga menolak
kemungkinan universalitas yang menembus batas-batas gender, sosio-historis dan spiritual.
Hal ini sangat mendasar dan harus diapresiasi secara memadai, karena dalam Islam,
pengetahuan manusia ('ulum), tidak sepenuhnya produk manusia: pengetahuan itu adalah
anugerah, cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana termaktub dalam ayat-ayat suci
Al Quran: (Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya; Allah mengajarkan
Adam nama-nama segala sesuatu; dan ketika Nabi ditanya tentang doa: Tambahkanlah aku
ilmu).93 Oleh karena itu merupakan posisi yang diterima secara universal di kalangan semua
sarjana Muslim -- sebelum adanya dampak pemikiran Barat tertentu, terutama
postmodernisme dan post-strukturalisme -- untuk menolak relativisme epistemologis. Dari
awal, epistemologi Islam yang mengakui bahwa pengetahuan adalah setara dengan
kepastian dan kebenaran -- terlepas dari pendapat-pendapat, keragu-raguan, dan dugaan-
dugaan, serta pengaruh negatif dari berbagai kepentingan manusia, yang secara umum
diistilahkan sebagai hawa' -- tentu permanen dan universal.94

Stabilisme Dinamis (Dynamic stabilism)

Maksud baik pembaruan yang dilembagakan oleh kaum modernis dalam semua
masyarakat tradisional, termasuk dunia Islam, yang mencoba untuk mengintegrasikan
pemikiran kontemporer, terutama pemikiran Barat dengan ide-ide agama pribumi atau ide-
ide tradisional mereka sendiri, sering menghasilkan gangguan pada banyak tradisi dan
praktek lama yang terbentuk. Ini menyebabkan kebingungan lebih lanjut dan melemahnya
identitas dan lembaga masyarakat mereka. Aktivitas-aktivitas ini bersifat dinamis tetapi
mengganggu. Keberhasilan perekonomian Asia Timur yang cepat dan mengagumkan juga
melibatkan perubahan terus-menerus, seperti diakui oleh salah satu pengusaha cyber paling
sukses Taiwan, Hung Tze Jan: "Kita harus mengubah begitu banyak sekali sistem nilai kita
dalam waktu sedemikian singkat."95 Dalam kasus pengalaman Asia Timur, perubahan ini
mungkin tampak tidak terlalu mengganggu. Mungkin karena fakta bahwa pandangan alam
dan konsepsi kebenaran serta realitas mereka tidak didasarkan pada Kitab Ilahi, yang berisi
sejumlah prinsip absolut, seperti dalam Islam. Selain itu, dapat dibantah bahwa agama-
agama dan filsafat moral Asia Timur, menjadi agak kabur mengenai bentuk akhirat, yang
kehidupan spiritualnya condong sekuler dalam arti bahwa ajaran-ajaran spiritual mereka
sebagian besar ditujukan untuk kesuksesan dan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi. Hal

92
Untuk pembahasan lebih lanjut dan beberapa rujukan dari al-Quran dan sumber-sumber lainnya, silahkan
melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a
Developing Country (London and New York: Mansell, 1989), khususnya bab 2, 3 dan 4; idem, Educational
Philosophy, bab. 2.
93
Al-‘Alaq (96): 1-5; al-Baqarah (2): 31; Tha Ha (20): 114.
94
Tentang penolakan terhadap relativisme, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, pp
84-96; dan tentang hawa sebagai sebuah lawan kata dari ilmu dalam Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud,
The Concept of Knowledge in Islam, bab. 4.
95
Martin Jacques, When China Rules the World, bab. 126.
20
ini dapat dilihat dari ajaran terkenal Konfusius yang tercatat pernah mengatakan, dalam
kaitannya dengan pentingnya dasar laki-laki dan wanita yang benar-benar baik (chun-tzu),
bahwa kebenaran internal dari pikiran akan menyebabkan keindahan dalam karakter yang
mengarah pada keharmonisan dalam rumah dan ketertiban di negara ini, yang akan
berujung pada sebuah dunia yang damai.96
Namun, konservatisme agama, khususnya di dunia Arab, anak benua Indo-Pakistan,
dan sebagian Afrika, juga harus bersungguh-sungguh dan berusaha untuk melindungi rakyat
mereka dari dirusak oleh beberapa ide-ide modern, sehingga dengan demikian
mempertahankan dengan ketat ide-ide tradisional dan bentuk eksistensi sosial.97
Konservatisme mereka, tidak diragukan membawa kestabilan, tapi menghalangi rakyat
mereka mendapatkan hak atas banyak manfaat dari perkembangan ilmiah, intelektual, dan
budaya yang ditawarkan oleh dunia kontemporer.
Dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual,
agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang saya sebut
stabilisme dinamis (dynamic stabilism),98 yang terus menerus menggabungkan, mengadopsi,
dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktek sesuai pandangan alam
keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan
inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir non-Muslim vis a vis agama dan tradisi
mereka sendiri. Sampai lingkup yang signifikan, sisi modernitas Asia Timur di Jepang, Korea
Selatan, dan Cina mencerminkan stabilisme dinamis ini juga. Meskipun demikian
merenungkan, observasi Soltzhenitsyn tentang pembaratan Jepang (dan masyarakat Timur
lainnya), aspek yang paling fundamental dari masyarakat Jepang seperti hubungan sosial
dan keluarga, operasi kelembagaan, dan budaya politik, tetap tidak terbaratkan.99 Situasi
serupa juga ditemukan di Cina, dan masyarakat Asia Timur lainnya.100
Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah
dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang
berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-
solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun ini tidak secara fundamental
mengubah tetapi memperinci, memperbaiki, dan memperkuat metafisika, etika, kerangka
hukum, dan social, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka melakukan stabilisasi.

96
Confucius, The Great Learning: A Source Book in Chinese Philosophy. Translated by W.T. Chan (Princeton:
Princeton University Press, ), bab. 1, hal. 86; untuk uraian lebih jauh, lihat Tran Van Doan, Ideological
Education and Moral Education. Ineds.Trans Van Doan, Vincent Shen and George F. McLean, Chinese
Foundations for Moral education and Character Development (Washington, DC: The Council for Research in
Values and Philosophy, 1991), hal. 113-153.
97
Di dunia Arab,lihatsebagai contoh, AKR 2010/2011, pp. 54-56; secara umum, dan dari sebagian besar
perspektif Amerika Serikat, lihat juga Christopher M. Blanchard, CRS (Congressional Research Service, Library
of Congress)Islamic Religious Schools, Madrasas: Background. Order Code RS21654 Updated January 23, 2007.
Laporan ini aslinya ditulis oleh Febe Armanios. Laporannya telah diupdate oleh Christopher Blanchard untuk
memasukkan informasi yang relevandengan sessi pertamadari ‘the 110th Congress.’ Christopher M. Blanchard
in an analyst in Middle Eastern Affairs Foreign Affairs, Defense, and Trade Division.
98
Saya telah mendefinisikan konsep ini dalam kata pengantar buku Language, Thought, Education and the
Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas, oleh Wan Mohd Nor Wan Daud
and M Zainiy Uthman eds. (Skudai: UTM Press, 2010) hal, 50-51. Sebagai perbandingan, lihat juga karya yang
sangat baik tentang Gulen oleh Mehmet Enes Ergene, Tradition Witnessing the Modern Age: An Analysis of the
Gulen Movement (New Jersey: Tughra, 2009) terutama hal. 106-113.
99
Martin Jacques, When China Rules the World, hal. 130.
100
Ibid, 119-162.
21
Islamisasi adalah proses transformasi tersebut. Dalam konteks de-westernisasi dan
dekolonisasi Pendidikan Tinggi dalam masyarakat Muslim di era modern, terutama sejak
awal 1970-an, sebagian besar wacana tentang produk akhir Islamisasi pendidikan adalah
penulisan buku-buku teks, pembaruan disiplin akademis, dan menciptakan atau
mereformasi lembaga-lembaga sosial-budaya dan ekonomi. Apa yang tampak dilupakan
atau diambil tanpa dipikirkan terlebih dahulu adalah kenyataan bahwa tujuan akhir dari de-
westernisasi, dekolonisasi, dan Islamisasi pengetahuan dan pendidikan kontemporer harus
benar-benar fokus pada penciptaan manusia yang baik (good man) yang akan melakukan
berbagai peran dalam masyarakat. Proyek dekolonisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi
bukan sekedar reaksi untuk kondisi eksternal yang tidak Islami belaka, tetapi yang lebih
penting, dan mendasar, kembali kepada tujuan dan sifat asli manusia yang membawa
manusia ke tujuan penerimaan dan penyebaran pengetahuan dan makna dan tujuan
pendidikan.
Pengembangan sumber daya manusia dalam Islam terpusat dan berakar pada
pendidikan, yang tujuannya, sebagaimana akan diuraikan kemudian dalam kuliah ini, bukan
hanya untuk menghasilkan seorang warga negara yang baik (good citizen) bagi negara-
bangsa maupun pekerja yang baik bagi suatu perusahaan, tetapi lebih mendasar, yaitu
sebagai seorang manusia yang baik, sebagai seorang yang beradab.101 Seorang warga negara
yang baik atau pekerja di sebuah negara sekuler atau organisasi belum tentu menjadi orang
yang baik, tetapi seorang manusia yang baik, bagaimana pun, pasti akan menjadi pekerja
dan warga negara yang baik.102
Hal ini jelas bahwa jika majikan atau negara yang baik sebagaimana didefinisikan dari
kerangka holistik Islam, maka menjadi pekerja yang baik dan warga mungkin identik dengan
menjadi orang yang baik. Tetapi sebuah negara Islam mengisyaratkan keberadaan dan
keterlibatan aktif dari masyarakat, laki-laki dan perempuan yang berfikir Islami.
Menekankan pada aspek individu, mengimplikasikan diraihnya pengetahuan tentang
kecerdasan, kebajikan, dan roh, dan tentang tujuan dan kedudukan tertinggi seseorang. Hal
ini juga karena kecerdasan, kebajikan, dan roh adalah unsur yang melekat dalam individu.
Sebaliknya menekankan pada aspek masyarakat dan negara membuka pintu untuk
legalisme dan politik. Fokus utama pada individu sangat mendasar karena tujuan akhir dan
puncak dari etika dalam Islam adalah bersifat individu.103 Hal ini karena gagasan tanggung
jawab individu dan akuntabilitas sebagai agen moral dalam Islam adalah individu yang harus
diberi ganjaran atau hukuman pada hari kiamat.
Karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi, khususnya universitas, merupakan
lembaga yang paling arkitektonik dan strategis untuk mendidik dan melatih individu dan

101
S.M.N al-Attas, IS, hal. 141.
102
S.M.N. al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin. Sebuah diktat panjang tulisan tangan untuk sekretarisnya
dalam bulan Maret 1973. para 14, hal. 51-52. Karya ini kemudian dipublikasikan dengan judul yang sama oleh
ISTAC pada tahun 2001; idem, Islam: The Meaning of Religion and the Foundation of Ethics and Morality
(Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1976), hal. 33-34; idem, editor. Aims and Objectives of
Islamic Education (London: Hodder & Stoughton/King A. Aziz University, 1979) hal. 32-33, juga idem, CEII, hal.
25. Saya telah megnuraikan ide Al-Attas ini dalam artikel saya, “Insan Baik Teras Kewarganegaraan” (The Good
Man as the Core of the Good Citizen), Pemikir, Januari-Maret 1996, hal. 1-24.
103
IS, hal. 70; merujuk pula pada hadits Nabi dalam Muslim, Sahih: kitab ‘amr bil ma’ruf wa nahy ‘anil mungkar,
(70) 49 :"Barangsiapa melihat suatu tindakan jahat (munkar), ia harus mengubahnya dengan tangannya, jika
tidak mampu, dengan lidahnya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang terakhir itu adalah
selemah-lemah iman."
22
reformasi masyarakat yang sangat penting -- dimana proses Islamisasi seharusnya
diartikulasikan dan dibahas dengan cara terbaik – maka konsepsi yang tepat dari universitas
dalam Islam adalah yang pertama kali harus dipahami.

