Anda di halaman 1dari 233

SOSIOLOGI PASAR

i
Dr. Peribadi, M.Si.
Dr. Darmin Tuwu, S.Sos, M.A.
Dr. Tanzil, M.Si.

SOSIOLOGI PASAR

Literacy Institute, 2018


ii
SOSIOLOGI PASAR

Penulis
Dr. Peribadi, M.Si.
Dr. Darmin Tuwu, S.Sos, M.A.
Dr. Tanzil, M.Si

ISBN:
xi+ 222 hlm.; 14,8 x 21 cm

Desain Sampul
Rio Kurniawan

Tata Letak
Agung Dermawansa

Penerbit
Literacy Institute
Bumi Wanggu Permai II Blok D/12
Kota Kendari, 93231, Telp. 085299793323
Email: literacyinstitute@yahoo.com
Website: www.literacyinstitute.org

Cetakan Pertama: Januari, 2018

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin
sah dari penerbit.

iii
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala Puji Kepada-Nya Yang Maha Berilmu


telah memancarkan secercah Nur-Nya ke dalam Fakultas Rohani
Hamba-Nya, sehingga hasil penelitian menyoal keberadaan Pasar
Tradisional dan Pasar Moderen dalam tinjauan Sosiologi Kontem-
porer di wilayah Pemerintahan Kota Kendari 2017, dapat diterbitkan
menjadi sebuah buku bacaan yang dapat menambah khasanah ke-
pustakaan sosiologi dan Kesejahtraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
Betapa tidak, mungkin saja keberadaan sebuah ruang sosial
perbelanjaan yang disebut pasar adalah seumur dengan keberadaan
manusia itu sendiri, sehingga sejak awal manusia telah berupaya
semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya.
Meskipun keberadaan pasar awal-mulanya lebih dominan pada inter-
aksi sosial ekonomi dalam bentuk pertukaran barang, namun dalam
perjalanannya tumbuh seiring dengan perilaku transaksi ekonomi
yang demikian masif. Karena itulah, maka kajian tentang keberadaan
pasar dengan berbagai problematikanya yang tertuang dalam buku
Sosiologi Pasar ini, menjadi penting dibaca dan didiskusikan, baik
dari sudut pandang ekonomi maupun dalam perspektif sosiologi.
Tampaknya, kian penting dikaji lebih mendalam sehubungan
dengan keberadaan pasar modern dengan berbagai asesorisnya yang
mengundang dan terus merangsang selera dan nafsu konsumeristik
pengunjung. Tentu saja, keberadaan pasar modern menyebabkan
proses infiltrasi dan penetrasi kebudayaan konsumeristik kian sulit

iv
terbendung di tengah kehidupan masyarakat kontemporer. Ikhwal
itulah yang dicemaskan oleh Piliang (1998) bahwa betapa ruang
sosial ekonomi perbelanjaan akan menjelmah menjadi sebuah bentuk
realitas semu yang berakibat pada kejahatan, gelandangan, kemis-
kinan dan sampah.
Tak pelak lagi, menurut Baudrillard (2006) bahwa pernak-
pernik ruang hipermarket tampil menjadi sebuah “kerangkeng fantas-
tis” yang berakibat buruk terhadap perilaku pengunjung. Menurutnya,
kebiasaan buruk tersebut harus diputus (breaking the habit). Dalam
konteks ini, harus ada upaya memutus kebiasaan buruk membelanja-
kan uang yang bukan pada tempat dan skalanya, memutus kebiasaan
buruk memuja dan mendewakan tubuh, memutus kebiasaan boros,
memutus kebiasaan hura-hura, dan sebagainya. Dengan demikian,
kita akan tetap menjadi orang Timur yang menjujung tinggi nilai-nilai
agama dan kebudayaan dalam setiap perilaku sosial ekonomi kita.
Pada gilirannya, pemiskinan psikologis dan kefakiran perilaku tidak
dijumpai lagi dalam masyarakat yang terus berubah kini dan
seterusnya.
Betapa demikian fenomenal, kaum elite berbelanja dan meng-
konsumsi barang dan jasa, hanya sekedar untuk menghabiskan uang.
Ironisnya, barang dan jasa yang dikonsumsi tersebut bukan didasar-
kan pada kebutuhan dan nilai kemanfaatannya namun karena gaya
(hidup), demi sebuah citra yang dikontruksi oleh iklan dan media.
Mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang sebetulnya tidak ber-
kesesuaian dengan tingkat rasio ekonomi. Hasilnya kita menjadi
manusia pemboros, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah.
Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidakpuasan. Kita
menjadi teralineasi karena perilaku konsumsi kita, yang pada giliran-
nya menghasilkan kesadaran palsu. Seperti itulah sesungguhnya salah

v
satu telaah kritis yang tertuang dalam buku ini, sehingga kian menarik
dibedah dan diperdebatkan.
Akhirnya, seyogyanya negara harus berdasar pada kebutuhan
masyarakat lokal yang bersifat bottom-up, bukan semata-mata ber-
pijak pada keinginan pemerintah dan pemilik modal yang bersifat top-
down. Dalam hal penertiban dan pemindahan pedagang kaki lima
(PKL) misalnya, pemerintah semestinya mengedepankan prinsip ke-
manusiaan, bukan atas nama penertiban dan penataan pasar lalu
negara menggunakan tangan besi yang disertai kekerasan yang tidak
manusiawi. Pada kasus proses pemindahan kembali pasar (relokasi
pasar tradisional pasca kebakaran), pemerintah dan pemilik modal
harus mengedepankan prinsip keadilan guna menjamin terpenuhinya
hak-hak sosial dan ekonomi para pedagang kecil yang tidak mem-
punyai cukup modal, supaya tidak melahirkan proses eksklusi sosial
(social exclution).
Upaya menghindari diskrepansi kebijakan dan regulasi dengan
realitas sosial yang terjadi sebagai penyebab eksklusi sosial di masya-
rakat, maka tentu saja dibutuhkan tatakelola pemerintahan yang
inklusif (inclusive governance) yang merupakan upaya untuk men-
ciptakan kondisi yang memungkinkan semua warga negara (semua
pedagang pasar) bisa mengakses lods-lods dan kios-kios untuk tempat
berjualan yang dibutuhkan agar mereka dapat hidup secara layak.
Sehingga kepentingan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha,
dan para pedagang) dapat diakomodir untuk menciptakan kesejah-
teraan masyarakat (social welfare) dan kemajuan daerah.

Kendari, Desember 2017


Penulis

vi
Daftar Isi

Bab 1. Prawacana ~ 1
A. Ruang Lingkup Kajian ~ 3
B. Sekilas Metode dan Pendekatan Studi ~ 4
Bab 2. Pasar Dalam Tinjuan Teoritis ~ 7
A. Perspektif Teori Sosiologi Moderen ~ 9
B. Institusi Pasar ~ 18
Bab 3. Sekilas Kota Kendari ~ 26
A. Perkembangan Kota Kendari ~ 28
B. Keadaan Geografis dan Demografis ~ 31
C. Kemiskinan di Kota Kendari ~ 44
Bab 4. Eksistensi Pasar dan Problematikanya ~ 57
A. Potret Pasar Tradisional ~ 60
B. Potret Pasar Moderen ~ 100
C. Sadarkan Diri dan Bangkitlah! ~ 107
Bab 5. Perilaku Konsumeristis dan Implikasinya ~ 113
A. Potret Perilaku Konsumerintis ~ 115
B. Fenomena Perilaku Konsumerintis Mahasiswa ~ 124
Bab 6. Deskripsi Sistem Ekologi Tempat Belanja ~ 178
A. Sistem Ekologi Tempat Belanja di Mall Mandonga ~ 180
B. Analisis Faktor-Faktor yang Berperan dalam Proses
Transaksi Sosial Ekonomi ~ 201
Bab 7. Penutup ~ 206
A. Simpulan ~ 206
B. Rekomendasi ~ 208
Daftar Pustaka ~ 211
Sekilas Tentang Penulis ~ 216
vii
Daftar Tabel

Tabel 1. Wilayah Administratif Kota Kendari Menurut


Kecamatan dan Kelurahan ~ 30
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Kendari Menurut Jenis Kelamin
dan Wilayah Kecamatan ~ 33
Tabel 3. Angka melek huruf Kota Kendari dari tahun 2010 s/d
2012 ~ 39
Tabel 4. Angka harapan hidup penduduk Kota Kendari tahun
2010-2015 ~ 43
Tabel 5. Tingkat Penurunan Penduduk Miskin Kota Kendari,
2004-2011 ~ 49
Tabel 6. Indeks Kedalaman Kemiskinan Kota Kendari,
Tahun 2002 – 2011 ~ 50
Tabel 7. Indeks Keparahan Kemiskinan Kota Kendari,
Tahun 2002 – 2013 ~ 51
Tabel 8. Tingkat Kemiskinan menurut KK Miskin pada Setiap
Wilayah Kecamatan se Kota Kendari, Tahun 2014 ~ 52

viii
Daftar Gambar

Gambar 1. Ketua Peneliti berpose di depan Pasar Moderen


pertama di Kota Kendari yang bernama Mall
Mandonga ~ 64
Gambar 2. Keadaan bangunan fisik Pasar Sentral Kota Kendari
~ 67
Gambar 3. Keadaan Pembangunan Fisik Pasar Baru saat ini
setelah direnovasi ~ 69
Gambar 4. Saat-saat peristiwa kebakaran Pasar Baru ~ 72
Gambar 5. Kios Bantuan Pemerintah ~ 74
Gambar 6. Letak Pasar Anduonohu dari Arah Samping Kanan
Pasar ~ 77
Gambar 7. Lokasi Pasar Lawata di Pinggiran Jalan Waktu Malam
Hari ~ 82
Gambar 8. Lokasi Terminal Pasar Baruga Kota Kendari ~ 84
Gambar 9. Pasar Pedagang Kali Lima (PKL) Kota Kendari dan
Ketua Peneliti tengah melakukan wawancara dengan
salah seorang penjual di Pasar Kaki lima Kota Kendari
~ 87
Gambar 10. Tampilan Posisi Pasar Rakyat Lapulu dari Arah
Sebelah Kanan Pasar ~ 91
Gambar 11. Pasar Nambo Yang Terletak di Jalan Poros Abeli
Moramo ~ 94
Gambar 12. Pasar Purirano Yang Terletak di Jalan R.E.
Martadinata ~ 97
Gambar 13. Mall Lippo Plaza Kendari ~ 106

ix
Gambar 14. Sambil menjaga stand pameran di acara ekspo UHO,
dua putri cantik bergigi kawat ini berpose dengan gaya
khasnya ~ 143
Gambar 15. Action 3 Orang Mahasiswa FISIP UHO Di Tangga
Live Hypermarket Kendari ~ 149
Gambar 16. Penampilan khas sang Mahasiswa FISIP UHO di DP
Black Barry ~ 151
Gambar 17. Mahasisiwi Sosiologi tengah berbelanja buah di Super
Market Kota Kendari ~ 154
Gambar 18. Santap sehidangan 2 orang Mahasiswi di sebuah
warung makan Wong Jowo Kota kendari ~ 156
Gambar 19. Nonkrong di sebuah free hotspot Kota Kendari ~ 158
Gambar 20. Makan dan minum bareng di Pelataran KONI Kota
Kendari ~ 160
Gambar 21. Santap sehidangan Penulis bersama Mahasiswa pada
sore hari di Kendari Beach Kota Kendari ~ 161

x
Refleksi
Imam Al-Ghazali Mengingatkan:
“Sesungguhnya Kemiskinan Rakyat disebabkan oleh Etos dan
Mentalitas Penguasa (Baca: Pejabat). Namun Kebrutalan Penguasa
adalah disebabkan oleh Impotensi Ulama dan Kaum Intelektual karena
faktor Ambisius Jabatan serta Enggan Melakukan
Telaah-Telaah Kritisisme.

Buku ini kami persembahkan kepada Rekan-Rekan Staf


Pengajar Sosiologi dan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari

xi
Bab 1
Prawacana

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Bersabda:


Akan datang sebuah zaman, yang mana seseorang tidak
memikirkan lagi dengan apa dia mencari harta. Apakah dari yang
haram atau dari yang halal? (HR. Bukhari)

Eksistensi pasar sebagai ruang sosial ekonomi harus terpadu


sebagai arena perbelanjaan tradisional dan modern. Demikian pula,
sistem ekologi pasar harus diintegrasikan antara pasar tradisional dan
pasar modern, sehingga memberi peluang dan kenyamanan kepada
warga masyarakat dari berbagai lapisan sosial untuk membeli ber-
bagai jenis kebutuhan sehari-harinya. Dalam konteks ini, menurut
Adiwoso (1984) bahwa keberadaan ruang sosial perbelanjaan di
negara-negara berkembang adalah ditandai oleh latar belakang hubu-
ngan antar pribadi (interpersonal) serta kualitas aktor yang mem-
pengaruhi perilakunya di pasar (market place behaviors). Hal itu
tampak nyata dalam proses tawar-menawar yang mencerminkan
makna sosial yang mendalam (meta-communicative meanings).
Interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di ruang per-
belanjaan merupakan realitas sosial yang bersifat mikro atau antar
pribadi dalam studi sosiologi. Refleksi kajian ini telah berlangsung
sejak Simmel sebagai ahli teori klasik terkemuka hingga pada dataran
sosiologi kontemporer yang beraliran interpretatif humanisme. Se-
sungguhnya pusat perhatian Simmel pada tingkat kenyataan sosial
Sosiologi Pasar | 1
yang bersifat mikro dan interpersonal tersebut serupa dengan pen-
dekatan dramaturgi yang dipelopori Goffman dengan perspektif inter-
aksionisme simbol yang dikembangkan oleh Blumer serta etno-
metodologi sebagai studi aspek-aspek realitas dari Garfinkel. Semua
ini menekankan konstruksi realitas yang dibuat seseorang di saat
interaksi sehari-hari berlangsung (Jhonson, 1985; Poloma, 1998;
Sunarto, 2000; Ritzer, 2013).
Secara faktual, tampak jelas bahwa dalam proses interaksi dan
tindakan komunikasi di tempat belanja terlihat berbagai macam peri-
laku tawar-menawar. Ada sebagian orang yang berbelanja bersifat
goal oriented dan terkesan cukup efisien dan efektif. Namun demi-
kian, juga ditemukan pola interaksi yang berlapis-lapis yang tidak
langsung pada sasaran, tetapi diawali dan diselingi dengan berbagai
macam pembicaraan yang pada dasarnya bermaksud untuk meme-
lihara hubungan manusiawi. Demikian pula di tengah-tengah proses
interaksi jual beli itu didapati interaksi yang bersifat khusus antara
penjual dan pembeli yang didasari dengan pertimbangan individunya
masing-masing.
Sejak tahun 90-an Kota Kendari telah beroperasi sebuah
‗Shopping Mall‘ m_\[a[c n_gj[n j_l\_f[hd[[h gi^_l_h ^_ha[h [h_e[
asesorisnya yang mutakhir. Kini, proses infiltrasi dan penetrasi ke-
budayaan konsumeristik tampak demikian fenomenal merasuki kehi-
dupan masyarakat kontemporer. Betapa ruang sosial ekonomi per-
belanjaan telah menjelmah menjadi sebuah bentuk realitas semu dan
artifisial yang berakibat pada alienasi, kejahatan, gelandangan, ke-
miskinan dan sampah (Piliang, 1998). Celakanya, pernak-pernik
ruang hipermarket itu juga telah menjadi ‗e_l[hae_ha `[hn[mncm‘ y[ha
berakibat buruk terhadap perilaku pengunjung. Namun menurut
Baudrillard (2006) bahwa perilaku buruk ini secepatnya harus di-
amputasi, sebab pada gilirannya idiologi konsumeristis dapat me-
2 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
rangsang libido kaum the have sebagai kelas menengah ke atas untuk
terus membelanjakan uangnya. Tak terkecuali, pun ikut serta meng-
giurkan bagi kaum kelas menengah ke bawah untuk mencicipi
barang-barang konsumtif tersebut.
Ikhwal itulah, sehingga hasil konstruksi sosial Super Mall
tersebut diklaim sebagai sebuah bentuk rasionalitas, namun kemudian
menurut Weber (dalam Jhonson, 1985 dan Ritzer 2013) akan mem-
buahkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality
of rationality). Hal ini pun kemudian menimpah kelas menengah ke
bawah yang relatif kemampuannya untuk larut dalam proses pen-
citraan status sosial artifisial itu. Dalam konteks inilah, urgensi kajian
perlu dikembangkan sebagai upaya antisipatif atas keberadaan pasar
tradisional dan pasar modern dengan berbagai problematikanya. Be-
tapa mengerikan ketika idiologi dan virus konsumerisme tidak
mampu lagi terbendung, sehingga kemudian secara langsung dan
tidak langsung kian menyemarakkan praktek punglinisasi dan gelagak
korupsinisasi. Tentu saja hasil-hasil Kolusi, Korupsi dan nepotisme
(KKN) itu sebagian besar tertumpah di ruang sosial perbelanjaan mu-
takhir. Itulah konsekwensi logisnya sebagaimana disinyalir oleh
Piliang (1998) bahwa kelak menjelmah sebuah bentuk realitas semu
yang sangat tidak menyenangkan dan pada gilirannya berakibat pada
kejahatan, orang-orang gelandangan, kemiskinan dan sampah.
A. Ruang Lingkup Kajian
Pertama, bagaimana gambaran ruang transaksi sosial ekonomi
tradisonal dan moderen dengan berbagai problematikanya di wilayah
Pemerintahan Kota Kendari dan sekitarnya? Kedua, bagaimana
bentuk dan pola interaksi sosial ekonomi dan tindakan komunikasi di
arena pasar tradisional dan pasar moderen sebagai faktor non

Sosiologi Pasar | 3
ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, terutama dalam
rangka pengembangan sosial ekonomi kerakyatan?
Ketiga, apakah dengan keberadaan tempat-tempat perbelanjaan
modern tersebut dapat mendorong perilaku pengunjung, terutama
penjual dan pembeli kepada pola interaksi yang efisien dan efektif
atau sebaliknya, bakal menimbulkan realitas semu yang kurang me-
nyenangkan sebagaimana yang disinyalir oleh Piliang sehubungan
dengan kondisi sosial ekonomi yang demikian fenomenal melanda
hampir semua tempat perbelanjaan moderen di kota-kota besar?
Penelitian bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi keberadaan
ruang sosial perbelanjaan di Kota Kendari dengan berbagai problema-
tikanya; (2) mengkaji pola interaksi sosial ekonomi dan tindakan
komunikasi sebagai faktor non ekonomi yang mempengaruhi arus
pertumbuhan ekonomi kerakyatan; dan (3) untuk memprakondisikan
pemetaan ideal tempat-tempat perbelanjaan melalui proses sintetis
antara pasar moderen dan pasar tradisional.
Hasil penelitian menjadi kontribusi yang sangat berarti bagi
dunia akademik dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu sosial
kontemporer, terutama dalam konteks sosiologi pasar yang ber-
kelindan dengan sosiologi korupsi. Disamping itu, hasil penelitian
memberi pertimbangan dan solusi alternatif kepada Pemerintah
Daerah Kota Kendari untuk mendesain lokalisasi sosial perbelanjaan
yang integral dan intrdependen antara pasar tradisional dan pasar
modern. Tak terkecuali, hasil penelitian juga dapat bermanfaat bagi
publik, terutama bagi aktor ekonomi yang bermain di wilayah pasar
tradisional dan pasar moderen.

B. Sekilas Metode dan Pendekatan Studi


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka
mengekplorasi proses interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di
4 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
arena perbelanjaan tradisional dan modern di Kota Kendari. Dalam
konteks ini, menurut Muhadjir (2011) bahwa informasi kualitatif
menjadi sama ilmiahnya dengan data kuantitatif, dan bahkan sering-
kali lebih valid. Meskipun demikian, data kuantitatif tetap menjadi
bahan pertimbangan dalam upaya mengonstruksi model perbelanjaan
yang menunjukkan sinergisitas potret pasar tradisional dan pasar
modern.
Penelitian ini berlangsung di semua wilayah perbelanjaan Kota
Kendari, karena pada saat ini lokasi perbelanjaan tersebut telah
berubah ke dalam bentuk Shopping Mall dan telah berkembang
beberapa tempat perbelanjaan moderen dan mutakhir lainnya. Selain
dapat ditemukan berbagai macam struktur dan model tempat ber-
belanja, juga memberi kesempatan untuk mengkaji tingkat per-
kembangan interaksi sosial sehubungan dengan dinamika sosial eko-
nomi yang telah tumbuh dan berkembang cukup pesat. Karena itu,
upaya penarikan sampel ditentukan secara proportional stritified
random sampling, namun untuk mengumpulkan data di lapangan,
maka dikembangkan melalui instrument dokumentasi, observasi dan
wawancara bebas serta mendalam kepada semua informan yang telah
ditentukan secara snow balling.
Ketika semua data telah berhasil dirampungkan baik dari hasil
kajian dokumen, proses pengamatan dan maupun dari hasil wa-
wancara bebas dan mendalam, dianalisis secara kualitatif dengan pen-
dekatan phenomenologik. Dalam proses pengamatan digunakan me-
tode etnografi komunikasi (ethnografi of communication) yang ber-
sifat heuristik, sehingga faktor-faktor yang berperan dalam interaksi
dapat diteliti. Demikian pula rekaman percakapan dianalisis dengan
cara ethnometodologik. Namun dalam upaya menangkap dan mema-
hami lebih jauh makna di balik interaksi yang menggejala, maka di-

Sosiologi Pasar | 5
gunakan analisa model interaksionisme simbolik (Milles, 1988;
Muhadjir, 2011; Moleong, 2013; Peribadi, 2016).

6 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Bab 2
Pasar Dalam Tinjuan Teoritis

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Bersabda:


Seseorang mengangkat kayu bakar di atas punggungnya, itu lebih
baik dari pada dia meminta-minta kepada seseorang, maka dia
dikasih atau ditolak (HR. Bukhari)

Pasar ideal merupakan ruang sosial ekonomi yang sukses


gemilang mensintesakan antara ruang perbelanjaan tradisional dan
ruang perbelanjaan modern. Kinerja ilmiah yang berorientasi kepada
upaya sinergisitas, sintetis dan proses integrasi antara sebuah variabel
dengan variabel lainnya telah dikembangkan oleh beberapa ahli ter-
dahulu. Hal itu terlihat pada kinerja ilmiah Peter Blau ketika menge-
luarkan teori pertukaran sosial dari lapangan reduksionisme psikologis
dan menempatkannya ke dalam lapangan sosiologis. Begitu pula ke-
tika Peter Berger mensintesakan dunia sosial objektif kaum fung-
sional dengan dunia subyektif dimaksud para ahli psikologi, sehingga
tercipta realitas sebagai hasil sintesis antara strukturalisme dengan
interaksionisme. Akhirnya, upaya mengikuti jejak ilmuwan tersebut,
maka Peribadi (2015) pun telah mengembangkan rekonstruksi para-
digma pembangunan partisipatif dengan mensintesakan basis komu-
nitas dan basis ESQ Power. Sesungguhnya, buku ini pun mencoba
memprakondisikan sebuah proses sinergisitas antara pasar rakyat
yang kategori tradisional dan modern.

Sosiologi Pasar | 7
Sehubungan dengan itu, realitas sosial yang bersifat mikro atau
antar pribadi dalam studi sosiologi telah berlangsung sejak Simmel
sebagai ahli teori klasik terkemuka hingga pada dataran sosiologi
kontemporer yang beraliran interpretatif humanisme. Sesungguhnya
pusat perhatian Simmel pada tingkat kenyataan sosial yang bersifat
mikro dan interpersonal tersebut serupa dengan pendekatan drama-
turgi yang dipelopori Goffman dengan perspektif interaksionisme
simbol yang dikembangkan oleh Blumer serta etnometodologi se-
bagai studi aspek-aspek realitas dari Garfinkel. Semua ini menekan-
kan konstruksi realitas yang dibuat seseorang di saat interaksi sehari-
hari berlangsung (Jhonson, 1985; Poloma, 1998; Sunarto, 2000;
Ritzer, 2013).
Secara fenomenal, walaupun teori dan konsep mengenai asas
masyarakat dan kebudayaan dari para ahli tersebut tampak saling ber-
beda dalam segi pendekatan, namun secara esensial mempunyai ke-
samaan bahwa: (1) unsur-unsur masyarakat dan sistem-sistem nilai
sosial yang ada didalamnya, demikian unsur-unsur kebudayaan dan
sistem nilai budaya yang ada di dalamnya saling terkait satu sama
lain secara terintegrasi; (2) unsur-unsur kebudayaan tidak lain dari se-
rangkaian aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan-
nya; (3) terintegrasinya unsur-unsur tersebut karena adanya prinsip-
prinsip yang disebut struktur sosial, pola kebudayaan, dan sistem-
sisten simbol yang tercermin di dalam etos dan pandangan hidup,
yang kesemuanya merupakan jiwa, watak yang memotivasikan ter-
jadinya hubungan keterkaitan; dan (4) Jiwa dan watak dimaksud ter-
cermin di dalam adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, pikiran-pikiran,
konsepsi-konsepsi, ide-ide, sikap dan tingkah laku seseorang individu
yang hidup dalam suatu masyarakat (Ihromi, 1999; Sumijati, 2001;
Manners dan Kaplan, 2002; Liliweri, 2003).

8 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
A. Perspektif Teori Sosiologi Moderen
Posisi Simmel yang berada di antara kedua ekskrim realitas
seperti tercermin dalam Durkheim dan nominalis yang tercermin
dalam definisi Weber itu melihat bahwa masyarakat lebih daripada
hanya sekedar suatu kumpulan individu serta pola perilakunya,
namun masyarakat tidak independen dari individu yang membentuk-
nya. Sebaliknya, masyarakat menunjuk pada pola-pola interaksi
timbal balik antar-individu. Pola-pola seperti itu bisa menjadi sangat
kompleks dalam suatu masyarakat yang besar dan bisa kelihatan
sangat riil secara obyektif pada individu. Tetapi, tanpa pola interaksi
timbal balik yang berulang-ulang sifatnya, kenyataan masyarakat itu
akan hilang (Jhonson, 1985; Ritzer, 2013).
Inti pendekatan Simmel meliputi pengidentifikasian dan
penganalisaan bentuk-bentuk yang berulang-ulang atau pola-pola
sosiasi (sociation). Sosiasi adalah terjemahan dari kata Jerman
Vergesell schaftung y[ha m_][l[ b[l`c[b \_l[lnc ―jlim_m j[^[ n_gj[n
g[my[l[e[n cno n_ld[^c‖. Simc[mc g_fcjonc chn_l[emc ncg\[f \[fce.
Melalui proses ini individu saling berhubungan dan saling mem-
pengaruhi, sehingga masyarakat itu sendiri muncul dengan berbagai
budaya dan karakteristiknya (Laeyendecker, 1983; Suyanto, 2010;
Scott, 2012).
Dalam pandangan Simmel, pokok permasalahan yang sangat
tepat untuk sosiologi adalah bentuk-bentuk interaksi dibandingkan
dengan isi interaksi. Bentuk-bentuk seperti sosiabilitas dan pacaran
menunjukkan pentingnya pembedaan itu, karena bentuk-bentuk
khusus itu dapat dimengerti tanpa harus menghubungkannya dengan
isinya. Sebagai ilustrasi, Simmel mencatat bentuk-bentuk sosiasi
m_\[a[c \_lceon: ―moj_lcilcn[m ^[h mo\il^ch[mc‖ eigj_ncmc, j_g\[ac[h
kerja, pembentukan partai, perwakilan, solidaritas ke dalam, disertai
dengan sifat menutup diri terhadap orang luar, dan sebag[chy[’’‖
Sosiologi Pasar | 9
bentuk-bentuk ini bisa dimanifestasikan dalam negara, dalam satu
komunitas agama, dalam komplotan, dalam suatu sosiasi ekonomi,
^[f[g m_eif[b e_m_hc[h, ^[f[g e_fo[la[‖^[h n_hno m[d[ doa[ ^[f[g
arena perbelanjaan.
Erving Goffman membatasi interaksi tatap muka sebagai
individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan-tindakan mere-
ka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara fisik.
Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri dari serangkaian
tindakan individu itu. Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari
partisipan tertentu disebut sebagai suatu penampilan (performance),
sedang orang-orang lain yang terlibat di dalam situasi itu disebut se-
bagai pengamat atau partisipan lainnya. Para aktor adalah mereka
yang melakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin (routine).
Goffman membatasi routine sebagai pola tindakan yang telah
ditetapkan sebelumnya, terungkap di saat melakukan atau diungkap-
kan dalam kesempatan lain (Sanderson, 1993; Sunarto, 2000).
Frame analisis yang pada dasarnya merupakan sturealitas
subjektif, Goffman menyatakan bahwa dalam setiap kegiatan tertentu
kita menggunakan frame untuk menangkap apa yang terjadi. Apakah
penampilan itu bersifat kebetulan, bercanda, penipuan, kekeliruan
atau suatu sandiwara? Dengan kata lain kita perlu membaca setiap
situasi memahaminya dan itu kita lakukan dengan menggunakan
norma-norma atau aturan-aturan yang sudah ada.
Mengetengahkan dimensi-dimensi yang terabaikan oleh kaum
strukturalis, Blummer juga berintikan pada analisa aspek-aspek peri-
laku manusia yang subjektif dan interpretatif. Bagi Blumer interksio-
nisme-simbolis bertumpu pada tiga premis, yaitu: (1) manusia ber-
tindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal dari interaksi
sosial seseorang dengan orang lain; (3) makna-makna tersebut disem-
10 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
purnakan di saat proses interaksi-sosial berlangsung. Seterusnya inter-
aksionisme simbolis mengandung sejumlah root images atau ide-ide
dasar yang di antaranya bahwa tindakan manusia adalah tindakan in-
terpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri (Poloma, 1998;
Sunarto, 2000; Ritzer, 2013).
Blumer menulis bahwa pada dasarnya tindakan manusia terdiri
dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahir-
kan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan
hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai
masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang ter-
sedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang
lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara ber-
tindak tertentu.
Etnometodologi yang mempunyai sejumlah persamaan dengan
pendekatan interaksionisme simbolis tersebut, adalah merupakan
studi empiris mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman
dunia sosialnya sehari-hari. Secara empiris etnometodologi mem-
pelajari konstruksi realitas yang dibuat seseorang di saat interaksi
sehari-hari berlangsung. Pada dasarnya etnometodologi Garfinkel me-
nantang konsep dasar (sosiologis) mengenai keteraturan. Tampaknya
dia setuju bahwa dalam peristiwa sosial hanya sedikit peristiwa yang
teratur. Keteraturan yang telah ditetapkan itu dibuat sesuai dengan
norma-norma yang membimbing bagaimana manusia menganggap
dunia sosial ini. Proses memahami keteraturan dunia sosial itu akan
menjadi jelas hanya disaat realitas tadi dipertanyakan. Ilustrasi proses
ini dapat dilihat dari analisa percakapan informal yang menunjukkan
bagaimana menangkap pengertian dari apa yang sebenarnya sedang
dikatakan (Jones, 2010).
Etnometodologi seperti itu juga dengan behaviorisme, drama-
turgi, dan interaksi simbolis melihat individu sebagai aktor yang men-
Sosiologi Pasar | 11
dasar dan sangat menentukan. Bagi Homans, dan Goffman serta
Blumer dan Garfinkel, individulah yang lebih berfungsi sebagai unit
analisa, dari pada organisasi-organisasi atau sistem-sistem sosial,
namun sesungguhnya Garfinkal lebih jauh menegaskan bahwa dalam
interaksi, individulah yang memberikan kesan organisasi sosial.
Akhirnya, secara fundamental atas proses interaksi yang di-
awali dengan kontak dan komunikasi sosial antara individu dengan
individu, kelompok dengan kelompok dan individu dengan kelompok,
adalah didasari oleh 4 (empat) faktor yang mempengaruhi (Soekanto,
1990). Pertama, faktor simpati yang menekankan bahwa seseorang
yang menjalin interaksi dalam hubungan sosial dengan orang-orang
yang ada dan hidup di sekitarnya, adalah karena merasa simpati dan
tertarik atas segala tingkah laku seseorang. Namun dalam konteks
kelompok sosial, seseorang berafiliasi dengan sebuah lembaga atau
organisasi sosial, karena ia merasa simpati, interes dan respon dengan
visi dan misi yang dikembangkan oleh suatu kelompok sosial.
Demikian halnya, seorang penjual dan pembeli yang melangsungkan
proses interaksi jual belinya, karena ada rasa simpati di antara
keduanya.
Kedua, faktor sugesti yang menekankan bahwa seseorang me-
masuki suatu kelompok sosial dan lembaga sosial, karena adanya
sugesti baik dari individu yang bersangkutan maupun individu yang
berkepentingan dengan pengembangan kelompoknya. Dalam konteks
ini, seorang penjual bergabung atau menjadi anggota dalam suatu
organisasi perdagangan, karena ada faktor sugesti yang berpengaruh
pada dirinya.
Ketiga, faktor identifikasi yang menekankan bahwa seseorang
yang bergabung secara langsung atau tidak secara transparan tetapi ia
merasa dan mengakui bahwa ia merupakan bagian integral dari
kelompok sosial tersebut. Kalau misalnya secara individu, seseorang
12 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
yang bermaksud beridentifikasi dengan seorang figur dari kalangan
tokoh masyarakat dan tokoh agama, maka biasanya ia tampilkan
dengan cara mengikuti ungkapan bahasanya, mengikuti model pakai-
annya dan mencoba berakting dengan cara meneladani segala ciri
khas dan karakter dari figur yang diidolakan tersebut.
Keempat, faktor imitasi adalah faktor interaksi yang lebih me-
nekankan bahwa seseorang yang menunjukkan tata cara berbicara dan
bertingkah laku, karena ia berimitasi dengan orang lain yang di-
gandrunginya. Karena itu, faktor yang keempat dan terakhir ini, me-
rupakan faktor interaksi sosial yang kategori kurang murni dalam
berhubungan dengan orang lain. Namun berdasarkan pada keempat
faktor tersebut, tampaknya keempatnya menjadi relevan dengan
interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di ruang sosial ekonomi
perbelanjaan.
Akan tetapi, bilamana kita menyimak tesis-tesis interpretatif
terurai di atas, terasa belum terimplementasi dalam kehidupan kita
sebagai negara sedang berkembang. Kenyataan menunjukkan bahwa
di negara yang telah maju pun pasar masih hidup, menunjukkan
bahwa organisasi pasar mungkin memberikan peluang bagi hubungan
yang bersifat tidak semata-mata an economic event, tetapi para
pelakunya dapat mencapai tujuan lain di samping transaksi barang
dengan mencapai keuntungan semaksimal mungkin (Poloma, 1998;
Sunarto, 2000). Sementara tujuan lain dimaksud itu, erat kaitannya
dengan teori tindakan sosial Weber. Menurutnya, ada empat macam
model yang ada di kalangan masyarakat dan keberadaan rationalitas
itu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi juga simultan menjadi acuan
perilaku masyarakat (Salim, 2002).
Pertama, Tradisionalitas Rationality merupakan refleksi dari
sebuah perjuangan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masya-
rakat, sehingga kerapkali diklaim sebagai tindakan yang non-rational.
Sosiologi Pasar | 13
Di tengah kehidupan masyarakat seringkali dikenal adanya aplikasi
nilai dan setiap kegiatan selalu berhubungan dengan orientasi nilai,
sehingga norma hidup bersama tampak lebih kokoh tumbuh dan
berkembang. Hal itu dapat dilihat pada upacara perkawinan yang
menjadi tradisi hampir semua kelompok etnis di Indonesia.
Kedua, Value Oriented Rationality adalah suatu kondisi
masyarakat yang melihat nilai sebagai potensi hidup, meskipun
acapkali tidak aktual dalam kehidupan kesehariannya. Kebiasaan ini
didukung oleh perilaku kehidupan agama serta budaya masyarakat
yang berurat-berakar dalam tradisinya. Misalnya, orang yang bekerja
keras sembari membanting tulang di Jakarta misalnya, tetapi hampir
setiap tahun hasil-hasil usahanya itu dibawa pulang ketika mudik ke
daerah. Demikian pula kebiasaan etnis tertentu yang terus berupaya
mengumpulkan modal, tetapi tujuannya adalah berhubungan dengan
upacara pembakaran mayat orang tua dan keluarganya. Hal itu juga
terlihat secara fenomenal pada etnis Bugis Makassar yang bekerja
keras siang dan malam dengan niatan untuk menunaikan Ibadah Haji.
Ketiga, Affective Rationality sebagai jenis rational yang ber-
muara dalam hubungan emosi yang sangat mendalam dan hal itu
seringkali berhubungan secara khusus dengan sesuatu yang tidak bisa
diterangkan. Misalnya, hubungan suami-istri, ibu-anak, ketua-anggota
kelompok dan lain sebagainya. Kalau suami/istri nyata-nyata ber-
salah, maka pasangannya selalu berusaha untuk membantu.
Keempat, Rationalitas Instrumental merupakan bentuk rational
yang paling tinggi, sehingga hampir semua komunitas, masyarakat,
dan etnik tertentu ditemukan berbagai unsur rationalitas yang di-
milikinya. Meskipun demikian, tampak hanya satu unsur rationalitas
yang paling populer, yakni ratonalitas ekonomi yang tampak sering
kali menjadi pilihan utama bagi masyarakat, terutama yang ber-
langsung di arena perbelanjaan. Karena itu, sepanjang sejarah kehi-
14 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dupan rationalitas itu bisa menggerakkan banyak perubahan sosial
serta mampu mengubah perilaku kehidupan orang. Keempat rasio-
nalitas dimaksud Weber tersebut, maka yang tampak erat kaitannya
dengan pasar sebagai ruang interaksi jual beli dan tindakan komuni-
kasi tawar menawar adalah Rationalitas Instrumental.
Sehubungan dengan itu, proses berbelanja di mall sebagai
tempat perbelanjaan modern bagi kalangan kelas menengah ke atas
pada masyarakat perkotaan modern, maka menurut Weber (Jhonson,
1985 dan Ritzer 2013) sesungguhnya merupakan suatu bentuk rasio-
nalitas, karena mall sebagai tempat perbelanjaan telah didesain dan
dikonstruksi secara sosial dan rasional. Namun kemudian justru
bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketak-
rasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rationality).
F[en[ chc g_holon B[o^lcff[l^ (2006) ^cm_\on m_\[a[c ‗e_l[ha-
e_ha `[hn[mncm‘, e[l_h[ m[l[h[ eihmogmc \[lo yang ditawarkan kepada
konsumen hanya merupakan gambaran (tanda) yang fantastis bukan
kebutuhan. Fenomena gaya hidup konsumtif tersebut menurut
Baudrillard (2006) merupakan kebiasaan buruk yang harus disingkir-
kan dan dihilangkan. Realitas mall adalah sebuah realitas yang
bersifat artifisial, karena di dalamnya berdenting aneka bentuk dis-
torsi dan kebohongan yang biasa disebut sebagai hiperrealitas.
Upaya mempertahankan sistem sosial dapat bertahan (survive)
seperti kultur jual beli pada masing masyarakat, maka menurut Parson
sistem harus memiliki empat fungsi. Pertama, adaptation (adaptasi),
sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kedua, goal attainment (pen-
capaian tujuan) sebuah sistem harus mendifinisikan dan mencapai
tujuan utamanya. Ketiga, integration (integrasi) sebuah sistem harus
mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
Keempat, latency (latensi atau pemeliharaan pola) sebuah sistem
Sosiologi Pasar | 15
harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi
individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan me-
nopang motivasi (Ritzer, 2010). Tentu saja keempat fungsi dimaksud
Parson tersebut tampak nyata berlangsung di dalam sebuah sistem
ekonomi tradisional dan moderen yang kemudian ditopang oleh
empat sistem tindakan, yakni: organisme perilaku yang melaksanakan
adaptasi, sistem keperibadian yang melaksanakan pencapaian tujuan,
sistem sosial yang menanggulangi fungsi integrasi, dan sistem kul-
tural yang melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.
Lanjut Parson (dalam Ritzer, 2010) menjelaskan sejumlah per-
syaratan fungsional dari sistem sosial, yakni: (1) sistem sosial harus
terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam
hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya; (2) untuk menjaga
kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang
diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu
memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proposisi yang signifikan;
(4) sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai
dari para anggotanya; (5) sistem sosial harus mampu mengendalikan
perilaku yang berpotensi mengganggu; (6) bila konflik akan menim-
bulkan kekacauan, itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelang-
sungan hidupnya sistem sosial memerlukan bahasa. Teori struktur
fungsional Parson tersebut, tampak relevan dengan sistem ekonomi
pasar sebagai suatu sistem sosial yang beradaptasi dan menyesuaikan
diri dengan masyarakat sekitarnya. Selain memiliki sistem keperi-
badian yang khas dalam memperjuangkan tujuan organisasi, juga
berupaya menegakkan kultur yang ideal yang sesuai dengan budaya
masyarakat dan dapat menjadi panutan komunitas sekitarnya.
Menurut Sanderson (2003) bahwa dalam sistem sosio-kultural
masyarakat yang sangat kompleks, penting untuk mengetahui sifat
pola-pola budaya yang beragam yang ada dalam masyarakat tersebut.
16 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Untuk alasan ini, para sosiolog mengembangkan konsep sub-kultur
dan budaya tandingan. Sub-kultur adalah budaya yang lebih kecil
yang ada dalam kerangka kebudayaan yang lebih besar. Anggota sub
kultur mengikuti pola budaya khas yang dalam beberapa hal berbeda
dengan budaya yang ada dalam kerangka kebudayaan yang lebih
besar. Namun pada saat yang sama umumnya menerima dan meng-
ikuti pola budaya yang lebih besar.
Menurut Tarimana (1995) bahwa berbagai teori dan konsep
mengenai asas masyarakat dan kebudayaan telah dikembangkan oleh
para ahli (antropologi, sosiologi dan psikologi) sebagaimana yang
berhasil dirampung oleh Abdurrauf Tarimana (1993), yakni: (1)
struktural-fungsional dipelopori oleh B. Malinowski (1922) melalui
teorinya a funcional theoryof culture atau teori fungsional tentang
kebudayaan; A.R Cliffe-Brown (1935) melalui konsepnya: social
structure atau struktur sosial; J.P.B dengan josselin dengan jong
(1936) melalui konsepnya Sociaale-struktuur atau struktur sosial dan
C. Levi-Strauss (1962) melalui konsepnya triangle culinaire atau segi
tiga kuliner; (2) Psikologi-antropologi yang dipelopori oleh R.F.
Benedict (1934) melalui konsepnya Pattern of culture atau pola-pola
kebudayaan; (3) antropologi religi yang dipelopori oleh Emile
Durkheim (1912) melalui konsepnya representative-collectives atau
kesadaran kolektif, dan Koentjaraningrat (1977; 1984) melalui kon-
sepnya integrasi lima komponen religi, yang dalam hal ini Ia di-
pengaruhi oleh Durkheim; dan (4) antropologi simbolik, yang di-
pelopori oleh C. Geertz (1973) melalui konsepnya: integration of
symbol system atau integrasi simbol-simbol.
Secara fenomenal, walaupun teori dan konsep mengenai asas
masyarakat dan kebudayaan dari para ahli tersebut tampak saling
berbeda dalam segi pendekatan, namun secara esensial mempunyai
kesamaan bahwa: (1) unsur-unsur masyarakat dan sistem-sistem nilai
Sosiologi Pasar | 17
sosial yang ada didalamnya, demikian unsur-unsur kebudayaan dan
sistem nilai budaya yang ada di dalamnya saling terkait satu sama lain
secara terintegrasi; (2) unsur-unsur kebudayaan tidak lain dari se-
rangkaian aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan-
nya; (3) terintegrasinya unsur-unsur tersebut karena adanya prinsip-
prinsip yang disebut struktur sosial, pola kebudayaan, dan sistem-
sistem simbol yang tercermin di dalam etos dan pandangan hidup,
yang kesemuanya merupakan jiwa, watak yang memotivasikan ter-
jadinya hubungan keterkaitan; dan (4) Jiwa dan watak dimaksud ter-
cermin di dalam adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, pikiran-pikiran,
konsepsi-konsepsi, ide-ide, sikap dan tingkah laku seseorang individu
yang hidup dalam suatu masyarakat (Ihromi, 1999; Sumijati, 2001;
Manners dan Kaplan, 2002; Liliweri, 2003).
Asas integrasi masyarakat dan kebudayaan inilah yang seharus-
nya menjadi acuan dalam upaya mengembangkan model antisipatif
dan kuratif terhadap gejala konflik serta beberapa konflik yang telah
terjadi. Demikian pula asas masyarakat dan kebudayaan inilah yang
seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam memahami pola-pola
sikap dan tingkah laku masyarakat serta merumuskan rencana pe-
ngembangan wilayah perkotaan di seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara.

B. Institusi Pasar
Sesungguhnya, market place behaviors dan meta-communi-
cative meanings sangat signifikan dengan kearifan-kearifan lokal
pada masing-masing komunitas. Karena itulah, yang menjadi kesim-
pulan dari hasil pengamatan Aditjondro selama 5 tahun di Irian Jaya
(1982-1987) yang dikutip oleh Husain (2013). Pertama, fungsi
‗j_l_e[n mimc[f‘ y[ha g_h^[g[ce[h e_g\[fc ^c [hn[l[ e_figjie-
e_figjie g[my[l[e[n y[ha n_f[b \_lnce[c. K_^o[, `ohamc ‗j_g_l[n[[h
18 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
e_e[y[[h‘ ^[lc y[ha f_\cb \_l[^[ e_ y[ha eol[ha \_l[^[. K_nca[,
`ohamc ‗j_hy_cg\[ha g_hn[f‘ y[ha g_ha[^[e[h ^[h g_g\_lc
kesempatan rekreasi kolektif di tengah-tengah irama kehidupan dan
pencarian nafkah yang penuh tantangan di alam bebas. Keempat,
fungsi penyeimbang dan pemerataan keperluan gizi, karena pada
setiap pesta adat ada salah satu sumber gizi yang langka, misalnya
protein hewani dan nabati yang dibagi-bagikan dalam partai besar.
Kelima, fungsi penyeimbang hubungan ekologis antara manusia dan
alam.
Sehubungan dengan itu, menurut Malik (2010) bahwa dalam
perspektif ekonomi murni, pasar (market) hanya cenderung dikonsep-
mce[h m_\[a[c n_gj[n \_lf[hamohahy[ jlim_m ‗nl[hm[emc do[f-beli
\[l[ha ^[h d[m[‘ [hn[l[ j_hdo[f ^_ha[h j_g\_fc. Alnchy[, n[hj[
memiliki keterkaitan dengan berbagai institusi sosial lainnya, misal-
nya budaya dan agama. Oleh karena itu, pasar berfungsi menjadi
sebuah institusi ekonomi yang bekerja menurut mekanisme peng-
[nol[h ^clc m_h^clc, y[ha ^ce_h[f ^_ha[h ‗boeog j[m[l‘. P[^[ eihn_em
tersebut, basis moralitas yang telah berakar dengan kuat dalam
masyarakat, tidak memiliki ruang yang cukup kondusif untuk ber-
kembang di pasar. Karena pasar hanya sekedar mempertemukan para
penjual dan pembeli dengan orientasi perhitungan untung-rugi. Tinda-
kan rasional ekonomi individu yang berlangsung di pasar, tidak di-
pengaruhi hubungan-hubungan sosial yang ada dan telah berkembang
dalam masyarakat. Artinya, inter-aksi antar-individu di pasar adalah
\_lmc`[n ‗[nigcm[mc mimc[f‘ (individualitas). Konsepsi pemikiran yang
demikian ini, sesuai dengan asumsi dasar yang dikembangkan oleh
para ilmuwan ekonomi klasik, yang menempatkan manusia sebagai
‗g[ebfoe _eihigc‘ (homo economicus).
Sebaliknya, menurut Alexander, (dalam Malik, 2010) bahwa
keberadaan pasar dikonsepsikan sebagai sebuah institusi ekonomi
Sosiologi Pasar | 19
yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan interaksi
sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses transaksi jual-beli barang dan jasa antara pen-
jual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu sistem
sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer,
pedagang besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan dengan
pranata yang melembaga dan secara simultan lebih bersifat ekonomi
dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena mengaitkan hubungan
mereka dengan tersedianya pasokan-pasokan barang dan uang. Se-
dangkan secara sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan,
dan klien.
Selain itu menurut Nugroho yang juga dikutip Malik (2010)
bahwa merujuk pada konsep pemikiran tersebut, maka pasar sebagai
lembaga ekonomi masyarakat merupakan ekspresi dari hubungan-
hubungan sosial. Dengan pengertian lain bahwa tindakan ekonomi
yang dilakukan oleh setiap individu—baik penjual maupun para
pembeli—yang berlangsung di pasar, pada hakekatnya dipengaruhi
oleh konteks sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Karena memang aktivitas ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan
dari kehidupan sosial, yang keberadaannya mengakar dengan kuat
dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Artinya, meskipun
tindakan ekonomi yang berlangsung di pasar mengedepankan kalku-
lasi untung-rugi, tetapi juga merupakan bagian dari konstruksi sosial.
Apa yang menjadi realitas ekonomi yang terkonstruksi di pasar, juga
merupakan suatu realitas sosial. Oleh karena aktivitas ekonomi yang
berlangsung di pasar dengan melibatkan para penjual dan pembeli
dalam bentuk pertukaran barang dan jasa. Namun, dalam proses per-
tukaran tersebut bukan hanya menunjuk pada keberlangsungan tran-
m[emc _eihigc m_g[n[. T_n[jc doa[ g_h[h^[e[h n_ld[^chy[ ‗j_lcmncq[
mimc[f‘ y[ha g_h^iliha \_lf[hamohahy[ jloses interaktif antar-
20 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
individu dan terbangunnya hubungan-hubungan personal yang mem-
\_hnoe ‗d[lcha[h mimc[f‘, \[ce m_][l[ `ilg[f g[ojoh ch`ilg[f.
Terbentuknya pasar adalah sebagai suatu konsekwensi logis
terhadap pelembagaan transaksi jual-beli melalui perdagangan.
Menurut Hans-Dieter Evers (1994) bahwa tidak ada pasar tanpa
proses perdagangan, sebaliknya tidak ada perdagangan tanpa adanya
pasar. Terkait dengan konteks ini, maka Evers pun mengkonsepsikan
pasar m_\[a[c m_\o[b ‗chmncnomc mimc[f‘ yang di dalamnya diatur oleh
norma-norma dan sanksi-sanksi, kemudian digerakkan oleh proses
inter-[emc mimc[f. D[f[g b[f chc, j[l[ j_^[a[ha m_\[a[c ‗e_figjie
j_e_ld[‘ y[ha domnlo menempati posisi sentral ketika berlangsungnya
inter-aksi sosial. Karena harga-harga berbagai kebutuhan konsumen
di pasar ditentukan oleh para penjual. Namun, yang menjadi starting
point terhadap konsepsi tersebut, adalah bahwa pasar tidak hanya
sekedar berfungsi sebagai sebuah institusi ekonomi yang secara riel
terlembagakan dengan pertukaran barang dan jasa melalui pengem-
bangan aktivitas perdagangan. Tetapi juga sebagai salah satu institusi
masyarakat yang memang terkonstruksi secara sosial, yang justru
mendorong berlangsungnya mekanisme sosial.
Sehubungan dengan itu, tampaknya ada satu hal yang tidak
berubah dari keberadaan pasar, baik pasar tradisional maupun pasar
modern. Pembeli yang mempunyai karakteristik berbeda-beda, se-
hingga Damsar (2002) mengklasifikasikan pembeli ke dalam be-
berapa tipe. Pertama, adalah pengunjung yang datang ke lokasi pasar
tanpa bermaksud untuk melakukan transaksi jual beli barang dan jasa.
Mereka ini adalah orang-orang yang hanya datang untuk meng-
habiskan waktu luangnya di ruang sosial perbelanjaan. Bagi masya-
rakat perkotaan di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Makassar banyak dijumpai anak-anak muda yang datang ke lokasi

Sosiologi Pasar | 21
pasar ketika mereka pulang sekolah, di sepanjang waktu liburan dan
atau di akhir pekannya.
Aktivitas ini dikenal sebagai mejeng. Kalaupun mereka mem-
beli sesuatu, biasanya yang dibeli adalah sekedar makanan dan minu-
man. Tampaknya, aktivitas mejeng menarik perhatian banyak orang
karena tidak hanya dilakukan oleh anak-anak muda, tetapi juga di-
lakukan oleh semua kelompok umur, mulai dari anak-anak dan remaja
sampai pada orang dewasa dan orang tua. Pada akhir pekan banyak
orang tua yang membawa anak-anak mereka untuk menikmati ruang
perbelanjaan modern. Hal ini berarti pasar tidak hanya merupakan
institusi ekonomi tempat berlangsungnya transaksi jual beli, tetapi
juga sebagai tempat rekreasi. Demikian halnya di wilayah pedesaan,
lokasi pasar juga dapat digunakan sebagai tempat pertemuan antar
sesama warga sedesa atau dengan tetangga desa dengan tujuan yang
bermacam-macam.
Kedua, adalah orang-orang yang datang ke lokasi pasar dengan
maksud untuk membeli barang atau jasa. Pada kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, dll, seorang pembeli
yang ingin mengetahui harga dari barang yang dibutuhkannya dapat
mengetahui secara langsung dengan mengunjungi toko swalayan,
pusat perbelanjaan (shopping center), dan sejenisnya yang telah men-
cantumkan label harga pada setiap produk yang ditawarkan. Mereka
dapat memilih barang yang dibutuhkannya sesuai dengan kualitas
yang diinginkannya dan dana yang tersedia. Pada pasar jenis ini
umumnya pembeli melayani diri sendiri: barang yang diperlukan
dapat dicari sendiri, dicoba, kemudian dibawa ke kasir atau ditaruh ke
raknya kembali. Namun demikian, di kota-kota besar pun terdapat
pasar-pasar biasa seperti pasar Blok A atau pasar Majestik Jakarta
Selatan yang menawarkan barang dengan harga bergeser, sehingga

22 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
pembeli dapat melakukan tawar menawar untuk mendapatkan barang
dengan harga yang relatif murah.
Ketiga, adalah pelanggan yang datang ke lokasi pasar dengan
maksud untuk membeli barang atau jasa di suatu tempat penjualan
yang sudah ditentukan sebelumnya. Seseorang yang menjadi pembeli
tetap dari seorang penjual tidak terjadi secara kebetulan, tetapi
melalui proses interaksi sosial yang sudah berlangsung lama. Dalam
suatu kesempatan ketika proses transaksi sosial ekonomi antara pen-
jual dan pembeli sedang berlangsung, maka sengaja atau tidak penjual
memperlakukan pembeli tidak hanya sebagai seorang yang memberi
keuntungan material, tetapi juga sebagai seorang yang perlu diberi
perhatian, misalnya dengan menanyakan sekolah anak, masalah pe-
kerjaan, dan seterusnya.
Keempat, adalah penjual atau pedagang sebagai kelompok
sosial ekonomi yang mengembangkan aktivitas perdagangan dalam
bentuk perorangan atau berbentuk institusi yang memperjualbelikan
produk berupa barang dan jasa kepada konsumen baik secara lang-
sung maupun tidak langsung. Dalam konteks ekonomi, pedagang di-
bedakan menurut jalur distribusi yang dilakukan: (1) Pedagang distri-
butor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu
produk dari perusahaan tertentu; (2) Pedagang (partai) besar yaitu pe-
dagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang di-
maksudkan untuk dijual kepada pedagang lain; dan (3) Pedagang
eceran yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada konsu-
men.
Keberadaan saudagar sebagai orang dan kelompok sosial eko-
nomi yang memiliki etos kerja yang tinggi, maka menurut Rahardjo
(2002) bahwa Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya
‗Mok[^^cg[b‘, g_haeihm_jmce[h _nim e_ld[ m_\[a[c goh]ofhy[ hcf[c
tertentu dalam kehidupan manusia yang bersumber dari rangkaian
Sosiologi Pasar | 23
hasil kerjanya. Pemanfaatan terhadap nilai kerja itu menjadi kata
kunci untuk mencari rizq. Karena Tuhan melalui ketentuan rahmat-
Nya memberikan rizq kepada setiap orang. Namun, sebagai syarat
utamanya kalau seseorang itu bekerja untuk mendapatkan rizq yang
telah ditetapkan oleh Tuhan. Terkait dengan hal tersebut, Al-Qol‖[h
memberikan dorongan: ‚Dan katakanlah, bekerjalah kamu maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu‛, “ (QS. 9:105).
Konsepsi normatif-teologis al-Qol‖[h n_lm_\on, ^[f[g l_[fcn[m
empirik menurut Ibnu Khaldun menjadi sumber motivasi dalam akti-
vitas kerja bagi setiap orang untuk mendapatkan penghasilan, ke-
untungan, dan pembentukkan modal dalam perdagangan. Karenanya,
Islam mengajarkan bahwa terbentuknya etos kerja bagi seorang
muslim, berkaitan dengan keyakinan agamanya yang diimplementasi-
kan dalam bentuk amal ibadah (ubudiyah) kepada Tuhan dan amal
sosial (muamalah) terhadap sesama manusia. Menurut Kuntowijoyo
(2008) bahwa konsep Islam tentang rahmat bagi semesta alam
(rahmatan lil ‘alamiyn), dan bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi
pemusatan dari semua orientasi nilai. Sementara itu, pada keadaan
yang sama menempatkan manusia sebagai tujuan transformasi nilai
tersebut. Makanya, ajaran Islam bukan hanya berkaitan dengan
masalah teologi, aturan hukum, dan peribadatan; tetapi juga men-
dorong berlangsungnya penataan kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan budaya.
Paradigma Islam, tidak mengenal adanya dikotomis antara
domain kehidupan dunia yang bersifat sekuler dan juga domain
akhirat yang menjadi fokus utama dari pengajaran agama. Melainkan
kepentingan keduanya terintegrasi secara kuat sebagai basis ter-
bangunnya peradaban umat manusia. Karena secara filosofis, Islam
g_h_gj[ne[h g[homc[ ^[f[g \chae[c ‗bog[hcmg_ n_im_hnlcm‘. D[f[g
24 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
konteks ini, manusia tidak hanya memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi juga mengarahkan tindakannya pada proses
transformasi nilai kehidupan masyarakat.
Berdasarkan teori dan konsep-konsep terurai di atas, saya me-
lihat bahwa interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di pasar
sentral Kota Kendari belum sepenuhnya berorientasi pada tujuan
ekonomi yang efisien dan efektif, tetapi masih banyak menampakkan
struktur interaksi yang berlapis-lapis dan tetap terjalin hubungan ke-
manusiaan berbasis sosial budaya. Dalam kaitannya dengan kehadiran
perbelanjaan moderen, maka menurut Piliang (1998) bahwa di dalam
sebuah Shopping Mall, sesungguhnya realitas perkotaan diambil alih
kesemua komoditi-komoditi, sehingga masyarakat sebagai pembeli
seolah diajak bertamasya di dalam suatu sirkuit, dari suatu lingkungan
tema ke lingkungan tema berikutnya; di dalam suatu ekologi fantasi
yang nyata, yang semakin menjauhkan kita dari makna-makna luhur.
Dampak dan implikasi sosial lebih lanjut ke permukaan adalah selain
hanya sekedar ingin menikmati suasana dari sebuah ekologi khas dan
baru yang mungkin bisa memuaskan pandangan mata. Namun sebagai
manusia dan masyarakat yang hidup dalam negara sedang ber-
kembang dengan berbagai karakteristiknya, maka pada gilirannya
akan dapat terangsang untuk memiliki segala apa yang dipertontonkan
di dalam lingkungan tersebut.

