KELOMPOK 1
2. Agustina Kenden
3. Aprinces Tamauka
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
Adapun makalah yang sederhana ini membahas tentang “Konsep Belajar Sepanjang
Hayat ” makalah ini saya susun agar pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang
Konsep Belajar Sepanjang hayat, yang saya sajikan dengan berdasarkan pengamatan dari
berbagaai sumber, walau sedikit ada rintangan namun dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa, pelajar, Khususnya pada diri
saya sendiri dan semua yang membaca makalah ini, Dan Muda-mudahan Juga dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Demi perbaikan makalah ini, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
DaftarIsi
BAB I Pendahuluan
LatarBelakang
Rumusan masalah
Tujuan
BAB II Pembahasan
B. Konsep dasar
C. Metode antropologi
D. Ruang lingkup
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan aktivitas anak (manusia) yang sangat vital. Dibandingkan dengan
mahluk lain, di dunia ini tidak ada mahluk hidup yang sewaktu baru dilahirkan sedemikian tidak
berdayanya seperti bayi manusia Sebahlknya tidak ada mahkuk lain di dunia ini yang setelah
dewasa mampu menciptakan apa yang telah diciptakan manusia dewasa.
Jika bayi manusia yang baru dilahirkan tidak mendapat bantuan dari orang dewasa,
niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak diajar/ di didik oleh
manusia lain, meskipun bayi yang baru dilahirkan itu membawa beberapa naluri/ instink dan
potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Namun potensi-potensi bawaan
tak dapat berkembang dengan baik tanpa adanya pengaruh dan luar. Usia bukan hanya mahiuk
biologis seperti halnya hewan, tetapi juga mahiuk social budaya. Karena itu manusia
membutuhkan kepandaian yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, dan semua ini hanya dapat
dicapai melalui belajar. Jelas bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia.
Disamping itu dapat dipahami bahwa anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk
belajar, sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua sepanjang kehidupannya.
B. Rumusan Masalah
Aspek-aspek apa saja yang ada pada tahap proses belajar sepanjang hayat ?
C. Tujuan
Menjelaskan aspek-aspek yang ada pada tahap proses belajar sepanjang hayat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan pokok dalam konsep
ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal
seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti
pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti
sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea
tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar
berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan
ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang
sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan
terasing dan generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap
dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya.
►Pengertian Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia selain berarti rancangan, konsep juga
bermakna ide atau pengertian yang di abtraksikan dari peristiwa-peristiwa konkrit atau
gambaran mental dan obyek proses ataupun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal
budi memahami hal-hal lain.Kata konsep dari bahasa inggris (concept), yang berarti bagan,
rencana, gagasan, pandangan, cita-cita (yang telah ada dalam fikiran).
Sedangkan menurut Ibrahim Madkur, kata konsep (Inggnis concept) dipadankan dengan
istilah makna kulli (Arab), yang artinya pikiran (gagasan) yang bersifat umum, yang dapat
menenima generalisasi) Sedangkan dengan makna-makna tersebut, maka konsep yang
dimaksudkan dalam pengertian ini, ialah sejumlah gagasan, ide-ide, pemikiran, pandangan
ataupun teori-teori yang dalam konteks ini dimaksudkan ialah ide-ide, gagasan, pemikiran
tentang belajar sepanjang hayat.
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan
berkesinambungan (continuing-learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-
fase perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase perkembangan pada masing-masing
individu harus dilalui dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembanganya, maka
belajar itu dimulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan bahkan masa tua.
a. Tugas perkembangan masa dewasa awal: Memilih pasangan hidup, bertanggung jawab
sebagai warga Negara, dan berupaya mendapatkan kelompok social yang tepat serta
menarik.
b. Tugas perkembangan masa setengah baya: Bertanggung jawab social dan menjadi warga
Negara yang baik, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu,
menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan pertambahan umur.
c. Tugas perkembangan orang tua: Menyesuaikan din dengan menurunnya kekuatan fisik,
kesehatan dan pendapatan. Menyesuaikan diri dengan keadaan sebagai janda, duda,
memenuhi kewajiban sosial sebagai seorang warga Negara yang baik dan membangun
kehidupan fisik yang memuaskan.
