Anda di halaman 1dari 24

DOSEN PENGAMPU

MATA KULIAH
Arif Rahman Hakim, MA
Psikologi Umum

MAKALAH

KONSEP MANUSIA MENURUT MADZHAB


PSIKOANALISIS DAN BEHAVIORISME

Oleh:

Kelompok 1

1. Jubaidah (210101010110)
2. Nur Rahmi Latifah (210101010118)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM ANTASARI BANJARMASIN
TAHUN 2022

KATA PENGANTAR

‫الرحيــم‬
ّ ‫الرحمن‬
ّ ‫بــسم اهلل‬
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, atas segala limpahan karunia,
nikmat, dan petunjuk-Nya sehingga pada akhirnya makalah ini dapat selesai.
Shalawat serta salam selalu kita haturkan kepada panutan kita, Nabi Besar
Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamduillah atas izin-Nya dan atas kerja sama yang baik dari teman-teman yang
telah memberikan ide-idenya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
penulisan makalah yang berjudul ”Konsep Manusia Menurut Mazhab
Psikoanalisis Dan Behaviorisme” dengan tepat waktu, sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan.
Kami sampaikan terima kasih banyak kepada bapak Arif Rahman
Hakim, MA selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Agama yang telah
mempercayakan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Juga kepada kedua orang tua serta teman-teman sekalian yang selalu
memberikan dukungan kepada kami.
Harapan kami, semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dalam
meningkatkann pengetahuan sekaligus wawasan kepada kita semua. Penulis
berharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 22 September 2022


Kelompok 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah...........................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Pengertian Identitas Nasional.......................................................................3
B. Faktor Pembentuk Identitas Nasional..........................................................5
C. Nasionalisme................................................................................................7
D. Ideologi Pancasila........................................................................................8
1. Pengertian Ideologi Pancasila..................................................................8
2. Ideologi Pancasila Sebagai Tonggak Eksistensi Bangsa.........................9

BAB III PENUTUP...............................................................................................1


A. Simpulan......................................................................................................1
B. Saran.............................................................................................................1

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi amat penting bagi kehidupan


manusia, mengingat obyek kajian psikologi adalah perilaku manusia. Dapat
dikatakan bahwa mempelajari perilaku manusia berarti melakukan pengkajian
yang amat mendasar dalam hidup manusia.

Sepanjang sejarah peradaban, kajian tentang manusia menduduki rangking


tertinggi dan sekian kajian yang ada. Selain objeknya yang unik, kajian itu dapat
menghasilkan berbagai persepsi dan konsepsi yang berbeda. Sebab keberadaan
manusia di dunia bukan sekedar ada dan berada, tetapi lebih penting lagi ia dapat
mengada. Ia berperan sebagai objek dan sebagai sejarah, bahkan mampu
mengubahnya, kehidupan dinamis dan secara kualitatif berevolusi untuk mencapai
kesempurnaan, karena itulah maka kajian tentang manusia tanpa mengenal
perbedaan zaman.

Maksud citra manusia di sini adalah gambaran tentang diri manusia yang
berhubungan dengan kualitas asli manusiawi, kualitas tersebut merupakan
sunatullah yang dibawa sejak lahir. Kondisi citra manusia secara potensial tidak
dapat berubah, sebab jika berubah, maka eksistensi manusia akan menjadi hilang.
Namun secara aktual, citra itu dapat berubah sesuai dengan kehendak dan pilihan
manusia itu sendiri.1

1
Imam Malik, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 278.
Pemahaman citra manusia sangat beragam, hal itu tergantung pada latar
belakang di mana citra itu dirumuskan, misalnya latar belakang agama, ideologi
bangsa, cara pandang dan pendekatan studi. Pada rentang perkembangan sejarah,
psikologi barat kontemporer selain memiliki keunggulan konsep dan teorinya,
serta terdapat sejumlah kritik dan catatan.

Perbedaan sudut pandang dalam melihat makna hakiki fenomena perilaku,


atau perbedaan pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia, dengan
sendirinya akan melahirkan interpretasi yang amat berbeda dalam menelaah
perilaku manusia.

Dari perbedaan ini, dalam sejarah perkembangannya psikologi melahirkan


beberapa aliran, seperti aliran Psikologi Psikoanalisis, aliran tingkah laku
(behaviorism), dan aliran psikologi humanistik, yang masing-masing memiliki
konsep dasar penelaahan perilaku yang khas. Tulisan ini akan mengupas
pemahaman pengertian Psikologi dan Agama, pengertian konsep, pengertian
manusia, konsep manusia menurut madzhab Psikoanalisis, dan konsep manusia
menurut madzhab berhavioristik sebagai salah satu bahan acuan untuk memahami
hakekat manusia yang lebih utuh serta upaya dalam meninjau manusia dari sudut
pandang yang lain, dalam hal ini konsep Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan maslah pada makalah ini


sebagai berikut.

