Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kelembagaan

Kelembagaan menurut Uphoff (1992) dan Fowler (1992) adalah “a complex

of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued

purpose” sedangkan organisasi adalah struktur peran yang diakui dan diterima.

Mengacu pada konsep kelembagaan yang diajukan oleh Gilin dan Gilin (1954)

tentang tingkat kemantapan tertentu dari kelembagaan, Horton dan Hunt (1984)

tentang rutinisasi dari kelembagaan, dan Uphoff (1986) dalam Saptana (2006)

yang menyatakan bahwa kelembagaan sebagai pola perilaku yang stabil, dihargai

dan berlaku dalam waktu yang lama, maka bagian pokok lainnya yang penting

untuk diperhatikan dalam pembahasan mengenai kinerja kelembagaan adalah

tentang pola perilaku atau pola interaksi yang terjalin antar pelaku dalam suatu

kelembagaan.

Kata kelembagaan merujuk kepada sesuatu yang bersifat mantap yang hidup

di dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1997). Secara konseptual, kelembagaan

berasal dari istilah pranata yang mengandung pengertian sebagai padanan

institution dan pranata sosial sebagai social institution. Suatu kelembagaan adalah

suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang. Kelembagaan

merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola, berfungsi untuk tujuan-

tujuan tertentu dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan

modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern, dan berfungsi untuk

mengefisienkan kehidupan sosial.

Mengacu pada pendapat Berger dan Luckman (1966) dalam Saptana (2006),

untuk membahas kelembagaan ekonomi ada beberapa aspek yang harus dilihat

9
yaitu pelaku yang mendukung dan mengonstruksi kelembagaan ekonomi tersebut

sekaligus dengan status dan perannya, juga aturan main yang berlaku dan

dikonstruksi oleh para pelaku. Menurut North (1993) dalam Sudaryanto (2005)

kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal berupa rule, laws, dan

constitutions, dan aturan informal berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain.

Seluruhnya merupakan penentu bagaimana terbentuknya struktur masyarakat dan

kinerja ekonominya yang spesifik.

Menurut Pakpahan (1989) dalam Elizabeth (2010), suatu kelembagaan

dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) yurisdiction of boundary (batas

yurisdiksi), (2) property right (hak kepemilikan), (3) rule of representation

(aturan representasi). Perubahannya menghasilkan performance yang diinginkan,

dan ditentukan oleh: (1) sense of community (perasaan sebagai satu masyarakat),

(2) eksternalitas, (3) homogenitas, dan (4) economic of scale (skala ekonomi).

Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di

dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma-norma yang

sudah disepakati yang sifatnya khas. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu

fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan

ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi, dunia berisi kelembagaan-kelembagaan dan

manusia pasti masuk kelembagaan tersebut (Sudaryanto 2005).

Salah satu ciri umum kelembagaan adalah adanya suatu tingkat kekekalan

atau kemapanan (Gilin dan Gilin 1954 dalam Saptana 2006) sehingga aturan main

dalam suatu kelembagaan juga telah berlaku dalam waktu yang cukup lama, dan

mungkin masih akan berlaku dalam jangka waktu yang lama lagi. Namun jika

mengacu pada pendapat Granovetter dan Swedberg (1992) yang menyatakan

10
bahwa kelembagaan ekonomi dikonstruksikan secara sosial, maka juga tidak

tertutup kemungkinan adanya konstruksi ulang mengenai aturan main yang

berlaku. Mengacu pada pendapat di atas, maka pembahasan mengenai aturan main

dalam kelembagaan ini akan mencakup tentang aturan main itu sendiri dan

perubahan-perubahan yang terjadi pada aturan main, serta bagaimana dan oleh

siapa aturan main tersebut dikonstruksi.

Selain pengertian diatas, kelembagaan dapat diarahkan sebagai organisasi.

Dalam aspek kelembagaan terdapat nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide,

gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek

keorganisasian berisi struktur, peran, hubungan antar pesan, integrasi antar

bagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riil,

struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas,

keanggotaaan, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain (Sudaryanto 2005).

Pada intinya, kelembagaan adalah jejaring yang terbentuk dari sejumlah,

mungkin puluhan sampai ratusan interaksi atau bisa disebut kelembagaan sebagai

interaksi yang berpola. Dari interaksi inilah dapat dipahami sebuah kelembagaan

hanya dengan memahami bagaimana pola, ciri, dan bentuk sebuah interaksi dan

dalam satu kelembagaan, sebagian besar interaksi berbentuk sama.