Sosiologi Pasar | 25
Bab 3
Sekilas Kota Kendari

Uraian dalam bagian ketiga ini bersumber dari buku penulis


‗Reconstruction of Participatory Paradigm Based on ESQ Power‘
(Peribadi, 2015). Kendari Kotaku adalah kubangun dengan amal,
eogcfcec ^_ha[h cg[h, ^[h eo\[haa[e[h ^_ha[h ^i‖[. H[f chc g_-
rupakan substansi dari prinsip kebersamaan yang harus diwujudkan
menuju Kota Kendari Bertaqwa. Betapa penting prinsip ini di-
kedepahe[h, e[l_h[ ‘eo_ j_g\[haoh[h‘, m_f[g[ chc b[hy[ ^chceg[nc
oleh segelintir orang. Demikian menurut Suwarsono dan Alvin (1994)
bahwa orientasi pada model pertumbuhan hanya sukses menempatkan
segelintir orang menjadi kaya dan kebanyakan orang menjadi kian
miskin. Sementara konsep efek tetesan ke bawah (trickle-down ef-
fect), justru yang terjadi adalah penyedotan ke atas (trickle-up ef-fect)
dan proses penyedotan produksi (production squeeze). Pantaslah jika
Chaniago (2012) menyebutkan bahwa guncangan moneter pada per-
ekonomian Indonesia tanggal 20 Juli 1997, merupakan sirine pertanda
awal runtuhnya perekonomian Indonesia yang menggelembung sejak
Tahun 1988. Sehingga kemudian berlanjut kepada situasi turbulensi
ekonomi, sosial dan politik.
Kendari Kotaku yang kumiliki dengan iman adalah sebuah
prinsip yang harus menghunjam ke dalam sanubari penduduk Kota
Kendari.Hal itu, terutama bagi kaum elite sosial yang dimanahi tugas
dan tangggung jawab masa depan untuk menumbuhkembangkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Dalam segala suka dan
26 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
^oe[, m_go[ eigjih_h g[my[l[e[n b[lom ^o^oe m_d[d[l ohnoe ‘m[hn[j
m_bc^[ha[h‘ m_\[a[c j_lqodo^[h ^[lc g[eh[ e_cg[h[h mimc[f. Bukan
segelintir orang yang keyang dan mayoritas lainnya kelaparan dan
miskin papa.
Kendari Kotaku yang kubanggakan dengan doa merupakan
refleksi kemuliaan dari seseorang yang memancarkan rasakeikhlasan
dan ketulusannya.Mereka senantiasa menengadahkan tangannya ke
f[hacn, m_bchaa[ ein[hy[ nc^[e g_hd_fg[b g_hd[^c ‗Kin[ N_l[e[‘.
Dalam konteks ini, semua pihak harus memahami bahwa kontribusi
seseorang terhadap wilayahnya, tidak boleh hanya diukur secara par-
tisipatif semu. Karena boleh jadi ada orang yang memberi kontribusi
maksimal dalam bentuk doa, sehingga perkampungannya terhindar
dari bencana sosial, bencana politik, bencana ekonomi dan bencana
alam lainnya.
Iebq[f cnof[b y[ha g_loj[e[h e_l[hae[ j_g\[haoh[h ‗Kin[
D[f[g T[g[h‘ y[ha m_f[g[ chc ^c^_haoha-dengungkan di wilayah
Pemerintahan Kendari dalam simbolisme Kotaku yang Kubangun
^_ha[h [g[f, Kogcfcec ^_ha[h cg[h, ^[h Ko\[haa[e[h ^_ha[h ^i‖[
melalui strategi pembangunan 345 (Heart, Head and Hand); (Bina
Spritual, Bina Sosek, Bina Lingkungan, Bina Kantibmas) dan (Ethic
and evironment, employment economic, evironment ecology, equality
democratization dan Engagement participation).
Betapa relevansinya strategi simbolistis ini dengan kondisi
perilaku penyimpangan Kepala Daerah sebanyak 86,22 persen yang
tersangkut kasus korupsi (Tempo.Co, Kamis 24 Juli 2014). Dan
bahkan 10 kepala daerah yang ditenggarai memiliki rekening gendut,
termasuk elite politik Sulawesi Tenggara yang telah dibeberkan
sebagai salah seorang pemilik rekening gendut itu (Media Indonesia,
Sabtu 20 Desember 2014). Hal ini menuai berbagai reaksi, komentar
dan kecaman dari warga masyarakat Sulawesi Tenggara (Tempo.Co,
Sosiologi Pasar | 27
Minggu 21 Desember 20140). Ironisnya, para elite cenderung
memperlakukan jabatan sebagai hak milik. Ketika mereka berlumuran
kasus hukum, maka pemburu kekuasaan itu enggan menanggalkan
jabatannya (Media Indonesia, Rabu 6 Mei 2015). Celakanya lagi,
politik dinasti yang selama ini menjadi penyumpal dan parasit demo-
krasi telah dilegalkan (Media Indonesia, Kamis, 9 Juli 2015).

A. Perkembangan Kota Kendari


Kota Kendari pada masa Pemerintahan Kota Belanda meru-
pakan Ibu Kota Onder Afdeeling Laiwoi dengan luas wilayah ketika
itu kurang lebih 31,420 Km2. Dalam perkembangannya kemudian,
maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, terbentuk-
lah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kendari ditetapkan sebagai ibu
kota yang terdiri dari 2 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Kendari
dan Kecamatan Mandonga dengan luas wilayah 76,760 Km2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1978 Kota
Kendari ditetapkan sebagai Kota Administratif dan berkembang
menjadi 3 wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kendari, Kecamatan
Mandonga dan Kecamatan Poasia dengan luas wilayah 187,990 Km2.
Namun atas dasar Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1995 yang
disyahkan pada tanggal 3 Agustus 1995. Maka status Kota Kendari
tumbuh dan berkembang lagi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II
Kendari. Akan tetapi seiiring dengan penetapan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian berganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Akhirnya, Kotamadya Kendari men-
jadi Kota Kendari hingga saat ini dengan segala dinamika sosial dan
perubahan budayanya.
Ketika dinamika pembangunan daerah terus berkembang, maka
secara administratif Kota Kendari meluas lagi menjadi 6 (enam)
wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Mandonga, Poasia, Baruga,
28 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Abeli, Kendari dan Kecamatan Kendari Barat. Namun dalam rangka
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, Pemerintah Kota
Kendari saat ini telah berkembang lagi menjadi 10 kacamatan. Di
antaranya adalah yakni Kecamatan Mandonga, Kecamatan Baruga,
Kecamatan Puuwatu, Kecamatan Kadia, Kecamatan Wua-Wua, Keca-
matan Kendari, Kendari Barat, Kecamatan Poasia, Kecamatan Abeli
dan Kecamatan Kambu. Demikian juga pada tingkat kelurahan yang
semula hanya terdiri dari 54 wilayah kelurahan. Kini telah dimekar-
kan menjadi 64 wilayah kelurahan, 347 RW dan 975 RT sebagaimana
tertuang dalam tabel 1.
Sehubungan dengan pergeseran Sistem Pemerintahan dari pola
sentralistik kepada pola desentralisasi. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Ke-
uangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Maka mulai saat ini, tidak
hanya memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah
untuk mengendalikan roda pemerintahan secara lebih demokratis.
Akan tetapi, juga menjadi momentum strategis untuk memanfaatkan
sumberdaya secara lebih komprehensif dengan penuh rasa tanggung
jawab.

Sosiologi Pasar | 29
Tabel 1. Wilayah Administratif Kota Kendari Menurut Kecamatan
dan Kelurahan
No. Kecamatan Jumlah Kelurahan Luas Daerah (Ha)
1. Kendari 9 1.956
2. Kendari Barat 9 2.298
3. Puuwatu 6 4.271
4. Mandonga 6 2.336
5. Kadia 5 910
6. Wua-Wua 4 1.235
7. Baruga 4 4.958
8. Kambu 4 12.235
9. Poasia 4 4.352
10. Abeli 13 4.961
Luas Kota Kendari 64 39.512
Sumber: Dinamika Pembangunan Kota Kendari, Tahun 2014.
Salah satu implementasi dari hasil penerjemahan undang-
undang oleh Pemerintah Kota Kendari, adalah lahirnya konsep Kota
Hijauh. Hal ini merupakan konsep pembangunan kota berkelanjutan
dan ramah lingkungan melalui strategi pembangunan 345 sebagai
strategi pembangunan yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi,
kehidupan sosial dan perlindungan lingkungan. Karena itulah, Peme-
rintah Kota Kendari terus berupaya maksimal untuk mengimple-
mentasikan visi misi: ‗M_qodo^e[h Kin[ K_h^[lc n[boh 2020 m_\[a[c
ein[ ^[f[g n[g[h y[ha \_ln[kq[, g[do, ^_giel[ncm ^[h m_d[bnl[‘
menuju kota dalam taman (green city), kota bertaqwa (spritual city)
dan kota maju serta demokratis (smart city).

30 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
B. Keadaan Geografis dan Demografis
Aspek Geografis. Kota Kendari yang membentang dari bujur
Utara ke bagian Selatan yang dikelilingi Gunung di belahan Utara.
Luasnya terdiri atas kurang lebih 295,89 Km 2 atau 0,70 persen dari
luas daratan Propinsi Sulawesi Tenggara, sehingga pengembangan
wilayah perkotaan diarahkan ke bagian Selatan. Kota Kendari yang
terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi adalah sebagian besar
berada di wilayah daratan Pulau Sulawesi yang mengelilingi Teluk
Kendari. Di antaranya yang berbatasan langsung dengan beberapa
wilayah administratif di sekitarnya, yakni:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia Kabupaten
Konawe.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo dan
Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan.
c. Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Rano-
meeto Kabupaten Konawe Selatan dan Kecamatan Sampara
Kabupaten Konawe.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda dan Kecamatan
Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan.
Keadaaan topografi wilayah Kota Kendari pada dasarnya dapat
dikategorikan sebagai daerah yang tanahnya bervariasi, yakni antara
tanah yang berbukit-bukit dengan tanah yang datar. Jika diukur ke-
tinggiannya dari permukaan laut, pada bagian Utara teluk Kendari
sampai pegunungan Nipa-Nipa berkisar antara 0 sampai 300 meter.
Adapun posisi pantai bagian Barat merupakan daratan yang luas
dengan bukit-bukit di sekitarnya, dan sebagian kecil lainnya merupa-
kan daerah rawa-rawa.
Kota Kendari mempunyai iklim yang tropis dengan suhu rata-
rata antara 21 sampai 330 C dan kelembaban udara rata-rata 870,
sebagian besar dipengaruhi oleh angin Barat/Barat Daya yang bertiup
Sosiologi Pasar | 31
pada bulan Mei sampai pada bulan Agustus. Demikian pula Kota
Kendari yang terletak di sekitar pesisir pantai, iklimnya pun
dipengaruhi oleh angin laut dan curah hujan yang terjadi pada bulan
Pebruari sampai pada bulan Agustus. Sebagaimana halnya dengan
daerah-daerah lain, Kota Kendari diterpah oleh musim kemarau dan
musim hujan. Menurut data dari Stasiun Meteorologi Maritim
Kendari tahun 2012 bahwa telah terjadi sebanyak 59 hari hujan
dengan curah hujan 1.549,3 mm.
Aspek Demografis. Kondisi sosial penduduk dalam berbagai
aspek menjadi indikator utama atas kemajuan dan keterbelakangan
suatu masyarakat, daerah, bangsa dan negara. Penduduk sebagai
Sumber Daya Manusia (SDM) tampak lebih menentukan jika
dibanding dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki.
Namun keduanya merupakan potensi yang harus saling menunjang.
Hanya saja, tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebuah bangsa dan
negara yang maju pesat menjadi negara-negara industri seperti
Jepang. Demikian menurut Tominaga (dalam Ritzer, 2013) bahwa
Jepang ditunjang oleh faktor SDM yang berkualitas sebagai hasil dari
proses modifikasi yang terus mengembangkan hiperasionalitas-nya.
Sementara bangsa dan negara kita cenderung meng-copy paste
segalanya yang datang dari belahan dunia Barat.
Ikhwal ini merupakan evaluasi yang sangat logis (the logic of
evaluation), karena beberapa negara seperti bangsa Indonesia yang
sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Namun tiba-tiba saja
terpelanting menjadi negara negara terbelakang (under development),
dan bahkan kini mulai menjelmah gejala jenis terbelakang lainnya
(the other underdevelopment). Dengan demikian, etos kerja kaum
elite kita yang diberi amanah untuk mengendalikan roda pemerin-
tahan serta mengelola potensi Sumber Daya Alam, belum memiliki

32 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
kecerdasan inteleksi (intelektualspiritual) dan kecerdasan kreativitas
yang prima dan maksimal.
Potensi laju pertumbuhan penduduk Kota Kendari dari Tahun
2008 sampai pada Tahun 2011 mencapai sebanyak 295.737 jiwa.
Pada satu sisi, laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Kendari Barat
berada di bawah laju pertumbuhan Kota Kendari sebesar 5,60%.
Namun pada sisi lain, Kecamatan Mandonga, Baruga, Poasia, Abeli
dan Kendari terlihat mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan
Kota Kendari, yakni masing-masing sebesar 16,1%, 36,37%, 7,32%
dan 11,17%. Akan tetapi, menurut BPS Kota Kendari bahwa jumlah
penduduk Kota Kendari pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi
304.862 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 153.922 jiwa dan
perempuan sebanyak 150.940 sebagaimana tercantum dalam table 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Kendari Menurut Jenis Kelamin dan
Wilayah Kecamatan

Sumber : Dinamika Pembangunan Kota Kendari, 2014

Sosiologi Pasar | 33
Persebaran penduduk terbanyak berada pada wilayah Keca-
matan Kendari Barat yaitu sebanyak 14,80 persen dan hanya 6,68
persen yang berdomisili di Kecamatan Baruga. Selebihnya tersebar
pada 8 wilayah kecamatan dengan tingkat persebaran yang bervariasi.
Sementara Kecamatan Kadia merupakan wilayah kecamatan dengan
tingkat kepadatan penduduk paling tinggi yaitu sebesar 6.149 jiwa per
Km. Sebaliknya, Kecamatan Baruga merupakan wilayah kecamatan
dengan tingkat kepadatan penduduk yang tergolong paling rendah.
Berdasarkan hasil registrasi penduduk yang tercantum dalam
\oeo ‗Kin[ K_h^[lc D[f[g Ahae[, T[boh 2014‘ ^cm_\one[h \[bq[
struktur dan komposisi penduduk didominasi oleh penduduk berusia
20 - 24 tahun yang merupakan usia produktif pencari atau menuntut
ilmu ke perguruan tinggi. Karena itu, Kota Kendari sebagai Ibu Kota
Provinsi Sulawesi Tenggara dihuni oleh penduduk asli serta beberapa
komunitas pendatang lainnya.
Upaya meningkatkan kualitas SDM Kota Kendari ke depan,
maka semua pihak harus menyadari bahwa dasar kecerdasan manusia
berada dalam ruang kesadaran spritual. Kreativitas itu muncul di
titik pusat gravitasi kesadaran emosional dan bahkan proses
kreasi justru berada di luar jangkauan logika (Natatmadja, 1997).
Selain itu, semua pihak juga harus mulai meyakini bahwa kesuk -
sesan seseorang sangat ditentukan oleh ketinggian kecerdasan
emosinya (Alibasyah, 2003). Menyadari hal ini, maka Pemerintah
Kota Kendari di bawah kepemimpinan Asrun Musaddar mendesain
m_\o[b ‗Snl[n_ac P_g\[haoh[h (SP) 3-4-5‘ m_j_lnc n_lfcb[n ^[f[g
bagan berikut ini.

34 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Bagan: Strategi Pembangunan 3-4-5 Pemerintah Kota Kendari

Sumber: Bappeda Kota Kendari, 2014


Urgensi ESQ 165 dan SP 345 ini harus dimiliki oleh semua
penduduk yang berdomisili di wilayah pemerintahan Kota Kendari.
Apakah ia sebagai akademisi atau seorang cendikiawan otodidak, dan
apalagi sebagai elite sosial yang diamanahi tugas dan tanggung jawab.
Pemerintah tidak boleh lagi membiarkan warganya hanya mengandal-
kan dan mendewakan otak neo cortex sebagai lapisan luar dari otak
manusia yang memang mampu berfilsafat, berlogika, menghi-
tung, mengoperasikan komputer, mempelajari berbagai macam
bahasa, memahami rumus-rumus fisika dan melakukan perhitu-
ngan yang rumit sekalipun. Karena ternyata kesuksesan sangat
ditentukan oleh ketinggian kecerdasan emosi manusia (Aliba-
syah, 2003; Hariwijaya, 2008).

Sosiologi Pasar | 35
Pendayagunaan kekuatan Emotional Quotient (EQ) dengan me-
maksimalkan otak lymbic system dalam rangka mengangkat derajat
kemanusiaan, merupakan sebuah program kemanusiaan yang men-
desak diimplementasikan. Betapa tidak, di tengah nestapa kehidupan
bangsa dan negara tercinta ini, tidak sedikit – kalau tidak ingin dikata-
e[h: ‗n_lf[fo \[hy[e‘ ^c [ntara kita yang kelewat menyombongkan
rasio dan logikanya. Dalam konteks ini, menurut Nataatmadja (2003)
bahwa akibat dari kecerdasan rasional, keceradasan artifisial dan
kecerdasan digital, maka manusia tampil cerdas menyulap dirinya
g_hd[^c ‗\ch[n[ha \_l[e[f‘ ^[h ‗\ch[n[ha \_l[a[g[‘, m_bchaa[
]_h^_loha g_hd_fg[b g_hd[^c j_d[\[n m_\[a[c ‗^cyo-diyu pemangsa
g[homc[‘.
Semuanya harus menyadari urgensi peningkatan kuantitas dan
kualitas penduduk sebagai pribadi yang memiliki attitude positif
(Tasmara 2006), pemimpin yang Super Leadership (Rivai dan Arifin,
2013), warga masyarakat yang berkapasitas multiple intelligences
(Bowel, 2004; Hawari, 2009; King, Mara & DeCicco, 2012; Ula,
2013) serta menjadi great people yang selalu berkorban demi
kebahagiaan orang lain (Utoyo, 2011). Hanya warga masyarakat
seperti inilah yang bisa diharap menjadi pioner-pioner penang-
gulangan pemiskinan dan gejolak kemiskinan di daerahnya. Dan telah
tiba saatnya mengerem sikap mendewakan otak kiri melalui sebuah
sistem pendidikan integral yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Aspek Pendidikan. Pemerintah Kota Kendari terus meningkat-
kan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana belajar mengajar me-
lalui pembangunan fisik material dan spritual untuk mewujudkan
Kota Kendari yang berakhlak, maju, demokratis dan sejahtera. Karena
itulah, dikembangkan enam misi, dan salah satu di antaranya yang
relevan dengan konteks pendidikan dan kesehatan adalah misi kedua
tentang sosial dan kemasyarakatan dengan arah kebijakan sebagai
36 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
berikut: (1) Meningkatkan potensi moral/etik (hearth/dzikir); (2)
Meningkatkan potensi akal dan ilmu pengetahuan (head/pikir); (3)
Meningkatkan potensi keterampilan (hand/ukir); (4) Melakukan pem-
binaan spiritual; (5) Melakukan pembinaan sosial ekonomi; (6)
Melakukan pembinaan fisik/infrastruktur; (7) Melakukan pembinaan
pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan; (8)
Meningkatkan kemandirian dan jiwa sosial generasi muda di berbagai
bidang pembangunan, sehingga produktif dan berdaya saing meng-
hadapi tantangan serta mampu memanfaatkan peluang sebaik-baik-
nya; (9) Meningkatkan prestasi olahraga di forum regional, nasional,
maupun internasional; (10) Meningkatkan kapasitas kelembagaan, ko-
ordinasi dan jaringan pengurus utamanya gender dan anak dalam pe-
rencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan di
segala bidang; (11) Meningkatkan pelayanan perlindungan dan
pemberdayaan terhadap perempuan dan anak; (12) Meningkatkan pe-
layanan kesejahteraan sosial melalui penguatan kelembagaan dalam
upaya menurunkan penyandang masalah kesejahteraan sosial; (13)
Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan; (14) Menuntaskan
wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan menengah yang bermutu
terjangkau dan berwawasan global, sehingga mampu menyediakan
sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu berdaya guna
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula rele-
vansi pendidikan sehingga mampu menyediakan tenaga kerja dengan
keahlian, kewirausahaan dan keterampilan khusus; (15) Meningkat-
kan jumlah dan kualitas guru, sehingga mampu mengembangkan
kompetensi dan meningkatkan komitmen dalam melaksanakan tugas
pengajaran; (16) Meningkatkan jaminan pemerataan kesempatan
pendidikan pengembangan kecerdasan, minat dan bakat anak didik;
(17) Meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat; dan (18)
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan
Sosiologi Pasar | 37
akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta pengembangan lingku-
ngan sehat dan perilaku sehat.
Pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan selama ini
telah mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa
indikator tingkat perkembangan pembangunan pendidikan di Kota
Kendari seperti sekolah, guru dan murid. Namun yang menjadi indi-
kator keberhasilan pendidikan dapat diukur melalui angka melek
huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka partisipasi kasar SD, SMP,
SMA dan angka partisipasi murid SD, SMP, SMA.
Perkembangan indikator ini, bagi Kota Kendari dalam kurun
waktu 2011 sampai dengan 2013 sebagaimana terlihat pada tabel 3.
Tampak menunjukkan angka melek huruf yang terus mengalami pe-
ningkatan dari tahun 2010 sampai dengan 2012. Dengan demikian,
berarti perkembangan tingkat kecerdasan warga masyarakat Kota
Kendari, merupakan momentum strategis untuk meningkatkan par-
tisipasinya terhadap pelaksanaan pembangunan daerah, terutama
dalam proses penanggulangan kemiskinan ke depan. Artinya, pe-
ningkatan kecerdasan warga masyarakat adalah tidak hanya dapat
mendorong daya partisipatifnya, tetapi sekaligus daya kritis masya-
rakat pun tumbuh dan berkembang maju.

38 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Tabel 3. Angka melek huruf Kota Kendari dari tahun 2010 s/d 2012

Angka melek huruf (%)


99
98
97
96
98.18
95
96.12
94
94.06
93
92
2011 2012 2013

Sumber : Dinamika Pembangunan Kota Kendari, 2014


Orientasi pada peningkatan kecerdasan intelektual selama ini,
seharusnya sudah menyadarkan semua pihak bahwa yang menjadi
biangkladi dari semua problematika sosial, adalah akibat dari
paradigma pendidikan yang tidak mampu mencerahkan. Hal yang
sama juga terjadi pada paradigma developmentalisme yang selama
inimenyuburkan pemiskinan dan kemiskinan. Betapa tidak, kian
banyak mengalir dana kemiskinan, maka kian bertambah banyak
kualitas orang-orang melarat. Karena itu, dana pendidikan yang kini
sudah mencapai sebanyak 20 persen dari APBN, harus dimanfaatkan
secara maksimal dalam upaya meningkatkan kecerdasan intelektual,
emosional dan spritual.
Ikhwal kebrutalan dan kebablasan anak manusia yang
berpredikat sebagai siswa ataupelajar. Tak terkecuali mahasiswa yang
nota bene elite pemuda dalam pelbagai aksi yang diperagakan di
zaman edan kini, seolah telah menjadi pelengkap nestapa dan ke-
muraman bangsa dan negara tercinta ini. Tawuran, perkelahian,
porno-aksi, kecanduan narkotika, bunuh diri dan berbagai aksi
vandalisme lain yang mencemaskan. Sesungguhnya tidak terlepas dari

Sosiologi Pasar | 39
sistem pendidikan nasional yang telah menjadi pilihan pavorit
pemerintah kita.
Revolusi besar peradaban ketika Muhammad memasuki ranah
Profetik terjadi lompatan spektakuler dari keadaan yang sangat buruk
dan mengenaskan, tidak beradab, mengagungkan pengetahuan semata
serta keadaan moral pada titik terendah. Namuntiba-tiba bergerak
menuju keadaan yang paling baik, karena sukses gemilang mengubah
orang bringas menjadi berbudi pekerti luhur, dan bahkan merubah
budak menjadi pemimpin yang memiliki integritas tinggi, berakhlak
mulia dan berilmu tinggi. Hal itu disebabkan oleh paradigma Iqra
Bismirabbikalladzi Khalaq sebagai kerangka pembacaan yang tak
hanya sekedar membaca. Akan tetapi, membaca yang mensyaratkan
pengabdian dan pengenalan Tuhan Yang Menciptakan. Dalam
konteks ini, menurut seorang guru besar dan Ketua Lembaga
Penelitian Masyarakat Universitas Halu Oleo bahwa:
‗K[mom eilojmc y[ha g_hcgj[b \_\_l[j[ il[ha y[ha n_laifiha
Uztad di Indonesia akhir-akhir ini, adalah selain disebabkan oleh
kerasnya pengaruh sistem perpolitikan yang kebablasan, juga
yang lebih utama adalah pengetahuan agama yang ada pada
orang itu hanya sebatas menjadi pengetahuan saja. Bukan meru-
pakan nilai agama yang dapat diamalkan dan mengontrol sepak
n_ld[hahy[‘ (L[ O^_ Mob[gg[^ Amf[h^, q[q[h][l[, 29
Oktober 2014).
Ketika lembaga pendidikan sukses gemilang menggodok
manusia cerdas untuk terus mengingat Tuhan dalam kondisi apapun.
Maka dalam perspektif ESQ Power, seluruh ruang kehidupan di-
refleksikan sebagai sajadah, sehingga tak ada perbedaan yang men-
dasar apakah dia berada di tengah istana keluarganya, di rumah-
rumah ibadah, di perjalanan, di kantor atau di tempat mencari sesuap
nasi. Semuanya merupakan instrumen penghambaan kepada Tuhan
40 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Yang Maha Berilmu. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang ter-
aifiha ‘eol[ha \_l[e[f‘, gohaech m[d[ ^_ha[h ebomyo g_hacha[n
Tuhan ketika berdiri di mesjid atau di gereja. Akan tetapi, ketika ber-
ada di tempat kerjanya, maka Tuhan kembali terabaikan, sehingga
cenderung menyimpang dan bahkan menggiring bangsa kita tampil
g_l[cb jl_^ce[n m_\[a[c ‘\[ham[ n_leiloj‘.
Program dan proses belajar mengajar yang bertujuan untuk me-
f[bcle[h ‘g[homc[ \_l[e[f‘ m_\[a[cg[h[ ditandaskan dalam Firman
Allah bahwa:
‗Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
mcem[ h_l[e[.‘ (QS. Afc ―Igl[h, 3: 190-191).
Bagi seorang pendidik yang menganggap dan merasakan ruang
kelas dan ruang perkuliahan sebagai sajadah sebagaimana ketika me-
negakkan shalat. Maka pasti proses belajar mengajar akan diarahkan
pada pembacaan dan pemahaman yang tidak hanya sekedar sebagai
upaya pengembangan pengetahuan kognitif un-sich. Karena itulah,
Iqra’ Bismirabbikal Ladzi Khalaq menuntun anak manusia untuk
membaca yang mensyaratkan pengabdian kepada Tuhan dalam
konteks pembacaan yang bersifat ideologis. Lalu bagaimana, agar
supaya semua guru dan dosen dapat menjadi pendidik yang men-
cerahkan?
Pertama, dalam konteks mata pelajaran biologi misalnya, maka
ketika Pak Guru menjelaskan teori evolusi Darwin yang mengklaim
manusia berasal dari kera. Maka sesungguhnya pada momentum
Sosiologi Pasar | 41
inilah, Pak guru yang bersangkutan berpeluang besar untuk tampil
menjadi guru agama yang lebih persuasif, jika mereka memahami
‘m_\_f[m g[hnl[ bcn[g‘ [fc[m e_\ibiha[h \_m[l n_ilc _pifomc n_lm_\on.
Tak pelak lagi, jika Pak Guru memahami Teori Perancangan Cerdas
(TPC), maka pasti siswanya kian yakin atas kebohongan dan
pembohongan teori revolusi Darwin itu. Tak pelak lagi, refleksi teori
revolusioner tersebut telah menukik lebih dalam ke dalam ruang
sosial yang terkenal dengan teori darwinisme sosial.
Kedua, takkalah menakjubkan lagi ketika Pak Guru mata
pelajaran fisika mampu menjelaskan belang-belang gagasan material-
isme dan hedonisme dengan menunjukkan hasil penemuan spekta-
kuler dari seorang ahli astronomi Amerika yang bernama Edwin
Hubble. Betapa tidak, penemuan yang sangat terkenal dengan sebutan
Teori Big Bang ini, mampu menyadarkan serta membuat percaya
beberapa ahli kaliber dunia atas keberadaan sang Pencipta alam
semesta dengan semua yang terkandung di dalamnya.
Beberapa ahli ternama tersebut itu adalah: Arthur Eddington
fisikawan materialis; Sir FredHoyle dan Dennis Sciama yang ber-
tahun-tahun menentang Tuhan dengan Teori steady-state; Gerge
Gamov penemu radiasi ledakan tanpa disengaja; Prof. George Abel
yang minta ampun atas kehebatan ilmiah ledakan Big Bang bersama
Filosof ateis terkenal Antony Flew; Ahli astrofisika terkenal Hugh
Ross yang akhirnya yakin dengan paradigma Tuhan; Paul Davis
profesor fisika teori yang melihatnya sebagai ledakan terencana; dan
akhirnya Fisikawan terkenal Prof. Stephen Hawking dan George
Greenstein yang yakin dengan campur tangan supernatural.
(www.harunyahya.com).
Aspek Kesehatan. Upaya mengevaluasi keberhasilan program-
program di bidang kesehatan adalah digunakan beberapa indikator,
yakni angka harapan hidup, angka kematian ibu melahirkan, angka
42 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
kematian bayi, angka kematian balita dan prevalensi gizi buruk. Ada-
pun untuk angka harapan hidup penduduk Kota Kendari tahun 2010-
2015 adalah 70,8 Tahun. Sedangkan capaian indikator lainnya untuk
tiga tahun terakhir dapat dilihat pada table 4.
Potret manusia sehat merupakan anak manusia yang dilahirkan
dari proses pernikahan yang syah, dibesarkan di lingkungan rumah
tangga yang zakinah, berinteraksi di lingkungan tetangga yang kon-
dusif, disekolahkan di lembaga pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan serta dibesarkan di lingkungan sosial budaya yang
humanis. Karena itulah, Kota Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi
Sulawesi Tenggara merupakan barometer bagi pertumbuhan daerah-
daerah lain di Sulawesi Tenggara.
Tabel 4. Angka harapan hidup penduduk Kota Kendari tahun 2010-
2015
Uraian 2011 2012 2013
Angka Kematian Ibu 8 Kasus 3 Kasus 6 Kasus
Melahirkan
Angka Kematian Bayi 40 Kasus 23 Kasus 27 Kasus
Angka Kematian Balita 5 Kasus 5 Kasus 1 Kasus
Prevalenzi Gizi Buruk 1,2% 0,65% 4%
Sumber: Dinamika Pembangunan Kota Kendari, 2014
Impian Pemerintah Kota Kendari adalah menjadikan Kota
Kendari sebagai layak huni melalui pembangunan infrastruktur dan
sarana-sarana lain yang mendukung peningkatan kesehatan fisik dan
spiritual.Seperti pembuatan taman-taman kota sebagai ruang terbuka
hijau untuk digunakan berolah raga, bermain dan bersosialisasi.
Selain itu kebersihan dan keindahan kota terus ditingkatkan melalui
penanaman pohon di pinggir jalan serta perbaikan trotoar yang akan
menimbulkan rasa aman bagi pejalan kaki. Salah satu di antaranya

Sosiologi Pasar | 43
yang kini terus dinikmati oleh warga masyarakat Kota adalah Taman
Kota (Tamkot) Kendari.
Secara fisik, mungkin saja tampak sehat ketika seseorang me-
lintas di depan mata, tetapi boleh jadi kesehatan rohaninya tengah
mengalami kedahagaan karena kurang diinjeksi dengan nutrisi spri-
tualitas. Di tengah konstalasi kehidupan masyarakat kontemporer
\_l\[mcm ‘mjcfcm‘ (\[][: m_eof_lcmg_, jfol[fcmg_ ^[h fc\_l[fcmg_)
tampak nyata sebagai sebuah hiper-realitas kehidupan yang kini
merebak demikian fenomenal. Sudah pasti, tak ada daya dan upaya
yang mampu mengamputasinya, kecuali mengajak diri sendiri dan
orang-orang di sekitar kita bahwa di seberang kehidupan nan jauh di
sana.Ada api neraka yang membara dan siap memanggang ari-ari
sekujur tubuh anak cucu Adam-Hawa.
Kesehatan jiwa sangat dibutuhkan dalam mengarungi arus
kehidupan kini agar dapat dipahami bahwa tidak seorang pun yang
akan bebas testing dari tanggung jawabnya. Bangsa dan negara ter-
cinta ini sangat merindukan kehadiran public figur pejabat yang tidak
hanya dapat ditauladani. Akan tetapi, juga mampu mengantar kepada
ranah kehidupan sosial yang mensejahtrakan. Bukan elite birokrat dan
elite politik yang memiliki kekayaan yang membuahkan kesenjangan
sosial ekonomi, yang demikian tampak menganga lebar dengan
rakyatnya.

C. Kemiskinan di Kota Kendari


Secara kuantitatif dari sudut pandang BPS dan Bappeda Kota
Kendari, sesungguhnya Pemerintah Kota Kendari telah berhasil
mengurangi tingkat kemiskinan dari sebesar 20.659 jiwa (33,84%)
menjadi sebanyak 19.525 KK pada tahun 2008. Akan tetapi, menurut
hasil identifikasi P2KP Kota Kendari bahwa dari sebanyak 50.815
KK, ditemukan sejumlah 21.391 KK atau 42,09 % yang tergolong
44 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
miskin pada tahun 2008. Hal ini berarti, selain KK miskin mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya, juga tampak perbedaan yang
cukup signifikan dari kedua sumber tersebut. Demikian pula dari
aspek persebaran KK miskin pada setiap wilayah kecamatan,
Kecamatan Abeli tampak memiliki persentase keluarga miskin
terbesar dari 5 (lima) wilayah kecamatan tertinggi lainnya, yakni
14,61 persen. Kemudian disusul oleh Kecamatan Mandonga sebesar
13,28 persen, Kecamatan Kendari Barat sebesar 13,00 persen,
Kecamatan Kendari sebesar 11,34 persen dan Kecamatan Puwatu
sebesar 11,13 persen. Hal ini berarti tingkat persebaran KK miskin
perkecamatan menunjukkan persebaran yang distribusinya hampir
merata. Namun apabila tingkat persebaran KK miskin ditinjau dari
konteks wilayah kelurahan, maka wilayah kelurahan yang memiliki
tingkat kemiskinan yang tergolong 5 (lima) besar adalah Kelurahan
Punggolaka sebesar 891 KK atau 4,18 persen, Kelurahan Bende
sebesar 3,39 persen, Kelurahan Mandonga sebesar 3,18 persen,
Kelurahan Kadia sebesar 2,99 persen dan Kelurahan Wua-Wua
sebesar 2,90 persen.
Realitas sosial ekonomi inilah yang mendorong dan memacu
Pemerintah Kota Kendari untuk menurunkan angka kemiskinan.
Betapa tidak, angka sebesar itu mengindikasikan dan mengharuskan
untuk segera melakukan upaya penanganan kemiskinan secara lebih
serius dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Karena
tanpa kerja sama secara integral antara Pemerintah bersama seluruh
komponen masyarakat lainnya untuk tampil selaku mitra sejajar,
maka proses penanggulangan kemiskinan tidak akan membuahkan
hasil maksimal.
Pemerintah Kota Kendari membentuk lembaga kredit mikro
yang diilhami oleh Grameen Bank sebagai sebuah lembaga keuangan
yang didirikan oleh Muhammad Yunus sang Penerima Nobel dari
Sosiologi Pasar | 45
Bangladesh itu. Pilihan pada BLUD dan bukan BPR, tentu saja
mempunyai alasan yang cukup menarik disimak sebagaimana
dituturkan oleh pihak birokrat Kota Kendari.
‗P_ln[g[, dana bergulir BLUD merupakan kombinasi antara
konsep Grameen Bank dengan Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Layanan Umum Daerah (Peraturan Mendagri Nomor
61 Tahun 2007). Kedua, agar memungkinkan anggaran Peme-
rintah Kota Kendari dapat langsung digulirkan. Ketiga, lebih
mempermudah masyarakat dalam memperoleh pinjaman modal
usaha tanpa harus mengikuti aturan dan tradisi perbankan yang
terkesan berbelit-\_fcn m_d_hcm [aoh[h ^[h jlijim[f‘ (Dcl[haeog
dari beberapa wawancara, September - Oktober 2014).
Persaudaraan Madani merupakan program spesifik Pemerintah
Kota Kendari yang berniatan suci untuk mempersaudarakan warga
miskin sebanyak 30,2 persen dengan orang mampu sebanyak 69,8
persen. Sehingga dari sebanyak 30,2 persen RTS Kota Kendari pada
Tahun 2008 diharapkan turun hingga mencapai sebanyak 16 persen
RTS pada tahun 2012. Hal itu diakui sudah tercapai, sehingga
menurut Wakil Wali Kota Kendari dan sekaligus sebagai Ketua
TKPKD Kota Kendari bahwa:
‗K_m_hd[ha[h misial ekonomi yang mengangga lebar antar kaum
elite politik/birokrat dengan rakyat di wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara dimaksud oleh Prof. Masihu Kamaluddin (2014) tidak
terjadi di wilayah Kota Kendari.Karena keberadaan program
Permadani tersebut telah berhasil mengeliminir kesenjangan
mimc[f _eihigc cno‘ (Mom[^^[l M[jj[mig\[, q[q[h][l[, 19
September 2014).
Secara fenomenal, meskipun program ini terkesan tampil se-
bagai persaudaraan yang cenderung berlangsung semu, karena ketika
seseorang tidak lagi menjadi pejabat dan apalagi merasa dilengserkan.
46 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
M[e[ e_nce[ cnof[b ‘m[o^[l[ g[^[hchy[‘ f[hamoha n_l[\[ce[h. D[lc
mo^on j[h^[ha n_ilc ^l[g[nolacm, g[e[ \_l[lnc ‘j_lm[o^[l[[h m_go‘
seperti itu dapat diklaim sebagai tindakan sosial yang cenderung
‘bcjielcn‘. T_n[ji, keberadaan program keagamaan tersebut telah
menggambarkan sebuah kecerdasan spritual dari seorang pemimpin
yang berniatan suci untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Hanya saja, menurut salah seorang mantan Korkot PNPM MP Kota
Kendari dan kini sudah berada di tingkat KMW Sultra, bahwa:
‗Salah satu kelemahan program ini adalah bersifat top-down
dalam bentuk penunjukan kepada Kepala Dinas untuk mencari
saudara madani masing-masing. Selain itu, aspek yang menjadi
sasaran utama bagi program Persaudaraan Madani telah ter-
maktub dalam konsep Tri Daya PNPM MP. Sebaliknya,
beberapa sasaran aspek perhatian PNPM MP tidak ditemukan
dalam program Persaudaraan Madani. Karena itu, kelebihan dan
kelemahan pada semua jenis bentuk penanggulangan kemiskinan
di Kota Kendari harus diintegrasikan di bawah payung TKPKD.
Namun amat disayangkan, karena sepertinya hal itu sulit untuk
terwujud, karena faktor lemahnya political will‘ (Soyonc,
wawancara, 1 Oktober 2014).
Selain itu, pandangan dari tokoh-tokoh agama juga berkem-
\[ha ^[h n_le_m[h m_j_h^[j[n \[bq[ ‘e_\_l[^[[h Plial[g P_lm[o-
daraan Madani yang sejatinya untuk memberdayakan golongan sosial
kaum mustahiq, adalah sesungguhnya merupakan tugas keagamaan
y[ha n_f[b ^cf[em[h[e[h if_b L_g\[a[ Agcf Z[e[n m_f[g[ chc‘.
Dalam konteks ini, berarti secara tidak langsung keberadaan
Persaudaraan Madani telah mengambil alih tugas kemuliaan Lembaga
Amil Zakat, Infaq dan Sadaqah. Meskipun demikian, tidak ada salah-
nya jika berkembang asesoris-asesoris kemanusiaan yang dapat mem-
percepat proses penanggulangan kemiskinan. Akan tetapi, tidak boleh
Sosiologi Pasar | 47
dilupakan bahwa upaya penguatan kapasitas kelembagaan terhadap
Lembaga Amil Zakat, tidak boleh terabaikan dan bahkan juga sangat
j_hncha ^cnog\obe_g\[hae[h‘.
Menurut hasil kajian BPS bersama Bappeda Kota Kendari
bahwa ketika karakteristik RTM atau RTS tersebut dihubungkan
dengan tingkat pendidikan warga masyarakat Kota Kendari, ternyata
mayoritas RTM dikepalai oleh orang-orang yang berpendidikan
setingkat SD sebanyak 50,97%. Demikian pula, jika dikaitkan dengan
usaha mata pencaharian, maka kebanyakan kepala RTM adalah petani
yang meninggalkan lahannya, dan kemudian memilih bekerja pada
sektor konstruksi dan penggalian terutama bagi mereka yang berstatus
buruh/karyawan. Hal ini pun memberi motivasi lanjut bagi Peme-
rintah Kota Kendari untuk menumbuhkembangkan pendidikan,
sehingga pada tahun 2012 berhasil mengurangi buta aksara sebesar
98% (Bappeda Kota Kendari, 2012).
S_g_hn[l[ cno, \[ac q[la[ g[my[l[e[n y[ha n_laifiha ‗wong
cilik‘ m_\[a[c e_figjie mimc[f _eihigc nc^[e \_l^[y[ g_hab[^[jc
melambungnya harga sembako dan bahan bakar, maka kepada
mereka diberikan Bantuan Langsung Tunai seperi PSKS. Meskipun
memang sejak awal kehadiran bantuan tersebut telah mendapat
sorotan tajam atas ketidak-akuratan identifikasi aparat pemerintah
dalam mendistribusikannya. Selain proses pendataan yang terkesan
subyektif, juga adanya geliat fenomenal bagi sebagian orang untuk
‗g_gcmeche[h ^clc‘ y[ha m_mohaaobhy[ nc^[e j[hn[m g_h_lcg[ BLT.
Disamping itu, juga terdengar cukup santer bahwa pemberian bantuan
BLT acapkali dijadikan sebagai kendaraan politik. Padahal semuanya
itu sudah diagendakan secara formal dan dananya pun bersumber dari
utang luar negeri dan uang rakyat itu sendiri.

48 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Tabel 5. Tingkat Penurunan Penduduk Miskin Kota Kendari,
2004-2011
No. Tahun Jumlah Jiwa %
1 2004 19.500 8,84
2 2005 25.900 10,65
3 2006 30.500 12,51
4 2007 27.500 10,15
5 2008 23.600 8,53
6 2009 22.440 7,88
7 2010 23.203 8,02
Sumber: Bappeda Kota Kendari, 2012
Secara kualitatif, memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih
sebagian besar penghuni bangsa ini belum menikmati kue pem-
bangunan secara adil. Akan tetapi, secara kuantitatif tingkat kemis-
kinan telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Meskipun
tingkat persentase diskursus kemiskinan produksi cenderung me-
nurun, dan secara tidak langsung mengabaikan potret ketimpangan
sosial. Akan tetapi, konstruksi berpikir kita sudah seperti itu adanya,
sehingga harus diakui bahwa penduduk miskin di Kota Kendari pada
beberapa tahun terakhir tampak mengalami penurunan yang cukup
signifikan. Dalam tabel 5 versi Bappeda Kota Kendari terlihat sejak
tahun 2006 dari sebanyak 30.500 (12,51%) jiwa turun menjadi 27.500
(10,15%) pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 dari sebanyak
23.600 (8,53) turun lagi hingga mencapai 23,203 orang (8,2%).
Demikian pula pada tahun 2011 terus mengalami penurunan hingga
mencapai sebesar 22.125 jiwa atau sebanyak 7,40 persen.
Meskipun terus mengalami penurunan, tetapi secara relatif
jumlah penduduk miskin di Kota Kendari pada tahun 2010 sebanyak
23.203 jiwa itu, ternyata masih lebih tinggi dibanding dengan be-
berapa kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi
Sosiologi Pasar | 49
Tenggara. Namun pada sisi lain, dalam Tabel 6 menunjukkan kondisi
kedalaman kemiskinan dan tingkat pengeluaran di Kota Kendari
tampak lebih baik dan rendah (1,91%), jika dibanding dengan
kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tenggara. Kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari selain berupaya
mengurangi angka kemiskinan, juga berupaya meningkatkan kemam-
puan masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan minimumnya.
Atas dasar itulah, maka pada tahun 2011 tingkat kedalaman kemis-
kinan dan tingkat pengeluaran di Kota Kendari mengalami penurunan
hingga mencapai sebanyak 0,98%.
Tabel 6. Indeks Kedalaman Kemiskinan Kota Kendari,
Tahun 2002 – 2011
Relevansi Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Kota Kendari Sumber: Publikasi BPS

6.00
4.83 5.05
4.00 4.13 4.16 4.33
4.07
3.8 3.43 Nasional
3.13
3.03 2.89 3 2.77
2.83
2.78 3.18
2.23 2.13 2.56 2.61
2.00 1.74
1.48 1.83 2.232.08
1.93
1.17 0.98
0.00
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

Sumber : Data Sekertariat TKPKD Kota Kendari, 2013


Sehubungan dengan itu, maka pada tabel 7 menunjukkan per-
kembangan Indeks keparahan kemiskinan (P2) Kota Kendari dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir yang juga terus mengalami tingkat pe-
nurunan dari tahun 2006 sebanyak 0,93 persen sebagai angka tertinggi
sejak 5 tahun terakhir. Hal itu kemudian terus mengalami penurunan
hingga mencapai 0,66 persen pada tahun 2007 dan 0,4 persen pada
tahun 2008 serta 0,30 persen pada tahun 2009. Namun pada pada
tahun 2010 kembali meningkat menjadi 0,84 persen. Akan tetapi,
50 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
pada tahun 2011 menurun lagi sebesar 0,20 persen. Terlepas dari
kontroversi perseptual kita terhadap jenis, tingkat dan sebab
kemiskinan itu, namun dapat dipastikan bahwa kemiskinan bagi
bangsa yang kaya raya SDA seperti Indonesia, disebabkan oleh proses
pemiskinan yang berlangsung secara nyata dan terselubung.
Tabel 7. Indeks Keparahan Kemiskinan Kota Kendari,
Tahun 2002 – 2013
Relevansi Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
(Indeks) Kota Kendari Terhadap Propinsi dan
Nasional Tahun 2002-2013
2
1.5 1.59 Nasional
1.44
1.21 1.21
1 1.080.98 1 1.07 1 0.89
0.92
0.790.850.780.75 0.840.760.680.84
0.69
0.66
0.5 0.470.39 0.48 0.590.55
0.3 0.2
0 Sumber: Publikasi BPS
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

Sumber: Sekertariat TKPKD Kota Kendari, 20013


Ketika kita mengacu dari tiga teori diskursus kemiskinan, maka
menurut Agusta (2012) bahwa mengakui penurunan tingkat kemis-
kinan secara kuantitatif adalah berarti sekaligus mengabaikan ketim-
pangan sosial ekonomi yang demikian menganga lebar. Karena itu,
fenomena dan realitas ketimpangan sosial ekonomi antara kaum the
have dan the have not. Artinya, antara kaum bourjuis dan proletariat
dalam pandangan Marxis, atau antara komunitas Qabil dan Habil
dalam filsafat sosial Ali Shariaty. Maka sangat dibutuhkan kejujuran
dari semua pihak, terutama dari pihak pemerintah yang harus menun-
jukkan strategi political will untuk memakmurkan rakyatnya, se-
hingga tidak menimbulkan perbedaan data yang membingungkan
seperti terlihat antara pada tabel 5 dan tabel 8.