Dengan demikian tugas perkembangan yang harus ditempuh melalui belajar, tidak
hanya dimulai dan masa kanak-kanak, tetapi berlanjut sampai masa dewasa dan masa tua. Jelas
bahwa belajar berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang kehidupan
seseorang.
Secara umum, gerakan belajar sepanjang hayat itu baru dipublikasikan di sekitar tahun
1970, ketika UNESCO menyebutnya sebagai tahun Pendidikan Internasional (International
Education Year). Karena pada tahun itu dilontarkan berbagai isu pembaharuan dalam falsafah
dan konsep tentang pendidikan. Latar belakang munculnya gagasan ini ialah rasa kurang puas
terhadap pelaksanaan belajar melalui sistem sekolah, yang dikatakan memperlebar jurang
antara yang kaya dan yang miskin. Secara eksplisit gagasan ini dilontarkan oleh Paul Lengrand
dalam bukunya yang beijudul An Introduction to life Long Education.
Dari gagasan-gagasan baik melahui pendekatan keagamaan, maupun yang bersifat umum,
dapat dipahami bahwa hakekatnya belajar itu tiada hentinya, terutama bagi orang dewasa dan
orang tua agar mereka dapat mengikuti perkembangan zaman serta penemuan-penemuan
baru di bidang pengetahuan dan teknologi.
1) Dari dimensi psikologis, belajar sepanjang hayat, terutama bagi orang dewasa dan orang tua
dalam situasi belajar mempunyai sikap tertentu. Karena itu perlu diperhatikan hal-hal
berikut: Belajar adalah suatu pengalaman yang diinginkan oleh orang dewasa itu sendiri.
Maka orang dewasa perlu dimotivasikan untuk mencari pengetahuan yang lebih mutakhir,
ketrampilan baru dan sikap yang lain.
2) Orang dewasa belajar kalau ditemukannya arti pribadi bagi dirinya dan melihat sesuatu
mempunyai hubungan dengan kebutuhannya.
3) Bagi orang dewasa proses belajar adalah khas dan bersifat individual. Setiap orang punya
cara dan kecepatan sendiri untuk belajar dan memecahkan masalah. Dengan kesempatan
mengamati cara-cara yang dipakai orang lain, Ia dapat memperbaiki dan menyempumakan
caranya sendiri, agar menjadi lebih efektif.
Memperhatikan situasi belajar bagi orang dewasa tersebut, maka salah satu teori
belajar klasik, yaitu teori psikologi belajar naturalistic atau aktualisasi diri, teori ini berpangkal
dari psikologi naturalistic romantic yang dipelopori Rousseau. Menurut teori ini belajar itu
sebaiknya dilakukan secara wajar di alam bebas, bisa diterapkan pada pendidikan luar sekolah,
terutama untuk belajar seumur hidup.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar bagi peserta didik,
dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut
saling mempengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat
mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan
faktor psikologis.
1). Faktor Fisiologis
3). Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar
siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi
mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong,
memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan
sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku
seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi
ekstrinsik. Motaivasi intrinsic adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan
memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca,
maka ia tidak perlu disuruh- suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi
aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar,
motivasi intrinsic memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsic relatif lebih lama dan
tidak tergantung pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsic
untuk belajar antara lain adalah:
• Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
• Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
• Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang
penting, misalkan orang tua, saudara, guru, atau teman- teman, dan lain sebagainya.
• Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan
lain-lain.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang dating dari luar diri individu tetapi memberi
pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru,
orang tua, dan lain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungan secara positif akan
mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.
4). Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah
istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor
internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi,
karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan
tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik
lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan
dihadapinya atau dipelajarinya.
5). Sikap
6). Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum,
bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk
mencapai keberhasilan pada masa yang akan dating (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar,
Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimilki seorang siswa
untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu
komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai
dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya
sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
Faktor-faktor eksterna
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat
mempengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-
faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non- sosial.
1. Lingkungan Sosial
a).Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat
mempengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat
menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik disekolah. Perilaku yang simpatik dan
dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa
untuk belajar.
b). Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan
mempengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan
anak terlantar juga dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan
ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan
belum dimilkinya.
c). Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar.
Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan
keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan
antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu
siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2. Lingkungan non sosial.
a). Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar
yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang.
Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor- faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas
belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar
siswa akan terlambat.
b). Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama,
hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga dan
lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah,
buku panduan, silabi dan lain sebagainya.
c). Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan
usia perkembangan siswa begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan
kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang
positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan
berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.
2. Memiliki pandangan bahwa belajar hal-hal yang baru merupakan cara logis untuk
mengatasi masalah
5. Percaya bahwa tantangan sepanjang hidup adalah peluang untuk belajar hal baru.
D. Tugas-tugas perkembangan belajar.
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan
berkesinambungan (continuing-learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-
fase perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase perkembangan pada masing-masing
individu harus dilalui dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembanganya, maka
belajar itu dimulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan bahkan masa tua. Bertolak dari
fase-fase perkembangan seperti dikemukakan Havinghurst, berimplikasi kepada keharusan
untuk belajar secara terus menerus sepanjang hayat dan memberi kemudahan kepada para
perancang pendidikan pada setiap jenjang pendidikan untuk:
2. Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan
tugas perkembangannya.
a). Tugas perkembangan masa dewasa awal: Memilih pasangan hidup, bertanggung jawab
sebagai warga Negara, dan berupaya mendapatkan kelompok social yang tepat serta
menarik.
b). Tugas perkembangan masa setengah baya: Bertanggung jawab social dan menjadi warga
Negara yang baik, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu,
menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan pertambahan umur.
c). Tugas perkembangan orang tua: Menyesuaikan din dengan menurunnya kekuatan fisik,
kesehatan dan pendapatan. Menyesuaikan diri dengan keadaan sebagai janda, duda,
memenuhi kewajiban sosial sebagai seorang warga Negara yang baik dan membangun
kehidupan fisik yang memuaskan.
Dengan demikian tugas perkembangan yang harus ditempuh melalui belajar, tidak
hanya dimulai dan masa kanak-kanak, tetapi berlanjut sampai masa dewasa dan masa tua. Jelas
bahwa belajar berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang kehidupan
seseorang.
Beberapa kondisi yang tidak kondusif memang tidak berpengaruh langsung terhadap
kecerdasan seseorang. Akan tetapi jika dibiarkan, potensi seseorang tak mungkin tergali secara
utuh. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kita mesti mengenali beberapa faktor penghambat
perkembangan kecerdasan sekaligus cara mengatasinya.
a. Stres
Stres bisa diartikan sebagai ketegangan fisik dan mental/emosional karena tubuh
memberikan respons terhadap tuntutan, tekanan, dan gangguan yang ada di sekelilingnya.
Stres bisa dipicu kejadian tertentu, selain akibat pengaruh lingkungan. Boleh dibilang stres itu
sendiri bak pisau dibelah dua. Di satu sisi bisa memacu motivasi belajar. Bukan tidak mungkin
dalam kondisi tertentu, stres justru membuat seseorang merasa terpacu untuk belajar akibat
adanya persaingan. Stres yang seperti ini bisa dibilang berdampak positif. Sementara di sisi lain
bisa saja stres menghambat proses belajar.
Dampak negatif muncul jika kadar stres sudah berlebihan (distress). Akibatnya, daya
tangkap menurun. Bisa dipahami, stres yang berlebihan tentu menimbulkan hambatan emosi
yang selanjutnya mengusik kemampuan seseorang menyerap dengan baik informasi maupun
stimulasi dari lingkungannya.
Akibat lebih jauh, proses belajar seseorang mengalami keterlambatan. Jika seharusnya
ia bisa memahami pelajaran sekitar 80-100% dari yang diberikan, maka gara-gara kesal, marah,
dan frustrasi kemampuan belajarnya jadi jauh berkurang. Selain itu, fungsi kerja organ-organ
tubuh anak akan ikut terganggu. Gejalanya berupa beragam gangguan psikosomatis dari sakit
perut, sakit kepala, demam, gatal-gatal, mual, dan sebagainya.
Sejak bayi, orang tua pastilah berusaha merawat dan mengasuh anaknya supaya sehat
dan cerdas. Beragam stimulasi dilakukan agar perkembangan anak bisa optimal. Tindakan ini
awalnya jelas bertujuan baik, tapi jika berlebihan bisa membuat anak stres. Harapan orang tua
yang terlalu tinggi membuat anak mudah frustrasi. Contohnya, bayi usia 6-7 bulan dituntut
untuk belajar berjalan. Alih-alih bisa cepat berjalan, anak malah enggan turun ke lantai.