Dalam proses pengembangan kelembagaan, beberapa prinsip ini perlu

dijadikan pegangan (Sudaryanto 2005), yaitu:

 Pahami setting masyarakat setempat, karakteristik dan konfigurasi

ekonomi, politik, dan sosial setempat, serta level kolektivitas dan

individualitasnya.

11
 Bidang pekerjaan yang akan dilakukan, jenis, dan sifat interaksi yang ada

di dalamnya, serta adanya motivasi sosial dan ekonomi yang tercampur

didalamnya.

 Pelajari kelembagaan yang sudah ada di masyarakat, aktivitas yang akan

dijalankan, manfaat, dan masalah yang ada.

 Kelompokkan basis kelembagaan yang sesuai untuk tiap aktivitas yang

akan dijalankan, kecocokan, pola komunitas, pola pasar, pola pemerintah,

dan basis pelayanan.

 Pahami pula kekentalan kelembagaan yang sesungguhnya diperlukan,

penguatan personal relation, personal network, dan organisasi.

Kriteria kelembagaan untuk tujuan praktis yang dihubungkan dengan

pembentukan kelembagaan urutannya sebagai berikut (Suradisastra 2009):

1. Terorganisir dan memiliki norma atau aturan yang ditegakkan.

2. Memiliki cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai.

3. Secara konsisten melakukan suatu fungsi secara berulang dan telah

dilakukan dalam jangka cukup lama.

4. Melakukan interaksi dengan lembaga lain sebagai manifestasi saling

ketergantungan antar lembaga.

2.1.1. Kelembagaan Petani

Bentuk dan peran kelembagaan petani saat ini masih sangat dipengaruhi

oleh tuntutan dan strategi kebijakan pembangunan pertanian. Pemahaman sosial

budaya dan kelembagaan membantu memilah faktor-faktor tertentu kedalam suatu

urutan kegiatan yang mendekati kondisi kultural petani yang melakukan kegiatan

usahatani masing-masing. Pemahaman sosial budaya meliputi penguasaan pranata

12
sosial dan tatanan sosial setempat. Termasuk dalam pranata dan tatanan sosial

tersebut antara lain adalah peran kelembagaan petani dalam kaitan dengan

kegiatan usahatani dan pembangunan pertanian, peran kepemimpinan lokal, dan

pola komunikasi yang menggambarkan arah dan arus informasi dalam suatu

lembaga (Suradisastra 2009).

Posisi, peran, dan fungsi kelembagaan petani seringkali disusun

sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pembangunan wilayah sesuai

dengan kebijakan pembangunan setempat. Dalam kondisi demikian, kelembagaan

petani diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan dan bukan

untuk menyejahterakan petani. Pendekatan seperti ini secara langsung atau tidak

langsung, terasa atau tidak terasa, telah mengubah, mengerdilkan, atau

melumpuhkan kelembagaan tertentu. Namun di sisi lain tidak dapat disangkal

bahwa kelembagaan petani yang dibentuk secara paksa juga dapat meningkatkan

efisiensi dan kinerja kelembagaan petani ke arah yang lebih baik.

Peran lain dari suatu kelembagaan petani adalah peran menggerakkan

tindak komunal. Suatu lembaga struktur umumnya memiliki potensi kolektif yang

berasal dari para anggotanya. Sikap kolektif sebagai suatu kesatuan kini

merupakan tantangan tersendiri bagi para pelaksana pembangunan pertanian.

Memahami dan memanfaatkan secara tepat sifat-sifat komunal dan social capital

lain akan memberikan dampak yang diharapkan (Syahyuti 2007).

Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat

untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk

pemberdayaan yang lebih mendasar. Kedepan, agar dapat berperan sebagai aset

komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan

13
harus dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri

sehingga menjadi mandiri (Syahyuti 2007).

Masalah utama pengembangan kelembagaan petani adalah fakta bahwa

pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan lebih terpaku pada

organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non formal. Masalah lain

dalam pengembangan lembaga organisasi petani adalah sikap sosial anggota

kelembagaan dan masyarakat sekitarnya, terutama yang berkaitan dengan daya

lenting sosial komunitas petani yang dilibatkan dalam pembentukan atau

pengembangan lembaga petani di suatu wilayah.

Tetapi saat ini, kelembagaan petani dalam hal ini adalah gapoktan, diberi

pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi

lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa

dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk

fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,

pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang

dibutuhkan petani (Syahyuti 2007).