Sosiologi Pasar | 51
Betapa tidak, mengacu dari indikator kemiskinan yang dianut
BPS dan TKPKD, maka tingkat kemiskinan di Kota Kendari pada
tahun 2012 diklaim turun lagi menjadi 6,4 persen. Hal itu terus
menurun hingga mencapai angka 5,7 pada tahun 2014 dengan tingkat
IPM sebanyak 76, 81 persen serta tingkat pengangguran yang juga
terus menurun menjadi 3,8 persen (TNP2K/TKPKD Kota Kendari,
2015). Tentu saja hal ini merupakan prestasi bagi Pemerintah Kota
Kendari, meskipun sebaliknya menjadi teka-teki yang cukup
membingungkan ketika data kemiskinan versi PNPM MP Kota
Kendari yang tercantum dalam tabel 8 tersebut, masih tersisa
sebanyak 25 persen yang tergolong KK miskin di Kota Kendari
(PNPM MP Kota Kendari, 2014).
Tabel 8. Tingkat Kemiskinan menurut KK Miskin pada Setiap
Wilayah Kecamatan se Kota Kendari, Tahun 2014
Jumlah Penduduk KK Miskin
No. Kecamatan
Miskin KK (%)
1. Kecamatan Abeli 2883 26
2. Kecamatan Kendari 1828 20
3. Kecamatan. Kendari Barat 2605 29
4. Kecamatan Poasia 1782 36
5. Kecamatan Kambu 359 9
6. Kecamatan Mandonga 1732 29
7. Kecamatan Puwatu 1503 25
8. Kecamatan Wua-Wua 1261 31
9. Kecamatan Baruga 1137 28
10. Kecamatan Kadia 921 18
Total 16.011 25
Sumber: Diolah dari Data PNPM MP Kota Kendari, 2014

52 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Perbedaan data kemiskinan itu sudah pasti disebabkan oleh
indikator yang digunakan berbeda, namun menurut mantan Satker
P2KP Kota Kendari bahwa:
‗H[f cno n_ld[^c m_f[ch e[l_h[ `[enil c^ce[nil e_gcmech[h y[ha
digunakan berbeda antara pemerintah dan BKM, juga faktor
yang paling menentukan adalah obyektivitas dan keseriusan
dalam proses pengumpulan data di lapangan. Kalau pihak
pemerintah didasari oleh target program pembangunan yang
harus dicapai pada kurun waktu tertentu, yang kemudian
bercampur dengan unsur pencitraan. Maka bagi fasilitator dan
BKM/KSM pada masing-masing wilayah kelurahan mengiden-
tifikasi data kemiskinan secara komprehensif dan objektif,
sehingga program PNPM MP tidak salah sasaran (La Ode
Magribi, wawancara, 26 Maret 2015).
Sehubungan dengan itu, hasil penelitian Aedy (2011) tentang
‗Ah[fcmcm D[n[ B[m_ ^[h P_g_n[[h K_gcmech[h ^c Kin[ K_h^[lc‘,
kerjasama antara Bappeda Kota Kendari dengan Lembaga Penelitian
Universitas Halu Oleo Kendari. Di dalamnya menggambarkan peme-
taan warga masyarakat miskin dan rumah tangga miskin di Kota
Kendari, daribeberapa aspek tertentu, yakni:
‗P_ln[g[, dari konteks usaha mata pencaharian ditemukan
sebanyak 64,14 persen rumah tangga miskin yang bekerja di
sektor informal, 17,51 persen yang bekerja secara serabutan,
9,71 sebagai nelayan dan petani dan 9,64 persen sebagai
karyawan swasta dan tenaga honorer di Insntansi Pemerintah.
Kedua, dari aspek pendapatan ditemukan sebanyak 63,14 persen
yang tergolong miskin, 34,74 persen yang kategori fakir.
Sementara anggota rumah tangga miskin yang merupakan mis-
kin absolut tampak tersebar di semua wilayah kecamatan.
Demikian pula, rumah tangga miskin yang nyaris miskin
Sosiologi Pasar | 53
terdapat sebanyak 2, 12 persen yang kehidupannya sudah berada
di atas garis kemiskinan. Namun bagi mereka yang fakir (sangat
parah kemiskinannya) terlihat pada semua wilayah kelurahan
dalam jumlah relatif banyak dengan pekerjaan serabutan dan
sektor informal.
Ketiga, dari aspekpengeluaran perkapita perbulan terlihat
sebanyak 97,91 persen rumah tangga miskin di wilayah
kecamatan yang memiliki tingkat pengeluaran perkapita per-
bulan kurang dari Rp.262.800. Hal ini, berarti ketika mengacu
dari ukuran Biro Pusat Statistik, maka rumah tangga miskin di
Kota Kendari pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebaliknya, terdapat sebanyak 2,09 persen rumah tangga miskin
yang memiliki pengeluaran diatas Rp.262.800 dan tersebar pada
semua wilayah kecamatan. Hal ini, berarti mereka sudah berhasil
hidup diatas garis kemiskinan, tetapi dalam kondisi nyaris
miskin. Mereka itu adalah para pegawai negeri sipil yang me-
miliki etos kerja tinggi dan semangat wirausaha yang tinggi.
Keempat, pemetaan menurut hambatan dalam meningkatkan
ekonomi keluarga ditemukan sebanyak 87,57 persen yang diper-
hadapkan masalah ekonomi yang dialami oleh semua rumah
tangga miskin. Sementara terdapat sebanyak 62,57 persen
anggota rumah tangga yang diperhadapkan dengan masalah pen-
didikan dan keterampilan yang rendah. Adapun bagi mereka
yang bermasalah dengan faktor kesehatan/KB, ditemukan
sebanyak 44,43 persen yang kadang-kadang terganggu, usia
lanjut dan memiliki jumlah tanggungan yang tinggi. Begitu pula
bagi anggota rumah tangga dengan etos kerja yang rendah,
pasrah dan tidak mau berusaha merubah nasibnyasebanyak
16,86 persen yang juga tersebar di semua wilayah kecematan.

54 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Kelima, kecenderungan potensi rumah tangga miskin yang ber-
peluang untuk diberdayakan atau dikembangkan. Di antaranya
adalah yang memiliki tenaga kerja produktif sebanyak 67,14
persen, yang memiliki pendidikan (menengah- tinggi) sebanyak
40,29 persen, yang memiliki etos kerja tinggi 69,29 persen, dan
9,7 persen yang memiliki lahan usaha tani produktif.
Keenam, peta kemiskinan bagi masyarakat miskin di Kota
Kendari menurut sebab dan faktor kemiskinan dari konteks
struktural, kultural, sukarela dan alamiah. Secara struktural
ditemukan sebanyak 63,29 persen dan secara cultural sebanyak
29,14 persen. Sedangkan anggota rumah tangga yang miskin
karena faktor sukarela sebanyak 5,9 persen. Sementara yang
miskin disebabkan oleh faktor alamiah hanya berkisar 0,28
persen dan mereka inilah yang di takdirkan untuk menerima
zakat, infak dan sadakah.
Ketujuh, peta kemiskinan menurutperubahan status kemiskinan-
nya adalah menunjukkan sebanyak 87, 71 persen rumah tangga
miskin di Kota Kendari yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan dan tersebar secara merata pada semua wilayah
kecamatan. Namun demikian terdapat sebanyak 2,29 persen
rumah tangga miskin yang hidup sedikit di atas garis kemis-
kinan, tetapi masih dalam kondisi nyaris miskin. Adapun faktor
yang paling besar pengaruhnya adalah meningkatnya pendapatan
mereka, tetapi tidak diikuti dengan meningkatnya beban tanggu-
ngan keluarganya, sehingga pengeluaran perkapita makin besar.
Berdasarkaan perbedaan data kemiskinan secara kuantitatif
serta pemetaan rumah tangga miskin tersebut. Maka tampaknya
semua teori kemiskinan menjadi relevan untuk dikedepankan sebagai
kerangka analisis. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan
struktural ternyata menempati rangking tertinggi ketimbang aspek
Sosiologi Pasar | 55
kemiskinan lainnya. Kenyataan empirik ini sudah pasti signifikan
dengan disfungsionalisasi TKPKD serta ketimpangan birokrasi dalam
bentuk strategi politik identitas etnik yang demikian masif terjadi di
Kota Kendari sebagaimana dideskripkan secara kritis reflektif dalam
disertasi Sjaf (2014). Hal itu sudah harus dihentikan, karena faktor
itulah yang menjadi biangkladi dari semua persoalan bangsa yang
mengemuka selama ini. Betapa bangsa dan negara yang kaya raya
dengan Sumber Daya Alam ini, tiba-tiba saja terpelanting menjadi
under development karena faktor political will dan syahwat politik
penggunaan uang rakyat yang tidak pro poor.

56 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Bab 4
Eksistensi Pasar dan
Problematikanya

Aff[b T[‖ala telah berfirman:


ِ ِ ِ ‫ودي اِ َّل‬
ِ ‫ل َ ِ ِمي ي و ْوا َ فَ ْو‬
ِ ِ ُ‫يا أَيُّها اَّل ِيي آمنُو إِ َذ ن‬
َ ‫اس َ ْوو إ َ ذ ْو ِ اَّل َو َذ ُرو اْوَ ْو‬ ُ ُ ‫َ ْو‬ َ َ َ َ
Wahai orang-orang yang beriman, jika sudah dikumandangkan
adzan untuk shalat jum‟at maka bersegeralah untuk menuju Allah
dan tinggalkanlah jual beli (QS. Al-Jumu‟ah: 9)

Interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di tempat belanja


terjadi berkaitan dengan sistem sosio-ekonomi, sosio-kultural dan
peran dramatisir yang dimainkan oleh seorang individu. Secara sosio-
ekonomi, struktur interaksi didasarkan pada lokasi dan tempat jualan
yang menunjukan perbedaan organisasi dan diferensiasi kerja. Se-
dangkan secara sosio-kultural, proses interaksi sosial ekonomi terjadi
berdasarkan pengaruh kultural lokal terhadap masing-masing penjual
dan pembeli. Adapun secara individu, dalam proses melakukan tawar-
menawar harga ditentukan oleh peran dan kelincahan yang ditampil-
kan oleh penjual di satu pihak dan pembeli di pihak lain dalam upaya
saling persuasif.
Perbandingan ketiga sosio-ekologi tersebut dapat dikategorikan
dalam bentuk pertokoan, kios atau lods dan eceran atau emperan. Tipe
toko lebih mencerminkan ciri-]clc ‘Tcj_ Firma‘ ^_ha[h fie[mc y[ha
Sosiologi Pasar | 57
lebih bersifat tetap dan mengarah pada sistem organisasi perdagangan
yang teratur serta lebih banyak menggunakan modal dibandingkan
dengan tipe kios maupun eceran. Walaupun secara keseluruhan
keadaan pertokoan di Kendari Sulawesi Tenggara belum menunjukan
mcmn_g _eifiac ‘moj_lg[le_n‘ m_\[a[cg[h[ ^c ein[-kota besar seperti
yang marak mengemuka di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar
dan kota-kota besar lainnya. Akan tetapi, kini sudah mulai terlihat ciri
khas perilaku ekonomi masyarakat Kota Kendari yang goal oriented,
terutama di beberapa pertokoan yang terletak di dalam dan di luar
Mall Mandonga sejak tahun 1997. Tak pelak lagi, kini sudah tampak
menggelegar di ruang sosial hipermarket Lippo Plaza lima tahun
terakhir ini, dikunjungi oleh berbagai lapisan sosial masyarakat, baik
sebagai warga masyarakat Kota Kendari dan maupun dari berbagai
daerah ketika mereka berada di Kota Kendari.
Menurut Durkheim (dalam Johnson, 1988) bahwa setiap
masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional yang ber-
cirikan solidaritas mekanik dengan sistem ekonomi sub sistem me-
nuju masyarakat yang maju dan moderen yang bercirikan solidaritas
organik dengan sistem pertukaran ekonomi dalam sebuah sistem eko-
nomi pasar.
Secara konvensional, pasar tidak hanya menunjuk pada suatu
tempat antara penjual dan pembeli bertemu, tetapi juga menunjuk
pada terjadinya kesepakatan harga dalam rangka pertukaran barang
dan jasa. Pasar adalah mekanisme sosial sebagai sumber daya
ekonomi yang dialokasikan, sehingga pasar merupakan sebuah kons-
truksi sosial (Luckmann, dkk, 1984). Sumber-sumber daya yang ada
di pasar meliputi barang dan jasa. Pasar dilembagakan oleh per-
tukaran dan perdagangan, sehingga tidak ada pasar tanpa perdagangan
dan tidak ada perdagangan tanpa pasar. Dalam perspektif sosiologi,

58 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
pasar merupakan institusi sosial yang diatur dengan norma-norma dan
sanksi-sanksi yang dibentuk melalui interaksi sosial.
Para sosiolog menjelaskan pasar sebagai institusi ekonomi
yang sangat penting dalam kehidupan setiap masyarakat. Hal itu tidak
hanya terjadi pada masyarakat pedesaan yang masih sederhana, tetapi
juga pada masyarakat perkotaan yang sudah moderen. Ciri utama dari
ekonomi pasar adalah penggunaan uang sebagai sarana transaksi dan
orientasi tindakan ke arah profit-maximizing (homo economicus) dari
para pelaku ekonomi. Dalam masyarakat pra-pasar tindakan ekonomi
mengakar dalam hubungan-hubungan sosial (social relationships),
sedangkan dalam masyarakat kapitalis, ekonomi menjadi otonom dan
sebagai determinan sosial (Weber, 1978).
Keberadaan pasar tradisional dan pasar moderen sangat di-
butuhkan oleh masyarakat karena dia memiliki fungsi dalam peme-
nuhan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat, sehingga keberadaan
keduanya bisa saling mendukung dan tidak saling meniadakan.
Meskipun suasana pasar tradisional yang panas, sumpek, kotor,
becek, bau busuk, semrawut dan tidak teratur, tetapi masih dibutuh-
kan oleh masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah karena di
dalamnya senantiasa berlangsung proses interaksi dan berbagai
bentuk hubungan sosial lainnya. Sementara pada pasar moderen yang
direpresentasikan dengan keberadaan Mall-Mall yang berdiri megah,
merupakan tempat perbelanjaan yang nyaman dengan full AC, bersih,
rapi, teratur, dilengkapi fasilitas pendukung moderen yang menyaji-
kan barang-barang bermerek dengan label harga yang mahal, tetapi
terus diburu oleh masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas.
Sejak tahun 1997 toko dan kios sama-sama menempati lokasi
yang tetap dan memperdagangkan sejumlah barang yang sama
banyaknya, serta sistem ekologis perbelanjaan yang juga belum ter-
organisir. Sedangkan pada saat ini, toko-toko menempati lokasi
Sosiologi Pasar | 59
khusus di dalam Mall Mandonga dan tempat perbelanjaan di Lippo
Plaza. Kedua tempat perbelanjaan moderen ini sama-sama membuka
peluang bagi pengunjung untuk melangsungkan proses komunikasi
yang panjang lebar dan berlapis-lapis, meskipun tidak dapat mem-
pengaruhi naik dan turunnya harga barang. Kecuali jika masih ada
sebagian harga barang yang belum ditentukan dan dicantumkan label
harganya seperti di Mall Mandonga, sehingga antara pembeli dan
penjual di kios dan di toko mempunyai kelonggaran untuk ber-
interaksi secara timbal balik. Memang sudah ada sejumlah barang
yang juga sudah ditentukan harganya, tetapi dengan pendekatan
tertentu dalam konteks sejarah hubungan interpersonal, maka ke-
mungkinan tetap terbuka peluang untuk diturunkan sedikit nilainya.
A. Potret Pasar Tradisional
Eksistensi anak manusia dalam menyelenggarakan serta me-
langsungkan kehidupan sosialnya, ditandai dengan dinamika sosial
ekonomi dan perubahan budaya dengan berbagai problematikanya.
Pasar sebagai ruang sosial ekonomi untuk melangsungkan interaksi
jual beli dan tindakan komunikasi, tampak dipengaruhi oleh berbagai
faktor internal dan eksternal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan pasar tradi-
sional di wilayah Pemerintahan Kota Kendari telah menjadi arena
kehidupan sosial ekonomi yang dapat menumbuhkembangkan eko-
nomi kerakyatan bagi warga masyarakatnya. Namun pada sisi lain,
tidak dapat dipungkiri bahwa di balik dinamika sosial ekonomi dan
perubahan budaya tersebut, maka melalui pendekatan verstehen pihak
peneliti sempat merasakan rintihan-rintihan tangis serta duka nestapa
yang menimpa sebagian warga masyarakat yang selama ini meng-
gantungkan kehidupannya di ruang sosial perbelanjaan yang disebut
pasar tradisional dan pasar modern itu.

60 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Sementara bagi para pembeli yang tergolong mampu, terutama
bagi mereka dari kelas menengah ke atas yang doyan membelanjakan
uangnya di tempat perbelanjaan modern, sesungguhnya merupakan
sebuah gaya hidup baru yang menjelma di tengah kehidupan masya-
rakat kontemporer. Betapa tidak, Mall, supermarket dan hipermarket
tampak nyata menjadi ruang sosial ekonomi secara khusus bagi warga
masyarakat perkotaan yang memiliki daya beli yang tinggi nan
konsumtif itu.
Menurut Baudrillard (2006), salah satu ciri masyarakat modern
adalah ditandai dengan kesenangannya berbelanja barang dan jasa,
meskipun barang-barang tersebut hanya merupakan dorongan pen-
citraan yang gegap gempita. Bagi kaum the have, mereka ber-
kesempatan besar untuk memiliki dan menikmati alat konsumsi baru
seperti McDonald (dan industri fast-food lainnya), megamall, cyber-
mall, superstore, discounter, saluran hiburan, hotel-kasino, taman
bertemakan ala Disney, dan sebagainya. Semuanya menawarkan
kepada konsumen sebuah gambaran (tanda) yang fantastis, sehingga
dibeli tanpa mempertimbangkan efisiensi dan efektivitasnya. Mung-
kin saja barang-barang itu belum tentu dibutuhkan oleh pemiliknya,
tetapi ketika ideologi konsumeristis yang menghembus dari ventilasi
kapitalisme global, maka ketika itulah seseorang dan sekelompok
orang terpaksa mengakui sebuah kebenaran virtual dan ataupun tidak
terpaksa untuk percaya dengan segala identitas simbolistiknya sebagai
orang kaya yang penuh kepuasan serta bahagia dan terbebaskan dari
segalanya.
Deretan sarana konsumsi baru masyarakat modern yang ber-
denting dalam ruang restoran cepat saji (fast food) dan cyber mall, se-
olah-olah menjadikan berbelanja di mall merupakan kesenangan ter-
sendiri bagi kaum pemilik kapital (the have) untuk memenuhi ke-
butuhannya. Kini, sungguh-sungguh menakjubkan karena kaum the
Sosiologi Pasar | 61
have, pada saat pergi ke Mall tidak perlu repot-repot lagi membawa
uang cash untuk berbelanja yang dianggap membebani dirinya.
Fungsi uang cash (cash-money) untuk berbelanja dapat digantikan
dengan benda mungil praktis yang disebut kartu ATM dan kartu debit
lainnya. Betapa konsumen kelas menengah ke atas ini dengan mudah
dapat memenuhi nafsu transaksi sosial ekonominya. Tanpa tedeng
aling-aling, semuanya diboyong pulang ke istana rumah tangganya,
entah barang itu memang benar-benar dibutuhkan ataukah hanya se-
kedar untuk dipajang berjejal di sekeliling rumahnya.
Ikhwal itulah yang merupakan dorongan gaya hidup konsumtif,
sehingga pembelian terhadap beberapa komoditas yang menggiurkan
di ruang sosial ekonomi super dan hypermarket, seolah menjadi
sebuah performace yang terkesan begitu membanggakan bagi sang
konsumen. Dalam konteks ini, menurut Baudrillard (2006) bahwa
j_lcf[eo n_lm_\on g_loj[e[h m_\o[b ‗e_l[hae_ha `[hn[mncm‘, e[l_h[
kepemilikan sarana konsumsi baru, sesungguhnya hanya merupakan
sebuah simbolistis yang tidak berbasis kebutuhan utama. Karena itu,
menurutnya bahwa fenomena gaya hidup konsumtif tersebut merupa-
kan sebuah kebiasaan buruk yang harus diputuskan (breaking the
habit). Betapa tidak, realitas mall adalah seonggok realitas semu dan
artifisial yang pada esensinya menyajikan sebongkah kebohongan dan
distorsi yang bernuansa hiperrealitas.
1. Pasar Mall Mandonga
Mall Mandonga merupakan tempat pertama perbelanjaan yang
kategori paling moderen yang ada di Kota Kendari, termasuk di
Sulawesi Tenggara. Arena perbelanjaan ini terletak di jantung Kota
Kendari yang dahulunya merupakan lokasi Pasar Sentral Mandonga
yang telah mengalami kebakaran sebanyak 3 kali. Oleh karena Pasar
Sentral Mandonga mengalami kebakaran dan menghanguskan seluruh
kios yang ada di dalam pasar, sehingga menyebabkan transaksi jual
62 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
beli menjadi terputus, maka untuk menghidupkan aktivitas pasar
untuk sementara waktu Pemerintah Kota Kendari memindahkan pasar
n_lm_\on e_ d[f[h L[q[n[ y[ha e_go^c[h ^cm_\on m_\[a[c ‗P[m[l
L[q[n[‘.
Pasar Mall Mandonga sebagai lokasi perbelanjaan yang sangat
strategis, maka Mall Mandonga merupakan arena tempat perbelanjaan
yang paling ramai dikunjungi oleh para pembeli di Kota Kendari.
Para pembeli dan pengunjung di Mall Mandonga tersebut tidak hanya
berasal dari wilayah Kota Kendari saja, tetapi juga berasal dari
wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Kendari se-
perti Konda, Wolasi, Palangga, Moramo, Tinanggea (Kabupaten
Konawe Selatan), Pondidaha, Unaaha (Kabupaten Konawe), Wawonii
(Kabupaten Konawe Kepulauan), serta Kasipute, Poleang, Kabaena
(Kabupaten Bombana).
Pasar Mall Mandonga yang dibangun pada tahun 2005 adalah
terdiri atas empat lantai, yakni lantai basement yang terletak pada
posisi paling bawah, lantai 1, lantai 2, lantai 3, dan lantai 4. Lantai
yang digunakan oleh para pedagang untuk berjualan terletak pada
lantai basement, lantai 1, lantai 2, dan lantai 3. Adapun lantai keempat
yang berada pada posisi paling atas Mall Mandonga hanya digunakan
sebagai tempat ibadah. Di dalamnya ada sebuah masjid Al-Irsyad
yang terbangun untuk digunakan oleh para pedagang Mall Mandonga
dan warga sekitar yang beragama Islam untuk melaksanakan ibadah
shalat.
Pasar Mall Mandonga menyediakan dan menjual berbagai
macam barang berupa kain, tekstil, jilbab, pakaian dan busana
muslim, sarung, perlengkapan haji dan umrah, aksesoris, kacamata,
parfum, sepatu, sendal, tas, kaset, serta barang-barang lainnya. Di
bagian depan Pasar Mall Mandonga dan pada bagian sayap sebelah

Sosiologi Pasar | 63
kiri Mall Mandonga berjejer penjual Hand Phone, smart phone
dengan berbagi tipe dan merek.
Para penjual yang mengembangkan transaksi jual beli di Pasar
Mall Mandonga kebanyakan berasal dari daerah Sulawesi Selatan.
Mereka adalah orang-orang Bugis dan Makassar yang mendominasi
pasar Mall Mandonga, terutama penjual ikan dan pakaian. Selain itu,
suku bangsa lain yang menjual di Pasar Mall Mandonga juga di-
temukan sebagian dari wilayah Kepulauan yaitu orang Gu-Lakudo,
Wakatobi, Bau-Bau, Muna, Kendari, dan suku bangsa lain yang ber-
asal dari Jawa dan sekitarnya.
Secara umum, seperti terlihat dalam gambar 1 keadaan ling-
kungan di sekitar Pasar Mall Mandonga adalah tampak bersih, indah,
rapi, aman dan nyaman. Atas dasar lokasinya yang demikian strategis,
sehingga menjadikan Pasar Mall Mandonga banyak dikunjungi oleh
pembeli. Sementara peluang dan kesempatan untuk berlangsungnya
proses interaksi sosial dan komunikasi jual beli tampak cukup lama,
karena Mall Mandonga terbuka setiap hari mulai dari jam 8 pagi
hingga sampai pada jam 22.00 Wita.

Gambar 1. Ketua Peneliti berpose di depan Pasar Moderen pertama


di Kota Kendari yang bernama Mall Mandonga.

64 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Sehubungan dengan keberadaan Pasar Lawata, berbagai per-
masalahan dalam bentuk pembongkaran secara paksa terus mewarnai
keberadaan Pasar tersebut dan hingga saat ini belum tuntas di-
selesaikan. Hal ini terjadi, karena sesuai dengan keputusan dan
kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Kendari dengan para
pedagang ex Pasar Mandonga yang pernah mengalami bencana ke-
bakaran bahwa kios-kios yang dibuat akan dibagikan secara gratis
kepada semua pedagang yang terkena kebakaran tersebut. Demikian
pula, penentuan tempat kios bagi para pedagang pasar tergantung
hasil undian nomor yang diterima oleh para pedagang. Namun kenya-
taannya, tempat-tempat kios yang terutama terletak di posisi strategis
ditenggarai menjadi objek permainan untuk mencari keuntungan
pribadi dari segelintir oknum pejabat Pemerintah Kota Kendari. Hal
ini kemudian menimbulkan reaksi dalam bentuk unjuk rasa dan
demonstrasi yang berulang-ulang terjadi di lokasi pemasaran dan di
hadapan anggota DPRD Kota Kendari.
Tampaknya, proses relokasi pedagang ke Pasar Lawata yang
dimaksudkan untuk berjualan sementara sambil menunggu selesainya
bangunan Mall Mandonga oleh Pemkot Kendari yang bekerja sama
dengan PT Bina Bakti Persada dan PT Kurniatama sebagai investor
yang berasal dari Makassar. Kini, terkesan masih menyisakan se-
jumlah masalah dan salah satu di antaranya yang paling sulit di-
selesaikan adalah sebagian dari penjual yang merasa tidak mampu
menyewa atau membeli kios di Mall Mandonga, maka mereka terus
saja bertahan untuk berjualan di lokasi Pasar Lawata.
Mall Mandonga yang dibangun atas dasar MoU yang ditanda-
tangani oleh pihak investor, Pemkot Kendari dan Pedagang adalah di-
m_\on m_\[a[c ‗P[m[l Tl[^cmcih[f M[h^iha[‘ y[ha [e[h ^c\[haoh
secara permanen, tetapi tidak menghilangkan ciri khas nuansa tradi-
sionalnya. Hal ini terbagi atas Pasar Basah yang dibangun oleh PT
Sosiologi Pasar | 65
Kurniatama dan Pasar Kering yang dibangun oleh PT Bina Bakti
Persada. Akan tetapi, setelah pembangunan pasar tradisional di-
maksud hampir mendekati tahap perampungan, pihak investor dari
kalangan PT Bina Bakti Persada melalui Manajer Pengelolanya
menyebut pasar tersebut sebagai Mall Mandonga. Sementara dalam
konsep MoU yang telah disepakati disebutkan sebagai Pasar
Tradisional Mandonga, sehingga pihak investor terkesan menyalahi
MoU tersebut. Memang diakui oleh Pihak Manager Pengelola bahwa
hal ini pernah diajukan ikhwal perubahan nama. Akan tetapi, hingga
saat ini belum mendapat respon dari pihak Pemerintah dan
masyarakat Kota Kendari.
Pada akhirnya, Mall Mandonga yang peletakan batu pertama-
nya pada tahun 2002, diresmikan pada tanggal 28 Mei 2005 oleh Wali
Kota Kendari yang terdiri atas sebanyak 4 lantai dan 700 buah kios
yang berukuran 2 x 3, 2 x 4, 2 x 5 dan 3 x 6 di bawah pimpinan utama
H. Irsad Doloking. Menurut pengakuan salah seorang petugas
Manajer Pemasaran bahwa dari sejumlah kios tersebut, belum
semuanya laku terjual. Menurut informasi dari para penjual bahwa
cukup banyak penjual yang tidak melanjutkan usahanya atau keluar,
karena tidak mampu memenuhi target jualan yang diharapkan.
2. Pasar Sentral Kota
Pasar Sentral Kendari dibangun oleh Pemerintah Kota Kendari
dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) murni selama 3 tahun. Adapun total anggaran yang di-
gunakan sebesar 126 miliar rupiah. Pasar Sentral Kendari memiliki
struktur bangunan 3 lantai dan mempunyai luas areal pasar sekitar 3
hektar serta memiliki sekitar 1.300 kios.
Betapa cukup banyak ide dari Dr Ir H Asrun, M Eng.Sc
sebagai Walikota Kendari dalam memajukan Kota Kendari, sehingga
membuat Dinas Pendapatan sebagai salah satu dinas yang menyiap-
66 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
kan anggaran pemerintah Kota Kendari, terus berkreasi dan melaku-
kan berbagai terobosan guna menghasilkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang baru untuk digunakan sebagai biaya pembangunan kota.

Gambar 2. Keadaan bangunan fisik Pasar Sentral Kota Kendari


Pasar Sentral Kendari yang berdiri megah seperti terlihat dalam
gambar 2 ini merupakan salah satu bukti kesuksesan Pemerintah Kota
Kendari dalam merealiasikan program yang telah direncanakan.
Hanya dalam jangka waktu 3 tahun, Pemerintah Kota Kendari sukses
membangun pasar tradisional termegah di Indonesia dengan modal
APBD murni sebesar 126 miliar rupiah melalui sistem kontrak tahun
jamak. Dalam jangka waktu 3 tahun pasar tradisional itu bisa tuntas,
dan hingga saat ini sudah bisa digunakan oleh warga masyarakat.
Wali Kota Kendari mengatakan bahwa pemerintah Kota
Kendari memiliki dua strategi untuk merealisasikan program unggu-
lan yang sudah direncanakan. Pertama dengan sistem kontrak tahun
jamak (multi years), dan kedua adalah berfokus kepada program
membangun. Kedua strategi yang digunakan tersebut, sangat ber-
dampak positif terhadap keberahasilan program pembangunan pasar
di Kota Kendari.
Sosiologi Pasar | 67
Kontrak tahun jamak merupakan strategi pemerintah yang di-
gunakan untuk mengatasi persoalan keterbatasan anggaran yang di-
miliki pemerintah Kota Kendari, karena untuk merealisasikan rencana
yang sudah disusun semuanya adalah membutuhkan anggaran sekitar
Rp 500 miliar. Sementara tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kota Kendari hanya sekitar Rp 100 miliar. Karena itu, sebelum
dilakukan proses pengadaan dan pembangunan pasar, Pemerintah
Kota Kendari terlebih dahulu meminta persetujuan DPRD Kota
Kendari. Ketika disetujui paket pekerjaan tertentu untuk tahun jamak,
maka tahun-tahun berikutnya adalah mengalokasikan anggaran sesuai
dengan dana yang dibutuhkan. Misalnya, pembangunan Pasar Sentral
Kendari yang membutuhkan anggaran lebih dari 120 miliar rupiah.
Hal ini tidak sebanding dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kota Kendari, karena pada saat itu PAD Kota Kendari hanya
berjumlah sekitar Rp 28 miliar. Maka dengan sistem kontrak tahun
jamak dalam jangka waktu 3 tahun, pasar tradisional itu bisa tuntas
dan saat ini sudah dapat digunakan masyarakat.
Strategi lain yang dilakukan Walikota Kendari untuk mewujud-
kan rencana yang sudah disusun adalah bertitik fokus kepada upaya
menangani idenya secara tuntas. Dengan menjalankan strategi sistem
tahun jamak dan tetap fokus pada apa yang telah menjadi cita-cita dan
rencana pembangunannya, maka pembangunan di Kota Kendari
mengalami perkembangan pesat dan masyarakat bisa merasakan hasil
dan dampaknya saat ini. Adapun fasilitas yang terdapat dalam Pasar
Sentral Kota adalah berupa Lahan Parkir Luas yang terdapat di lantai
bawah, Arena Bermain Anak yang terdapat di lantai 3, Aula, Listrik
dan Air Bersih, lingkungan pasar yang bersih, Masjid/Musolla yang
ada di lantai 3 (Data Dinas Koperasi dan UKM Kota Kendari, 2016).
3. Pasar Baru Kendari
Pada era kepemimpinan Pemerintahan Asrun-Musadar
68 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Mapposomba selama memimpin Kota Kendari, utamanya pada
periode kedua memimpin Kota Kendari, pembangunan fisik di Kota
Kendari terus dilakukan dan mengalami perkembangan yang sangat
pesat, termasuk di dalamnya adalah membangun beberapa pasar tra-
disional. Salah satu program pembangunan pasar di antaranya adalah
pembangunan kembali (renovasi) Pasar Baru yang pernah mengalami
kasus kebakaran, sehingga semua penghuninya dipindahkan di pasar
panjang. Karena itu, Pemkot Kendari membangun kembali pasar
tersebut di tempat semula terjadinya kebakaran menjadi sebuah Pasar
Baru yang tampak indah sebagaimana terlihat pada gambar 3 di
bawah ini. Pasar yang berada di lokasi yang demikian strategis ini,
kini pada tahun 2016 sudah berhasil dirampungkan pembangunannya
dengan menggunakan APBD murni Kota Kendari. Dengan demikian,
berarti pada tahun 2016 ini Pasar Baru sudah siap digunakan oleh
pedagang yang selama ini berada di sekitar Pasar Panjang.

Gambar 3. Keadaan Pembangunan Fisik Pasar Baru saat ini setelah


direnovasi
Pembangunan Pasar Baru Kota Kendari menghabiskan angga-
ran sebesar Rp 45 miliar. Tentu saja pembangunan pasar baru ini juga

Sosiologi Pasar | 69
menerapkan sistem anggaran tahun jamak atau multy years dengan
jangka waktu pembangunan pasar selama 3 tahun, mulai dari tahun
2014 sampai pada tahun 2016. Sumber dana pembangunan Pasar Baru
diperoleh dari APBD murni Kota Kendari ditambah dengan bantuan
Kementerian Koperasi/UMKM Republik Indonesia. Pembangunan
Pasar Baru yang telah menghabiskan dana Rp 45 miliar dengan
jangka waktu 3 tahun tersebut, dibangun di atas areal tanah sebesar
11.092 m2, dan Luas Gedung sebesar 8.019 m2. Sedangkan jumlah
Lods yang ada di Pasar Baru sebanyak 806 unit. Adapun fasilitas
yang ada antara lain adalah kantor, security, musolah, dan ruang
pengelola (Dinas Koperasi dan UKM Kota Kendari, tahun 2016).
Pada waktu membangun Pasar Baru, Pemerintah Kota Kendari
melalui Walikota Kendari Ir. Asrun menerapkan sistem anggaran
tahun jamak atau multi year selama 3 tahun. Sistem penganggaran
tahun jamak dilakukan guna mengantisipasi keterbatasan anggaran
pembangunan yang dimiliki oleh Kota Kendari. Sebelum dibangun
kembali, kondisi Pasar Baru memang sudah sangat tidak layak
digunakan untuk berjualan. Tak pelak lagi amburadulnya penataan
pasar serta kondisi bangunan pasar yang demikian sempit.
Kondisi area pasar yang sempit dan lingkungan pasar yang
kotor karena sampah, menambah kesemberawutan Pasar Baru. Tentu
saja pembeli semakin tidak nyaman lagi untuk datang berbelanja.
Melihat kondisinya yang sudah tidak layak, maka Ir Asrun
memutuskan untuk membangun kembali pasar baru yang lebih
representatif lagi baik bagi pedagang maupun pembeli. Atas dasar
itulah, maka Ir Asrun mulai melakukan sosialisasi kepada para
pedagang yang kemudian dimulai dengan tahapan relokasi para pe-
dagang Pasar Baru untuk pindah berjualan sementara di Pasar
Panjang.
Setelah seluruh pedagang Pasar Baru pindah berjualan di
70 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
tempat sementara itu, maka mulailah pembangunan Pasar Baru yang
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Walikota Kendari pada
tahun 2014. Kini, Pasar Baru telah tampil dengan wajah baru dan
telah berdiri kokoh serta sudah siap menjadi arena perputaran
ekonomi kerakyatan. Akhirnya, ketika Pasar Baru sudah rampung
dengan tampilan bagus, indah, bersih, megah, dan lebih modern,
g[e[ P_g_lchn[b Kin[ K_h^[lc g_g\_lc h[g[ m_\[a[c ‗P[m[l S_hnl[f
Wua-Wo[‘.
4. Pasar Panjang
Secara administratif Pasar Panjang terletak di Jalan Bogoeya
Kelurahan Lepo-Lepo Kota Kendari yang mulai dibangun pada tahun
2010. Disebut Pasar Panjang karena berdasarkan letak dan posisi
Pasar Panjang adalah terbentang sepanjang Jalan Bogoeya. Posisi
Pasar Panjang yang berada di pinggir jalan raya, terutama di bagian
Utara adalah ditempati penjual ikan, sayur, beras, dan barang-barang
kebutuhan pokok, sembako dan lainnya. Sedangkan di bagian Selatan
adalah ditempati oleh aneka penjual pakaian dan perlengkapan
sekolah. Sementara di bagian Timur adalah diramaikan oleh penjual
makanan, kue-kue dan warung makan serta di bagian Barat lebih
dominan terlihat penjual buah-buahan.
Sejarah terbentuknya Pasar Panjang adalah diawali dengan
peristiwa kebakaran Pasar Baru Wua-Wua yang terjadi pada tahun
2010. Hal ini menjadi masalah serius karena para penjual yang
berdagang di Pasar Baru Wua-Wua telah kehilangan usaha mata pen-
caharian dan bahkan telah mengalami kerugian materil dan finansial
yang tidak sedikit jumlahnya. Atas dasar itulah, maka peristiwa
kebakaran Pasar Baru Wua-Wua tersebut mendorong Pemerintah
Kota Kendari untuk mengeluarkan kebijakan sebagai upaya me-
relokasi para pedagang korban kebakaran Pasar Baru ke Pasar
Panjang. Karena itulah, maka mulai pada tahun 2011 Pasar Panjang
Sosiologi Pasar | 71
telah aktif menjadi tempat berdagang bagi eks korban kebakaran
Pasar Baru.
Upaya pemindahan Pasar sebagai akibat dari kebakaran adalah
dilakukan oleh Pemerintah Kota Kendari dalam rangka menjamin
kondisi perekonomian masyarakat Kota Kendari, terutama bagi
mereka yang telah mengalami bencana dan malapetaka itu. Tentu saja
jika tidak ada tindakan cepat dari pemerintah, maka sudah pasti dapat
mempengaruhi performa Pemerintah Kota Kendari. Artinya, angka
pengangguran semakin bertambah banyak dan jumlah pedagang kaki
lima kian merambah di berbagai wilayah Kota Kendari. Di samping
itu juga bisa memicu terjadinya kerawanan sosial dan tingkat
kejahatan yang tinggi akibat banyaknya masyarakat yang tidak
mempunyai pekerjaan. Maka pasca kebakaran yang terjadi pada
malam hari seperti terlihat pada gambar 4, Pemerintah Kota Kendari
langsung mengambil langkah preventif melalui upaya pendataan dan
penertiban para pedagang korban kebakaran Pasar Baru Wua-Wua
untuk direlokasi menuju Pasar Panjang yang telah dipersiapkan.

Gambar 4. Saat-saat peristiwa kebakaran Pasar Baru


72 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Sebetulnya rencana pembuatan Pasar Panjang hanyalah bersifat
sementara waktu untuk menampung para pedagang korban kebakaran
Pasar Baru Wua-Wua. Tentu saja akan menunggu Pasar Sentral Wua-
Wua selesai dibangun di atas tanah lokasi Pasar Baru Wua-Wua. Kini,
setelah Pasar Baru telah rampung kembali dibangun oleh pemerintah
Kota Kendari yang kemudian diberi nama Pasar Sentral Wua-Wua,
maka pedagang yang ada di Pasar Panjang bisa kembali menempati
Pasar Baru yang kini sudah berganti nama menjadi Pasar Sentral
Wua-Wua.
Tampaknya, yang menjadi persoalan krusial adalah para
pedagang yang dahulu berjualan di Pasar Baru sebelum terbakar, kini
mereka dilanda kecemasan untuk tidak bisa lagi kembali berjualan di
Pasar Sentral Wua-Wua, karena mereka sebagai korban kebakaran di
masa lalu tidak mempunyai cukup uang untuk membeli lods-lods
ataupun kios-kios sebagai tempat berjualan di Pasar Sentral Wua-
Wua. Selain sebagian di antara mereka yang tidak cukup uang, juga
ada yang tidak bisa mengakses kios bantuan pemerintah, karena
faktor pendekatan dan mediator yang dimilikinya. Hal ini menjadi
persoalan tersendiri bagi para pedagang eks korban kebakaran Pasar
Baru yang harus dicarikan solusinya oleh pihak Pemerintah Kota
Kendari.
Kios yang terdapat di Pasar Panjang dapat dibedakan menjadi
dua kategori yaitu kategori kios yang berasal dari bantuan pemerintah
dan kategori kios kontrakan yang disewakan kepada para pedagang.
Untuk kategori kios pertama yang berasal dari bantuan pemerintah
seperti terlihat pada gambar 5 merupakan kios yang diberikan oleh
pemerintah sebagai bantuan kepada para pedagang korban kebakaran
Pasar Baru Wua-Wua, sehingga kepadanya tidak dipungut biaya
tempat berjualan.

Sosiologi Pasar | 73
Gambar 5. Kios Bantuan Pemerintah
Adapun kategori kios kontrakan merupakan kios yang diper-
oleh pedagang bukan berasal dari bantuan pemerintah, tetapi para
pedagang memperolehnya dengan cara menyewa atau mengontrak
dari pemerintah atau dari perorangan yang dikontrak dalam jangka
waktu tertentu dengan harga yang disepakati bersama antara penyewa
dan pemilik kios. Setelah selesai jangka waktu kontrak sesuai dengan
perjanjian, maka pemilik kios dapat mengambil kembali kiosnya, atau
dapat membuat perjanjian kontrak baru antara pemilik kios dan
penyewa kios.
Barang-barang atau produk yang diperjual belikan oleh penjual
dalam kios-kios adalah berupa pakaian-pakaian jadi, seragam sekolah
lengkap dengan peralatannya seperti tali pinggang, topi, lambang-
lambang, dll, kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) seperti
beras, gula, minyak goreng, garam, dll, maupun kios-kios yang men-
jual kue-kue, makanan jadi, dan warung-warung makan.
Di Pasar Panjang sebagaimana umumnya pasar di Indonesia
juga dijumpai para penjual yang menggelar barang dagangannya

74 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
langsung di atas tanah dengan menggunakan tikar, plastik ataupun
koran sebagai tempat alas jualannya. Para pedagang emperan ini
tempat jualannya tidak permanen atau selalu berpindah-pindah
tempat. Hal itu tergantung kepada kemauan pedagang emperan
dengan pertimbangan tertentu. Misalnya, di posisi lokasi yang ramai
dilewati banyak orang atau yang banyak dilewati oleh pembeli.
Barang-barang yang selalu digelar atau dijual oleh para
pedagang lesehan biasanya barang-barang yang sedang laris diminati
pembeli ataupun barang yang segera dikonsumsi, seperti sayur-
sayuran, buah-buahan, ikan, pakaian, alat-alat dan perabot rumah
tangga, dan lain-lain.
Keberadaan para pedagang emperan ini di satu sisi dapat
menggairahkan pasar karena mereka dapat menciptakan keramaian,
kerumunan, dan kemacetan. Namun di sisi lain kalau ditinjau dari sisi
kesehatan, utamanya kesehatan lingkungan (sanitasi lingkungan)
kurang bagus karena para penjual emperan ini selalu menciptakan
kesemrautan dan memproduksi kotoran dan sampah termasuk bau
busuk yang tidak sedap. Pasalnya, ketika setelah selesai berjualan,
maka para pedagang lesehan ini meninggalkan sampah-sampah yang
berserakan dan ini tentunya menciptakan lingkungan yang kotor dan
tidak bersih. Atas dasar itulah, sehingga para pedagang emperan ini
selalu ditertibkan oleh Satuan Keamanan Pasar. Selain itu, Pasar
Panjang juga memiliki ruko yang dapat digunakan oleh pedagang
untuk melakukan transaksi jual beli, tetapi Ruko tersebut merupakan
milik pribadi-pribadi dari warga masyarakat setempat.
Tampaknya, aktivitas jual beli yang berlangsung di Pasar
Panjang sangatlah beragam asal daerahnya. Ada penjual yang berasal
dari Wakatobi, Wawonii, Makassar, Muna, Bau-Bau dan Kota
Kendari. Para penjual mengambil barang mulai dari Konawe sampai
Kolaka untuk di jual ke Pasar Panjang. Adapun pembeli dan
Sosiologi Pasar | 75
pengunjung yang selalu berdatangan ke Pasar Panjang adalah ke-
banyakan dari warga masyarakat Kota Kendari. Para pengunjung dan
pembeli yang datang belanja di Pasar Panjang kebanyakan meng-
gunakan kendaraan pribadi baik kendaraan roda dua maupun
kendaraan roda empat. Hal tersebut dapat dimaklumi karena posisi
Pasar Panjang adalah memanjang sepanjang jalanan.
Secara umum keadaan lingkungan di Pasar Panjang masih ter-
golong biasa-biasa saja. Dalam artian keadaan lingkungan Pasar
Panjang masih belum terlalu kotor, dan bahkan lingkungan pasar
dapat dikatakan bersih. Kondisi lingkungan dan kebersihan Pasar
Panjang relatif terjamin kebersihannya. Hal ini terjadi karena
Pemerintah Kota Kendari menyiapkan tenaga pekerja (cleaning
services) yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pasar panjang
yang setiap hari dibersihkan oleh pekerja kebersihan yang telah
ditugaskan.
5. Pasar Anduonohu
Pasar Anduonohu merupakan salah satu pasar yang benar-
benar tergolong sebagai pasar tradisional yang ada di Kota Kendari.
Posisi tempat perbelanjaan yang demikian sangat strategis, karena
terletak di pinggir Jalan Raya Poros Anduonohu menuju wilayah
Lapulu bagian atas. Demikian pula, dari wilayah Anduonohu menuju
wilayah Kambu yang mengarah ke wilayah Wua-Wua. Sementara
dari arah bagian belakang melalui Jalan By Pass, dapat diakses dari
berbagai arah dengan cepat. Karena itu, untuk berbelanja di Pasar
Anduonohu sangat mudah dijangkau karena bertolak dari Kota
Kendari lama menuju Pasar Anduonohu dapat ditempuh dengan kece-
patan tinggi melalui pertigaan Rumah Sakit Abunawas atau melalui
bundaran tank Anduonohu. Begitu pula untuk mencapai Pasar Anduo-
nohu dari arah Kantor Gubernur Sultra, mungkin hanya butuh waktu

76 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
sekitar 5 menit karena jalanan menuju ke Pasar Anduonohu sangat
mulus, lebar dan bagus.
Secara geografis, posisi Pasar Anduonohu dapat dikatakan
sangat strategis karena letaknya di pinggir jalan raya dan jalan poros
sebagaimana tercantum dalam gambar 6. Aksesibilitas menuju ke
Pasar Anduonohu sangat mudah. Untuk menuju Pasar Anduonohu
dapat melalui kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, ojek, atau-
pun dapat menggunakan kendaraan angkutan umum. Pasar Anduo-
nohu merupakan salah satu pasar yang tergolong pasar yang sudah
lama dibangun, tetapi ketika melihat bentuk fisiknya tampak masih
sederhana dan khas tradisional. Pasar Anduonohu ini mulai beroperasi
sekitar tahun 1990-an dan banyak dikunjungi oleh pembeli yang
berdomisili di wilayah Anduonohu dan sekitarnya, Kambu Baruga,
Poasia, Lapulu, Nambo, Sambuli, bahkan sampai Moramo Konawe
Selatan.