1. Apa itu yang dimaksud Psikologi dan Agama ?


2. Apa yang dimaksud itu Konsep ?
3. Apa yang dimaksud Manusia ?
4. Bagaimana Konsep Manusia Menurut Madzhab Psikoanalisis ?
5. Bagaimana Konsep Manusia Menurut Madzhab Behaviorisme ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini bertujuan untuk
1. Untuk Mengetahui Pengertian Psikologi dan Agama
2. Untuk Mengetahui Pengertian Konsep
3. Untuk Mengetahui Pengertian Manusia
4. Untuk Mengetahui Konsep Manusia Menurut Madzhab Psikoanalisis
5. Untuk Mengetahui Konsep Manusia Menurut Madzhab Behaviorisme

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi dan Agama

Pada dasarnya, psikologi berasal dari dua kata, psyche yang berarti jiwa
(Chaplin, 1981) dan logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan (Walgito,
2004). Berdasarkan hal itu, psikologi sering kali dimaknai sebagai ilmu jiwa.
Gerungan (1966) menuliskan bahwa ilmu jiwa miliki konteks yang lebih luas dari
psikologi karena psikologi adalah bagian dari ilmu jiwa yang diperoleh dengan
metode dan prosedur yang ilmiah dan terstruktur. Oleh karena itu, psikologi sudah
pasti termasuk ilmu jiwa, sedangkan ilmu jiwa belum tentu psikologi.

Awalnya, psikologi merupakan cabang dari filsafat. Namun, perlahan


psikologi menjadi ilmu yang mandiri sejak banyak penelitian khusus tentang
kejiwaan dan sejak didirikannya laboratorium psikologi formal pertama oleh
Wilhelm Wundt di Leipzeig Jerman pada 1879 (Latipun, 2010). Sejak saat itu,
psikologi menjadi ilmu pengetahuan yang menganut prinsip empiris dan
observable.2

Psikologi merupakan kelanjutan studi tentang tingkah laku manusia dalam


kehidupan sehari-hari, maka banyak sekali konsep dalam Psikologi dapat
ditemukan yang berasal dari kehidupan hubungan antar manusia. Hal ini sering
menimbulkan perasaan pada setiap orang bahwa dirinya mengerti dasar-dasar

2
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama (Implementasi Psikologi Untuk Memahami Perilaku
Beragama), (Jakarta Timur: PRENADAMEDIA GROUP, 2019), h. 1.
Psikologi, bahkan menganggap dirinya kompeten dalam bidang ini. Demikian
pula apabila seorang sarjana Psikologi berhasil mengatasi masalah-masalah
psikologis dengan bantuan ilmunya dianggap sebagai hal yang biasa dan mudah
dimengerti. Namun bilamana sarjana Psikologi tersebut gagal dalam menerapkan
ilmunya untuk mengatasi masalah psikologis, maka kegagalan dan korbannya
akan didemonstrasikan sepanjang hidupnya. Berbeda dengan kegagalan seorang
sarjana kedokteran yang tidak dimengerti oleh orang lain korbannya segera
dikubur dan dilupakan. Akan tetapi kalau berhasil sarjana kedokteran tersebut
akan menjadi pahlawan sebagai penyelamat hidup manusia dan ilmunya akan
dikagumi masyarakat.3

Psikologi agama terdiri dari dua kata, psikologi dan agama. Psikologi
sendiri, seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, memiliki definisi
sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari segenap dinamika kejiwaan dan
fungsi mental makhluk hidup (khususnya manusia) melalui perilaku karena
perilaku merupakan manifestasi dari kejiwaan.

Kata selanjutnya adalah agama. Beberapa ahli mengatakan bahwa tidak


mudah mendefinisikan agama tanpa mereduksi makna agama itu sendiri. Mukti
Ali (Muchtar, 2001) mendefinisikan agama sebagai wujud kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan
utusan-utusan-Nya untuk keba hagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Namun menurut Rakh mat (2005), definisi agama menurut Mukti Ali tersebut
terbatas dalam konteks agama Islam dan bukan dalam arti umum.4

B. Pengertian Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti; pengertian,
gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang
telah dipikirkan. 5Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,
3
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2001), h.21.
4
Ibid, h. 11.
5
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 520.
dibutuhkan suatu perencanaan yang mudah dipahami dan dimengerti. Perencanaan
yang matang menambah kualitas dari kegiatan tersebut. Di dalam perencanaan
kegiatan yang matang tersebut terdapat suatu gagasan atau ide yang akan
dilaksanakan atau dilakukan oleh kelompok maupun individu tertentu,
perencanaan tadi bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep.
Pada dasarnya konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, atau
menurut Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat
umum atau abstrak tentang sesuatu. 6
Fungsi dari konsep sangat beragam, akan
tetapi pada umumnya konsep memiliki fungsi yaitu mempermudah seseorang
dalam memahami suatu hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti,
serta mudah dipahami. Adapun pengertian konsep menurut para ahli:
1. Soedjadi, mengartikan konsep ke dalam bentuk atau suatu yang abstrak untuk
melakukan penggolongan yang nantinya akan dinyatakan kedalam suatu
istilah tertentu.
2. Bahri, konsep adalah suatu perwakilan dari banyak objek yang memiliki ciri-
ciri sama serta memiliki gambaran yang abstrak.
3. Singarimbun dan Efendi, konsep adalah suatu generalisasi dari beberapa
kelompok yang memiliki fenomena tertentu sehingga dapat digunakan untuk
penggambaran fenomena lain dalam hal yang sama
C. Pengertian Manusia

Sedikitnya ada tiga kelompok istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam


menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun psikis. Salah satunya
yaitu kata al-basyar, Secara bahasa (lughawiy, leksikal) berarti fisik manusia.
Manusia disebut dengan al-basyar, - menurut M. Quraish Shihab -, adalah karena
kulitnya nampak dengan jelas yang berbeda dengan kulit binatang yang ditutupi
dengan bulu bulu. Memang jika dibandingkan dengan kulit binatang, maka kulit
manusia adalah yang paling jelas kelihatannya, karena tidak ditumbuhi bulu-bulu
atau sisik-sisik yang dapat melindungi kulit dari pandangan mata.

