Anda di halaman 1dari 26

PENGGUNAAN MADU SEBAGAI ALTERNATIF PERAWATAN LUKA

YANG EFEKTIF

Madu merupakan zat yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sebagaian
besar masyarakat mengenal madu sebagai bahan makanan. Padahal banyak sekali
manfaat madu, di antaranya dalam bidang kesehatan sebagaimana yang dinyatakan dalam
Alquran bahwa madu dapat digunakan sebagai obat.
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-
pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia," kemudian makanlah dari tiap-
tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan
(bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam
warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang
yang memikirkan. (QS. An Nahl, 16:68-69)
Penjelasan tentang madu ini merupakan potongan ayat-ayat dalam Al quran. Ayat ini
memberikan berita pada manusia bahwa madu yang keluar dari perut lebah dan
bermacam-macam warnanya ini sebenarnya mempunyai khasiat obat yang
menyembuhkan.
Salah satu kasus yang membuktikan adanya khasiat dari madu adalah kejadian yang
dialami oleh seorang remaja Inggris yang menderita infeksi pada darah yang
menyebabkan kakinya harus diamputasi. Pengobatan yang telah dilakukan sebelumnya
tidak berhasil. Akhirnya dicoba pengobatan dengan madu yaitu kakinya diolesi Madu
Manuka. Ternyata madu tersebut berhasil mengurangi jumlah bakteri secara cepat, dan
setelah sepuluh minggu pemuda tersebut berhasil sembuh total dan kakinya tidak jadi
diamputasi. Kasus ini dilaporkan pada 6 April 2000 di Nursing Times (Anonim, 2000,
http://healthychoice.epnet.com/GetContent.asp?
siteid=csmary&docid=/healthy/alternative/2000/honey/GetContent.asp?
siteid=csmary&docid=/healthy/living/contrib, diakses pada tanggal 20 Februari 2009).
Sebenarnya manusia dengan kecerdasan berpikirnya telah berupaya menguak zat yang
terkandung dalam madu serta fungsinya melalui berbagai penelitian dan percobaan. Pada
tahun 1933 Philip menyebutkan penggunaan madu untuk luka bakar dan menjelaskan hal
ini sebagai balutan luka yang terbaik. Pada tahun 1937 Voigtlander menggunakan madu
untuk menyembuhkan luka bakar dan menggunakannnya untuk mengurangi nyeri dengan
sensasi menyejukkan dari madu. Studi pada model binatang telah mendemonstrasikan
bahwa madu lebih mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi inflamasi daripada
pengontrolan bebas infeksi pada luka bakar superfisial dan luka dalam serta pada luka
yang telah terinfeksi Staphylocoocus aureus. Laporan kasus lain juga menyebutkan
bahwa luka bakar tidak berespon dengan pengobatan konvensional, tetapi dapat pulih
ketika menggunakan balutan madu. Sebuah studi retrospektif selama 5 tahun (1988-1992)
pada 156 pasien luka bakar yang dirawat di rumah sakit menyebutkan bahwa 13 pasien
yang diobati dengan madu memiliki hasil yang sama dengan yang disembuhkan dengan
silver suphadiazine (Subrahmanyam, 2007).
Khasiat madu yang telah diwahyukan dalam Alquran merupakan pemicu bagi penulis
untuk mengangkat karya tulis bertopikkan madu. Penulis perlu melakukan eksplorisasi
terhadap manfaat madu sebagai bahan perawatan luka melalui penelitian-penelitian yang
telah dilakukan terhadap madu ini. Ternyata madu mempunyai banyak potensi terapeutik.
Sampai saat inipun penelitian tentang potensi terapeutik madu masih terus berlanjut.
Penelitian-penelitian yang terus berlanjut ini menunjukkan bahwa masih ada rahasia-
rahasia madu yang harus dikuak oleh manusia. Begitu banyaknya manfaat yang
dikandung oleh madu menunjukkan betapa sangat bergunanya madu ini bagi kehidupan
manusia.

A.Sejarah penggunaan madu sebagai obat luka


Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis, yang dihasilkan oleh
lebah madu dari sari bunga tanaman atau bagian lain dari tanaman atau ekskresi serangga
(Badan Standardisasi Nasional, 2000).
Pengobatan dengan madu telah dikenal orang Mesir sejak 2600 sebelum masehi. Madu
digunakan sebagai obat antiseptik untuk mengobati luka oleh bangsa Yunani, Romawi,
Assyria, dan Cina kuno. Bangsa Jerman pun memakainya ketika Perang Dunia II
(Sarwono, 2001). Penggunaan madu sebagai obat luka infeksi telah dilakukan semenjak
2000 tahun lamanya sebelum ditemukannya bakteri sebagai penyebab infeksi (Gunther,
1959).
Penelitian tentang pemanfaatan produk lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof.
R. Chauvin dari Universitas Sorbone, Perancis (Apiari Pramuka, 2003 dalam Peri, 2004).
Penelitian-penelitian selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil
menguraikan
berbagai manfaat madu, salah satunya di bidang kesehatan. Madu telah dilaporkan
mempunyai efek inhibitor sekitar 60 spesies bakteri meliputi bakteri aerob dan anaerob,
gram positif dan gram negative. Efek antifungal juga telah diobservasi pada beberapa
jamur serta spesies aspergillus dan penicillium (Molan, 1992).

B.Komposisi dan Kandungan Madu


Zat-zat makanan yang terdapat dalam madu sangat kompleks dan diketahui terdapat 181
macam senyawa dalam madu (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam
http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu). Menurut hasil riset yang dilakukan
Pusat Perlebahan Apiari Pramuka madu diketahui mengandung 24 macam zat gula (Peri,
2004), 3 macam gula sebagai komponen utamanya adalah fruktosa (41%), glukosa (35%)
dan sukrosa (19%) (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam
http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu), disamping mengandung zat ferment,
vitamin, mineral, asam, asam-asam amino, hormon, zat bakterisidal, dan bahan-bahan
aromatik (Peri, 2004). Di dalam madu terdapat 18 mineral esensial dan 19 mineral non-
esensial (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam
http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu). Beberapa mineral penting dalam
madu adalah natrium, kalsium, magnesium, tembaga, mangan, besi, kalium, dan fosfor
dengan kadar mendekati komposisi mineral darah manusia. Sedangkan vitamin dalam
madu diantaranya vitamin B1, B2, K, dan C. (http://www.info@clickwok.com). Kualitas
madu ditentukan antara lain oleh warna, rasa, kekentalan, aroma dan kadar air. Rasa,
aroma dan warna madu sangat ditentukan oleh bunga sumber nektar yang dikumpulkan
lebah pekerja (Ruswati dan Rusfidra, 2008 dalam
http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu)..
Energi yang dihasilkan tiap 100 g madu rata-rata 294-328 kalori. Nilai kalori 1 kg madu
setara dengan 50 butir telur, 24 buah pisang, 40 buah jeruk, 5,7 liter susu, atau 1,68 kg
daging (Majalah Kehutanan Indonesia, 2002).