Gambar 6. Letak Pasar Anduonohu dari Arah Samping Kanan Pasar


Sejak awal dibangun sampai sekarang, Pasar Anduonohu
belum pernah direnovasi secara total. Kalaupun ada bagian pasar yang

Sosiologi Pasar | 77
direnovasi, itu bukan dilakukan oleh pemerintah, tetapi dilakukan
secara sendiri-sendiri oleh pihak penjual setempat. Misalnya saja
memperbaiki kios-kios atau lods-lods yang semi permanen yang
terbuat dari kayu dan papan, supaya kios-kios atau lods-lods tersebut
nampak kelihatan rapi, indah dan bagus.
Tampaknya, bangunan fisik Pasar Anduonohu belum meng-
alami perbaikan meskipun sudah kelihatan tua, kotor, dan kumuh.
Malahan yang mengalami perubahan, pembangunan dan perbaikan
pasar justru jalanan saja, baik jalan raya yang berada di bagian depan
Pasar Anduonohu maupun jalan raya yang berada di samping pasar.
Pembangunan infra struktur jalan raya di depan maupun di samping
Pasar Anduonohu, maka secara langsung dan tidak langsung kian
meningkatkan arus lalulintas perbelanjaan. Selain itu, juga mulai
mengindahkan lingkungan luar areal Pasar Anduonohu, karena se-
belum jalanan di depan dan di samping pasar diperbaiki, keadaan
Pasar Anduonohu tampak sangat kotor dan kumuh serta berbau
busuk, terutama ketika musin hujan tengah berlangsung.
Aktivitas transaksi jual-beli di Pasar Anduonohu mulai ber-
operasi pada pukul 06.00-22.00 Wita. Tampaknya, waktu kedatangan
yang ramai bagi pembeli dan pengunjung di Pasar Anduonohu ber-
langsung sepanjang hari, mulai dari pagi buta sampai sore hari, dan
bahkan sampai pada malam hari pun masih ada aktivitas jual beli,
terutama bagi penjual buah-buahan, gorengan dan penjual makanan.
Hampir semua kebutuhan rumah tangga disediakan di Pasar
Anduonohu. Hal itu terlihat mulai dari kebutuhan sayur-sayuran,
buah-buahan, kue-kue basah dan kering, termasuk baju dan pakaian
lainnya untuk bayi sampai dewasa. Demikian pula, kebutuhan
sembilan bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, garam, dll,
serta penjual ikan basah dan ikan kering, penjual daging sapi dan

78 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
daging ayam. Semuanya tersedia di sekitar Pasar khas tradisional
Anduonohi ini.
Di depan Pasar Anduonohu pun juga terlihat apotek, warung
makan, kios-kios, toko-toko dan rumah toko (ruko) yang menjual
bahan bangunan dan keperluan rumah tangga lainnya. Demikian pula,
agen-agen dan distributor barang serta bank-bank tampak jelas ter-
lihat, sehingga melengkapi semua fasilitas dan kebutuhan yang di-
perlukan oleh pembeli. Dengan demikian, sekali berkunjung di Pasar
Anduonohu, maka semua kebutuhan hidup sehari-hari yang diingin-
kan dapat diperoleh di areal Pasar Anduonohu.
Struktur jual-beli yang ada di Pasar tradisional Anduonohu
adalah terdiri dari lods, kios-kios, penjual emperan atau lesehan, dan
rumah toko (ruko). Tempat berjualan berupa lods yang disediakan
oleh pemerintah yang ada di Pasar Anduonohu jumlahnya sedikit.
Adapun yang paling banyak dijumpai adalah tempat berjualan berupa
kios-kios dan emperan-emperan yang dibuat sendiri oleh para penjual.
Sedangkan bangunan kios-kios yang digunakan untuk melakukan
aktivitas jual beli masih berbentuk semi permanen yang terbuat dari
kayu dan papan. Demikian halnya dengan lods, dan kios-kios yang
menjual barang-barang berupa pakaian, sendal, sepatu, tas, makanan,
minuman serta kebutuhan sembako seperti beras, minyak, terigu, gula
pasir dan gula merah, garam, dan lain-lain.
Adapun tempat jualan yang disebut emperan atau lesehan
merupakan salah satu ciri pasar tradisional di manapun di Indonesia
tanpa terkecuali di Pasar Anduonohu. Para penjual emperan ini biasa-
nya menggelar barang dagangannya langsung di atas tanah, kadang
hanya menggunakan tikar, plastik ataupun koran sebagai tempat alas
jualannya. Para pedagang emperan ini tempat jualannya senantiasa
berpindah-pindah tempat, karena harus disesuaikan dengan kemauan

Sosiologi Pasar | 79
pedagang emperan serta posisi strategis yang dianggap banyak di-
lewati oleh pembeli.
Para penjual emperan dominan menempati bagian paling depan
pasar sampai pada pinggir jalan raya, sehingga menimbulkan per-
masalahan dalam konteks kelancaran berlalu lintas. Hal ini bisa di-
bayangkan ketika pengunjung membludak, maka kondisi jalan di
depan dan di samping Pasar Anduonohu menjadi macet. Dalam
konteks ini, maka dapat disebutkan bahwa keberadaan penjual
emperan senantiasa menciptakan keramaian serta cenderung meng-
gangu suasana di lingkungan sekitarnya.
Di samping los-los, kios-kios dan pedagang emperan, juga
terdapat ruko (rumah toko) di luar kawasan Pasar Anduonohu. Karena
itu, keberadaan ruko ini adalah tidak hanya melengkapi struktur pasar,
tetapi juga kian menambah kemacetan berlalu lintas. Betapa tidak,
pihak pengunjung atau pembeli tidak hanya berbelanja di dalam
pasar, tetapi juga sekaligus dapat berbelanja di luar pasar. Sementara
ruko-ruko yang ada di depan pasar itu adalah dibangun oleh pihak
masyarakat itu sendiri.
Secara umum, keadaan lingkungan di sekitar Pasar Anduonohu
adalah tergolong tidak bersih dan kurang teratur, atau bahkan cende-
rung dikatakan kotor. Hal ini disebabkan bukan hanya karena struktur
jual beli yang kurang teratur atau sembrawutan, tetapi pasar
Anduonohu juga merupakan pasar tradisional yang belum direnovasi
hingga saat ini sebagaimana Pasar Sentral Wua-Wua, Pasar Rakyat
Lapulu, dan Pasar Sentral Kota Kendari.
6. Pasar Lawata
Pasar Lawata merupakan salah satu pasar di Kota Kendari yang
terletak di belakang Masjid Agung Kota Kendari. Pasar ini mulai ber-
operasi sejak pasar sentral mandonga dilanda bencana kebakaran.
Begitu pula ketika Pasar Korem mengalami kebakaran, sehingga
80 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Pasar Lawata kian membludak didatangi orang orang untuk melaku-
kan transaksi jua beli. Hampir semua jenis jualan tersedia di tempat
ini mulai dari sayur-sayuran, ikan, sembako, sampai dengan penjualan
pakaian. Namun seiring berjalannya waktu maka yang tampak tersisa
di Pasar ini hanyalah penjualan sayuran dan sembako dengan me-
nempati kios-kios kecil yang hanya berjumlah kurang lebih sepuluh
kios.
Pada awal pembangunan Pasar Lawata, hanya terdiri dari 4
Blok, diantaranya adalah Blok A sebagai Blok yang menjual
aksesorir. Blok B sebagai Blok tempat berjualan sayur-sayuran. Blok
C merupakan Blok tempat berjualan kebutuhan sembilan bahan pokok
(sembako). Sedangka Blok D adalah Blok yang diperuntukan untuk
tempat berjualan pakaian.
Kini, proses dan transaksi jual beli di masing-masing Blok
tampak sudah tidak sesuai lagi dengan perencanaan awal. Dalam
artian, sudah tidak proporsional lagi sebagaimana dengan fungsionali-
sasi bloknya masing-masing. Sebaliknya, semuanya berjalan apa
adanya sesuai dengan kenyamanan yang dirasakan masing-masing
penjual. Kini, mereka tidak lagi mengikuti aturan penempatan blok-
blok lagi, sehingga cukup banyak diantara para penjual sembako yang
mengalami kerugian akibat dari disfungsionalisasi setting pembagian
Blok tersebut.
Berbeda dengan Pasar PKL yang sangat didukung oleh
pemerintah, Pasar Lawata merupakan pasar yang sudah berkali-kali
mendapat teguran untuk beroperasi di tempat tersebut. Para pedagang
yang berada di Pasar Lawata sudah sering kali dikejar-kejar oleh
petugas Pamong Praja karena wilayah tersebut bukanlah wilayah yang
layak dijadikan pasar. Pemerintah Kota Kendari sebenarnya sudah
menyiapkan Pasar PKL untuk mereka yang melakukan aktivitas
perdagangan di Pasar Lawata. Hanya saja para pedagang yang ada di
Sosiologi Pasar | 81
Pasar Lawata tidak ingin berpindah tempat ke Pasar PKL dikarenakan
Pasar PKL sekarang sunyi pembeli dan sepi pengunjung.
Pasar Lawata adalah pasar yang tidak memiliki struktur pasar
yang jelas sebagaimana layaknya pasar-pasar lain yang ada di Kota
Kendari. Struktur sebuah pasar diantaranya memiliki Kepala Pasar
sebagai pemimpin dan kelengkapan administrasi pasar lainnya.
Bahkan bukan hanya itu saja, tanah yang dipakai untuk dilakukannya
interaksi jual beli adalah tanah milik salah satu anggota masyarakat
yang tinggal di dekat Pasar Lawata tersebut. Mengenai kebersihan
Pasar Lawata, semua para pedagang masing-masing membersihkan
sendiri halaman depan rukonya, sehingga kebersihan pasar ini tetap
terjaga.

Gambar 7. Lokasi Pasar Lawata di Pinggiran Jalan Waktu Malam Hari


Aktivitas transaksi jual-beli di Pasar Lawata mulai beroperasi
pada pukul 08.00-22.00 Wita. Jam-jam ramai pembeli dan banyak
pengunjung di Pasar Lawata terjadi pada sore hari pukul 16.00 Wita
sampai jam 22.00 Wita malam seperti terlihat pada gambar 7. Di-
antara jenis barang yang dijual di Pasar Lawata seperti sayur-sayuran,

82 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
buah-buahan, ikan, dan lain-lain. Sayur-sayuran yang dijual di Pasar
Lawata biasanya berasal dari Pasar Korem Mandonga. Sampai
sekarang para pedagang yang ada di Pasar Lawata masih tetap
bertahan di Pasar Lawata meskipun mereka kadang-kadang sudah
dikejar-kejar oleh Polisi Pamong Praja. Alasan para pedagang di
Pasar Lawata tetap bertahan sampai hari ini meskipun berada dalam
tekanan, diantaranya karena mereka telah merasakan kenyamanan
berada di tempat tersebut sehingga mereka terus bertahan dan tidak
mau berpindah tempat jualan ke tempat lainnya.
7. Pasar Baruga
Pasar Baruga adalah salah satu pasar yang lokasinya terletak di
Kecamatan Baruga Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Pasar
Baruga mulai didirikan pada tahun 2002-2003. Namun masih hanya
sebatas pendirian belum beraktivitas dan digunakan sebagai sentral
tempat transaksi antara penjual dan pembeli. Ketika memasuki tahun
2007-2008, maka pembangunan fisik bangunan pasar tersebut meng-
alami pemberhentian oleh pihak pemerintah yang menangani proyek
pasar tersebut. Sehingga terkesan lamban, dan nyaris tempat ini tidak
digunakan sebagai pasar tempat terjadinya transaksi jual beli
masyarakat.
Memasuki tahun 2009-2010 maka mulailah tempat ini di-
revitalisasi untuk mendirikan sebuah pasar sebagai tempat untuk me-
lakukan transaksi dan aktifitas jual beli. Namun setelah melewati
proses yang relatif cukup panjang, akhirnya pembangunan Pasar
Baruga berhasil dirampungkan oleh Pemerintah Kota Kendari dengan
anggaran sebesar Rp 10 Milyar yang bersumber dari dana APBN.
Sementara proyek pembangunan Pasar Baruga yang berlangsung
selama 1 Tahun ini, adalah menempati Areal sebesar 17.672 m 2 dan
Luas Gedung sebesar 14.112 m2 dengan jumlah Lods sebanyak 351
unit (Dinas Koperasi dan UKM Kota Kendari, tahun 2016).
Sosiologi Pasar | 83
Pasar Baruga adalah salah satu pasar yang terdapat di Kota
Kendari, yang banyak didatangi pengunjung untuk melakukan akti-
vitas jual beli. Selain itu, pasar Baruga tersebut juga mengikuti arus
penerapan model modernisasi tanpa meninggalkan nilai-nilai tradi-
sional. Pasar Baruga ini dikenal masyarakat bukan hanya dari segi
tempat penjualan barang, tetapi juga sebagai tempat pemberhentian
dan penampungan kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat
(terminal) dalam mencari tumpangan angkutan yang ingin bepergian
dari Kendari menuju daerah Kabupaten Konawe Selatan (Tinanggea)
dan Kabupaten Bombana. Karena itu, maka status dan keberadaan
terminal dan tempat perbelanjaan inilah yang menyebabkan banyak
didatangi oleh masyarakat yang datang dari berbagai wilayah di
sekitarnya. Dalam konteks ini, Pasar Baruga memiliki ciri khas ter-
sendiri karena disatukan oleh keberadaan terminal bus dan angkutan
umum serta wilayah transaksi jual beli seperti terlihat dalam gambar 8
ini.

Gambar 8. Lokasi Terminal Pasar Baruga Kota Kendari


Produk komoditas atau barang-barang yang diperjual-belikan
yang ada dalam Pasar Baruga memiliki banyak macam, mulai dari

84 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
sayur-sayuran, sampai kepada penjualan pakaian. Pembeli dan
pengunjung yang datang di Pasar Baruga kebanyakan berasal dari luar
daerah, karena memang mengingat pasar ini juga sebagai tempat
persinggahan mobil-mobil angkutan umum, dan masyarakat yang
tinggal di sekitaran Pasar Baruga tersebut menjadikan pasar sebagai
objek tempat perbelanjaan. Adapun model dan bentuk setiap los-los
kios Pasar Baruga tampak sama, hanya saja yang membedakan adalah
keberadaan para penjualan ikan yang memang sengaja dimodifikasi
secara khusus sebagai tempat yang basah dan lembab.
Aktivitas warga masyarakat di Pasar Baruga dimulai pada
Pukul 14.00 siang yang ditandai dengan kondisi kendaraan lalu lalang
dari berbagai pelosok daerah. Kendaraan ini mengangkut berbagai
macam barang yang dibawanya untuk dijual, mulai dari sayur-
sayuran, buah-buahan hingga hewan ternak. Karena itu, aktivitas lalu
lintas bukan hanya pedagang saja yang meramaikan, tetapi juga ada
sebagian besar masyarakat sekitar Kota Kendari yang datang ber-
transaksi untuk membeli bahan kebutuhan pokok sehari-hari maupun
membeli barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Masyarakat yang
datang di Pasar Baruga, baik masyarakat yang bertujuan untuk ber-
belanja maupun masyarakat yang menjual berasal dari berbagai struk-
tur lapisan sosial yang berbeda, beragam suku, bangsa dan agama.
Adapun etnik yang tampak lebih banyak berjualan dalam Pasar
Baruga, adalah suku bangsa yang berasal dari Sulawesi selatan,
terutama suku Bugis dan suku Makassar. Kedua kelompok etnis inilah
yang memadati tempat penjualan yang terletak di sekitar Pasar
Baruga. Pasar ini juga merupakan pasar grosir sayuran, sehingga
banyak pedagang sayur keliling yang datang berbelanja sayur di Pasar
Baruga, kemudian para pedagang sayur keliling tersebut menjual
sayur mayur secara berkeliling dari rumah ke rumah (door to door)
dengan menggunakan kendaraan sepeda motor.
Sosiologi Pasar | 85
Keadaan lingkungan dalam kawasan Pasar Baruga sangat
mengedepankan ketertiban, keamanan serta kebersihan. Kebersihan
merupakan patokan sebagaimana ditandaskan oleh salah seorang
anggota masyarakat di dalam pasar Baruga bahwa pihak pengelola
pasar telah bekerja sama dengan petugas kebersihan untuk menjaga
kebersihan pasar. Setiap hari petugas kebersihan datang untuk mem-
bersihkan sisa-sisa sampah yang berserakan di sekitarnya. Namun
untuk sementara waktu selama dalam masa perbaikan dan pem-
bangunan Pasar Baruga, maka kebersihan dan keindahan Pasar
Baruga secara keseluruhan menjadi terganggu.
Upaya mewujudkan lingkungan pasar yang bersih dan indah,
maka pihak pengelolah Pasar Baruga juga telah menyediakan banyak
tong sampah dalam areal pasar, agar ketika ada masyarakat yang
memakan makanan yang ada kulitnya, maka mereka langsung mem-
buangnya di tempat sampah yang telah disediakan. Dengan demikian,
sampah tidak berhamburan dan tentu saja juga tidak menimbulkan
penyakit.
8. Pasar Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pasar PKL terletak di daerah Puuwatu yang dibangun pada
tahun 2008 dan diresmikan pada tahun 2010. Pasar PKL dibangun
if_b j_g_lchn[b ^c \[q[b h[oha[h DISPENDA ‗Dch[m P_h^[j[n[h
D[_l[b Kin[ K_h^[lc‘. S_][l[ ebomom, j[m[l PKL ^c\o[n m_\[a[c
sebuah Mall yang diperuntukkan bagi pedagang kaki lima atau biasa
disebut juga Pedis Market (Kawasan Pedagang Kaki Lima). Luas
Areal Pasal PKL sebesar 6.400 M2 dan Luas Bangunan secara
keseluruhan sebesar 5.700 M2. (Dinas Koperasi dan UKM Kota
Kendari, 2016).
Keberadaan Pasar PKL ini dimaksudkan agar semua Pedagang
Kaki Lima (PKL) yang ada di Kota Kendari mendapatkan tempat
yang layak untuk menyelenggarakan serta melangsungkan kehidupan
86 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
sosial ekonominya. Pada awalnya, lingkungan pasar PKL cenderung
kebanjiran pengunjung untuk membeli barang dan bahan makanan
yang dibutuhkan. Akan tetapi, tiga tahun terakhir keberadaan pasar
PKL terlihat sunyi dikunjungi oleh para pembeli.
Seiring dengan berjalannya waktu Pasar ini kemudian menjadi
sepi dan seolah tidak menarik bagi pembeli untuk datang mengun-
jungi. Akibatnya, tidak sedikit pedagang yang berjual beli di pasar
PKL mengalami kerugian dan bahkan ada di antara mereka yang
sampai mengalami suasana gulung tikar. Pasar PKL yang begitu
indah dan tampak gagah dari luar sebagaimana terlihat pada gambar
9, ternyata ketika kita memasuki areal bagian dalam Pasar PKL
terlihat sunyi senyap dengan berbagai permasalahannya.

Gambar 9. Pasar Pedagang Kali Lima (PKL) Kota Kendari dan Ketua
Peneliti tengah melakukan wawancara dengan salah seorang penjual
di Pasar Kaki lima Kota Kendari.

Sosiologi Pasar | 87
Kenyataan ini diakui oleh semua penjual yang berhasil ditemui
untuk menyimak penuturannya yang terkesan begitu polos menandas-
kan bahwa:
‗M_g[ha b[gjcl m[d[ e[gc jonom [m[ e[l_h[ n_f[b \_\_l[j[
kami mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Kendari
dan bahkan kami juga sudah datang ke gedung perwakilan
daerah. Akan tetapi, semuanya belum ada satupun usulan kami
yang berhasil diterima. Meskipun demikian kenyataan pahitnya,
tetapi kami tetap bertahan untuk berjualan di tempat ini dengan
sebuah harapan bahwa kelak pada suatu saat akan ada perubahan
yang terjadi dalam kehidupan kami ini. Karena itu sekarang
banyak di antara penjual di dalam pasar PKL membawa se-
bagian jualannya dengan mendatangi beberapa pasar, baik yang
ada dalam Kota Kendari dan maupun di luar Kota Kendari.
Misalnya, ada sebagian yang juga berjualan di Pasar Korem dan
ada sebagian juga yang pergi ke pasar-j[m[l jchaacl[h ein[‘
(Wawancara dengan penjual di Pasar PKL pada awal bulan
November 2016).
Struktur jual beli yang ada di Pasar PKL tampak terpisah antara
jualan yang basah seperti penjual ikan dan penjual daging ayam yang
berada dilantai atas dan jualan kering berada di lantai bawah. Proses
jual beli berlangsung mulai dari pukul 06.00 pagi sampai jam 10
malam dan bahkan acapkali beroperasi sampai 24 jam. Sekitar jam
06.00-10.00 pagi pasar ini hampir tidak memiliki pengunjung, se-
hingga hanya peneliti yang tampak hadir di pagi itu. Tampaknya,
pasar PKL ini mulai agak ramai sekitar pukul 14.00-22.00. Hal ini ter-
jadi sebagaimana dituturkan oleh banyak orang bahwa kesunyian itu
adalah karena pengaruh pasar lain seperti Pasar Basah dan Mall
Mandonga.

88 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Keberadaan lingkungan di sekitar Pasar PKL terlihat cukup
bersih, indah, nyaman dan menarik. Memang diakui bahwa Peme-
rintah telah berupaya semaksimal mungkin mendesain Pasar PKL
dengan banyak taman parkir serta petugas kebersihan dengan SK
(Surat Keputusan) yang dimiliki sebagai pengelola pasar setempat.
Uniknya lagi, ternyata di Pasar PKL ini disiapkan TPA (Tempat
Penitipan Anak) dan tempat menyusui untuk ibu-ibu yang mempunyai
bayi.
9. Pasar Rakyat Lapulu
Secara administratif, Pasar Rakyat Lapulu terletak di Kelurahan
Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari. Pada awalnya, kondisi Pasar
Lapulu masih sangat sederhana, sunyi, kurang ramai pengunjung dan
masih sangat sedikit yang melakukan aktivitas jual beli dan transaksi
sosial ekonomi. Masyarakat Lapulu dan sekitarnya, masih lebih me-
milih berbelanja di Pasar Anduonohu, Pasar Baru, atau Pasar Sentral
Kota. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pertambahan
jumlah penduduk, maka pada tahun 2015 Pasar Tradisional Lapulu
direnovasi menjadi pasar yang defenitif.
Atas dasar kerjasama antara Pemerintah Kota Kendari dengan
Kementerian Perdagangan melalui Dana Alokasi Khusus Bidang
Sarana Perdagangan dengan anggaran pembangunan pasar sebesar Rp
10 Miliar, maka kini Pasar Lapulu telah terbangun menjadi sebuah
pasar yang tampak lebih bagus, lebih indah, lebih bersih, lebih teratur,
dan lebih moderen dengan berbagai fasilitas pendukung yang ada
seperti listrik dan air. Demikian pula lapangan parkir yang terbentang
luas di depan pasar serta dilengkapi dengan pagar dan papan nama
y[ha \_lnofcme[h ‗P[m[l R[ey[n L[jofo‘.
Disamping itu, di dalam Pasar Rakyat Lapulu terlihat sarana
tempat berjualan bagi para pedagang yang jumlahnya mencapai
ratusan los. Hal ini berarti Pasar Rakyat Lapulu telah memperlihatkan
Sosiologi Pasar | 89
keberadaannya sebagai pasar yang layak berlangsungnya proses jual
beli bagi warga Lapulu dan sekitarnya. Tak pelak lagi, luas areal
Pasar Rakyat Lapulu sebesar 12.925 m2 dan Luas Gedung sebesar
9.792 m2 yang bangunan fisiknya seperti terlihat dalam gambar 10
dan di dalamnya terdapat tempat berjualan sebanyak 392 kios (Dinas
Koperasi dan UKM Kota Kendari, tahun 2016).
Aktivitas Pasar Rakyat Lapulu berlangsung sepanjang
mingguan mulai dari hari Senin sampai pada hari Minggu. Setiap hari
kegiatan jual-beli barang dan jasa di Pasar Rakyat Lapulu ber-
langsung mulai dari jam 06.00 Wita sampai pada pukul 18.00 Wita.
Di antara tujuh hari dalam seminggu, kegiatan pasar yang paling
ramai dan paling banyak pengunjung adalah pada hari Minggu. Para
pembeli tidak hanya berasal dari Kelurahan Lapulu tetapi juga dari
luar Lapulu seperti dari Anduonohu, Kambu, Sambuli, Kendari,
Kendari Barat, dan Moramo Konawe Selatan. Bahkan di hari Minggu
tersebut, para ABK kapal yang bersandar di palabuhan Kendari
menyempatkan diri datang di Pasar Rakyat Lapulu untuk berbelanja
pakaian bekas (cakar, rombengan atau RB). Menurut pengakuan
masyarakat pembeli RB bahwa pakaian bekas di Pasar Rakyat Lapulu
harganya lumayan lebih murah jika dibandingkan dengan pasar-pasar
RB lainnya yang ada di Kota Kendari. Makanya banyak pembeli dari
berbagai penjuru di Kota Kendari yang datang membeli pakaian
bekas atau RB di Pasar Rakyat Lapulu.
Para penjual yang menjual di Pasar Rakyat Lapulu kebanyakan
didomonasi oleh etnik Bugis Bone dan etnik Makassar. Mereka
umumnya menjual pakaian baju, sendal, sepatu dan ikan. Adapun
suku-suku lain yang menjual di Pasar Rakyat Lapulu adalah etnik
Muna dan Buton. Kebanyakan etnik Muna dan Buton lebih memilih
menjual pakaian dan barang-barang pecah belah daripada menjual
barang lain.
90 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Gambar 10. Tampilan Posisi Pasar Rakyat Lapulu dari Arah Sebelah
Kanan Pasar
Letak Pasar Rakyat Lapulu terbilang strategis karena berada di
depan jalan protokol yang menghubungkan antara Lapulu Kota
Kendari dengan wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Di samping itu
juga karena Pasar Rakyat Lapulu berada di dekat Pelabuhan Ikan
Samudera dan Pelabuhan Laut Kota Kendari, sehingga aktivitas jual-
beli berlangsung sampai malam hari.
Los-los yang terdapat di Pasar Rakyat Lapulu dibuat oleh
Pemerintah Kota Kendari secara permanen yang berjumlah sebanyak
135 buah yang ukurannya terdiri atas ada dua macam. Ada yang
berukuran 3 x 3 meter sebanyak 90 buah dan ada yang berukuran
lebih kecil lagi yakni 2 x 2 meter sebanyak 45 buah. Los-los ini dibuat
oleh pemerintah dan diprioritaskan kepada pemilik tempat berjualan
berupa los/kios sebelum pasar direnovasi. Setelah pasar direnovasi
menjadi lebih bagus, maka pemerintah memberikan prioritas utama
kepada para pedagang yang dahulu memang sudah berjualan di pasar
Lapulu. Namun bagi pedagang yang dahulu berlum pernah berjualan

Sosiologi Pasar | 91
di tempat ini, maka mereka harus berusaha sendiri untuk membeli
dengan harga per unit sesuai yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Di samping los, ada juga kios-kios yang digunakan oleh para
pedagang untuk melakukan aktivitas jual beli di kawasan Pasar
Rakyat Lapulu. Kios-kios ini bentuknya tidak permanen karena ter-
buat dari kayu yang dibuat sendiri oleh para pedagang. Memang di
setiap pasar di manapun di Indonesia selalu dijumpai para penjual
yang menggelar dagangannya dengan membentangkan tikar sebagai
tempat alas jualannya. Dan pedagang emperan ini tempat jualannya
senantiasa berpindah-pindah, karena mereka sesuaikan dengan kon-
disi dan situasi pembeli yang lalu lalang di sekitarnya.
Secara sosiologis, tempat berjualan yang disebut emperan atau
lesehan ini dapat menggairahkan pasar karena dapat menciptakan
keramaian, kerumunan, dan kemacetan. Namun kalau ditinjau dari
segi kesehatan, utamanya kesehatan lingkungan (sanitasi lingkungan)
tampak kurang bagus karena para penjual emperan ini selalu men-
ciptakan suasana kesemrautan dan termasuk mendatangkan bau yang
tidak sedap. Betapa tidak, ketika selesai berjualan para pedagang
lesehan meninggalkan sampah-sampah, sehingga menciptakan lingku-
ngan yang tidak kondusif. Karena itu, adalah tidak mengherankan
apabila para pedagang emperan ini selalu ditertibkan oleh Satuan
Keamanan Pasar. Karena pada dasarnya, mereka juga seringkali tidak
mempunyai izin resmi.
Di samping los-los, kios-kios, dan pedagang emperan, juga ter-
dapat ruko (rumah toko) yang terdapat di kawasan Pasar Rakyat
Lapulu. Keberadaan ruko ini telah melengkapi struktur pasar dan
berkontribusi besar terhadap keramaian pasar, karena pengunjung
tidak hanya dapat berbelanja di dalam pasar, tetapi juga sekaligus
dapat berbelanja di luar pasar. Ruko-ruko yang ada adalah bukan

92 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dibangun oleh pemerintah, tetapi dibangun sendiri oleh warga masya-
rakat yang berada di luar areal pasar.
Keadaan lingkungan Pasar Rakyat Lapulu secara umum dikata-
kan tergolong bersih dan teratur, karena Pasar Rakyat Lapulu merupa-
kan pasar yang baru saja dibangun dan diresmikan oleh Pemerintah
Kota Kendari pada tahun 2015 lalu. Pasar Rakyat Lapulu bukan
hanya bersih lingkungannya tetapi juga terlihat indah dan teratur
karena lantai areal pasar di plur atau dikasih semen. Sementara pada
lantai halaman bagian depan pasar diberi paving blok, sehingga tidak
berdebu pada waktu musim panas ataupun tidak becek dan tidak bau
busuk pada waktu musim hujan tiba.
Ketika kita memasuki areal Pasar Rakyat Lapulu tampak ke-
teraturan pasar dan pada bagian depan terlihat bangunan los-los per-
manen yang dibuat oleh Pemerintah Kota Kendari yang berjumlah
sebanyak 135 buah. Sementara di bagian belakang terdapat kios-kios
yang tidak permanen yang dibuat sendiri oleh para pedagang. Dan di
bagian belakang terlihat penjual sayur mayur dan penjual jual ikan
yang berjejeran. Begitu pula di sebelah kanan juga tampak emperan-
emperan tempat menjual pakaian bekas atau rombengan (RB).
10. Pasar Nambo
Pasar Nambo adalah salah satu pasar tradisional yang di-
bangun oleh Pemerintah Kota Kendari dan diresmikan pada bulan
November 2016 oleh Walikota Kendari. Berdasarkan Data Dinas
Koperasi dan UKM Kota Kendari 2016 bahwa anggaran pem-
bangunan Pasar Nambo menghabiskan dana sebesar Rp 2,4 Miliar
yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Anggaran Pendapatan
Belanja daerah (DAK APBD) tahun 2013-2016.
Program pembangunan Pasar Nambo yang luas arealnya se-
besar 2.204 m2 serta Luas Gedung 892 m2 berlangsung selama 1
tahun. Di dalamnya terdapat sebanyak 10 unit Lods atau emperan-
Sosiologi Pasar | 93
emperan yang diperuntukan bagi 70 orang Pedagang (Dinas Koperasi
dan UKM Kota Kendari, 2016). Pasar Nambo berada di Kelurahan
Nambo Kecamatan Abeli, posisinya di pinggir jalan poros Abeli
dengan Sambuli Moramo dan letaknya berdampingan dengan
Puskesmas Abeli.
Bangunan lokasi Pasar Nambo terletak di pinggir Jalan Poros
yang terbentang dari jalur Poros menuju Abeli Nambo hingga meng-
arah ke bagian Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Meskipun sudah
diresmikan langsung oleh Walikota Kendari pada bulan November
2016 lalu, tetapi sampai sekarang Pasar Nambo seperti yang tampak
pada gambar 11 belum digunakan oleh masyarakat untuk melakukan
kegiatan jual beli. Tentu saja masih ada sesuatu yang belum tuntas
terkait dengan proses pembangunan dan keberadaan Pasar Nambo
tersebut.

Gambar 11. Pasar Nambo Yang Terletak di Jalan Poros Abeli


Moramo
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lokasi Pasar Nambo
relatif kecil dan sempit, demikian pula lods-lods tempat berjualan

94 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
ukurannya sangat kecil, sehingga kurang layak dan kurang memadai
untuk melangsungkan serta mengembangkan proses transaksi jual
beli. Memang pihak pemerintah sudah membagi-bagi Lods atau
emperan dalam bentuk petak-petak kepada para penjual, tetapi amat
disayangkan oleh masyarakat bahwa ukuran petak-petak tempat
berjualan tersebut sangat kecil yang luasnya hanya sekitar satu meter
kali satu meter per penjual (± 1 M x 1 M per penjual). Dalam konteks
ini, beberapa komentar yang berkembang di lapangan bahwa:
Ukuran 1 Meter x 1 Meter per penjual yang digunakan untuk
berjualan adalah sangatlah kecil, sebab untuk menampung badan
para penjual saja sudah penuh, apalagi kalau ada pembeli, tentu
sangatlah penuh-sesak. Emperan tempat berjualan ukuran satu
Meter kali satu Meter tersebut kemungkinan untuk tempat men-
jual sayur mayur. Belum lagi untuk tempat berjualan barang-
barang lain seperti tempat untuk penjual pakaian, sembako, dll
tidak tersedia, sehingga secara keseluruhan dikatakan bahwa ke-
beradaan Pasar Nambo belum layak digunakan sebagai tempat
jual beli, karena ukuran Lods-Lods atau emperan sangat kecil
dan belum memenuhi standar tempat berjualan (Wawancara
dengan beberapa orang penduduk setempat pertengahan bulan
Novemver 2016).
Boleh jadi ikhwal inilah yang menjadi salah satu penyebab dan
mungkin saja merupakan penyebab utama, sehingga Pasar Nambo
hingga saat ini belum difungsikan sebagai pasar sebagaimana
mestinya. Selain itu, tentu saja warga masyarakat Nambo lebih me-
rasa senang pergi berbelanja ke Pasar Lapulu atau Pasar Anduonohu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena selain infra
struktur jalanan yang demikian mulus serta proses lalu lintas yang
berlangsung lancar antara Kelurahan Nambo dengan wilayah Lapulu
dan Anduonohu, juga kedua pasar tersebut menyediakan berbagai
Sosiologi Pasar | 95
jenis kebutuhan cukup lengkap dan hampir sempurnah.
Menurut pernyataan beberapa orang warga masyarakat Nambo
yang berhasil ditemui bahwa:
‗W[la[ g[my[l[e[n N[g\i m_f[g[ chc e[f[o chach \_l\_f[hd[
untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari seperti membeli
sayur-sayuran, membeli ikan, dan atau membeli kebutuhan
hidup lainnya, masih terus menggunakan Pasar Lapulu sebagai
prioritas utama. Setiap hari, di samping belanja di Pasar Lapulu,
warga Nambo juga terkadang pergi berbelanja di Pasar
Anduonohu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Wawancara
dengan warga masyarakat Nambo pada pertengahan bulan
November 2016).
11. Pasar Purirano
Pasar Purirano terletak di Jalan R.E. Martadinata Kelurahan
Purirano Kecamatan Kendari. Pasar yang dibangun sejak tahun 2000
ini berbatasan langsung dengan Desa Sorue Jaya Kecamatan Soropia
Kabupaten Konawe. Dilihat dari lokasi pasar, Pasar Purirano terbilang
strategis tempatnya karena berada di pinggir jalan Poros yang meng-
hubungkan antara Kelurahan Purirano Kecamatan Kendari dengan
Desa Sorue Jaya.
Meskipun tempatnya tampak strategis, tetapi Pasar Purirano
termasuk pasar yang sunyi pengunjung dan pembeli, sehingga proses
jual beli tidak bisa berlangsung setiap hari. Transaksi jual beli di
arena Pasar Purirano hanya terjadi tiga hari dalam seminggu, yaitu
hari Selasa, Sabtu, dan Minggu. Pada hari-hari pasar, Pasar Purirano
mulai dibuka jam 06.00 wita - 18.00 wita.
Pasar Purirano merupakan salah satu pasar tradisional yang
juga berada di wilayah Kota Kendari. Hanya saja selain pasar ini
terisolasi karena berada di pinggiran Kota Kendari menuju wilayah
Toronipa Kabupaten Konawe, juga keberadaan pasar ini tidak di-
96 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
anggap sebagai tempat yang strategis untuk melangsungkan proses
transaksi jual beli. Ironisnya lagi, keberadaan Pasar Purirano seperti
terlihat dalam gambar 12 ini sudah tiga kali diresmikan oleh Kepala
pemerintahan Kota Kendari. Dalam konteks ini, menurut salah se-
orang petugas Pasar Purirano bahwa:
‗P_g_lchn[b Kin[ K_h^[lc mo^[b \_loj[y[ ^_ha[h \_l\[a[c
macam usaha supaya Pasar Purirano menjadi ramai, misalnya
saja pada saat diresmikan Pemkot mendatangkan artis, tetapi
kenyataannya sampai sekarang Pasar Purirano masih tetap sunyi.
D[h fo]ohy[ f[ac j[e’ P[m[l Polcl[hi mo^[b nca[ e[fc
diresmikan yaitu mulai dari tahun 2001 sebagai waktu peresmian
pertama, tahun 2004 sebagai peresmian kedua, dan tahun 2015
sebagai peresmian yang ketiga. Entah kemudian masih adakah
h[hnc j_l_mgc[h y[ha e__gj[n’b_b_b_. T_n[jc m[gj[c m_e[l[ha
kondisi pasar masih tetap sepi dan sunyi pengunjung dan
pembeli (Wawancara dengan La Ode Fajri, Kamis 15 Desember
2016).

Gambar 12. Pasar Purirano Yang Terletak di Jalan R.E. Martadinata

Sosiologi Pasar | 97
Memang Pasar Purirano sudah diresmikan untuk ketiga kalinya
pada tahun 2015 lalu, tetapi sampai sekarang Pasar Purirano tidak
kunjung ramai didatangi oleh pembeli. Pada hari-hari pasar, yakni
hari Selasa, Sabtu, dan Minggu, barang-barang yang dijual di Pasar
Purirano sangat sedikit serta pembeli juga yang datang berbelanja
sangat sedikit. Tak pelak lagi, barang-barang yang dijual di Pasar
Purirano hanya sembako dan sayur-sayuran dan pembelinya pun
hanya berasal dari warga Purirano dan sekitarnya. Karena itu, upaya
memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, maka warga Purirano
lebih suka pergi berbelanja di Pasar Sentral Kota, karena selain
transportasi berlangsung lancar, juga karena Pasar Kota menyediakan
semua barang-barang yang dibutuhkan pembeli.
Sarana dan prasarana yang ada di Pasar Purirano adalah
Gedung Kantor Pasar Purirano, kios-kios yang terdiri atas 20 unit
kios, 24 unit Lods dan 2 orang karyawan pasar. Pasar Purirano di-
bangun menghabiskan anggaran sebesar dua milyar rupiah. Pasar
Purirano merupakan salah satu pasar yang berada dalam pengawasan
Perusahaan Daerah Pasar (PD Pasar) Kota Kendari. Beberapa pasar
lainnya yang sama-sama berada dalam pengawasan PD Pasar adalah
Pasar Bonggoeya, Pasar Lapulu, Pasar Panjang, Pasar Baruga, Pasar
Anduonohu, Pasar PKL, Pasar Punggolaka.
Upaya menjadikan Pasar Purirano menjadi pasar yang lebih
ramai pembeli terus dilakukan, bahkan Pemerintah Kota Kendari
pernah mewacanakan untuk membuat Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
di Purirano, dengan tujuan supaya Pasar Purirano menjadi ramai,
tetapi sampai hari ini Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang direncana-
kan tersebut tidak kunjung dibangun, sehingga kondisi Pasar Purirano
masih tetap sunyi dan sepi pengunjung. Selain itu, Pemerintah Kota
Kendari juga pernah mewacanakan akan membangun sekolah ke-
lautan di lokasi Pasar Purirano, tetapi tampaknya wacana tersebut
98 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
adalah tak ubahnya mimpi di siang bolong.
Kondisi ini menunjukkan bahwa betapa sebuah proyek pem-
bangunan seperti proyek pembangunan pasar yang telah menghabis-
kan uang rakyat hingga bermilyar-milyar rupiah, harus diselenggara-
kan dengan pendekatan botton-up. Bukan sebaliknya hanya berdasar-
kan pada keinginan pemerintah secara top-down. Hal ini penting,
supaya proses pembangunan pasar ke depan tidak sia-sia dan tidak
mubazir lagi. Inilah akibatnya, kalau pembangunan sebuah pasar yang
hanya didasarkan pada keinginan satu pihak yang bersifat top-down,
maka keberadaan sebuah pasar yang telah dibangun menjadi dis-
fungsional. Dan betapa ironisnya, karena uang yang dipakai untuk
membangun sebuah proyek seperti pembangunan pasar merupakan
uang negara yang bersumber dari pajak rakyat dan utang luar negeri.
12. Perkembangan Pasar Alternatif
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan kehidupan masya-
rakat, maka pasar juga mengalami kemajuan dan perkembangan.
Perkembangan pasar dimaksud adalah berupa terbentuknya tempat
berjual-beli (pasar) yang baru yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri
yang bersifat botton-up. Tempat baru untuk berjual beli tersebut
sengaja dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebetulnya barang-barang yang diperjual belikan di pasar
‗^[^[e[h \[lo‘ n_lm_\on mo^[b [^[ ^cdo[f ^c j[m[l-pasar tradisional
maupun pasar-pasar moderen, tetapi barang-barang dimaksud biasa-
nya dicampur dengan barang-barang lain. Sementara di pasar
‗^[^[e[h \[lo‘ chc \[l[ha-barang yang akan dijual biasanya terfokus
pada satu jenis, sehingga kalau hanya menjual sayur maka pasarnya
^cm_\on ‗P[m[l S[yol‘. D_gcec[h jof[, e[f[o j[m[lhy[ menjual ikan
g[e[ j[m[lhy[ ^cm_\on ―P[m[l ce[h‘, ^[h e[f[o j[m[lhy[ g_hdo[f
buah-\o[b[h g[e[ j[m[lhy[ \_lh[g[ ―P[m[l Bo[b‘. B_acno jof[
e[f[o j[m[lhy[ g_hdo[f j[e[c[h g[e[ j[m[lhy[ ^cm_\on ―P[m[l
Sosiologi Pasar | 99
j[e[c[h‘, ^[h f[ch m_\[a[chy[.
Di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,
Jogjakarta, Bandung, dan lain-lain, pasar-pasar alternatif tumbuh
sebagai akibat dari perkembangan pasar dan meningkatnya kebutuhan
masayarakat, sehingga dibentuklah pasar alternatif yang diinginkan.
Pasar alternatif dimaksud seperti pasar pakaian, pasar barang-barang
antik, pasar burung, dan lain-lain. Sedangkan di Kota Kendari,
perkembangan pasar yang sudah ada seperti pasar pakaian bekas
(cakar, rombengan atau RB), pasar ikan, pasar buah-buahan, pasar
sayur dan pasar elektronik.

B. Potret Pasar Moderen


Pasar moderen adalah pasar tempat perbelanjaan (place for
shopping) yang dideskripsikan oleh pengunjung dan pembeli sebagai
tempat yang bersih, indah, megah, modern, nyaman karena dilengkapi
dengan berbagai fasilitas dan infrastruktur moderen seperti lift, tangga
escalator, bangunan dengan gedung bertingkat yang full AC.
Pasar modern yang menyediakan berbagai pernak-pernik,
aneka asesoris dan jenis barang konsumtif, pada gilirannya tidak
hanya mengundang kaum the have yang doyang membelanjakan
duitnya untuk menyalurkan kebutuhan nafsu konsumeristiknya. Akan
tetapi, juga secara tidak langsung menggiurkan bagi kaum the have
not sebagai kelas menengah ke bawah untuk berupaya dengan
berbagai cara memiliki barang yang berbalut pencitraan status sosial
itu. Kini, betapa demikian fenomenal praktik gaya hidup mewah di
kalangan masyarakat menengah bawah, kian marak mengemuka
sebagai akibat dari idiologi dan praktik konsumerisme di berbagai
daerah. Tampaknya praktik konsumsi barang-barang simbolik dengan
maksud untuk menampilkan sebuah identitas khas tertentu sebagai
kaum yang kategori elite semakin tidak mampu terbendung. Meski-
100 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
pun sebetulnya mereka tidak mampu secara ekonomi, tetapi warga
kelas menengah bawah pun berupaya mengadopsi gaya hidup untuk
mendapatkan sebuah penghormatan sebagai orang yang memiliki
status sosial terhormat.
Ikhwal perilaku konsumstif yang demikian fenomenal ini
adalah tentu saja tidak hanya berdampak negatif sebagai akibat
kecenderungan seseorang untuk menjadi semakin superfisial. Akan
tetapi, praktik gaya hidup mewah yang berbalut simbolistis itu
menggiring seseorang dan sekelompok untuk keluar dari basis
moralitas dan keagamaan, sehingga proses penipisan lapisan nurani
semakin mendorong kaum elite sosial (baca: Pejabat) untuk meng-
ambil uang rakyat yang tidak pantas dan tidak layak diambilnya.
Sentralisasi perbelanjaan modern di ranah Mall, supermarket
dan hypermarket telah memperlihatkan identitasnya yang berbeda
secara diametral dengan pasar-pasar tradisional. Betapa eksistensinya
yang demikian nyaman terasa, sehingga seolah mampu mengontrol
emosi serta mengendalikan aspirasi konsumen melalui lingkungan
ekologis yang menakjubkan. Kaum pengunjung tampak tidak sedikit
pun merasa bosan berada di tengah ekosistem Mall, meskipun waktu-
nya yang tersita berjam-jam lamanya.
Upaya menarik minat pembeli, pengunjung dan pembeli di-
suguhkan dengan aneka diskon dan promo lainnya, meskipun strategi
pemberian diskon dan promo tersebut disinyalir hanya merupakan
tipuan belaka. Tak pelak lagi, bagi anak-anak sebagai segmen poten-
sial pasar yang besar ke depan, sehingga diberi perhatian khusus
sebagai anak yang tumbuh dalam sebuah lingkungan yang terkontrol
alias terninabobokkan.
Ironisnya, tanpa disadari keberadaan para karyawan pun tak
ubahnya segerombol tawanan mall yang terperangkap dalam sebuah
ruang ekologi tertentu. Dalam konteks inilah, ketika meminjam istilah
Sosiologi Pasar | 101
Marx (dalam Jhonson, 1985 dan Ritzer 2013) bahwa sesungguhnya
para karyawan mall tersebut telah mengalami sebuah proses
‗[fch_[mc‘. C_f[e[hy[, g_l_e[ nc^[e b[hy[ n_l[fch_[mc ^[lc jli^oe
mall yang dijaganya sendiri, tetapi juga teralineasi dari lingkungan
sosial budayanya. Namun demikian, nuansa proses alienasi tersebut
tidak disadari oleh pihak yang bersangkutan atau yang berkepenti-
ngan, karena faktor self actualization sebagai refleksi dari upaya
pemenuhan kebutuhan hidup.
1. Eksistensi Pasar Moderen Pertama Di Kota Kendari
Mall Mandonga merupakan satu-satunya tempat perbelanjaan
moderen di Kota Kendari yang mulai difungsikan pada bulan haji
Tahun 2004, meskipun peresmiannya baru di buka pada bulan Mei
Tahun 2005 oleh Walikota Kendari. Mall Mandonga sebagai
shopping mall yang terletak di jantung Kota Kendari, memberi andil
secara khusus bagi perkembangan ekonomi seiring dengan
pertumbuhan perkotaan dalam berbagai aspek kehidupan sosial.
Dengan demikian, perbedaan-perbedaan khusus sebagaimana
yang telah dideskripsikan di atas sehubungan dengan pola interaksi
jual beli dan tindakan komunikasi berbelanja, merupakan konsekuensi
logis dari perubahan fisik bangunan, sistem ekologi dan sistem
ekonomi perbelanjaan. Hal ini memungkinkan terjadi, karena secara
sosio-ekonomi, struktur interaksi sudah didasarkan pada lokasi dan
tempat jualan yang menunjukan perbedaan organisasi dan diferensiasi
kerja dan jenis barang yang diperdagangkan. Sementara itu, para pe-
dagang yang menjual di Mall Mandonga, mulai terikat dengan aturan-
aturan baru yang dibuat secara khusus oleh pihak pengelola Mall
Mandonga sesuai dengan manajemen Shopping Mall secara moderen.
Di samping itu, pihak Manajer Pengelola Mall Mandonga dan
para pedagang yang berjualan di Mall Mandonga adalah sama-sama
ingin memperoleh keuntungan, sehingga mereka berusaha mendesain
102 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
strategi penjualan yang dapat mengundang daya tarik dan daya
belanja masyarakat. Karena itu, pihak pengelola terus berupaya mem-
berikan dan mengembangkan berbagai fasilitas dan akomodasi yang
dapat digunakan oleh para calon pembeli, sehingga tertarik dan ter-
undang untuk datang berbelanja. Mereka mengembangkan berbagai
asesoris yang tampak menunjukkan keindahan dan kemewahan
gedung disertai dengan fasilitas seni musik, kedai coffee, dan ruang
pertemuan.
Dalam konteks inilah menurut Piliang (1998) bahwa di dalam
lingkungan yang disuntik dengan tema-tema, maka realitas direduksi
menjadi sederetan tema-tema yang di dalamnya setiap orang diharap-
kan untuk memahami maknanya. Toko, restoran, salon, bank,
bioskop, biro perjalanan dimuati dengan tema-tema eksekutif, jiwa
muda, natural, dan country. Dengan demikian, kita seolah diajak ber-
tamasya di dalam suatu sirkuit, dari suatu lingkungan tema ke lingku-
ngan tema berikutnya; di dalam suatu ekologi fantasi yang nyata,
yang semakin menjauhkan kita dari makna-makna leluhur masa lalu.
Secara faktual, betapa banyak orang yang memang datang ke
Mall Mandonga dan Lippo Plaza yang juga diakui secara jujur oleh
responden bahwa meskipun tidak bermaksud untuk datang berbelanja,
kita tetap datang setiap saat ke sini untuk melihat-lihat keadaan dan
sekaligus menikmati beberapa acara yang ditampilkan seperti musik,
gedung pesta dan ruang pertemuan. Hal ini merupakan konsekwensi
logis dari muatan tema-tema eksekutif sebagaimana dalam pandangan
ahli bahwa dampak dan implikasi sosial lebih lanjut ke permukaan
adalah selain hanya sekedar ingin menikmati suasana dari sebuah
ekologi khas dan baru yang mungkin bisa memuaskan pandangan
mata. Namun sebagai manusia dan masyarakat yang hidup dalam
negara sedang berkembang dengan berbagai karakteristiknya, maka
pada gilirannya akan dapat terangsang untuk memiliki segala apa
Sosiologi Pasar | 103
yang dipertontonkan di dalam lingkungan tersebut (Parsudi, 1984;
Suwarsono, dan Alvin, 2000). Dalam konteks inilah sering muncul
penyimpangan perilaku dari seseorang terutama dari kalangan yang
kurang mampu, sebagai akibat dari upaya untuk memilikinya. Apakah
dengan cara memaksakan diri atau dengan cara mengambil secara
diam-diam. Besar dugaan, ikhwal dimaksud sudah terjadi di arena
perbelanjaan moderen di Kota Kendari, meskipun hal itu memerlukan
penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.
Demikian pula bagi pedagang yang berkepentingan atau yang
berjualan di Mall Mandonga, juga berupaya mendesain tempat jualan-
nya dengan cara menunjukkan posisi barang jualan yang mudah
dilihat langsung oleh para calon pembeli. Karena itu, para penjual
meletakkan jenis barang yang kategori lagi trandy atau sedang di-
gandrungi oleh masyarakat pada umumnya. Beberapa faktor inilah
yang diduga dapat menimbulkan proses perubahan interaksi jual beli
dan tindakan komunikasi yang dapat berlangsung secara efisien dan
efektif sebagaimana halnya di kota-kota besar lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata interaksi jual beli
dan tindakan komunikasi perbelanjaan masih tetap atau masih sama
dengan pola interaksi dan proses tawar menawar pada tahun 1997 di
masa keberadaan Pasar Sentral Mandonga Kota Kendari ketika itu.
Hampir semua jenis barang yang diperjual belikan dalam Mall
Mandonga dan Lippo Plaza dapat ditawar oleh para calon pembeli.
Pada hal Mall Mandonga adalah salah satu simbol yang melambang-
kan supermarket dan Shopping Mall yang kategori termoderen per-
tama di Kota Kendari pada khususnya dan di Sulawesi Tenggara pada
umumnya. Hanya saja, sekali lagi ditandaskan bahwa semua toko
yang ada di Mall Madonga hanya menjual salah satu jenis barang
dagangan saja.

104 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
2. Eksistensi Pasar Moderen Kedua di Kota Kendari
Kota Kendari sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara
mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat cepat dan pesat
terutama pada satu dasa warsa terakhir. Perkembangan dan kemajuan
pesat Kota Kendari salah satunya ditandai oleh berdirinya Mall-Mall
atau tempat-tempat perbelanjaan modern. Dalam konteks ini, menurut
Ritzer (2007) bahwa Mall merupakan ciri masyarakat perkotaan
modern kontemporer. Di Kota Kendari, keberadaan pasar modern
lebih direpresentasikan oleh dua tempat perbelanjaan yaitu Mall
Mandonga dan Mall Lippo Plaza. Kedua tempat perbelanjaan tersebut
dibangun untuk memenuhi selera dan kebutuhan masyarakat Kota
Kendari yang terus meningkat. Meskipun demikian, dari dua tempat
perbelanjaan besar di Kota Kendari, hanya Mall Lippo Plaza yang
benar-benar merepresentasikan Pasar Modern seperti terlihat dalam
gambar 13. Mall perbelanjaan merupakan struktur yang sebagian
besar kosong yang mudah direplikasi ke seluruh dunia dan dapat diisi
dengan berbagai macam isi spesifik tanpa batas (toko lokal, makanan
lokal, dan lain-lain) yang dapat berbeda-beda dari satu lokasi ke
lokasi lain.