Konsep Universitas dalam Islam

Visi untuk universitas Islam modern yang mampu menjawab tantangan-tantangan


epistemologis Barat modern, ide-ide budaya, sosial-politik dan ekonomi serta pengaruh-
pengaruhnya, adalah hal yang telah dipahami dengan baik oleh beberapa pemikir Muslim
yang berwawasan luas. Bahwa, inti sebenarnya dari masalah yang timbul di negeri-negeri
Muslim adalah masalah pengetahuan (the problem of knowledge). Oleh karenanya
diusulkan, bahwa Universitas Islam didirikan dengan struktur dan konsepsi tentang apa yang
membentuk ilmu pengetahuan, tujuan dan sasaran pendidikan, berbeda dengan Universitas
sekuler modern. Tujuan Pendidikan Tinggi bukan untuk menghasilkan warga negara yang
lengkap (complete citizen), melainkan untuk menghasilkan manusia seutuhnya (complete
man), atau manusia universal. Seorang sarjana Muslim adalah orang yang bukan spesialis
dalam salah satu cabang pengetahuan tetapi bersifat universal dalam pandangannya dan
berwibawa dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan terkait.104
Konsep sebuah universitas, sama seperti konsep kunci (key concept) lainnya dalam
Islam, harus mencerminkan semangat stabilisme dinamis. Dalam arti bahwa meskipun
memiliki ciri-ciri dasar permanen tertentu, tetapi ia juga berisi prinsip-prinsip dan metode-
metode yang memungkinkan untuk melakukan transformasi, dan adaptasi dengan situasi
baru.105 Dasar-dasar konseptual dan intelektual, yang dikembangkan oleh para sarjana yang
otoritatif, adalah salah satu aspek yang paling penting dari lembaga Pendidikan Tinggi, yang
didukung oleh banyak penyokong dari kalangan orang kaya dan penguasa di masa lalu.
Lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang besar, apakah mereka menjadi Jamiah,
madrasah, khaniqah-zawiyyah, atau tekkes, atau di dunia Melayu, pesantren atau pondok,
membangun visi dan program mereka di sekitar tokoh, ulama karismatik.106 Dengan ini
dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam di puncaknya, berpusat di sekitar ulama, yang

104 th
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Letter to the Islamic Secretariat, dated 15 May 1973, pp. 1-2. Untuk
sebuah diskusi mendetail tentang ide dan relaitas dari Universitas Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud,
Educational Philosophy, bab 4.
105
Bandingkan ini dengan “educationism”, konsep yang tetap dan tidak berubah dari Universitas dan sektornya,
dalam Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 15.
106
Untuk tradisi pembelajaran tinggi Muslim, lihat Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-
Kashshaf, 1954); Bayard Dodge, Al-Azhar; A Millenium of Muslim Learning (Washington, D.C. The Middle East
Institute, 1961); idem, Muslim Education in Medieval Times (Washington D.C; The Middle East Institute, 1962);
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 (Boulder: University of
th
Colorado Press, 1964); Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholar’s Social Status Up to the 5 .
th
Century Muslim Era (11 Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad (Zurich: Verlag der Islam 1968);
Gorge Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981); Barbara Daly Metcalf, Islam Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton:
Princeton University Press, 1982); A.Chris Eccel, Egypt, Islam and Social Changer: Al-Azhar in Conflict and
Accomodation (Berlin: Klaus Schwarz Verlag, 1984); Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:
Mutiara, 1966), Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement 1900-1942 (Singapore: OUP, 1973); Mehmet
Ipsirli, “Scholarship and Intellectual Life in the Reign of Suleyman the Magnificient”, in Ministry of Culture and
Tourism of the Turkish Republic, The Ottoman Empire in the Reign of Suleyman the Magnificient.2 parts in 1
(Ankara: Ministry of Culture and Tourism, 1988) 2:15-58.
23
menjadi lembaga. Calon siswa sangat disarankan untuk memilih guru-guru mereka dengan
hati-hati berdasarkan pembelajaran, karakter, dan pengalaman mereka.107 Tren serupa juga
bisa dilihat di zaman kuno di dunia Barat dan dalam periode awal pertumbuhan beberapa
universitas Barat abad pertengahan di Spanyol, Italia, Perancis dan Inggris.108 Meskipun
praktek ini berlanjut ke zaman modern, di mana para ilmuwan terkemuka, secara individu
dicari oleh universitas dan mahasiswa, sifat bawaan kelembagaan dari lembaga akademis
telah digantikan otoritas individu ulama.
Secara konseptual, pembentukan lembaga Pendidikan Tinggi Muslim sebagai
mikrokosmos sebuah universitas Islam yang ideal tergantung pada pengalaman yang luas
dan kemampuan multi-disiplin pemimpin tertinggi organisasi dan akademik. Filosofi dari
sebuah lembaga pendidikan Islam yang lebih tinggi berkaitan dengan pendidikan dan riset
adalah: "... didasarkan pada konsep ilmiah bahwa pengetahuan bersifat universal (kulliy),
yaitu pengetahuan memiliki karakteristik universal yang mencakup semua aspek kehidupan
dan penciptaan. Pengetahuan harus mencerminkan universalitas, dan penelitian di bidang
khusus ... harus dilakukan tidak hanya untuk memahami secara spesifik, tetapi juga untuk
memahami hubungan mereka vis-à-vis dengan keseluruhan ".109 Secara organisasi,
universitas seharusnya tidak dibagi menjadi departemen terpisah dan saling eksklusif seperti
yang biasa dilakukan di Fakultas akademik dari universitas yang paling modern.110
Ada beberapa perbedaan struktural, epistemologis, dan teleologis mendasar antara
"universitas Islam” dan sebuah universitas sekuler Barat. Hal ini tidak cukup beralasan
menyamakan lembaga Pendidikan Tinggi muslim pada periode awal, seperti madrasah,
dengan istilah "universitas", dilihat secara umum dalam konsepsi Barat, dan khususnya
sekuler.111 Namun telah dibuktikan bahwa universitas Barat pada periode-priode awal,
secara konseptual dan historis sama sekali berbeda dari lembaga Pendidikan Tinggi Islam
(madrasah atau Jami'ah), dan dengan demikian membuktikan tidak adanya pengaruh dari
universitad di Barat pada lembaga pendidika Islam pada periode awal. Memang benar
bahwa istilah Barat "universitas" -- dari Bahasa Latin universitas -- dalam beberapa hal,
sangat berbeda dari Jami'ah Islam atau madrasah. Secara konseptual, dan seperti yang
dipahami dalam pengertian Barat aslinya, "universitas" berarti suatu kumpulan, pluralitas,
dan suatu kelompok orang-orang. Dalam konteks pendidikan, istilah "universitas" berarti
serikat atau lembaga para master, seperti di Paris, atau mahasiswa, seperti di Bologna, yang
keduanya berkembang pada akhir abad ke-12 Masehi. Ada dua universitas yang dianggap
sebagai arketipe universitas-universitas Barat. Menurut Rashdall, pada Zaman Pertengahan

107
Burhan al-Din al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim: Tariq al-Ta’allum (Instruction of the Student: The Method of
Learning). Terjemah dan pengantar oleh G.E. Von Grunebaum dan T.A. Abel (New York : King’s Crown Press,
1947) hal. 28-29.
108
Untuk munculnya pendidikan tinggi di jaman kuno dan jaman pertengahan di Barat, lihat H.I. Marrou, A
History of Education in Antiquity.Trans. George Lamb (Madison: The University of Wisconsin Press, 1982);
Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages. Edited by F.M. Powicke and A.B. Emden.3
vols. New edition of 1936. (Oxford: Clarendon Press, 1987); Charles Homer Haskins, The Rise of Universities.
Reprint of 1923 ed. (Ithaca and London: Cornell Univesity Press, 1957).
109
Lihat “Dasar dan Matlamat”, dalamRencana Pengajian Lanjutan Serta Luasan Penyelidikan dan Dasar Ilmiah
Institut Bahasa.Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu, Univeristi Kebangasan Malaysia. N.d,p. 3.
110
LihatBuku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu,Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, p.
37. Katalog ini berisi 32 halaman pendahuluan tentang penjelasan dari program akademik dan visi dari institut,
ditulis oleh Prof. al-Attas.
111
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: EUP, 1981)
Appendix A, hal. 292-293.
24
(the Middle Ages) di Barat kata universitas tidak pernah berarti sebuah sekolah di mana
semua fakultas atau cabang pengetahuan diwakili. Pada kenyataannya, istilah, yang sesuai
paling dekat dengan ketidakjelasan dan ketidaktetapan pengertian bahasa Inggris dari
sebuah universitas, adalah bukan universitas, tetapi studium generale, yang tidak menunjuk
arti suatu tempat di mana semua mata kuliah dipelajari, tapi untuk menunjuk tempat di
mana siswa dari semua bagian diterima. Kedua istilah dan konsep yang berbeda kemudian
menjadi tak terpisahkan dan identik.112 George Makdisi, dengan menganalisis kesamaan
dalam aspek organisasi dan keuangan, menyamakan madrasah Muslim dengan perguruan
tinggi Barat, yang didanai oleh pribadi atau yayasan amal berbasis keluarga (tunggal: waqf,
jamak: awqaf) dan yang relatif independen dari kontrol negara.113
Meskipun seperti ini, dan banyak perbedaan mendasar lainnya, terutama setelah
penyebaran ideologi sekuler di universitas-universitas Barat, masih ada banyak persamaan
penting antara lembaga Pendidikan Tinggi Islam dan Barat Zaman Pertengahan -- bentuk-
bentuk yang masih terlihat saat ini. Bentuk-bentuk ini selayaknya dianggap indikasi
pengaruh dari pendahulunya (Islam).
Dikatakan bahwa istilah universitatem jelas mencerminkan istilah orisinal Islam
‘kulliyyah’, yang mengacu pada konsep menyampaikan gagasan universal. Istilah Kulliyyah
juga menunjuk pada sistem ketertiban dan disiplin yang berkaitan dengan organisasi,
penanaman, dan penyebaran pengetahuan.114 Ini tidak berarti, bagaimanapun, bahwa
semua ilmu diajarkan di satu tempat. Corak penting dari universitas Barat lainnya, yang
paling mungkin dipengaruhi oleh Islam, adalah konsep fakultas, yang merupakan
terjemahan Latin dari bahasa Arab quwwah. Konsep Islam tentang ‘quwwah’, mengacu pada
daya yang melekat pada jiwa manusia dan organ tubuhnya, telah mengilhami konsep Barat
tentang fakultas karena pengaruh yang awal dan besar dari kedokteran Islam di Barat.
Hubungan ini juga mendemontrasikan bahwa "sejak konsep 'fakultas' mengacu pada
manusia dalam siapa 'pengetahuan' hidup, dan bahwa pengetahuan ini adalah prinsip yang
mengatur menentukan pikiran dan tindakannya, universitas harus telah disusun dalam
menyamai struktur umum, dalam bentuk, fungsi dan tujuan, dari manusia. Ini yang
dimaksudkan untuk menjadi representasi mikrokosmik dari manusia - tentu, dari ‘Manusia
Universal’ (al-insan al-kulliyy).115
Aspek pokok lain di mana pengaruh Islam menunjukkan dampak permanen pada
universitas Barat adalah praktek pemberian izin keahlian, atau lisensi untuk mengajar, yang
dikenal sebagai 'ijazah; yang tidak pernah menjadi bagian dari pendidikan tinggi di Yunani
kuno atau Roma atau dalam tradisi Bizantium Kristen Timur.116 Pengaruh lain yang signifikan
adalah dalam metode pendidikan, khususnya pembacaan (qira'at), tulisan catatan, atau
laporan studi oleh mahasiswa (ta'liqat), dan perdebatan (Thariqat an-Nazar), dan juga
dalam metode skolastik, yang meliputi dialektika (jadal), wacana (munazara), dan
pembacaan (qira'at).117 Institusionalisasi “posisi/otoritas” akademik saat ini yang umum
dilakukan di universitas-universitas Barat terkemuka, adalah terjemahan langsung dari

112
Hastings Rashdall, The Universities, 1: 4-20; juga James B. Mullinger, “Universities”, dalam The Encyclopaedia
th
Brittanica, 32 vols. 13 ed. 1926. Vol 27-28, hal. 748-779; juga Haskins, The Rise of Universities, hal. 1-25.
113
Makdisi, The Rise of Colleges, hal. 225 dan banyak tempat lainnya.
114
S.M.N. al-Attas, IS, hal. 146-147.
115
Ibid.
116
Makdisi, The Rise of Colleges, hal. 272.
117
Ibid., hal.241-245; lihat juga Munir ud-Din Ahmad, Muslim Education, hal. 55-84, akhir 93-99.
25
sebuah institusi Islam, yang, dalam bahasa Arab, disebut al-Kursi. Perbedaan konseptual dan
organisasional yang jelas dikutip oleh Rashdall dan Makdisi dan lain-lain antara madrasah
Islam dan universitas Zaman Pertengahan yang diindikasikan tersebut tidak selalu
menunjukkan bahwa keduanya sama sekali berbeda. Karena dalam beberapa hal, kedua
lembaga adalah sama: keduanya umumnya secara efektif bersifat independen dari kontrol
politik, dan di dalam keduanya penerimaan pengajar dan mahasiswa dari semua bagian
adalah siapa yang bersedia untuk mematuhi standar yang berlaku. Dengan cara yang sama,
tapi untuk alasan yang berbeda, tidak semua pengetahuan diajarkan di madrasah bahkan
dalam periode yang paling gemilang. Namun, dengan hirarki skema pengetahuan dan
desentralisasi kegiatan pendidikan dan profesional, orang memperoleh Pendidikan Tinggi
dan pelatihan di berbagai lembaga formal dan informal, seperti masjid (jami'), maktab dan
madrasah, bayt al-hikmah dan dar al-ulum; pertemuan-pertemuan kaum terpelajar dan
mahasiswa (majalis), Zawiyah dari persaudaraan Sufi, demikian juga rumah sakit,
observatorium, dan pusat-pusat seni dan kerajinan milik swasta.
Jadi ketika kita menggunakan istilah "universitas Islam" untuk merujuk kepada
konsep kita tentang universitas, kita tentu tidak mengartikan sebagai replika belaka dari
konsep universitas Barat sekuler. Meskipun demikian, bukan berarti sifat bawaan universitas
Barat sekuler tidak begitu saja dapat dikatakan ditolak untuk kerangka Pendidikan Tinggi
Islam. Jadi, misalnya, sebuah universitas Islam modern dapat mengeluarkan ‘gelar’ ('ijazah)
berdasarkan standar kelembagaan yang telah disepakati oleh otoritas kolektif para pakar,
dan boleh jadi secara organisasional disokong oleh dana dari sumber lain selain awqaf atau
badan amal, seperti yang umum dilakukan universitas di Barat.
Salah satu kritik Islam paling efektif dan kokoh tentang universitas sekuler modern
dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang mengatakan bahwa universitas
modern tidak lagi mencerminkan manusia sejati (the true man), tapi mencerminkan suatu
negara, atau dalam ungkapan terbaik, mencerminkan manusia sekuler. Universitas modern
tidak memiliki pusat pengikat pokok dan tidak punya prinsip penekanan yang permanen,
yang mendasari tujuan akhirnya. Universitas modern tidak mengenal dan mengakui
keberadaan roh atau jiwa. Universitas modern hanya peduli utamanya terhadap fungsi
administratif pemeliharaan sosial, pengembangan keuangan dan fisik, dan mengemban
prinsip relativistik yang mendorong pada gencarnya penelitian tanpa pandangan akhir yang
mutlak, sehingga menghasilkan perubahan terus-menerus, dan bahkan mengembangkan
skeptisisme.118 Kurangnya sebuah pusat pokok (vital center) dan prinsip permanen, yang
tampaknya meliputi semua aspek pendidikan modern sekuler di Amerika Serikat, boleh jadi
secara umum juga terjadi di tempat-tempat lain:
"... Lembaga pendidikan kita tidak memiliki gagasan yang jelas tentang arah
dan tujuannya, ia tidak memiliki konsepsi pemersatu dan pesan sendiri atau
tujuannya. Bagian-bagian komponen dari sistemnya masing-masing terpisah.
Sekolah Menegah langsung diarahkan kepada sebuah konsepsi masa egaliter
dari demokrasi terpelajar, perguruan tinggi liberal terbelah antara pendidikan
umum dan spesialisasi awal, sekolah pasca sarjana dan profesional bergerak