C.Madu sebagai Antimikrobial


Madu dikenal memiliki efek antibakteri spektrum luas serta antifungal. Adapun yang
menjadikan alasan mengapa madu memiliki efek tersebut adalah sebagai berikut:
a.Efek osmotik madu
Konsentrasi gula yang tinggi menarik air keluar dari organisme sehingga membuat
organism ini dehidrasi dan menyebabkan sel mati. Potensi antibacterial pada madu
pertama kali ditemukan pada tahun 1892 oleh Van Ketel. Potensi antibakterial ini sering
diasumsikan berkaitan erat dengan efek osmotik dari kandungan gula yang tinggi pada
madu (Green, 1988). Madu sebagaimana sirup gula yang terlarut mempunyai osmolaritas
yang cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Chirife, 1983), tetapi jika
digunakan sebagai lapisan kontak pada luka, pengenceran oleh eksudat luka mengurangi
osmolaritasnya pada tingkat yang dapat menhentikan control infeksi (Herszage, 1980).
Walaupu n demikian, luka yang terinfeksi dengan staphilococcus aureus cepat dibuat
steril oleh madu (Armon, 1980). Madu mempunyai aktivitas antibacterial tingkat medium
untuk mencegah pertumbuhan staphilococcus aureus jika diencerkan 7-14 kali dari titik
dimana osmolaritasnya tidak mampu menjadi inhibitor lagi (Cooper, 1999).
Fakta bahwa efek antibacterial madu meningkat jika diencerkan telah terobservasi dengan
jelas dan dilaporkan pada tahun 1919 (Sackett, 1919). Penjelasan dari hal ini berasal dari
penemuan bahwa madu mengandung enzim yang mampu memproduksi hydrogen
peroksida ketika diencerkan (White, 1963). Agen ini pada awalnya lebih dikenal sebagai
“inhibine” untuk mengidentifikasinya sebagai peroksida hydrogen (Dold, 1937).
Hal yang penting dari aktivitas antibakteri madu adalah ketika efek terapeutik madu ini
dibandingkan dengan gula. Dalam studi eksperimen yang dilakukan pada luka bakar yang
diciptakan di kulit babi, ada lebih sedikit koloni bakteri yang terlihat pada luka yang
diberi madu jika dibandingkan dengan luka yang diberi gula, lebih sedikit pustula mikro
pad neoepidermis, dan lebih sedikit bakteri yang terlihat dalam eschar pada luka yang
diobati dengan madu. Sebuah laporan kasus klinik juga melaporkan adanya luka tekan
dalam yang berespon terhadap bermacam-macam pengobatan, termasuk pembalutan
dengan gula, tetapi dapat sembuh total dalam waktu 6 minggu ketika dibalut dengan
madu (Hutton, 1966)
Madu juga menyediakan glukosa untui leukosit yang esensial untuk pembakaran
respiratori yang menghasilkan hydrogen peroksida sebagaimana senyawa ini adalah
komponen dominan untuk aktivitas antibakteri pada makrofag. Selanjutnya pembakaran
respiratori ini menyediakan substrat juga untuk glikolisis yang merupakan mekanisme
utama dalam produksi energi dalam makrofag, dan hal ini memungkinkan energy untuk
difungsikan bagi pemulihan sel yang rusak. Area yang mempunyai suplai oksigen yang
baik juga menyebabkan produksi eksudat yang rendah (Clotho Corp: U.S. Distributors of
New Zealand Manuka Honey.
http://www.purezing.com/living/wellness_articles/living_articles_honeywounds.html).
b.Keasaman madu
Keadaan asam ini menghambat pertumbuhan bakteri. Madu bersifat sangat asam dan
memiliki Ph antara 3 dan 4 yang dapat disamakan dengan keasaman jus jeruk atau
sekaleng koka kola. Bakteri akan terbunuh dalam lingkungan asam seperti ini. Namun,
jika madu diencerkan (misalnya pada saat pengeluaran cairan tubuh dari luka), keasaman
madu menjadi berkurang, menyebabkan bakteri dapat berkembang kembali (Anonim,
http://www.biotechlearn.org.nz/focus_stories/honey_to_heal/how_honey_heals_wounds).
c.Aksi dari hidrogen peroksida
Senyawa ini juga menghambat pertumbuhan bakteri. Walaupun hidrogen peroksida
terdapat pada madu, tetapi senyawa ini hanya teraktivasi ketika madu diencerkan
(Bunting, 2001).
Hidrogen peroksida terkenal sebagai agen antimikroba, pertama kali dikenalkan sebagai
antibakteri dan properti pembersih dalam praktek klinik (Turner, 1983). Pada akhirnya
senyawa ini tidak digunakan sebagaimana dikenalkan karena menyebabkan inflamasi dan
merusak jaringan (Saissy, 1995). Walaupun demikian, konsentrasi hidogen peroksida
yang dihasilkan madu ketika teraktivasi saat pengenceran hanya sekitar 1 mmol/l (Molan,
1992), atau sekitar 100 kali lebih kecil daripada larutan 3 % yang biasa digunakan
sebagai antiseptik. Efek membahayakan dari hydrogen peroksida jauh berkurang karena
madu mengisolasi dan membuat besi bebas menjadi inaktif yang mengkatalis formasi
radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh hydrogen peroksida (Bunting, 2001).
Komponen antioksidan ini juga membantu membersihkan radikal bebas oksigen (Frankel,
1998). Studi pada model binatang mendemonstrasikan bahwa madu mengurangi
peradangan (dilihat dari sisi histologi), jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
bervariasi dengan luka bakar dalam dan superficial dan juga pada luka dalam (Oryan,
998).
Walaupun kadar hidrogen peroksida pada madu sangat kecil, kadar ini masih efektif
sebagai agen antimikroba. Studi dengan Escherichia coli yang dipaparkan secara konstan
dengan hidrogen peroksida menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri menjadi terhambat
oleh hidrogen peroksida 0,02-0,05 mmol/l, konsentrasi yang tidak berbahaya bagi sel
fibroblast pada kulit manusia (Hyslop, 1995).
d.Aksi dari phytochemical
Phytochemical (senyawa kimia tumbuhan) dikenal sebagai faktor antibacterial non
peroksida. Senyawa ini secara alami terdapat pada nectar bunga yang dikumpulkan oleh
oleh lebah madu. Sebagai contohnya pada madu yang didapat dari bunga pohon manuka
New Zealand lebih berpotensi dalam membunuh bakteri. Karena molekul dari senyawa
ini belum teridentifikasi secara pasti maka sifat madu ini dinamakan faktor manuka yang
unik (Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-
outlines-evidence.html).
e.Madu menciptakan lingkungan penyembuhan yang lembab. Hal ini memungkinkan sel
untuk tumbuh kembali yang ditandai dengan permukaan luka yang memerah. Kondisi ini
dapat mencegah deformitas pada kulit. Jika terbentuk lapisan luar luka yang kering, sel
kulit hanya dapat tumbuh pada luka yang lebih dalam dari daerah yang lembab saja.
f.Madu menyebabkan lapisan luar luka yang kering (keropeng) dan sel-sel mati terlepas
dari permukaan luka, menciptakan sebuah lingkungan luka yang sehat dimana terjadi
pertumbuhan kembali jaringan (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
g.Madu menstimulasi pertumbuhan jaringan dalam proses penyembuhan luka. Madu
memicu pembentukan kapiler darah yang baru dan pertumbuhan fibroblast yang
menggantikan jaringan penyambung pad lapisan kulit yang lebih dalam serta
menstimulasi produksi serat kolagen yang memberikan kekuatan pada perbaikan
jaringan. Madu juga memicu pertumbuhan sel epitel yang membentuk kulit baru
menutupi seluruh luka yang sembuh. Madu jug mencegah pembentukan keropeng dan
jaringan parut (keloid), sehingga menghilangkan kebutuhan untuk cangkok kulit
walaupun pada luka yang sangat lebar (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
h.Madu tidak merekat pada dasar jaringan luka sehingga sehingga tidak menimbulkan
sakit pada saat balutan diganti (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
i.Kandungan gula yang tinggi pada madu akan menarik keluar cairan limfe pada luka
sehingga dapat yang mengangkat kotoran keluar dari area luka (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
j.Madu mencegah timbulnya bau yang biasanya ditemukan pada luka yang parah dan
ulcer pada kulit. Madu dapat mencegah timbulnya bau dengan membersihkan infeksi luka
dengan lebih cepat dengan menyediakan lingkungan gula untuk bakteri yang ada. Pada
kondisi lingkungan seperti ini akan terbentuk asam laktat walaupun juga bau sebagai
hasil dari degradasi protein (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).
k.Madu dengan cepat dapat membersihkan infeksi dari luka. Kemampuan madu ini
dangat efektif bahkan untuk strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu tidak
seperti antiseptik atau antibiotik, madu tidak menyebabkan kerusakan pada proses
penyembuhan luka melalui efek samping (Johnson, 1999.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html).

D.Efek Antiinflmasi
Bukti histologi dari pengurangan jumlah inflamasi sel pada luka yang dibalut dengan
madu berasal dari studi pada 61 luka bakar dalam dan 25 luka bakar superficial
sebagaimana halnya dengan luka dalam (Postmes, 1997). Studi ini menyimpulkan bahwa
pengurangan inflamasi pada luka berkaitan dengan komponen antiinflamasi madu, dan
tidak hanya berkaitan dengan efek pembersihan dan debridement luka yang dihasilkan
oleh madu .
Walaupun inflamasi adalah bagian utama dari respon normal tubuh terhadap infeksi atau
perlukaan, inflamasi yang berlebihan dan terus berlanjut dapat mencegah penyembuhan
atau bahkan menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Penekanan inflamasi,
layaknya pengurangan nyeri pada pasien, menurunkan dilatasi pembuluh darah, yang
akan mengurangi edema dan eksudat. Tekanan pada jaringan akibat sekunder dari edema
menghambat aliran darah dalam kapiler (Chant, 1999), menyebabkan kelaparan jaringan
akan oksigen dan nutrisi yang vital untuk leukosit dalam melawan infeksi dan untuk
pembelahan fibroblast dalam penyembuhan luka. Akhirnya, penyembuhan terganggu
karena pembengkakan jaringan menghalangi difusi oksigen dan nutrisi dari kapiler ke
sel-sel (Sinclair, 1994).
Konsekuensi yang lebih serius dari inflamasi yang berlebihan adalah produksi jenis
oksigen reaktif (radikal bebas) dalam jaringan, yang merupakan produk samping dari
aktivitas fagosit dalam proses inflamasi. Radikal bebas reaktif ini dapat memecah protein,
asam nukleat, dan lipid pada membran sel, membahayakan atau merusak jaringan. Jenis
oksigen reaktif juga menarik lebih bayak leukosit ke area inflamasi sebagai penguatan
diri dari respon inflamasi (Flohe dkk, 1985). Mekanisme penguatan diri ini selanjutnya
menyebabkan aktivasi proteolitik.
Walaupun hydrogen peroksida pada madu dapar berpotensi menyebabkan inflamasi,
tetapi senyawa diproduksi dalam kadar yang sangat rendah. Antioksidan yang terdapat
pada madu juga membantu mencegah inflamasi. Antioksidan ini merupakan jenis
oksidatif yang terbentuk dari hydrogen peroksida.
Penjelasan mengenai madu ini memberikan gambaran akan kelebihan-kelebihan madu
dibanding dengan bahan perawatan luka yang lain. Madu ternyata lebih efektif dalam
buat steril luka infeksi dan lebih efektif juga dalam membantu proses penyembuhan luka.
Alasan ini cukup kuat digunakan sebagai dasar penggunaan madu sebagai bahan
perawatan luka.