6
Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan
Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 13.
Secara lebih luas Ibn Mansur menguraikan bahwa kata al-basyar dipakai
untuk menyebut manusia baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun
banyak. 'Kata al-basyar adalah jamak dari kata al-basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya
rambut atau bulu. Berbagai uraian di atas memberikan pengertian bahwa
penekanan kata al-basyar adalah sisi fisik manusia yang secara biologis memiliki
persamaan antara seluruh umat manusia.

Berdasarkan penelitian terhadap seluruh ayat-ayat yang menggunakan kata


al-basyar tersebut, maka terdapat 25 ayat yang menerangkan tentang kemanusiaan
Rasul dan Nabi. Termasuk yang mengungkapkan keserupaan mereka dengan
orang-orang kafir dalam hal sifat kemanusiaan dan biologisnya. Baik dalam
konteks pengingkaran terhadap Nabi dan Rasul karena persamaan biologis,
maupun dalam konteks perintah Allah kepada Rasul dan Nabi. Berikut ini
beberapa ayatnya:

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia yang dijelaskan


dengan istilah al-basyar menekankan kepada gejala umum yang melekat pada
fisik manusia, yang secara umum relatif sama antara semua manusia. Pengertian
al-basyar tidak lain adalah pengertian manusia pada umumnya, yaitu manusia
dalam kehidupannya sehari-hari yang sangat bergantung kepada kodrat
alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan seks, tumbuh, berkembang dan
akhirnya mati, hilang dari peredaran kehidupan dunia.

D. Konsep Manusia Menurut Madzhab Psikoanalisis

Aliran Psikoanalisis pada mulanya merupakan usaha mencari sebab-sebab


penyakit jiwa dan teknik penyembuhannya oleh para psikiater (ahli penyakit
jiwa). Menurut mereka sebab penyakit kejiwaan ialah adanya konflik kejiwaan,
yang terletak di dalam alam-tak-sadar (unconsciousness).

Aliran ini muncul pada permulaan tahun 1900. Kemajuan kemajuan di


bidang pskologis medis dan praktik-praktik yang dilanjutkan oleh aliran-aliran
hipnosis, mendorong berkembang nya gerakan psikologis ini. Bapak Psikoanalisis
ialah Sigmund Freud (1856-1939) terkenal dengan teori psikoanalisisnya yang
mencakup teori kepribadian, teknik analisis kepribadian dan metode terapi.
Teknik penyembuhan Psikoanalisis Freud merupakan hasil pengembangan teknik
magnetisme (daya penyembuh magnetis) oleh F.A. Mesmer (1734-1815) dan
hipnotisme oleh J.M. Charcot (1825-1893). Teori kepribadian Freud
mengutarakan, bahwa jiwa terdiri atas tiga sistem yaitu id, ego dan super ego,
sejalan dengan teori strata dari Pierre Janet (1859-1947) yang mengutarakan,
bahwa kepribadian itu terdiri dari kecenderungan yang tersusun secara hierarkis
dari yang paling rendah (refleks) sampai yang paling tinggi (akal). Demikian pula
mengenai dinamika kepribadian disebabkan oleh dorongan seksual dan agresi
menurut Freud, dapat dipersamakan dengan teori energi yang bersumber pada
phisiolog psikologis dan keturunan dari Janet. Pemuka aliran Psikoanalisis
lainnya adalah Carl Gustav Yung (1875 1961), salah seorang murid Freud. Teori
kepribadian Freud lebih bersifat mekanistis kausalistis, sedangkan teori
kepribadian Yung menunjukkan konsepsi analitis, bersifat teleologis dan adanya
upaya untuk menafsirkan tingkah laku manusia dari sudut filsafat, agama dan
mistik. Murid Freud lainnya ialah Alfred Adler (1870-1937), mengemukakan
bahwa setiap individu mempunyai kelemahan organ (organ inferiority) yang
berbeda-beda, dan ia berusaha mengatasi kelemahan itu dengan mengadakan
kompensasi mencari kekuatan guna kesesuaian hidup dalam hubungan dengan
masyarakatnya. Kelemahan organ mengakibatkan perasaan rendah diri atau
"inferiority feeling" yang harus diatasi dengan kompensasi, guna memenuhi hasrat
untuk diakui atau dianggap penting oleh masyarakat. Teori kepribadian Adler
disebut pula teori psikologi individual.7

Di bawah pimpinan Sigmund Freud, para psikoanalis menekankan adanya


proses mental tak sadar. Freud adalah seorang dokter, psikiatris, dan neurolog
yang menaruh perhatian besar pada pengertian dan pengobatan gangguan
gangguan mental. Ia sedikit sekali menaruh minat pada problem problem
tradisional pada psikologi akademis, seperti sensasi, persepsi, berpikir dan

7
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2001), h.21-23.
kecerdasan. Karena itu, ia mengabaikan problem kecerdasan dan mengerahkan
usahanya untuk me mahami dan menerangkan apa yang diistilahkannya sebagai
ketidaksadaran. Menurut Freud, hal ini tidak dapat dipelajari dengan metode
introspeksi ataupun eksperimen laboratorium.