Sosiologi Pasar | 105


Gambar 13. Mall Lippo Plaza Kendari
Di Mall Lippo Plaza Kendari bangunannya terdiri dari tiga
lantai, di dalamnya terdapat sebanyak 30 toko tempat untuk berjualan
(tenor). Pada setiap lantai di Mall Lippo Plaza menyediakan dan
menjual segala macam barang dan jasa. Pada Lantai 1 menjual
pakaian, tempat makan minum, cafe, Maxx Coffee, Mokko Donut and
Coffee, pajangan mobil, Pizza Hut, Resto and Lounge Solaria, the
Body shop, Es teller 77, Texas Chichen disertai musik, Matahari
Departement Store dan pelayan cantik-cantik, gramedia, ever best,
optic melawai, Julia emas, Oppo Smart Phone, Bank BTN.
Pada Lantai dua menjual kamera, Matahari Departement Store
yang menawarkan diskon besar-besaran mulai dari 30% sampai 70%,
potongan harga langsung, beli 1 gratis 2 untuk produk pakaian, beli 3
gratis 2, beli 2 gratis 1, urban surf yang (penjual pakaian dan diskon),
miami beach, Levis, Celcius Flies, Fladeo (sandal sepatu), electronic
city, 3 second, Salt and Pepper, tenor Buccheri yang menjual sepatu
dan tas, tenor poshboy yang menjual pakaian, Salon Yopie kawula

106 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
muda. Di depan stand tenor yang ada di lantai 2 ada penjual jam
tangan, mobil-mobil maianan, tas, kacamata, baju, pakaian, dll.
Pada Lantai 3 persis di depan tangga escalator ada Matahari
Departemen Store yang menjual pakaian dengan diskon sampai 50%,
Food Ranch (makan minum), Waroeng Pojok (makan minum), happy
kiddy (taman bermain anak, luncuran, bola-bola, dan menu untuk
makan minum), Time Zone (aneka game untuk anak-anak seperti
mobil-mobil balap, kuda kuda berputar, tembak-tembak, memasukan
bola dalam lobang.
Arena perbelanjaan Lippo Plaza didatangai dan dikunjungi oleh
warga masyarakat Kota Kendari dan warga masyarakat daerah lain
yang kebetulan berada di Kota Kendari. Hampir semua mengakui
\[bq[ ‗l[m[-rasanya kehadirannya di Kota Kendari tidak lengkap
kalau tidak datang berkunjung di Lippi Pf[z[‘. T[hj[ e_]o[fc, q[la[
masyarakat dari berbagai lapisan sosial masyarakat, termasuk maha-
siswa senantiasa berupaya meluangkan waktunya untuk berkunjung di
arena perbelanjaan modern tersebut. Meskipun tujuan utamanya
bukan untuk membeli barang-barang yang inginkan, tetapi sekedar
mereka datang seolah untuk bertamasya melepaskan kepenatannya.

C. Sadarkan Diri dan Bangkitlah!


Adalah cukup menyentak juga ketika virus need for Achieve-
ment yang dimaksudkan Mc Cleland untuk menyuntikkan dan se-
kaligus menularkan virus berprestasi dalam rangka membangkitkan
kemandirian berwiraswasta. Namun yang terjadi kemudian, adalah
bangkitnya gejolak hawa nafsu berbelanja di tengah hutan belantara
konsumerisme dewasa ini. Hal ini berarti, upaya penularan memang
tampak gemilang menjangkitkan virus keserakahan untuk meng-
undangkan investasi serta sukses menancapkan virus menghamburkan
uang yang mungkin tidak jelas asal-usulnya itu.
Sosiologi Pasar | 107
Jika demikian, kita pun harus berupaya menjalarkan sebuah
‗pclom‘ y[ha ^[j[n g_h^obrak nafsu kebangkitan berprestasi serta
nafsu mengembalikan semua uang misteri yang mungkin telah kita
j_lif_b ^_ha[h mnl[n_ac ‗KKN‘. S_clcha ^_ha[h cno, ecn[ joh n_ha[b
membutuhkan resep pencekal nafsu perebutan status position yang
tampak begitu ambisiom ohnoe g_l_haaon ^[h g_h^o^oec ‗eolmc
j[h[m‘. K[l_h[ `[enil e_[g\cmc[h chcf[b y[ha g_hd[^c j_hy_\[\
malapetaka diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga serta kerabat
dan para koleganya.
K[l_h[ cno, g[lcf[b, n_lon[g[ e_nce[ ecn[ g_gj_lcha[nc ‗H[lc
Kebangkitan Nasional setiap tahun, kita mulai mengajak diri kita
sendiri dan orang lain untuk bangkit mencerahkan masyarakat, bangsa
dan negara tercinta ini. Bangkitlah bangsaku Indonesia, tanah airku
Indonesia dan bahasaku Indonesia; Bangkitlah, sebagai bangsa
Indonesia yang bersatu, sebagai tanah tumpah darah yang terbentang
bagai permadani di zamrud katulistiwa, dan sebagai bahasa yang
indah, halus dan sopan: Bangkitlah, untuk menggilas cemohan orang
yang mengklaim Indonesiaku sebagai negara terjajah, tanah air yang
terinjak dan sebagai bangsa yang diperbudak: Bangkitlah, sebagai
manusia Indonesia yang ulet dan unggul; Bangkitlah, sebagai
masyarakat yang beradab dan berpradaban;
Bangkit dan bangkitlah di kitaran alam yang penuh intan dan
berlian dan pelbagai kekayaan alam lain yang terkandung di dalam-
nya; Marilah kita berpacu untuk mengentaskan semua kebangkrutan
yang melingkari kehidupan manusia Indonesia dengan sebuah prestasi
yang mampu menyelamatkan kepincangan negara kita ini. Dengan
penuh harap, kiranya kita jangan hanya pandai bangkit untuk menjadi
manusia yang hebat berbelanja, apalagi membelanjakan dan meng-
hambur-hamburkan uang negara yang dipinjam dengan bunga

108 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
setumpuk dan mencekik leher anak cucu kita kini dan akan men-
datang.
Coba saja kita bayangkan, akibat dobrakan nafsu angkara
murkah yang amat sulit terbendung itu, menyebabkan eksploitasi
hutan belantara dan bahkan Prof. Soemitro sebagai seorang bengawan
ekonomi mensinyalir sebanyak 30 persen biaya pengembangan hidup
sejahtera manusia Indonesia diselewengkan.
Apa yang terjadi kemudian? Sebagaimana ditandaskan di atas
bahwa hampir semua yang menjadi milik berharga dan dibanggakan,
bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama
keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi,
abrasi, kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara,
sampai pada persoalan dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya
serta kebangkrutan martabat, jati diri dan rasa malu. Lebih jauh dari
itu kita juga tengah mengalami kebangrutan nasionalisme dan
patriotisme.
Kalau kita tidak berani bangkit berprestasi untuk menyingkir-
e[h e_\_l[hc[h e_\[haecn[h g_hogjoe chp_mn[mc y[ha _hn[b ‗b[l[g
[n[o b[f[f‘ m_ln[ \_l\_f[hd[ ^c [h_e[ moj_l g[ff, g[e[ gohaech n[e
ada lagi yang patut dibanggakan sebagai bangsa dan negara yang
beradab dan kaya-raya.
Memang, kita tidak menghendaki proses revolusi kebangkitan
yang spontanitas dengan segala resiko yang mungkin belum siap kita
terima. Akan tetapi, kita harus melewati proses tahapan secara
evolusioner sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat kita. Hanya
saja proses menuju sebuah kebangkitan, harus ditempuh melalui ta-
hapan strategis dan sistemik. Artinya, ada ihwal kehidupan yang
harus diskala-prioritaskan untuk digenjot dalam memasuki langkah
perubahan selanjutnya. Jangan sampai mendahulukan sesuatu yang
ngebor-gebyaran yang sesungguhnya tidak fundamentil.
Sosiologi Pasar | 109
Karena boleh jadi buat seseorang dianggap masalah, namun
untuk banyak orang ternyata bukan persoalan. Sehingga, amat penting
kita memiliki kepekaan dan kepedulian dengan semua orang yang
hidup di sekitar kita. Kita bahkan harus mengembangkan sebuah
program sesuai yang dikehendaki dan telah lama didamba-dambakan
masyarakat setempat. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang banyak
terjadi selama kurun waktu gebyar modernisasi pembangunan nasio-
nal. Kita seringkali tidak hanya kurang proporsional dalam meletak-
kan sebuah proyek pembangunan, tetapi sekaligus kita kerapkali me-
motong dan menyelewengkan anggaran pembangunan itu.
Hampir semua kita mampu mengevalusi dan bahkan mungkin
kita semua hampir cerdas mengomentarinya, betapa banyak kasus
peletakan sebuah proyek di suatu tempat yang sesungguhnya tidak
bermanfaat bagi masyarakat setempat, dan bahkan justru acapkali me-
nyengsarakannya. Kemubaziran semacam ini, terjadi karena banyak
hal yang bersinergi sebagai faktor sebab-musababnya yang menyelam
di tengah lautan komoditi yang tidak berujung pangkal ini.
Kini, hampir semuanya kita dan terperangkap dan terkurung
dalam perangkat keras dan halusnya komoditi di tengah ekstase
masyarakat kontemporer. Coba saja dibayangkan, mulai dari rambut
kaum Cucunda Hawa yang ikal, alis mata yang lentik, hidung yang
mancung, bibir yang sungging, dada yang aduhai, pinggul yang
montok, betis yang mulus dan sekujur tubuh yang semampai, semua-
nya dijadikan sebagai bahan komoditi kaum kapitalis yang serakah
dan tak pernah puas mempertontonkan kemewahan.
Betapa tidak, ketika semua orang bangkit mengeliat untuk
menikmati sarana dan prasarana manusia moderen, maka besar
dugaan kita akan berani mencobanya dengan menggunakan pelbagai
cara sekalipun. Karena disamping kita merasa malu diklaim sebagai
orang miskin dan kampungan serta sedikit kaya, juga dorongan dari
110 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
virus konsumeristis tersebut untuk bangkit segera memilikinya, se-
akan tak mampu kita membendungnya. Tak pelak lagi, kalau sang
pendamping tercinta mengeluh karena melihat tetangga memilki
segalanya, sekonyong-konyong menjadi virus keluarga yang lebih
keras daya dobraknya untuk bangkit segera menghalalkan segala cara.
Karena itu, ada hal-hal penting yang terlebih dahulu harus
disemarakkan, sebelum memulai penyuntikan virus berprestasi.
Pertama, adalah sangat dibutuhkan keberanian mengakui perilaku
menyimpang atas pengambilan dan pemilikan secara tidak sah
terhadap perbendaharaan negara kita. Karena, kejujuran, kelapangan
dada dan kejernihan hati merupakan langkah tepat yang amat men-
desak untuk kita lakukan bersama, tanpa perlu lebih dahulu
menyerukan kepada orang lain. Sadarkanlah diri kita semua, atas
perilaku perampokan yang terbungkus dalam taktik Kolusi, kehalusan
bahasa korupsi dan kecanggihan nepotisme. Bangkitlah segera untuk
berani dan jujur mengaku semuanya. Pasti kemudian, orang lain akan
mengakui dan mengagumi kejujuran itu, berikut memaafkannya.
Kedua, bangkitlah segera untuk mengembalikan uang negara
yang telah cukup lama dimanfaatkan dan mungkin telah banyak di-
foya-foyakan. Ada banyak langkah yang bisa ditempuh sebagai
kompensasi pengembalian uang negara dimaksud. Misalnya, memberi
kontribusi material secara rutin kepada lembaga pengkaderan dan
pencerah umat seperti KAMMI di kalangan elite pemuda dll, serta
lembaga pengkajian sejenis LSM yang peduli terhadap orang yang
dikorbankan tengkulak. Coba saja kita berjalan sembari mengintip pe-
dagang kaki lima yang sekedar mencari sesuap nasi, ternyata banyak
dipacundangi oleh kaum tengkulak kelas tengik.
Ketiga, kalau memang tidak merasa memiliki kemampuan
untuk membangun dan mensejahterakan serta mencerahkan masya-
rakat, bangsa dan negara yang tengah membutuhkan keadilan dan
Sosiologi Pasar | 111
kearifan dari seorang pemimpin yang dapat disuritauladani ini,
seyogyanya tidak perlu mencalonkan diri atau segera mengundurkan
diri saja. Akan tetapi, kalau memang percaya diri, kita harus bangkit
memberikan sesuatu yang terbaik keharibaan ibu pertiwi ini. Jangan
status position itu dijadikan sebagai arena komoditi yang dapat
mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Sadarlah saudaraku
sebangsa dan setanah air, keadaan seperti ini, tidak selamanya
demikian. Pandai-pandailah membaca tanda-tanda zaman. Kini, tidak
akan mungkin seterusnya begini dan begitu. Camkan, bahwa esok
akan pasti terjadi perubahan dari yang jelek gelap-gulita ke yang baik
terang-benderang. Habis gelap terbitlah terang –kata Ibunda Kartini.
Akhirnya, orang yang seolah terpandang hari ini, boleh jadi esok jadi
terhina dan demikian sebaliknya. Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu.

112 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Bab 5
Perilaku Konsumeristis dan
Implikasinya

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara


syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya
(QS. Al Israa‟ ayat 27)

Betapa derasnya arus kapitalisme, sehingga hampir semua


ruang kehidupan sosial anak manusia kontemporer nyaris tak ada
yang tidak terjamah lagi. Berbagai bentuk sentuhan yang menggejala,
namun salah satunya adalah berupa imajinasi konsumtif yang ke-
semuanya berpoles pencitraan dan kepuasan dalam sebuah wilayah
konstruksi sosial. Aneka ragam paket komersial terus mengalir tak
kenal waktu berwujud formula melewati beragam media, sehingga tak
seorang pun yang mampu menghindarinya.
Nafsu mengkonsumsi terasa demikian membara karena tanpa
mengenal waktu terus menerus ditawarkan aneka jenis komoditas,
sehingga potret konsumtif ala konvensional bergeser hingga seolah
hampir ditelan bumi. Akibatnya, proses mengkonsumsi sebuah jenis
komoditi adalah tidak lagi didasari oleh upaya pemenuhan kebutuhan,
tetapi sudah menyeberang ke arena pencitraan dan bahkan sudah me-
lampaui hal-hal yang bersifat fisik-material.
Betapa kini, upaya mengkonsumsi telah tampil menjadi sebuah
gaya hidup khas dalam sebuah status sosial dan identitas berbalut

Sosiologi Pasar | 113


gengsi sosial. Dalam konteks ini, menurut Baudrillard (2006) bahwa
makhluk yang bernama kepuasan itu tidak pernah mengenal kepuasan
final, sehingga ketika titik-titik kepuasan itu tampak dan terasa mulai
memudar, maka seketika itu bangkit kembali sebuah nafsu untuk
merengguk kepuasan yang baru. Dalam konteks ini, menurut Stearns
(2003) bahwa:
‚..... consumerism is best defined by seeing how it emerged.but
obviously we need some preliminary sense of what we are
talking about. Consumerism describes a society in which many
people formulate their goals in life partly through acquiring
goods that they clearly do not need for subsistence or for
traditional display. They become enmeshed in the process of
acquisition shopping and take some of their identity from a
posessionof new things that they buy and exhibit. In this society ,
a host of institutions both encourage and serve consumerism..
from eager shopkeepers trying to lure customers into buying
more than they need to produce designer employed toput new
twists on established models, to advertisers seeking ti create new
needs..‛
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsum-
tif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mem-
pertimbangkan fungsi atau kegunaan barang ketika membeli barang,
melainkan mempertimbangkan gaya hidup (prestise) yang melekat
pada barang tersebut. Dengan demikian, arti kata konsumtif (consum-
tive) adalah perilaku hidup boros yang mengonsumsi barang atau jasa
secara berlebihan tanpa mempertimbangkan fungsi atau kegunaan
barang itu. Dalam arti luas konsumtif adalah perilaku hidup yang
mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan, sehingga lebih
mendahulukan keinginan (willing) daripada kebutuhan (need) serta
tidak ada skala perencanaan dan prioritas dalam mengkonsumsi
114 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
barang dan jasa itu. Yang terpenting bagi mereka adalah pemenuhan
keinginan hidup yang berbasis pada gaya hidup yang bermewah-
mewah.
Sehubungan dengan itu, menurut Suyanto (2014) bahwa dibalik
perilaku konsumen yang keranjingan dan boros itu, tetapi bagaimana
pun tetap dijumpai sekelompok konsumen yang selektif serta
memiliki cita rasa tersendiri sebagai kelompok konsumen yang tidak
larut dalam pusaran mainstream kekuatan industry budaya. Pertama,
kelompok masyarakat yang dengan sengaja menarik diri dan meng-
hindari persentuhan dengan teknologi informasi dan budaya popular
yang dianggap merupakan ancaman terhadap eksistensi kemanusiaan.
Kedua, kelompok masyarakat yang meyakini jalan kehidupannya
sendiri, mengembangkan pranata sosial yang unik dan berbeda dari
gaya hidup kelas borjuis yang justru mereka anggap keliru. Ketiga,
kelompok masyarakat yang tetap masuk dalam lingkaran pengaruh
kekuatan industry budaya dan tidak allergi terhadap dunia simulasi
yang menghibur, menyenangkan dan menawarkan mimpi-mimpi,
namun bersikap selektif dalam memilih cara mengisi waktu senggang
dan cara memanfaatkan uang yang dimilikinya.
A. Potret Perilaku Konsumerintis
1. Potret masyarakat umum
Secara umum, hampir saja semua warga masyarakat dari ber-
bagai lapisan sosial terjangkiti oleh virus konsumeristis. Betapa tidak,
ketika kita menyaksikan pola hidup masyarakat kontemporer dalam
konteks busana, gaya rambut, selera makan, alat komunikasi dan
barang elektronik lainnya yang digunakan, maka semakin kita tidak
mampu memungkiri bahwa kini kita betul-betul berada dalam lembah
kehidupan kontemporer.
Secara faktual, semua kawasan kota besar Indonesia telah di-

Sosiologi Pasar | 115


penuhi oleh pusat pebelanjaan beserta aneka hiburan berupa plaza,
mall, supermarket, cafe, pub, diskotik, karaoke, panti sauna dan spa.
Tentu saja atas keberadaan wadah konsumeristis inilah yang kemu-
dian menjadi pemicu utama bangkitnya selera orang-orang kampung
sekalipun untuk ikut serta memaksa diri berbudaya konsumtif.
Sementara itu, posisi ruang perbelanjaan modern pada umum-
nya menempati lokasi dan kawasan strategis, sehingga sangat men-
dukung percepatan menjangkitnya virus perilaku konsumeristis.
Selain merangsang menjamurnya virus konsumerisme tersebut, juga
penempatan posisi perbelanjaan strategis ini adalah seringkali meng-
geser ruang sosial perbelanjaan tradisional serta beberapa sarana
penting lainnya seperti perkantoran dan lembaga pendidikan formal
dan informal.
Semuanya bisa berjalan lancar, karena sang kapital domestik
dan mancanegara itu dengan sangat mudah melakukan penggusuran
ketika mereka berkolaborasi dengan penguasa setempat. Ikhwal
seperti itu telah menjadi rahasia umum bahwa sang pemilik modal
dengan sangat gampang membeli semua unsur yang berkepentingan,
termasuk pejabat dan sekuriti daerah setempat.
Tampaknya, pemicu lain tumbuh suburnya budaya konsumer-
isme di tengah kehidupan masyarakat kontemporer adalah maraknya
pendirian restoran cepat saji (fast food) yang menawarkan citra
modern dan identitas gaya hidup baru di pelbagai pelosok negeri.
Karena itulah, maka bukan hanya kawula muda yang terpengaruh
(terhipnotis) dengan budaya konsumerisme, tetapi orang dewasa pun
banyak yang terjebak dalam bujuk rayu kapitalisme.
2. Potret kawula muda
Potret fenomenal perilaku kawula muda tampak begitu menarik
ketika kita berpapasan dengan seseorang yang tengah menampilkan
model rambut David Beckham sang pemain sepak bola yang terkenal
116 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
itu. Tak pelak lagi, ketika kita berjumpa dengan remaja putri yang
menampilkan potongan rambut dan gaya berpakaian yang menyamai
penampilan remaja putri para bintang film Amerika. Betapa gaya ala
bintang Hollywood tampak demikian menghipnotis para remaja masa
kini. Gaya hidup anak muda yang tergambar dalam film remaja
seperti Baverly Hill ternyata banyak mempengaruhi persepsi remaja
dalam konteks seks dan pernikahan yang pada akhirnya menyebarkan
virus gaya hidup serba permisif dalam tingkah lakunya sehari-hari-
nya.
Menurut Dr.Cholichul Hadi (2011) bahwa kini betapa banyak
tanda dan makna yang pada saat ini dijadikan cerminan, sehingga me-
nyebabkan terjadinya reduksi makna yang membuahkan kebingungan
dalam mengikuti pergantian citraan-citraan itu sendiri. Manusia di-
reduksi, sehingga terpecah ke dalam berberapa bagian tertentu dan ini
secara langsung memengaruhi perilaku konsumeristisnya. Karena itu-
lah, maka cara memandang manusia secara holisme harus dientaskan,
sehingga dapat mempelajari kehidupan manusia secara keseluruhan
untuk meraih kepribadian yang utuh. Akhirnya, timbul sebuah per-
n[hy[[h y[ha ]oeoj g_haa_fcnce: ‗^c g[h[e[b f_n[e j_l[h self-
determination dalam urusan gaya hidup bila ada ungkapan Chaney
yang menyebutkan bahwa penampilan luar menjadi salah satu situs
y[ha j_hncha \[ac a[y[ bc^oj ?‘ Boe[he[b m_b[lomhy[ ecn[ m_h^clcf[b
yang menentukan pilihan kita? Sedemikian hebatnyakah urusan gaya
hidup demi eksistensi diri padahal kita memiliki free will ?
Tampaknya, di tengah kehidupan sosial masyarakat kontem-
porer, terdapat beberapa kecenderungan atau alasan mengapa terjadi
perilaku konsumtif dalam masyarakat, terutama yang digandrungi
oleh kaum kawula muda. Pertama, dalam era modern di mana iklan
media massa bertabur iming-iming hadiah dan sangat mempengaruhi
masyarakat agar membeli suatu produk. Pada gilirannya, individu
Sosiologi Pasar | 117
membeli suatu barang karena adanya iming-iming hadiah yang di-
tawarkannya itu. Adapun kalangan masyarakat yang paling rentan
terkena atau tertipu dengan iming-iming hadiah dari biro iklan adalah
utamanya mereka yang dari pihak wanita dan kawula muda.
Kedua, membeli produk karena kemasannya menarik. Para
konsumen utamanya kalangan remaja dan mahasiswa sangat mudah
terbujuk untuk membeli produk yang dibungkus dan dikemas dengan
rapi serta dihias dengan warna-warna yang menarik. Jadi, keinginan
(willingness) untuk membeli suatu produk bukan karena kebutuhan
(need), namun karena produk tersebut dikemas dengan rapi dan me-
narik sehingga pembeli memutuskan untuk membelinya.
Ketiga, membeli produk demi menjaga gengsi (prestise) dan
penampilan diri (self performance). Kalangan remaja dan mahasiswa
mempunyai keinginan besar membeli barang dan jasa, karena pada
umumnya mereka mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan,
gaya rambut, dan sebagainya dengan tujuan agar penampilan tetap
terjaga dan dapat menarik perhatian orang lain. Tidak heran jika pos
terbesar belanja mahasiswa tersedot dalam penampilan diri. Penam-
pilan yang bagus dan menarik, akan memberi kontribusi dan menam-
bah rasa percara dirinya.
Keempat, membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas
dasar manfaat atau kegunaannya). Kalangan remaja dan mahasiswa
cenderung berperilaku yang dicirikan oleh adanya kehidupan mewah
(glamour) yang membedakan mereka dengan kalangan lain.
Kelima, menkonsumsi barang dan jasa hanya sekedar menjaga
simbol status (social class). Kalangan remaja dan mahasiswa doyan
membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian yang mahal, ber-
dandan di salon-salon terkenal nan mahal untuk mengikuti trend gaya
rambut, model pakaian, public figure dan sebagainya. Dengan demi-
kian kesan terlihat berbeda dengan kalangan lain (exclusivity) dengan
118 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
selalu memakai barang mewah dan harga mahal akan memberi kesan
kuat bahwa mereka berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi (upper-
class society).
Keenam, faktor psikologis. Secara psikologis remaja masih
berada dalam proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap
pengaruh lingkungan. Di mana masa remaja merupakan masa penuh
gejolak emosi dan ketidakseimbangan sehingga mereka mudah ter-
kena pengaruh lingkungan. Remaja usia 16 s/d 18 tahun membelanja-
kan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan
diri.
Ketujuh, remaja ingin dianggap keberadaannya dan diakui
eksistensinya oleh lingkungan sosialnya. Kebutuhan untuk diterima
dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan
remaja mengikuti berbagai atribut yang sedang popular. Salah satu
caranya adalah dengan berperilaku konsumtif, seperti: memakai
barang-barang yang baru dan bermerek, memakai kendaraan ke
sekolah, pergi ke tempat-tempat mewah untuk bersenang-senang
(diskotik, restoran, kafe, destinasi wisata, hang out, dan tempat-
tempat lainnya) di berbagai penjuru kota. Dengan adanya semua
fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan yang ada tersebut,
memudahkan akses bagi masyarakat terutama remaja untuk ber-
perilaku konsumtif. Karena untuk dianggap keberadaanya oleh ling-
kungan, ia harus menjadi lingkungan tersebut dengan cara meng-
konsumsi dan menikmati semua fasilitas yang telah disediakan.
Singkat kalimat, ini semua dilakukan oleh remaja semata-mata ingin
diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa men-
jadi dewasa, sudah bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa.
Menurut salah seorang pelajar SMAN 2 Kendari Kelas XI
MIPA-7 bahwa:

Sosiologi Pasar | 119


‗S[y[ g_gcfcec m_\o[b HP g_l_e S[gmoha V Pfom. S_f[g[ 1
bulan saya menghabiskan uang untuk membeli pulsa Rp.
100.000,00. Pulsa ini digunakan untuk sms-an, beli paket data
internet, facebook-an dan menelepon. Setiap hari saya ke
sekolah naik ojek, sewa ojek Rp. 20.000,00 PP. Saya juga ikut
les 3 kali seminggu. Uang jajan saya setiap hari Rp. 20.000,00.
Sehingga dalam satu bulan saya bisa menghabiskan uang sekitar
Rj.1.000.000,00‘ (Sof[cg[h, q[q[h][l[ n[haa[f 1 M_c 2017).
Remaja kedua yang diwawancarai bernama Siska (nama
samaran), Siswi SMAN 4 Kendari Kelas XI IPS.
Saya punya 2 HP, HP satu digunakan untuk komunikater saja
(telepon dan sms-an) dan HP satunya lagi HP smart phone,
saya gunakan untuk bergaya-gaya, karena bisa connect internet.
Saya biasanya kalau dalam satu bulan untuk isi pulsa dua HP
kadang menghabiskan uang sebanyak Rp. 150.000,00. Tetapi itu
pun semua disesuaikan dengan kebutuhan. Kalau belanja saya
suka belanja. Saya sangat suka berbelanja di Mall Mandonga
dan Lippo Plaza. Meskipun saya suka berbelanja di Mall, tetapi
saya juga suka berbelanja di tempat-tempat yang dapat dikatakan
memiliki harga yang lebih murah seperti Pasar Anduonohu dan
Pasar Lapulu, karena saya tinggal di Poasia. Sisa uang saku atau
uang jajan saya gunakan untuk membeli obat vitamin rambut.
Dalam satu bulan kira-kira saya bisa menghabiskan uang di atas
Rp. 1.000.000,00 untuk berbelanja, untuk membeli baju atau
barang yang lainnya. Saya mungkin termasuk siswi yang sangat
suka berbelanja. Seperti motto saya ‚saya sangat suka ber-
belanja, tetapi kalau punya uang...hehhehe‛ (Siska, wawancara
tanggal 1 Mei 2017).

120 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Upaya mengurangi terjadinya perilaku konsumtif maka pihak
sekolah dari SMKN 1 Kendari sendiri membuat berbagai kebijakan.
Dalam konteks ini, menurut salah seorang guru bahwa:
‗Kami berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi adanya
siswa yang berperilaku konsumtif, baik di dalam sekolah mau-
pun di luar sekolah. Beberapa kebijakan kami yang pertama
yaitu dengan memasang telepon khusus untuk menghubungi
orang tuanya. Jadi siswa di sini dilarang mengaktifkan HP saat
jam belajar sekolah karena menurut kami HP itu mengganggu
pelajaran. Kemudian kebijakan yang lainnya, kami melarang
anak-anak untuk membawa mobil. Selain itu kita melarang siswa
untuk memakai baju dan perhiasan yang mencolok karena akan
menimbulkan sikap iri hati antarsiswa. Kemudian kita juga me-
nanamkan sikap peduli terhadap sesama yaitu dengan adanya
kegiatan bakti sosial yang dilaksanakan secara rutin setiap
n[boh‘ (L[ E^chi, S.P^. M.Sc, q[q[h][l[ n[haa[f 2 M_c 2017).
3. Potret kaum elite sosial (Sosialita)
Menurut Ade Yulfianto Sosiologi FISIPOL UGM (2014)
bahwa bergelimang harta, glamour, hobi belanja barang mewah, dan
suka menghambur-hamburkan uang adalah hal yang acapkali dikait-
kan dengan kata sosialita. Keberadaan mereka ternyata cukup me-
narik perhatian masyarakat luas, karena perilaku yang mereka tampil-
kan amat menarik perhatian
Menurut Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern di-
tandai dengan bergesernya orientasi konsumsi dari upaya pemenuhan
‗e_\onob[h bc^oj‘ \_lo\[b g_hd[^c ‗a[y[ bc^oj‘. D[f[g eihn_em chc,
sosialita merupakan salah satu komunitas yang terhipnotis dengan
‗g_le‘ e_ncg\[ha jli^oe. Iebq[f cno ^cg[emo^ B[o^lcff[l^ m_\[a[c
kelompok yang terpaku pada konsumsi simbol ketimbang kegunaan.
Pergeseran makna inilah yang kemudian harus kita amati lebih jauh,
Sosiologi Pasar | 121
karena pada awalnya mereka memiliki moral value yang tinggi,
namun tiba-tiba bergeser menjadi entitas yang meaningless, sehingga
definisi sosialita cenderung diklaim negatif karena tidak lagi merujuk
kepada sebuah aktivitas sosial derma yang dulu pernah menjadi
identitas pada kata sosialita.
Kini, kaum sosialita tengah mengalami kelumpuhan daya kritis,
karena nafsu konsumtif yang membelenggunya hingga membuat per-
bcnoha[h _eihigchy[ g_hd[^c ‗e[][o \[f[o‘. B_n[j[ nc^[e, g_l_ka
haus dengan penampilan hedonism, sehingga terus membeli barang
mewah dengan harga yang fantastis yang kemudian dianggap sebagai
sebuah prestasi dalam diri sosialita. Dalam konteks ini, Baudrillard
memiliki beberapa konsep yang dapat dikaitkan antara kondisi kon-
sumerisme dengan sosialita. Pertama, adalah konsumsi simbol;
simulacrum; hiperrealitas, distingsi dan sampah visual. Kedua,
simulacrum atau simulakra merupakan bentuk instrumen yang
mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret dan
begitu pula sebaliknya: konkret menjadi abstrak. Ketiga, hiperrealitas
y[ha g_hohdoe j[^[ m_a[f[ m_mo[no y[ha \_lmc`[n ‗g_f[gj[oc e_-
hy[n[[h‘. Keempat, ^cmnchamc, g_loj[e[h ‗d[l[e mimc[f‘ y[ha ^c[ec\[n-
kan oleh pilihan selera. Sebagai contoh, kalangan sosialita tentunya
ogah untuk membeli pakaian dan busana yang mereka kenakan hanya
di pasar tradisonal yang mereka identikan sebagai low culture.
Munculnya kelompok ini adalah ajang eksistensi dan kontestasi
untuk mengejar apa yang dinamakan dengan status sosial dan pen-
gakuan diri. Semakin mereka mampu bertindak konsumtif dan ber-
hedonis, maka semakin merasa diakui kemapanannya. Saat sosialita
menjadi tren, maka masyarakat tajir yang diwakili ibu-ibu kemudian
berlomba membentuk sosialitanya masing-masing. Ada sosialita istri
pengusaha, sosialita istri pejabat, sosialita wanita-wanita karier, dan
masih banyak lagi yang lainnya (http://www.kompasiana.com/
122 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
adeyulfianto/sosialita-onsumerisme-dan-status
sosial_54f68bcaa33311a17c8b4fcc).
4. Potret dosen dan guru
Di satu sisi, globalisasi membawa dampak yang positif bagi
masyarakat, namun disisi lain globalisasi dapat menimbulkan dampak
negatif seperti dis-orientasi, dislokasi, atau krisis sosial-budaya dalam
masyarakat, serta semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan
hedonism. Konsumerisme tidak hanya terjadi di perkotaan, namun
sudah merambah ke pedesaan. Ini sangat berbahaya dan kalau tidak
dicegah sejak dini mungkin, maka perilaku konsumtif anak-anak ber-
dampak pada pergeseran gaya hidup (lifestyle) yang dapat ber-
pengaruh pada kepekaan sosialnya, sehingga cenderung tidak peduli
dengan lingkungan sosialnya.
Gaya hidup hedonis merupakan suatu pola hidup yang akti-
vitasnya untuk mencari kesenangan hidup seperti senang membeli
barang mahal dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Mentalitas
yang demikian, mendorong anak-anak kita secara tidak langsung
dituntun untuk bertindak pragmatis dan serba instan serta tanpa ada
usaha dan kerja keras. Dalam konteks ini, menurut pengamat sosio-
logi Universitas Jember Hery Prasetyo M Sosio bahwa anak-anak
merupakan sasaran pasar yang empuk bagi budaya konsumerisme
karena banyak produk iklan menawarkan sejumlah barang yang di-
butuhkan anak-anak. Banyak produk iklan yang ditayangkan di
sejumlah media mampu memikat anak untuk segera membelinya,
sehingga mereka cenderung berperilaku konsumtif. Anak-anak adalah
mangsa kapitalisme yang empuk karena mereka tidak berpikir apa
dan mengapa mereka mengonsumsi barang yang ditawarkan oleh
sebuah produk iklan di media. Anak-anak adalah sasaran pasar, di-
hujani dengan beragam produk yang tak tentu manfaatnya karena
mereka tidak punya kesadaran dan daya kritis, sehingga anak-anak
Sosiologi Pasar | 123
selalu jadi objek.
Konsumerisme, hedonisme, hilangnya rasa kesantunan dan
etika bersosialisasi di kalangan anak-anak atau remaja mengakibatkan
sebuah polemik yang harus ditindak lanjuti oleh semua pihak, agar
jati diri bangsa tidak punah begitu saja. Apabila semua pihak sudah
tidak peduli dengan persoalan itu, lanjut dia, maka disadari atau tidak
perilaku konsumerisme secara perlahan-lahan dapat menjadi ancaman
serius (http://www.antarajatim.com/lihat/berita/84039/perilaku-kon-
sumerisme-mengancam-masa-depan-bangsa).
Karena itulah, maka menurut salah seorang Pembina Pesantren
Hidayatullah Sulawesi Tenggara bahwa:
‗Untuk menanggulangi perilaku konsumtif pada remaja, peran
orangtua sangatlah penting dalam pembentukan mental. Perilaku
orangtua juga harus mencerminkan sikap anti konsumtif karena
dengan adanya contoh dari orang tuanya, anak lebih mudah
untuk menirunya. Orangtua juga harus pandai dalam mengatur
sistem keuangan anak. Seharusnya orang tua tidak selalu me-
menuhi apa yang diinginkan oleh anaknya selama permintaan-
nya hanya untuk bermewah-mewahan. Di samping itu, guru juga
harus berperan penting dalam pembentukan mental dan karakter
anak didik agar siswa tidak berperilaku konsumtif. Guru dapat
menanamkan keimanan, moral, dan budi pekerti yang baik
kepada siswa, karena dengan bekal keimanan, moral, dan budi
pekerti yang baik, diharapkan anak bisa mengerti hal-hal yang
dibenci oleh Allah seperti gaya hidup konsumtif (Muhammad
Junaid, wawancara tanggal 26 Mei 2017).

B. Fenomena Perilaku Konsumerintis Mahasiswa


Uraian deskriptif yang tertuang dalam tulisan ini adalah ber-
sumber dari hasil penelitian tentang Fenomena Budaya Fashion, Food
124 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dan Funny (F3) dalam perspektif Sosiologi Kontemporer di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo (2013). Penelitian
menggunakan paradigma interpretif yang menekankan pada inter-
pretasi atas keberadaan seseorang atau sekelompok orang terhadap se-
buah makna simbolisme. Dalam konteks ini, merupakan pendekatan
kualitatif yang berintikan pada studi fenomenologi untuk men-
deskripsikan fenomena dan realitas sosial di lapangan (Denzin dan
Lincoln, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa saat
ini diperhadapkan dengan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kontemporer yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
proses belajar mengajarnya. Tampaknya, kecenderungan mahasiswa
untuk mencoba budaya F3 tersebut, pada gilirannya menambah beban
orang tua dalam proses penyelesaian perkuliahan anak dan kemana-
kan serta cucunya.
Bagi kawula muda yang telah berhasil menyelesaikan pen-
didikan di tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah sebagian
besar mendambakan untuk memasuki Pendidikan Tinggi sesuai
dengan minat dan bakatnya masing-masing. Ketika mereka sukses
memasuki sebuah Perguruan Tinggi yang diminatinya, maka sudah
pasti sangat menggembirakan baginya serta sangat membanggakan
kedua orang tuanya. Betapa tidak, anak dari ayah dan ibunya, dan ke-
menakan dari paman dan bibi serta cucu dari kakek dan nenek meru-
pakan harapan masa depan yang kelak membahagiakannya.
Sesungguhnya, mahasiswa dan mahasiswi sebagai elite pemuda
adalah tidak hanya menjadi harapan masa depan bagi orang tuanya.
Akan tetapi, lebih jauh dari itu, mereka merupakan harapan terbesar
bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Betapa tidak, kesinambungan
bangsa dan negara tercinta ini, terutama dalam meneruskan estafet
kemimpinan bangsa, semuanya tertumpu kepada mereka sebagai
generasi penerus masa depan yang berkualitas, karena memiliki
Sosiologi Pasar | 125
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan kreativitas
dan kecerdasan spiritual (Matta, 2002; Hawari, 2009; Peribadi, 2015).
Betapa menyeramkan, ketika calon intelektual dan calon
pemimpin masa depan itu, tidak berhasil menunjukkan sikap dan
perilaku sebagai elite pemuda yang berlogika, berestetika dan beretika
dengan berbagai pelipatan-pelipatan sosial lainnya, sebagaimana yang
didamba-dambakan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan-
nya. Sudah pasti dapat dibayangkan bagaimana kondisi masa depan
masyarakat, bangsa dan negara ini ketika gagal mengkader se-
kumpulan generasi untuk menjadi manusia cerdas dan beretika
(Piliang, 2008).
Keberadaan Perguruan Tinggi sebagai kampus kehidupan yang
bertujuan untuk mengembangkan proses pendidikan, adalah tidak
hanya bertujuan untuk mencerdaskan mahasiswa. Akan tetapi, lebih
dari itu, lembaga Pendidikan Tinggi tidak boleh melakukan penin-
dasan, karena mengabaikan dan bahkan harus mengutamakan proses
pencerahan, sehingga mahasiswa kelak memiliki kecerdasan intelek-
tual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (Agustian, 2000;
Freire, 2008; Nasution, 2009).
Orientasi kepada upaya peningkatan kecerdasan intelektual
spiritual (Inteleksi) tampak semakin urgen ketika kita merenungi
kondisi kehidupan sosial masyarakat kontemporer dengan berbagai
problematikanya. Berbagai pertontonan sosial yang mengemuka di
sekitar kehidupan mahasiswa yang kemudian menjadi virus kehidu-
pan baginya. Hal itu terlihat sangat jelas dan bahkan sangat terasa,
mulai dari unit sosial keluarga, ruang pergaulan hingga sampai pada
lingkungan sosial pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Selain
mahasiswa diperhadapkan dengan berbagai fenomena F3 yang mulai
merasuki dunia kampus dewasa ini, juga mereka mengalami krisis
ketauladan sebagai akibat perilaku penyimpangan yang massif terjadi
126 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
di wilayah politik, birokrasi dan pemerintahan (Peribadi, 2007;
Notoseputro, 2008).
Fenomena F3 telah mewarnai gaya hidup masyarakat yang
sering membelanjakan uang tanpa memperhitungkan manfaat dari
barang yang dikonsumsinya. Ironisnya, mahasiswa pun ikut serta
tergiur untuk memiliki aneka produk tersebut dan bahkan mulai
gemar berlomba untuk memiliki barang-barang mewah yang meski-
pun belum layak untuk dimilikinya. Kecenderungan dan kegemaran
mahasiswa untuk membelanjakan kiriman orang tua dari kampung
yang seharusnya dipergunakan untuk memenuhi biaya perkuliahan-
nya, tampak sudah jauh dari upaya peningkatan jati dirinya sebagai
calon intelektual. Secara kritis reflektif diuraikan dalam pembahasan
berikut ini.
1. Fenomena fashion di kalangan mahasiswa Fisip UHO
Tujuan pendidikan nasional kita adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 pada alinea 4. Dengan demikian, tujuannya tentu saja
bukan untuk menciptakan bangsa yang hedonisme, materialism dan
pragmatism. Akan tetapi diharapkan proses pendidikan dilangsungkan
dalam rangka mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional dan kecerdasan spritual sehingga dapat menumbuhkan ke-
pedulian atas sesamanya (kolektivitas). Sebaliknya, orientasi pendidi-
kan tidak diarahkan untuk mengutamakan diri sendiri yang sifatnya
egoistis dan selfish.
Pada esensinya, di era reformasi atau pada kurun waktu
informasi dan komunikasi dengan berbagai kepesatan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, diharapkan figur-figur pemimpin
yang lahir dari kaum intelektual muda diberbagai level mulai dari
tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Namun realitas
sosialnya harapan tersebut masih jauh panggang dari api atau kita tak
Sosiologi Pasar | 127
ubahnya bermimpi disiang bolong sebagai akibat dari proses re-
generasi kepemimpinan nasional yang berjalan lambat. Betapa kaum
muda yang ditunggu-tunggu dan didambakan masyarakat, bangsa dan
negara tercinta ini, menuai kekecewaan karena yang terjadi justru
fenomena hyperealitas yang notabene antitesis dengan tujuan pen-
didikan nasional itu sendiri.
Berbagai pandangan yang berkembang dari informan menyoal
seputar fenomena fashion yang mulai menggeliat di balik tembok
Perguruan Tinggi, termasuk di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Dalam konteks ini menurut Peribadi, sebagai salah seorang staf peng-
ajar pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo, Bahwa:
‗S[[n chc m[ha[n mofcn g_h][lc j_gcgjch ^[lc e[f[ha[h chn_f_e-
tual muda yang akan setia memberikan pengabdiannya kepada
masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena para generasi
muda kini telah menjadi budak dari hasil ciptaan manusia itu
sendiri yang tergambar dalam pola sikap dan tindakan yang
konsumtif dan hedonis, sehingga dengan enteng mereka
‗g_haa[^[ce[h c^_[fcmg_hy[‘^c a_f[haa[ha jifcnce n_lon[g[
pada saat berlangsungnya Pemilukada (Wawancara, 20 Mei
2013)‘.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa perilaku konsumtif dan
hedonis yang kini menjalar ke dalam jiwa sebagian besar generasi
muda bangsa ini, terutama mahasiswa dapat menjadi ancaman akan
terciptanya krisis kepemimpinan di masa akan datang. Betapa tidak,
jangankan menjalankan peran maksimal sebagai agen perubahan,
yang terjadi justru berkembangnya budaya hedonisme di kampus-
kampus. Kini mahasiswa cenderung mendewakan kesenangan dan
kenikmatan dalam menjalani roda kehidupannya. Kepedulian ter-
hadap lingkungan sekitar terlupakan oleh gemilau kenikmatan sesaat
(temporer). Sisi kehidupan mahasiswa saat ini telah diperhadapkan
128 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
oleh berbagai godaan yang menarik dan menggiurkan sehingga me-
nyimpang dari idealismenya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mahasiswa FISIP Uni-
versitas Halu Oleo cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan
lebih banyak membuang waktu kepada kegiatan-kegiatan yang tidak
bermanfaat pada proses pengembangan intelektualnya. Pada umum-
nya, mereka terperangkap ke dalam berbagai bentuk permainan yang
seiring dengan kesenangan masyarakat perkotaan yang lebih banyak
bermain, berfoya-foya dengan membeli barang mahal yang digandru-
nginya. Potret ini merupakan wujud nyata dari perilaku konsumtif dan
hedonis masyarakat kontemporer yang kini pun ikut serta meng-
gerogoti jiwa mahasiswa.
Secara empiris berdasarkan hasil wawancara di lapangan,
tampaknya perilaku konsumtif mahasiswa secara umum dapat di-
gambarkan dalam fenomena fashion yang dipilihnya, dimulai dari
pemilihan trend dan mode pakaian yang modern, kepemilikan tas dan
alas kaki yang bermerek, pembelian berbagai jenis parfum dan
sejenisnya. Apakah kemudian hal itu diperoleh baik dengan cara
membeli langsung di mall atau departemen store, maupun melalui
pembukaan katalog produk serta pembelian secara online. Hal ini
sebagaimana diakui oleh salah seorang informan dari kalangan
mahasiswa Sosiologi Angkatan 2010:
‗A^[joh g_ha_h[c j_lcf[eo eihmognc` y[ha n_ld[^c ^c e[f[ha[h
mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo, saya melihat paling
banyak diwujudkan dalam bentuk gaya atau fashion yang di-
ikutinya baik dalam bentuk dan jenis barang yang digunakan di
lingkungan kampus maupun tempat memperoleh barang
tersebut, apakah dibeli di mall atau melalui online itu akan
memberikan kepuasan tersendiri baachy[‘ (W[q[h][l[, S[f^c
So[l^c 20 M_c 2013)‘.
Sosiologi Pasar | 129
Secara umum, mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo yang
tergolong pencinta fashion adalah seakan berlomba mengaktualisasi-
kan dirinya untuk mencapai keinginan yang dianggap memuaskan,
sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mencapainya. Pada giliran-
nya, mereka berupaya membelanjakan uang kiriman orang tua dari
kampung nan jauh di sana demi menggapai popularitas sesaat dan
semu yang dianggap melekat pada barang-barang mewah yang di-
milikinya, meski hal itu sebetulnya bukan merupakan kebutuhan
pokok baginya. Dengan demikian, potret kehidupan yang ditampilkan
oleh masyarakt kontemporer, termasuk komunitas kampus yang cen-
derung menyenagkan dirinya sendiri adalah sesungguhnya sudah ter-
perangkap oleh virus hedonisme dan konsumerisme sebagai sebuah
konsep yang mencari kesenangan dan mencapai kepuasan dengan
mengikuti arus gaya hidup kontemporer.
Pada sisi lain, upaya pemaksaan diri untuk memiliki segala
jenis barang mewah sebagaimana terungkap di atas, adalah sesung-
guhnya berkaitan dengan upaya penciptraan diri dan pencapaian
prestise sosial bagi mahasiswa yang menggandrungunya. Ikhwal itu-
lah yang kemudian menjadi kekuatan penggerak (driving force) untuk
menunjukkan penampilan sesuai dengan mode yang lagi trend.
Meskipun pada esensinya semua yang sifatnya performance itu
adalah tidak sesuai dengan kebutuhan rillnya. Dan ternyata pan-
dangan informan berikut ini adalah mendukung bahwa upaya pe-
milikan barang mewah adalah sesuatu yang memang harus diikuti.
Menurut informan dari kalangan mahasiswa Sosiologi Angkatan 2010
bahwa:
‚Zaman sekarang kan serba modern, dan kalau kita ingin maju
ya kita harus mengikuti perkembangan yang terjadi, masa orang
lain sudah ada di bulan kita masih saja berputar-putar di bumi,
termasuk salah satunya adalah masalah fashion ini. Apalagi kita
130 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
ini mahasiswa, selagi masih muda kita harus berusaha memberi-
kan yang terbaik untuk diri kita sendiri dulu sebelum membantu
orang lain. Dan bagi saya pribadi fashion adalah perkembangan
yang harus diikuti oleh mahasiswa, yang penting dengan cara
yang wajar dan dapat diseimbangkan dengan tugas utama kita
untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
disiplin keilmuan kita masing-masing (Wawancara, Desti Felani
20 M_c 2013).‘
Meskipun terkesan kontroversial karena pandangan informan
tersebut pada satu sisi terkesan membela upaya kepemilikan berbagai
jenis barang mewah bagi mahasiswa. Dalam artian, menurutnya
bahwa mengikuti gaya khas fashion adalah sah-sah saja sepanjang
mahasiswa yang bersangkutan mampu mengimbanginya dengan akti-
vitas pengembangan intelektual pada sisi lain. Mahasiswa Sosiologi
FISIP UHO boleh-boleh saja merasa tidak boleh ketinggalan zaman
serta merasa tidak terlewatkan oleh perkembangan fashion yang
sedang menggelegar saat ini. Namun demikian, mahasiswa pun harus
merasa tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan ilmu penge-
tahuan dan teknologi. Jika kedua perasaan dan tanggung jawab (sense
of responsibility) seperti ini dimaksud sudah melekat dalam benak
dan nuraninya, maka berarti nafsu dan birahinya sudah dapat ter-
kendali oleh animo intelektualnya. Namun pada kenyataannya sangat
jarang ditemui potret kehidupan mahasiswa yang mampu meng-
imbangi antara kedua aspirasi tersebut yakni mengikuti perkem-
bangan zaman dalam konteks fashion serta mengikuti perkembangan
zaman dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil pene-
litian menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa yang kini menjadi
korban arus modernisasi yang menggeliat seiring dengan arus kon-
sumeristis serta gelagak materialisme dan hedonisme.