E.Perawatan luka dengan bahan selain Madu


Perawatan luka trauma (injuri) seperti lecet diawali dengan membersihkan luka dengan
normal saline 0,9 %, kemudian diolesi salep luka atau sesuai resep. Luka biasanya akan
mongering 2 sampai 3 hari selanjutnya. Luka trauma yang lebih dalam dan mengalami
inflamasi di sekitarnya memerlukan balutan kassa setelah diolesi dengan salep luka atau
sesuai resep. Balutan kemudian difiksasi dengan plester dan secara teratur dilakukan
pergantian balutan sesuai kebutuhan.
Pada luka bakar dengan kondisi yang melepuh dapat dilakukan perawatan dengan
pertama kali dicuci NaCl 0,9 % dan oleskan dengan salep luka atau sesuai resep yang
menutup seluruh area luka. Luka kemudian dibalut dengan kassa dan plester. Balutan
kemudian difiksasi dengan plester dan secara teratur dilakukan pergantian balutan sesuai
kebutuhan.
Luka dekubitus atau pressure ulcer merupakan luka yang cukup ditakuti oleh pasien-
pasien dengan immobilisasi. Setelah luka dicuci dengan normal saline 0,9%, kemudian
dioleskan salep luka atau sesuai resep pada kasa kemudian tutup rapat. Balutan diganti
jika rusak atau sesuai kebutuhan (Anonim, 2008.
http://metcovazin.blogspot.com/feeds/posts/default).

F. Prosedur pemakaian madu untuk merawat luka


Prosedur yang paling banyak dianjurkan dalam laporan yang ada adalah dengan
membersihkan luka terlebih dahulu, walaupun banyak penjelasan bahwa madu
mempunyai aksi pembersih dan debridemen pada luka. Beberapa laporan lain
melaporkan bahwa abses yang ada dibuka dan pus dikeluarkan, jaringan nekrotik
diambil, sebelum membalut luka dengan madu (Farouk dkk, 1998).
Beberapa penelitian lain menggunakan prosedur pembersihan luka dahulu yaitu disikat
menggunakan sikat gigi yang lembut diikuti dengan hidrogen peroksida, garam
pembersih, betadin, atau garam pembersih lain, larutan dakin atau hydrogen peroksida
encer pada luka dan menggunakan alcohol untuk kulit di luar luka. Luka juga dapat
dibersihkan dengan eusol atau aqueous 1 % chlorhexidin. Laporan lain menganjurkan
membersihkan luka terlebih dahulu sebelum dibalut dengan madu tetapi tidak
memberikan spesifikasi larutan yang harus dipakai. Salah satu laporan membersihkan
luka dengan kabut tipis. Sebagian besar laporan menyederhanakan pembersihan luka
dengan normal salin sebelum membalutnya dengan madu dan ketika pergantian balutan
(Dumronglert, 1983).
Pada beberapa laporan, madu dioleskan menyeluruh pada luka lalu ditutp dengan balutan
kering, kebanyakan ditutup dengan balutan yang agak berkabut. Jumlah madu yang
dipakai bervariasi, dari yang berupa gosokan tipis (tetapi hasilnya buruk), menggunakan
lapisan madui yang tebal (tetapi membutuhkan perlu dilakukan tig asampai empat kali
setiap hari), laporan yang lain hanya menggunakan madu sebagai lapisan luar dari luka
atau hanya dioleskan tanpa balutan (Farouk, 1988).
Berikut ini adalah pertimbangan untuk penggunaan klinik madu:
1)Jumlah madu yang diperlukan untuk luka tergantung pad jumlah cairan eksudat dari
luka yang akan mengencerkan madu. Infeksi yang lebih dalam membutuhkan madu yang
lebih banyak pula agar tercapai efek antibakteri madu yang efektif, yaitu madu dapat
berdifusi lebih dalam ke jaringan luka. Untuk standar umum, 20 ml madu (25-30 gr)
sebaiknya digunakan pada balutan seluas 10 cm2 (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
2)Frekuensi pergantian balutan tergantung seberapa cepat madu terencerkan oleh cairan
eksudat. Balutan biasanya diganti satu kali setiap hari, tetapi jika luka negeluarkan
eksudat sangat banyak maka perlu penggantian balutan tiga kali setiap hari (Anonim.
2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-
evidence.html). Jika tidak ada eksudat, balutan pelu diganti dua kali setiap minggu untuk
mempertahankan reservoir komponen antibakteri agar berdifusi ke jaringan luka (Ngan,
2008).
3)Madu bersifat cairan licin dan lembek yang dapat menyulitkan penggunaanya. Hal ini
dapat diatasi dengan melumurkan madu pada sebuah bahan kontak luka yang bersifat
absorben (penyerap) seperti tissue cutton. Jika dioleskan langsung pada luka, madu
cenderung mengalir keluar dari luka sebelum balutan kedua ditempelkan untuk
mempertahankan madu agar tetap ditempat (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
4)Madu tidak akan cepat meresap ke dalam balutan absoben. Penyerapan dapat
difasilitsai oleh penghangatan madu oleh suhu tubuh dan/atau penambahan satu bagian
air ke dalam 20 bagian madu untuk membuat madu lebih cair (Ngan, 2008).
5)Pada beberapa situasi pada lepuhan, madu dapat ditempelkan pada luka dengan
menggunakan balutan film adesif. Madu dapat digunakan untuk mngobati luka berongga
dalam hal ini, walaupun pendekatan cara ini tidak sesuai untuk luka eksudat yang parah
(Ngan, 2008).
6) Untuk luka eksudat moderat samapi berat, balutan sekunder (lapisan kedua) diperlukan
untuk menampung rembesan madu dari balutan primer yang telah diencerkan oleh
eksudat. Balutan penahan seperti film poliuretan merupakan balutan yang terbaik untuk
digunakan sebagai balutan sekunder absorben yang cenderung menarik cairan menjauh
dari permukaan luka (Ngan, 2008).
7)Balutan dengan daya adesif rendah membantu mencegah baluatan madu menempel
pada luka jika kasus penempelan ini merupakan sebuah masalah. Balutan ini ditempatkan
antara luka dan balutan madu, tetapi hal ini harus memungkinkan komponen antibakteri
madu berdifusi secara bebas kedalam area luka (Ngan, 2008).
8)Balutan alginate yang digunakan bersama dengan madu merupakan alternative yang
baik untuk balutan seslulosa/cutton, karena alginate akan menjadikan madu mengandung
soft gel (Ngan, 2008).
9)Beberapa lekukan atau rongga pada area luka harus dipenuhi dengan madu dengan
menggunakan balutan yang dicampur madu. Hal ini digunakan untuk memastikan
komponen antibakteri madu berdifusi ke dalam jaringan luka (Ngan, 2008).
10)Madu secara aman dapat dimasukkan ke dalam rongga luka. Madu bersifat larut
dalam air dan mudah untuk dibilas keluar, jika ada residu madu yang tertinggal sifatnya
adalah bio-degradable (madu yang terserap dalam prosesnya tidak mengandung benda-
benda asing bagi tubuh). Untuk luka sinus dengan bagian yang sedikit terbuka, cara yang
efektif untuk menerapkan penggunaan madu adalah dengan menggunakan kateter pada
sebuah syringe yang diisi madu (Ngan, 2008)..
11)Infeksi dapat terjadi dalam jaringan di bawah area luka, maka dari itu balutan madu
harus diperlebar di sekitar luka (Ngan, 2008).

G.Kontraindikasi Penggunaan Madu dalam Perawatan Luka


a.Penggunaan madu yang tidak diindikasikan untuk perawatan luka (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
b.Penggunaan pada orang yang sensitive terhadap sengatan lebah (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
c.Penggunaan pada luka yang mongering atau luka nekrotik karena madu dapat
menyebabkan pengeringan yang lebih lanjut (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
d.Penggunaan pada inflamasi dan nyeri akut (nyeri mungkin dapat meningkat pada
beberapa orang sehingga penggunaannya membutuhkan pengkajian ulang pada pasien
dan penggantian jenis balutan lain) (Anonim. 2006.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html).
e.Penggunaan pada kondisi dimana baluitan tidak dapat diganti dalam waktu tertentu
(Anonim. 2006. http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-
evidence.html).