Menurut teori Freud, sumber utama konflik dan gangguan gangguan


mental terletak pada ketidaksadaran ini. Karena itu, untuk mempelajari gejala-
gejala ini, Freud mengembangkan teknik psikoanalisis yang sebagian besar
didasarkan atas interpretasi arus pikiran pasien yang diasosiasikan secara bebas
dan analisis mimpi. Baik isi maupun metodenya merupakan sudut pandang yang
radikal. Selama bertahun-tahun, pendekatan psikoanalisis ini mengalami berbagai
tantangan dengan banyak modifikasi dan memperoleh banyak pendukung di
samping banyak pula yang menentang (Sarwono, 1996).

Dalam pandangan Freud, sebagian besar perilaku manusia diatur oleh


insting. Dorongan insting disebabkan oleh kebutuhan fisik yang memotivasi orang
untuk memuaskannya sehingga proses fisik tersebut dapat mencapai
keseimbangan. Insting didefinisikan sebagai perwujudan psikologis dari suatu
sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir. Perwujudan
psikologisnya disebut hasrat sedangkan rangsangan jasmaniahnya dari hasrat itu
muncul disebut kebutuhan. Jadi, keadaan lapar dapat digambarkan secara
fisiologis sebagai keadaan kekurangan makanan pada jaringan-jaringan tubuh,
sedangkan secara psikologis diwujudkan dalam bentuk hasrat akan makanan.
Hasrat itu berfungsi sebagai motif bagi tingkah laku. Orang yang lapar mencari
makanan. Karena itu insting dilihat sebagai faktor pendorong kepribadian.
Mereka tidak hanya mendorong tingkah laku tetapi juga menentukan arah yang
akan ditempuh tingkah laku. Dengan kata lain, insting menjalankan kontrol
selektif terhadap tingkah laku dengan meningkatkan kepekaan orang terhadap
jenis-jenis stimulus tertentu. Orang yang lapar lebih peka terhadap stimulus-
stimulus makanan. Orang yang terangsang secara seksual memiliki kemungkinan
lebih besar untuk merespons stimulus-stimulus erotis (Sarwono, 1996). mana
Dalam pada itu, dapat diamati bahwa organisme juga dapat digerakkan oleh
stimulus-stimulus dari dunia luar. Akan tetapi Freud beranggapan bahwa sumber-
sumber perangsang dari lingkungan ini memainkan peranan yang kurang penting
dalam dinamika kepribadian dibandingkan dengan insting-insting yang dibawa
sejak lahir. Umumnya, stimulus-stimulus dari luar lebih sedikit tuntutannya
terhadap individu dan memerlukan bentuk-bentuk penyesuaian yang kurang
kompleks dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan. Orang selalu dapat
melarikan diri dari suatu stimulus eksternal tetapi tak mungkin menghindar dari
suatu kebutuhan. Meskipun Freud menempatkan stimulus-stimulus dari luar pada
posisi sekunder, namun ia tidak memungkiri pentingnya stimulus-stimulus itu
pada keadaan-keadaan tertentu.

Misalnya, stimulus yang berlebihan selama tahun-tahun awal kehidupan


ego yang belum matang tidak mampu menata energi bebas (tegangan) dalam
jumlah besar dapat mengakibatkan pengaruh-pengaruh drastis pada kepribadian
(Sarwono, 1996).

Insting adalah suatu berkas atau butir energi psikis atau seperti dikatakan
Freud, “Suatu ukuran tuntutan pada jiwa untuk bekerja.” Semua insting bersama-
sama merupakan keseluruhan energi psikis yang tersedia bagi kepribadian. Id
adalah reservoir dari energi ini, dan juga merupakan sumber-sumber insting.
Insting dapat dianggap sebagai dinamo yang memberikan daya psikologis untuk
menjalankan bermacam-macam kegiatan kepribadian.

Insting memiliki empat karakteristik utama (Budiraharjo, 1997); (1)


Bersumber dari kekurangan yang bersifat fisik; (2) Bertujuan memuaskan
kebutuhan. Tujuan dari insting lapar misalnya, ialah menghilangkan kekurangan
makanan yang terpenuhi dengan memakan makanan; (3) Objek yang menjadi
sasaran insting tersebut. Seluruh kegiatan yang menjembatani antara munculnya
suatu hasrat dan pemenuhannya termasuk dalam objek. Jadi objek tidak hanya
terbatas pada benda atau kondisi tertentu yang akan memuaskan kebutuhan tetapi
juga seluruh tingkah laku yang berfungsi untuk mendapatkan benda atau kondisi
yang diperlu kan. Misalnya apabila seseorang lapar ia biasanya melakukan
sejumlah kegiatan sebelum mencapai tujuan akhir, yaitu makan; (4) Impetus, yaitu
dorongan yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Impetus ditentukan oleh
intensitas kebutuhan yang mendasarinya. Manakala kekurangan makanan menjadi
lebih besar, sampai pada titik di mana fisik mulai lemah, maka kekuatan insting
juga lebih besar.