Sosiologi Pasar | 131


Tentu saja, jika perilaku hedonisme seperti ini dibiarkan terus
berlangsung, maka pada gilirannya bakal menjadi racun bagi dunia
perguruan tinggi. Dengan perkataan lain, membiarkan racun ber-
sarang di balik tembok perguruan tinggi adalah berarti sama saja
melakukan pembunuhan karakter bagi pengembangan idelalisme, per-
tumbuhan intelektual dan pencerahan dunia akademik. Betapa tidak,
budaya negatif seperti ini sebagai akibat dari arus pragmatisme kelak
mengikis sense of crisis generasi muda terhadap berbagai per-
masalahan bangsa, sehingga jangankan memperdulikan negara dan
bangsa, peduli atas kebijakan di tingkat kampus dan rektorat pun
jarang direspon.
Betapa besar pengaruh yang ditimbulkan dari perilaku konsum-
tif dan hedonis mahasiswa yang terwujud dalam tindakan mengikuti
perkembangan fahsion secara berlebihan. Kini, adalah sangat mudah
kita jumpai mahasiswa di lingkungan kampus yang bergonta ganti
pakaian, tas, sepatu, alat-alat kosmetik, alat-alat elektronik dan
aksesoris dengan berbagai merek luar maupun dalam negeri yang
terkenal. Hal ini sangat ironis jika dibandingkan dengan kuantitas
mahasiswa yang mengeluarkan uangnya untuk membeli buku, meng-
ikuti seminar dan kegiatan-kegiatan penunjang akademik lainnya.
Salah seorang informan dari kalangan mahasiswa Jurusan Sosiologi
menandaskan hal ini:
‗Jce[ [e[h ^c\[h^chae[h \_f[hd[ g[b[mcmq[ [e[h \oeo-buku
pelajaran ataukah hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan
keinginan yang berkaitan dengan fashion, tentu saja persentase
mengeluarkan uang lebih banyak ke fashion, karena ini adalah
kebutuhan yang mutlak bagi remaja apalagi dengan status maha-
siswa. Dan fashion bukan sekedar baju dan celana, tetapi juga
aksesoris, parfum, tas, sepatu dan yang lainnya, malu juga rasa-
nya tampil dikampus jika kebanyakan teman-teman telah meng-
132 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
gunakan pakaian dengan gaya yang sedang trend sementara kita
masih pakai itu-cno m[d[. (W[q[h][l[, Jomhc[nc 21 M_c 2013)‘.
Tampaknya diakui sejujurnya bahwa kecenderungan maha-
siswa FISIP Universitas Halu Oleo untuk mengeluarkan uangnya
dengan tujuan mengikuti perkembangan fashion yang ada jauh lebih
besar dibandingkan dengan keinginan untuk melengkapi buku-buku
atau sarana akademik lainnya. Hal ini karena dunia fashion dipandang
sebagai kebutuhan yang mutlak untuk diikuti oleh seorang remaja
apalagi yang berstatus mahasiswa. Gejala ini mengisyaratkan adanya
gengsi yang cukup kuat telah mengakar dalam diri mahasiswa bahwa
dirinya akan merasa tidak lengkap dan sempurna jika tampil di
lingkungan kampus tanpa gaya fashion yang lagi trend.
Adapun beberapa merek yang terlihat digunakan oleh
mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo di antaranya: Armani,
Versace, Guess, Louise Vuiton, Gucci, Prada, Nevada, ST Yves,
Hermes, Furla, Zara yang kini kian menjamur bagaikan cendawan di
musim hujan dan hal itu sangat mudah ditemukan di Kota Kendari
ataupun melalui pemesanan secara online. Demikian pula jenis
pakaian, tas dan sepatu bermerek Sophie Martin, Keiza, Cocopelli,
Lionelli dan Wellys, serta peralatan kosmetik seperti Oriflame dan
sebagainya yang biasa dipasarkan melalui katalog.
Sementara itu, penampilan mahasiswa di lingkungan kampus
dengan menggunakan produk-produk bermerek tersebut diakui salah
seorang informan dari kalangan mahasiswa Jurusan Sosiologi Angka-
tan 2010:
‗M_holon m[y[, j_l_gjo[h ^[h `[mbcih [^[f[b ^o[ b[f y[ha
tidak dapat dipisahkan. Dengan mengikuti trend fashion yang
sedang berkembang memberikan kepuasan tersendiri bagi kita
sebagai perempuan, termasuk menjadi penyemangat bagi kita
untuk datang kuliah, karena kalau berkunjung ke kampus dengan
Sosiologi Pasar | 133
sesuatu yang baru rasanya akan menambah rasa percaya diri
(Wawancara, Elfia 22 M_c 2013).‘
Pada dasarnya bukan hanya faktor kepercayaan diri ketika
menggunakan fashion-fashion yang baru. Namun menurut salah
seorang informan bahwa:
‗K[f[o m[y[ g_fcb[n g[b[mcmq[ FISIP f_\cb ^igch[h bilgih
persaingan dari segi penampilannya dari pada keilmuannya,
karena kita cewe-cewenya bahwa siapa yang bisa menarik
perhatian dosen, maka itu yang mampu mendapatkan nilai
tinggi. Apalagi dosen-dosen FISIP lebih menyenangi mahasiswa
yang tampak seksi dan modis. Karena itu menurut saya penam-
pilanlah yang menjadi nomor satu dan itu sah-sah saja bagi yang
g[gjo‘. (Momfcgch, M[b[mcmq[ Kigohce[mc UHO).
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang informan yang
menurutnya bahwa:
‗F_hig_h[ F[mbcih ^c e[f[ha[h g[b[mcmq[ ebomomhy[ q[hcn[
itu sah-sah saja, karena selain faktor gengsi, juga berpakaian
mewah itu sebetulnya bisa menarik perhatian dosen yang tengah
mengajar, sehingga bisa nilai plus. Bisa pula ajang persaingan
dengan teman. Tak perlu cantik yang penting modis dan
g_q[b‘. (S[^[g, M[b[mcmq[ Kigohce[mc UHO).
Ketiga pandangan informan di atas adalah menggambarkan
persepsi sebagian besar mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo yang
cenderung mengikuti semua jenis fashion yang sedang berkembang.
Dalam persepsi tersebut dianggapnya akan memberikan dampak posi-
tif atau kedudukian istimewah bagi penggunanya. Selain itu, juga se-
kaligus menjadi penyemangat serta menambah kepercayaan diri.
Namun demikian, semuanya memberi alasan yang sama bahwa peng-
gunaan fashion yang lagi trend merupakan sesuatu yang tergolong
logis, terutama bagi mahasiswa dari kalangan perempuan yang
134 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
memang memiliki naluri untuk selalu tampil cantik dan aduhai di
mata lelaki. Hanya saja, memang perlu dikhawatirkan ketika virus
konsumerisme mulai mengakar dan menggerogoti kehidupan kampus,
sehingga suasana kampus seakan berubah fungsinya menjadi arena
wisata karena telah menjadi ajang pameran berbagai unsur fashion
yang ditampilkan penghuninya.
Sementara itu, salah satu faktor yang menyebabkan mahasiswa
gemar membeli barang-barang fashionable yang bernilai mahal itu
karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya katalog-katakog produk
yang beredar dilingkungan kampus dengan sistem bisnis berjaringan
yang menawarkan keuntungan atau bonus atas transaksi yang dilaku-
kan melalui katalog bagi seseorang yang telah menjadi member.
Menurut John dan Echlos, katalog adalah salah satu media iklan yang
di dalamnya terdapat daftar barang-barang yang ditawarkan biasanya
disertai keterangan- keterangan mengenai produk dan gambar produk
atau buku yang memuat nama benda/informasi yang ingin disampai-
kan, disusun secara berurutan/daftar barang yang dilengkapi dengan
nama, harga, mutu dan cara pemesanannya.
Katalog-katalog inilah yang mengundang daya tarik tertentu
bagi mahasiswa dan mahasiswi, sehingga sering kali kebanyakan di
antaranya berupaya maksimal untuk mencoba memilikinya. Tak pelak
lagi pengaruh iklan baik dalam bentuk media cetak maupun dalam
bentuk audio visual yang demikian terasa menghipnotis bagi seluruh
masyarakat kontemporer, tak terkecuali bagi mahasiswa yang ter-
golong sebagai insan akademik dan calon intelektual masa depan.
Semuanya terpikat oleh daya hipnotis iklan tersebut hingga mem-
pengaruhi kognitif dan emosional pembeli.
Dalam konteks kecantikan, beberapa macam katalog produk
yang dijumpai beredar di lingkungan mahasiswa FISIP Universitas
Halu Oleo, di antaranya Oriflame yang menawarkan berbagai macam
Sosiologi Pasar | 135
produk kecantikan dan perawatan tubuh beserta daftar harganya serta
manfaat barang yang diwarkannya. Begitu pula Sophie Martin, Keiza
dan Wellys yang menawarkan berbagai macam produk seperti
pakaian, accesoris, tas, alas kaki, kosmetik dan berbagai macam pera-
watan tubuh untuk anak-anak sampai dewasa, pria dan wanita. Jika
kita tergolong member pada katalog-katalog tersebut, maka seseorang
akan mendapatkan potongan harga hingga 30% dari setiap penjualan
yang dilakukan. Pada gilirannya, banyak diantara mahasiswa FISIP
Universitas Halu Oleo yang melihat keberadaan katalog tersebut se-
bagai momentum strategis untuk mengembangkan ladang bisnis yang
akan membantu mereka memiliki barang-barang sesuai dengan mode
yang sedang trend sekaligus menjadi distributor bagi rekan-rekan
mereka untuk menjadi konsumen apalagi dengan sistem pemasaran
dalam bentuk kredit sebagaimana diungkapkan oleh informan maha-
siswa Jurusan Komunikasi Angkatan 2010:
‗S[y[ g_g[ha \[hy[e g_gcfcec n[m ^[h m_j[no \_lg_l_e m_j_lnc
Sophie Martin, juga saya sering menggunakan produk-produk
kosmetik dari oriflame yang memang bagus kualitasnya akan
tetapi harganya juga lumayan mahal. Tapi untuk mendapatkan
produk-produk tersebut dengan harga yang miring saya siasati
dengan menjadi member, yang pada awalnya membayar pen-
daftaran Rp. 50.000 hingga Rp. 70.000 akan tetapi untuk mem-
beli jenis produk apapun nantinya akan memperoleh diskon
hingga 30 % dari harga katalog, sehingga walaupun kiriman
orang tua tak seberapa sebulan saya tetap dapat menjangkau
harga produk-produk tersebut, mana lagi jika kita rajin mencari
konsumen, kita tetap mendapat keuntungan 30% dari setiap
penjualan langsung yang dilakukan. Sehingga memiliki barang-
barang yang bermerek dan lagi ngetrend bukan lagi hal yang
amat sulit bagi mahasiswa, karena ada beberapa cara yang dapat
136 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dilakukan tanpa harus membeli dengan harga yang sangat mahal
m_j_lnc y[ha n_ln_l[ ^c e[n[fia‘ (q[q[h][l[, Rc[ Y[yomhcn[ 23
Mei 2013).
Berdasarkan pernyataan ini bahwa sesungguhnya upaya mem-
peroleh dan menggunakan barang-barang mewah adalah tidak berarti
harus memaksakan diri sebagaimana pernyataan-pernyataan sebelum-
nya. Akan tetapi, hal itu dapat digapai dengan logis melalui tekhnik-
tekhnik tertentu seperti menjadi member dari setiap produk yang ada.
Hal ini berarti bahwa pada satu sisi keberadaan iklan dapat ber-
dampak positif sebagai faktor motivasi bagi mahasiswa untuk me-
miliki dan menggunakan barang-barang mahal dan bermerek. Akan
tetapi, sistem penjualan yang memberikan kesempatan kepada se-
seorang untuk menjadi member dengan iming-iming diskon hingga 30
%, menjadi arena kebangkitan perilaku konsumtif yang kian marak
dan tak terbendung lagi. Dalam artian, semakin mempermudah
langkah mahasiswa menuju perilaku konsumtif dan hedonis. Meski-
pun banyak diantara mereka yang berdalih bahwa katalog-katalog
tersebut merupakan kegiatan wirausaha yang sangat pas untuk mem-
bantu mahasiwa menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhannya
sehari-hari.
Implikasi dari maaknya promosi barang-barang mewah yang
tampak mempengaruhi benak mahasiswa dapat dijadikan sebagai
metode promosi tertentu dalam kerangka pengembangan intelektual.
Betapa tidak, jika seandainya nuansa promosi tersebut dialihkan
dalam bentuk buku-buku dan sarana pendidikan lainnya yang juga
bisa membangktkan naluri keilmuan mahasiswa, maka tentu saja
mahasiswa pun bisa mengembangkan persaingan positif dalam upaya
pemilikan bacaan-bacaan yang menarik dan mahal. Namun kenya-
taannya, menjadi quo vadis karena ternyata tidak ditemui promosi
yang sama dalam kerangka pengembangan keilmuan mahasiswa.
Sosiologi Pasar | 137
Menyoal pandangan mahasiswa tersebut di atas, maka menurut
pihak dewan pengajar seperti terungkap berikut ini bahwa:
‗T[e [^[ m[f[bhy[ doa[ dce[ g[b[mcmq[ \_l^[fcb \[bq[ e[n[fia-
katalog produk yang mereka edarkan dilingkungan kampus ter-
sebut merupakan bagian dari kegiatan wirausaha mereka, karena
mereka memperoleh keuntungan dari setiap transaksi itu. Akan
tetapi yang dikhawatirkan adalah adanya keinginan yang tak
terbendung dari mahasiswa untuk terus memiliki setiap produk-
produk menarik yang ditawarkan dalam katalog, padahal se-
benarnya barang-barang tersebut tidak terlalu dibutuhkannya
dengan kata lain masih bisa ditunda untuk dimiliki karena masih
ada barang sejenis yang dapat mereka gunakan. Keinginan yang
tak terbendung tersebutlah nantinya menyebabkan kebutuhan
pokoknya sebagai mahasiswa diabaikan, karena lebih mengikuti
keinginannya untuk mengikuti mode yang sedang berkembang.
(Ratna Supiyah, wawancara 25 Mei 2013).
Hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan katalog-katalog
produk yang beredar di lingkungan kampus, khususnya di FISIP Uni-
versitas Halu Oleo merupakan salah satu faktor yang akan me-
numbuhsuburkan perilaku konsumtif dan hedonis di kalangan maha-
siswa. Betapa tidak, tampilan visual barang-barang mewah disertai
dengan uraian kalimat-kalimat promosi yang menarik telah banyak
mengurungkan niat mahasiswa untuk membeli buku-buku penunjang
perkuliahan kemudian dengan bangganya memamerkan barang-
barang tersebut di lingkungan kampus.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fenomena fashion di
kalangan mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo tak hanya terbatas
pada keinginan untuk memiliki dan menggunakan barang-barang ber-
merek di lingkungan kampus, seperti baju, tas, sepatu dan lain se-
bagainya. Akan tetapi fenomena ini juga tampak dari gaya atau
138 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
penampilan seorang mahasiswa di lingkungan kampus yang tidak
mencerminkan penampilan seorang pelajar atau intelektual muda. Hal
ini tampak dari cara mereka menggunakan pakaian, khususnya maha-
siswi yang berkunjung ke kampus dengan pakaian yang menonjolkan
lekukan-lekukan tubuh atau menggunakan bahan-bahan kain yang
tipis dan transparan. Hal ini menjadi pemandangan yang menarik dan
sangat mudah dijumpai di lingkungan FISIP Universitas Halu Oleo.
Bahkan di kalangan mahasiswi berjilbab pun kadang kala dijumpai
menggunakan pakaian yang memperlihatkan lekukan tubuh dan
berbahan tipis. Salah seorang informan dari kalangan mahasiswa
Jurusan Sosiologi Angkatan 2010 menandaskan bahwa:
‗S[y[ nc^[e lcmcb \_lj[e[c[h m_j_lnc chc, walaupun di lingkungan
kampus karena saya sudah terbiasa sejak masih SMA dulu. Dan
sekarang setelah kuliah bisa dikatakan semakin bertambah
karena pengaruh dari teman-teman juga dan tidak ada aturan
khusus dari pihak kampus mengenai pakaian mahasiswa disini,
kalaupun ada beberapa dosen tertentu yang mengharuskan baju
berkerah untuk digunakan, ya saya pakai pada saat jam kuliah
dosen yang bersangkutan saja, lagian sekarang kan sudah ada
doa[ \[do \_le_l[b y[ha gi^cm‘ (W[q[h][l[, S[b[f 25 M_c
2013).
Selain penggunaan pakaian yang modis, berbahan tipis dan
menonjolkan lekukan tubuh, fenomena fashion di kalangan mahsiswa
FISIP Universitas Halu Oleo juga nampak jelas diamati melalui gaya
dan tatanan rambut mereka sehari-hari. Fenomena rambut rebonding,
smoothing, sossies atau bahkan cat rambut dan hair ekstention juga
kini telah marak dijumpai dikalangan mahasiswa FISIP Universitas
Halu Oleo. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tatanan rambut
yang paling banyak ditampilkan oleh mahasiswa FISIP Universitas
Halu Oleo adalah rambut yang direbonding dan dismoothing. Kedua
Sosiologi Pasar | 139
tatanan rambut ini menampilkan rambut yang lurus dan halus
sehingga sangat banyak diminati oleh mahasiswi-mahasiswi yang me-
miliki khas rambut berombak dan keriting. Bagi sebahagian maha-
siswi yang diwawancarai, rambut sebagai mahkota perempuan di-
anggap sempurna jika terlihat lurus, rapi dan halus sehingga mereka
rela mengeluarkan uang mereka hingga ratusan ribu rupiah demi
untuk menampilkan tatanan rambut dambaan mereka itu, sebagai-
mana yang disampaikan oleh salah seorang informan dari kalangan
mahasiswa Jurusan Sosiologi angkatan 2010:
‗B[ac m[y[ l[g\on g_loj[e[h b[f y[ha m[ha[n j_hncha ohnoe
dirawat bagi perempuan, karena rambut itu adalah mahkota.
Tatanan rambut sangat berpengaruh terhadap penampilan dan
kecantikan seseorang. Dengan melakukan smoothing rambut ini
saya merasa telah melakukan yang terbaik untuk penampilan
saya meskipun biayanya tidak sedikit mencapai dua ratus hingga
tiga ratus ribu, mana lagi penggunaan vitamin sehari-harinya.
Tapi itu tak berarti, biarlah biaya untuk kebutuhan lainnya yang
^ceol[hac [m[fe[h l[g\on \cm[ n_n[j l[jc‘ (W[q[h][l[, Sogc
Paranda 26 Mei 2013).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa betapa fenomena fashion telah tumbuh dan berakar dalam
keseharian mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo, hingga mereka
rela mengeluarkan uangnya sampai ratusan ribu rupiah demi untuk
menjaga penampilan. Untuk dapat tampil sempurna di lingkungan
kampus para mahasiswa membuat sebuah keputusan yang tidak ber-
dasar pada logika intelektual. Sungguh ironis mengabaikan kebutuhan
yang lainnya termasuk kebutuhan akan sarana dan prasarana pen-
didikan demi sebuah performance fisik yang menjadi dambaannya.
Bukan hanya sekedar tatanan rambut hingga ratusan ribu rupiah
bahkan untuk sebuah penampilan, lebih dari itu pun rasanya tidak
140 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
akan terasa sulit untuk diwujudkan dalam diri seorang mahasiswa
penggila fashion. Sebaliknya, untuk membeli buku-buku penunjang
perkuliahan yang hanya puluhan ribu rupiah dirasa sangatlah berat.
Fenomena penggunaan soft lens atau lensa mata dan behel gigi
hingga jutaan rupiah menjadi warna tersendiri dalam gaya fashion
mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo. Soft lens pada umumnya
digunakan oleh orang-orang yang yang memiliki kekurangan pada
indera penglihatannya sedangkan behel gigi digunakan oleh orang
yang memiliki susunan gigi yang tidak rapi. Tak ada alasan logis yang
menyebabkan para mahasiswa beramai-ramai menggunakan lensa
mata dan behel gigi tersebut hal ini semata-mata karena mereka
menafsirkan fenomena tersebut sebagai bagian dari fashion yang
harus mereka ikuti. Sehingga uang senilai jutaan rupiah yang
mungkin saja diperoleh dari kiriman orang tua yang bergulat dengan
cucuran keringat membanting tulang menjadi tak ternilai harganya.
Hal ini sebagaimana tersirat dalam wawancara dengan salah seorang
mahasiswa jurusan sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo berikut ini:
‗S_\_h[lhy[ g_g[ha nc^[e [^[ g[h`[[n f[hamoha ^[lc m[y[
pakai lensa mata ini, karena saya tidak ada gangguan pada mata.
Hanya kebetulan saat itu saya antarkan teman yang mau pasang,
setelah saya lihat, kelihatannya bagus dan unik jadi saya tertarik
juga untuk pakai kebetulan saat itu baru ada kiriman dari orang
no[‘. (W[q[h][l[ Zofbcd[y[hnc 12 Johc 2013).
Hal senada juga diuraikan oleh seorang mahasiswa berikut ini,
terkait dengan keputusannya menggunakan gigi kawat, bahwa:
‗S[y[ n_ln[lce g_haaoh[e[h acac e[q[n e[l_h[ ceon nl_h^ n_g[h-
teman saja yang sekarang banyak yang pakai, bahkan teman
jalanku yang laki-laki saja sudah pakai kalau dia pergi bersihkan
di dokter, saya biasa temani. Akhirnya saya tertarik juga untuk
gunakan. Rasanya beda saja, kalau berpenampilan baru dan lain
Sosiologi Pasar | 141
dari biasanya. Walaupun biayanya sampai jutaan mana lagi
perawatannya tapi juga sebanding dengan rasa kepuasan ter-
hadap penampilan. (Desti Felany, wawancara 23 september
2013).
Masa remaja merupakan masa peralihan, masa terjadinya per-
ubahan pada aspek psikologis dan aspek fisik. Remaja selalu men-
coba-coba sesuatu yang baru karena rasa penasaran yang terlalu
tinggi. Hal ini menimbulkan kebingungan dalam diri remaja khusus-
nya remaja putri. Di satu sisi, remaja memiliki konsep dan prinsip
tentang cantik, namun di sisi lain mereka terkadang tidak kuasa
menolak tawaran konsep cantik itu sehingga keputusan untuk meng-
ikuti mode atau trend fashion merupakan suatu hal yang tidak dapat
terbendung walaupun dalam kenyataannya kerap kali memaksakan
keadaan bahkan menimbulkan pelanggaran etika.
Kondisi yang demikian tersebut diatas nampak jelas pada se-
bagaian besar mahasiswi FISIP Universitas Halu Oleo yang memutus-
kan untuk berhijab akan tetapi disisi lain tak berdaya untuk menolak
perkembangan fashion yang menggeliat, sehingga nampaklah istilah
‗Jilbab Modis‛ dengan berbagai model dan variasi warna yang di-
kenakan sehari-hari oleh mahasiswi di lingkungan kampus.
Mahasiswi berhijab rapi dengan pakaian yang ketat, berbahan tipis
bahkan transparan dengan berbagai model yang tak etis rasanya jika
dipadupadankan dengan jilbab menjadi pemandangan yang tak sulit
untuk ditemui di lingkungan Fisip Universitas Halu Oleo. Dan satu
hal yang sangat disayangkan, dibalik hijab tersebut tersimpan pe-
langgaran etika yang amat dahsyat yakni fenomena cat rambut yang
marak dilakukan oleh mahasiswi termasuk bagi mereka yang ber-
jilbab. Akan tetapi di kalangan mahasiswi yang melakukan hal ter-
sebut dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja sebagaimana di-

142 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
ungkapkan oleh salah seorang informan dari mahasiswa Jurusan
Administrasi Angkatan 2012 berikut ini:
‗B[ac m[y[ \_ldcf\[\ \oe[h \_l[lnc ecn[ b[lom n[gjcf e[gjoha[h,
jilbab juga bisa modis, begitupun dengan rambut yang dicat,
direbonding ataupun dismoothing juga bisa dimiliki oleh cewek
yang berjilbab. Itu merupakan hal yang biasa-biasa saja menurut
saya asalkan tidak menggangu kepentingan orang lain, mengenai
pendapat orang yang biasanya kurang baik terhadap rambut dicat
dan sebagainya apalagi bagi yang berjilbab itu relatif saja sih,
karena ada suatu kondisi dimana kita yang berjilbab juga ingin
tampil dengan suasana yang berbeda, seperti jika kita berada di
luar kampus misalnya, pergi ke mall dan lainnya. (Wawancara,
Lusiana 27 Mei 2013).

Gambar 14. Sambil menjaga stand pameran di acara ekspo UHO, dua
putri cantik bergigi kawat ini berpose dengan gaya khasnya
Dari pernyataan tersebut nampak bahwa salah satu hal yang
menyebabkan maraknya pelanggaran etika berupa rambut yang dicat
dibalik hijab karena para mahasiswi yang telah memutuskan untuk
berhijab tersebut belum dapat memaknai arti hijab dalam balutan

Sosiologi Pasar | 143


jilbab yang dikenakannya, godaan model-model tatanan rambut dan
pakaian-pakaian modis masih lebih dominan menguasai jiwa para
mahasiswi dibandingkan dengan keyakinan akan perintah menutup
aurat.
Padahal sebenarnya yang dibutuhkan dan didambakan dari
seorang intelektual muda adalah semangat dan motivasi untuk men-
dalami ilmu pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya masing-
masing. Sedangkan penampilan fisik, kecantikan dan fashion adalah
merupakan faktor penunjang yang tidak mutlak harus dinomorsatukan
hingga mengabaikan hal-hal lainnya apalagi yang berkaitan dengan
tugas utamanya sebagai seorang pelajar.
Kenyataan ini sungguh ironis mengingat mahasiswa merupakan
generasi penerus bangsa dan di pundak mahasiswalah harapan semua
orang bertumpu. Mahasiswa yang terpengaruh budaya konsumtif dan
sulit melepaskan diri dari pengaruh teman-temannya yang sama-sama
berperilaku konsumerisme perlahan-lahan akan kehilangan daya pikir,
logika, nalar, dan analisisnya. Akibatnya adalah kita terancam kehi-
langan generasi penerus yang pandai, idealis, kritis, dan dapat mem-
beri solusi atas permasalahan yang timbul. Dalam lingkup yang lebih
luas negara kita terancam kehilangan pemimpin yang dapat diandal-
kan untuk memimpin bangsa yang pada akhirnya dapat menga-
kibatkan negara kita akan mudah dikuasai oleh negara lain.
2. Fenomena food di kalangan mahasiswa FISIP UHO
Selain mahasiswa tergiur dengan berbagai jenis barang mewah
sebagaimana digambarkan terdahulu, mahasiswa pun seakan tak mau
ketinggalan untuk menikmati berbagai jenis makanan baik yang
berupa siap saji maupun berupa makanan instan. Jika aneka ragam
fashion yang mahal harganya ternyata mahasiswa sudah mampu
memilikinya, maka tentu saja aneka jenis makanan yang terjangkau
harganya itu memberi peluang untuk dinikmatinya setiap saat. Semua
144 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
informan yang berhasil diwawancarai menyatakan dengan terus
terang bahwa setiap saat mereka baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama teman-temannya senantiasa mendatangi tempat-tempat yang
menyajikan makanan khas.
Dalam konteks ini, mereka mengakui bahwa tidak berarti untuk
menikmati makanan-makanan khas itu harus mendatangi sebuah
restoran yang tergolong mahal harganya. Akan tetapi, banyak tempat-
tempat tertentu yang menghidangkan makanan sederhana yang
harganya terjangkau seperti di pelataran Koni yang selain suasana
lingkungannya sejuk dan ramai, juga aneka jenis makanan di tempat
tersebut tersedia dengan harga yang pada umumnya bisa dijangkau
oleh kalangan mahasiswa yang memang kondisi sosial ekonominya
masih di bawah standar. Namun demikian, suasana seperti di
pelataran Koni yang menyiapkan jenis makanan dan minuman seperti
Bubur Ayam, Pisang Ijo, Es Telar, Roti Bakar, Bakso, Mie Ayam,
Empek-empek, Gorengan, Es Kelapa, Pisang Goreng Keju dan Air
Kelapa Mudah Murni tampak didatangi dengan ramai setiap saat
tanpa mengenal waktu pagi, siang dan sore dari berbagai kelas atau
tingkatan sosial ekonomi. Tak terkecuali dari kalangan mahasiswa itu
sendiri yang senantiasa datang bersama teman-temannya yang ber-
tujuan selain untuk mengganjal perut dikala lapar setelah mengikuti
perkuliahan, juga sekaligus dimaksudkan untuk mendiskusikan ber-
bagai permasalahan kehidupannya, baik yang berhubungan dengan
kesulitan pelajaran mata kuliah maupun yang notabene percintaan.
Beberapa hasil wawancara dari informan menyoal seputar me-
nikmati aneka jenis makanan dimaksud, tampak terlihat ke dalam tiga
tipologi. Pertama, sekolompok minoritas mahasiswa yang tergolong
ekonomi menengah ke atas lebih cenderung mendatangi tempat-
tempat karaokean yang di dalamnya selain menyiapkan aneka musik
dan lagu yang bisa dimainkan, juga terdapat aneka makan dan
Sosiologi Pasar | 145
minuman yang bisa dipesan sesuai dengan seleranya masing-masing.
Dengan demikian, bagi mahasiswa yang tergolong pelanggan karao-
kean merasa mendapatkan kepuasan secara berganda, yakni selain
sebagai momentum strategis untuk mengembangkan bakat sebagai
calon penyanyi juga dapat menikmati aneka jenis makan dan minu-
man yang mendukung asyiknya senandung lagu yang dipentaskan.
Dalam konteks ini juga ada informan yang mengakui bahwa tempat
karaokean yang tidak transparan sangat mendukung untuk mengem-
bangkan percintaan yang mendalam.
Kedua, adanya sekelompok mahasiswa yang mendatangi lang-
sung restoran makanan siap saji di KFC dalam waktu-waktu tertentu
untuk memenuhi keinginannya atau seleranya terhadap makanan siap
saji dalam bentuk kentucky. Bagi mereka yang mendatangi tempat
seperti ini adalah tidak berarti bahwa mereka tergolong kelas ekonomi
menengah ke atas, tetapi juga acapkali didatangi oleh mahasiswa dari
kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah karena selain suasana-
nya sejuk yang full AC juga harganya pun terjangkau. Boleh jadi ada
diantara mereka yang sebetulnya tidak mampu mendatangi tempat
tersebut tetapi karena faktor pertemanan dengan anak-anak dari kala-
ngan kelas ekonomi menengah ke atas, sehingga yang bersangkutan
ikut serta selalu menikmatinya. Selain itu, tempat-tempat restoran siap
saji juga sangat memungkinkan atau mendukung diskusi-diskusi
informal yang menyoal perkuliahan dan perpolitikan dalam konteks
pemilukada. Lebih dari itu di tempat restoran siap saji seperti di
Matahari misalnya, selain tersedia tempat perbelanjaan aneka jenis
barang mewah juga tersedia tempat makanan siap saji Texax dan
bahkan di tempat tersebut tersedia arena karaokean yang cukup me-
rangsang selera bagi para pelanggan. Dengan demikian, adalah tak
ubahnya atau seolah mereka sekali mendayung maka lima pulau bisa

146 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
terjangkau. Meskipun semua itu diakui oleh para informan sering kali
berlangsung ketika mereka baru saja menerima beasiswa.
Ketiga, telah diuraikan terdahulu bahwa ada beberapa tempat
tertentu yang berlokasi di bawah pohon rindang dan dalam posisi lalu
lintas yang strategis seperti di pelataran Koni tampak dominan di-
datangi oleh kalangan mahasiswa dan pelajar serta pegawai kantoran
yang datang dengan tujuan yang sama untuk menikmati sajian
makanan dan minuman yang terkesan cukup sederhana tetapi juga
cukup mengundang selera tersendiri.
Pada esensinya perilaku konsuntif pelajar dan mahasiswa serta
pegawai kantoran tampak signifikan dengan kondisi perkembangan
kota, terutama kota Kendari sebagai ibu kota provensi Sulawesi
Tenggara yang pada akhir dasawarsa ini sangat pesat mengalami
kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk perkem-
bangan di bidang seni dan budaya dan terutama perkembangan di
bidang supermarket, mega mall dan hypermart. Hal ini berarti
implikasi sosial ekonomi dan sosial budaya seakan berkembang dan
berjalan seiring dengan berbagai problematikanya. Tentu saja suasana
perkembangan perkotaan mengundang secara langsung dan tidak
langsung bagi penghuninya untuk memanfaatkan segala sesuatu yang
bisa dijangkau dan bahkan boleh jadi diupayakan semaksimal
mungkin untuk merasakannya dan menikmatinya, sehingga jika ada
informan yang menyatakan bahwa betapa cukup banyak orang ter-
masuk mahasiswa yang mulai terkesan memaksakan diri untuk ikut
serta larut dalam arus perkembangan kota. Mungkin saja pada awal-
nya mereka hanya datang untuk berjalan-jalan dan melihat keadaan di
sekitarnya, tetapi pada gilirannya mereka mulai melakukan gebrakan-
gebrakan tertentu untuk menambah biaya kiriman orang tuanya denga
segala macam alasan yang mengatasnamakan biaya-biaya tak terduga
di gelanggang perkuliahannya.
Sosiologi Pasar | 147
Fenomena seperti inilah yang sesungguhnya membedakan peri-
laku mahasiswa di masa lalu dengan potret mahasiswa masa kekinian,
sebagai akibat dari pesat dan derasnya arus modernisasi perkotaan
dengan berbagai implikasi sosial yang cenderung tergolong hipe-
rialitas. Dalam artian, kerapkali mengemuka pola pikir dan tindakan
sosial mahasiswa yang terkesan irasional sebagai elit pemuda yang
beridentitas agent of change, moral force dan student goverment.
Demikianlah fenomena pergeseran nilai yang menggeliat di
arena kampus dan di luar kampus yang cenderung dipertunjukkan
dalam sikap dan perilaku yang kurang etis sebagaimana dituturkan
oleh Tanzil sebagai salah seorang staf pengajar pada jurusan
Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo bahwa:
‗Pinl_n g[b[mcmq[ m[[n chc m[ha[n d[ob \_l\_^[ ^_ha[h g[b[-
siswa dahulu, terutama mengenai pencitraan sebagai mahasiswa.
Dulu itu, dari penampilan dan perilaku sehari-harinya seseorang
sudah dapat dikenali sebagai mahasiswa, rapi, sopan dan bijak-
sana dalam bertindak. Akan tetapi mahasiswa sekarang sudah
sangat jarang yang seperti itu, sehingga terkadang tak dapat
dibedakan dengan remaja lainnya yang bukan mahasiswa. Dulu,
tempat nongkrong mahasiswa yang paling ramai adalah perpus-
takaan, sekarang perpustakaan jadi sunyi senyap hanya maha-
siswa tertentu saja yang berkunjung, sedangkan kebanyakan
yang lainnya di swalayan, tempat-tempat hiburan, rumah makan
^[h n_gj[n e_l[g[c[h f[chhy[‘ (W[q[h][l[ 25 M_c 2013).

148 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Gambar 15. Action 3 Orang Mahasiswa FISIP UHO Di Tangga Live
Hypermarket Kendari
Pernyataan ini menandaskan behwa telah terjadi fenomena
antitesis dan realitas kontraproduktif atas keberadaan mahasiswa
sebagai moral force dan social control terhadap berbagai kebijakan
pemerintah dan implikasinya atau dampaknya terhadap kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Batapa tidak potret pen-
citraan yang demikian berbanding terbalik dengan identitas dan ideal-
isme mahasiswa sebagaimana yang pernah dipertunjukkan dan telah
menjadi catatan historicali dalam sejarah pergerakan mahasiswa di
panggung perjuangan seperti pada angkatan 66 yang berhasil
mensupport tumbangnya Orde Lama dibawa kepemimpinan Soekarno
Hatta. Demikian pula dalam sejarah pergerakan mahasiswa yang
dilakoni oleh angkatan 74 yang dikenal dengan peristiwa MALARI
(Malapetaka 15 Januari) yang begitu memusingkan Soeharto ketika
mahasiswa mendemo kehadiran Perdana Menteri Jepang.
Pada akhirnya, potret pergerakan mahasiswa yang dihadiahi
beban SKS pasca peristiwa MALARI tersebut adalah menyebabkan
Sosiologi Pasar | 149
mahasiswa terperangkap dalam orientasi dan proses pembelajaran
yang berbasis SKS sehingga mahasiswa harus terkonsentari pada
perkuliahan un sich ketimbang kaharusan mereka utuk meng-
aktualisasikan kepekaan, kepedulian dan partisipasi sosialnya ter-
hadap kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Ikhwal itulah
yang hingga kini terus berlangsung dengan berbagai implikasi sosial-
nya. Kalau pada awal masa penerapan SKS yang memaksa untuk
konsentrasi pada perkuliahan semata-mata, masih terdapat harapan
pada kelompok-kelompok diskusi informal dan lembaga-lembaga
pengkaderan ekstrakurikuler di balik tembok perguruan tinggi seperti
HMI yang mampu menggenjot dinamika intelektualnya, wawasan ke-
bangsaan dan cakrawala kegamaan yang membuat mahasiswa ber-
wawasan komprehensif. Maka, penerapan SKS pada tahun 90-an,
selain proses pembelajaran berbasis SKS mulai terinternalisasi se-
hingga mahasiswa hanya terpaku ke wilayah kampus atau ke dalam
ruang perkuliahan, juga lembaga-lembaga pengkaderan di luar
kampus pun telah mengalami degradasi. Relitas itu kian memuncak
terutama pada pasca tahun 2000-an ketika pengaruh politik praktis di
arena pilkada dan pemilukada, maka selain mahasiswa belajar dengan
pola budaya hapal-hapalan, juga aktivis kampus terperangkap ke
dalam arus pragmatisme yang tak terbendung.
Berbagai perilaku yang mencuat ke permukaan sehubungan
dengan derasnya politik praktis atau politik pragmatisme yang men-
janjikan seonggok materi sebagai pelipur lara dari kalangan politisi
dan politukus busuk. Pada gilirannya, implikasi dari perilaku prag-
matisme dan uangisme tersebut pun mulai dilakonkan di dalam upaya
mereka mencapai nilai kelulusan. Dan satu hal yang tentu saja men-
jadi masif dan marak adalah keikutsertaan menikmati dengan mudah
segala jenis makanan karena telah memperoleh semacam upah atau
suntikan dana dari kalangan petarung-petarung pemilukada. Ikhwal
150 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
inilah yang sering kali menimbulkan teka-teki membingungkan ketika
mahasiswa menampilkan busana-busana mewah serta mendatangi
restoran-restoran termahal. Yang menjadi pertanyaan mendasar ada-
lah dari mana uang itu diperoleh untuk membeli barang mewah dan
menikmaati makanan bergengsi itu? Dalam konteks ini menurut
penuturan Musdalifah Bachmid sebagai mahasiswa lulusan terbaik
tahun 2013 yang kini melanjutkan pendidika S2 UI bahwa:
Mahasiswi yang memaksakan diri memiliki semua itu meski
dengan jalan menjual diri adalah karena untuk dilihat orang
bahwa dia memiliki barang-barang mewah seperti itu, juga dari
dalam dirinya sendiri yaitu perilaku konsumtif yang tidak bisa
dibendung sehingga tidak merasa bahagia jika tidak memiliki-
nya, akhirnya dengan segala cara dilakukan agar bisa memenuhi
super egonya tersebut. (Musdalifah Bachmid, wawancara 23
September 2013).

Gambar 16. Penampilan khas sang Mahasiswa FISIP UHO di DP


Black Barry

Sosiologi Pasar | 151


Pertanyaan retoris tersebut dalam pandangan Musdalifah
tampak secara khusus ditujukan kepada kaum mahasiswi yang di-
tenggarai memiliki barang-barang mewah serta menikamti makanan-
makanan mahal adalah karena faktor upaya pemaksaan diri yang tidak
segan-segan menggadaikan harga dirinya demi pemenuhan nafsu dan
birahi konsumtif. Hal senada diungkapkan oleh Jusmawati secara
bijak dan terkesan hati-hati bahwa:
Kalau memaksakan diri secara pribadi mungkin tidak, namun
biasanya lingkungan sekitarnya yang memaksa mereka untuk
tampil seperti layaknnya orang-orang berkelas. Tapi kalau hal
tersebut lantas jadi alasan untuk perilaku agak merasa seperti
demikian mungkin tidak, tetapi saya tidak tahu juga karena itu
privasi. Yang saya lihat banyak yang jalan sama orang-orang
berduit, nah imbalan yang mereka dapatkan itulah yang diguna-
kan untuk berbelanja dan lain-lain. (Jusmawati, wawancara 23
September 2013).
Kedua penuturan informan tersebut pada satu sisi ada ke-
samaan yang menyoal faktor lingkungan sebagai penyebab utama-
nya. Namun pada sisi lain keduanya tidak secara tegas sama-sama
mengklaim atau menduga atas keberadaan beberapa mahasiswi yang
menampilkan barang-barang mewah serta mendatangi tempat-tempat
karaokean untuk bernyanyi dan sekaligus menikmati makanan dan
minuman khas. Memang diakui ketika menyimak semua pernyataan
informan seputar permasalahan penggadaian harga diri tampak ter-
bagi ke dalam dua pandangan, yakni sekelompok informan yang ter-
kesan memastikan dan sekelompok yang menduga bahwa cukup
banyak mahasiswi yang rela atau diduga menjual atau menukar harga
dirinya dengan seonggok materi.
Apabila ditinjau dari sisi konsumen, saat ini telah terjadi per-
ubahan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi produk makanan
152 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dan minuman. Terdapat semacam trend bahwa perilaku makan dan
minum bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan rasa
lapar, tetapi sudah menjadi semacam gaya hidup tersendiri dikalangan
beberapa mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo.
Sejalan dengan itu, bagi kelompok konsumen usia muda,
rumah makan menjadi tempat untuk bertemu dan bersosialisasi
dengan kenalan atau teman baru. bahkan bagi kelompok mahasiswa
tertentu, perilaku makan dan minum di rumah makan memberikan
prestise tersendiri bagi mereka. Trend tersebut sedikit banyak dipicu
pula oleh bertambahnya jumlah pusat perbelanjaan atau mall di kota
Kendari yang menyediakan fasilitas makan dan minum sehingga
memberikan alternatif yang semakin banyak bagi konsumen untuk
makan dan minum di luar rumah.
Hal tersebut pun kini dijumpai dikalangan mahasiswa FISIP
Universitas Halu Oleo yang saat ini semakin tak ketinggalan meman-
faatkan pusat perbelanjaan dan restoran yang juga semakin banyak
jumlahnya. Kegiatan untuk makan direstoran atau pusat-pusat
perbelanjaan mewah ini tak hanya dilakukan oleh mahasiswa saat
hari-hari libur kuliah, akan tetapi pada umumnya dilakukan setelah
selesaikan kuliah dengan cara berombongan. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh salah seorang informan dari kalangan mahasiswa
Jurusan Sosiologi:
‗Kalau pergi ditempat-tempat makan paling seringnya kita
sepulang dari kuliah langsung pergi rame-rame sama teman-
teman. Karena rasanya tidak seru juga kalau pergi sendirian.
Kita paling seringnya pergi di rabam karena sekalian bisa ke
Gramedia dan di timezih_ doa[.‘ (W[q[h][l[, Mcl[hnc 25 M_c
2013).

Sosiologi Pasar | 153


Gambar 17. Mahasisiwi Sosiologi tengah berbelanja buah di Super
Market Kota Kendari
Kecenderunngan mahasiswa untuk makan di restoran atau di
rumah makan dilakukan secara bersama-sama setelah selesai kuliah.
Hal tersebut menunjukkan adanya kebiasaan yang saling mem-
pengaruhi satu sama lainnya, dan kebiasaan untuk berkumpul di
tempat-tempat keramaian memang merupakan identitas remaja yang
sulit untuk dihindari. Akan tetapi jika kebiasaan ini terus menerus
dilakukan juga akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap
diri mereka kedepannya. Mall Rabam sebagai tempat yang kerap di-
kunjungi oleh para mahasiswa sebagaimana disampaikan oleh
informan tersebut diatas, karena ditempat ini mereka tak hanya
sekedar makan tetapi juga dapat melepas kepenatan dengan bermain
game di timezone dan juga sekalian dapat berkunjung ke gramedia.
Kebiasaan makan di rumah makan, restoran, ataupun mall pada
beberapa kalangan bukan hanya sekedar datang untuk menghilangkan
rasa lapar, akan tetapi telah mengalami pergeseran, dimana tempat
makan merupakan salah satu yang dapat meningkatkan citra dan
154 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
prestise seseorang dihadapan yang lainnya. Hal ini nampak dari
semakin meningkatnya kuantitas mahasiswa FISIP Universitas Halu
Oleo yang berkunjung kerumah makan baik sendiri, bersama teman-
teman maupun pacar mereka.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh informasi
mengenai nama-nama tempat makan yang kerap kali dikunjungi oleh
mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo, diantaranya adalah KFC,
Texas, restoran-restoran di mall seperti Lippo Plaza dan Brilian Plaza,
rumah makan Pronto, beberapa warung bakso seperti bakso Arini,
Bakso Solo, Bakso Padaidi serta beberapa rumah makan yang free hot
spot seperti kopi kita, Warkop H. Anto, Warkop 76 dan lain sebagai-
nya. Adapun mengenai intensitas mereka makan dirumah makan
bervariasi antara yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi pada
umumnya mereka pasti makan ditempat-tempat tersebut minimal 3-4
kali dalam sebulan terutama di awal bulan bagi para mahsiswa yang
merupakan anak pegawai negeri. Sebagaimana disampaikan oleh
informan dari kalangan mahasiswa Jurusan Sosiologi Angkatan 2009:
‗S[y[ g_g[ha m_h[ha g[e[h ^cfo[l log[b e[l_h[ g_hohy[
lebih variatif apalagi kalau tanggal-tanggal muda. Biasanya di
KFC atau diwarung-warung bakso. Pokoknya di warung yang
menunya tidak dimasak sehari-b[lc ^clog[b‘. (q[q[h][l[,
Winda Sawitri 26 Mei 2013).

Sosiologi Pasar | 155


Gambar 18. Santap sehidangan 2 orang Mahasiswi di sebuah warung
makan Wong Jowo Kota kendari
Adanya kecenderungan para mahasiswa untuk makan di luar
rumah bahkan ditempat-tempat mewah seperti swalayan dan mall
merupakan suatu gejala semakin mengakarnya budaya konsumtif dan
hedonis dikalangan mahasiswa. Hampir setiap saat kita menyaksikan
restoran mewah, warung-warung makan dan kafe disambangi oleh
mahasiswa baik pada malam hari maupun di siang hari saat seharus-
nya mereka menggunakan waktu untuk belajar.
Salah satu tempat favorit untuk dikunjungi oleh mahasiswa
adalah kafe Kopi kita salah satu cafe free hot spot terletak di komp-
leks hotel horizon Jln. Ahmad Yani Kendari. Salah satu alasan yang
menyebabkan tempat ini diminati oleh kebanyakan mahasiswa karena
letaknya yang strategis, berada di kawasan mewah yang harga-harga
menunya terjangkau oleh mahasiswa, dan juga memberikan pela-
yanan free hotspot. Akan tetapi berdasarkan wawancara dengan infor-
man yang ditemui ditempat ini pada umumnya mereka menyiratkan
alasan yang menunjukkan upaya pencitraan diri dan peningkatan

156 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
prestise, sebagaimana dikutip dari pernyataan salah seorang informan
dari kalangan mahasiswa Komunikasi:
‗S[y[ g_g[ha j[fcha m_h[ha hihaeliha ^c mchc, \c[m[hy[ e[f[o
pulang kuliah langsung kesini terkadang menjelang magrib baru
pulang. Karena tempatnya asyik, free hotspot, tempat terbuka
dan terkesan mewah juga kan kalau di kompleks hotel dan ruko-
ruko kayak gini, jadi kelihatannya bisa setaralah dengan orang-
il[ha f[ch doa[‘ (W[q[h][l[, Ro^c Mob.Agcl 20 Johc 2013).
Tampaknya, masalah makan dikalangan mahasiswa bukan
hanya sekedar menghilangkan rasa lapar akan tetapi telah jauh meng-
alami pergeseran makna. Intensitas mahasiswa berkunjung ke rumah
makan bukan lagi berdasar pada keinginan untuk menghilangkan rasa
lapar, akan tetapi lebih kepada orientasi untuk refreshing, kebutuhan
akan hotspot yang free dan berbagai pertimbangan lain yang menun-
jukkan adanya keinginan mahasiswa tersebut untuk menaikkan
prestise dan menyamakan citra dengan beberapa kalangan yang mem-
punyai kehidupan mapan secara ekonomi.
Selain dari kebiasaan makan di rumah makan atau cafe yang
free hotspot, makan dan nongkrong pada warung-warung terbuka juga
menjadi fenomena tersendiri dikalangan mahasiswa Fisip Universitas
Halu Oleo. Penjual es teler di sepanjang taman teratai kendari beach,
sepanjang jalan By Pass maupun kawasan es teler koni setiap harinya
ramai oleh kunjungan mahasiswa termasuk mahasiswa Fisip Univer-
sitas Halu Oleo. Warung makan dengan nuansa terbuka ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi mahasiswa yakni terkesan santai, sebagai-
mana yang diungkapkan oleh informan dari kalangan mahasiswa
Jurusan Sosiologi:
‗S[y[ f_\cb m_h[ha g[e[h ^cn_gj[n-tempat terbuka seperti ini,
kesannya santai dan seru apalagi kalau ramai-ramai baru siang-
siang begini sangat cocok dengan menu-menu yang disajikan
Sosiologi Pasar | 157
disini seperti es teler, es buah, es pisang ijo, kalau mau makan
berat juga ada bakso, pangsit dan lani-lainnya, kita bisa sambil
tertawa-tertawa dan cerita seru-seruan sama teman-teman biar
tinggal lama-lama juga tidak apa-[j[‘ (W[q[h][l[ Mcl[hnc 10
Juni 2013).

Gambar 19. Nonkrong di sebuah free hotspot Kota Kendari


Kesan santai dan hura-hura oriented masih dominan menjadi
alasan bagi mahasiswa untuk melakukan suatu tindakan termasuk
dalam hal memilih tempat makan. Kebersamaan dengan teman-teman,
bersosialisasi dan seru-seruan juga menjadi variabel yang tak ter-
pisahkan dari hal ini. Realitas ini semakin diperkuat oleh fenomena
makan dan minum mahasiswa melalui kegiatan bazar yang biasanya
digelar oleh organisasi tertentu, perkumpulan maupun geng atau
kelompok remaja dengan berbagai kepentingan. Bagi kelompok pe-
nyelenggara secara langsung, kegiatan bazar ini merupakan kegiatan
positif yang dimaksudkan untuk pencarian dana dalam rangka me-
nyelenggarakan kegiatan tertentu yang biasanya bertajuk bazar amal,
akan tetapi dalam tataran penyelenggaraan banyak diantara maha-

158 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
siswa yang memanfaatkan kegiatan ini menjadi ajang untuk pamer
barang-barang terbaru mereka atau pasangan dan pacar mereka ke-
pada teman yang lainnya. Sehingga tak jarang kegiatan ini menjadi
arena persaingan dikalangan geng atau kelompok-kelompok remaja
tertentu yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Sebagaimana
yang diuraikan oleh salah seorang informan dari kalangan mahasiswa
Jurusan Administrasi:
‗S_f[ch ^cn_gj[n-tempat terbuka seperti di kebi ini, saya juga
paling senang makan dikegiatan-kegiatan bazar. Rasanya lebih
seru bisa kumpul dan kenal teman-teman baru. Tetapi kalau di
bazar juga terkadang banyak teman-teman yang bersaing seperti
menunjukkan barang-barang mewahnya, atau gaya rambut
terbarunya bahkan ada yang pamer pacar barunya. Terkadang
[^[ y[ha \_ln_hae[l e[l_h[ cno‘ (W[q[h][l[ H[l^c[hc 11 doni
2013).
Kegiatan bazar yang secara umum menawarkan makanan dan
minuman merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan akti-
vitas dan fenomena fashion mahasiswa. Ajang ini justru dijadikan se-
bagai tempat untuk menunjukkan betapa budaya konsumtif dan peri-
laku hedonis yang terwujud pada aksi menunjukkan barang-barang
mewah, menampilkan style terbaru bahkan pasangan baru akan men-
jadi bumerang tersendiri bagi mereka saat kesalahpahaman bahkan
konflik menjadi tak terhindarkan.

Sosiologi Pasar | 159


Gambar 20. Makan dan minum bareng di Pelataran KONI Kota
Kendari
Kebiasaan untuk makan direstoran live musik atau tempat
karaokean juga menjadi fenomena tersendiri yang mewarnai gaya
makan mahasiswa Fisip Universitas Halu Oleo. Tak berbeda dengan
aktivitas mereka ditempat lain, kebiasaan berkaraoke juga kerap kali
dilakukan oleh mahasiswa Fisip Universitas Halu Oleo secara ber-
kelompok baik sesama teman sejurusan maupun dengan mahasiswa
dari jurusan atau bahkan Universitas lainnya. Akan tetapi kegiatan ini
pada umumnya dilakukan pada malam hari bahkan ada yang melaku-
kan hingga larut malam dan dini hari. Aktivitas ini tak hanya di-
lakukan oleh mahasiswa akan tetapi mahasiswi juga sangat akrab
dengan aktivitas ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh informasi
megenai berbagai alasan yang menyebabkan mereka sangat akrab
dengan aktivitas tak pantas seperti ini diantaranya adalah bosan
dengan rutinitas sehari-hari, stres, diajak teman atau pun pacar. Hal
ini sebagaimana yang dipaparkan oleh informan dikalangan maha-
siswa Komunikasi:

160 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
‗S[y[ \c[m[hy[ j_lac e[l[ie_[h e[f[o f[ac mnl_m [n[o [^[ g[m[-
lah dengan sesorang atau dengan kuliahku. Tempat karaoke itu-
lah yang paling tepat untuk mencari hiburan, bisa berjoged
sesuka hati atau berteriak sepuasnya. Paling seringnya pergi
sama teman-teman sejurusan ku kalau malam minggu tapi ter-
kadang juga pergi sama pacar kalau dia baru gadc[h‘.
(Wawancara, Fadly 12 Juni 2013).

Gambar 21. Santap sehidangan Penulis bersama Mahasiswa pada sore


hari di Kendari Beach Kota Kendari
Hal senada diungkapkan oleh salah seorang mahasiswa berikut
ini
‗S[y[ moe[ j_lac e[l[ie_[h e[l_h[ chach g_g\o[ha l[m[ \im[h
dengan aktivitas sehari-hari yang monoton, hanya kekampus dan
di kamar saja. Supaya hidup lebih berwarnalah, jangan begini-
begini terus. Tapi kalau pergi juga tidak terlalu larut malam,
paling lambat jam sebelas sudah pulang yang penting pikiran
mo^[b m_a[l e_g\[fc‘ (W[q[h][l[, [l^by 13 Johc 2013).