Sumber Kepustakaan:
Anonim. 2006. Honey Dressings in Wound Care.
http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html
Anonim. 2008. Obat Rawat Luka. http://metcovazin.blogspot.com/feeds/posts/default
Anonim. 2000. Manfaat Madu bagi Kesehatan.
http://healthychoice.epnet.com/GetContent.asp?
siteid=csmary&docid=/healthy/alternative/2000/honey/GetContent.asp?
siteid=csmary&docid=/healthy/living/contrib, diakses pada tanggal 20 Februari 2009
Anonim. How Honey Heals Wounds.
http://www.biotechlearn.org.nz/focus_stories/honey_to_heal/how_honey_heals_wounds
Armon PJ. The use of honey in the treatment of infected wounds. Trop Doct 1980; 10(2):
91
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia: Madu. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta
Bunting CM. The production of hydrogen peroxide by honey and its relevance to wound
healing. MSc thesis. University of Waikato. 2001.
Chant A. The biomechanics of leg ulceration. Ann R Coll Surg Engl. 1999;81:80-85.
Chirife J, Herszage L, Joseph A, Kohn ES. In vitro study of bacterial growth inhibition in
concentrated sugar solutions: microbiological basis for the use of sugar in treating
infected wounds. Antimicrob Agents Chemother 1983; 23(5): 766-73.
Clotho Corp: U.S. Distributors of New Zealand Manuka Honey. Using Honey to Dress a
Wound.
http://www.purezing.com/living/wellness_articles/living_articles_honeywounds.html
Cooper RA, Molan PC, Harding KG. Antibacterial activity of honey against strains of
Staphylococcus aureus from infected wounds. J R Soc Med 1999; 92(6): 283-5.
Dold H, Du DH, Dziao ST. Nachweis antibakterieller, hitze- und lictempfindlicher
Hemmungsstoffe Inhibine im Naturhonig Blütenhonig [Detection of the antibacterial heat
and light-sensitive substance in natural honey]. Z Hyg Infektionskr 1937; 120: 155-67.
Dumronglert E. A follow-up study of chronic wound healing dressing with pure natural
honey. J Nat Res Counc Thail 1983; 15(2):39-66.
Farouk A, Hassan T, Kashif H, Khalid SA, Mutawali I, Wadi M. Studies on Sudanese bee
honey: laboratory and clinical evaluation. Int J Crude Drug Res 1988; 26(3):161-168.
Flohé L, Beckmann R, Giertz H, Loschen G. Oxygen-centred free radicals as mediators
of inflammation. In: Sies H, ed. Oxidative Stress. London, Ontario: Academic Press,
1985:403-435.
Frankel S, Robinson GE, Berenbaum MR. Antioxidant capacity and correlated
characteristics of 14 unifloral honeys. J Apic Res 1998; 37(1): 27-31.
Green AE. Wound healing properties of honey. Br J Surg 1988; 75(12): 1278.
Herszage L, Montenegro JR, Joseph AL. Tratamiento de las heridas supuradas con acúcar
granulado comercial. Bol Trab Soc Argent Cir 1980; 41(21-22): 315-30.
Hutton DJ. Treatment of pressure sores. Nurs Times 1966; 62(46): 1533-4.
Hyslop PA, Hinshaw DB, Scraufstatter IU, Cochrane CG, Kunz S, Vosbeck K. Hydrogen
peroxide as a potent bacteriostatic antibiotic: implications for host defense. Free Radic
Biol Med 1995; 19(1): 31-7.
Johnson, Mary Ann. 1999. Honey as medicine - Australia produces a world's first!.
http://www.sdearthtimes.com/et0100/et0100s17.html
M, Subrahmanyam. 2007. TOPICAL APPLICATION OF HONEY FOR BURN WOUND
TREATMENT - AN OVERVIEW. Sangli: Department of Surgery, Bharati Vidyapeeth
University Medical College and Hospit.
Majalah Kehutanan Indonesia. 2002. Budidaya Lebah Madu di Indonesia. Edisi ke-1.
Departemen Kehutanan. Jakarta
Molan, PC. 1992. The antibacterial activity of honey. 1.The nature of the antibacterial
activity. Bee World.; 73(1): 5-28.
Ngan, Vanessa. 2008. Honey http://dermnetnz.org/treatments/honey.html
Oryan A, Zaker SR. Effects of topical application of honey on cutaneous wound healing
in rabbits. Zentralbl Veterinarmed A 1998; 45(3): 181-8.
Peri. 2004. Peramalan penjualan dan keuntungan kotor produk olahan lebah madu apiari
pramuka. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Postmes TJ, Bosch MMC, Dutrieux R, van Baare J, Hoekstra MJ. Speeding up the
healing of burns with honey. An experimental study with histological assessment of
wound biopsies. In: Mizrahi A, Lensky Y, eds. Bee Products: Properties, Applications and
Apitherapy. New York, NY: Plenum Press; 1997:27-37.
Purwati, Endang dan Rusfidra. 2008. MADU; Manfaat, Khasiat dan Keajaibannya.
Makalah. http://rusfidra.multiply.com/journal/item/68/Madu
Sackett WG. Honey as a carrier of intestinal diseases. Bull Colorado State Univ Agric
Exp Stn 1919; 252: 1-18.
Saissy JM, Guignard B, Pats B, Guiavarch M, Rouvier B. Pulmonary edema after
hydrogen peroxide irrigation of a war wound. Intensive Care Med 1995; 21(3): 287-8.
Sarwono, B. 2001. Lebah Madu. AgroMedia Pustaka, Tangerang
Sinclair RD, Ryan TJ. Proteolytic enzymes in wound healing: the role of enzymatic
debridement. Australas J Dermatol. 1994;35:35-41.
Turner FJ. Hydrogen Peroxide and Other Oxidant Disinfectants (3rd ed). Philadelphia:
Lea and Febiger, 1983.
White JW, Subers MH, Schepartz AI. The identification of inhibine, the antibacterial
factor in honey, as hydrogen peroxide and its origin in a honey glucose-oxidase system.
Biochim Biophys Acta 1963; 73: 57-70. www.info@clickwok.com

Penggunaan Madu Sebagai Perawatan Luka

RINGKASAN

Penggunaan madu sebagai bahan perawatan luka, sebagai suatu pengobatan kuno
yang ditemukan kembali dan hal itu meningkatkan ketertarikan terhadap madu, dan
banyak laporan tentang keefektifannya yang sudah dipubikasikan. Hasil temuan klinis
didapatkan bahwa infeksi dapat sembuh lebih cepat, inflamasi “swelhing” dan nyeri dapat
segera dikurangi odouer terkurang, slousghing, jaringan nekrotik dapat induced, granulasi
dan epitelisasi di hastened dan proses menyembuhkan luka dapat dipercepat dengan
pembentukan jaringan scar yang minimal.
Asam anti microbial dalam madu mencegah pertumbuhan mikroba pada luka
yang lembab (basah). Tidak seperti antiseptic tropical lainnya, madu tidak menyebabkan
kerusakan jaringan. Studi yang dilakukan terhadap binatang percobaan didapatkan hasil
bahwa secara histology madu dapat meningkatkan proses penyembuhan luka. Hal itu
adalah efek langsung nutrient yang “drowing limple out” dari sel dengan mekanisme
osmosis. Stimulasi proses penyembuhan juga disebabkan oleh asiditas/keasaman dari
nadi itu sendiri. Osmosis menyebabkan cairan madu yang kontak denganpermukaan luka
dapt mencegah “dressing sticking” sehingga tidak terasa nyeri atau terjadi kerusakan
jaringan ketika dressing diganti. Begitu banyak bukti-bukti yang mnedukung
penggunaan madu, dan dari hasil penelitian dengan teknik randomized controlled clinical
trialmenunjukkan bahwa ternyata madu lebih efektif dari pada silver sulva diazine dan
poly urethane film (opsiteR) untuk menyembuhkan lika bakar.

PENDAHULUAN
Pada tahun 1985 editorial di Jurnal of Royal Society of Medicine mengemukakan
sebuah opini “Pengobatan terapeutik mungkin bisa tidak terkontaminasi. Madu murni
dapat digunakan untuk hal tersebut”. Madu tersedia di berbagai komunitas walaupun
mekanisme dari beberapa bahan dapat bermanfaat dan membutuhkan investigasi lebih
lanjut, dan sekarang sudah waktunya membuka wacana bagi pengobatan tradisional.
Kebanyakan referensi melaporkan madu sebagai dressing luka. Masyarakat kuno
menggunakan madu untuk pengobatan luka tetapi hanya sedikir gambaran yang didapat,
begitu pula dengan bukti klinisnya. Dari beberapa literature melaporkanbahwa dewasa
ini telah ditemukan kembali pengobatan dengan madu. Sejalan dengan ketertarikan
pengobatan alternative terutama sekali terhadap perkembangan dari resistensi bakteri
terhadap antibiotik dan juga karena adanya peningkatan madu untuk dressing luka saat
ini. Hal itu menjadi kesadaran bagi para klinisi dan peneliti untuk meneliti lebih lanjut
dan mempublikasikan madu sebagai dressing luka.