Pengembangan gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan

aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya

lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap

lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi.

Pada prinsipnya, lembaga gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan

ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya.

Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, gapoktan

14
diharapkan dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling

menguntungkan.

Setidaknya terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan

oleh gapoktan. Pertama, gapoktan difungsikan sebagai lembaga sentral dalam

sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu

bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Kedua, gapoktan

juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat lokal. Ketiga,

mulai tahun 2007, gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi

Perdesaan (LUEP) sehingga dapat menerima dana penguatan modal, yaitu dana

pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen

raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh.

2.1.2. Kualitas Kelembagaan Petani

Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting

karena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat

dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat

petani seperti pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan

pertanian, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan

sebagai perantara antara lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga

swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-

kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan

atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan

teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan

masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka

(Anantanyu 2009).

15
Menurut Esman (1986) dalam Anantanyu (2009) pengembangan

kelembagaan dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan

dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang; a) mewujudkan

perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik

atau sosial, b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan-

hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan c) memperoleh

dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga. Efektivitas

pengembangan kelembagaan diukur berdasarkan berbagai kriteria, termasuk

kemampuannya untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa bagi orang

dengan kategori tertentu dan kemampuannya mempertahankan hidupnya dalam

suatu jaringan dari unit-unit yang saling mengisi yang memajukan tingkat

pertumbuhan sosial-ekonomi (Eaton 1986 dalam Anantanyu 2009).

Sumardjo (2003) mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mendorong

kelompok tani berfungsi secara efektif antara lain:

1. Keanggotaan dan aktivitas kelompok lebih didasarkan pada masalah,

kebutuhan, dan minat calon anggota.

2. Kelompok berkembang mulai dari informal efektif dan berpotensi serta

berpeluang untuk berkembang ke formal sejalan dengan kesiapan dan

kebutuhan kelompok yang bersangkutan.

3. Status kepengurusan yang dikelola dengan motivasi mencapai tujuan

bersama dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama, cenderung

lebih efektif untuk meringankan beban bersama anggota, dibanding bila

pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan secara

sendiri-sendiri.

16
4. Inisiatif anggota kelompok tinggi untuk berusaha meraih kemajuan dan

keefektivan kelompok karena adanya keinginan kuat untuk memenuhi

kebutuhannya.

5. Kinerja kelompok sejalan dengan berkembangnya kesadaran anggota, bila

terjadi penyimpangan pengurus segera dapat dikontrol oleh proses dan

suasana demokratis kelompok.

6. Agen pembaharu cukup berperan secara efektif sebagai pengembang

kepemimpinan dan kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya

peran kelompok. Disamping itu, yang dibutuhkan atas kehadiran penyuluh

selain mengembangkan kepemimpinan adalah kemampuan masyarakat

mengorganisir diri secara dinamis dalam memenuhi kebutuhan hidup

kelompok.

7. Kelompok tidak terikat harus berbasis sehamparan, karena yang lebih

menentukan efektivitas dan dinamika kelompok adalah keefektivan pola

komunikasi lokal dalam mengembangkan peran kelompok.

2.2. Persepsi

Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih,

mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan informasi guna menciptakan

gambaran dunia yang memiliki arti (Buzzell 1981 dalam Kotler et al. 2009).

Sedangkan Herminta (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang

dilakukan individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indra mereka dalam

rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka, meskipun demikian apa

yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Persepsi

tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik, tapi juga pada rangsangan yang

17
berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan.

Poin pentingnya adalah bahwa persepsi dapat sangat beragam antara individu satu

dengan yang lain yang mengalami realitas yang sama. Setiap orang dapat

memiliki persepsi yang berbeda atas objek yang sama karena tiga proses:

perhatian selektif, distorsi selektif, dan ingatan selektif.

Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari

kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut

sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998). Rakhmat (1998) juga menjelaskan

yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karakteristik

orang yang memberi respon terhadap stimulus. Persepsi meliputi juga kognisi

(pengetahuan) yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut

pengalaman yang bersangkutan (Gibson 1986).

2.3. Kemandirian Petani

Kemandirian merupakan totalitas kepribadian yang perlu atau harus

dimiliki oleh setiap individu sebagai sumberdaya manusia (Nawawi dan Martini

1994). Kemandirian menunjuk pada individualitas bukan individualistis atau

individualisme atau bahkan egoisme. Kemandirian adalah kemampuan

mengakomodasikan sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan di dalam sikap

dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh

seorang individu.

Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari suatu karya manusia yang unik,

yaitu teknologi dengan segala perwujudan dan perkembangannya. Sukardi (1993)

menyatakan bahwa menyatunya dunia, sebagai kata lain dari globalisasi, hanya

dimungkinkan melalui pengembangan teknologi. Kehadiran ilmu pengetahuan

18
dan teknologi modern secara lebih lanjut memungkinkan manusia untuk

mengeksplorasi, memanipulasi, dan mentransformasikan lingkungannya menjadi

suatu lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Kesempatan dan

pilihan muncul sebagai akibat pembangunan, dengan adanya globalisasi, hal

tersebut tidak lagi hanya berasal dari lingkungannya, tetapi juga dari belahan

dunia lain.

Di dunia pertanian, kesiapan petani menghadapi era globalisasi adalah

menyangkut kualitas perilaku petani dalam konteks kesiapan petani. Kesiapan

petani akan menentukan sejauh mana petani mampu mandiri. Pengertian petani

mandiri disini adalah petani terbebas dari kungkungan dan ketergantungan dan

subordinasi dari pihak lain dalam mengambil dan melaksanakan keputusan

hidupnya (Sumardjo 1999). Covey (1993) tentang kemandirian, petani yang

mandiri adalah petani yang mampu menciptakan kesalingtergantungan dan duduk

setara dalam pola kolegial (kemitraan) dengan pihak lain. Keputusan yang diambil

petani idealnya adalah keputusan yang merdeka dan dinilai secara sadar oleh

petani tersebut sebagai keputusan yang paling menguntungkan.

Dalam konteks pertanian berkelanjutan di era globalisasi ekonomi,

kemandirian petani tersebut akan mantap apabila potensi petani tersebut diwarnai

dengan aspek-aspek perilaku petani yang berciri modern, efisien dalam bisnis

pertanian dan daya saing yang menghasilkan keterkaitan yang berkesinambungan.

Ciri-ciri kemandirian petani menurut Edward (1967), Inkeles dan Smith

(1974), Covey (1995), Faulkner dan Browman (1995) dalam Sumardjo (1999)

adalah sebagai berikut:

19
1. Petani mandiri mempunyai rasa percaya diri dan mampu memutuskan atau

mengambil suatu tindakan yang dinilai paling menguntungkan secara

cepat, dan tepat dalam mengelola usahanya di bidang pertanian tanpa

tergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, baik itu berupa perintah,

ancaman, petunjuk atau anjuran.

2. Senantiasa mengembangkan kesadaran diri dan kebutuhannya akan

pentingnya memperbaiki diri dan kehidupannya, serta punya inisiatif dan

kemauan keras untuk mewujudkan harapannya.

3. Mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam kedudukan setara sehingga

terjadi kesalingketergantungan dalam situasi saling menguntungkan dalam

suatu kemitraan usaha yang berkelanjutan.

4. Mempunyai daya saing yang tinggi dalam menetapkan pilihan terbaik bagi

alternatif usaha yang ditempuh dalam kehidupannya.

5. Senantiasa berusaha memperbaiki kehidupannya melalui berbagai upaya

memperluas wawasan berfikir dan pengetahuan, sikap dan

keterampilannya, sehingga berespon secara positif terhadap perubahan

situasi dan berusaha secara sadar mengatasi permasalahan dengan prosedur

yang dinilai paling tepat.

2.4. Kesejahteraan Petani

Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat

perdesaan adalah melalui penerapan inovasi teknologi, khususnya teknologi

pertanian. Menurut Bustanul (2000), perubahan sistem perekonomian perdesaan

akibat inovasi teknologi akan merangsang inovasi kelembagaan, perubahan sistem

20
nilai, inovasi institusi, dan sebagainya yang mengarah kepada perputaran inovasi

IPTEK.

Kinerja indikator kesejahteraan ekonomi petani dapat digambarkan

melalui lima aspek yang bisa menunjukkan penciri atau penanda kesejahteraan

petani, yaitu: (1) struktur pendapatan rumah tangga (on farm, off farm, dan non

farm), (2) struktur pengeluaran rumah tangga, (3) keragaan tingkat ketahanan

pangan rumah tangga, (4) keragaan daya beli rumah tangga petani, dan (5)

perkembangan nilai tukar petani (NTP) (Sadikin dan Subagyono 2008).

