2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga Panduan Pelayanan Sedasi RSUD Dr. Sobirin
Musi Rawas telah berhasil kami susun. Panduan ini disusun Tim dari Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dan diharapkan dapat menjadi dasar dalam
membuat Standar Prosedur Operasional pelayanan sedasi.
Seiring dengan perkembangan waktu dan semakin dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kesehatan, maka profesi seorang dokter dituntut
untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang prima. Hal ini sesuai
dengan visi RSUD Dr. Sobirin yaitu Rumah Sakit dengan Pelayanan Prima dan
Berkeadilan.
Kami ucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Panduan Pelayanan Sedasi ini. Kritik dan saran demi
perbaikan Panduan ini sangat kami harapkan.
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, keamanan dan kenyamanan pasien menjadi salah satu prioritas
utama pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Semakin berkembangnya prosedur
diagnostik dan intervensi menyebabkan diperlukannya suatu pelayanan sedasi,
terutama untuk pasien yang tidak kooperatif atau pediatri. Keberhasilan dari
pelayanan sedasi adalah pasien merasa nyaman, tanpa rasa sakit, dan
aman.Pelayanan sedasi adalah pelayanan yang diberikan oleh dokter spesialis
anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi
berupa tindakan memberikan obat-obatan golongan sedatif-hipnotik dengan
tujuan untuk membuat pasien dalam kondisi turun kesadaran sampai suatu
kedalaman tertentu.
Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur yang akan
dilakukan. AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan sedasi
menjadi 4 tingkat, yaitu sedasi minimal (anxiolysis), sedasi moderat (conscious
sedation), sedasi dalam, dan anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi
yang dibuat oleh beberapa institusi. Skala sedasi tersebut diantaranya MSAT
(Minnesota Sedation Assessment Tool), SAS (Sedation Agitation Scale), MAAS
(Motor Activity Assessment Scale) UMSS (Univesity of Michigan Sedation Scale),
ATICE (Adaptation to Intensive Care Environment), VICS (Vancouver Interactive
and Calmness Scale), RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS (Richmond
Agitation Sedation Scale). Skala Ramsay sering dipakai di rumah sakit sebagai
suatu standar sedasi.
Dengan diperkenalkannya obat-obatan sedatif-hipnotik, opioid, dan
antidotumnya,serta ketersediaan peralatan pemantauan intensif, maka
pelayanan sedasi sekarang dapat diberikan dengan amandalam pelayanan
kesehatan.
Pelayanan sedasi merupakan suatu proses berkelanjutan karena respon
pasien terhadap obat-obat sedatif-hipnotik yang diberikan tidak sama dan tidak
bisa diperkirakan. Dalam pelaksanaannya prosedur sedasi memerlukan berbagai
persiapan. Persiapan ini dimulai dari persiapan pasien, pemilihan obat-obatan
yang akan dipakai, sampai monitoring selama dan setelah tindakan sedasi, agar
dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya komplikasi.
1
Tujuan untuk dibuat pedoman sedasi pada pelayanan Rumah Sakit
adalah keselamatan pasien, meminimalkan rasa sakit dan kecemasan terkait
dengan prosedur, meminimalkan gerakan pasien selama prosedur,
memaksimalkan kemungkinan keberhasilan dari prosedur, dan pasien dapat
kembali sadar setelah prosedur selesai.
2
BAB II
RUANG LINGKUP
2.1. Definisi
Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana terjadi
penurunan kecemasan, stres, iritabilitas, atau rangsangan yang disebabkan
oleh pemberian obat-obatan sedatif.
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap perintah
verbal. Pasien tidak mengalami gangguan pada sistem respirasi dan
kardiovaskuler, sedangkan fungsi kognitif dan koordinasi dapat
terganggu.
2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan respon yang
bertujuan, terhadap perintah verbal atau stimulasi taktil ringan. Fungsi
kardiovaskuler tidak terganggu. Biasanya tidak diperlukan intervensi
untuk menjaga patensi jalan nafas. Pernafasan spontan adekuat.
Keadaan ini merupakan tingkat sedasi yang paling sering dipakai untuk
berbagai prosedur sedasi.
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi memberikan
respon yang bertujuan terhadap stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi
kardiovaskuler terjaga. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat
terganggu. Ventilasi spontan dapat inadekuat. Pasien memerlukan
bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi penumpulan atau
eliminasi refleks protektif jalan nafas. Pasien tidak dapat dibangunkan,
bahkan dengan stimulasi nyeri. Pasien memerlukan bantuan untuk
menjaga patensi jalan nafas. Tekanan positif mungkin diperlukan karena
terjadi depresi ventilasi spontan. Fungsi kardiovaskuler dapat terganggu.