Menurut Freud sumber dan tujuan insting akan konstan selama hidup,
kecuali jika sumber tersebut diubah dihilangkan akibat pematangan fisik. Insting-
insting baru dapa muncul dengan berkembangnya kebutuhan-kebutuhan jasman
baru. Sedangkan objek atau cara orang berusaha memuaskan kebutuhan dapat
berubah-ubah selama hidup seseorang. Variasi dalam pemilihan objek ini
mungkin sebab energi psikis dapat dipindahkan (displaceable); dapat digunakan
dengan berbagai cara Karena itu jika suatu objek tidak tersedia karena tidak ada
atau karena rintangan-rintangan dalam kepribadian, maka energi dapa diarahkan
ke objek lain. Jika objek lain itu terbukti juga tidak dapat diperoleh maka bisa
terjadi suatu pemindahan lagi, begitu seterusnya sampai tersedia objek yang
cocok.

Jika energi suatu insting diarahkan pada suatu objek pengganti, artinya
bukan objek asli yang ditentukan sejak lahir, maka tingkah lakunya disebut
derivatif insting (instinc derivative). Jadi, jika pilihan objek seksual pertama bayi
ialah memanipulasikan alat-alat kelaminnya sendiri dan bayi itu dipaksa
melepaskan kenikmatan itu untuk digantikan dengan bentuk-bentuk stimulasi
tubuh yang kurang membahayakan seperti mengisap ibu jari atau bermain-main
dengan jari-jari kakinya, maka aktivitas-aktivitas substitusi itu merupakan
derivatif-derivatif insting seksual. Tujuan insting seksual tidak berubah sedikit
pun jika terjadi substitusi; tujuan yang dicari masih tetap kepuasan seksual
(Sarwono, 1996).

Teori psikoanalisis dari Freud dapat befungsi sebagai macam teori, yaitu:

1 Sebagai teori kepribadian


2 Sebagai teknik analisis kepribadian
3 Sebagai metode terapi (penyembuhan)
Sebagai teori kepribadian, psikoanalisis mengatakan bahwa jiwa terdiri
dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan super ego (Sarwono, 1996).

Id

Id terletak dalam ketidaksadaran. Merupakan tempat dorongan-dorongan


primitif. Pada mulanya yang ada hanya Id. Struktur kepribadian lain berasal dari
Id yang terdiferensiasi setelah mengalami interaksi dengan realitas. Id sendiri
terletak di ketidaksadaran, sehingga tidak bersentuhan langsung dengan realitas,
oleh karena itu prinsip yang dianut Id adalah prinsip kesenangan, yaitu bahwa
tujuan dari Id adalah memuaskan semua dorongan primitif ini. Id adalah
dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu
dorongan untuk hidup dan mempertahankan kehidupan dan dorongan untuk mati.
Bentuk daripada dorongan hidup adalah dorongan seksuil atau disebut juga Libido
dan bentuk daripada dorongan mati adalah dorongan agresi, yaitu dorongan yang
menyebabkan orang ingin menyerang orang lain, berkelahi atau berperang atau
marah (Sarwono, 1996) Struktur kepribadian yang bertugas menyublimasikan dan
mengarahkan berbagai dorongan yang dihasilkan Id, agar tidak bertentangan
dengan realitas adalah ego.

Superego

Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari Id. Sistem
ini sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Super ego berisi dorongan-dorongan
untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan
sebagainya. Dorongan-dorongan energi yang berasal dari Superego ini akan
berusaha menekan dorongan yang timbul dari Id, karena doronaan Id yang masih
primitif ini tidak sesuai atau tidak diterima oleh Superego. Di sini terjadi tekan
menekan antara dorongan dorongan yang berasal dari Id dan Superego. Kadang-
kadang Superegolah yang menang, kadang-kadang idlah yang yang lebih kuat
(Sarwono, 1996).

Ego
Ego adalah struktur kepribadian yang bersentuhan langsung dengan
realitas. Ego adalah sistem di mana kedua dorongan dari Id dan Superego beradu
kekuatan. Fungsi Ego adalah menjaga keseimbangan antara kedua sistem yang
lainnya, sehingga tidak terlalu banyak dorongan Id yang muncul ke kesadaran,
sebaliknya tidak semua dorongan Superego saja yang dipenuhi. Ego sendiri tidak
mempunyai dorongan atau energi. Ia hanya menjalankan prinsip kenyataan, yaitu
menyesuaikan dorongan-dorongan Id atau Superego dengan kenyataan di dunia
luar. Untuk itu, Ego memiliki tiga fungsi utama yaitu reality testing, identity dan
defense mechanism (Arif, 2006).8

Dalam teori psikoanalisis sebagai teori kepribadian Freud selanjutnya


mengatakan bahwa pada setiap orang terdapat seksualitas kanak-kanak, yaitu
dorongan seksuil yang sudah terdapat sejak bayi. Dorongan ini akan berkembang
terus menjadi dorongan seksuil pada orang dewasa, melalui beberapa tingkat
perkembangan, yaitu:

1. Fase-fase oral (sejak lahir -1 tahun)


Mulut adalah organ yang berperanan sangat penting pada anak
yang baru lahir hingga berusia sekitar 18 bulan. Sensasi pada mulut
seperti rasa haus, rasa lapar, tindakan disusui oleh ibu, memberikan
suatu kesan pada anak. Selain itu, seorang anak pada masa ini
memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya dengan makan
melalui mulut. Anak juga sudah mengetahui bahwa ia dapat
memperoleh kenikmatan dari mulut. Mudahnya, ketika ia
mengonsumsi makanan yang menurutnya tidak nikmat, ia akan
keluarkan kembali. Ketika ia mendapatkan makanan yang enak, maka
ia merasakan sebuah kenikmatan. Rasa kenikmatan dan kepuasan ini
sering dianggap sebagai awal dari perasaan seksual.
Seorang anak harus melewati stadium ini agar ia kelak
memiliki rasa percaya pada lingkungan sekitarnya. Bila anak tersebut
tidak melewati bagian ini maka ia dapat menjadi narsistik (rasa
8
Iin Tri Rahayu, Psikoterapi (Prespektif Islam dan Psikologi Kontemporer), (Malang: UIN-Malang
Press, 2009), h. 41-47
kebanggan yang berlebihan pada diri sendiri), pesimis, atau optimis
berlebih.
2. Fase anal (1-3 tahun)
Tingkatan ini dipicu oleh kemampuan anak untuk mengontrol
ototnya terutama pada otot di sekitar anus dan urethra (saluran yang
mengeluarkan air seni ke luar tubuh). Ja mendapatkan kenikmatan dari
daerah anus tersebut. Misalnya ketika ia sedang mengejan saat buang
air besar (BAB), ia bisa mendapatkan rasa kenikmatan dengan
menahan kotoran dan mengeluarkannya.
Rasa ego anak pun mulai meninggi. Ia akan marah pada
siapapun yang campur tangan pada barang kepemilik annya, termasuk
kotorannya. Tentunya, Anda, terutama orangtua, pernah mengalami
peristiwa ketika anak Anda enggan untuk berdiri dari pispot usai buang
air besar atau malahan bermain dengan kotorannya. Walau sering
dianggap kotor atau jorok, hal ini adalah bagian dari proses belajarnya.
Orangtua hendaknya tidak langsung memarahi, tetapi anak seyogyanya
dididik perlahan dan diingatkan bahwa ini adalah perbuatan yang tidak
baik. Anak pasti akan semakin mengerti sembari diberitahu dengan
cara yang baik.
Stadium ini bertujuan agar anak dapat menjadi pribadi yang
lebih mandiri dari orangtua dan kontrol diri yang lebih baik. Bila anak
tidak melewati stadium ini dengan sempurna, dikhawatirkan ia dapat
menjadi pribadi yang suka memaki, terlalu jorok atau bersih, kikir, dan
biseksual (memiliki orientasi seksual yang ganda, yaitu pada pria dan
wanita).
3. Fase phalik (3-6 tahun)

Stadium phalik merupakan stadium yang dipengaruhi oleh


perkembangan alat genital (kelamin) yang kian matang, Keadaan ini sering
ditemukan secara alamiah dan disengaja. Misalnya, pada saat mandi, anak
tidak sengaja mengusap alat genitalnya dan merasakan sebuah stimulasi
Pada stadium ini orang tua mungkin dapat menangkap basah anak
memainkan alat genitalnya. Sebaiknya orang tua tidak memarahi anak
karena ini adalah proses normal. Beritahu kepadanya dengan baik-baik,
sebagai bagian dari pendidikan seks dini pada anak.

Pada stadium ini terdapat fenomena yang khas, yang oleh Freud
disebut Kompleks Oedipus. Freud mengilustrasikannya sebagai rangkaian
cinta antara ibu, ayah, dan anak. Pada mulanya, anak (terutama laki-laki)
menganggap ibunya sebagai objek cintanya. Rasa ini disebabkan
hubungan anak dan ibu yang sangat dekat sejak kelahirannya. Oleh anak,
ayah dianggap sebagai saingan dan objek penghambat cintanya.

Bila proses berjalan dengan baik, anak akan mengalah dan


berlanjut mengagumi ayahnya. Andaikan proses ini tidak dilewati dengan
baik, maka saat dewasa, anak akan mendapatkan bekas kesan bayang-
bayang ibunya, seperti yang terjadi pada Andi di atas. Anak akan
menganggap orang tua sebagai figur dan tidak lagi sebagai obyek seksual.

Poin terpenting pada stadium ini adalah, orangtua harus mulai


mengajarkan kemandirian yang lebih baik, seperti memiliki kamar tidur
yang terpisah.

4. Fase latent (6-11 tahun)

Untuk fase ini anak harus bebas dari konflik dalam dirinya. Libido
seksual cenderung tenang. Dengan demikian, anak dapat melakukan
hubungan dan identifikasi yang lebih luas, misalnya dengan rekan-rekan
sekolahnya. Anak mulai memantapkan identitas dan peran seksualnya.