Begitu juga saat menginjak usia sekolah. Wajar bila orang tua berharap anaknya
menguasai beragam kemampuan. Menjadi tidak wajar jika dalam mewujudkan harapan tadi
orang tua lantas "menggenjot" anaknya mengikuti kursus ini-itu. Tentu tak terlalu jadi masalah
kalau si anak memang berminat sekaligus memiliki kemampuan di bidang tersebut. Akan tetapi
bagaimana jika sebaliknya? Tuntutan dan harapan yang tinggi bahkan kelewat tinggi malah bisa
menjadi bumerang. Salah satunya, motivasi belajar anak merosot atau malah padam sama
sekali.
2). Labeling
Pelabelan merupakan tindakan memberi label atau ciri-ciri pada anak berdasarkan
perilaku, sifat, atau bentuk fisiknya. Contohnya menyebut anak dengan label, si lelet, si nakal, si
malas, si hitam, si cengeng, si payah, dan sebagainya. Sebutan-sebutan negatif seperti itu asal
tahu saja akan menghempaskan kebanggaan diri yang akhirnya membuat anak stres. Ironisnya,
disadari atau tidak, anak yang kerap mendapat label-label negatif justru cenderung berperilaku
sesuai dengan label yang ditempelkan padanya. "Ya saya memang payah. Belajar apa pun toh
enggak akan membuat saya pintar."
Sungguh sayang jika potensi kecerdasan anak tidak terasah gara-gara ulah orang tua
memberi label-label buruk kepadanya. Dampak pelabelan ini akan terasa saat anak menginjak
usia prasekolah. Kenapa? Karena saat itulah anak bisa memahami sepenuhnya makna label
yang diberikan kepadanya. Mulai saat ini, alangkah bijaksananya bila orang tua belajar
menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata yang bisa meruntuhkan harga diri anak.
Yang tak kalah penting, jangan pernah membanding-bandingkan seorang anak dengan
anak lainnya. Contohnya bila si bungsu tak sepintar si sulung. Simpan saja keinginan
berkomentar, "Tiru kakakmu itu lo yang selalu dapat nilai bagus!". Komentar-komentar tak
sedap seperti itu hanya akan mengikis konsep diri anak. Fokuslah hanya pada
kesalahan/kekurangan yang dilakukan anak dan bukan menyerang pribadinya. Kalau tulisannya
kurang bagus, ya ajari bagaimana cara menulis yang benar agar hasilnya baik, tanpa harus
mencapnya dengan sebutan negatif.
Rumah dikatakan sebagai lingkungan kondusif jika seluruh anggota keluarga maupun
sarana fisik yang ada mendukung kegiatan belajar. Lingkungan rumah yang aman dan nyaman
tentu akan membuat anak senang bereskplorasi karena tak ada bahaya / hambatan yang
menghadang. Masalahnya, sering tidak disadari ada beberapa kebiasaan dan kondisi di rumah
yang mengganggu proses belajar anak. Antara lain televisi yang menyala terus, kelewat banyak
menugaskan anak melakukan pekerjaan rumah tangga, serta tidak tersedianya meja belajar dan
kamar bersih dengan penerangan cukup. Hal-hal tersebut pasti berpengaruh terhadap proses
belajar anak.
Lingkungan sosial seharusnya juga memberi dukungan pada proses belajar anak. Jika
orang-orang dewasa di sekitar tempat tinggalnya tidak pernah mengenalkan waktu belajar yang
terarah, juga rutinitas kehidupan yang teratur maka sedikit banyak akan membuat anak jadi
malas belajar. Begitu pula jika anak-anak di lingkungan rumah tidak terbiasa menjalani disiplin
waktu, maka besar kemungkinan anak kita akan terbawa menjadi seperti itu. Terlebih di usia
sekolah, pengaruh teman jauh lebih kuat dibanding pengaruh orang tua. Ia mungkin tak kuasa
menolak ajakan temannya bermain sepanjang waktu, melupakan jam istirahat serta jam
belajarnya.
c. Trauma
Trauma bisa menghambat optimalisasi potensi yang dimiliki anak. Umpamanya, seorang
anak sebenarnya berbakat dalam musik tapi karena ada pengalaman tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kegiatan bidang tersebut, ia akhirnya berusaha menjauh. Bisa karena guru
musiknya yang tak ramah, suasana belajar yang tak menarik, dan sebagainya. Jangan heran
kalau akhirnya potensi musikal si anak jadi tidak berkembang.