118
Lihat juga Al-Attas, IS, hal. 147-148.
26
terus ke arah spesialisasi lengkap dan berfaham kejuruan (vokasionalisme).
Ada sedikit kerja sama di antara bagian itu saat ini ... "119

Konsepsi yang lebih tradisional dari universitas Barat modern mengandung


penekanan positif terhadap pengembangan intelek sebagaimana pelayanan kepada
masyarakat dapat dilihat dari kutipan yang sering diungkapkan oleh Sir Eric Ashby :
“…kata universitas bermakna sesuatu yang unik dan berharga dalam masyarakat
Eropa: suatu sikap santai dan terhormat bagi ilmuwan, pembebasan dari kewajiban
untuk menggunakan ilmu untuk keperluan praktis, suatu sensasi perspektif yang
menyertai horizon yang luas dan pandangan yang jauh, sebuah peluang untuk
memberi loyalitas penuh bagi dunia pikiran (kingdom of mind). (Pada saat yang
sama)…universitas adalah lembaga yang memiliki kewajiban penting dan esensial
bagi masyarakat modern; suatu tempat bagi masyarakat mempercayakan
pemudanya yang paling cerdas dan diharapkan menjadi tempat penampungan
warga negara yang paling terlatih: suatu tempat yang dipandang masyarakat sebagai
pemacu perkembangan penelitian saintifik dan teknologi.”120

Manajemen Publik Baru Universitas

Filsafat dan praktik universitas modern di mana pun sejak permulaan abad ke-20
telah mengacu pada model Barat, yang telah berevolusi dari orientasi idealis yang bersifat
religius-filosofis kepada pembangunan negara, dan sekarang, kepada lembaga pragmatis
dari sudut ekonomi. Pengembangan seperti itu telah menyebar di sekolah umum AS tahun
1900-an saat tujuan pendidikan yang lebih besar dikorbankan demi memenuhi tuntutan
industri bisnis.121 Pengamatan Clark Kerr’s, dibuat 40 tahun lalu, cukup tepat bahwa
universitas modern tidak lagi mencerminkan asal mula penamaannya sebagaimana
dipahami Kardinal John Henry Newman, dan karena itu seharusnya disebut multiversitas;
sebab mereka mencerminkan pelbagai perspektif yang hanya disatukan oleh sebuah
birokrasi dan prosedur keuangan tertentu. Ia mengamati bahwa universitas modern bukan
lagi organisme melainkan mekanisme.122 Tahun 1998, Bill Reading berbicara mengenai
perang budaya dalam universitas yang meruntuhkan cita-cita universitas dan
membingungkan masyarakat selama beberapa dekade. Universitas kini adalah “sebuah
perusahaan birokratis mandiri” (an autonomous bureaucratic corporation) dan lebih
tanggap terhadap gagasan bahwa masalah sesungguhnya hari ini adalah “managemen
ekonomi” daripada mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan konflik sosial dan
budaya.123
Filosofi dan tata kelola yang berlaku pada universitas modern dan sektor pendidikan
tinggi sejak 1990 secara keseluruhan, telah menjadi semakin pragmatis secara finansial. Hal

119
William C. Devanne, “The College of Liberal Arts”. Deadalus, vol 94, 1964, hal. 1035; lihat juga artikel yang
bagus oleh W. Allen Wallis, “Centripetal and Centrifugal Forces in University Organization” dalam isu yang
sama tentang Deadalus, hal. 1071-1082.
120
E. Ashby, Technology and the Academics (London: MacMillan & Co, 1958) pp. 69-70, dikutip dari W. Allen
Wallis, “Forces in University Organization” Deadalus. Vol. 94, no. 4. Fall, 1964, hal. 1073-1074.
121
Lihat Raymond E. Callahan, Education and the Cult of Efficiency: A Study of the Social Forces that Have
Shaped the Administration of Public Schools (Chicago/London: University of Chicago Press, 1962)
122
Lihat Craig Howard, Theories of General Education (Basingstoke/London: Macmillan, 1991), hlm.64-74.
123
Bill Readings, The University in Ruins (Cambridge: Harvard University Press, 1998).
27
ini adalah akibat dari “fase lain pemberlakuan kembali managemen dari defisit
kemoderenan sebagaimana yang diberikan oleh lembaga berbasis kapitalisme
neoliberal.”124 Universitas dianggap tidak efektif dan tidak efisien sehingga tidak sesuai
untuk melayani tujuan politik neoliberal; dan konsepsi neoliberal tentang globalisasi,
khususnya dalam bentuk ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge economy)
memandang mandat dan kemampuan universitas tidak memadai bagi tuntutan baru ini.
Oleh karena itu dana pemerintah dipotong dan universitas diminta untuk mencari alternatif
pendanaan dari pemangku kepentingan (stakeholders) baru sementara pada saat yang sama
pengetatan pengawasan pemerintah terhadap sumber-sumber dana dilembagakan melalui
proses yang dikenal sebagai Managemen Publik Baru, yang kemudian berhasil dalam bentuk
Managerialisme Baru yang sebagian besar berasal dari keberhasilan sektor swasta berbasis
laba (profit-based private sector successes).125
Pendidikan tinggi dan produksi pengetahuan merupakan industri yang
menguntungkan, meski sebagian besar manfaat ekonomi dan sosialnya lebih dirasakan bagi
orang Amerika, Inggris, dan negara-negara berbahasa Inggris. Sekitar satu dekade yang lalu,
mobilitas mahasiswa internasional memberikan pemasukan ekonomi yang besar bagi
banyak negara, meliputi 3,9% dari pasar jasa global, dan menghasilkan laba lebih dari US$
30 milyar tahun 1998. Pada 2003-2004, ‘ekspor pendidikan’ menjadi ekspor terbesar
keempat Australia, menghasilkan US$5,9 milyar bagi ekonominya.126 Bahkan dalam negara
ini, terdapat selisih kotor (gross differentiation) antara universitas yang nampaknya
dimonopoli oleh lembaga akademik dan komersial yang sudah ternama. Di area terpenting
penerbitan, penyusupan keuangan ke dalam komunikasi kesarjanaan merusak transmisi
pengetahuan nir-laba atau berbiaya rendah oleh universitas, yang mungkin sangat
berpengaruh terhadap barang-barang keperluan masyarakat. Sekitar satu dekade silam,
tujuh perusahaan multinasional memperoleh 45% dari US$ 11 milyar pasar jasa di bidang
sains, teknologi, dan jurnal kesehatan. Jumlah itu meningkat 600% antara 1985-2002.
Dilaporkan pula bahwa beberapa gelintir perusahaan ini kemungkinan bergabung menjadi
perusahaan penerbitan global terbesar. Keuntungan perusahaan-perusahaan ini dipastikan
akan meningkat secara eksponensial karena pertumbuhan pasarnya berkait erat dengan apa
yang dengan tepat dikatakan sebagai ideologi keunggulan professional akademis dan
peringkat universitas mereka.127
Penguatan industri penelitian dan publikasi suatu negara terkait erat dengan
keberhasilannya dalam kompetisi ilmu dan informasi global.128 Persaingan global saat ini
dan masa mendatang kemungkinan besar akan sangat ditentukan oleh kendali informasi

124
Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”,hal. 20.
125
Ibid,hal. 20-21.
126
Britez and Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University.” In D. Epstein, R. Boden, R.
Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of Power: Framing the Future of
Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London: Taylor and Francis, 2007), hal.
362.
127
Penny Ciancanelli, “(Re)producing universities: Knowledge dissemination, market power and the global
knowledge commons,” In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge,
Geometries of Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York
and London: Taylor and Francis, 2007), hal. 68-73.
128
Philip G. Altbach, Higher Education in the Third World, babr 5: “The Distribution of Knowledge in the Third
World”.
28
dan kepakaran sebagaimana prediksi ilmuwan Perancis berpengaruh, Francois Lyotard
hampir empat dekade silam.129
Neo-liberalisme dalam konteks Pendidikan Tinggi dan menagerialisme baru yang
terkait dengannya, memandang mahasiswa, khususnya mahasiswa internasional, sebagai
konsumen; dan lembaga universitas menyerukan wacana dan harapan akan pola pikir
global, yang menyamakan pengalaman kosmopolitan dengan konsumsi. Hal ini tanpa
disengaja boleh jadi telah menggiring kepada berbagai bentuk pengecualian dan
marginalisasi sebagian besar populasi dunia, pada satu sisi, dan pada sisi lain,
menumbuhkan rasa kurang peduli atau tanggung jawab terhadap yang lain.130
Harry Lewis berpendapat bahwa Harvard dan perguruan tinggi lainnya telah
kehilangan tujuan dan seharusnya mengajar mahasiswanya bagaimana menjadi manusia
yang lebih baik di dunia yang semakin religius. Profesor semakin terspesialisasi secara
sempit, dan hanya tertarik pada penelitiannya sendiri, dan mahasiswa mempelajari apa
yang mereka sukai tanpa arah. Ini bukanlah soal nilai, atau bahkan soal berpikir secara
benar. Ini hanyalah sebuah pasar produksi, perdagangan, dan konsumsi informasi yang
berguna bagi mereka yang menyediakan hibah dan dana seperti perusahaan, pemerintah,
dan pekerja masa kini dan calon pekerja.131
Kritik sebenarnya terhadap instrumentalisasi ilmu di universitas masa kini tidak
menafikan pentingnya nilai komersial atau dimensi ekonomi universitas modern, tapi
mereka menyoroti hilangnya keseimbangan antara aspek humanistik dan instrumental.
Mereka lebih menyoroti soal menurunnya semangat kemanusiaan. Tantangan utama
universitas modern adalah untuk mengisi apa yang disebut Roger Dale sebagai dua peran
yang berbeda, yaitu ilmu-ekonomi global dan inovasi, dan kohesi sosial; khususnya di tingkat
negara.132 Mengomentasi trend serupa, dan menyadari dehumanisasi universitas masa kini,
Jon Nixon mengamati:
“Universitas telah menjadi semakin didominasi oleh sebuah bahasa yang tidak
mampu mengenali pembelajaran yang kaya dengan pelbagai kemungkinan: sebuah
bahasa yang efisien-biaya, bernilai demi uang, produktifitas, keefektifan, pengiriman
hasil, target setting, dan auditing. Bahasa input dan output, klien dan produk,
pengiriman dan pengukuran, penyedia layanan dan pengguna, bukanlah sekedar
sebutan berbeda tentang hal yang sama. Hal itu mengubah secara radikal tentang
apa yang kita bicarakan. Itu merupakan cara berpikir yang baru tentang pengajaran
dan pembelajaran. Secara mendasar hal itu telah mempengaruhi cara kita mengajar
dan belajar. Ia punya rencana atas kita dan atas apa yang kita pahami dengan praktik

129
Lyotard menulis: “It is conceivable that nation states will one day fight for control of information, just as they
battled in the past for control over territory, and afterwards for control of access to and exploitation of raw
materials and cheap labour. A new field is open for industrial and commercial strategies on the one hand, and
political and military strategies on the other.”
Francois Lyotard, The Post Modern Condition: A Report on Knowledge. Diterjemahkan dari bahasa Perancis
oleh G. Bennington dan B. Massumi. Kata Pengantar oleh F. Jameson (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984) hal. 5; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Reflections.” Dalam National Institute of Public
Administration, Malaysian Development Experience: Changes and Challenges (Kuala Lumpur: National Institute
of Public Administration, 1994), hal. 868-869.
130
Britez and Peters,“Internationalisation and the Cosmopolitical University,” hal. 366-367.
131
Harry Lewis, Excellence Without a Soul:Does Liberal Education Have a Future? (Philadelphia: Public Affairs,
2007).
132
Dale, “Repairing the Deficits onf Modernity” hal. 26.
29
akademik…Universitas perlu mengembalikan sebuah bahasa publik pendidikan dan
pembelajaran yang memiliki kemampuan menguatkan dan membangun warga
negara terdidik.133