PERTINENT:
Akhir-akhir ini bahwa madu efektif untuk dressing luka yang mana luka tersebut
tidak berespon terhadap terapi konvensional. Banyak laporan yang menyatakan tentang
keefektifan madu sebagai dressing luka yang terinfeksi ditambahkan sebagai bagian dari
obat anti bacterial. Tetapi dalam literature yang dipublikasikan lebih luas, dari studi
infitro didapatkan madu mempunyai aktifitas sebagai anti bakterial yang signifikan tetapi
tidak dijelaskan dalam artikel ini secara komprehensif. Akan tetapi sebagai catatan
dijelaskan kepada pembaca mengenai median level dari aktivitas antibacterial madu yang
dapat menghambat secara kompleks species bacteri penyebab umum infeksi luka dengan
konsentrasi 1,8% - 11% (v/v) dan mengelompokkan (collection) strain MRSA pada
konsentrasi 1% - 4% (v/v).
APLIKASI PENGGUNAAN MADU
Salah satu prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Luka dibersihkan jika terdapat abses luka dan drainage pus dan nekrotomi jaringan
nekrotik sebelum dilakukan dressing luka dengan madu.
2. Selain itu dapat digunakan prosedur rigorous cleancing: bersihkan luka dengan sikat gigi
dan lanjutkan dengan pemberian hydrogen peroksida saline rinse, betadin dan saline rinse
lainnya; dicairkan hidrogen perokside pada luka dan alkohol disekitar kulit, atau juga
luka dapat dibersihkan dengan eusol atau akueus 1% chlorhexidine. Kebanyakan
sebelum luka dibersihkan, luka dicuci dengan saline sebelum diobati dengan madu, dan
ketika dressing diganti.
Banyak juga laporan yang menyatakan madu dioleskan menyeluruh menutupi
luka dengan dressing kering, moustly gauze. Jumlah madu yang digunakan bervariasi;
1. Lapisan tipis madu (hasil relatif jelas):
2. lapisan tipis madu dengan pemberian 2-3 kali/hari
3. Memberikan madu diseluruh permukaan luka sampai diluar luka.
4. Thick layer honey.
5. soaking the wound generously honey
6. Mengoleskan madu pada luka sampai ¾ isi luka.
7. Memberikan 15-30 ml madu pada luka ulcer.
Selain itu pemberian madu diberikan untuk dressing kemudian ditempatkan pada luka.
Madu akan menyebar dipermukaan luka (gauze) atau soaked madu. Madu impregnated
gause dapat digunakan untuk pack cavities of wounds. Setelah luka terbungkus maka
luka akan terbungkus. Pada ulcerasi servik proses penyembuhan luka dapat dilakukan
dengan memasukkan 85 ml madu ke dalam vagina dan tahan ditempat tersenut dengan
tampon selama 3 hari.
Kebanyakan dressing luka dilakukan setiap hari atau 2 hari sekali atau 2-3 hari
sekali. Hasil penelitian menyatakan bahwa dressing dilakukan 1 hari atau lebih
tergantung dari kebutuhan agar luka tampat bersih dan kering. Laporan lain
menyebutkan bahwa dressing diganti 1 atau 2 kali sehari sampai luka bersih dan terjadi
granulasi, kemudian dressing sehari sekali dapar dibanti. Laooran lain menyatakan
penggantian dressing madi dilakukan sehari dua kali dan dilakukuan 3 kali sehari jika
luka terkontaminasi dengan urine atau feses.
Beberapa laporan menyatakan bahwa campuran antara lipid dan madu ternyata
lebih mudah menyebar di permukaan luka, selain lipid dengan menggunakan castor oil
atau 20% vaselin. Pemanasan yang berlebihan terhadap madu mendukung dihindari
karena glukosa oxidase ensyme pada madu akan memproduksi hidrogen peroxidase,
komponen utama dari antibacterial sangat rentan terhadap panas dan menjadi tidak aktif.

KOMENTATOR
Tidak ada indikasi dari beberapa laporan tentang metode aplikasi dari pemberian
madu pada luka yang digunakan sebagai dasar mengambil keputusan baik secara empiris
maupun teoritis. Perbedaan metode menunjukan perbedaan pendekatan. Penyebaran
madu pada “dressing pad” lebih baik daripada luka dan lebih mudah dilakukan dan
mengurangi kejadian traumatik bagi pasien. Hal ini juga dapat lebih menutup permukaan
luka. Jika luka dalam atau terdapat abes pada luka, dan membutuhkan madu untuk
pengobatannya, maka cara yangpraktis dengan menggunakan honey packed di squeeze
out toobes.

RASIONALNYA:
Kebanyakan madu dibutuhkan perunit area pada luka tergantung luasnya atau
banyaknya eksudat. Manfaat madu pada jaringan luka dilaporkan kemungkinan menurun
atau hilang jika sedikit madu yang berada eksudat yang banyak (kasiat madu hilang)
sebagai mana frekwensi dressing yang akan berubah menyesuaikan seberapa cepat madu
tersebut dicairkan oleh eksudat. Keefektifan madu dalam menurunkan inflamsi dan
eksudasi dapat digunakan sebagai patokan tingkat frekwensi penggantian dressing.
Pergantian dressing yang sering mungkin tidak diperlukan untuk mencegah pertumbuhan
bakteri, karena aktifitas anti bakterial pada madu akan mencegah pertumbuhan bakteri.
Jika madu tidak terdeteksi oleh eksudat, terutama jika madu dengan level aktifitas tinggi
yang dipilih.
OBSERVASI KLINIK
Telah dilaporakan dari studi klinik yang bervariasi pada penggunaan madu
sebagai dressing sebagai luka infeksi yang luka itu menjadi steril dalam 3-6 hari, 7 hari,
atau 7-10 hari. Hal lain telah dilaporkan bahwa madu efektif untuk membersihkan luka
infeksi. Juga telah dilaporkan bahwa madu mencegah timbulnya nekrosis. Madu juga
telah ditemukan untuk melakukan pencegahan barier luka dan menjadi infeksi, mencegah
infeksi silang dan menjadikan jaringan luka bakar agar sembuh dengan cepat tidak
terbatas sebagai infeksi sekunder. Hal lain telah dilaporkan bahwa mengelupasnya
jaringan gangrene dan jaringan nekrotik dengan cepat diperbaiki dengan jaringan
granulasi dan menjadikan epitensasi lebih ketika madu digunakan sebagai dressing
melalui debridement bedah minimun yang diminta. Hal lain juga telah diobservasi
bahwa dibawah slough dressing madu, nekrotik dan jaringan gangrene tersebar sehingga
hal itu dapat dilaihkan pengurangan nyeri dan hal lain telah dicatat dengan cepat dan
penyebaran mudah dari slough dan perpindahan cruct dari luka. Rapid cleancing kimia
atau debridement enzim menghailkan dari penerapan madu untuk luka telah dilaporkan
dengan tanpa bentuk erchar dalam pembakar. Penulis lain mengatakan efek clencing dari
madu pada luka. Hal lain juga dilaporkan bahwa kotoran berpindah dengan balutan
ketika madu digunakan untuk dressing untuk memudahkan luka bersih. Madu juga
dilaporkan memberikan deodorisasi dari bau luka. Madu digunakan sebagai dressing
telah dilaporkan mempromosikan bentuk dari jaringan granulasi yang bersih dan sehat.
Hal lain juga telah dilaporkan untuk mempromosikan atau membangun epitelisasi dari
luka. Dumromlert berkomentar pertumbuhan yang cepat dari jaringan yang baru dapat
dibentuk kembali. Memperbaiki nutrisi dari luka yang telah diobservasi juga
meningkatkan aliran darah dari luka telah ditemukan dalam luka dan aliran darah yang
bebas dari limfe.
Penulis lain mengomentari pada penyembuhan luka secara cepat terlihat dengan
dressing madu. Desottes berarti pada luka menjadi tertutup. Dalam fashion spektakuler
dalam 90% kasus kadang-kadang dalam beberapa hari. Borlando berarti untuk
penyembuhan menjadi supresin dengan cepat secara khusus untuk derajad I dan II pada
luka bakar. Blomfield mengopini jika madu mendukung proses penyembuhan ulser
bisul/borok dan luka bakar. Lebih baik dari pada lokal apliction yang telah digunakan
sebelumnya. Bergman telah mengobservasi secara klinis bahwa penyembuhanpada luka
terbuka lebih cepat dengan madu seperti yang telah ditemukan oleh Hamdi jika itu
dipercepat making wound suitable for suture.
Telah dicatat bahwa dressing luka dengan madu mengikuti grafting lebih cepat,
dilaporkan juga madu menurunkan insiden bekas skingraft dan membantu regenerasi
kulit, membuat rekonstruksi plastik yang tidak diperlukan. Juga dicatat bahwa
penyembuhan luka dengan madu memberi sedikit atau tidak ada jaringan parut.
Manfaat lain dari madu antara lain menurunkan inflamasi udema dan eksudat,
mengabsorbsi cairan dari luka. Dibeberapa kasus memberikan effek penurunan nyeri
lokal secara lebih cepat, menghilangkan reaksi alergi dan efek berbahaya pada jaringan.
Selama itu dressing dengan madu mudah diaplikasikan. Kurang lebih ada adesi yang
menyebabkan kerusakan jaringan granulasi lokal. Menghindari perdarahan ketika
removing dressing. Beberapa madu yang tersisa mudah dibersihkan dengan mandi.
Comentar: observasi klinik ini menyediakan in isolation, level terendah evidence
upon which, sebagai dasar keputusan klinik untuk menggunakan madu sebagai alat
dressing luka. Tetapi ketika dibandingkan dengan percobaan yang secara umum
digunakan untuk dressing menunjuukan bahwa madu memiliki beberapa kasiat yang
berpotensial membuatnya sebagai bahan dressing luka yang sangat bermanfaat. Aspek
fisik menyediakan barier protective dan secara osmosis, menciptakan lingkungan
penyembuhan yang lambat. In the form of solution of honey that doesnot stick to the
under lying wound tissues. Unsure anti bacterial madu mencegah kolonisasi bacteri
darilingkungan lembab ini. Anti bacterial menunjukkan tidak ada kerusakan pada proses
penyembuhan melalui efek adverse pada jaringan luka. To the contrary terlihat memiliki
efek stimulasi pada regenerasi jaringan. In edition terdapat indikasi yang jelas dari anti
inflamasi.
EVIDENTCE OF EFEKTIVE NURSE: ANIMAL STUDIES
Pada sebuah studi percobaan membandingkan antara madu dan silver sulva
diazine, dan madu+gula. Pada luka bakar kulit standar 7x7 cm pertumbuhan epitel dalam
waktu 21 hari dengan madu dan gula. Kemudian 28-35 hari pada silver sulva diazine
granulasi terlihat lebih jelas pada perawatan dengan silver sulva diazine. Penampakan
histologi luka pada seluruh luka yang dirawat dengan madu menunjukkan inflamasi yang
lebih sedikit dari pada yang dirawat dengan gula dan silver sulva diazine. Pada
percobaan yang lain luka bakar diciptakan dengan red hot pin (15 mm 2) yang diletakkan
di kulit tikus, kemudian dirawat dengan madu atau dengan gula yang memiliki komposisi
dengan madu. Penyembuhan telah terlihat secara histologi menjadi lebih aktif dan lebih
dengan madu lalu dengan tanpa pengobatan atau solusi gula waktu diambil untuk
perbaikan komplek dari lukatelah berkurang secara signifikan dengan madu lalu dengan
tanpa pengobatan atau dengan solusi gula dan nekrotik tidak pernah begiru serius.
Pengobatan dengan madu memberikan kejernihan attenation dari inflamasi dan eksudasi
dan regenerasi cepat dari jaringan epiferial dari luar dan pembentukan sikatrik dengan
cepat.
Pada studi eksperimen pada binatang luka yang lebih penuh telah dirawat dengan
memotong sampai 2x4 cm lapisan dari kulit pada bagian belakang calves berbeu. Luka
dibersihkan dengan madu atau mitrovurazone atau dengan petrolatum sterilisasi sebagai
kontrol. Granulasi, bentuk scar dan penyembuhan menyeluruh terjadi lebih cepat dengan
madu dari pada dengan nitrovurazone dan dalam kontrol latihan histo morfological dari
contoh biopsi. Memberi arti lebih dalam kontrol dengan mitrosulvazone lalu denganm
madu kurang proliferasi dari fibroblast dan argioblast.
Dilain studi penelitian pada calves berbeu beda atau lebih tebal pada kulit luka,
2x4 cm, dibuat setelah menginfekting area luka dengan infeksi subkutaneus dan
stapilococus areus atau prioritas untuk luka. Aplikasi topikal dari madu, ampicillin
ointment, dan salin sebagai kontrol dibandingkan sebagai pengobatan untuk luka.
Latihan klinik dari luka dan histomorfologikal examinition dari contoh biopsi
menunjukkan bahwa madu memberikan tingkat yang lebih cepat dari penyembuhan
dibandingkan dengan pengobatan yang lain. Reaksi inflamasi terakhir paling besar
fibroelastis dan argioblastik dalam luka. Paling cepat terbawa dari jaringan konektif
fibrose dan epitelisasi tercepat.
Studi eksperimental membawa .................juga juga membandingkan madu
dengan ........saline, pada luka dibuat dengan ebersing kulit (10x10 mm), dibawah otot.
Latihan histologikalmenunjukkan bahwa thecknes dari granulasi danjarak dari epitelisasi
dari ujung jaringan luka adalah signifikan ................area dari luka lebih kecil secara
signifikan, dalam hal itu diobat dengan madu (P<0,001) tidak ada yang menunjukkan
kumpulan, infeksi klinik.
Didalam studi lain pada tikus panjang 10mm telah dibuat dalam kulit dari
sepasang tikus dan luka diobati secara topikal dengan madu floral, madu dari tawon
pemakan gula atau salin. Secara statistik meningkat significan dalam tingkat
penyembuhan telah dilihat dengan pengobatanmadu floral dibandingkan dengan control
salin, hal ini menjadi lebih besar dengan obat oral dari pada dengan cara topical.
Pengobatan dengan madu dari tawon pemakan gula memberikan tingkat lebih tinggi dari
penyembuhan. Setelah 4 hari memberikan hasil tidak lebih baik dari pemakaian dengan
salin normal, granulasi, epitelisasi dan jaringan fibrous terlihat histologikal
mencerminkan peningkatakan penyembuhan berarti sebagai penurun dalam luka. Dari
jaringan granulasi dengan sel inflamasi klinik terbesar tawon pemakan gula, sedikit
dalam pengobatan topikal dengan madu, floral, dan paling sedikit pengobatannya dengan
madu floral.
Penerapan oral atau topikal dari madu dibandingkan dalam studi lain pada tikus,
didalam irisan dalam 2x2 cm kulit luka, dibuat pada belakang dari tikus dengan
memotong kulit. Tikus diobati dengan penerapan topikal dari madu pada luka.
Administrasi oral dari madu, atau intraperitoneal administrai dari madu atau pengobatan
sebagai kontrol. Setelah 7 hari pengobatan tritiated praline diinjeksikan untuk melayani
sebagai indicator dari sitesis kolagen dalam subsequent 24 jan perperiode kwantitas
keduanya. Dari sintesis dan deraja dari cross linking kolagen. Pada jaringan granulasi
ditemukan untuk meningkatkan perbandingan signifikanm dengan pengonatan yang tidak
terkontrol sebagai hasil dari pengobatan dengan madu. Pengobatan sintetik telah
memberikan peningkatan yang besar dari pada pengobatan topikal, memberikan hasil
yang lebih baik dari pada rute oral. Dalam hubungan yang mirip studi mengikuti hal ini,
tikus diobati dengan hal yang sama tetapi dalam parameter yang berbeda dipelajari untuk
mengkaji luka. Jaringan granulasi yang telah dibentuk telah excised dari luka untuk
biochemical dan biofisikal dari perawatan luka. Isi dari DNA, protein, kolagen,
heksosamin dan asam uronik dan tensil strength. Tingkah laku, tingkat kontraksi, dan
tingkat epitelisasi, ditemukan untuk meningkatkan secara signifikan senbagai hasil dari
pengobatan dengan madu. Pengobatan sisfemile memberikan peningkatan daripada
penmgobatan topikal, rute intraperitoneal memberikan hasil yang terbaik.