Trauma juga bisa muncul akibat kekerasan yang dialami anak (child abuse). Anak yang
sering bersentuhan dengan kekerasan, entah dari orang tua atau sosok terdekat lainnya, sangat
mungkin mengalami hambatan emosi. Tanpa kemampuan mengekspresikan emosi, akan sulit
bagi anak untuk mengembangkan diri.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi trauma, salah satunya dengan
mengubah gaya pendekatan atau cara penyampaian materi. Kalaupun tetap tidak membuahkan
hasil, mau tak mau anak harus dijauhkan dari si sumber trauma.
d. Kejenuhan belajar
Jenuh dalam belajar berarti belajar dalam waktu tertentu tetapi tidak mendatangkan
hasil. Membaca, tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Mendengar, tetapi pendengaran itu
hanya sebatas mendengar saja, tidak merekam, masuk kiri keluar kanan. Singkatnya, ketika
dalam keadaan jenuh, akan sangat sulit untuk mencapai kondisi konsentrasi, artinya tidak ada
kerjasama yang baik antara indra yang terlibat dalam belajar dengan otak.
Muhibbin Syah dalam bukunya yang berjudul Psikologi Belajar menyatakan bahwa
“penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda si pembelajar, karena
keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada pembelajar yang
bersangkutan”. Menghindari keletihan adalah hal yang paling disarankan, agar ketika belajar,
berada pada kondisi yang benar-benar siap belajar. Kemudian jika keletihan telah melanda, apa
yang harus dilakukan atau jika hal itu belum muncul, apa yang bisa dilakukan untuk
menghindarinya. Pada buku yang sama Muhibbin Syah menyarankan beberapa kiat yang dapat
dilakukan, yaitu :
• Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan
takaran yang lebih.
Ketika hendak mempelajari sesuatu, maka perasaan senang dululah yang terlebih
dahulu dimunculkan terhadap subjek yang akan dipelajari. Ketika muncul rasa tidak senang
dalam diri untuk mempelajari sesuatu, maka secara tidak sadar orang tersebut telah
menggerakkan otak untuk menolak segala sesuatu yang berkaitan dengan subjek yang akan ia
pelajari.
Ketika belajar, seharusnya berada dalam keadaan yang rileks dan siap menerima
materi pelajaran. Kondisi ini diibaratkan sebuah gelas kosong siap diisi air. Gelas kosong
tersebut tentunya dalam keadaan tidak terbalik. Jika gelas kosong dalam keadaan terbalik,
maka air yang dikucurkan tidak pernah akan masuk ke dalam gelas. Kondisi gelas yang benar
diibaratkan konsidi psikologis yang siap belajar, siap menerima kucuran ilmu. Sedangkan kondisi
gelas yang terbalik itu diibaratkan kondisi ketika tidak siap belajar, dan tidak akan mendapatkan
ilmu ketika dipaksakan belajar.
Setelah seseorang menyenangi suatu pelajaran, maka tidak berhenti disitu saja. Jika
seseorang berpatokan ketika menyenangi suatu pelajaran, maka ia tidak akan merasa kesulitan
dalam belajar, hal tersebut salah total. Setelah menyenanginya pelajaran tersebut, sebaiknya
harus mencari tahu apa manfaat mempelajari suatu materi pelajaran tersebut. Hal tersebut
meliputi apa yang akan didapatkan jika mempelajari pelajaran tersebut, Apakah pengetahuan
yang didapatkan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Buat sebanyak mungkin
kemungkinan jawaban, semakin banyak jawaban yang dibuat, maka akan semakin
membangkitkan motivasi dalam diri.