Dehumanisasi fungsi universitas telah mengubah universitas menjadi pabrik diploma


dan supermarket akademik tinggi-akhir yang menjadi tempat bagi siapa pun dengan kualitas
dan kemampuan finansial minimal dapat memilih bidang yang mereka inginkan, ditentukan
oleh kepentingan sosial ekonomi dan negara jangka pendek.134 Telah dianjurkan bahwa
universitas, khususnya di negara berkembang, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atau negara dan keperluan pembangunan ekonomi jangka pendek, mungkin
sebenarnya telah menutupi kualitas akademik mereka.135 Meningkatnya komersialisasi
universitas Inggris masa kini telah mendorong sebuah kelompok beranggotakan 65
intelektual, pemikir, dan astronomi Inggris ternama untuk meluncurkan sebuah kampanye
yang disebut The Council for Defense of British Universities (CDBU), yang secara resmi
didirikan tanggal 13 November 2012 di British Academy, London. Organisasi ini berusaha
mempertahankan nilai-nilai dan lembaga-lembaga akademik dari intervensi pemerintah
dan politisi, dan dari komersialisasi berlebihan.136
Baru-baru ini, Jon Nixon mendesak dengan kuat untuk membentuk suatu Universitas
Kebajikan (Virtuous university) dengan mencoba membuat asas-asas moral bagi
profesionalisme akademik dalam empat bidang kunci: pengajaran, penelitian, dan keilmuan,
serta hubungan kolegial. Kegiatan-kegiatan ini "bukan saja memungkinkan, tapi diperlukan,
karena ia terdiri dari suatu kesatuan moral berdasarkan pada kebajikan-kebajikan mereka
bersama."137 Empat kebajikan yang ia anjurkan agar dapat dipertimbangkan dan
dipraktikkan pada empat kegiatan berikut, Kesejatian: Kecermatan dan Ketulusan; Rasa
Hormat: Perhatian dan Kejujuran; Keaslian: Keberanian dan Kasih Sayang: dan Keluhuran:
Kemandirian dan Kepedulian, yang ditafsirkan dari para filsuf Yunani, terutama Aristoteles,
dalam suatu bentukan demokratik modern.138 Memahami kecenderungan semakin
internasional dan globalnya universitas-universitas saat ini, dan keperluan untuk
memanusiakan mereka, Britez dan Peters telah memberikan "suatu visi dari suatu rencana
kosmopolitikal universitas."139 Bertentangan dengan yang hanya sekedar abstrak, etis, atau
normatif di satu sisi, dan ekonomis di sisi lain, proyek ini bertujuan menerapkan praktek
keanekaragaman. Ini menawarkan "peluang untuk pengembangan intelektual, sosial, dan
keterampilan hidup dalam lulusan mereka, dari praktek dan pengalaman dari menjadi warga

133
Jon Nixon, Towards The Virtuous University: The Moral bases of Academic professionalism (New York and
London, Routledge, 2008), hal. 11.
134
Lihat Eli M. Oboler, Ideas and the University Library: Essays of an Unorthodox Academic Librarian (Westport,
Conn, and London: Greenwood Press, 1977) p. 14; dan juga Ronald Dore, The Diploma Disease: Education,
Qualification and Development (London: George Allen & Unwin, 1976).
135
Lihat sebagai contoh, Jon Lauglo, “The ‘Utilitarian University’, the ‘Centre of Academic Learning’ and
Developing Countries”, and Asbjorn Lovbraek, “Experience and Future Prospects for North-South University
Co-operation, “both in Atle Hetland (ed.) Universities and National Development. A Report of the Nordic
Association for the Study of Education in Developing Countries (Stockholm: Almqvist & Wiksel International,
1984) hal. 74-84 and pp. 164-165, masing-masing.
136 th
The Guardian (London). Thursday 8 November 2012. Lihat juga laman Council for the Defense of British
Universities. www.cdbu.org.uk.
137
Jon Nixon, Towards The Virtuous University, hal. 2.
138
Ibid.
139
Britez and Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University,” hal. 356.
30
kosmopolitan dan sesuatu yang lebih dari pelatihan terakreditasi atau ala kadarnya saja
untuk masuk pada pasar tenaga kerja antar-bangsa dan pada suatu bentuk
'kewarganegaraan dunia'".140

Manusia Sempurna dan Universitas Islam


Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, sistem pendidikan Islam, khususnya
universitas, harus mencerminkan seorang manusia yang baik, dan bukan perusahaan negara
atau perusahaan dagang seperti yang digambarkan oleh filsafat sekuler.141 Manusia, dalam
Islam, berhakikat ganda --- dimana tubuh dan ruhnya menyatu seutuhnya --- dan yang
mewakili suatu mikrokosmos dari seluruh alam semesta.142 Tentang hal tersebut, otoritas
spiritual Muslim awal menyatakan:
"Dalam suatu susunan seorang manusia menyatu semua makna (ma'ani) dari
maujud-maujud (existents), baik tunggal maupun senyawa ... karena manusia adalah
senyawa dari tubuh kasar dan jiwa ruhaniah yang tunggal. Karena itu, para hukama
menamakan manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil) dan alam semesta sebagai
manusia besar. Ketika manusia benar-benar tahu dirinya dalam hal keajaiban
komposisi tubuhnya, kehalusan strukturnya, dan sikap perbuatan dari kekuatan jiwa
di dalamnya, dan perwujudan dari tindakan jiwa melalui hal itu, katakanlah sebuah
karya yang kokoh dan ciptaan yang sempurna, maka dia siap untuk menilai (qiyas)
semua makna (ma'ani) dari yang inderawi (sensible) melalui analogi dengannya, dan
menyimpulkan darinya semua makna dari yang aqli (intelligible) dari dua dunia
seluruhnya bersama-sama."143

Hubungan antara konsep Manusia sebagai representasi mikrokosmos ('alam saghir) dari
alam semesta (al-'alam al-kabir), berbagai cabang pengetahuan dan organisasi, instruksi,
penanaman, dan penyebaran pengetahuan di universitas telah dikemukakan secara
meyakinkan oleh al-Attas.144
Manusia yang tercermin dalam semua aspek universitas, seperti yang disebutkan di
atas bukan sembarang manusia, tetapi seorang manusia yang baik, yang terbaik diantaranya
adalah Manusia Universal atau Sempurna (al-insan al-kulliy atau al-kamil). Gagasan Manusia
Universal atau Manusia Sempurna memiliki sejarah panjang dalam tradisi intelektual Islam,
khususnya difahami, dipraktekkan dan disebarkan oleh para sufi tinggi seperti Ikhwan al-
Safa ', Abu Hamid al-Ghazali, Muhyi al-Din Ibn 'Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi,' Abd al-Razzaq
140
Ibid, hal. 358.
141
Al-Attas, IS,. 144; jugaCEII, hal. 39.
142
Al-Attas, IS, hal. 135-136; idem, CEII, p. 40; dan al-Attas, A Commentary on Hujjat al-Siddiq, pp. 367-372.
Pembahasan lebih lengkap mengenai hal ini, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, hal. 174-
224.
143
Ikhwan al-Safa, Rasa’il 3:188 dikutip dari Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its
Place in the History of Islamic Thought (Tokyo: Institute For the Study of Language and Cultures of Asia and
Africa, 1987) hal. 90-91.
144
Al-Attas, IS, hal. 144,. jugaCEII, hal. 39.
31
al-Qashani, 'Abd al-Rahman al-Jami,' Abd al-Karim al-Jili, Sadr al-Din al-Syirazi (Mulla Sadra),
Nuruddin al-Raniri, dan lain-lain.145 Manusia Universal telah dikenali melalui Nabi Adam, dan
memuncak dalam perwujudannya yang sempurna melalui Nabi Muhammad (Semoga
berkah Allah atas mereka), keduanya adalah perwakilan Allah di bumi. Manusia lain, seperti
para nabi, para wali, dan mereka yang telah mengakar dalam pengetahuan dan ketajaman
spiritualnya juga memenuhi syarat untuk menjadi wakil Allah.146 Oleh karena itu sebuah
universitas Islam harus mencerminkan Nabi yang Mulia dalam pengetahuan dan
perbuatannya, dalam tugasnya untuk menghasilkan sebanyak mungkin Muslim dan
Muslimah yang mencerminkan kualitas dari Nabi yang Mulia sesuai dengan potensi dan
kemampuan masing-masing.147 Posisi normatif ini didasarkan pada pernyataan Al-Qur’an
bahwa Nabi yang Mulia adalah model terbaik bagi umat Islam (uswah hasanah)148 dan,
berdasarkan pengetahuan dan teladan perbuatannya, yang paling taqwa kepada Allah, dan
karena itu paling terhormat.149
Beberapa pemikir dalam pendidikan Kristen seperti Kardinal John Henry Newman
dan Jean Jacques Maritain juga bisa mengikuti gagasan bahwa sebuah universitas yang ideal
harus menjadi tempat di mana pengetahuan universal diajarkan, dan bahwa tujuannya
adalah untuk mendidik pada kedewasaan pria dan wanita,150 tetapi mereka -- dan pada
kenyataannya tradisi lain juga -- tidak memiliki atau menekankan seorang teladan manusia
universal yang darinya pengetahuan tersebut tercermin.151 Mungkin, karena faktor
tersebut, konsepsi pengetahuan universal mereka terbatas pada penekanan pendidikan
humanistik dan liberal yang berakar pada iman yang bertentangan dengan spesialisasi
sempit. Rodrigo Britez dan Michael A Peters, dalam pernyataan mereka melawan pelatihan
kejuruan (vokasi) dan spesialisasi sempit di universitas yang tengah mendunia, mengusulkan
"pembudayaan jenis tertentu dari diri yang kosmopolitan" yang memusatkan pada proyek-
proyek organisasi perbedaan yang mengembangkan sebuah perspektif yang secara serius
terlibat dalam pengembangan nilai-nilai perbedaan. 152

145
Al-Attas, A Commentary on Hujjat al-Siddiqof Nur al-Din al-Raniri (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986)
hal. 44.
146
Lihat R.A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism (Lahore: Sh,. Muhammad Ashraf, 1970) Reprint of
1964: hal 70-85; idem, Shorter Encyclopaedia of Islam 1974 edition s.v. “al-Insan al-Kamil”; Masataka
Takeshita, Ibn ‘Arabi’s Theory, bab. 2 and 3; dan Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom. Terjemah dan pengantar
oleh R.W.J. Austin. The Classics of Western Spirituality (New York, Ramsey, Toronto: Paulist Press, 1980)
Introduction, hlm. dss32-38.
147
Al-Attas, CEII, hal. 39-40
148
Al-Ahzab (33):21
149
Al-Hujurat (49):13
150
Jacques Maritain, Education at The Crossroads. (New Haven and London: Yale University Press, 1943) hal
75-84. Juga Jean-Louis Allard, Education For Freedom: The Philosophy of Education of Jacques Maritain.
Terjemah oleh R.C. Nelson, (Notre Dame and Ottawa: University of Notre Dame Press and Univ. of Ottawa
Press, 1982) hal. 96-102.
151
Al-Attas, IS, hal. 1 147-148
152
Rodrigo Britez and Michael A Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University.”
DalamGeographies of Knowledge, hal. 368.
32
Suatu budaya pada suatu lembaga, tidak hanya meningkatkan hasil-hasil akademis
tetapi yang lebih penting, memberi contoh keragaman sebagai kelengkapan-inti dari budaya
universitas. Aspek etika tersebut juga penting terkait dengan peran sosial dan politik
universitas, yang masih belum dijawab secara memadai.153 Muatan kurikulum mengesankan
adanya budi-daya diri-kosmopolitan pada universitas, yang saat ini didominasi oleh
rancangan modernitas masa Pencerahan, yang harus berasaskan ilmu-ilmu sosial (liberal
arts) dan kemanusiaan yang tidak terikat pada suatu rujukan kerangka-kerja tradisional dan
lokal tertentu, dan diperluas agar mencakup tuntutan otonomi daerah yang dihasilkan oleh
berbagai adat, etnis, bahasa, dan sosial minoritas. Pandangan humanistik akan
kosmopolitanisme ini, pada tingkat politis, seperti yang disarankan oleh Derrida, akan
menggabungkan konsep kuno tentang persahabatan, etika keramahan, permaafan, karunia
dan ajakan kepada rasa saling tanggung-jawab.154
Gagasan bahwa lembaga Pendidikan Tinggi Islam harus mencerminkan seorang
manusia yang universal juga berarti sangat akademis, sosial dan, jika mungkin, bahkan
struktur fisik lembaga itu sendiri harus berbeda dari apa yang umumnya dikenal dalam
praktek. Prioritas, kekuatan, fungsi dan pengerahan fakultas dan jurusan di dalamnya-jika
institusi memiliki struktur tersebut-serta administrasi, juga tidak akan sama dengan apa
yang dipraktekan saat ini.155 Dampak dari gagasan tersebut-bahwa institusi pendidikan
tinggi harus mencerminkan manusia-universal-akan memerlukan hal-hal berikut:
Pertama, harus dipimpin oleh seorang pemimpin akademik yang memiliki
pengetahuan yang disyaratkan dari, dan berkomitmen untuk, pendidikan berdimensi
religius-filosofis dan sosial-budaya -selain memiliki pelatihan khusus di bidang-bidang lain-
serta memiliki integritas etika dan pengalaman kepemimpinan. Dia harus diberi kepercayaan
untuk menunjuk stafnya dan untuk mengembangkan lembaga sesuai dengan pengetahuan
dan kebijaksanaan dalam konsultasi dengan koleganya. Keberhasilan kepemimpinannya
harus ditentukan oleh kualitas etos lembaga, pengajaran, dan penelitian serta publikasinya
dalam ilmu-ilmu fardu ain dan fardhu kifayah, yang memberikan sumbangan pada
pengembangan holistik siswa, bangsa mereka, dan masyarakat dunia. Bagian administrasi
dan keuangan dari lembaga yang mencerminkan konsepsi manusia harus sepenuhnya
didukung oleh kegiatan intelektual dan moralnya. Mereka harus kreatif dan inovatif dan
tidak dirintangi dengan munculnya kegiatan birokrasi kaku dan dokumentasi yang tak perlu
atas nama transparansi.
Kedua, program akademik harus dibuat berdasarkan skema hirarki namun pada saat
yang sama juga menekankan kesatuan ilmu (knowledge). Pemilihan subjek (pelajaran) bagi
siswa harus ditentukan oleh siswa sendiri (orang tua atau sponsor mereka) beserta guru
berdasarkan hirarki ilmu dalam Islam, kepentingan, kapasitas intelektual dan pembawaan
moral (moral equipment) dari setiap siswa, serta kebutuhan masyarakat dan bangsa.
Konsep lembaga pendidikan tinggi Islam, yang mencerminkan manusia universal (universal