2.5. Pertanian Berkelanjutan

Selama ini indikator sukses pertanian kita adalah sekedar jumlah atau hasil

produksi pertanian, untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam pertanian

berkelanjutan, tujuan yang ingin dicapai bukanlah sekedar target produksi jangka

pendek, tetapi lebih ditekankan pada upaya keberlanjutan sistem produksi jangka

panjang. Sehingga inovasi yang dilakukan, dalam pertanian berkelanjutan adalah

dalam rangka peningkatan secara optimal proses-proses biologi dan ekologi dalam

ekosistem (Manuwoto 1998).

Untuk inilah, kini saatnya terutama para penyuluh pertanian untuk

mengajari petani tentang cara-cara mengembangkan kesuburan tanah, prinsip

pengendalian hama alami dan pengoptimalisasi peran musuh alami, pengelolaan

tanaman (memilih jenis, pola tanam, mengatur waktu tanam yang tepat) guna

memanipulasi interaksi musim tanaman dan hama. Hal lain, harus dipikirkan pula

pengembangan jenis-jenis kultiva tanaman yang tidak banyak membutuhkan

pupuk dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit. Pengembangan varietas

21
unggul lokal (yang sudah beradaptasi sesuai dengan kondisi setempat) perlu

dipertimbangkan untuk mendapatkan bibit unggul spesifik lokasi.

Untuk menjamin keseimbangan agar terciptanya keberlanjutan ada tiga

unsur yang harus diperhatikan. Pertama, kegiatan pertanian itu tidak menguras

sumberdaya alam dan juga tidak merusak lingkungan. Kedua, kegiatan pertanian

itu dilaksanakan secara efisien dan ekonomis sehingga memberikan keuntungan

bagi pelaku-pelakunya tidak saja pada saat ini tapi juga bagi pelaku-pelaku pada

generasi mendatang. Kemudian yang ketiga adalah harus dapat mengantisipasi

perubahan karena perubahan itu pasti terjadi pada lingkungan yang dinamis ini

(Manuwoto 1998).

2.6. Biaya Transaksi

Biaya transaksi adalah biaya yang ditimbulkan dalam melakukan transaksi

ekonomi. Dalam pengertian yang lain, biaya transaksi adalah biaya untuk

menentukan dan memberlakukan hak-hak kepemilikan atas barang dan jasa

(Coase 1960). Jenis biaya transaksi, yaitu:

1. Biaya mencari informasi yaitu biaya yang ditimbulkan untuk memperoleh

informasi mengenai barang yang diinginkan dari pasar (misalnya biaya

untuk memperoleh harga termurah, kualitas terbaik, dan variasi jenis

barang).

2. Biaya membuat kontrak atau negosiasi (bargaining cost) yaitu biaya yang

diperlukan untuk menerima suatu persetujuan/kontrak dengan pihak lain

atas suatu transaksi (misalnya biaya notaris).

3. Biaya monitoring yaitu biaya yang ditimbulkan karena adanya kegiatan

untuk mengawasi pihak lain dalam melaksanakan kontrak (misalnya,

22
biaya cek kualitas, cek kuantitas, cek harga, ketepatan waktu kirim, dan

keamanan).

4. Biaya adaptasi (selama pelaksanaan kesepakatan) yaitu biaya yang

ditimbulkan karena dilakukannya penyesuaian-penyesuaian pada saat

suatu kesepakatan transaksi dilakukan (misalnya penyesuaian biaya

produksi karena kenaikan sebagian besar harga bahan baku).

Penyebab terjadinya biaya transaksi adalah:

1. Suatu kegiatan sering terjadi (frequent)

2. Suatu kegiatan transaksi atas barang/jasa yang bersifat khusus (speciality)

3. Kondisi ketidakpastian (uncertainty)

4. Daya nalar yang terbatas (limited rationality)

5. Perilaku spekulatif (opportunist)

Pengelolaan kelembagaan pasti memerlukan biaya transaksi.

Bagaimanapun untuk mencapai kesepakatan dalam kelembagaan memerlukan

biaya transaksi. Minimumnya biaya transaksi akan mempunyai implikasi terhadap

tercapainya komitmen kesepakatan bersama, yang pada akhirnya akan tercapai

distribusi manfaat yang adil antar stakeholders dan kelestarian.