KOMENTAR:
Studi hewan ini tetap didemontrasikan semuanya bahwa madu mempunyai efek
keuntungan pada penyembuhan luka didamping dari berbagai hasil dari perlengkapan
antibacterial, meskipun satu dari studi intervensi luka infeksi, hasil pengamatan dalam hal
ini didalam garis denganpengamatannya didalam studi yang lain ia menghasilkan
keuntungan dari penerapan madu tak dapat secara sekunder untuk pembersihan infeksi.
Ada yang jelas dari aksi stimulasi ada perbandingan jaringan dan pada aksi inflamatori
menunjukkan bahwa efek ini tidak mempengarui demonstrasi yang didalamnya konstitusi
lebih dari perlengkapan fisik madu. Bahwa efek stimulasi ditunjukkan ketika madu
diadnibistrasukan secara oral/parenteral. Memberi saran bahwa mungkin faktor
pertumbuhan jaringan dipengaruhi lebih dari stimulasi pertumbuhan menjadi konsekuen
dari keasaman atau perbaikan gizi jaringan. Tidak ada infestigasi dilaporkan dari
komponen responsible media untuk pertumbuhan meningkat tetapi satu kemungkinan
bahwa hidrogen peroksida diproduksi oleh madu. Perbandingan dari fibroblasf satu
dalam kultural telah ditemukan untuk menstimuli untuk hidrogen peroksida pada
mikrokonsentrasi nano molar. Penggunaan responsibel mungkin pitosemikal dari sumber
yang akan dihitung untuk keluaran yang lebih baik. Terlihat dengan madu floral dari
pada madu dari tawon yang makan gula, meskipun penyembuhan diperbaiki dari hal ini
bisa secara sekunder pada edukatif inframatomi. Yang memberi efek madu floral