3
Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi
Sedasi Sedasi moderat Sedasi dalam Anestesi
minimal
(ansiolisis)
Tingkat Respon Memberikan Respon Tidak dapat
responsivitas normal hingga respon bertujuan dibangunkan,
stimulasi bertujuan setelah bahkan
verbal terhadap stimulasi dengan
stimulasi verbal berulang atau stimulasinyeri
atau taktil nyeri
Jalan nafas Tidak Tidak Mungkin Memerlukan
terpengaruhi memerlukan memerlukan intervensi
intervensi intervensi
Ventilasi Tidak adekuat Mungkin inadekuat
spontan terpengaruhi inadekuat
Fungsi Tidak Tidak Biasanya Dapat
kardiovaskuler terpengaruhi tepengaruhi dapat terganggu
dipertahankan
Sumber:Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002.
4
Tabel 2. Skala Sedasi Ramsay
Score Description
1 Anxious and agitated or restless, or both
2 Co-operative, oriented, and calm
3 responsive to commands only
4 exhibiting brisk response to light glabellar tap or loud auditory
stimulus
5 exhibiting a sluggish response to light glabellar tap or loud
auditory stimulus
6 Unresponsive
Sumber:Evaluating and Monitoring Analgesia and Sedation in the Intensive
Care Unit; 2008
2.3. Persiapan
Dokter yang memberikan sedasi mengevaluasi aspek orientasi sedasi
meliputi riwayat medis pasien dan bagaimana hal-hal tersebut
mempengaruhi respon pasien terhadap pemberian sedasi. Hal ini meliputi:
1. Kelainan system organ utama
2. Riwayat efek samping terhadap pemberian sedasi atau anestesi
regional dan epidural
3. Alergi obat, pengobatan yang saat ini dijalani, dan interaksi obat
4. Waktu dan jenis intake oral terakhir
5. Riwayat pemakaian tembakau, alkohol atau obat-obat terlarang
5
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan penatalaksanaan
jalan nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan leher dan struktur
wajah)
Kepala dan leher
Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak hyoid-mental yang
pendek (<3 cm pada dewasa), masa leher, penyakit spinal servikal atau
trauma, deviasi trakea, dismorfik wajah (missal: Sindrom Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus menonjol; gigi
longgar atau capped teeth; dental appliances; palatum melengkung,
tinggi; makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat.
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang signifikan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002
6
2.4. Monitoring
Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang difasilitasi sedasi
bertindak sebagai panduan terhadap tingkat kesadarannya. Skala sedasi
dapat digunakan untuk memonitoring kedalaman sedasi selama prosedur
berlangsung. Peralatan emergensi harus selalu tersedia karena respon
masing-masing individu terhadap obat sedatif-hipnotik berbeda. Dokter yang
memberikan sedasi harus dapat mengantisipasi bila pasien tersedasi lebih
dalam dari pada yang diharapkan.
ASA merekomendasikan sedasi dalam hanya boleh dilakukan oleh dokter
yang kompeten untuk melakukan anestesi umum, karena kemungkinan
pasien dapat masuk ke tingkat sedasi yang lebih dalam.
7
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Vasopresin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa40%
Difenhidramin
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002
8
pengeluaran/dischargedidesain untuk meminimalkan depresi system saraf
pusat dan kardiorespirasi.
9
5. Colour
2 = Normal
1 = Pale or dusky
0 = Cyanotic
Score > 9 for discharge
10
BAB III
FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK
11
Tabel 9. Farmakologi Anestetik Inhalasi
Nitro oksida Halotan Isofluran Desfluran Sevofluran
MAC% 105 0,75 1,2 6,0 2,0
Kardiovaskular
Tekanan darah - ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi - ↓ ↑ -/↑ -
Systemic vascular resistance - - ↓↓ ↓↓ ↓
Cardiac output - ↓ - -/↓ ↓
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju respirasi ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
PaCO2 -/↑ ↑ ↑ ↑↑ ↑
Serebral
Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan intrakranial ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Laju metabolik serebral ↑ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
Kejang ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
Neuromuskular
Blok non depolarisasi ↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑
Renal
Aliran darah renal ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi glomerulus ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Urine output ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Hepar
Aliran darah ↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓
Metabolisme 0,004% 15-20% 0,2% <0,1% 5%
Sumber:Inhalation Anesthetics. Dalam: Morgan’s Clinical Anesthesiology; 2006
12
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem
saraf pusat terutama di korteks serebri. Ikatan reseptor-
benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi beberapa
neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan minimal
terhadap jantung. Tekanan darah, curah jantung, dan resistensi
vaskuler perifer sedikit menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini
tidak signifikan bila obat tidak diberikan secara intravena atau
bersamaan dengan depresan lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah
otak, dan tekanan intrakranial. Benzodiazepin sangat efektif
dalam mencegah dan mengontrol kejang grand mal. Mempunyai
efek amnesia.