Dalam notasi matematik:

Dimana:

Xi = Manfaat kelembagaan

Yj = Biaya transaksi kelembagaan

i = Jenis manfaat kelembagaan

j = Jenis biaya transaksi

23
Biaya transaksi terdiri dari (i) pencarian informasi, (ii) manajemen

stakeholders, dan monitoring, serta (iii) penegakan aturan dan kesepakatan,

mencakup asuransi dan pencegahan konflik. Biaya informasi umumnya

dilaksanakan pada tahap perencanaan, yaitu biaya mengenai stakeholders yang

berkepentingan, lokasi, peran, tupoksi, dan lain sebagainya. Kartodiharjo (2004)

menyebutkan bahwa informasi tentang peran setiap aktivitas institusi tersebut

sangat penting terutama untuk menghubungkan dengan struktur insentif. Karena

setiap pembuatan konsensus atau kesepakatan juga perlu banyak informasi. Biaya

manajemen stakeholders mencakup biaya koordinasi, sosialisasi, pertemuan,

monitoring, dan lain sebagainya.

2.7. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian Hermanto (2007), Prima Tani di Desa Kertosari,

Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi Rawas (Mura), Propinsi Sumatera

Selatan merupakan model percontohan sistem dan usaha agribisnis di lahan sawah

intensif dengan mengembangkan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT).

Kelembagaan tani yang telah ditumbuhkembangkan selama kurun waktu dua

tahun berjalan (2005-2006) antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro

perdesaan untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2)

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk mengatasi berbagai masalah yang

dihadapi oleh petani dalam mengembangkan usaha agribisnisnya, (3)

kelembagaan klinik agribisnis yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat

petani dalam mewujudkan sistem kehidupan yang lebih baik, dan (4)

kelembagaan kemitraan bermediasi dalam rangka membantu peningkatan

pendapatan petani melalui peningkatan efisiensi sistem pemasaran.

24
Dengan adanya pembinaan yang dilakukan secara intensif terhadap

kelompok tani di Desa Kertosari, maka terciptalah suatu kelembagaan kelompok

tani yang mampu memberikan suasana kepada anggotanya untuk masuk dalam

sistem agribisnis. Hal ini juga ditunjukkan dari peranan kelompok yang semakin

meningkat dalam pengembangan sistem agribisnis di perdesaan. Misalnya,

beberapa kelompok tani telah menerapkan dan mempersiapkan sarana pertanian

guna memenuhi kebutuhan anggotanya, baik bersifat barang maupun pendanaan

(Hermanto 2007).

Demikian halnya dengan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang baru

dibentuk pada bulan September 2006 dengan pengurus terdiri atas manajer,

sekretaris, dan bendahara. Unit usaha yang baru dikembangkan, yaitu: unit

Alsintan dan unit produksi/pemasaran (bidang tanaman pangan, peternakan dan

perikanan). Dalam unit usaha alsintan/pasca panen dihimpun semua bentuk usaha

yang menggunakan alsintan dalam mendukung implementasi sistem dan usaha

agribisnis. Pada unit produksi/pemasaran difokuskan untuk mendukung

pengembangan usahatani padi dan penangkaran benih, penggemukan sapi,

produksi jamur, pupuk, dan produksi ikan (Hermanto 2007).

Selanjutnya klinik agribisnis juga telah dibentuk untuk mengembangkan

pelayanan informasi teknologi dan agribisnis, pusat pelatihan petani dan tempat

pertemuan teknis. Materi kegiatan klinik yang dikembangkan meliputi: (1)

penguatan fasilitator melalui kegiatan pelatihan di bidang tanaman pangan,

peternakan dan perikanan, pengelolaan perpustakaan dan pengelolaan peta

peragaan inovasi teknologi, (2) pelayanan informasi teknologi (inisiasi

perpustakaan), (3) konsultasi teknologi, (4) peragaan inovasi teknologi, seperti

25
peragaan penangkaran benih VUTB/VUB, pembuatan pupuk kompos kascing,

pembuatan fermentasi jerami, teknologi budidaya jamur, dan pembuatan pakan

formulasi (Hermanto 2007).

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari, klinik agribsinis di Desa

Kertosari telah didukung oleh peneliti/penyuluh BPTP, staf dinas dan PPL.

Keberadaan klinik tersebut telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa

Kertosari sebagai tempat untuk belajar, berkonsultasi dan mengetahui berbagai

informasi inovasi teknologi pertanian dan pengembangan usaha agribisnis.

Bahkan klinik ini juga telah dikunjungi oleh Bupati beserta rombongan dalam

rangka penilaian PKK desa untuk diperlombakan. Dalam hal ini Desa Kertosari,

tidak saja muncul sebagai pemenang PKK tingkat kabupaten, namun juga sebagai

juara I untuk tingkat Propinsi Sumatera Selatan (Hermanto 2007).

26

Anda mungkin juga menyukai