BUKTI EFEKTIFITAS: STUDI KLINIK


Studi telah dilakukan pada pengobatan dengan dressing madu pada seorang pasien
dengan luka recal citrant dan ulser, 47 dari hal ini telah dilaporkan untuk cklinical
deemed a”sufficienly long time (1 bulan ke 2 tahun) dengan pengobatan konvensional
seperti eusol toiled dan dressing, dan akriflafine, sufratule, cicatrik, atau sistemik dan
antibiotic tropical. Dengan tanpa tanda luka atau luka meningkat dalam ukuran luka
seperti forniers gangrene burns cancrum oris dan ulches diabetik, sikles sell ulches dan
tropikal ulches. Latihan mikrobiologikal dari suatu luka menunjukkan bahwa
pembersihan luka dengan bacteri dipersembahkan menjadi steril dengan satu minggu dan
hal lain berarti steril. Dalam satu kasus a buruli ulser, pengobatan dengan madu tidak
dilanjutkan setelah 2 minggu karena ulser meningkat cepat dalam ukuran. Dalam out
came dari 58 kasus lain dilaporkan sebagai remarkable yang mengikuti penerapan topical
dari madu. Beberapa observasi umum dilaporkan untuk hasil dari pengobatan madu dari
recal citran ini luka bisa sloughs, nekrotik dan jaringan gangren tersebar sehingga hal
tersebut dapat didaftar pengurangan nyeri, dengan 2-4 hari dalam gangrene formiers,
cantrum oris dan dekubitus ulser (tetapi hal ini diambil lebih panjang dalam tipe lain).
sloughs dan jaringan nekrotik berpindah secara cepat dengan jaringan granulasi dan
melebihkan epitelisasi meliputi oedema subside weeping ulser dehidrasi dan luka
berbau .................rendered oderless sampai 1 minggu. Luka burn diobati secara cepat
tidak menjadikan koloni bakteri.
Sebuah studi yang sama pada 40 pasien separuhnya telah dirawat dengan sebuah
bahan topical yang biasanya dan telah gagal. Luka disebabkan oleh penyebab yang
bermacam-macam: pembedahan, kecelakaan, infeksi, tropil dan luka bakar. Rata-rata
ukuran luka 57 cm2. sepertiga luka terdapat purulent, jumlah mikroorganisme yang
diisolasi dari sekret luka didapatkan 14-48 setelah 2 minggu perawatan. 7 dari pasien
terdapat jaringan nekrotik exised, sesudah perawatan dengan madu dan 3 diantaranya
memiliki skingraf. Dalam catatan madu mempersempit batas luka dan luka lebih cepat
dibersihkan. Dari 33 pasien dirawat hanya dengan dressing madu 29 sembuh secara
sempurna dengan kwalitas penyembuhan yang bagus, rata-rata dalam waktu
penyembuhan 5-6 minggu. Dalam 4 kasus yang gagal 2 disebabkan oleh kondisi umum
pasien yang buruk karena imunodepresi. 1 yang keluar dari perawatan dengan madu
karena reaksi alergi terhadap madu, dan 1 pasien karena and one burn rimained stasionary
after a good initial respon. Studi yang lain madu digunakan pada 9 anak dengan luka
pembedahan yang terbuka, terinfeksi yang gagal dengan perawatan konfensional,
sedikitnya dalam 14 hari dengan antibiotic intravena dan pembersihan luka menggunakan
akueus kloreksidin solution 0,5% W/v dan salep asam fusidik. Dan luka-luka tersebut
masih terbuka dan kultur swab positif. Perkembangan secara klinis tampka pada seluruh
anak setelah 5 hari perawatan dengan aplikasi topical 5-10 ml madu 2 kali setiap hari.
Hasilnya luka tertutup bersih dan steril dalam waktu 21 perawatan.
Komentar: 3 studi diatas merupakan percobaan cross over yang efektif, hal itu
terutama non responsi fenus yang ditegagkan dengan bentuk treatmen lain sebelum madu
digunakan. Walaupun bentuk dari bukti isless konfincing dari pada stimulasi pengobatan
pada kontrol grup pasien, konsistensi dari hasil dan jumlah pasien meliputi kemungkinan
yang tinggi yang mengubah dari non healin menjadi healin yang sudah sesua unuk
kesempatan lebih untuk mendapat aspek terapeutik dari madu. Efektif dalam
peningkatan penyembuhan luka yang sudah berespon terhadap pengobatan konvensional.
Mereka juga menyediakan bukti-bukti yang bagus dari keefektifan anti bakterial pada
madu pada luka yang terinfeksi.
20 kasus formier gangren di manca negara secara konservatif dengan antibiotik
sistemik 9amoksilin oral/asam klafulanic dan metronidazol. Tambahan harian madu
secara topikal telah dibandingkan secara restrospektif dengan 21 kasus yang sama. Yang
menggunakan metode ortodok (wound debredemen, wound excicion sekundery suhuring
dan pada beberapa kasus dengan skropal plastik rekonstruksi (mikrooranisme yang
dikultur pada kedua grup adalah sama). Namun demikian rata-rata durasi hospitalisasi
was slighty langer, aplikasi obat tpical madu menunjukkan distinct keuntungan yang
lebih dibandingkan metode ortodok. 3 orang meninggal pada grup metode ortodok, dan
tidak ada yang meninggal pada grup yang diterapi dengan madu. Kebutuhan akan
anestesi dan operasi bedah yang mahal was oviated dengan menggunakan madu. Respon
terhadap pengobatan dan aliviation dari angka kesakitan lebih cepat pada kelompok yang
diobati dengan madu. Walaupun beberapa bakteri terisolasi dari madu, pasien yang
mendapat pengobatan madu tidak menunjukkan ketidaksensitifan terhadap antibiotika,
luka akan steril adalam waktu 1 minggu. Manfaat dari dressing madu sebagai metode
alternatif dalam memanagemen luka, pembedahan perut telah dikaji dengan percobaan
prospektif selama lebih dari 2 tahun dan dibandingkan dengan retrospektif pada pasien
dengan usia yang sama selama lebih dari preseding 2 tahun. 15 orang pasien yang
mengalami luka bedah stelah operasi SC (seksiosaeria). Yang diterapi dengan madu dan
luka diperkirakan dengan microported berdasarkan pada metode kinvesnsional dari
dressing luka dengan susekuen resofuring (grup komparasi 19 pasien dengan luka
dehisensi yang dibersihkan dengan H2O2 dan dabin solution dibungkus dengan salin
saket gauze terutama untuk resuturin dibawah pengaruh anestesi general. Sebagai catatan
bahwa dengan dressing madu sloup dan jaringan mati akan digantikan oleh jaringan
granulasi dan peningkatan epitelisasi dalam waktu 2 hari, dan luka yang baru akan
oderless dalam waktu 1 minggu. Hasil yang bagus akan didapat jika semua kasus
diterapi dengan madu, selanjutnya penghindaran kebutuhan untuk restruktur yang
dibutuhkan untuk general anestesi. 11 kasus dapat sembuh secara komplit selama 7 hari,
semua kasus dapat sembuh dalam waktu 2 minggu. Periode yang dibutuhkan untuk
hospitalisasi kurang lebih 2-7 hari (rata-rata 4 ½ hari, dibandingkan dengan 9-18 hari
(rata-rata 11 ½ hari), sebagai grup pembanding. 2 pasien dari grup pembanding ternyata
mengalami infeksi ulangan.
Studi restrospektif terhadap 156 pasien luka bakar yang dirawat di RS dalam
waktu 5 tahun, 1988-1992 didapatkan 13 kasus diobati dengan madu dan didapatkan hasil
yang sama dengan jika diobati dengan silver sulva diazine. Percobaan persepktif
randomized control membandingkan antara madu imreg nared gouze dengan obsite
terhadap 46 pasien pada 2 grup luka yang didresing dengan madu impreknared gouze
menunjukkan penyembuhan yang lebih cepat secara signifakan dibandingkan jika hanya
dengan didressing obsite (rata-rata 10,8 versus 15,3 hari; p<0,001 dan kurang dari separo
kasus yang menjadi terinfeksi pada luka yang dibersihkan dengan madu dbandingkan jika
didressing dengan opsite (p<0,001). Dibandingkan dengan amneotik membrane luka
bakar yang diobati dengan madu mengalami penyembuhan yang lebih cepat (rata-rata 9,4
vs 17,5 hari; p<0,001). Jaringan scar yang terbentuk 8% pada pasien dengan terapi madu
dan 16,6% jika diobati dengan aniotik membran (p,0,0001). Dibandingkan dengan slver
sulfa diazin pada luka bakan dengan prorpek ramdom control terhadap 104 pasien
didapatkan pada 33 pasien yang diterapi dengan madu, 91 pasien luka rebdered steril
selama 7 hari pada 52 pasien yang ditepi dengan silver sulva diazin, 7% menunjukkan
kontro terhadap infeksi selama 7 hari. Jaringan granulasi terlihat lebih awal pada pasien
yang diterapi dengan madu ( rata-rata 74 vs 13,4 hari, waktu yang dibuukan untuk
penyemhuna luka ternyata lebih pendek jika diterapi dengan madu. Luka yang diobati
dengan madu 87% sembuh dalam waktu 15 hari dibandingkan 10% yang diobati
dengansilver sulfadiazine. Madu juga membuat pasien tidak terlalu nyeri, mengurangi
ebsudate, mengurangi iritasi luia dan ml insidense daya scar dan kolmatur positif luka
bakar. Madu juga akan mempercepat epitelisasi pada 6-9 hari, efek debridmen kimia dan
perpindahan dari bau yang ofensisif di dalam perspektif randomised controled trial
membandingkan madu dengan siver sulva diazine inpregnated gouze pada comparteble
fresh potongan sebagian luka bakar. Latihan histologi contoh biopsi batas luka
sebagaimana observasi klinik dari perawatan penyembuhan luka dibuat untuk mengkaji
efek relatif pada perawatan luka dalam 2 grup dari 25 pasien. Waktu diambil untuk
penyembuhan adalah signifikan lebih pendek dengan grupo pengobatan madi (p<0,001).
Dari pengobatan luka dengan madu 84% menunjukkan keparahan epitelisasi dengan hari
ke 7, 100% dengan 21 hari di dalamperawatan luka dengan siver sulva diazine epitelisasi
terjadi pada hari ke 7 dari 72% dan 84% dalam 21 hari. Bakteri histology dari aktif
reperatif meninjukkan dalam 80% dari penyembuhan luka dengan dressing madu sampai
hari ke 7 dengan inflasi minimal pada pengobatan luka dengan silver sulvadiazin 52%
menunjukkan reparative activity dengan perubahan inflasipada hari ke 7. reparative
activity mencapat 1005 dengan 21hari melalui dressing madu dan 24% dengan saliva
suvadiazin dalam dressing madu luka lebih susiden dariperubahan inflamatori akut,
control lebih baik dari inferksi dan perawatan lebih cepat diobservasi. Di
dalampenyembuhan luka dengan silver sulva diazine meninjukkan reaksi inflamatori,
dicatar terdapat epitelisasi tidak ada skingraf disediakan untk perawatan luka dengan
madu tetapi tempat dari perawatan luka dengan silver SD converted ke dalam dan
menyediakan skingraf.
Madu juga dibandingkan dengan boiled potato peel sebagai penutup luka bakar
oaru dalam persepektif ramdomizet controlled trial lain pada 40 pasien yang diobati
dengan madu yang menunjukan kultur swab positif pada waktu admisen punya persisten
infeksi setelah 7 hari. Pada pengobatan luka dengan madu 100% penyembuhan 15 hari
membandingkan dengan 50% daripengobatan luka dengan Boiled potato feel draiting.
Waktu utama untuk penyembuhan 10,4 hari dengan boiled fell adalahb erbeda secara
signifikan (p<0,001).