c. Dosis:
- Midazolam peroral 0,5 mg/kg, maksimal 15 mg
- Clobazam peroral 5-15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari
- Diazepam peroral 5 mg, 2x sehari
- Alprazolam peroral 0,25-0,5 mg, 2-3x sehari
- Lorazepam peroral 1-2 mg, 1-2x sehari
13
3.2.2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga
batas maksimal. Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin,
meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun
gagal menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun
tidak dapat menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal.
Contoh: buprenorfin, pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan
berbagai subtipe reseptor dan menghasilkan stimulasi
subtipe reseptor yang berbeda-beda (bisa agonis atau
antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa, delta,
sigma) yang teletak di sepanjang sistem saraf pusat dan jaringan
lain. Aktivasi reseptor opioid menghambat pelepasan presinaptik
dan respon postsinaptik terhadap neurotransmiter eksitasi
(misalnya asetilkolin, substansi P) dari neuron nosiseptif.
Mekanisme seluler dari neuromodulasi ini melibatkan perubahan
konduksi ion potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek
sedasi, opioid sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi
kardiovaskuler, vagus mediated bradicardia, penurunan tekanan
darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic drive
menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah
serebral, dan tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung dengan
mengurangi peristaltik, spasme bilier, mual dan muntah.
14
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan
histamindan menghasilkan metabolit yang aktif.
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen nyeri
sedang sampai berat. Morfin memiliki onset yang lebih lambat
dan durasi yang lebih panjang (4-5 jam).
Morfin: bolus 0,01-0,2 mg/kg iv, infus 10-50 μg/kg/jam
Meperidin: bolus 0,1-1 mg/kg iv
Fentanil: bolus 1-3 μg/kg iv, infus 0,01-0,05 μg/kg/menit
Sufentanil: bolus 0.1-0,3 μg/kg, infus 0,0015-0,01 μg/kg/menit
Kodein peroral 15-60 mg dapat diulang setiap 4 jam, maksimal
360 mg/hari
Tramadol peroral 25-100mg setiap 4-6 jam, maksimal 400
mg/hari.
e. Naloxon
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon berikatan
dengan reseptor opioid namun tidak mengaktivasi reseptor
tersebut. Dosis intravena (vial 0,4 mg/ml diencerkan menjadi
0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit sampai tercapai
ventilasi yang adekuat dan sadar penuh.
3.2.3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat,
diantaranya memblok refleks polisinaptik pada corda spinalis dan
menghambat efek neurotransmiter eksitasi pada daerah tertentu
di otak. Ketamin mendisosiasi talamus (yang menghantarkan
impuls sensorik dari reticular activating system ke korteks
serebri) dari korteks limbik (termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis,
meningkatkan tekanan darah, laju nadi, dan curah jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator poten.
15
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah
serebral, dan tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20 menit
d. Dosis subanestetik: 0,1-0,5 mg/kg iv
3.2.4. Propofol
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang
digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi serta sedasi
kerja singkat (10-15 menit). Propofol sangat larut pada lipid dengan
sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi
oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler
perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas
jantung dan preload. Perubahan terhadap laju nadi dan curah
jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu.
Pada dosis subanestetik, infus propofol menghambat hypoxic
ventilatory drive dan mendepresi respon terhadap hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah
serebral, dan tekanan intrakranial. Mempunyai efek antiemetik.
c. Dosis propofol bolus 0,25-1 mg/kg iv, infus 25-75 μg/kg/menit
3.2.5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif yang
bekerja secara sentral yang mempunyai efek sedasi dan
analgetik. Dexmedetomidin mempunyai onset yang cepat (1-3
menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat ini dimetabolisme di
hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi jangka
pendek (<24 jam)
16
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit, infus
0,2-0,7 μg/kg/jam
17
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi,
aritmia atrial atau ventrikel, torsades de pointes, depresi
kontraktilitas miokard dan memperpendek periode refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan refleks
batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia, mimpi
buruk, vertigo, sakit kepala, malaise. Reaksi idiosinkratik jarang
terjadi (halusinasi, delirium, disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare, nyeri
perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur
biasanya selama 30 sampai 60 menit.