Sosiologi Pasar | 161


Kedua informan tersebut menandaskan bahwa kegiatan ber-
karaoke merupakan salah satu aktivitas yang dianggap mujarab bagi
mahasiswa Fisip Universitas Halu Oleo untuk menghilangkan ke-
penatan dan rasa bosan dengan aktivitas sehari-hari yang hanya ber-
ada pada kawasan kampus dan kamar kost. Hal ini juga memberikan
bukti bahwa ciri khas dan identitas seorang mahasiswa saat ini telah
mengalami pergeseran, dimana potret mahasiswa yang kreatif, inova-
tif, produktif dan kritis sangat jarang lain ditemui. Seandainya nilai-
nilai ini masih terpatri di dalam jiwa seorang mahasiwa maka
aktivitas sehari-harinya tidak hanya akan berada pada tataran kampus
dan kamar saja hingga bosan, namun akan jauh lebih berwarna jika
dapat mensinergikan nilai-nilai tersebut menjadi sebuah aktivitas
positif.
Fenomena karaokean dikalangan mahasiswa yang semakin tak
terbendung kian diperparah dengan penyalahgunaan beasiswa oleh
beberapa kalangan mahasiswa yang tercatat sebagai mahasiswa pe-
nerima beasiswa kurang mampu. Aktivitas berkaraoke merupakan
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa setelah mereka
menerima beasiswanya. Tentu saja hal ini merupakan peristiwa yang
sangat ironis tatkala beasiswa yang sengaja diberikan oleh peme-
rintah, pihak swasta maupun pihak kampus tidak digunakan dengan
bijaksana oleh mahasiswa penerimanya. Hal ini sebagaimana disam-
paikan oleh Laxmi sebagai salah seorang staf pengajar pada jurusan
Antropologi Fisip Universitas Halu Oleo bahwa:
‗S[ha[n g_hy_^cbe[h n[ne[f[ ecn[ g_hy[emce[h g[b[mcmq[ \_l-
bondong-bondong ke tempat karaokean, dan ke mall setelah
menerima beasiswa. Beasiswa yang idealnya dimaksudkan untuk
membantu kelancaran studinya ternyata digunakan untuk hal-hal
yang tidak sepantasnya. Dana yang seharusnya dibayarkan SPP,
digunakan beli buku atau penunjang kelancaran pendidikan lain-
162 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
nya, justru dialokasikan untuk kepentingan hura-hura. Saya
berharap kedepannya pemberian beasiswa dilengkapi dengan
evaluasi yang ketat oleh pihak yang terkait sehingga dana ini
e_go^c[h ^[j[n ^caoh[e[h m_mo[c j_lohnoe[hhy[‘ (W[q[h][l[,
13 Juni 2013).
Seakan kontras dengan pernyataan informan tersebut diatas,
beberapa mahasiswa yang diidentifikasi pernah mengalokasikan bea-
siswa mereka untuk kegiatan karaokean dan hura-hura berdalih bahwa
tindakan tersebut merupakan hal yang wajar-wajar saja karena tidak
terus-terusan dilakukan. Akan tetapi bagaimanapun juga potret maha-
siswa masa kini yang identik dengan kegiatan hura-hura, budaya
konsumtif dan perilaku hedonis yang mendewakan kesenangan men-
jadi suatu fenomena yang harus mendapatkan perhatian serius dari
berbagai pihak terkait sehingga citra dan identitas diri mahasiswa
yang ideal dapat ditemui kembali pada diri mahasiswa masa kini.
3. Fenomena funny di kalangan mahasiswa FISIP UHO
Menurut Tamburaka (1997) mahasiswa adalah unsur yang di-
bimbing dalam proses belajar mengajar. Mahasiswa merupakan
bagian dari masyarakat ilmiah yang didalamnya terdapat per-
kumpulan dari berbagai macam latar belakang sosial budaya dari
masing-masing individu berbeda-beda, akan tetapi perbedaan tersebut
bukanlah merupakan sesuatu yang harus memisahkan dari masing-
masing bagian tersebut, karena dalam kampus mahasiswa berada pada
suatu badan atau lembaga pendidikan yang dapat mempersatukan hal
tersebut.
Apabila kita merujuk pada pendapat tersebut diatas, maka rupa-
nya hanya beberapa orang sajalah dilingkungan kampus yang dapat
dikategorikan sebagai mahasiswa. Betapa tidak, unsur-unsur maha-
siswa sebagaima yang disampaikan tersebut diatas rasanya tidaklah
mudah ditemui pada diri sebagian besar dari mahasiswa saat ini.
Sosiologi Pasar | 163
Unsur mahasiswa sebagai masyarakat ilmiah yang terdiri dari
berbagai latar belakang sosial yang berbeda-beda namun tetap satu
dalam naungan lembaga pendidikan, merupakan salah satu unsur
yang mulai pudar dalam konsep mahasiswa.
Representase mahasiswa sebagai kalangan ilmiah yang diciri-
kan dengan semangat dan motivasi yang tinggi untuk memperdalam
ilmu pengetahuan, berkata dan bertindak bijaksana, bertindak kritis,
berpenampilan rapi dan sopan serta berbagai ciri khas lainnya rupa-
nya kini telah terkontaminasi dalam sikap yang gemar menonjolkan
perbedaan, kampus disulap menjadi arena pamer barang-barang ber-
harga, perbedaan pendapat dan debat kusir yang tak beretika serta
berbagai tindakan lainnya yang tidak menggambarkan kehidupan
masyarakat ilmiah kini lebih dominan ditonjolkan dalam interaksi
sehari-hari.
Fenomena funny atau proses-proses akademik yang seharusnya
dijalani mahasiswa dengan serius dan penuh tanggung jawab akan
tetapi pada kenyataannya justru dilalui dengan tindakan yang melucu,
tidak rasional dan tak bijaksana. Hal ini tergambar jelas dalam
berbagai tahap kegiatan akademik yang dilakukan mahasiswa Fisip
Universitas Halu Oleo khususnya yang berkaitan dengan konsep
Tridharma perguruan tinggi yang wajib dilalui oleh setiap mahasiswa
untuk menyandang gelar Sarjana. Berbagai aksi lucu-lucuan, tak
serius dan serba bermain-main serta menggampangkan semua proses
nampak dengan sangat jelas dalam tahap pengajaran, pengabdian
maupun dalam penelitian. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Peribadi sebagai salah seorang staf pengajar pada jurusan sosiologi
Fisip Universitas Halu Oleo bahwa:
‗G[y[ bc^oj y[ha ^cn[gjcfe[h g[b[mcmq[ m[[n chc m[ha[n d[ob
dari dunia seorang masyarakat ilmiah, mereka tak ubahnya
seorang pelajar SMP atau SMA yang masih labil tak dapat
164 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
bersikap dan bertindak rasional, sangat jauh dari pengamalan
Tridharma peguruan tinggi, setiap proses akademik dilalui
dengan hambar, saat perkuliahan mereka bermain-main, KKP di-
laksanakan sebagai kewajiban saja tanpa ada penghayatan akan
konsep pengabdian yang sedang dilakukan dan begitupun
^_ha[h j_h_fcnc[h y[ha j_hob ^_ha[h l_e[y[m[‘ (W[q[h][l[,
13 Juni 2013).
Dari pernyataan yang disampaikan oleh informan tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa potret mahasiswa saat ini kurang meng-
hayati proses-proses akademik yang dilakukannya, setiap proses
hanya dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus digugurkan.
Konsep perguruan yang seharusnya terpatri dalam diri mahasiswa tak
lagi menjadi hal yang harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh
untuk menjadi sarjana yang berkualitas. Semua aktivitas dijalani
dengan santai dan berharap waktulah yang akan membawanya untuk
meraih gelar sarjana.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh informasi
bahwa dalam implementasi konsep Tridharma Perguruan Tinggi me-
lalui kegiatan pengajaran dikampus khususnya melalui proses
perkuliahan sangat banyak tahap-tahap yang dipraktekkan tidak
sesuai dengan prosedur dan hal yang seharusnya dilakukan oleh
mahasiswa. Betapa tidak, tingkat kehadiran mahasiswa yang tidak
mengcukupi hingga 80 % dalam perkuliahan masih saja menjadi
masalah klasik yang mewarnai setiap semester berjalannya perkuliah-
an. Ada beberapa motif yang biasanya menjadi penyebab mahasiswa
tidak menghadiri perkuliahan sesuai dengan standar absensi yang
telah ditetapkan yakni rasa malas, menghadiri hajatan dikampung
halaman, mengikuti kegiatan organisasi di luar kampus, melakukan
pekerjaan sampingan dan lain sebaginya. Hal ini sebagaimana di-

Sosiologi Pasar | 165


sampaikan oleh salah seorang informan dari kalangan mahasiswa
Jurusan Sosiologi:
‗K[f[o \_l\c][l[ e_b[^cl[h g_haceonc j_leofc[b[h, m[y[ cno
sangat jarang ada mata kuliah yang saya hadiri sampai delapan
puluh persen, saya sering tidak hadiri perkuliahan karena saya
sakit-sakitan kadang-kadang juga malas apalagi kalau siang-
siang baru dosennya tidak bagus menjelaskan selain itu saya
juga sering pulang kampung kalau ada acara-[][l[ ^c e[gjoha‘
(Wawancara, Juhardin,S 13 Juni 2013).
Hal senada juga disapaikan oleh seorang informan dari jurusan
Ilmu Komunikasi negara berikut ini:
‗K_b[^cl[h m[y[ g_haceonc j_leofc[b[h d[l[ha-jarang mencapai
delapan puluh persen, apalagi hingga sembilan puluh atau
seratus persen. Biasanya saya tidak hadir empat sampai lima kali
pertemuan dalam beberapa mata kuliah karena saya banyak aktif
di kegiatan-kegiatan organisasi di luar kampus dan ada juga
pekerjaan sampingan yang saya lakukan untuk membantu orang
tua membiayai kuliah tapi syukur masih bisa juga diikutkan
odc[h ^[h \cm[ fofom g[n[ eofc[b cno‘ (W[q[h][l[, J[g_m. R 15
Juni 2013).
Dari pernyataan kedua informan tersebut diatas, dapat di-
ketahui bahwa betapa proses-proses akademik yang dilakukan oleh
mahasiswa tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Dapat
dibayangkan jika mahasiswa tidak mengikuti perkuliahan hingga lima
kali pertemuan maka sungguh banyak materi perkuliahan yang tidak
diperolehnya. Hak yang seharusnya di dapatkan untuk menerima
semua materi perkuliahan ditinggalkan dengan sengaja. Hal ini juga
diperparah dengan penegakan aturan-aturan akademik yang yang
tidak tegas oleh civitas akademika yang bersangkutan seperti dosen
pengasuh mata kuliah. Berdasarkan aturan akademik, mahasiswa
166 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
yang tingkat kehadirannya tidak mencapai hingga 80 % dalam satu
mata kuliah maka tidak diperkenankan untuk mengikuti evaluasi atau
ujian, sehingga secara otomatis tidak dapat diluluskan pada mata
kuliah yang bersangkutan. Akan tetapi pada kenyataannya peraturan
ini dengan serta merta tidak ditegakkan sehingga dapat ditemui
mahasiswa yang tetap lulus mata kuliah tertentu walaupun beberapa
kompetensi pokok dalam mata kuliah tersebut tidak dipahaminya.
Jika demikian maka sangat besar kemungkinan kampus sebagai
pedepokan untuk melahirkan sarjana-sarjana berkualitas dengan daya
saing global hanya mampu mencetak alumni yang apa adanya.
Hal lain dari proses perkuliahan yang realitanya dilalui maha-
siswa dengan serba lucu-lucuan dan tak serius adalah saat
mengerjakan tugas-tugas kuliah. Copy paste tugas merupakan salah
satu trend tersendiri dikalangan mahasiswa yang apatis dan tak mau
pusing. Copy paste dilakukan baik terhadap tugas teman-teman yang
telah terlebih dahulu selesai maupun copy paste melalui internet,
sebagaimana yang disampaikan oleh seorang mahasiswa dari
kalangan mahasiswa Jurusan Administrasi Negara:
‗S[y[ cno j[fcha tidak mau pusing dengan tugas dan paling
sering copy paste tugasnya teman, apalagi ada teman jalanku
yang paling rajin kerjakan tugas. Tapi kalau kebetulan ada hala-
ngan sehingga saya tidak sempat lagi contek tugasnya terpaksa
saya cari sendiri di warnet, tidak pake edit-edit langsung print
saja dan buat covernya, karena percuma juga kita capek-capek
kerja kadang-kadang tidak diperiksa sama dosen, hanya dilihat
saja nama-h[g[ y[ha m_nil‘ (W[q[h][l[, Aem[l 15 Johc 2013).
Dari pemaparan informan tersebut di atas, nampak bahwa copy
paste tugas merupakan salah satu tindakan yang telah membudaya
dikalangan mahasiswa yang apatis dan tidak serius dalam menjalani
perannya sebagai pencari ilmu. Berbagai alasan kemudian disampai-
Sosiologi Pasar | 167
kan dengan sangat bijaksana mulai dengan malas, tidak mengerti
hingga alasan yang sangat menakjubkan yakni karena sang dosen
dianggap tidak memeriksa dengan detail tugas-tugas yang diberikan
kepada mahasiswanya. Sang dosen hanya melihat nama-nama yang
menyetor tugas melalui sampul luar tugas atau menugaskan kepada
mahasiswa tertentu untuk memeriksakannya. Tindakan ini menjadi
salah satu penyebab mahasiswa enggan untuk mengerjakan tugas
dengan sungguh-sungguh karena mereka beranggapan bahwa yang
megerjakan tugas dengan baik dengan yang copy paste akan mem-
peroleh nilai yang relatif sama. Sehingga hal ini seharusnya pula
menjadi bahan pertimbangan oleh para dosen dan civitas akademika
dalam rangka menumbuhkan semangat mahasiswa dalam mengerja-
kan tugas-tugas kuliah.
Akan tetapi berbagai alasan tersebut diatas, tidak dapat di-
terima secara rasional dan membenarkan bagi mahasiswa untuk tidak
mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan baik. Copy paste sebagai
tindakan yang tidak ilmiah harus dijauhkan dari kebiasaan-kebiasaan
mahasiswa sejak dini. Karena hal ini akan menimbulkan dampak
negatif yang berkepanjangan yakni lahirnya generasi-generasi yang
tidak kreatif, bermasa bodoh dan tidak serius dalam melaksanakan
kewajibannya.
Hal lain yang terintegrasi dari tindakan mahasiswa yang me-
nyulap kegiatan-kegiatan akademik menjadi suatu hal yang lucu-
lucuan dan tidak serius adalah saat diadakan evaluasi terhadap
pembelajaran baik pada mid test maupun pada final test. Sungguh
banyak insiden-insiden yang melengkapi setiap prosesi ujian di
kampus mulai dari aksi klasik dengan menyontek kepada sesama
mahasiswa, open book secara sembunyi-sembunyi, menyediakan
catatan-catatan kecil di saku atau laci meja hingga aksi-aksi modern
seperti saling kirim jawaban melalui sms dan membuka internet
168 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
melalui handphone. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
ini kemudian dimanfaatkan oleh mahasiswa dengan cara yang tidak
benar dan bukan pada tempatnya. Ada beberapa motif yang melandasi
munculnya insiden-insiden yang tak diinginkan tersebut, diantaranya
sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang informan dari
kalangan Ekstensi Sosiologi:
‗Bc[m[ y[ha g_hy_\[\e[h ecn[ g_hyihn_e e[f[o odc[h cno e[l_h[
kurangnya persiapan, kadang juga karena kita bingung dengan
bahannya yang mana akan diujiankan karena ada juga dosen
hanya menjelaskan saja garis-garis besarnya tidak memberikan
materinya dengan lengkap. Dan faktor yang paling dominan ya
karena malas belajar banyak celahnya untuk kita bekerjasama,
buka buku atau buka internet karena pengawasannya tidak ter-
lalu ketat juga, jadi bisalah kita menjawab tanpa harus setegah
g[nc \_f[d[l‘ (q[q[h][l[, Rc^bi 20 Juni 2013).
Berdasarkan pernyataan informan tersebut diatas, dapat
diketahui bahwa ditemukannya mahasiswa di Fisip Universitas Halu
Oleo yang bekerjasama saat ujian, membuka buku dan mengakses
internet untuk mencari jawaban dari soal-soal yang sedang dikerja-
kannya merupakan bagian terintegral dari proses-proses sebelumnya
yang dijalani denga n tidak serius dan penuh dengan lucu-lucuan
belaka. Kurangnya persiapan mahasiswa menjelang ujian disebabkan
karena mereka beranggapan dalam pelaksanaan ujian banyak celah
yang dapat digunakan untuk memperoleh jawaban baik dari teman
maupun melalui jaringan internet. Pandangan mahasiswa ini didasari
oleh pengalaman pada penyelenggaraan ujian sebelumnya yang di-
lakukan tanpa pengawasan yang ketat oleh dosen mata kuliah bahkan
terkadang pelaksanaan ujian diserahkan kepada staf jurusan atau
kepada mahasiswa yang dipercayakannya. Sehingga hal ini harus
menjadi pertimbangan dalam rangka penyelenggaraan ujian yang
Sosiologi Pasar | 169
benar-benar releliabel sebagai instrument untuk mengukur kemam-
puan mahasiswa dalam menerima materi perkuliahan.
Dari serangkaian prosesi perkuliahan yang dijalani mahasiswa
dengan tanpa makna dan serba bermain-main akan terus berlanjut
pada saat pengumuman nilai diakhir semester. Rupanya masih ada
beberapa kalangan mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo yang
menuntut nilai relatif lebih tinggi dari apa yang telah dikerjakannya
selama satu semester, hal ini diuraikan oleh Yusuf salah seorang staf
pengajar pada jurusan Ilmu Administrasi Negara berikut ini:
‗A^[ doa[ \_\_l[j[ e[f[ha[h g[b[mcmq[ n_ln_hno y[ha nc^[e
mengerti dan seenaknya saja datang menuntut nilai seakan
melupakan bahwa hanya beberapa kali pertemuan saja dirinya
mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas asal-asalan atau copy
paste, demikian juga saat ujian hanya menjawab beberapa saja,
itupun menyontek pekerjaan temannya. Jadi kalau demikian ada-
nya seharusnya ya tau diri saja kalau nilai yang diberikan juga
apa adanya sesuiai dengan usahanya selama ini, tidak usah
menuntut yang berlebihan sampai mengemis-ngemis kepada
dosennya. Tapi itulah realita mahasiswa kita sekarang ingin
m_f[fo g_gj_lif_b b[f y[ha f_\cb ^[lc d_lcb j[y[bhy[‘
(wawancara Juni 2013).
Penjelasan informan tersebut diatas, mengisyaratkan bawa
potret sebagian besar mahasiswa FISIP Universitas Halu Oleo saat ini
masih jauh dari gambaran mahasiswa ideal yang diinginkan. Ke-
inginan untuk memperoleh sesuatu yang maksimal dengan usaha
minimal rupanya telah menjadi hal yang membudaya dikalangan
mahasiswa. Hal ini nampak dari banyaknya mahasiswa yang kerap
kali melakukan protes terhadap nilai-nilai mata kuliah yang diperoleh-
nya diakhir semester tanpa mereka menyadari usahanya yang minimal

170 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
selama semester berjalan, termasuk banyaknya prosesi-prosesi dalam
perkuliahan yang di jalani tanpa melalui prosedur yang benar.
Seakan merupakan rangkaian dari kegiatan tridharma per-
guruan tinggi yang pertama yaitu pengajaran, kewajiban mahasiswa
lainnya melalui kegiatan pengabdian juga dilakoni dengan apa ada-
nya. Implementasi tridaharma perguruan tinggi yang kedua yaitu
pengabdian dapat dilihat dari kegiatan Kuliah Kerja Profesi atau
dikenal dengan istilah KKP yang diselenggarakan oleh universitas
melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) Universitas Haluoleo yang wajib diikuti oleh seluruh
mahasiswa sebelum menyandang gelar sarjana. Khususnya maha-
siswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta beberapa
mahasiswa dari fakultas lainnya pada penyelenggaraan KKP biasanya
ditempatkan di Kantor-kantor Desa dan beberapa instansi pemerintah
lainnya yang dilangsungkan selama 45 hari kerja. Penempatan ini
pada umumnya dilakukan di dalam kota Kendari, yang relatif ter-
jangkau dari tempat tinggal mahasiswa, akan tetapi walaupun
demikian masih banyak juga diantara mahasiswa yang tidak serius
dalam melakukan KKP ini.
Ketidakseriusan mahasiswa dalam melaksanakan tugas peng-
abdian yang diwujudkan dalam bentuk KKP baik di pedesaan maupun
di instansi pemerintahan dapat dilihat dari tindakan beberapa maha-
siswa Fisip Universitas Halu Oleo yang kerap tidak hadir di lokasi
KKP. Ketidakhadiran ini disebabkan oleh berbagai alasan diantaranya
adalah mengkuti perkuliahan di kampus, ada kegiatan organisasi
kampus hingga dengan alasan tak rasional yakni bosan di lokasi KKP
karena tidak ada kegiatan dan tidak ingin membuat program kerja
yang bagaimana karena lokasi penempatan tidak sesuai dengan
disiplin keilmuannya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah
seorang informan dari kalangan mahasiswa Sosiologi berikut ini:
Sosiologi Pasar | 171
‗Kcn[ \c[m[hy[ g[f[m-malas datang ke lokasi karena tidak ada
pekerjaan yang pasti kita lakukan, santai sekali. Kalau pun ada
yang dikerja paling mengecat pagar kantor, membersihkan
halaman dan sejenisnya itu. Jadi terkadang kita lebih memilih
untuk masuk kampus. Ada juga katanya teman-teman yang di-
tempatkan di instansi-instansi di suruh-suruh sembaragan oleh
pegawai negeri disana yang tidak berkaitan dengan bidang pe-
e_ld[[h y[ha h[hnchy[ [e[h ecn[ b[^[jc m_n_f[b m_f_m[c eofc[b‘
(wawancara, Awar 20 Juni 2013).
Hasil wawancara tersebut menggambarkan betapa potret maha-
siswa saat ini tidak memiliki keseriusan dalam menjalankan tahap
demi tahap yang harus dilalui sebelum menyandang gelar sarjana.
KKP sebagai wujud nyata dari Tridharma perguruan tinggi yang
seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh mahasiswa dalam realita-
nya tetap dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Bahkan
dikalangan mahasiswa yang tidak kreatif, lokasi KKP dianggap
sebagai dunia baru, tempat mereka kebingungan dan tak dapat me-
rumuskan program kerja. Tak pelak lagi dikalangan mahasiswa yang
ditempatkan pada bagian instansi pemerintah menganggap apa yang
dikerjakannya merupakan uapaya untuk meringankan sebagian beban
kerja pegawai negeri sipil yang ada di instansi tersebut. Jika demikian
adanya urgensi pengabdian kepada masyarakat belum sepenuhnya
dijalankan oleh mahasiswa melalui kegiatan KKP.
Akan tetapi gejala-gejala tersebut pada hakikatnya juga tidak
dapat dilepaskan dari peran Universitas Haluoleo melalui LPPM
sebagai penyelenggara dalam melakukan pemetaan penempatan
peserta KKP sesuai dengan disipli keilmuannya. Sehingga para maha-
siswa dapat dengan nyaman melakukan pengabdian terhadap masya-
rakat, walaupun hanya beberapa hari saja. Terlepas dari semua itu,
jika tugas pengabdian ini dijalani dengan serius dan penuh tanggung
172 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
jawab maka pasti akan ada pelajaran dan pengalaman berharga yang
diperoleh mahasiswa yang tidak ditemukannya selama di bangku
perkuliahan.
Selain potret kurang seriusnya mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan sehari-hari dan menjalankan pengabdian kepada masya-
rakat melalui program KKP, kegiatan penelitian melalui penyusunan
skripsi yang tak kalah penting dan sangat menentukan kelulusan
mahasiswa juga dijalani dengan serba lucu-lucuan dan apa adanya.
Hal ini terbukti dari judul-judul proposal yang diajukan mahasiswa
yang menunjukkan tidak adanya hal baru yang akan mereka teliti. Hal
ini diungkapkan oleh Syaifuddin .S.Kasim salah seorang staf pengajar
sekaligus sebagai penasehat akademik mahasiswa, berikut ini:
‗S_e[l[ha \[hy[e m_e[fc g[b[mcmq[ y[ha nc^[e m_lcom ^[f[g
menyelesaikan skripsinya, tidak kreatif dan jeli melihat feno-
mena-fenomena sosial politik di sekitarnya. Beberapa judul
skripsi kemudian diajukan berulang-ulang kali hanya ganti loka-
sinya saja. Banyak diantara mahasiswa yang tidak berani untuk
mencoba mengkaji fenomena baru yang belum pernah di teliti
oleh senior-seniornya karena malas mencari referensinya pada-
hal keberanian itulah sebenarnya yang kita inginkan untuk
melahirkan sarjana-m[ld[h[ y[ha el_[nc` ^[h chip[nc`‘ (W[q[h-
cara, 20 Juni 2013).
Selain tindakan memiriskan tersebut diatas, hal lain yang juga
sangat disayangkan dari tindak ketidakseriusan mahasiswa dalam
menjalani kuliahnya khususnya yang berkaitan dengan penyusunan
skripsi atau tugas akhirnya adalah adanya beberapa kalangan maha-
siswa Fisip Universitas Halu Oleo yang menggunakan jasa pembuatan
skripsi. Hal ini dilakukan karena ketidaktahuan mahasiswa tersebut
dengan cara-cara penyusunan skripsi, tentunya hal ini merupakan
implikasi logis dari ketidakseriusan mereka dalam mengikuti per-
Sosiologi Pasar | 173
kuliahan khususnya mata kuliah yang berkaitan dengan metode
penelitian.
Ketidakmampuan mahasiswa menyusun skripsinya sendiri dan
semakin banyaknya jumlah mahasiswa yang menggunakan jasa pem-
buatan skripsi merupakan bukti bahwa mahasiswa kini lebih cen-
derung kepada hal-hal yang instant. Menghindar dari upaya peng-
kajian referensi, tak ingin direpotkan dengan melakukan pengamatan
di lokasi penelitian, tak sanggup merangkai kata dari peristiwa-
peristiwa yang diamatinya dan tidak mengerti dengan metode pene-
litian sosial merupakan hal mendasar bagi mahasiswa untuk me-
lakukan tindakan ini. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
beberapa informan yang tidak mau disebutkan identitasnya mengakui
hal yang sama sebagai berikut:
‗Jodol m[d[ melcjmceo chc m[y[ ^c\o[nean sama teman, saya malas
buat sendiri, saya malas repot saya tidak mengerti juga cara
menyusunnya. Jadi terpaksa minta orang tua kirimkan lagi biaya
n[g\[b[h ohnoe \[y[lhy[ melcjmc chc‘ (q[q[h][l[ 21 Johc 2013).
Pemaparan informan tersebut diatas memberikan gambaran be-
tapa mahasiswa dengan sangat gamblang mengakui ketidakmampuan-
nya melakukan kajian ilmiah yang merupakan prasyarat baginya
dalam untuk meraih gelar sarjana. Betapa tidak, mata kuliah metode
penelitian sosial, metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif dan
beberapa mata kuliah penting lainnya dijalani dengan tidak serius
dalam proses perkuliahan. Hal ini kemudian menjadi beban bagi
orang tua untuk memberikan biaya tambahan pembayaran jasa pem-
buatan skripsi yang seharusnya tidak perlu dialokasikan untuk hal itu.
Sehingga dari penambahan biaya tersebut semakin memperkuat
persepsi orang tua khususnya yang berada jauh di kampung halaman
bahwa biaya pendidikan semakin mahal, sehingga akan berpengaruh
terhadap keputusannya untuk menyekolahkan anak-anak yang lain-
174 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
nya. Kondisi ini dipertegas oleh Sirajuddin salah seorang staf peng-
ajar pada Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Halu Oleo bahwa:
‗Tindakan mahasiswa yang menggunakan jasa pembuatan
skripsi sangat merugikan banyak pihak terutama dirinya sendiri
dan keluarganya. Saat ujian akan sangat kelihatan bagi mereka
yang tidak menyusun sendiri skripsinya, tidak memahami
konsepsi dan arah tulisannya sehingga banyak yang terpaksa
mengakui kalau skripsinya dibuatkan oleh orang lain, ini kan
berarti mempermalukan diri sendiri. Kerugiannya yang lainnya
yaitu bagi orang tua yang harus mengeluarkan biaya hingga
jutaan rupiah untuk pembiayaan skripsi ini yang seharusnya
tidak lagi ada beban seperti itu, ini akan memberikan pengaruh
terhadap motivasi orang tua dalam menyekolahkan anak-anak-
nya kelak, begitupun dengan kerugian yang ditimbulkan ter-
hadap kampus, akan menimbulkan pencitraan yang tidak baik
terhadap lembaga pendidikan jika mahasiswanya harus di-
sarjanakan oleh orang lain melalui pembuatan skripsi ini. jadi
m_\cm[ gohaech b[f chc b[lom ecn[ gchcg[fcmcl‘ (W[q[h][l[, 25
Juni 2013).
Tindakan memalukan yang dilakukan oleh mahasiswa dengan
cara meminta orang lain untuk menyusunkan skripsi tersebut seakan
dipermudah dengan ketidakpusingan dosen pembimbing skripsi
dalam mengarahkan mahasiswa menyusun skripsinya. Pada umumnya
lembar persetujuan pembimbing pada skripsi mahasiswa ditanda-
tangani oleh dosen pembimbing setelah sang mahasiswa melakukan
konsultasi yang kedua kalinya, bahkan ada diantara mereka yang
langsung diatandatangani oleh pembimbing tanpa melakukan korek-
sian. Dengan begitu maka mahasiswa tidak merasa kesulitan dalam
untuk menjelaskan kepada dosen pembimbingnya mengenai isi dari
skripsinya dan sangat jarang dosen pembimbing dapat mengetahui
Sosiologi Pasar | 175
apakah skripsi yang diajukan oleh mahasiswanya tersebut adalah hasil
karyanya sendiri ataukah dibuatkan oleh orang lain. Oleh karena itu
untuk melahirkan sarjana-sarjana yang berkualitas dan berdaya saing
global dibutuhkan bimbingan dari semua pihak yang terkait terutama
orang tua dan seluruh civitas akademika.
4. Simpulan
Pertama, fenomena fashion mahasiswa Fisip Universitas Halu
Oleo cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan lebih banyak
membuang waktu kepada aktivitas yang tidak berorientasi intelektual.
Pada umumnya, mereka terperangkap dengan kesenangan masyarakat
perkotaan yang lebih banyak bermain dan berfoya-foya sembari
membeli barang mahal yang digandrunginya. Potret ini merupakan
wujud nyata dari perilaku konsumtif dan hedonis masyarakat kontem-
porer yang secara terpaksa menggerogoti idealisme mahasiswa.
Kedua, fenomena food menunjukkan perilaku mahasiswa untuk
makan di restoran atau di rumah makan dilakukan secara bersama-
sama setelah selesai kuliah. Hal tersebut menunjukkan adanya ke-
biasaan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, dan kebiasaan
untuk berkumpul di tempat-tempat keramaian memang merupakan
identitas remaja yang sulit untuk dihindari. Akan tetapi jika kebiasaan
ini terus menerus dilakukan juga akan memberikan dampak yang
kurang baik terhadap masa depannya.
Ketiga, fenomena funny dalam bentuk copy paste tugas meru-
pakan salah satu tindakan yang telah membudaya dikalangan maha-
siswa yang apatis dan tidak serius dalam menjalani perannya sebagai
pencari ilmu. Berbagai alasan kemudian disampaikan dengan diplo-
matis mulai dari rasa malas, tidak mengerti hingga sang dosen
dianggap tidak memeriksa dengan detail tugas-tugas yang diberikan
kepada mahasiswanya. Tindakan ini menjadi salah satu penyebab
mahasiswa enggan untuk mengerjakan tugas dengan sungguh-
176 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
sungguh, karena mereka beranggapan bahwa yang megerjakan tugas
dengan baik dengan yang copy paste akan memperoleh nilai yang
relatif sama.
Kepada seluruh mahasiswa dan khususnya mahasiswa FISIP
UHO agar konsisten melakukan tugas-tugas akademik dan kewajiban
lainnya sebagai orang terpelajar. Kepada para orang tua, civitas
akademika dan pihak-pihak terkait harus melakukan bimbingan
sekaligus pengawasan terhadap para mahasiswa agar dapat ber-
perilaku sesuai dengan identitasnya sebagai civitas akademika.

Sosiologi Pasar | 177


Bab 6
Deskripsi Sistem Ekologi
Tempat Belanja

Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma‟ruf dan Ishaq
bin Musa Al Anshari dan keduanya berkata bahwa telah
menceritakan kepada kami Anas bin Iyadh telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abu Dzubab dalam periwayatan Harun dan
dalam hadis Al Anshari, telah menceritakan kepadaku Al
Harits dari Abdurrahman bin Mihran, mantan budak Abu
Hurairah Radhiyallahu‟anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
„Alaihi Wasallam bersabda:

“Lokasi yang paling Allah cintai adalah masjid, dan Lokasi yang
paling Allah benci adalah pasar”

Bagaimana pun kondisi ekologis sebuah sistem pebelanjaan,


tetapi penentuan harga dengan pertimbangan ekonomi serta ketentuan
yang rasional tetap di tangan penjual. Kemudian salah satu perbedaan
keadaan toko dan kios jika dilihat dari segi kehadiran orang-orang
yang berbelanja, tampaknya mereka yang datang berbelanja di kios-
kios ditandai dengan aneka ragam orang-orang yang berbelanja, ter-
utama dari kalangan ibu yang datang dari berbagai lapisan sosial, baik
dari kelas sosial menengah maupun kelas bawah. Sedangkan di per-
tokoan, tampaknya lebih dominan dari kelas menengah ke atas.

178 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Sedangkan pada saat ini, perbedaan yang paling nyata dapat dilihat
dari barang jualan yang disediakan. Karena toko-toko yang terletak di
dalam Mall Mandonga hanya menyiapkan satu jenis barang. Misalnya
tokoh sepatu dan sendal, maka sepenuhnya di dalam toko tersebut
hanya terdapat sepatu dan sendal. Demikian pula toko pakaian,
elektronik dan pecah belah dan lain sebagainya, masing-masing hanya
menyiapkan dan menjual satu jenis barang jualan.
Adapun di lokasi eceran yang menyiapkan berbagai macam
jenis jualan untuk kebutuhan primer sehari-hari, merupakan kumpulan
penjual yang datang dari berbagai kelurahan di pinggir Kota Kendari.
Hanya saja, kalau pada 70-an lalu para penjual hanya bertebaran,
berjejeran dan berjejal di depan Pasar Sentral Mandonga. Maka pada
saat ini, para penjual eceran telah menempati lokasi khusus yang ter-
letak di lantai dasar dari Mall Mandonga. Apalagi kini, secara khusus
telah dilokalisasikan di Pasar Penjual kaki Lima (PKL) yang tidak ter-
lalu jauh jaraknya dari Mall Mandonga.
Di samping itu, secara fisik lokasi eceran pada saat ini meru-
pakan ruangan tersendiri yang berada di bawah Mall Mandonga.
Tentu saja penjual di tempat eceran ini pada umumnya menjual dalam
volume yang jauh lebih sedikit dari pada di toko dan di kios. Barang-
barang yang di perdagangkan dapat diangkut, dipindahkan dan di-
simpan dengan mudah. Lagi pula persediaan barang jualan dapat di
tambah atau di kurangi sesuai dengan kondisi kebutuhan keinginan
komsumen. Lokasi di eceran seperti halnya di kios-kios memberi dan
membuka banyak peluang untuk terjadinya proses tawar-menawar
yang berlangsung lama. Namun salah satu perbedaannya, bahwa
syarat penurunan harga tidak terlalu tergantung pada hubungan
sejarah interpersonal seperti di kios, tetapi lebih banyak tergantung
pada kelincahan tawar-menawar dan penampilan manusianya. Secara
fenomenologis, substansi persamaan dan perbedaan yang lebih sub-
Sosiologi Pasar | 179
tansial dapat dikaji dan dianalisis dari beberapa transkrip rekaman
interaksi jual dan tindakan komunikasi.
A. Sistem Ekologi Tempat Belanja di Mall Mandonga
Sistem ekologi perbelanjaan di Mall Mandonga tampak tidak
seperti yang terjadi pada toko-toko yang bertebaran di sepanjang jalan
protokol di Kota Kendari, karena proses interaksi jual beli di per-
tokoan di sepanjang jalan protokol tersebut telah mencerminkan peri-
laku ekonomi yang efisien dan efektif. Oleh karena harga barang-
barang yang terpampang dan diperjual belikan di beberapa toko ter-
sebut telah dicantumkan secara paten, sehingga pembeli langsung
menjurus kepada jenis barang yang diinginkan, tanpa perlu lagi
berpanjang lebar untuk saling tawar menawar. Selain itu, juga di be-
berapa pertokoan tersebut, tidak ditemukan tema-tema tamasya yang
mengundang atau menggiurkan pembeli untuk menikmati suasana se-
kitarnya, sehingga tujuan utama bagi orang yang datang adalah lang-
sung pada tujuan, yakni membeli barang yang dibutuhkan. Kecuali,
Toko Barata yang di dalamnya memang terdapat berbagai jenis per-
maianan anak-anak, sehingga orang-orang tua yang membawa anak-
nya, juga sekaligus langsung membeli sesuatu yang dibutuhkannya.
Dengan demikian, proses interaksi jual beli yang berlangsung
di dalam Mall Mandonga masih tetap mencerminkan proses interaksi
jual beli yang bersifat konvensional, yakni kesamaan dalam hal tawar-
menawar harga yang seringkali diselingi dengan perbincangan yang
bersifat kekeluargaan. Meskipun dari segi fisik, sudah tampak
perbedaan yang sangat jelas baik dalam hal jenis barang maupun
dalam hal tata letak penjualan dengan tempat-tempat perbelanjaan di
luar Mall Mandonga. Pada dasarnya, di beberapa pertokoan yang
sudah bisa di kategorikan modern karena sudah terlihat berlangsung
secara efisien dan efektif atau bersifat goal orientid. Namun dalam

180 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
beberapa pengamatan intensif acapkali juga terlihat dan terdengar
perbincangan selingan dalam proses interaksi jual beli dan tindakan
komunikasi di pertokoan tersebut. Hal ini terjadi, terutama pada saat
pembeli mengenal salah seorang pelayan yang bersangkutan.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dari sistem ekologi perbelanjaan
di Kota Kendari bahwa kalau pada tahun 90-an lalu, tampak dalam
tiga bentuk dan tempat jual beli, yakni toko, kios dan eceran. Maka,
pada saat ini sistem ekologi perbelanjaan dapat dikategorikan ke
dalam 5 (lima) bentuk, yakni, toko yang terdapat di dalam dan di
belakang Mall Mandonga serta eceran yang terletak di lantai dasar
bawah dari Mall Mandonga. Demikian pula beberapa toko swalayan
yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan Kota
Kendari akhir dasawarsa ini. Sedangkan yang belakangan muncul dan
berkembang pesat dan digandrungi oleh banyak pengunjung adalah
keberadaan sebuah hipermarket yang disebut Lippo Plaza.
1. Struktur interaksi di pertokoan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan
perbedaan-perbedaan yang lebih prinsip antara struktur interkasi jual
beli dan tindakan komunikasi di tempat belanja pada tahun 90-an di
masa lalu dan pada saat ini. Kecuali dalam hal penampakan fisik
bangunan dan pengorganisasi letak barang jualan, sebagaimana di-
uraikan di atas. Pada umumnya, penjual cenderung mengajak lang-
sung pembeli untuk masuk berbelanja di tempat jualannya. Secara
khusus untuk sistem ekologi pertokoan, tampak sudah mencerminkan
perilaku ekonomi yang efisien dan efektif. Karena harga barang yang
sudah ditentukan label harga, sehingga mengajak atau mendorong
para pembeli untuk langsung menjurus pada jenis barang yang di-
butuhkan, tanpa perlu melangsungkan proses tawar menawar. Se-
dangkan sistem ekologi perbelanjaan baik yang kategori toko, kios
dan eceran atau pasar basah yang ada di dalam, di bawah dan di
Sosiologi Pasar | 181
belakang Mall Mandonga, tampak belum menunjukkan perilaku
sosial ekonomi yang bersifat efisien dan efektif.
Ada beberapa transkrip percekapan yang dapat dianalisis secara
fenomenologis yang menunjukkan interaksi jual beli dan tindakan
komunikasi yang kategori moderen dan konvensional di toko, kios
dan eceran dalam sebuah kajian perbandingan antara tahun 90-an dan
saat ini:
Transkrip Rekaman Jual Beli Sembako 1
Pembeli : Ada Susu SGM ?
Pelayan : Ada, Ini Bu (Mengambil Dan Memperlihatkan
Kepada Pembeli)
Pembeli : Iya, Ambilkan, Berapa Harganya ?
Pelayan : Rp. 13.000.00-
Pembeli : Bisa Kurang.
Pelayan : Harga Pas Bu !
Transkrip Rekaman Jual Beli Sembako 2
Pembeli : Di Mana Tempat Sabun Mandi ?
Pelayan : Di Sana Pak.
Pembeli : Mendekat Dan Langsung Bertanya, Ada Lifeboy
Yang Putih ?
Pelayan : Ada Pak.
Pembeli : Bungkuskan Tiga !
Transkrip Rekaman Jual Beli Sembako 3
Pembeli : Ambilkan Gula Dan Sabun Cuci.
Pelayan : Berapa Bu?
Pembeli : Gula 2 Kilo Dan Rinso 3 Bungkus!
Pelayan : Ini Bu.
Pembeli : Berapa Semuanya
Pelayan : 10.000.-

182 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Transkrip Rekaman Jual Beli di Toko Swalayan
Transkrip 1
Pembeli : Melihat-lihat, membaca dan menanyakan dimana
sabun mandi?
Pelayan : Disitu! Sambil menunjukan tempatnya.
Pembeli : Ini.
Kasir : Ini pak!
Trankrip 2
Pembeli : Datang melihat dan mengambil jenis barang yang
butuhkan.
Pembeli : Ini bu,
Pelayan : Bukan disini di bayar bu, bawa sana notanya ini di
kasir.
Pembeli : Ini notanya.
Kasir : ini pak.
Transkrip 3
Pembeli : Pelayan ada yang besarnya ini?
Pelayan : Ada, di sana.
Pembeli : Melihat, mengambil dan menbawanya ke kasir.
Kasir : Ini bu,
Pembeli : Terima kasih.
Transkrip 4
Pembeli : Datang dan melihat jenis barang dan menanyakan
jenis barang.
Pelayan : Yang mana barang yang di beli.
Pembeli : Yang ini, tolong bungkuskan
Pelayan : Bawa ke kasir
Kasir : Barang yang di beli, pulpen, pensil, rokok,
peruncing. Harganya : 10.000.-
Pembeli : Terima kasih.
Sosiologi Pasar | 183
Transkrip 5
Pembeli : Dimana sabun susu.
Pelayan : Dcm[h[ ’
Pembeli : Mengambil dan membawa ke kasir.
Kasir : Harganya, 2000.- ini kembalinya.
Ketiga transkrip percakapan jual beli pada tahun 1997 dan ke
lima transkrip percakapan di toko swalayan campuran tahun 2016 ter-
sebut di atas, merupakan proses komunikasi jual beli yang banyak
terjadi dan berulang diucapkan oleh pembeli dan penjual di toko-toko
yang khusus menjual barang campuran atau 9 bahan pokok. Karena
pada dasarnya, betapa banyak rekaman komunikasi jual-beli yang
berhasil diperoleh. Namun ketiga jenis komunikasi inilah yang
umumnya digunakan dan didengarkan. Demikian pula rekaman yang
berhasil di peroleh di Toko Swalayan atau di Toserba yang diperoleh
sebanyak 20 (dua puluh) percakapan. Namun kelima jenis komunikasi
inilah yang dominan terdengar antara palayan swalayan dengan para
pembeli.
Transkrip Rekaman Busana 6
Pembeli : Coba Ambilkan Baju Yang Itu.
Pelayan : Yang Mana Pak?
Pembeli : Yang Warna Krem (Mengambil Dan Memeriksa)
Pelayan : Bagus Itu Pak, Diskonnya 10%.
Pembeli : Ada Yang Agak Kecil Dari Ini?
Pelayan : Ada, Ini Pak (Mengambil Nomor Lain Dan
Memberikan).
Pembeli : S[y[ Ci\[ Dofo Y[[’’.
Pelayan : Silahkan, Disana Pak (Menunggu Dan Langsung
Bertanya) Bagaimana?
Pembeli : Ya Cocok Mi.

