Anda di halaman 1dari 30

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU:

Matematika dan Pendidikan Matematika


Tugas ini Ditunjukkan untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Disusun Oleh:
Yona Ayu Dewani
22309251136
S2C

MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolonganNya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan tugas akhir dari mata kuliah Filsafat Ilmu dengan judul “KONSTRUKSI DAN
IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU: Matematika dan Pendidikan Matematika”. Penulis tentu
menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya tugas akhir ini nantinya dapat menjadi bacaan yang
lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada Prof.Marsigit selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu. Demikian,
semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamualaikum, wr.wb.

Yogyakarta, 28 November 2023


BAB I
FILSAFAT UMUM

A. Ontologi
Ilmu pengetahuan mempunyai tiga komponen sebagai tiang penyangga tubuh
pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berasal dari bahasa
Yunani yang berasal dari kata “Ontos” dan “Logos”. Ontos berarti “yang ada”
sedangkan Logos berarti “ilmu”. Secara sederhana, ontologi merupakan ilmu yang
membahas tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat
yang membahas tentang keberadaan sesuatu yang bersifat konkret maupun abstrak.
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani
(Dewi, 2021).
Menurut (Bakker, 1992), ontologi dapat diartikan sebagai kajian atau ilmu yang
mempelajari tentang "yang ada yang umum" sesuai dengan makna kata "ontos" sebagai
bentuk generatif dari "on". Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika. Ontologi
adalah cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi.
Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana membahas tentang
realitas atau kenyataan. Pada dasarnya ontologi berbicara asas-asas rasional dari yang
ada atau disebut suatu kajian mengenai teori tentang "ada", karena membahas apa yang
ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan tersebut.
Thales, Plato, dan Aristoteles adalah tiga tokoh Yunani yang memiliki
pandangan ontologis. Thales, misalnya, melalui perenungannya terhadap air yang ada
di mana-mana, sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Plato mengemukakan bahwa realitas yang paling
mendasar adalah ide, dan akal budi yang merupakan bagian tingkatan jiwa tertinggi
dapat digunakan untuk melihat ide dan menertibkan "tingkatan jiwa" bagian lain.
Aristoteles, murid terbaik Plato, mengembangkan pandangan ontologis dengan
memperkenalkan konsep substansi dan aksiden. Substansi adalah entitas yang memiliki
keberadaan mandiri, sedangkan aksiden adalah entitas yang bergantung pada substansi.
Aristoteles juga membedakan antara substansi primer dan substansi sekunder, di mana
substansi primer adalah entitas yang tidak bergantung pada entitas lain, sedangkan
substansi sekunder adalah entitas yang bergantung pada substansi primer
Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” dari ilmu
pengetahuan, hakikat objek pengetahuan, dan hakikat hubungan antara subjek-objek
ilmu. Bagaimana ilmu pengetahuan ditinjau secara ontologi maka pembahasannya
adalah ontologi melakukan pemeriksaan, analisis terhadap ilmu pengetahuan
berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu benar-benar ada atau tidak ada. Singkatnya,
ontologi mengenai pertanyaan ‘apa’(Bakker, 1992).
B. Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan Logos
(pengetahuan) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal usul, sifat, ciri-ciri dan
jenis pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan studi tentang sifat pengetahuan,
pembenaran, dan rasionalitas keyakinan. Epistemologi mengkaji bagaimana
pengetahuan diperoleh, apa yang membuat pengetahuan dapat diandalkan, dan apa
yang membedakan keyakinan yang dibenarkan dari opini.
Epistemologi adalah salah satu topik yang paling banyak diperdebatkan dan
didiskusikan dalam filsafat, yaitu mencakup isu-isu seperti hakikat pengetahuan,
karakteristiknya, jenisnya, dan hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi juga berkaitan dengan validitas dan kebenaran klaim pengetahuan, dan