Opioid
Morfin 0,01-0,2 mg/kg IV
10-50 μg/kg/jam IV
Meperidin 0,1-1 mg/kg IV
Fentanil bolus 1-3 μg/kg IV
0,01-0,05 IV
μg/kg/menit
Sufentanil 0.1-0,3 μg/kg IV
0,0015-0,01 IV
μg/kg/menit
Kodein 15-60 mg* PO
Tramadol 25-100 mg* PO
18
Naloxon 0,5-1 μg/kg IV maksimal 360 mg/hari
maksimal 400 mg/hari
vial 0,4 mg/ml
diencerkan menjadi
0,04 mg/ml, dapat
diulang setiap 5 menit,
maksimal 4 gr
Ketamin 0,1-0,5 mg/kg IV
Propofol 0,25-1 mg/kg IV
25-75 μg/kg/menit IV
Dexmedetomidin 1 μg/kg iv IV
0,2-0,7 μg/kg/jam IV
Kloral hidrat 50 mg/kg PO/
PR
*Dosis dewasa
19
BAB IV
DOKUMENTASI
Aldrete Score
1. Activity
2 = able to move 4 extremities voluntary or on command
1 = able to move 2 extremities
0 = unable to move extemities
2. Respiration
2 = Able to take deep breath and cough
1 = Dypnea/ shallow breath
0 = Apnea
3. Circulation
2 = BP + 20 mmHg of pre operative
1 = BP + 20-50 mmHg of pre operative
0 = BP + 50 mmHg of pre operative
4. Consciousness
2 = fully awake arousable on calling
1 = arousable on calling
0 = No responding
5. Colour
2 = Normal
1 = Pale or dusky
0 = Cyanotic
Score > 9 for discharge
20
Post Anesthetic Discharge Scoring System PADSS
1. Vital Signs
2 = BP + pulse within 20% preoperative baseline
1 = BP + pulse within 20% to 40% preoperative baseline
0 = BP + pulse >40% of preoperative baseline
2. Activity
2 = stedy gait, no dizziness or meets preoperative level
1 = require assistance
0 = unable to ambulate
3. Nausea and vomiting
2 = minimal/treated with PO medication
1 = moderate/treated with parenteral medication
0 = severe/continues despite treatment
4.Pain
Controlled with oral analgesics and acceptable to patient:
2 = yes
1 = no
5. Surgical bleeding
2 = minimal/no dressing changes
1 = moderate/up to two dessing changes required
0 = severe/more than three dressing changes required
Score > 9 for discharge
21
Informed Consent
22
Form Sedasi
23
Form Sedasi
24
DAFTAR PUSTAKA
The Royal College of Anaesthetists and The College of Emergency Medicine. Safe
Sedation of Adults in the Emergency Department; 2012.
Schneider PJ. Sedation Therapy: Improving Safety and Quality of Care. Sixth Conference
Center for Safety and Clinical Excellence. San Diego; 2005
American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists. Anesthesiology; 2002.
Barash et al. Post Anesthesia Recovery. Clinical Anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesia.
Edisi ke-6. Lippincott; 2009.
Sessler CN, Grap MJ, Ramsay MAE. Evaluating and Monitoring Analgesia and Sedation
in the Intensive Care Unit. BioMed Central; 2008.
Marino PL. Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book. Edisi ke-3. Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
Malviya S, Lewis TV, Tail AR. A Comparison of Observational and Objective Measures to
Differentiate Depth of Sedation in Children from Birth to 18 Years of Age. Anesth Analg;
2006; 102:389-94.
Khan et al. Comparison and Agreement Between the Richmond Agitation-Sedation Scale
and the Riker Sedation-Agitation Scale in Evaluating Patients’ Eligibility for Delirium
Assesment in the ICU. Chest; 2012; 48-54.
Elliot D, Aitken L, Chaboyer W. Psychological Care. Dalam: ACCCN’s Critical Care
Nursing. Edisi ke-2. Elsevier Australia; 2012.
Schweickert WD, Kress JP. Strategies to Optimize Analgesia and Sedation. Critical Care;
2008.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Inhalation Anesthetics. Dalam: Morgan’s Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam: Morgan’s
Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Adjuncts to Anesthesia. Dalam: Morgan’s Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Barash PG, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Clinical Anesthesia. Edisi ke-6.
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
Miller RD, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Miller’s Anesthesia. Edisi ke-7. Elsevier;
2010.
Wathen JE, Upshaw G. Procedural Sedation and Analgesia of the Pediatric Patient.
Dalam: Anesthesia Secrets. Edisi ke-4. Elsevier; 2011; 463.
Concise International Chemical Assessment Document. Chloralhydrate. World Health
Organization; Geneva; 2000.
25