153
Ibid, hal. 368.
154
Ibid hal. 367-369.
155
Al-Attas, CEII, hal. 45
33
man), berarti bahwa ruang lingkup pendidikan haruslah komprehensif, multi-disiplin dan
tidak terbatas oleh spesialisasi yang sempit. Pendidikan Islam juga tidak mengakui gagasan
dualistik kontemporer yang membedakan penelitian dengan pengajaran, seolah penelitian
dipandang lebih berharga dan lebih bergengsi daripada pengajaran. Pendekatan intelektual
dalam pendidikan Islam harus mengintegrasikan keharmonian antara tradisionalitas atau
tekstualitas (naqli), rasionalitas (aqli), dan empirisitas (tajribi); sesuai dengan kebutuhan
objek pengkajian. Hal tersebut dijelaskan oleh al-Attas sebagai metode Tauhid. 156
Tujuan dari penelitian dan penulisan adalah untuk membuat kontribusi yang
orisinal, menyelesaikan karya-karya ulama sebelumnya yang belum selesai, memperbaiki
apa-apa yang dianggap salah, membuat komentar, meringkas karya-karya yang cukup
panjang tanpa meninggalkan bagian-bagian yang penting, mengumpulkan informasi dari
berbagai sumber, membuat sintesa dan mengatur berbagai informasi menjadi suatu
kesatuan yang utuh da koheren, serta menerjemahkan karya-karya penting dan bermakna
dari bahasa lain ke dalam bahasa nasional dan sebaliknya.157

Manusia universal haruslah seseorang yang otoritatif di beberapa bidang. Oleh


karena itu, lembaga pendidikan tinggi Islam harus menawarkan program-program
pendidikan yang berbasis luas (broad-basis), tidak sempit, namun juga menawarkan
program spesialisasi. Spesialisasi berbasis luas (Broad-based Specilization) ini merupakan
hal yang penting disebabkan oleh alasan-alasan manusiawi dan spiritual yang mendalam.
Pertama, spesialisasi merupakan perluasan dan pengakuan atas aspek realitas yang unik dan
berbeda. Hanya dalam kondisi demikian, makna (meaning) dan selanjutnya ilmu tentang
sesuatu, menjadi mungkin untuk diketahui.158 Kedua, hanya melalui spesialisasi , kerjasama
dan penghormatan antar peran manusia yang beragam menjadi sesuatu yang alamiah dan
diperlukan. Ketiga, spesialisasi memungkinkan terciptanya keadilan ontologis atau alamiah,
yaitu suatu kondisi di mana setiap hal ditempatkan pada tempat yang tepat dan benar.
159
Keempat, seperti yang ditunjukkan secara implisit oleh Ibnu Khaldun, spesialisasi yang
sempit, baik dalam hal akademik maupun keterampilan/ kerajinan (craft), akan
mengembangkan kebiasaan yang mengakar bagi kualitas di dalam jiwa. Dengan beberapa
pengecualian yang sangat jarang terjadi hal tersebut akan mencegah seseorang untuk
menguasai ilmu -ilmu atau keterampilan lainnya dengan tingkat penguasaan yang sama.
160
Munculnya bentuk baru barbarisme di Eropa dan Barat, menurut Ortega Y. Gasset,
adalah karena berlimpahnya spesialisasi yang sempit dalam pendidikan tinggi. Pemikir
Kristen seperti Maritain tampaknya setuju dengan hal ini ketika mengkategorikan

156
Al-Attas, Prolegomena, p. 113; Wan Mohd Nor, Educational Philosophy, hlm. 265, 268-271.
157
Lihat, Ibn Hazm, al-Akhlaq wal Siyar. In Pursuit of Virtues: The Moral Reasoning and Psychology of Ibn
Hazm. Translation by Muhammad Abu Laylah (London: Ta Ha, 1998), hlm. 21.
158
Al-Attas, CEII, hlm. 15-16.
159
Al-Attas, IPS, p. 34, and other earlier writings.
160
‘Abd-al-Rahman Ibn Khaldun, The Muqaddimah. Trans, Franz Rosenthal. 3 Vols. (New York: Pantheon /
Bollingen, 1958), 2: 354-355.
34
pendidikan spesialisasi modern (modern specialized education) sebagai sebuah
kebinatangan.161

Dengan alasan-alasan tersebut di atas maka program studi yang ditawarkan dalam
lembaga pendidikan Islam tidak boleh diatur dalam struktur departemen yang ketat dan
(mutually) eksklusif karena hal tersebut tidak hanya merupakan sebuah pemborosan dan
duplikasi sumber daya namun juga berbahaya bagi pertumbuhan holistik dari
perkembangan intelektual siswa. Sebaliknya, setiap siswa hendaknya diarahkan untuk
mengambil mata pelajaran yang sesuai dengan moral dan keterhubungan atar kategori
fardhu 'ain dan fardhu kifayah, memberikan penghormatan atas kapasitas dan ketertarikan
siswa yang unik, menciptakan keadilan bagi setiap individu serta mempertimbakan
(proyeksi) kebutuhan dari masyarakat. Ilmu Fardhu 'ain merupakan kewajiban agama
yang harus dipelajari dan dikuasai oleh semua muslim yang telah dewasa dan merdeka.
Sedangkan Ilmu fardhu kifayah merupakan ilmu yang wajib dipelajari namun tidak untuk
semua individu. Ia hanya wajib dipelajari oleh sejumlah muslim dalam sebuah masyarakat
atau komunitas. Ulama besar seperti Ibnu Sina, telah lama mengetahui bahwa upaya yang
terburu-buru dalam membuat jenjang (tingkatan) terhadap semua siswa- guna mengejar
kesetaraan yang utopis dan imajiner -telah menghasilkan ketidakadilan yang besar dan
membahayakan.162

Bertentangan dengan beberapa pendapat yang ada, Ilmu fardhu 'ain sebenarnya
tidak terbatas pada ilmu dasar Islam yang hanya dipelajari di tingkat sekolah dasar dan
menengah, tetapi ia dinamis dan terus berkembang dalam praktiknya (in field) bergantung
pada kematangan dan kapasitas seseorang. Permasalahan tersebut telah dijelaskan secara
cemerlang oleh al-Ghazali lebih dari 900 tahun yang lalu, diikuti oleh Burhan al-Din al-Zarnuji
dan disajikan kembali di masa ini oleh al-Attas. 163 Dalam Universitas Islam yang
sebenarnya, ilmu fardhu 'ain yang merupakan kebutuhan intelektual dan spiritual permanen
dari jiwa manusia, harus membentuk kurikulum inti dan wajib dipelajari oleh semua siswa.
Ilmu fardhu kifayah yang mencerminkan kebutuhan masyarakat serta tren global, tidak
wajib dipelajari oleh semua siswa namun harus dikuasai oleh sejumlah individu muslim
guna memastikan pengembangan masyarakat yang sesuai dan menjaga kedudukannya
yang tepat (proper place) dalam urusan dunia. Ilmu fardhu 'ain meliputi ilmu-ilmu Islam
tradisional seperti bahasa Arab, metafisika, Alquran dan Hadis, etika, ilmu-ilmu syari'at, dan
sejarah Islam. Ilmu-ilmu fardhu 'ain ini tidaklah statis melainkan dinamis, sehingga harus

161
Jose Ortega Y. Gasset, Mission of the University. Translated and edited by Howard L. Nostrand (New York:
W. W. Norton, 1944), hal. 38-39; Jacques Maritain, Education at the Crossroad (New Haven and London: Yale
University Press, 1943).
162
M.N. Zanjani, Ibn Sina wa tadbir-I manzil, cited from S. H. Nasr, Traditional Islam in the Modern World
(London and New York: KPI, 1987), note 13, hal. 161.
163
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘ulum al-Din. Trans, Nabih Amin Faris. The Book of Knowledge, Reprint of 1962
edition (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), hal. 30-36; al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, hal. 21-22; al-Attas,
CEII, hal. 41.
35
terus dipelajari, dianalisis, dan diterapkan dalam kaitannya dengan ilmu fardhu kifayah,
seperti dalam bidang spesialisasi mereka. Oleh karena itu, dasar-dasar metafisika dan
filosofis serta asal-usul sosio-historis dari berbagai ilmu fardu kifayah dan teknologi
beserta implikasinya dalam agama-moral, sosial-ekonomi, dan ekologi, harus dipelajari
sebagai bagian dari kesatuan ilmu fardhu 'ain-fardhu kifayah.164 Sedangkan bagi mereka
yang memilih bagian tertentu dari ilmu fardhu kifayah sebagai spesialisasi, maka menjadi
sesuatu yang fardhu 'ain baginya untuk unggul dalam bidang tersebut dan memastikan
bahwa teori dan prakteknya telah sesuai dengan ajaran Islam, atau setidaknya tidak
bertentangan dengannya. Hanya pada tingkat pencapaian seperti inilah raison d'etre dari
kehambaan ('ubudiyyah) dan kekhalifahan manusia saling terhubung (organically) dan
terealisasikan.

Ketiga, hubungan manusia dalam lembaga harus didasarkan pada kondisi saling
mencintai dan menghormati berdasarkan kecintaan dan kontribusinya kepada ilmu dan
moral. Saat ini, hubungan manusia di lembaga pendidikan pada umumnya sangat
membingungkan dan sebagian besar didasari oleh posisi birokrasi yang sempit dan motif
pragmatis. Sebagaimana telah dikemukakan, banyak dosen dan profesor- sebagai hasil
substansial dari dehumanisasi tujuan pendidikan –bertindak lebih sebagai birokrat,
pengusaha dan politisi dari pada bertindak sebagai ulama dan guru yang memiliki
keseriusan. 165 Hubungan tradisional guru dengan murid, sebagaimana dianggap oleh
sejarawan sebagai "salah satu fitur terbaik dari pendidikan Islam", haruslah disadari
kembali.166 Saran ini mungkin mengherankan bagi sebagian orang yang berpandangan
bahwa ada rencana untuk menghidupkan kembali peran otokrasi guru di masa lalu. Namun,
pada hakikatnya, yang kami coba sarankan adalah agar guru atau dosen dapat menjadi
pemandu, mentor dan menjadi orang tua bagi siswa. Guru juga harus mampu berinteraksi
dengan siswanya secara baik, bijaksana dan adil, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
guru-guru besar dan para ulama.167

Akhirnya, implikasi keempat tercermin dalam landscape fisik, struktur dan dekorasi
dari bangunan universitas Islam. Seorang manusia yang Islami akan peka terhadap makna
simbolik atas berbagai hal dan peristiwa sehingga dirinya akan memilih tanggal dan waktu-
waktu yang memiliki makna spiritual, misalnya, dalam membangun rumahnya, memilih
waktu pernikahan, atau ketika ia memulai sebuah perjalanan panjang.

Manusia Beradab (Man of Adab)

164
Al-Attas, IS, p. 150-152; Idem, CEII, hal. 41-42.
165
W. Allen Wallis, “Forces in University Organization”, hal. 1076.