184 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Transkrip Rekaman Penjual Sepatu 7
Pembeli : Ada Sepatu Kickers?
Pelayan : Ada, Di Sana (Menunjukan Tempatnya).
Pembeli : Coba Ambilkan!
Pelayan : Ini, Nomor Berapa Yang Kita Pakai?
Pembeli : Nomor 39, (Melihat Dan Mencobanya) Ada Warna
Coklat ?
Pelayan : Ada,
Pembeli : Coba Ambilkan?
Pelayan : Ini Pak.
Pembeli : Ini Harga Pasnya ?
Pelayan : Iya Pak.
Pembeli : Bungkuskan.
Komunikasi dalam transkrip 6 dan 7 ini adalah merupakan
salah satu jenis percakapan di antara ketiga jenis yang berhasil di
rekam di toko yang khusus menjual busana dan sepatu. Di antara
j_l][e[j[h cno, [^[ y[ha g_ha[q[fc ^_ha[h j_ln[hy[[h ‘g_l_e‘ ^[h
ada pula yang langsung menunjuk merek yang di anggap lagi trendy
dan meminta untuk dibungkuskan. Tentu saja hal ini di dasari oleh
latar belakang pembeli masing-masing. Bagi pembeli yang telah me-
mahami segalanya, maka interaksi jual belinya nampak berlangsung
secara efisien dan efektif.
Kemudian Komunikasi jual beli di toko sepatu agak lebih
efisien dibanding tindakan komunikasi di toko campuran dan busana.
Paling tidak di saat pembeli menunggu sepatu yang diinginkan, maka
terkadang ia bertanya dan berdialog tentang perbandingan harga serta
merek sepatu yang lagi digandrungi oleh masyarakat kota dewasa ini.
Adapun jenis toko yang memperdagangkan bahan-bahan bangunan
n_l^clc ^[lc: (1) j_f[haa[h y[ha f[hamoha g_g\_lce[h ‘DO‘ [n[o
dalam bentuk catatan terhadap jenis dan jumlah barang yang
Sosiologi Pasar | 185
dibutuhkan, (2) bagi pembeli umum yang hanya membutuhklan lebih
dari 1 jenis bahan, maka langsung saja masuk dan bertanya mengenai
harga barang yang diinginkan.
Dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi jual-beli yang
tercamtum dalam rekaman percakapan di beberapa toko pada tahun
1997, juga hal yang sama terjadi dalam interaksi jual beli dan
tindakan komunikasi di hampir semua Toko Swalayan atau Toserba
saat ini di Kota Kendari. Dengan demikian, tidak ada perbedaan yang
menjolok antara proses percakapan jual-beli di toko yang berlangsung
di masa lalu dan pada saat ini.
2. Struktur interaksi di kios
Oleh karena perbedaan organisasi dan mekanisme kerja antara
toko dan kios, maka memberi pengaruh langsung terhadap struktur
interaksi di lokasi kios. Salah satu pengaruh yang paling nyata atau
positif adalah tindakan komunikasi pembeli dan penjual dalam proses
interaksi ekonominya. Karena itu, dilihat dari segi komunikasi jual-
beli di berbagai kios, nampak perbedaan yang amat nyata dengan
tindakan komunikasi jual-beli di toko-toko sebagaimana terurai di
atas. Perbedaan ini tentunya didasari oleh adanya peluang untuk
terjadinya proses transaksi yang tidak hanya semata-mata berorientasi
pada aspek ekonomi, tetapi juga hal-hal yang bersifat non ekonomi.
Karena adanya kemungkinan yang seperti ini, maka di satu pihak bagi
penjual berupaya untuk memperoleh pelanggan yang sebanyak-
banyaknya, dan bagi pembeli dipihak lain berupaya pula memperoleh
penurunan nilai harga yang semaksimal mungkin.
Kandungan dalam rekaman percakapan di bawah ini menunju-
kan bahwa tindakan komunikasi di kios nampak lebih lama ber-
langsung dan lebih nampak pula hubungan yang melampaui hubu-
ngan-hubungan ekonomi, jika dibanding dengan proses komunikasi
yang berlangsung pertokoan. Secara lebih kongkrit dapat dilihat
186 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
dalam transkrip rekaman antara tahun 1997 dengan tahun 2016 yang
menunjukan kesamaan pola interaksi, sebagai berikut:
Transkrip Jual Beli Busana 1
Pembeli : Berapa ini baju ?
Penjual : Rp 45.000.-
Pembeli : tidak kurang ?
Penjual : Sedikitmi.
Pembeli : S_^cecn’ ?
Penjual : Kita minta berapa ?
Pembeli : Kurangmi, siapa tahu kita jadi langganan.
Penjual : Kita orang apakah?
Pembeli : Orang Bugis.
Penjual : Singkamma
Pembeli : Biarmi pale Rp. 45.000.- ini uangnya.
Berdasarkan hasil percakapan ini, terlihat bahwa antara pem-
beli dan penjual dalam proses tawar-menawarnya terjalin interaksi
yang kompleks dan di antara keduanya ada usaha persuasif untuk
saling ditanggapi. Keduanya mengunakan metode komunikasi sesuai
dengan latar belakang etnis dan sosial budayanya. Seperti yang ter-
lihat pada transkrip 1 di mana pembeli mencoba memberi suatu
rangsangan dan penjual pun menunjukan sikap keinginannya terhadap
pembeli dengan menanyakan etnisnya, sehingga pada saat penjual
mengetahui persis bahwa pembeli adalah sesama suku bangsanya
spontan ia meresponnya.
Pada sisi lain, meskipun usaha persuasifnya tidak dari segi
sosial budaya tetapi mempunyai tujuan dan sasaran yang sama seperti
tercakup dalam transkrip berikut ini:
Transkrip Jual Beli Busana 2
Pembeli : Berapa harganya ini? (menunjukan salah satu jenis
barang)
Sosiologi Pasar | 187
Penjual : Rp. 20.000.-
Pembeli : Bisa kurang?
Penjual : Tidak bisa kurang !
Pembeli : Berapa harga persisnya? Kalau bisa kurang saya
ambil?
Penjual : Kasihan pak, orang tadi juga belikan begitu.
Pembeli : Kurangmi sedikit?
Penjual : Biar di tempat lain harganya juga begitu
Pada transkrip 2 percakapan ini, pembeli berupaya merangsang
penjual agar bisa diturunkan harganya sedikit. Tetapi penjualnya pun
meyakinkan kepada pembeli dengan cara membandingkan harga yang
sama dengan pembeli lainnya dan seterusnya sehingga pada garis-
garis berikutnya upaya saling persuasif di antara keduanya masih
tetap berlangsung yang pada akhirnya penjual tetap mengemukakan
alasan perbandingan harga sehingga tidak berakhir dengan transaksi.
Dalam hal yang sama, seperti terlihat dalam transkrip
percakapan berikut, seorang yang telah mengetahui persis harga suatu
barang, tidak lagi terlalu panjang menawarnya.
Transkrip Jual Beli Sembilan Bahan Pokok 3
Pembeli : Berapa harga susu Dancow?
Penjual : Rp. 31.000.-
Pembeli : Kenapa tidak sama dengan harga bulan lalu ?
Penjual : Sudah naik bu, sama ditempat lain, harganya sudah
begitu !
Pembeli : Kalau yang ini berapa harganya? (menunjuk salah
satu jenis barang)
Penjual : Rp.25.000.-!
Pembeli : Eh, naik semuami di!
Penjual : Iy[ \o’
Pembeli : Ambilkanmi pale
188 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Penjual : Susu tadi bu?
Pembeli : Ya, ambilkanmi juga!
Percakapan dalam transkrip 3 tersebut, menunjukan bahwa
meskipun seseorang sudah mengetahui harganya satu jenis barang,
masih juga mencoba melakukan penawaran. Bahkan langsung
menanyakan harganya, dan pada percakapan selanjutnya pembeli
meskipun telah mengetahui harganya dari jenis barang tersebut
sekaligus merupakan upaya persuasif terhadap penjual dalam rangka
mendapat dan memperoleh nilai harga yang pasti. Untuk lebih me-
yakinkan lagi, maka pembeli mencoba menayakan jenis barang lain
namun ia pun semakin yakin dengan harga barang-barang itu sudah
pas (harga pas). Sebaliknya penjual pun meyakinkan bahwa di tempat
lain juga begitu.
Fenomena dan kenyataan sehari-hari di tempat belanja yang
berlangsung pada tahun 1997 tersebut, ternyata masih berlangsung di
Mall Mandonga sebagai tempat perbelanjaan moderen di Kota
Kendari saat ini. Hal ini dapat disimak ke dalam 8 (delapan) bentuk
interaksi jual beli tindakan komunikasi yang secara khusus terjadi
atau berlangsung di Mall Mandonga.
Transkrip Jual Beli Busana 1
Penjual : Mari Pak!!
Pembeli : Ini Bajunya, Harganya Berapa ?
Penjual : Kalau Itu, 85000.-
Pembeli : Kalau Baju Ini Berapa ?
Penjual : 65.000.-
Pembeli : Bisa Mi Ka Kurang Harganya, Yang Ini ?
Penjual : Minta Berapa ?.
Pembeli : 20.000.-
Penjual : Ob’ Nda Sampe. Kalau Itu Harga Pasnya Mi
35.000
Sosiologi Pasar | 189
Pembeli : Tidak Bisa Kurang Lagi ?
Penjual : Sudah Harga Pasnyami Yang Itu !
Pembeli : Sa Kesebelah Dulu Cari-Cari Yang Lain ?
Penjual : T_lcg[ K[mc P[’
Pembeli : P_lac’
Transkrip Jual Beli Busana 2
Penjual : Hai Cowo, Cari Apa? Masuki Di Dalam!
Pembeli : Bisa Juga!
Penjual : Cari Apa ?
Pembeli : Ehh.. Cari Baju Sekalian Mi Cari Juga Cewe!
Penjual : Ohh.. Banyak Cewe Disini, Dengan Kita-Kita Ini.!
Pembeli : Bisa Juga, Cewe Ada Baju Metalisernya?
Penjual : Ada Ini !
Pembeli : Kalau Ini Berapa Harganya ?
Penjual : 80 Cowo, Masi Bisa Kurang ?
Pembeli : Berapa Kurangnya ?
Penjual : Kita Mi Dulu Yang Menawar Berapa ?
Pembeli : T_lm_hyog’.
Penjual : Ambilmi 20 !
Pembeli : P_lac’.
Transkrip Jual Beli Busana 3
Penjual : Cari Apa Pak !
Pembeli : Masuk Dan Bertanya, Ada Baju Kemeja Batik ?
Penjual : A^[, Schc P[e ’ !
Pembeli : Ada Yang Lebih Besar Dari Ini ?
Penjual : Ada Ini Ukuran M Nya !
Pembeli : Sa Coba Dulu !
Penjual : Iye, Masuki Saja Di Dalam !
Pembeli : Pembeli Keluar Dan Bertanya, Ini Harganya
Berapa?
190 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Penjual : 65.000.-!
Pembeli : Bisa Kurangka ?
Penjual : Minta Berapa ?
Pembeli : 15.000,-
Penjual : 45 Sa Kasikan Mi Kita!
Pembeli : 20.000.-
Penjual : Tamba Mi 10, Jadi 30.000!
Pembeli : Pergi Dan Keluar..
Penjual : Ambilmi 25 Saja !
Pembeli : P_lac’.
Transkrip Jual Beli Busana 4
Penjual : Cari Apa Bu ?
Pembeli : Ada Baju Sekolah Untuk Ukuran Anakku Ini.
Penjual : Ada, Ini.
Pembeli : Nak Coba Dulu Ini Baju Kalo Pasmiko
Anak : Memakainya. Pas Mi Ma.
Penjual : Coco Sekali Itu Bu.
Pembeli : Berapa Harganya
Penjual : 45000.
Pembeli : Bisa Mi Kurang ?
Penjual : Minta Berapa ?
Pembeli : 20000 Mi
Penjual : Tidak Cukup. Modalnya Saja Tidak Sampe.
Pembeli : Berapa Pale ?
Penjual : Ambil 35000.
Pembeli : Tidak Bisa Kurangka Lagi
Penjual : Biarmi Sakasi 30000.
Pembeli : Bungkuskan
Penjual : Ini Bu.
Pembeli : K_fo[l’
Sosiologi Pasar | 191
Transkrip Jual Beli Busana 5
Penjual : Cari Apa ?
Pembeli : Ini Bajunya Berapa?
Penjual : Kalau Yang Itu 25.000, Bisa Ji Kurang?
Pembeli : Ada Yang Lain Mereknya ?
Penjual : Ada Yang Lain Mereknya, Itu Di Atas Ada Ie Be
Dan Cresida.
Pembeli : Kalau Metalizer Berapa Harganya?
Penjual: : Beda-Beda Ada Yang Prangko 62, 52, 68
Pembeli : Tidak Bisami Kurang ?
Penjual : Bisa Ji Kurang Tapi Sedikit Saja
Pembeli : Berapa Kurangnya?
Penjual : Ambilmi 42 Yang Metalizer. Warna Pakah Yang
Kita Mau?
Penjual : Ambilmi 40 Saja.
Pembeli : Keluar Dan Pergi.
Transkrip Jual Beli Busana 6
Penjual : C[lc Aj[ Bo’ !
Pembeli : M[moe D[h M_fcb[n Lcb[n’
Penjual : Silabe[h, Y[ha M[h[ Bo’
Pembeli : K_fo[l’.
Transkrip Jual Beli Busana 7
Pembeli : Kalau Yang Ini Berapa Harganya?
Penjual : 75 Bu... Bisa Kurang!
Pembeli : Kurang Berapa??
Penjual : Minta Berapa Buu??
Pembeli : Berapa Harga Pasnya Kah ..
Penjual : 55 Mi Bu..
Pembeli : Sudah Harga Pasnyami Kah Itu??
Penjual : Ia Bu..
192 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Penjual : Ada Yang Kurang Dari Harga Ini, Tapi Lain
Mereknya?
Pembeli : Coba, Merek Apa Dia Ini..
Penjual : Kalau Ini Merek Catton.
Pembeli : Ini Berapa Harganya?
Penjual : Kalau Yang Ini 55 Bu Sa Kasi..
Pembeli : Hanya Nda Bae Kainnya.
Penjual : Mau Ambil Yang Mana Bu ?
Pembeli : Coba Yang Tadi Itu ! Nda Bisami Ka Lagi Kurang
Harganya?
Penjual : Kalau Kita Mo Ambil Sa Kasi 50.
Pembeli : Bungkuskan Mi Pale.
Penjual : Ini...
Pembeli : Makasi Na...
Transkrip Jual Beli Busana 8
Pembeli : Berapa Ini Harganya ?
Penjual : Kalau Yang Itu, 65 Bisa Kurang.
Pembeli : Kurang Berapa ?
Penjual : Minta Berapa ?
Pembeli : K[f[o S[y[ Gl[ncm’..
Penjual : 45, Mi..
Pembeli : T_ln[q[’’’
Penjual : Kalau Kita Mau Ambil, 35 Mi Harga Pasnya..
Pembeli : K_fo[l’
Kedelapan transkrip percakapan tersebut di atas merupakan
proses komunikasi jual beli yang banyak terjadi dan berulang di-
ucapkan oleh pembeli dan penjual di toko-toko dalam Mall
Mandonga. Namun dari kesemua jenis interaksi komunikasi jual beli
ini yang umumnya digunakan dan didengarkan adalah para penjuallah
yang duluan menawarkan calon pembeli untuk masuk ke dalam
Sosiologi Pasar | 193
tokonya. Hal ini merupakan wujud dari deskripsi sistem ekologi yang
terdapat dalam Mall Mandonga dimana para calon pembeli dengan
santai datang untuk berbelanja di tempat-tempat yang dianggapnya
sesuai dengan keinginannya, sehingga dengan demikian membuat
para penjual untuk berusaha sedapat mungkin untuk terlebih dahulu
membuka dan memulai komunikasi kepada para pembeli yang lewat
di tempat barang dagangannnya.
Disamping itu pula, proses komunikasi yang terbangun antara
penjual dan pembeli selain adanya proses tawar menawar harga,
waktu yang digunakan dalam proses tawar menawar tersebut dapat
memakan waktu disebabkan lamanya proses tawar-menawar yang
dibangun oleh kedua belah pihak tersebut. Dikarenakan pihak penjual
memberikan ruang bagi para calon pembeli untuk menanyakan harga
yang diinginkannya yang kemudian dengan adanya ruang tersebut,
maka memungkinkan bagi para penjual dapat mengetahui berapa
besar keuntungan yang ia dapatkan dari harga setiap barang yang
akan dibeli oleh calon pembeli tersebut. Sedang bagi para pembeli
dengan adanya ruang penawaran tersebut dapat memungkinkan bagi
pembeli untuk mempertimbangkan berapa besar uang yang akan
dikeluarkannya dalam membeli barang tersebut karena masih ada
barang kebutuhan lain yang hendak dibelinya.
Mengkaji transkrip percakapan dalam proses ekonomi tersebut
di atas di lokasi kios dan Mall Mandonga memberi kesan kepada kita
bahwa pola interaksi di kios-kios tidak hanya terbatas pada pertukaran
barang dan transaksi ekonomi semata-mata sebagai mana halnya di
toko-toko, tetapi juga di balik itu adalah bertujuan memelihara hubu-
ngan langanan. Demikian pula tidak bersifat temporer serta tidak
terpacu pada nilai efisiensi. Dengan demikian interaksinya berbentuk
hubungan manusiawi yang bersifat equilibrating relationship dalam
rangka upaya kerja sama antara pembeli dan penjual untuk meme-
194 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
lihara kestabilan hubungan. Di dalamnya terkandung suatu nilai
bahwa kerugian ekonomi yang di derita oleh penjual pada saat ini,
dapat diimbangi dengan imbalan sosial, yang pada gilirannya disuatu
saat dapat kembali memperoleh imbalan ekonomi, karena di masa
yang akan datang, telah banyak mempunyai klien atau pembeli.
Dalam percakapan yang terjadi di berbagai kios, sering muncul
topik-topik pembicaraan yang tidak ada hubungannya dengan tran-
saksi ekonomi, sebagaimana yang tercantum dalam semua transkrip
di atas yang menunjukan tidak adanya hubungan dengan topik dan
inti masalah. Namun seperti yang dikatakan terdahulu bahwa walau-
pun harga barang relatif mati, tetapi masih terbuka peluang terjadinya
penurunan harga, sebab struktur interaksi di kios-kios erat hubungan-
nya dengan sejarah interaksi interpersonal antara penjual dan pembeli,
apakah itu dari suku bangsa, kelurga, teman akrab dan lain lain yang
secara langsung atau tidak turut mempengaruhinya. Jadi pada dasar-
nya interaksi jual beli di kios sebagai tempat belanja yang beraneka
ragam jenis barang mempunyai jalinan sosial yang bersipat timbal
balik dan kompleks. Lagi pula di warnai dengan berbagai pertukaran
makna yang lebih tinggi serta berbaur dengan unsur kepribadian
individu yang di anggap menentukan hasil-hasil transaksi ekonomi.
Secara fenemenologik, boleh jadi perilaku ekonomi tersebut
merupakan serangkaian tindakan individu sebagai partisipan tertentu
yang bersipat performance. Selaku aktor adalah mereka yang me-
lakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin. Oleh Goffman
membatasi rutine sebagai pola tindakan yang telah ditetapkan se-
belumnya, terungkap di saat melakukan atau diungkapkan dalam
kesempatan lain.
Dalam konteks frame analisis yang pada dasarnya merupakan
study realitas subjektif, oleh Goffman menyatakan bahwa dalam
setiap kegiatan tertentu kita mengunakan frame untuk menangkap
Sosiologi Pasar | 195
apakah penampilan itu bersifat kebetulan, bercanda, penipuan,
kekeliruan atau sandiwara? Dengan kata lain kita perlu membaca
setiap situasi yang memahaminya, dan itu kita lakukan dengan
mengunakan norma-norma atau aturan yang sudah ada.
Apabila pandangan ini dihubungkan dengan percakapan yang
terangkum dalam beberapa transkrip di atas, maka tentu memerlukan
kajian lebih lanjut, apakah tindakan komunikasi jual beli di tempat
belanja terkandung makna sesuai yang dimaksud oleh kalangan
dramaturgi? Bagi kita sebagai masyarakat, bangsa dan negara sedang
berkembang, apalagi kita sebagai bangsa yang masih mengakar nilai-
nilai, norma, dan adat kebiasaan, tentu masih jauh dari apa yang
dimaksudkan oleh pandangan teoritis tersebut.
Menganalisa rekaman-rekaman percakapan sebagai manifestasi
dari pada interaksi jual beli dan tindakan komunikasi dalam proses
melakukan transaksi ekonomi di kios pada tahun 1997 dan dalam
Mall Mandonga tahun 2016 ini, termasuk di pertokoan yang sudah
tampak efisien dan efektif adalah sesungguhnya masih mencerminkan
sifat transaksi jual beli yang tidak hanya terbatas pada pertukaran
uang dan barang tanpa menggunakan banyak kata, tanpa adanya
saling mengharapkan hubungan yang lebih lanjut dari kedua belah
pihak. Akan tetapi, komunikasi yang terbangun adalah masih tetap
bermasud untuk membangun hubungan-hubungan kemanusiaan, ke-
keluargaan, dan kekerabatan yang berkepanjangan. Sehingga segala-
nya dapat diperoleh sesuai dengan keinginanan dan kebutuhan
masing-masing. Dengan demikian struktur interaksinya dapat
berbentuk balanced, enjoy, fress, spesifik, terbuka, temporer dan
elementer.
‘Mip_‘, m[fah satu gaya yang digunakan dalam etnometodo-
logi dalam rangka membedakan penggantian pembicaraan dari
illocutionary act pada satu rentetan ucapan tampak terlihat dalam
196 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
rekaman percakapan yang pada esensinya berfungsi untuk menarik
perhatian dan untuk menyampaikan informasi inti masalah. Dan
contoh-contoh percakapan ini pun membuktikan keterbatasan topik
dalam hubungan sosial antara pembeli dan pelayaan toko yang me-
nunjukan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan
kerangka (frame) atau tempat berpijak (footing). Istilah ini oleh
Goffman dimaksudkan sebagai pergeseran orientasi dalam interaksi
tatap muka tanpa perlunya pergantian topik dan perubahan kerangka.
3. Struktur interaksi jual-beli di tingkat eceran
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa lokasi eceran
merupakan kumpulan jualan yang menempati lorong-lorong dan ping-
giran di sekitar toko dan kios, yang volume jualannya jauh lebih
sedikit, sehingga dengan demikian barang-barang dapat dengan
mudah disimpan, diangkut dan dipindahkan. Tetapi dapat pula di-
katakan selain bahan makanan, juga sebagian kecil bahan-bahan atau
jenis jualan yang di perjualbelikan di kios-kios terdapat di eceeran.
Menarik garis pemisah antara kios dan eceran, dapat ditemukan
beberapa perbedaan antara lain: (1), penggunaan modal di kios lebih
besar dari pada eceran. (2), tempat jualan kios menetap seperti halnya
di toko sedangkan di eceran dapat dengan mudah berpindah-pindah.
(3), penyediaan barang di eceran sangat sedikit dibandingkan dengan
di kios. (4), kios mempunyai pungutan pajak yang lebih besar di
bandingkan dengan di tingkat penjual eceran.
Berdasarkan keempat hal tersebut nampak sangat jauh per-
bedaan antara kios dengan eceran, namun bila di lihat dari segi
komunikasinya rekaman dalam percakapan dalam interaksi jual beli
menunjukan kesamaan. Hal ini karena mempunyai karakteristik yang
sama, baik dari segi pengunjung yang kebanyakan dari ibu-ibu dan
pembantu rumah tangga maupun dalam proses transaksi ekonominya

Sosiologi Pasar | 197


yang memberi peluang dalam proses transaksi ekonominya yang
memberi peluang untuk terjadinya proses tawar menawar.
Rekaman percakapan berikut ini dapat menunjukan perbedaan-
perbedaanya juga menjadi kajian khusus dalam perspektif etno-
metodologis.
Transkrip percakapan jual-beli di tingkat Eceran Tahun 1997
Transkrip 1
Pembeli : Berapa harga ini sayur?
Penjual : Rp. 1.000.- satu ikat!
Pembeli : Kalau yang ini bu ?
Penjual : Sama ni bu !
Pembeli : Kasi mi, tapi tambah-tambah sedikit mi na.
Penjual : Sudah murah itu bu.
Transkrip 2
Pembeli : Ini tomat berapa bu ?
Penjual : Rp. 200 satu tempat.
Pembeli : Kalau yang ini bu ?
Penjual : Sama ji bu.
Pembeli : Kasimi bu, tapi tambah-tambah sedikit bu
Penjual : Sudah murah itu bu.
Analisis terhadap interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di
tempat eceran berlangsung singkat bila dibanding dengan struktur
interaksi yang terdapat di kios dan toko. Singkat dan langsung menuju
pada inti masalah yang diinginkan, namun tidak berarti sama dengan
di pertokoan. Sebab di pertokoan tidak terbuka peluang terjadinya
proses tawar menawar, sedang di eceran sebagaimana pula di kios ter-
buka banyak peluang proses tawar menawar dalam transaksi ekono-
minya.
Jika demikian, apa yang menjadi perbedaan antara struktur
interaksi jual beli di kios dan eceran? Mengamati lebih jauh apabila
198 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
nilai harga suatu barang di kios dapat diturunkan dengan latar
belakang hubungan interpersonal antara penjual dan pembeli, maka
nilai harga barang eceran dapat diturunkan dengan keahlian dan
kelincahan tawar-menawar dan penampilan manusianya. Dengan kata
lain penentuan harga jadi di eceran ditentukan oleh faktor penampilan
kepribadian dan dapat bersifat emosional walaupun penjual tetap ber-
usaha mempertahankan penjualan pada harga dasar (bottom price)
yang sesuai dengan harga pembelian, tetapi penjual dapat menerima
harga yang lebih rendah atas dasar pertimbangan yang tidak rasional,
atau kebutuhan uang (cash) hari itu, karena itu kenyataan sosial yang
diciptakan bersama oleh para pelakunya terutama kondisi yang
sedang dialami oleh penjual adalah sangat menentukan berakhirnya
suatu transaksi ekonomi eceran. Dengan demikian, suatu hal juga
menjadi perbedaan antara eceran dengan toko dan kios adalah bahwa
penjual di eceran adalah selaku pameran tunggal, walaupun menjaga-
nya dua orang, tetapi kedudukan mereka adalah sama dan sejajar.
Transkrip percakapan jual-beli di eceran pada tahun 2016
Transkrip 1
Penjual : Cari apa bu ?
Pembeli : Ini berapa ?
Penjual : 2000,-
Pembeli : 1,5 (satu setengah) mi, dua. Na
Penjual : Tidak bisa bu !
Pembeli : Kalau kacangnya ?
Penjual : 1000,- satu ikat
Pembeli : Ini bu, bisa 3000 (tiga ribu) to.
Penjual : Um.....
Pembeli : Makasih bu...

Sosiologi Pasar | 199


Transkrip 2
Pembeli : Berapa telurnya satu rak
Penjual : 42.000,-
Pembeli : empat puluh mi ?
Penjual : Waduh, tidak bisa bu. Empat puluh satu setengahmi
kita ambilkan!
Pembeli : Kasimi pale.
Penjual : Ini ...
Pembeli : Terima kasih.
Transkrip 3
Penjual : Pisang bu !
Pembeli : Berapa ini ?
Penjual : 10.000,-
Pembeli : Tujuh setengah mi, ini ?
Penjual : Tidak bisa bu! Tuju ribu pi baru bisa.
Pembeli : Enam Ribu mi nah....
Penjual : Kalau pisang yang itu baru bisa.
Pembeli : Yang mana ?
Penjual : Yang ini...
Pembeli : Bungkuskan mi pale yang ini...
Transkrip 4
Pembeli : Berapa itu plastiknya ?
Penjual : 17 (tujuh belas ribu)
Pembeli : Kasi kurang mi...
Penjual : Tidak bisa mi bu !
Pembeli : Kasih kurang mi sa ambil dua meter.
Penjual : Tidak bisa sudah harganya mi bu...
Pembeli : Kalau sa ambil setengah ?
Penjual : Bisa ji, bu,,
Pembeli : Kasikan mi pale satu setengah meter.
200 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Penjual : Ia bu, tunggu sa guntingkan dulu. Ini.
Pembeli : Ini uangnya.
Transkrip 5
Penjual : Cari apa bu ?
Pembeli : Anting-anting, kalau ini berapa ?
Penjual : Ini, ini satu setengah.
Pembeli : Kalau tukar tambah bisa ?
Penjual : Tukar tambah.....?
Pembeli : Ia...
Penjual : Coba sa liat ?
Pembeli : Ini. Coba ko timbang dulu.
Penjual : Cukup ji setengah.
Pembeli : Jadi.......
Penjual : Tambahmi 40
Pembeli : Kasi mi.
Penjual : Terima kasih Bu.
Transkrip 6
Penjual : Ini bu mantap, sa kasi ki 10.
Pembeli : Kalau bisa kurang sa ambil 3.
Penjual : Oh... nda dapat, bu...
Pembeli : Pergi....

B. Analisis Faktor-Faktor yang Berperan dalam Proses


Transaksi Sosial Ekonomi
Uraian sistem ekologi dan struktur jual beli di atas hanya me-
nunjuk pada pola organisasi dan mekanisme kerja sebagai satu-satu-
nya faktor yang menpengaruhi interaksi jual beli dan tindakan komu-
nikasi di tempat belanja. Namun dalam uraian pembahasan ini di-
deskripsikan secara timbal balik bebarapa faktor yang berpengaruh
langsung dalam proses transaksi ekonomi di tempat belanja.
Sosiologi Pasar | 201
Hasil analisis menunjukan bahwa sejarah hubungan inter-
personal antara penjual dan pembeli dalam konteks sesama suku
bangsa, etnis, keluarga, kerabat, dan tetangga masih sangat mewarnai
transaksi ekonomi di tempat belanja. Dalam pengertian bahwa
implikasi norma transaksi yang bersifat efisien yang didasari dengan
jlchmcj ‘bisness is bisness‘ m_ln[ ^[f[g e_l[hae[ bo\oha[h cgj[lmc[f,
impersonal, rasional, anonim dan temporer belum mencerminkan
perilaku ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara. Gambaran tersebut
sekaligus mencerminkan propil dan prototipe manusia Indonesia
dalam kategori sebagai bangsa yang sedang berkembang. Dalam hal
proses perkembangannya, praktis pula sedang dalam pembentukan
identitas perilaku ekonomi yang baru yang dianggapnya tepat dan
mampu bahwa kita menuju lepas landas, tanpa meninggalkan unsur
tradisional pasar.
Bertolak dari analisa di atas, faktor suku bangsa nampak me-
warnai perilaku ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara dalam inter-
aksi jual beli dan tindakan komunikasinya di tempat belanja. Semua
suku bangsa yang menempati berbagai lokasi jualan kecuali di luar
dari suku Bugis/Makassar, Tolaki, Buton dan Muna yang terutama
berjualan di eceran senantiasa mempergunakan bahasa daerahnya
masing-masing apabila mereka mengetahui bahwa orang yang datang
berbelanja di tempatnya adalah sesama sukunya.
Alasan responden berbahasa daerah dengan sesama suku
bangsanya umumnya adalah bertujuan menjalin hubungan
kekeluargaan dan kekerabatan. Sedangkan di kios selain suku bangsa
Tolaki dan suku bangsa lain memakai bahasa daerah dengan maksud
agar pembeli merasa akrab dan kelak akan menjadi pelanggannya.
Demikian pula di pertokoan.
Upaya mempererat tali persaudaraan dan hubungan kekeraba-
tan serta memperbanyak clien, maka sebelum dan sesudah terjadi
202 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
transaksi ekonomi senantiasa diselinggi dengan pembicaraan dalam
bentuk canda dan kekeluargaan. Suku bangsa yang berjualan di kios-
kios melakukan pembicaraan kekeluargaan dan senantiasa bercanda
sebelum dan sesudah memutuskan transaksi ekonomi. Akan tetapi di
lokasi eceran dan di berbagai toko tidak selalu terjadi pembicaraan
yang demikian. Adapun yang mendasari terjadinya pembicaraan yang
demikian di kios-kios adalah adanya keinginan untuk memperoleh
langganan yang sebanyak-banyaknya, sedangkan di eceran dan di
toko yang tidak didasari dengan canda namun apabila pembicaraan ini
tetap terjadi atau seandainya terjadi maka bertujuan agar pembeli
merasa tertarik atau terdorong membeli barang-barang jualannya dan
juga sebagian menginginkan menjadi pelanggannya.
Deskripsi fenomenologis terdahulu dikemukakan tidak terjadi-
nya proses tawar menawar di pertokoan sebab oraganisasi pertokoan
diatur sedemikian rupa baik dari segi mekanisme kerja maupun
penetapan harga barang yang telah dilabel menjadi harga mati.
Namun disamping itu, tidak adanya canda pada penjual eceran di-
sebabkan oleh waktu orang-orang yang berbelanja, sebagaimana di
ketahui bahwa eceran-eceran pada umumnya memperjual belikan ba-
han makanan pokok guna kepentingan rumah tangga. Karena mereka
yang berjualan di eceran harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-
baiknya. Dan bagi pemilik pertokoan tidak mempunyai kesempatan
bercanda karena ingin dan sedang melayani pembeli lain atau ada
urusan-urusan lain yang berhubungan dengan perdagangan.
Dengan demikian, tampak semakin menunjukan korelasi yang
searah serta memperjelas pula bahwa mereka yang berjualan di kios
melakukan canda dan iseng-iseng kepada orang-orang yang tidak
hanya dikenalnya atau terutama kepada sesama suku bangsa, namun
berlangsung kepada semua orang yang berbelanja di tempat jualan-
nya. Sementara di lokasi eceran dan di pertokoan hanya berlangsung
Sosiologi Pasar | 203
kepada para pembeli yang kebetulan dikenalnya. Dengan demikian
interaksi jual beli di pertokoan secara implisit tetap terkandung
hubungan interpersonal antara penjual dan pembeli.
Dalam konteks pembicaraan dimaksud nampaknya tidak hanya
tergantung pada penjual serta lokasi jualan, tetapi juga terkadang
ditentukan oleh orang-orang yang berbelanja. Secara umum terlihat
bahwa hanya di lokasi kios dan eceran pembeli senantiasa
mengajukan tawaran, dan tidak demikian halnya di toko sebagaimana
di deskripsikan terdalulu. Hal ini terjadi baik terhadap pembeli lama
(langganan) maupun pembeli baru, namun dalam hal penetapan harga
antara langganan dan bukan langganan ada perbedaan khusus,
sementara di eceran tidak didasari oleh suatu perbedaan tertentu dan
sebab-sebab tertentu pula, tetapi penurunan nilai harga suatu barang
di eceran sangat tergantung kepada kelincahan dan kepandaian dalam
melakukan transaksi.
Kemudian faktor jenis kelamin yang biasanya luput dari per-
hatian dan bahkan dianggap kurang mempengaruhi perilaku ekonomi
masyarakat dewasa ini, ternyata mempunyai pengaruh sebagai wujud
dari pengakuan responden bahwa transaksi ekonomi banyak diselingi
oleh canda, iseng dan lain-lain karena di satu pihak penjualnya adalah
seorang gadis dan pembelinya adalah jejaka demikian pula sebaiknya.
Secara fenemenologis hal ini terlihat dimana-mana. Dengan meng-
gunakan analisa frame kita akan menangkap suatu makna yang ter-
kandung dalam penampilan yang mungkin bersifat kebetulan, ber-
canda, penipuan, kekeliruan atau suatu sandiwara. Canda dan sandi-
wara nampak dalam setiap aktivitas transaksi ekonomi.
Akhinya menanggapi berbagai faktor non-ekonomis tersebut
dalam interaksi jual beli dan tindakan komunikasi di tiga lokasi ini
dapat memberi kesan untuk menarik suatu kesimpulan bahwa inter-
aksi jual beli belum bersifat goal oriented, efisien dan efektif tetapi
204 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
masih berbentuk yang berlapis-lapis dalam kerangka jalinan atau
hubungan manusiawi serta interaksi yang bersifat khas dan khusus
yang didasari pertimbangan individu masing-masing. Hal ini me-
nunjukan bahwa sifat transaksi ekonomi yang diasaosiasikan dengan
‘mcmn_g j_l^[a[ha[h gi^_lh‘ \_fog g_g\o^[y[ ^c n_ha[b-tengah
masyarakat kita. Nampaknya pelaku ekonomi di Sulawesi Tenggara
masih tetap menginginkan hubungan yang bersifat personal dan
emosional. Dan ini mungkin pula mencerminkan pola transaksi
ekonomi manusia Indonesia, sebab hasil penelitian Riga Adiwoso S.
menyebutkan bahwa Supermarket yang mengikuti bentuk organisasi
jual beli modern, bersifat impersonal, efisein, netral, anonim dan ter-
atur bukanlah tempat perbelanjaan utama bagi orang-orang atau
masyarakat Jakarta. (Prisma, 1984).

Sosiologi Pasar | 205


Bab 7
Penutup

Allah SWT Berfirman:


Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan
mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang
lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha
Melihat (Al Furqaan ayat 20)

A. Simpulan
Ada lima kesimpulan yang dapat dirangkum dari uraian des-
kriptif analitis terdahulu. Pertama, di balik ruang sosial perbelanjaan
tradisional terdengar isyak tangis serta duka nestapa pada segelintir
aktor sosial ekonomi kerakyatan. Sementara di balik pernak-pernik
dan gegap gempita Super Mall, Mega Mall dan Hipermarket, ternyata
tidak hanya terselubung setumpuk realitas semu dan seonggok arti-
fisial serta sebongkah kebohongan yang kemudian membuahkan peri-
laku konsumtif. Akan tetapi, tampak demikian fenomenal idiologi
eihmog_lcmncm moem_m m_][l[ a_gcf[ha g_h[h][je[h ‗e_l[hae_ha `[h-
n[mncm‘. Aec\[nhy[, e_f[m g_h_ha[b e_ [n[m y[ha the have tampak kian
doyan membelanjakan duitnya. Sementara kaum kelas menengah ke

206 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
bawah pun ikut serta tergiur untuk mencicipi aneka barang konsumtif
yang bernilai status sosial itu.
Kedua, interaksi jual beli dan tindakan komunikasi langsung di
ruang sosial perbelanjaan cenderung mencerminkan interaksi yang
belapis-lapis dalam kerangka hubungan interpersonal yang bersifat
emosional serta didasari oleh pertimbangan individu masing-masing.
Sesungguhnya, hal itu merupakan refleksi dari sistem sosio-ekonomi
dan sosio-cultural manusia Indonesia pada umumnya dan masyarakat
Sulawesi Tenggara pada khususnya.
Ketiga, secara nyata dari ketiga sistem ekologi dalam kategori
eceran dan emperan, kios dan lods, serta toko dan supermarket, masih
dominan diwarnai oleh sejarah hubungan interpersonal sang aktor di
arena perbelanjaan. Pengaruh suku bangsa, ethis, keluarga, kerabat
dan tetangga merupakan faktor ekternal yang paling berpengaruh, jika
di banding dengan faktor ekonomi un-sich dalam proses interaksi jual
beli. Demikian pula pengaruh jenis kelamin selaku aktor yang ber-
peran dalam proses transaksi sosial perekonomian.
Keempat, hasil analisis menujukan bahwa norma-norma tran-
saksi yang berlaku di arena perbelanjaan tersebut, terutama pada per-
tokoan yang diasosiasikan serta dipersepsikan sebagai sistem per-
dagangan modern dengan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang
mendasarinya seperti organisasi jualan yang teratur, time is money,
bisness is bisness dan sejenisnya. Namun ternyata masih kerapkali di-
netralisir oleh nilai dan norma-norma masyarakat setempat.
Kelima, implikasi sosial tersebut memberi kejelasan bahwa
perilaku ekonomi dari berbagai lapisan sosial belum menunjukkan

Sosiologi Pasar | 207


identitas, pola pikir, sikap perilaku dan jati diri yang lebih pasti.
Dalam perspektif tahapan masyarakat dimaksud Comte, maka betapa
sulitnya dipastikan bahwa apakah kita sudah benar-benar berpacu di
gelanggang positivisme ataukah kita masih bernaung di bawah
payung metafisika dan teologis ? Tak pelak lagi, ketika ditinjau dari
perspektif Rostow tampak jelas kita masih terus berada di ranah pra
kondisi tinggal landas. Demikianlah gambaran perilaku aktor sosial
ekonomi di wilayah perbelanjaan tampak jelas masih dalam tataran
pencarian identitas. Karena salah satu tuntutan sikap hidup yang harus
dimiliki untuk melaju pada lepas landas adalah sikap efisien dan
efektif.

B. Rekomendasi
Akhirnya, hasil kajian yang tertuang dalam buku ini menyaran-
kan beberapa hal yang urgent untuk dipertimbangkan oleh semua
pihak, terutama bagi Pemerintah Kota Kendari. Pertama, disarankan
agar ke depan Pemerintah Kota Kendari lebih intensif menggunakan
strategi pembangunan partisipatif, sehingga keberadaan sebuah pro-
yek pembangunan seperti arena perbelanjaan tradisional dan moderen
dapat berlangsung secara proporsional, integral dan interdependen.
Dengan demikian, keberadaan Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM) sebagai lembaga legislatif di tingkat keluarahan dapat ber-
fungsi maksimal ketika strategi Community Development berbasis
komunitas diterapkan.
Kedua, di balik dinamika sosial ekonomi dengan berbagai
problematikanya, pihak peneliti merasakan rintihan-rintihan tangis

208 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
serta duka nestapa yang menimpa sebagian warga masyarakat yang
selama ini menggantungkan kehidupannya di ruang sosial per-
belanjaan yang disebut pasar tradisional dan pasar modern itu. Karena
itu hasil penelitian menyarankan agar Pemerintah Kota Kendari mem-
benahi lalulintas transportasi dan komunikasi yang dapat memper-
lancar lalulintas perbelanjaan.
Ketiga, perilaku sosial ekonomi kaum the have yang demikian
doyan membelanjakan uangnya, peneliti menyarankan agar kita mulai
peduli dengan sugesti Baudrillard (2006) untuk segera memutuskan
perilaku buruk (breaking the habit) dimaksud. Betapa tidak, keber-
adaan Hipermarket bukan hanya seonggok realitas artifisial yang
menghipnotis pengunjung. Akan tetapi, nafsu konsumeristik tersebut
juga mengandung virus yang dapat merangsang kaum elite yang di-
beri amanah untuk mengembangkan punglinisasi dan korupsinisasi.
Maka tentu saja ke depan, perilaku penyimpangan dimaksud kian
mengancam uang rakyat.
Keempat, secara khusus bagi perilaku sosial ekonomi kelas
menengah ke bawah yang juga terhipnotis dengan aneka pernak-
pernik pasar modern, maka juga disarankan agar mulai peduli dengan
fenomena hiperealitas dimaksud Piliang (1998). Menurutnya, akibat
dari realitas perkotaan yang telah diambil alih oleh kesemua komoditi,
maka pengunjung seolah diajak bertamasya di dalam suatu sirkuit,
dari suatu lingkungan tema ke lingkungan tema berikutnya. Tampak-
nya, ekologi fantasi tersebut tidak hanya menjauhkan kita dari makna
luhur, tetapi juga menggiurkan gadis Anak Baru Gede (ABG) yang
tentu saja bakal membahayakan masa depannya.

Sosiologi Pasar | 209


Kelima, proses infiltrasi kebudayaan konsumeristik dan se-
jenisnya tampak kian sulit terbendung di tengah kehidupan masya-
rakat kontemporer. Dalam konteks sosial budaya, sesungguhnya
sosiolog dan antropolog sudah lama memperingatkan implikasi sosial
dari proses penetrasi sosial budaya selama ini. Akan tetapi, peme-
rintah cenderung mengabaikannya, karena selama ini kita amat ter-
kesan lebih dominan mengutamakan aspek ekonomi yang mem-
buahkan pertumbuhan. Karena itu, penulis menyarankan agar kita
mulai prihatin dan tidak lagi acuh tak acuh dengan proses dekon-
struksi sosial, realitas dekulturasi dan degradasi nilai sosial budaya
yang demikian menggelegar akhir dasawarsa ini.

210 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Daftar Pustaka

Adiwoso, S; Riga, 1984, Interaksi Jual Beli dan Tindakan


Komunikasi di Tempat Belanja, Prisma, Nomor 9, 1984,
Tahun XIII, LP3ES, Jakarta, Hal. 79.
Agustian, Ginanjar, Ary, 2000, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spritual, ESQ, Emotional Spritual
Quotient, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
Arga, Jakarta.
Baudrillard, Jean P., 2006. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana
Jogjakarta.
Creswell, W. John, 2013, Reseach Design: Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif dan Mixed, diterjemahkan dari buku Research
Design, Qualitative, Quantitave dan Mixed Methods
Approaches, oleh Ahmad Fawaid, Pustaka Pelajar,
Yokyakarta.
Damsar, 2002. Sosiologi Ekonomi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Dajan, Anto 1973, Pengantar Metode Statistik Deskriptif, LP3ES,
Jakarta.
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. (Eds.), 1994, Handbook
of Qualitative Research, diterjemahkan oleh Dariyatno dkk.,
(2009), Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Freire, Paulo, 2008, Pendidikan Kaum Tertindas, diterjemahkan dari
buku Pedagogy of the Opporessed oleh Tim Redaksi,
LP3ES, Jakarta.
Hans-Dieter Evers, 1994, Sosiologi Perkotaan, LP3ES, Jakarta.

Sosiologi Pasar | 211


Hawari, Dadang, 2009, IQ, EQ, CQ & SQ Kriteria Sumber Daya
Manusia (Pemimpin) Berkualitas, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Husain, Najib, Muhammad, 2013, Kepemimpinan Parabela Dalam
Menjaga Kelestarian Kawasan Kambo di Kabupaten Buton,
Penelitian Disertasi Doktor, UHO Kendari.
Ihromi, T.O., 1999, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Jhonson, Doyle, Paul, 1988, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,
(Penerjemahan: Robert, M.Z. (Awang), PT. Gamedia,
Jakarta.
Jones, Pip, 2010, Pengantar Teori-teori Sosial, dari Teori
Fungsional Hingga Post modernisme,Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta.
Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan
Pustaka, Bandung.
Laeyendecker, L. 1983, Tata Perubahan dan Ketimpangan: Suatu
pengantar Sejarah Sosiologi, Gramedia, Jakarta.
Liliweri, Alo, 2003, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar
Budaya, LKIS, Yokyakarta.
Luckmann, Thomas, Peter L. Berger, 1984. The Social Construction
of Reality. London: Penguin Books.
Malik, Luthfi, Muhammad, 2010, Etos Kerja, Pasar Dan Masjid,
Disertasi, FISIP, Program Studi Sosiologi, UI Depok-
Jakarta.
Manners A. Robert dan Kaplan David, 2002, Teori Budaya, Diantar
oleh Dr. PM. Laksono, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Matta, Anis, 2002, Model Manusia Muslim, Pesona Abad ke-21,
Kumpulan Ceramah Pengembangan Din, Syamil, Bandung.

212 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Milles, B. Matthew dan Huberman, Michael, A. 1988, Analisis Data
Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru,
Terjemahan, UI-Press, Jakarta.
Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Muhadjir, Noeng, 2011. Metodologi Penelitian, Paradigma
Positivisme Objektif, Fhenomenologi Interpretatif Logika
Bahasa Platonis, Chomskyist, Hegelian dan Hermeneutik,
Paradigma Studi Islam, Matematik Recursion-Set Theory &
Struktural Equation Modeling dan Mixed, Rake Sarasin,
Edisi VI Pengembangan, Yokyakarta.
Nasution, Taufik, Ahmad, 2009, Melejitkan SQ dengan prinsip 99
Asmaul Husna, Merengkuh Puncak Kebahagiaan dan
Kesuksesan Hidup, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Notoseputro, Aji, Naba, 2008, The Spirit of Change, Mengubah
Paradigma Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Indonesia, Teraju (PT Mizan Pustaka) Anggota IKAPI,
Jakarta Selatan.
Parsudi, Suparlan, 1984, Orang gelandangan di Jakarta, Politik Pada
Golongan Termiskin, dalam Parsudi Suparlan (Penyunting),
Kemiskinan di Perkotaan, Sinar Harapan, Jakarta.
Peribadi, 2007. Berkah dan Bencana Pemikiran: Secuil Refleksi Atas
Tontonan Realitas Sosial, Diskusi Publik Islam dan
Kemajemukan di Indonesia, STAIN Kendari Kerjasama
Universitas Paramadina, 29 Agustus 2007.
Peribadi, 2016, Discourse Of Prophetic Sociology Methodology: An
Ontology Construction of Metaphysic Realism, A paper
presented at the forum The Third International Conference –
Thoughts on Human Sciences in Islam (IC-THuSI), Jakarta,
16 - 17 November 2016.
Sosiologi Pasar | 213
Piliang, Amir, Yasraf, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas
Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme, Mizan, Anggota IKAPI, Bandung.
Poloma M. Margaret, 1998, Sosiologi Kontemporer, Rajawali,
Jakarta.
Rahardjo, Dawam, 2002, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Ber-
dasarkan Konsep-Konsep Kunci, Penerbit Paramadina,
Jakarta Selatan
Rahayu, S. Ludigdo, U., Affandy, D., Studi Fenomenologis Terhadap
Proses Penyusunan APBD Bukti Empiris di SKPD Propinsi
Jambi, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 10 Makasar,
26-28 Juli 2007.
Ritzer, George, 2013, Eksplorasi Dalam Teori Sosial: Dari
Metateori sampai Rasionalisasi, diterjemahkan oleh Astry
Fajria dari buku Explorations in Social Theory, From
Metatheorizing to Rationalization, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
Ritzer. George, 2010, Teori Sosial Postmoderen, diterjemahkan oleh
Muhammad Taufik dari buku The Postmoderen Social
Theory, Juxtapose Research and Publication Study Club
bekerjasama dengan Kreasi Wacana, Jogjakarta.
Salim, Agus, 2012, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi
Metodologi Kasus di Indonesia, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Sanderson, K., Stephen,1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan
Terhadap realitas Sosial, Edisi Kedua, Diantar oleh Hotman
M. Siahaan, Rajawali Pers, jakarta.
Sarmadan dan Roslan, 2013. Fenomena Budaya Fashion, Food Dan
Funny (F3): Sebuah Studi Sosiologi Kontemporer Pada

214 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Mahasiswa FISIP UHO Kendari, Hibah Bersaing Pemula,
UHO, Kendari.
Scott, John, 2012, Teori-teori Sosial: Masalah-Masalah Pokok dalam
Sosiologi, ^cn_ld_g[be[h ^[lc \oeo ‗Social Theory‘,
Central Issues in Sosciology, oleh Ahmad Lintang Lazuardi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali
Press-Jakarta.
Sztompka, Piotr, 2011, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta.
Sumijati, AS (Ed.), 2001, Manusia dan Dinamika Budaya, dari
kekerasan Sampai Baratayuda, Fakultas Sastra UGM,
Kerjasama dengan Bigraf Publishing, Yokyakarta.
Suyanto, Bagong dan Amal, M. Khusna, 2010, Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, Aditya Media Publishing,
Yoyakarta.
Suyanto, Bagong, 2014, Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme dan
Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, Kencana,
Prenadamedia Group, Jakarta.
Suwarsono dan Alvin, 2000, Perubahan Sosial dan Pembangunan,
LP3ES, Jakarta.
Tarimana, Abdurrauf, 1995, Kebudayaan Tolaki, Balai Pustaka,
Jakarta.
Tanzil dan Peribadi, 2016, Shopping Mall and Communicational
Action in The Shopping Place, World Wide Journal of
Multi disciplinary Research and Development, e-ISSN:
2454-6615, WWJMRD 2016; 2(2): 27-31.
Weber, Max, 1978. Economy and Society. Edited by Gunther Roth
and Clauss Wittich, Barkeley: University of California
Press.

Sosiologi Pasar | 215


Sekilas Tentang Penulis

Dr. Peribadi, M.Si. Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember


1966 di Desa Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone
Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak pertama dari lima
bersaudara pasangan Askat dan Halija. Ketika usia sekolah sudah
mengizinkan, maka penulis mulai memasuki pendidikan tingkat dasar
di MTS Annurain Lonrae hingga tamat pada tahun 1981.
Penulis meninggalkan kampung kelahiran dan mengikuti
paman yang bertugas di Pulau Jati sebagai Kepala Syahbandar,
sehingga penulis menempuh Pendidikan Tingkat Pertama di SMP
Negeri 1 Raha Kabupaten Muna dan tamat pada Tahun 1983. Di
tempat ini pula penulis melanjutkan pendidikan Tingkat Menengah
Atas di SMA Negeri 2 Raha dan tamat pada Tahun 1985. Kemudian
pada Tahun 1986 penulis menyeberang ke Kota Lulo Kendari untuk
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi dan memasuki Program
Studi Sosiologi Universitas Haluoleo dan tamat pada Tahun 1991.
Pada Tahun 1993 penulis terpilih menjadi Staf pengajar di
Jurusan Sosiologi Universitas Haluoleo. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan S2 di
Institut Pertanian Bogor (IPB) hingga selesai pada tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2001 penulis kembali mengajar di Kampus
Baru Anduonohu Unhalu. Akhirnya, pada tahun 2012 penulis

216 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas Pertanian UHO konsentrasi
Community Development hingga selesai pada akhir tahun 2015.
Penulis beraktivitas di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang
Kendari sepanjang perkuliahan Srata Satu di Program Studi Sosiologi
dan aktif melayangkan artikel ilmiah populer, sehingga memperoleh
Piagam Penghargaan sebagai Toko Populer Sultra versi Harian
Kendari Ekspress dan Piagam Penghargaan sebagai Penulis Artikel di
Kendari Pos. Atas telaah kritisisme penulis yang diklaim tajam,
sehingga diundang banyak lembaga dan institusi untuk menggagas
berbagai persoalan sosial politik. Namun tidak sedikit pula yang
mencibirnya karena telaah-telaah kritisismenya itu, sehingga acapkali
dijauhi rekan-rekannya.
Selain beberapa karya ilmiah populer penulis diterbitkan oleh
beberapa Jurnal Internasional, juga salah satu buku ilmiah penulis
yang spektakuler diterbitkan oleh Lambert Academic Publishing
(LAP) Germany adalah Rekonstruction of Participatory Paradigm
Based on ESQ Power: A Strategy of Poverty Overcoming in Kendari
City South East Sulawesi (2015). Tak pelak lagi, keberanian penulis
berpikir alternatif terlihat dalam diskursus pemikirannya yang
dipresentasekan dalam forum International.
1. ‗Discourse Of Universum Organum Based On Revelation
Symn_g‘, in Proceedings of the Second International Conference
– Thoughts on Human Sciences in Islam (IC-THuSI), Sadra Press
(Sadra International Institute) dalam buku: Epistemology and
Methodology For A New Paradigm Of Human Sciences In
Islamic Perspektif (2015).

Sosiologi Pasar | 217


2. “Discourse Of Prophetic Sociology Methodology: An Ontology
Cihmnlo]ncih i` M_n[jbymc] R_[fcmg‘, ch Proceedings of the
Third International Conference – Thoughts on Human Sciences in
Islam (IC-THuSI), Jakarta, 16 - 17 November 2016, pp. 615 -
631,. Sadra Press (Sadra International Institute) dalam buku:
Theory and Practice, Human Sciences In Islamic Perspective
(2016).
3. ‗N[ncih‖m Cb[l[]n_l E^o][ncih B[m_^ Oh R_p_f[ncih Symn_g‘.
Adalah sebuah diskursus pembangunan karakter, dipresentasekan
dalam forum Asian Education Symposium (AES) Tahun 2016 di
Bandung.
4. ‗Ojjilnohcny [h^ Cb[ff_ha_ ch Dcm]iolm_ i` Plijb_nc] Sim]cifiay
M_nbi^_‘, ^cjl_m_hn[m_e[h ^[f[g forum ASEAN Symposium of
Sociology, 2 March 2017 di Kampus Depok Universitas
Indonesia.
5. “The Existence of Local Market And Modern: A
Phenomenological Study In Kendari City‘, ^cjl_m_hn[m_e[h ^c
International Conference on Islam and Local Wisdom (ICLAW),
Kendari, 25 April 2017.
6. Social Space Of Moderen And Traditional Market: A
Phenomenological Study In Kendary City, dipresentasekan dalam
Kongres IQRA dan Seminar Nasional Penelitian Kualitatif,
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 15 – 16 Juli 2017.
7. The Construction Of Prophetic Development Paradigm: A
Poverty and Impoverishment Resolution, dipresentasekan dalam

218 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
forum International Conference on International Conference on
Social Sciences (ICEESS), IAIN Palopo 10 – 12 Oktober 2017.
8. N[ncih‖m Cb[l[]n_l E^o][ncih B[m_^ Oh ESQ Piwer yang
dipresentasekan pada seminar nasional & CFP 1 IDRI, Ambon
Oktober, 26-2017.
9. Issues Of General Election: A Reality And Hiper Reality Show In
Political Stage, dipresentasekan dalam forum the 3 rd International
Conference on Social and Political Science, FISIP UIN Syarif
Hidayatullah November, 14th-15th 2017.
Akhirnya, telaah kritisisme penulis buku yang tampak lebih
membumi, terlihat dalam bukunya: Prahara Kehidupan Sosial Kaum
Agraris: Sebuah Perspektif Fenomenologis (2016); Dinamika Sosial
Perdesaan: Sebuah Potret Fenomenal (2016); dan Sosiologi
Perdesaan: Dalam Tinjauan Teoritis dan Praktikal (2017); The
Implementation of Participatory Development Paradigm: A Critical
Review Over Poverty Reduction Programs, dalam Buku Islam and
Local Wisdom Religius Expression in Southeast Asia; serta Resolusi
Kemiskinan (2017).

Sosiologi Pasar | 219


Dr. Darmin Tuwu, S.Sos, M.A. Penulis dilahirkan tanggal 2
Februari 1972 di Tarafu Kota BauBau Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pendidikan Dasar dan Menengah dijalaninya di Kota Bau-Bau,
sementara pendidikan SMA ditamatkan di Makassar. Tahun 1997
menamatkan pendidikan jenjang S1 Sosiologi Fisipol Universitas
H[m[ho^^ch ^_ha[h melcjmc n_hn[ha ‗Ihn_al[mc Simc[f-Budaya Migran
Buton dengan Penduduk Setempat di Kecamatan Tamalate Kota
M[^y[ Udoha P[h^[ha‘. G_f[l M.A. \c^[ha Simcifiac ^[h
Pemberdayaan Masyarakat diraihnya di Fisipol Universitas Gadjah
M[^[ Yiay[e[ln[ n[boh 2009 ^_ha[h nb_mcm \_ldo^of ‗Kih`fce
Kepemilikan Aset Daerah dalam Pemekaran Wilayah antara Pemkab
Buton dengan Pemkot Bau-B[o‘. S_f[hdonhy[ n[boh 2016,
memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial
dari Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas
Ih^ih_mc[, ^_ha[h Dcm_ln[mc \_ldo^of ‗Plial[g P_h[haaof[ha[h
Kemiskinan Berbasis Spiritualitas, Studi Program Persaudaraan
M[^[hc ^c Kin[ K_h^[lc‘.
Sejak tahun 2005 menjadi Dosen Tetap di FISIP UHO Kendari.
Minat yang besar pada kesejahteraan sosial telah memotivasinya
untuk menjadi Doktor Pertama dalam bidang Ilmu Kesejahteraan
Sosial di Universitas Halu Oleo. Mulai tahun 2016, mengajar pada
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Sosiologi FISIP UHO. Mata
Kuliah yang dibina antara lain: Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial;
Teori Kesejahteraan Sosial; Etika Pekerja Sosial, Sistem Pelayanan
Kesejahteraan Sosial, Manajemen Sistem Pelayanan Kemanusiaan,
Metode Pekerjaan Sosial, Metode Intervensi Sosial, Metode

220 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari
Penelitian Evaluatif, dan Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitaif.
Bidang kajian yang menjadi concern meliputi isu-isu kesejahteraan
sosial, social services, social policy, kemiskinan, konflik kekerasan
perdamaian, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, program
penanggulangan kemiskinan, CSR, dan program-program
pembangunan lainnya.
Beberapa tulisannya telah dituangkan dalam kolom opini
Kendari Post. Beberapa hasil penelitian dan pemikiran kritisnya sudah
diterbitkan dalam jurnal ilmiah lokal, nasional, dan internasional. Di
samping kesibukan mengajar dan melakukan kegiatan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, ia juga aktif menulis dan menjadi
pemateri pada seminar nasional dan internasional.

Sosiologi Pasar | 221


Dr. Tanzil, M.Si. Penulis lahir di Lowu-Lowu (Bau Bau)
pada tanggal 27 Maret 1966. Setelah menamatkan pendidikan pada
SMA Negeri 1 Bau Bau, lalu melanjutkan pendidikan Strata 1 di
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin Makassar dan
Strata 2 di Jurusan Sosiologi pada Universitas yang sama. Kemudian
pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas
Pertanian UHO konsentrasi Community Development. Kini telah
berhasil menyandang doktor pada akhir tahun 2017. Disamping itu,
Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Haluoleo Kendari. Selain beberapa karya ilmiah
populer penulis diterbitkan oleh beberapa Jurnal lokal, juga artikel
penulis telah berhasil diterbitkan oleh Jurnal Internasional.

222 | Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari

Anda mungkin juga menyukai