5. Fase genithal (11-18 tahun)

Rasa libido kembali pada alat genitalnya dan dianggap sebagai


obyek erotis. Ia sudah dapat mencapai stimulasi orgasme. Hal ini didukung
oleh perkembangan biologis yang sudah matang.

Pada stadium genital, anak sudah mulai dapat menjalin hubungan


heterosexual seperti pacaran. Bila anak telah lulus melewati stadium
sebelumnya, seharusnya ia tidak mendapat masalah pada stadium ini. Fase
ini dibagi menjadi fase pubertas (11-13 tahun), fase adolesens atau remaja
(14-18 tahun) dan fase dewasa (18 tahun ke atas).

Setelah kita menyimak perkembangan psikoseksual anak, maka jelas apa


yang dialami pada masa kanak-kanak sangat memberi dampak pada kehidupan
dewasanya. Psikoanalisis, di samping sebagai teori kepribadian, dapat pula
berfungsi sebagai teknik analisis kepribadian. Untuk dapat menerangkan suatu
gejala penyakit maka perlu dilakukan analisis terhadap pasien terlebih dahulu agar
dapat menyembuhkannya. Dalam analisis ini umumnya mempergunakan dua cara
pendekatan, yaitu; pertama-tama melihat dinamika dari dorongan-dorongan
primitif (khususnya libido) terhadap Ego dan bagaimana Superego menahan
dorongan-dorongan primitif itu, Pendekatan kedua adalah melihat sejarah kasus
(case story) terutama untuk melihat fase-fase perkembangan dorongan seksual
apakah berjalan wajar, atau ada hambatan. Teknik-teknik yang dipergunakan
dalam menganalisis kepribadian selanjutnya dipergunakan juga sekaligus sebagai
teknik psikoterapi, karena pada prinsipnya psikoanalisis mengakui bahwa kalau
faktor penyebab yang tersembunyi di dalam ketidaksadaran sudah bisa diketahui
dan di bawa ke kesadaran, maka penderita dengan sendirinya akan sembuh. Salah
satu caranya adalah dengan teknik hipnosa.

Selain itu ada juga teknik analisis mimpi. Di mana penderita diminta
menceritakan mimpi-mimpinya dan mimpi-mimpi itu kemudian dicoba dianalisis.
Freud percaya bahwa dorongan-dorongan primitif, maupun hal yang direpresi,
yang tidak dapat muncul dalam kesadaran dapat memunculkan dirinya dalam
bentuk simbol-simbol dalam mimpi. Karena itu dengan menganalisis mimpi
diharapkan bisa mengetahui dinamika-dinamika kepribadian penderita yang
bersangkutan.

Teknik lain yang sering dipergunakan adalah asosiasi bebas (free


association). Dalam teknik ini penderita yang disuruh berbaring, serileks
mungkin, diminta untuk mengasosiasikan kata-kata” yang diucapkannya sendiri
atau kata-kata yang dilontarkan oleh dokter yang memeriksa, dengan kata-kata
yang pertama kali muncul di ingatannya. Dengan teknik ini Freud mengharapkan
dapat menelaah isi ketidaksadaran dari penderita yang bersangkutan.9

E. Konsep Manusia Menurut Madzhab Behaviorisme


Behaviorisme memandang manusia adalah makhluk biologis yang
‘terkondisi’ oleh lingkungannya. Oleh karena itu proses adaptasi
merupakan tema sentral dalam kajian psikologi Behaviorisme. Proses
adaptasi itu muncul dalam berbagai wajah yang menyatu dalam konsep
sarbond, yaitu stimulus-respond-bond. Muncullah teori classical
conditioning (pembiasaan klasik) yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov
dan J.B. Watson; Law of effect (hukum dari akibat) yang dikembangkan
oleh E. Thondike; Operant conditionne (pembiasaan operant); yang
dikembangkan oleh B.F. Skinner: dan Modeling (pentauladanan) yang
dikembangkan oleh A. Bandura.
Berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam Behaviorisme
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa bagi mereka jiwa manusia bermula
dari ada tetapi kosong dan diisi sedikit demi sedikit oleh pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu tersusun sedemikian rupa dan membentuk
suatu sistem mekanistis-otomatis berupa stimulusrespon bond. Jiwa
manusia hanya memiliki kemampuan memberikan respon. Sehingga jiwa
manusia laksana benda mati yang tidak memiliki kemauan dan kebebasan
untuk menentukan tingkah laku, melainkan sangat tergantung, - tepatnya
sangat terkondisi -, oleh lingkungannya.
Dalam hal kemampuan jiwa untuk memberikan respon terhadap
rangsangan dari lingkungan itu, menurut Behaviorisme, manusia tidak
berbeda dengan binatang. Oleh karena itulah mereka (Behavioris) dalam
penelitiannya melakukan percobaan terhadap binatang sebagai alat untuk
menganalisis perilaku manusia. Dengan kata lain bahwa jiwa manusia
tidak berbeda dengan jiwa binatang dalam hal memberikan respon
terhadap stimulus dari lingkungan untuk melahirkan tingkah laku. Dalam
9
Ibid, h. 59-65.
hal ini Robert W. Crapps menjelaskan bahwa mereka yang bekerja di
bawah label behavioris tidak memiliki metodologi yang sama, namun
mereka memiliki pandangan yang sama tentang hakikat manusia dan
tujuan psikologi. pendapat untuk melepaskan acuan budi, ide, atau jiwa.
Seperti makhluk hidup pada tingkat di bawahnya, manusia di dorong
untuk berbuat oleh kekuatan-kekuatan yang ada di lingkungannya, dan
menanggapinya sebagai makhluk fisiologis Secara tegas B.F. Skinner
menyatakan pendirian itu menyatakan:
We do not need to try to discover what personalities, states of mind,
feelings, traits of character, plans, purpose, intentions. prerequisites of
autonomous man really are in order to get on with ascientific analysis of
behavior.