166
Dodge, Muslim Education in Medieval Times, hal. 10.
167
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, pp. 145-153 al-Zarnuji, Ta’alim al Muta’alim, hal. 36; Ibn Khaldun, The
Muqaddimah, 3: 300 dan 305-307.
36
Seorang manusia yang berpendidikan merupakan seseorang yang baik/shaleh (a
good man). Kata 'baik' di sini menunjukkan bahwa pria tersebut memiliki adab dalam
pengertian sepenuhnya inklusif (in its full inclusive sense). Seorang pria yang beradab (insan
adabi) adalah "orang yang secara ikhlas menyadari bahwa ia memiliki tanggung jawab
terhadap Allah, yang memahami dan memenuhi kewajiban untuk dirinya dan orang lain di
dalam masyarakat melalui keadilan, serta terus berusaha memperbaiki setiap aspek dari
dirinya agar mencapai kesempurnaan sebagai seseorang yang beradab [insan adabi]".168
Pendidikan adalah ta'dib : yang menanamkan (instilling and inculcation) adab dalam diri
manusia.169

Konsep ta'dib, jika dipahami dengan benar dan dianalisis secara menyeluruh maka ia
merupakan konsep yang paling sesuai untuk menunjuk pendidikan dalam Islam, dan bukan
ta'lim atau tarbiyah sebagaimana banyak digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia saat
ini. Hal tersebut karena ta'dib dalam struktur konseptualnya telah mencakup unsur ilmu
('ilm), instruksi (ta'lim), dan perkembangan (tarbiyah).170 Meskipun Al Qur’an tidak
menggunakan kata adab atau salah satu dari kata turunannya, namun ia telah disebutkan
dalam hadits Nabi Muhammad saw serta para sahabat melalui puisi dan karya-karya ulama
setelahnya, di mana saat itu adab memiliki makna yang lebih luas dan lebih mendalam.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, makna adab kemudian dibatasi dan direduksi
dari makna sebenarnya yang luas menjadi semata-mata belles-letteres , etiket profesional
dan sosial.171

Menurut ulama generasi awal, isi (maudhu') dari ta'dib adalah akhlak (etika dan
moralitas). 172 Sejak jaman Islam awal, adab secara konseptual telah menyatu dengan ilmu
yang benar ('ilm) dan tindakan yang tepat serta tulus ('amal) serta secara signifikan terlibat

168
Risalah, para. 15, hal. 54.
169
Aims and Objectives, hal. 37; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas’ Concept of Ta’dib as the True
and Comprehensive Education in Islam”, dalam Marietta Stepanyants, ed. Comparative Ethics in a Global Age
(Washington, DC: Institute of Philosophy, Russian Academy of Sciences/ The Council for Research in Values and
Philosophy, 2007), hal. 243-258.
170
CEII, hal. 34
171
Ada sekurangnya 18 entries tentang ta’dib, addaba, and adab, banyak diantaranya ada dalam lebih dari
satu Hadith collection. See A. J. Wensinck and J. P. Mensing, Concordance et Indices de la Tradition
Musulmane. 7 Vols. (Leiden: E. J. Brill, 1943), 1: 26; Nasrat Abdel Rahman, “The Semantics of Adab in Arabic”,
Al-Shajarah, Vol. 2, No. 2, 1997, hal. 189-207. Dalam paper ini Prof. Abdel Rahman dengan penuh keseriusan
menganalisis berbagai makna dari istilah ‘adab’ dan berbagai variasi turunannya, khususnya ‘ta’dib’, dari
sekitar 50 ilmuwan Arab yang otoritatif, dan secara umum sejalan dengan interpretasi al-Attas. F. Gabrieli,
dalam paparannya yang padat dan singkat tentang ‘adab’, menjelaskan bahwa pada abad pertama Hijriah,
‘adab’ mengandung makna intellektual, etik, dan sosial. Belakangan, adab memiliki makna sejumlah
pengetahuan yang menjadikan seseorang terhormat dan ‘urban’, dan di era al-Hariri pada abad ke-10 M,
makna adab menjadi terbatas pada suatu disiplin ilmu, yaitu adabiyat atau sastra. Lihat Encyclopaedia of
Islam. New Edition (Leiden: E. J. Brill, 1986) s.v. “adab”.
172
Mahmud Qambar, Dirasat turathiyyah fi ‘l-tarbiyah al-islamiyyah. 2 Vols. (Dhoha, Qatar: Dar al-Thaqafah,
1985), 1: 406.
37
dalam peniruan intelektual (intellegent emulation) dalam Sunnah Rasulullah saw.173 Adab
kemudian dapat didefinisikan sebagai berikut:

Pengenalan (recognition) dan pengakuan (acknowlegement) terhadap realitas di mana


ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-
kategori dan tingkatan-tingkatannya dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik , intelektual dan
spiritualnya 174

Pengenalan dapat dipahami sebagai mengetahui kembali (to-cognize) Perjanjian


Pertama (primodial covenant) seseorang dengan Tuhan dan segala sesuatu yang mengikuti
dari padanya. 175 Hal ini juga berarti bahwa segala sesuatu telah berada pada tempatnya
secara tepat dan berurutan dalam tata urutan being dan eksistensi. Namun manusia, karena
ketidaktahuan atau kesombongannya, "telah membuat perubahan dan membuat
kebingungan terhadap tempat yang tepat bagi sesuatu, sehingga hal tersebut menyebabkan
timbulnya ketidakadilan."176 Pengakuan merupakan tindakan yang diperlukan dalam rangka
menyesuaikan dengan apa yang telah dikenali. Hal ini merupakan sebuah 'afirmasi' dan
'konfirmasi' atau 'realisasi' dan 'aktualisasi' dalam diri seseorang dari apa yang telah
dikenali. Tanpa adanya pengakuan, pendidikan hanyalah merupakan sebuah pembelajaran
semata (ta'allum).177 Pentingnya makna adab yang berkaitan dengan pendidikan bagi
manusia baik/shaleh (a good man) harus ditekankan ketika disadari bahwa pengenalan
(yang melibatkan ilmu) dan pengakuan (yang meliputi tindakan) terhadap tempat yang
tepat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ternyata terkait erat dengan istilah kunci
(key terms) lainnya dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), seperti kebijaksanaan
(hikmah) dan keadilan ('adl), realitas serta kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran
(haqq) tersebut kemudian didefinisikan, baik secara korespondensi dan koherensi, sebagai
tempat yang tepat dan benar bagi segala sesuatu. 178

Berikut adalah beberapa contoh bagaimana gagasan adab diwujudkan dalam


berbagai tingkatan eksistensi manusia. Menempatkan Allah di tempat yang tepat adalah
dengan memahami sifat-Nya, Nama, dan perbuatan-Nya dengan baik, tanpa harus
mengetahui esensi terdalam-Nya; menjalankan agama-Nya dengan cara yang benar, seperti

173
CEII, p. 35; cf. Nasrat Abdel Rahman, “The Semantics of Adab”, pp. 2-18.
174
CEII, p. 27. Based on this definition of adab, al-Attas ingeniously elaborates on the statement of the Holy
Prophet quoted above (God has educated me) in this manner: “My Lord made me recognize and acknowledge,
by what [i.e., adab] He progressively instilled into me, the proper places of things in the order of creation, such
that it led to my recognition and acknowledgement of His proper place in the order of being and existence;
and by virtue of this He made my education most excellent.” Ibid., pp. 27-28.
175
The Primordial Covenant which is cited by all Sufis is derived from the Qur’an 7:172: “When thy Lord drew
forth from the Children of Adam---from their loins---their decendents, and made them testify concerning
themselves (saying): “Am I not your Lord?”---they all said: “Yea! We do testify!”
176
CEII, hal. 21.
177
Ibid.
178
Risalah, para. 55, hal. 186-188; idem, IPS), hal. 22.
38
yang dicontohkan oleh Nabi-Nya; meninggalkan larangan-Nya dan terus meningkatkan diri
serta meminta pengampunan-Nya. Adab terhadap diri seseorang dimulai ketika seseorang
mengakui sifat dasar manusia yang ganda, yaitu rasional dan hewani. Ketika yang pertama
(rasional) menundukkan yang kedua (hewani) dan menjadikannya berada dalam kendalinya,
maka yang pertama telah menempatkan keduanya di tempat yang tepat, sehingga
menempatkan diri seseorang di tempat yang tepat.179 Keadaan tersebut yang dinamakan
keadilan pada diri seseorang dan kebalikannya adalah ketidakadilan (zulm al-nafs). Ketika
adab mengacu kepada hubungan manusia, hal tersebut berarti bahwa norma-norma etika
yang diterapkan untuk perilaku sosial akan mengikuti persyaratan tertentu berdasarkan
kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat.

Kedudukan seseorang “tidak ditentukan oleh kriteria manusia pada kekuasaan,


kekayaan, dan keturunan, tetapi menggunakan kriteria Al-Qur’an pada ilmu, kecerdasan
dan kebajikan." 180 Menempatkan Nabi Muhammad (saw) di tempat yang tepat adalah
dengan memahami apa yang paling luhur darinya (his most elevated stature), untuk
mengikuti teladannya tanpa menyembahnya, serta untuk melindungi hak-hak para sahabat
dan keturunannya. Menempatkan pemimpin di tempat yang tepat adalah dengan berpikir
penuh rasa hormat terhadap mereka dan keluarganya, mendukung kebijakan mereka dan
menasihati mereka, dan tidak menurunkan mereka dari kekuasaan karena kesalahan atau
kekhilafan mereka yang dapat mempengaruhi kepentingan umum dan stabilitas nasional.
Namun, kita tidak akan pernah mematuhi atau membantu mereka dalam ketidakadadilan
dan perbuatan dosa. Jika seseorang menampilkan kerendahan hati yang tulus, cinta,
hormat, perhatian, dermawan, dll, untuk orang tuanya, manula, anak, tetangga, dan tokoh
masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut mengetahui tempat yang tepat
bagi seseorang dalam kaitannya dengan hubungan mereka.

Mengacu pada domain ilmu, adab berarti disiplin intelektual (ketertiban budi) yang
mengenali dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria keluhuran dan keutamaan,
sehingga sesuatu yang didasarkan pada wahyu harus dikenali dan diakui sebagai sesuatu
yang lebih sempurna dan ditempatkan pada prioritas yang lebih tinggi daripada hal-hal yang
didasarkan pada intelek. Segala sesuatu yang fardhu 'ain harus selalu ditempatkan di atas
hal-hal yang fardhu kifayah. Apa-apa yang dapat memberikan bimbingan (hidayah) dalam
kehidupan adalah lebih unggul daripada hal-hal yang memiliki kegunaan amali. Adab
terhadap ilmu akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan dalam
menerapkan sains yang berbeda, di mana pandangan dunia metafisik, prinsip-prinsip etika-
hukum dan kepedulian, membentuk dan membimbing penelitian dan pengembangan
dalam humaniora, sains alam dan sosial serta sains terapan.

179
Al-Attas, “Address of Acceptance of Appointment to the al-Ghazzali Chair of Islamic Thought”, in
Commemorative Volume on the Conferment of the al-Ghazzali Chair (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994), hal. 31.
180
Ibid., hal. 30.
39
Adab terhadap ilmu akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan
dalam mengaplikasikan sains yang berbeda-beda, di mana pandangan alam metafisik,
prinsip-prinsip dan perhatian pada etika-hukum akan membentuk dan membimbing
pelajaran dan pengembangan dari humaniora, ilmu-ilmu sosial, natural dan sains terapan.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut, penghormatan yang tepat kepada para ulama,
peneliti dan guru dalam berbagai bidang yang berbeda adalah merupakan salah satu bentuk
manifestasi adab terhadap ilmu. Menjadi tanda yang jelas dari kebingungan (confusion) dan
hilangnya adab terhadap ilmu secara umum dan terhadap studi agama dan humaniora
secara khusus, apabila metode dalam mengevaluasi kepakaran (professional excellence)
dalam bidang sains natural dan bidang-bidang yang terkait dengan teknologi digunakan
untuk menjustifikasi (menilai) studi agama dan humaniora. Juga merupakan salah satu
indikasi hilangnya adab adalah apabila studi agama, dalam hal ini studi Islam, yang
berdasarkan sumber-sumber wahyu, harus dikategorikan atau ditempatkan di bawah ilmu-
ilmu kemanusian atau sains sosial.

Dalam kaitannya dengan dunia alamiah (natural world), adab berarti kedisiplinan
dari intelek praktis (akal amali) ketika berhubungan dengan program hirarkis yang
mengkategorikan dunia alamiah (world of nature). Manusia seperti itu mampu membuat
penilaian yang tepat terkait dengan nilai sebenarnya dari segala sesuatu (true value of
things) sebagaimana tanda-tanda Allah, sebagai sumber ilmu dan juga sebagai sesuatu
yang berguna bagi perkembangan spiritual dan fisik manusia. Sebagai tambahan, adab
terhadap alam dan lingkungan alamiah (natural alamiah) juga berarti bahwa seseorang
harus menempatkan pepohonan, bebatuan, pegunungan, sungai, lembah dan danau,
binatang dan habitatnya di tempat yang tepat. Adab terhadap bahasa berarti pengenalan
dan pengakuan terhadap tempat yang tepat dan benar dari setiap kata yang ditulis atau
kalimat yang diutarakan sehingga tidak menghasilkan ketidakselarasan (dissonance) dalam
makna, suara dan konsep. Sastra disebut sebagai adabiyat dalam Islam jsutru karena ia
dilihat sebagai penjaga dari peradaban dan kolektor dari pengajaran dan pernyataan yang
mengedukasi diri serta masyarakat dengan adab sehingga diangkat ke dalam peringkat
manusia dan masyarakat yang berbudaya (insan adabi).