Perlu dijelaskan disini, bahwa guru yang baik adalah bukan guru yang jenius. Kita
mungkin pernah mendapatkan seorang guru yang katanya terlalu pintar, sehingga ketika ketika
mengikuti pelajarannya yang terjadi adalah bingung, karena sang guru hanya berbicara dengan
papan tulis. Bukan seperti itu guru yang baik. Guru yang baik justru guru yang dapat
mentransferkan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya. Mentransferkan ilmu yang saya
maksud adalah beliau mempunyai kemampuan untuk membuat anak didiknya menjadi paham
terhadap subjek yang sedang dipelajari.
Ada sebagian siswa yang mendefinisikan guru yang baik adalah guru yang dengan
mudah memberi nilai bagus kepada siswanya. Ini jelas keliru, jika hal ini terjadi, maka sang guru
telah menodai kesucian pendidikan. Nilai hanya sebuah ukuran, dan nilai itu ditentukan oleh
siswa bukan oleh guru. Tugas guru hanya mengolah nilai bukan menentukan nilai. Jadi jika ingin
mendapatkan nilai bagus untuk nilai raport, maka berjuanglah untuk mendapatkan nilai bagus
disetiap ujian.
Selain itu juga kondisi emosional guru, akan mempengaruhi berat tidaknya belajar yang
dilakukan. Ada guru yang oleh sebagian siswa diistilahkan dengan guru ‘killer’. Jika
mendapatkan guru yang demikian, ini akan mengakibatkan kita enggan untuk berurusan
dengannya. Dan akibatnya kita akan cari aman. Belajar dengan guru seperti ini ada untung dan
ada ruginya. Keuntungannya, walaupun terkadang tidak merasakannya adalah kita akan
terpacu belajarnya, karena takut berurusan dengannya. Sedangkan kerugiannya adalah suasana
belajar di kelas yang tegang. Untuk menghadapi hal-hal demikian, berpikir positiflah. Sebab
tidak semua guru berkelakuan demikian, hanya beberapa saja. Jika kita mendapatkan guru
demikian, lihat sisi positifnya saja, jangan diambil pusing.
Tingkat kesukaran subjek yang dipelajari ternyata adalah hal relatif. Maksudnya, jika
menurut kita hal itu adalah sesuatu yang sulit, rumit, memusingkan, maka menurut orang lain
mungkin itu adalah sesuatu yang mudah dan sederhana.
Jika suatu materi pelajaran yang menurut kita sulit, tentunya hal ini disimpulkan setelah
mati-matian mempelajarinya, maka segera lakukan diskusi dengan teman, guru atau siapapun
yang bisa kita ajak diskusi guna memecahkan kebuntuan yang ada.
k. Faktor ekonomi
Banyak saudara kita yang terhimpit beban ekonomi yang kian mencekik, dengan
terpaksa mengorbankan belajar untuk membantu orang tua. Banyak kita saksikan, mereka yang
kekurangan dalam hal ekonomi mempunyai semangat belajar yang sangat tinggi. Ini seharusnya
menjadi pelajaran bagi yang hidup berkecukupan. Jangan sia-siakan setiap kesempatan belajar
yang ada.
BAB 111
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep belajar sepanjang hayat adalah suatu ide atau gagasan yang manyatakan bahwa
belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung secara terus-menerus
sepanjang kehidupan, hal ini sesuai dengan tinjauan psikologis yang menjelaskan bahwa pada
setiap fase perkembangan, setiap individu perlu belajar agar dapat melaksanakan tugas-tugas
pada setiap fase perkembangan tersebut.
Konsep belajar sepanjang hayat berusaha untuk memberikan motivasi kepada mereka
yang telah selesai mengikuti pendidikan sekolah, agar tetap belajar dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupannya dengan memanfaatkan teori kebutuhan dan psikologi belajar
Konsep belajar sepanjang hayat memiliki signifikasi serta relevansi terhadap kualitas
kehidupan individu warga belajarnya. Karena itu konsep belajar sepanjang hayat bila
dihubungkan dengan keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, maka konsep ini
merupakan wahana yang tepat untuk memacu usaha memajukan kehidupan umat.
Makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
www. http//google.com
http://www.masbied.com/2011/02/27/masyarakat-dan-pola-hidup-masyarakat/#more-226
http://dwaney.wordpress.com/2010/07/02/persepsi-sehat-sakit-menurut-lansia/