KOMENTAR:
Laporan daripercobaan pasien dengan tousnears gangrene telah dikritisi untuk
kegagalan kecukupan 2 grup pasien sehingga hal ini dapat diketahui untuk hal tertentu
bahwa hal itu bisa dibandingkan. Hal ini juga ditunjukkan bahwa secara statistic akan
telah tidak ada perbedaan secara reliable didalam mortalitas antara 2 group, meskipun
demikian percoban menunjukkan bahwa dressing sederhana dengan madu adalah
pengobatan yang sangat efisien untuk fulminant. Penyebaran infeksi secara cepat ang
biasanya diobati secara agreif meskipun opini kuno bahwa jaringan nekrosis dipindah
karena hal ini sebagai sumber substandi noknis dengan difuse ke dalam luka, percobaan
ini dan percobaan lain pada infected destruction pada perut telah ditunjukkan bahwa hal
ini penting ketika madu diterapkan pada luka, theslough dan jaringan tissue menjadi
cepat berpindah dengan kimia atau aksi debreding enzin dari madi.
Percobaan menghubungkan infected destruktif abdominal wounds dengan
pasangan tertutup grop control menunjukkan dengan jelas bahwa dressing dengan madu
lebih efektif dari pada pengobatan konvensional dari control group di dalam dapat
penyembuhan luka sebagaimana ofiating kebebasan sufurin meskipun demikian
pengobatan konvenional dengan antiseptic yang dapat merusak jaringan dan dapat
merusak jaringan dan menghambat penyembuhan luka. Meskipun secara umum
digunakan adalah mungkin tidak sebagai benchmark terlihat relefan dengan prosedur
efektif dari madu. Studi dari pengobatan pasien luka bakar dengan madu
membandingkan hal-hal pengobatan dengan silver sulva diazine, meskipun demikian
menunjukkan bahwa model efektif atau lebih efektif dengan perawatan luka bakar topical
yang digunakan secara luas di waktu modern. Meskipun studi restrospektif tidak
memberikan detail pada kasus untuk diijinkan hal ini ditepiskan jika pengobatan kasus
dengan silver sulfadialin, the prospective randomized controlled trails adalah suatu desain
yang dapat menjelaskan secara adekuatif dan menunjukan hasil statistis yang signifikan
dari subjek yang luas dan menyediakaqn bakteri yang terpercaya dressing dengan madu
adalah pengobatan yang terbaik untuk luka bakar supervisual.

RESIKO DAN ADVERSE EFEK


Tidak ad adverse efek yang ditemukan pada beberapa study penerapan madu
sebagai obat topical pada experiment pada hewan. Penelitian ini meliputi histological
examination pada jaringan yang diobati. Madu telah digunakan secara topical pada luka
lebih dari 1000 tahun yang lalu tanpa menenjukan adanya efek negative. Berbagai
laporan yang dipublikasikan pada klinikal pada luka terbuka menyebabkan tidak lebih
dari stransrent stighging sensasi pada beberapa pasien. Selain pada 2 kasus diman nyeri
akibat aplikasi madu tidak dapat di toleransi.
Telah dilaporkan sesuai transent stinging dan kemerahan pada mata segera
setelah di beri madu dalam mata setelah segera diberi madu, tetapi hal ini tidak dapat
digunakan sebagai alasan untuk menghentikan pengobatan pada 102 kasus pada
percobaan pada pengambilan untuk penggunaan optal logical. Secara umum penerapan
madu secara optikal pada luka terbuka dilaporkan to be soothing untukmenghilangkan
nyeri tidak teiritasi, tidak menyebabkan nyeri saat di dressing tidak terdapat reaksi
sekunder.
Alergi terhadap madu jarang terjadi, mungkin terdapat reaksi alergi pada pollen
asam protein dari lebah yang lain.dilaporkan dari hasil studi klinis dimana madu
digunakan pada luka terbaru padfa 1 pasien, menunjukan tidak alergi ats reaksi yang
merugikan. Bagaimanapun kejadian perdarahan minor segera setelah pemberian madu
telah disebutkan dalam referensi pada kasus yang tidak tercatat. Referensi telah
menunjukkan bahwa terjadi dehidrasi pada jaringan jika madu tersebut diberikan pada
luka tetapi hal itu dapat diperbaiki dengan penggunaan saline. Karena madu
mengandung > dari 40% glucose yang secara teoritis beresiko terjadinya kadar
glukosedarah terhadap diabetes ketika diberikan secara topical pada luka terbuka yang
luas.
Madu kadang-kadang berisi spora dari clostridia yang beresko kecil terhadap luka
botulism, meskipun demikian tidak ada dari beberapa laporan yang dipublikasikan pada
penerapan klinik dari madu pada luka terbuka yang telah madu tersebut digunakan secara
steril. Tidak ada laporan dari beberapa tipe infeksi yang dihasilkan dari penerapan madu
sebagai pengobat luka. Jika spora germinated, berbagai sel vegetatif seperti clostridia
akan obligade yang tidak akan bisa hidup bila diberikan hidrogen peroksida secara umum
pada madu, tetapi penggunaan madu sebagai dressing luka. Itu ada pendapat yang
berlawanan, namun demikian alas an menggunakan dasar resiko kemungkinan
menyebabkan luka botulism dapat diterima secara obyektif, efek negative penggunaan
madu diatasi dengan radiasi sinar gammayangdapat membunuh spora clostridium B. oleh
madu tampa mengurangi efek bacterial. Masalah dari atraktion dari serangga dan semut
untuk dressing menggunakan madu dapat diatasi denganpenggunaan dressing sekunder
yang efektif sehingga madu terlindungi dari serangga.
Keuntungan madu untuk digunakan dressing luka, madu menjaga kelembaban
untuk lingkungan, penyembuhan luka sehingga mencegah bakteri tumbuh walaupun
ketika luka sudah terinfeksi. Hal ini sangat efektif dari arti rendering pada steril yang
terinfeksi secara serius tanpa efek samping dari antibiotic dan sangat efektif melawan
bakteri yang resistensi terhadap antibiotika straines.komponen anti bakterialdan ulskorbsi
juga menyediakan barier terhadap infeksi silang luka. Hal ini juga menyediakan suplai
glukosa untuk leukosi. Untuk respiratory burst yang memproduksi hydrogen peroksida,
komponen yang dominan dari aktifitas anti bacterial dari makrofag. Selebihnya
menyebabkan substrat yaitu glikosis yang mana mekanisme utamanya adalah
memproduksi energi bagi makrofag sehingga hal tersebut dari makrofag dapat berfungsi
di jaringan yang rusak dan eksudat dimana suplai O2 sedikit. Keasaman dari madu(< PH
4) juga dapat meningkatkan aktifasi mikrobakterial yang dimiliki o2 makrofasi
sebagaimana PH asam di dalam vakuola yang digunakan untuk membunuh bakteri.
Glukosa dalam tingkat tinggi dalam madu dapat digunakan, bakteri yang memgnginfeksi
untuk mendapatkan asam amino dari serum dan sel mati. Hal itu dapat membentuk asam
laktat yang berasal dari ammonia, amin, serta komponen sulfur yang menyebabkan
malabsorbsi pada luka.
Madu memberikanjangka waktu yang cepat untuk regenerasi jaringan dan
penurunan proses inflamasi, edema, eksudat dan mallodone pada luka didasarkan pada
observasi klinis dan hasil dari studi hewan dan percobaan klinis. Bahan antibacterial
membersihkan infeksi dengan mencegah produksi metabolisme bakteri yang responsible
untuk kondisi kontrari. Tetapi madu memiliki efek anti inflamatori dantropik secara
langsung pada jaringan luka sebagaimana di dasarkan pada hasil percobaan hewan
dimana tidak didapatkan infeksi bacteri, madu dapat diharapkan memiliki efek nutrisi
secara langsung pada regenerasi jaringan karena mengandung asam amino, vitamin dan
trace elemen. Osmolaliti yang tinggi di madu menyebabkan produksi limposit yang
menyediakan nutrisi untuk regenerasi jaringan yang mana hanya dapat tumbuh sepanjang
titik granulasi. Penyembuhan terhambat jika sirkulasi buruk atau jika pasien
poorlynourished juga telah dianjurkan pada kondisi penurunan turgor dengan pemberian
madu dapat meningkatkan oksigenasi jaringan terdapat keuntungan secara ekonomis
dengan menggunakan madu sebagai dressing luka jika dibandingkan biaya pengobatan
secara konvensional dan pembiayaan akhir selama menjalani pengobatan sampai
penyembuhan perbandingan biaya yang dikeluarkan 480 F. untuk perawatan dengan
debrisand dibandingkan 7,5 F dengan perawatan madu 70$ untuk perawatan dengan
antibiotic disbanding 2$ pengobatan dengan madu, 40$ perawatan dengan duoderum
dibandingkan 8$ perawatan dengan madu. Observasi yang lain pada penurunan
pengeluaran biaya antibiotic, lama rawat menurun sedikitnya ½ dari perawatan biasa.
Disamping itu pembiayaan untuk debridement dan skingraf menjadi tidak perlu ketika
madu digunakan. Madu juga merupakan bahan pertolongan pertama yang bagus
terutama untuk luka pasien yang dapat terinfeksi sebelum dirawat secara medis. Madu
itu mudah didapat dan digunakan. Sebagian penyediaan antiinflamasi secara segera.
Pengobatan dengan madu juga akan menyediakan anti bakteri yang akan mempunyai aksi
dan membuat barier terhadap infeksi lanjut.

Anda mungkin juga menyukai