Dalam dunia spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap derajat
keluhuran (degree of perfection) yang mengkategorikan dunia ruh (spirit); pengenalan dan
pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual (ruhani) berdasarkan tindakan pengabdian
dan penyembahan; disiplin spiritual yang menghantarkan jiwa fisik atau jiwa kebinatangan
menjadi jiwa yang spiritual atau rasional.181 Maka, tidaklah mengherankan apabila adab
merupakan ‘penampakan’ dari keadilan (‘adl) sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.182
Oleh karena itu, hanya dengan mensintesakan makna ilmu (knowledge), “makna”

181
Risalah, para. 47, hal. 155–157. Cf. Acceptance Speech, hal. 31.
182
CEII, hal. 23.
40
(meaning), dan adab, maka definisi yang lengkap dari pendidikan Islam dapat dipahami
sebagai proses menanamkan adab yang benar yang mencakup tujuan utama, isi dan metode
pendidikan. 183

Oleh karena itu jelaslah bahwa pendidikan sebagai ta’dib adalah berbeda dari hanya
sekedar instruksi atau pelatihan profesional yang mendominasi keseluruhan sistem
pendidikan tinggi kita. Perbedaan antara pendidikan dan pelatihan juga telah dibuat oleh
banyak pendidik yang serius di Barat. Mereka sepertinya khawatir apabila pendidikan
modern lebih memperhatikan pelatihan siswa untuk berbagai jenis profesi namun tidak
berkaitan dengan pendidikan mereka. Pelatihan dapat diterapkan pada manusia dan juga
binatang, namun pendidikan, hanya dapat diberlakukan pada manusia. 184

Keunggulan intelektual dan profesional yang dihasilkan oleh institusi pendidikan


tinggi yang terkenal di dunia sebagai hasil dari jenis pelatihan semacam ini, dianggap
sebagai pendidikan “tanpa jiwa” (soulless).185 Banyak pihak telah mengabaikan perbedaan
mendasar antara pendidikan dan pelatihan karena secara langsung atau tidak langsung
mereka telah menghapus batas ontologis antara manusia dan binatang, suatu kondisi yang
memiliki tujuan-tujuan yang berseberangan (at cross purposes) dengan pandangan alam
Islam (Islamic worldview). Sangatlah membesarkan hati apabila suatu universitas seperti
UTM atau universitas yang lain, meskipun memiliki sifat keteknologian yang tinggi, juga
telah menunjukkan penghargaannya terhadap kebutuhan untuk menyediakan landasan
filosofis bagi pendidikan sains dan teknik serta pelatihan, yang merefleksikan pandangan
alam (worldview) dan sejarah intelektual kita. Keseriusan dan komitmen kepada tugas yang
luar bisa ini, pada bulan Februari 2011, UTM mendirikan Pusat Studi Lanjutan tentang Islam,
Sains dan Peradaban, The Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization
(CASIS). 186

Reintroduksi kreatif konsep ta'dib sebagai konsep pendidikan Islam yang


komprehensif melalui cara yang terintegrasi dan sistematis adalah hal yang penting. Bukan
hanya karena hal tersebut muncul untuk pertama kalinya di dunia Muslim kontemporer,
namun lebih signifikan, ia menyediakan konsep yang otentik, terpadu, dan menyeluruh serta
menyediakan kerangka berfikir (framework) yang kuat bagi pemikiran dan praktik
pendidikan, terutama di tingkat universitas. Di antara para pemikir muslim, di samping al-

183
Ibid., hal. 27.
184
Marjorie Reeves, The Crisis in Higher Education: Competence, Delight and the Common Good (Milton
Keyes, U.K: The Society for Research into Higher Education & Open University Press, 1988), hal. 2-3
185
Harry R. Lewis, Excellence Without a Soul: How a Great University Forgot Education (New York: Public
Affairs, 2006). Prof. Lewis adalah dekan pada Harvard College.
186
Zaini Ujang, New Academia: UTM as a Global Brand (Johor Bahru: UTM Press, 2012); idem, Revitalizing the
Soul of Higher Learning (Johor Bahru: UTM Press, 2013). Pada dua volume itu, Prof Zaini Ujang yang ketika itu
merupakan rektor UTM, bicara tentang usaha UTM untuk menanamkan budaya ilmu yang agung dan
komprehensif, dan melakukan evaluasi prestasi akademik dan kontribusinya baik faktor yang terindra maupun
yang tidak terindra.
41
Attas, M. Fethullah Gulen secara teratur dan (unapologetically) menekankan sentralitas
adab (centrality of adab) dan perkembangan kepribadian manusia secara keseluruhan
sebagai tujuan utama dari pendidikan tinggi. Dia menekankan kepada perkembangan
kepribadian muslim yang merupakan pemikiran dan tindakan kepahlawanan,
mentransformasikan diri sendiri serta komunitasnya serta berusaha membantu umat
manusia secara global. Dengan kata lain, tujuan sesungguhnya dari reformasi spiritual yang
ditawarkan Gulen adalah untuk menciptakan “manusia universal”. Mereka adalah apa yang
ia sebut sebagai, "khalifah di bumi" (warithun al-ardh)187 yang berasal dari Al-Qur'an. 188
Perlu ditekankan bahwa Fethullah Gulen menyamakan adab dengan tasawuf yang benar
(true sufism). 189Adab merupakan konsep spiritual, epistemologis dan etis yang sangat
komprehensif. Konsep adab berakar pada; pertama, adab terhadap Allah dan kemudian
menyebar menjadi adab terhadap diri sendiri dan adab terhadap orang lain. Saya menduga
bahwa adab merupakan salah satu yang dapat menciptakan dan meliputi seluruh atribut
dari “warithun al-ardh” (khalifah di bumi).190

Para sarjana Barat modern yang mencoba untuk memahami ide-ide besar
pendidikan dari beberapa peradaban, setuju bahwa gagasan Yunani “paideia “ atau budaya
pendidikan dan pemahaman mereka tentang manusia berpendidikan (educated man) tetap
merupakan gagasan yang paling komprehensif dan mendalam yang pernah dikembangkan
oleh umat manusia. Namun sesungguhnya makna yang terkandung dalam konsep ‘paideia’
jelas tidak memiliki unsur spiritual yang sangat dibutuhkan. Sebagaimana telah diamati
bahwa filsafat pendidikan Kristen memang memiliki akar spiritual yang jelas, tetapi telah
dibuktikan dalam bagian yang lebih besar dari sejarah intelektualnya, ia tidak menunjukkan
kecenderungan untuk meluas dan konsisten terhadap ilmu-ilmu non-agama. Sarjana
modern telah menemukan bahwa integrasi yang lebih baik antara ilmu-ilmu agama dengan
ilmu atau sains sekuler terdapat dalam konsepsi Muslim dan praktek adabnya. Beberapa
dari mereka bahkan telah menyatakan, banyaknya keuntungan dari adab sebagai
pendidikan par excellence, dapat membantu memecahkan beberapa krisis dalam
pendidikan modern. 191

187
Judul dari bab ke-2 dari bukunya, Statue, hal. 5-10.
188
surah al-Anbiya (21): 105— janji Allah kepada Nabi Musa a.s. dan kepada semua Nabi (wa laqad
katabnafi’l-z-Zabur min ba’di-zikri annal al-ardha yarithuha ‘ibadiya al-salihun (Itulah yang sungguh telah
tertulis dalam Zabur, bahwa hamba-hamba-Ku, orang-orang soleh, akan mewarisi bumi.”
189
M. Fethullah Gulen, Key Concepts in the Practice of Sufism: Emerald Hills of the Heart. 4 Vols. Revised
edition. (New Jersey: Fountain, 2004), 2: 14.
190
Gulen, Sufism, 2: 13-17.
191
Peter Brown, “Late Antiquity and Islam: Parallels and Contrast,” in Barbara Daly Metcalf, ed., Moral
Conduct and Authority: The Place of Adab in South Asian Islam (Berkeley: University of California Press, 1977),
hal. 23-27. For a comprehensive and profound exposition of the Greek idea, see Werner Jaeger’s classic work
Paideia: The Ideals of Greek Culture. English translation by Gilbert Highet, 3 Vols., 2nd Edition (New York and
Oxford: Oxford University Press, 1945).
42
Sedangkan yang lain menyarankan adanya penanaman kesadaran192 dan kesopanan.
193
Para pendukung gagasan (yang semakin populer) dari kewarganegaraan global (global
citizenship), sebagai lawan dari nasional, mengakui adanya dilema antara mengabadikan
sejarah panjang imperialisme budaya Barat, apabila nilai-nilai liberal-demokratis Barat
tersebut dibuat untuk mendominasi dalam menentukan kosmopolitanisme global daripada
non Barat, atau kehilangan sekumpulan nilai-nilai khas Barat jika berbagai pluralisme
budaya tersebut diterima.194 Kebijaksanaan kuno Konfusius mengenai landasan pentingnya
pria dan wanita (chun-tzu) yang benar-benar baik dalam penciptaan dunia yang damai
mungkin masih relevan bahkan sampai hari ini. 195Pemikir Afrika telah berdebat untuk
penanaman “Ubuntu”, yaitu sebuah konsep yang sangat mendasar dalam filsafat Afrika dan
pandangan alamnya (worldview), yang dianggap sebagai "semacam keterkaitan manusia
dan martabat seseorang terhadap orang lain, pertama dalam kelompok budayanya, dan
kedua bagi seluruh umat manusia.” 196

Perkembangan Sosial

Filosofi pendidikan Islam, terutama pada pendidikan tinggi, sangat menekankan


perkembangan individu secara komprehensif tanpa melupakan aspek sosial. Kesatuan
antara unsur individu, sosial, dan kemanusiaan tidak sekedar disebabkan adanya kontrak
sosial ataupun undang-undang, namun bersumber pada sesuatu yang lebih fundamental,
yaitu berasal dari perintah Al Qur’an Surat al-A’raf (7) ayat 172 serta dari makna din (agama
Islam) itu sendiri. Penggunaan orang pertama jamak (dalam “Kami bersaksi” dalam QS. al-
A’raf 172) menunjukkan kesadaran individu dalam hubungannya dengan manusia lain dan
dengan Tuhan.197 Tujuan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia baik/shaleh tidak
berarti menafikan kebutuhan untuk mencetak masyarakat yang baik. Masyarakat terdiri dari

192
Jeffery Sachs, The Price of Civilization: Reawakening Virtue and Prosperity After the Economic Fall (London:
Vintage, 2012), hal. 161-184.

193
Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. Harper Collins e-books, 2008.
Jeffery Sachs, The Price of Civilization: Reawakening Virtue and Prosperity After the Economic Fall (London:
Vintage, 2012), hal. 161-184.
193 See Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. Harper Collins e-books, 2008.
194
Rodrigo Britez and Michael A. Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University”, hal. 365.
195
Confucius, The Great Learning: A Source Book in Chinese Philosophy. Translated by W. T. Chan (Princeton:
Princeton University Press, ), bab. 1, hal. 86; lebih detail, lihat Tran Van Doan, Ideological Education and Moral
Education, dalam Trans Van Doan, Vincent Shen and George F. McLean, eds. Chinese Foundations for Moral
Education and Character Development (Washington, DC: The Council for Research in Values and Philosophy,
1991), hal. 113-153.
196
Y. Waghid and Paul Smeyers, “Reconsidering Ubuntu: On the Educational potential of a Particular Ethic of
Care”, in Educational Philosophy and Theory. Special Issue. African Philosophy of Education. Guest editors,
Yusef Waghid and Paul Smeyers. Vol. 44, No. S2, Sept. 2012, hal. 11; see also in the same journal, the article by
Peter A. D. Beets, “Strengthening Morality and Ethics in Educational Assessment through Ubuntu in South
Africa”, hal. 79-81; and by Lesley Le Grange, “Ubuntu, Ukama and the Healing of Nature, Self and Society”, hal.
56-67.
197
Risalah, para. 13, hal. 40, dan para. 29, hal. 195-106; IS, hal. 69-70.
43
individu-individu. Individu-individu yang baik menyusun terbentuknya masyarakat yang baik.
Individu yang baik merupakan struktur utama masyarakat yang baik.198

Sesosok individu baru memiliki makna ketika ia menyadari keunikannya sekaligus


kesamaannya dengan individu lain di sekitarnya. Sesosok individu menjadi kehilangan
makna saat hidup dalam isolasi, sebab ia tidak lagi menjadi individu, ia menjadi segalanya.
Sebagaimana tertuang dalam penjelasan tentang makna adab, manusia beradab (insan
adabi) adalah individu yang memiliki kesadaran penuh tentang dirinya dan hubungan dirinya
dengan Sang Pencipta, masyarakat, serta segala makhluk ciptaan Allah baik yang kasat mata
maupun yang tidak. Oleh karena itu, menurut Islam, individu yang baik atau manusia yang
baik haruslah juga merupakan hamba Allah yang baik, ayah yang baik, suami yang baik, anak
yang baik, tetangga yang baik, serta menjadi warga negara yang baik. Dalam bahasa Melayu,
civilization memiliki dua arti, yaitu tamadun dan peradaban. Kata peradaban menunjuk
pada kontribusi komprehensif dan lintas-generasi dari manusia-manusia beradab, baik laki-
laki maupun perempuan.