artinya:
Kami tidak perlu berusaha menemukan apakah sesungguhnya
personalitas, keadaan jiwa, perasaan, cita-cita, watak, rencana, maksud,
tujuan, atau prasyarat manusia agar dapat menganalisis perilakunya secara
ilmiah.
Berdasarkan itu, jelaslah bahwa manusia tidak memiliki kapasitas
istimewa dibandingkan dengan makhluk lainnya,- katakanlah binatang.
Dalam hal bertingkah laku, - yang tidak lain adalah respon-, manusia
memiliki persamaan dengan binatang. Bahwa manusia hanya memberikan
respon terhadap stimulus dari lingkungannya, sama dengan binatang juga
memberikan respon terhadap stimulus dari lingkungannya. Seperti juga
binatang, yang dikondisikan oleh lingkungannya, maka manusia juga
sangat dikondisikan oleh lingkungannya.10

Konsep Manusia Menurut Behaviorisme adalah:

1. Self Awareness (kesadaran diri),

10
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 288-290.
yaitu kemampuan untuk mengambil jarak terhadap diri sendiri dan
menelaah pemikiran, motof, sejarah, naskah hidup, tindakan, kebiasaan
dan kecenderungan. Hal ini memungkinkan manusia untuk melepaskan
kacamata diri. Kesadaran diri memungkinkan untuk melihat kacamata itu
ataupun melihat melaluinya. Ini memungkinkan manusia untuk menjadi
sadar terhadap sejarah sosial dan psikis dari program-program yang ada
dalam diri dan memperluas celah antara rangsangan dan tanggapan.
2. Conscience (hati nurani)
yang menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan zaman dan
kebijaksanaan hati. Ini merupakan sistem pengarahan yang ada dalam jiwa
manusia, yang memungkinkan manusia untuk memahami ketika manusia
bertindak atau bahkan merenungkan sesuatu yang sejalan dengan prinsip.
Ini juga memberi manusia pemahaman terhadap bakat-bakat khas dan misi
manusia.
3. Independent Will (kehendak bebas), yaitu kemampuan manusia
untukbertindak. Ini memberi manusia kekuatan untuk mengatasi
paradigma diri, untuk berenang melawan arus, menulis kembali naskah
hidupnya, bertindak atas dasar prinsip dan bukan bereaksi atas dasar emosi
dan lingkungan sekitar. Pengaruh-pengaruh genetis dan lingkungan boleh
jadi amat kuat. Pengaruh-pengaruh itu tidak dapat mengendalikan. Dengan
demikian, manusia tidak menjadi korban, manusia bukan merupakan
produk dari pilihannya. Manusia dapat memberi tanggapan, mampu
memilih di seberang suasana hati dan kecondongannya. Manusia memiliki
kekuatan kehendakuntuk bertindak berdasarkan kesadaran diri, hati nurani
dan visi.
4. Creative Imagination imajinasi kreatif)
yaitu kemampuan untuk meneropong keadaan masa datang, untuk
menciptakan sesuatu di benak manusia dan memecahkan soal secara
sinergis. Ini adalah anugerah kemampuan yang memungkinkan manusia
melihat dari diri sendiri dan orang lain secara berbeda dan lebih baik
daripada saat ini. Ini memungkinkan seseorang untuk menulis pernyataan
misi pribadi, menetapkan tujuan atau merencanakan pertemuan. Ini juga
membuat seseorang semakin mampu memvisualisasikan diri yang sedang
menghayati pernyataan misi pribadi, bahkan dalam lingkungan yang
paling menantang dan menerapkan prinsip-prinsip dalam berbagai situasi
baru secara efektif.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Behaviorisme memandang manusia adalah makhluk biologis
yang ‘terkondisi’ oleh lingkungannya. Oleh karena itu proses adaptasi
merupakan tema sentral dalam kajian psikologi Behaviorisme. Proses
adaptasi itu muncul dalam berbagai wajah yang menyatu dalam konsep
sarbond, yaitu stimulus-respond-bond.

B. Saran
Demi penyempurnaan penyusunan makalah berikutnya, maka
diharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari pembaca.

Daftar Pustaka

Baharuddin.2004.Paradigma Psikologi Islam.(Yogyakarta: Pustaka


Pelajar)
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)
Cawidu, Harifudin.1991.Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian
Teologis Dengan Pendekatan Tematik (Jakarta: Bulan Bintang)

Anda mungkin juga menyukai