bagaimana klaim tersebut dapat dibenarkan. Dapat dikatakan bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat, asal usul, dan batasan pengetahuan,
serta bagaimana kita memperoleh dan membenarkannya.
Sebagai subsistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama
kali dirumuskan oleh Plato mempunyai tujuan tertentu. Objek epistemologi ini menurut
Jujun S. Suria Suamantri adalah “segala proses yang terlibat dalam usaha kita
memperoleh ilmu pengetahuan”. Proses memperoleh pengetahuan ini merupakan
tujuan dari teori pengetahuan, dan sekaligus mempunyai pengaruh yang mengarah pada
tercapainya tujuan tersebut, karena tujuan merupakan langkah perantara yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Tanpa tujuan tujuan tersebut tidak dapat
tercapai, sebaliknya tanpa tujuan tujuan tersebut menjadi tanpa tujuan sama sekali.
“Tujuan epistemologi bukan untuk menjawab pertanyaan apakah saya bisa tahu,
tapi untuk menemukan kondisi yang memungkinkan saya tahu,” kata Jacques Martain.
Situasi ini tidak bisa dihindari tapi pusat perhatian pada tujuan epistemologi adalah hal
yang lebih penting lagi, yaitu keinginan untuk memperoleh potensi pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologis mempunyai makna strategis dalam dinamika
pengetahuan.
Rumusan ini menumbuhkan kesadaran manusia bahwa seseorang tidak boleh
puas hanya dengan sekedar memperoleh ilmu tanpa disertai metode atau
kecenderungan untuk memperoleh ilmu, karena keadaan memperoleh ilmu
Pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh ilmu
melambangkan sikap aktif.
C. Aksiologi
Aksiologi merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios artinya
pantas atau masuk akal. Sedangkan logo berarti pengetahuan. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Ilmu aksiologi (nilai) adalah ilmu yang mempelajari hakikat nilai,
sering kali ditinjau dari sudut pandang filosofis (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang manusia harus pertimbangkan terhadap apa yang dinilai.
Aksiologi memuat nilai-nilai, parameter-parameter yang disebut sebagai
kebenaran atau realita ketika kehidupan kita menjelajahi ranah-ranah, seperti ranah
sosial, ranah fisik material, dan ranah representasional, yang masing-masing bidang
mewakili aspeknya masing-masing. Lebih lanjut, aksiologi menunjukkan kaidah-
kaidah apa saja yang harus kita perhatikan ketika menerapkan ilmu pengetahuan dalam
praktik. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian aksiologi secara istilah
adalah merupakan studi yang berkaitan dengan teori tentang nilai atau studi segala
sesuatu yang dapat bernilai atau memberikan manfaat (Nasir, 2021). Nilai merupakan
suatu fenomena tapi tidak berada dalam suatu ruang dan waktu. Selain itu, nilai juga
merupakan esensi-esensi logis dan dapat dipahami melalui akal (Nasir, 2021).
Selain itu, aksiologi dalam wacana filsafat juga mengacu pada persoalan etika
(moralitas) dan estetika (keindahan).
1. Etika
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani, berasal dari kata ethikos
atau ethos yang berarti adat istiadat, kebiasaan dan praktek (Frans Magnis S, 2006).
Secara umum etika merupakan teori yang membahas tentang tingkah laku atau
tindakan manusia yang dipertimbangkan dalam aspek nilai baik dan buruk yang
dapat ditentukan oleh akal. Menurut pendapat para ahli, etika secara garis besar
dapat digolongkan menjadi tiga bidang kajian, yaitu: etika deskriptif, etika
normatif, dan etika metafisik (Zaprulkhan, 2016).
a) Etika deskriptif, yang menggambarkan dan menjelaskan kesadaran dan
pengalaman moral secara deskriptif diklasifikasikan dalam bidang ilmu
eksperimental dan berkaitan erat dengan sosiologi.
b) Etika normatif, yaitu memberikan petunjuk atau nasihat dalam mengambil
keputusan mengenai benar dan salah atau benar dan salah.
c) Metafisika, yaitu ilmu etika yang mempelajari makna istilah-istilah normatif
yang diungkapkan melalui pernyataan moral yang membenarkan atau mengutuk
suatu Tindakan
2. Estetika
Estetika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana keindahan dapat
dipahami, dan bagaimana keindahan itu dapat dipahami serta bisa dialami.
Keindahan yang terlatih tentunya harus dirasakan oleh banyak orang. Istilah
estetika berasal dari bahasa Yunani estetika yang berarti persepsi indrawi,
pemahaman intelektual atau observasi spiritual.