Walaupun masyarakat terdiri dari individu-individu, pendidikan masyarakat tidak


dapat terjadi kecuali ada individu terpelajar dengan jumlah yang cukup. Masyarakat sebagai
sebuah kesatuan memiliki makna yang lebih besar dari sekedar kumpulan individu.199 Oleh
karena inilah, seorang Muslim yang memahami worldview al-Qur’an—walaupun hanya
secara umum—tidak akan mengabaikan tugas sosialnya. Ia tahu bahwa pengadilan Allah di
akhirat terhadap dirinya sebagai individu200 tidak akan terlepas dari kehidupannya di dunia
sebagai bagian dari masyarakat. Penilaian ini tidak akan berpengaruh kecuali sebagai ujian
bagi laki-laki dan wanita yang baik/shaleh. Terkadang, mereka harus menanggung
konsekuensi akibat mengabaikan tugasnya di dunia sebagaimana dituntut oleh agama.201
Tidak diragukan lagi, integrasi dari kualitas spiritual dan etika merupakan makna tertinggi
dari kewarganegaraan dan profesi.202Lebih lanjut, pemahaman dan pelaksanaan tentang
kategori fardlu ‘ain dan fardlu kifayah memastikan kesadaran akan adanya kebutuhan
individu dan kebutuhan sosial. Fardlu kifayah secara jelas menunjukkan hubungan dengan

198
CEII, hal. 25.
199
Al-Attas, Comments on the Reexamination of al-Raniri’s Hujjat al-Siddiq: A Refutation (Kuala Lumpur:
Museum Department, 1975) hal. 104-106.
200
Dalam al-An‘am (6): 164, Allah memerintahkan kepada para Nabi untuk menyampaikan : “Dan tidaklah
seorang membuat dosa, melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
201
Hud (11): 116. Lihat juga penjelasan Fazlur Rahman tentang konsep al-Qur’an atas peradilan akhirat, Major
Themes of the Qur’an (Minneapolis and Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hal. 52-56.
202
J. Douglas Brown, dalam paragraf kesimpulan di bukunya, menulis untuk menekankan kesatuan sosial dalam
pendidikan tentang bagaimana mencetak manusia utuh: “...pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman tentang reaksi manusia, kekuatan analisa, penilaian, dan komunikasi, pengetahuan sejarah, dan
integritas moral dan intelektual merupakan profesi tertinggi.” The Liberal University: An Institutional Analysis
(New York: McGraw Hill, 1969), hal. 237. Hal senada diakui Tonsor: “pendidikan kewarganegaraan terbaik
adalah pendidikan yang mampu mencetak manusia yang bermanfaat bagi masyarakat”. S.Tonsor, Tradition
and Reform in Education (Virginia: Open Court, 1974) hal. 105
44
kehidupan sosial, sedangkan fardlu ‘ain biasanya dianggap tidak memiliki hubungan
langsung. Padahal, kemampuan untuk melaksanakan fardlu ‘ain sangat mempengaruhi
kesuksesan pelaksanaan fardlu kifayah. Hal ini disebabkan fardlu ‘ain membentuk cara pikir
dan prinsip-prinsip motivasi bagi pelaksanaan fardlu kifayah. Fardlu ‘ain tidak dibatasi pada
segelintir ibadah ritual, melainkan mencakup kewajiban-kewajiban yang lebih luas.
Pemilihan aktivitas dalam kategori fardlu kifayah seharusnya tidak menjadi pilihan individu
melainkan memerlukan pemikiran yang adil terkait kebutuhan sosial dan kebutuhan
negara.203 Bahkan, menurut Tibawi, pencapaian individu dalam tradisi pendidikan Islam,
yakni kebahagiaan dunia dan akhirat, dapat dirasakan secara lebih konkret dan lebih
bermanfaat bagi tiap-tiap individu warga negara daripada tujuan sosial yang dihasilkan oleh
konsep negara modern.204

Diskusi ini mengindikasikan tujuan akhir dari Islamisasi sebagai bagian tak
terpisahkan dari perkembangan manusia yang berpusat pada pembinaan adab; mencetak
manusia beradab yang sesungguhnya, sebagai lawan kata dari manusia ‘biadab’. Dari sudut
pandang Islam, munculnya kebiadaban pada kaum muslimin disebabkan faktor eksternal
dan internal. Faktor eksternal disebabkan oleh agama-budaya dan sosial-politik dari
kebudayaan dan peradaban Barat,205 sedangkan faktor internal disebabkan tiga fenomena,
yaitu kebingungan ilmu, keruntuhan adab, dan keberadaan pemimpin-pemimpin yang tidak
berkualitas di segala bidang.206 Namun, keruntuhan adab lah yang harus segera diluruskan
jika kaum Muslimin ingin menyelesaikan persoalan kebingungan ilmu dan kepemimpinan.
Kelurusan adab merupakan syarat untuk mempelajari ilmu. Pelajar wajib memiliki sikap dan
adab yang benar terhadap ilmu dan para ulama.207

Adab merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijaksanaan dan keadilan. Oleh
karena itu, hilangnya adab akan menyebabkan datangnya kebodohan (humq), ektremis
agama maupun sekular, ketidakadilan, kegilaan (junun), dan bahkan terorisme.208 Saat ini
dunia seakan sebuah kampung global. Pendidikan yang mencetak manusia baik, yakni laki-
203
al-Attas, Aims and Objectives, p. 45. Untuk melengkapi diskusi ini, baca buku saya, Educational Philosophy,
bab v.
204
A. L. Tibawi, Islamic Education: Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems (London:
Luzac & Co., 1972), hal. 207.
205
Risalah, paras. 7-9, hal. 12-27.
206
Ibid., para. 153, hal. 178-180.
207
Ibid., para. 53, hal. 180-183; al-Attas, Aims and Objectives, hal. 3.
208
Op. cit., para. 55, hal. 186-187. Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, "Address of Acceptance of
Appointment to the al-Ghazzali Chair of Islamic Thought", in Commemorative Volume on the Conferment of
the al-Ghazzali Chair (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994) hal. 31. Menurut al-Ghazzali, kebodohan (humq), adalah
penggunaan metode yang salah dalam mencapai tujuan yang baik, sedangkan kegilaan (junun) adalah
perjuangan untuk mencapai tujuan yang salah. Dikutip oleh Muhammad Umaruddin, The Ethical Philosophy
of Al-Ghazzali. Edisi cetak ulang tahun 1962 (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1970) hal. 166. Sungguh benar
suatu kegilaan jika tujuan mencari ilmu bukanlah untuk mendapatkan kebahagiaan sejati atau cinta Tuhan
(mahabbah) di dunia ini, sebagaimana dinyatakan oleh agama yang benar, serta untuk mencapai
pandanganNya (ru’yatullah) di akhirat; lihat Al-Attas, The Meaning and Experience of Happiness in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993) hal. 1; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Containing Muslim Extremism and
Radicalism”. Sari: International Journal of the Malay World and Civilization. 28 (1) 2010: 241-252.
45
laki dan perempuan beradab dijamin lebih memberikan manfaat daripada pendidikan yang
sekedar mencetak warga negara yang bermanfaat. Hal ini dikarenakan proyek-proyek
penting, baik ekonomi, pendidikan, maupun politik, semakin mendunia sifatnya. Agenda
nasional justru akan merusak kesuksesan proyek-proyek multinasional. Kemudahan
perjalanan internasional dapat membantu warga dari negara ataupun organisasi yang rusak
untuk mencari tempat hidup yang lebih baik. Perkembangan teknologi IT (internet) telah
menghapus batas-batas nasionalisme, menyebarkan informasi secara tak terbatas—baik
yang baik maupun yang buruk. Banjir informasi ini telah menyebabkan kebingungan yang
luar biasa, serta membawa isi yang membahayakan secara etika, budaya, dan sosial. Kondisi
semacam ini sangat memerlukan individu-individu manusia yang beradab, baik laki-laki
maupun perempuan. Ekonomi global dapat menghancurkan kehidupan jutaan manusia
apabila manusia-manusia dari negara super power mencari keuntungan jangka pendek bagi
dirinya maupun negaranya saja.209

Kesimpulan

Gemuruh dan kemilau janji-janji positif peradaban Barat modern dan globalisasi,
tidak sepatutnya memalingkan kita dari sikap kritis-evaluatif berbagai efek sebaliknya –
bukan hanya terhadap masyarakat non-Barat, tetapi juga terhadap Barat itu sendiri. Di saat
begitu banyak pemikir dan Negara non-Barat yang terus mencurahkan tenaga besar untuk
membangun kerangka kerja (framework) yang lebih baik dan argumentative – jika bukan
untuk masyarakat dunia, setidaknya untuk masyarakat mereka sendiri – umat dan negeri-
negeri Muslim harusnya lebih terdorong untuk menawarkan kontribusi yang otentik dalam
dekolonisasi dan de-westernisasi melalui proses Islamisasi; yang mewujudkan semangat
“dynamic stabilism”. Para pemikir Muslim, pengambil kebijakan, dan kaum professional
dalam seluruh bidang, tidak patut bersikap apologetik atau defensif dalam mengemas
kembali warisan agama dan peradaban mereka. Ini sangat diperlukan untuk memimbing
umat dalam berinteraksi dengan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh modernitas
Barat , tanpa mengabaikan berbagai keunggulan yang bermanfaat, bukan hanya yang
datang , tetapi juga dari bagian dunia lainnya.
Islamisasi, tanpa diragukan lagi, adalah suatu bagian, dan bukan totalitas dari proses
dekolonisasi, de-westernisasi, dan indigenisasi; sebab tidak semua aspek dari agama colonial
dan Barat, budaya, dan elemen-elemen peradaban bersesuaian dengan Islam. Sama hanya;
ini juga bukan suatu indigenisasi yang total; sebab tidak semua aspek budaya tradisional dan
penerapanya, bersesuaian sepenuhnya dengan Islam.

209
Untuk penjelasan lebih lanjut baca artikel saya, “Insan Baik Teras Kewarganegaraan”, hal. 1-24; Untuk
diskusi yang mendalam tentang peran agama dalam pendidikan multikultural dari ilmuwan ternama Rusia,
lihat Marietta Stepanyants, “Challenges for Education in the Age of Globalization.” Dalam Wan Mohd Nor Wan
Daud and Muhammad Zainiy Uthman, eds. Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam; hal.
221-235.

46
Lebih penting, Islamisasi, sebagaimana dijelaskan al-Attas dengan tepat, adalah
proses ganda dari individu manusia dan pembebasan masyarakat dari paham nasionalistik
yang sempit, tradisi mistis dan mitologis; dan kembalinya pada hakikat dan tujuan dirinya
yang asli, menjadi hamba Allah yang sadar dan ridha. Pada tataran individu, Islamisasi
adalah transformasi diri seseorang melalui proses ta’dib secara intelektual-spiritual-etika,
yang mencakup tazkiyyatun nafs, muhasabah, dan mujahadah. Insan adabi yang dihasilkan
dari proses ta’dib ini adalah seseorang yang secara harmonis dapat berinteraksi dengan
social-ekonomi dan keragaman budaya di dunia yang telah mengglobal. Insan adabi yakin
dengan nilai-nilai dan identitasnya, dan juga memahami hak-hak eksistensial dan budaya
dari umat lain sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran dan dijabarkan dalam sunnah Nabi
saw serta para pemimpin yang mendapatkan petunjuk Allah dalam semua bidang. Insan
adabi dapat berinteraksi dengan baik dengan dunia yang plural tanpa kehilangan
identitasnya sendiri; atau menindas hak yang lain meskipun berbeda dalam pandangan alam
dan kerangka epistemic. Berinteraksi dengan berbagai level realitas dengan cara yang tepat
dan benar akan memungkinksannya untuk meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik
di dunia maupun di akhirat.
Pendidikan Tinggi adalah tempat yang paling arkitektonik dan paling strategis untuk
melakukan Islamisasi, yang mengharuskan bahwa perencanaan, muatan, dan metode
pendidikan di Pendidikan Tinggi haruslah merefleksikan kekuatan dan kekonsistenan yang
menekankan adab yang benar terhadap berbagai tingkatan wujud. Jika sebagian besar
insitusi Pendidikan Tinggi kita dalam mengembangkan dalam diri kita adab yang benar dan
memberikannya – serta keterampilan yang diperlukan – kepada seluruh mahasiswa kita juga
yang lain, maka kita berarti telah melaksanakan tugas kita dan pengembangan kembali
peradaban kita dengan baik. Jika universitas kita, insstitusi pelatihan-pelatihan professional
kita, think tanks kita, serta pusat-pusat penelitian unggulan kita, gagal untuk mengemban
tugas ini, maka mereka telah memberikan kontribusi terjadinya “the loss of adab” dalam
bentuknya yang komprehensif; dan memberikan kontribusi munculnya para ahli dan
pemimpin yang secara teknis sangat berkualitas tetapi cacat dalam nilai kemanusiaannya.
Dalam perspektif ini, insitusi-insitusi tersebut telah melakukan kesalahan berupa
pengkhianatan terbesar, bukan hanya kepada kepercayaan umat, tetapi juga kepada dunia
secara keseluruhan, tatkala kerangkakerja yang dominan adalah “menggoda” dan menuju
bunuh diri. Barangkali, ini terkait dengan tingkatan dan karena itu penyalahtempatan
berbagai gagasan, sains, dan masyarakat, dari tempat mereka yang tepat, telah membuat al-
Attas mengajukan pendapatnya bahwa universitas sekuler modern di mana pun adalah
miniature manusia dalam kondisi zalim, yang dipelihara dengan dorongan, elevasi, dan
legitimasi keraguan dan “minimfakta” (conjecture) sebagai perangkat epistemology dalam
penelitian ilmiah. 210
Sistem pendidikan kita, termasuk institusi Pendidikan Tinggi, telah meraih berbagai
tingkat kesuksesan, yang sepatutnya membuat kita berbangga. Tapi, betapa pun, ini tidak

210
Al-Attas, IS, hal. 148
47
sepatutnya menghentikan kita untuk membuat perubahan yang berarti. Wacana dan
implementasi gagasan Islamisasi pada level Pendidikan Tinggi tidak seharusnya terbatas
pada ISTAC-IIUM, atau insitusi lain dengan nama Islam, tetapi juga diterpkan terhadap
seluruh institusi pendidikan tinggi kita lainnya, termasuk insitusi pendidikan di bawah
perusahaan Negara; dengan catatan, ini harus dilaksanakan secara etis dan bertanggung
jawab, dan secara moderat. Sejarah budaya kita, warisan peradaban kita, dan konsitusi kita
yang menenpatkan Islam sebagai agama resmi Persekutuan, merupakan landasan yang
cukup untuk mejalankan proyek ini. Kita tidak sepatutnya membuang lebih banyak waktu
dan sumber daya. (***)

48

Anda mungkin juga menyukai