Wacana aksiologis merupakan bagian penting dalam filsafat, membahas dan


menjelaskan pertanyaan tentang nilai, mengapa sesuatu dinilai baik atau buruk, indah
atau tidak indah, dan kaitannya dengan tata nilai, etika dan 'estetika'. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat teoretis tetapi juga mempunyai dampak praktis
dan fungsional terhadap kehidupan manusia.
BAB II
FILSAFAT ILMU

A. Ontologi Filsafat Ilmu Menuju Matematika/Pendidikan Matematika


Hubungan antara ketiga aspek filsafat yang ada tersebut juga diungkapkan oleh
Engle (2009) bahwa ketika kita mampu memahami hakikat dari suatu objek
(ontologi), maka kita dapat menentukan kapan suatu objek itu benar atau salah
(epistemologi) yang selanjutnya apabila objek tersebut benar, maka kita dapat
menentukan apakah objek tersebut memiliki nilai atau tidak dan jika memiliki nilai,
maka nilai apa yang melekat pada objek tersebut (aksiologi). Apabila matematika
dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan yang bebas nilai dan bebas dari
aktivitas sosial-budaya (Ernest, 1991), pendidikan matematika, di sisi lain, menurut
(Ernest, 1991) merupakan sistem pengetahuan yang tidak terlepas dari aktivitas
manusia atau aktivitas sosial-budaya. Karena matematika sekolah merupakan
bagian khusus dari pendidikan matematika, ontologi matematika sekolah tidak
terlepas dari interaksi sosial antara peserta didik (siswa) dan pendidik (guru) dalam
kegiatan belajar dan mengajar matematika di sekolah.
Matematika dan matematika sekolah pada dasarnya merupakan dua hal yang
berbeda. Matematika sekolah adalah matematika yang biasanya dipelajari oleh
siswa di sekolah yang mana itu berbeda dengan matematika yang dipelajari oleh
seorang matematikawan (Beswick, 2012). Menurut Burton (Watson, 2008)
matematika yang dipelajari oleh matematikawan merupakan matematika yang
menuntut matematikawan untuk memiliki ide imajinatif, mengajukan pertanyaan,
membuat kesalahan dan menggunakan kesalahannya tersebut untuk belajar hal
baru, bekerja secara terorganisasi dan sistematis, mendeskripsikan dan menjelaskan
pekerjaan matematika mereka, mencari pola dan keterhubungan antarpola, dan
pantang menyerah meskipun mengalami kesulitan. Matematika sekolah yang
dipelajari oleh siswa di sekolah merupakan matematika yang dipandang sebagai
mata pelajaran sekolah, sedangkan matematika yang dipelajari oleh matematikawan
adalah matematika yang dipandang sebagai suatu disiplin ilmu.
Lebih lanjut, (Watson, 2008) menyebutkan bahwa matematika sekolah
merupakan apa yang diharapkan untuk dipahami oleh siswa di sekolah dan
merupakan bentuk khusus dari matematika. Padangan yang memposisikan
matematika sekolah sebagai bagian khusus dari matematika ini tidak sejalan dengan
klaim yang dikemukakan oleh (Watson, 2008) bahwa matematika sekolah bukan
bagian dari matematika. Klaim ini dikemukakan atas dasar bahwa matematika
sekolah dan matematika memiliki perbedaan dalam beberapa hal yang di antaranya
otoritas, bentuk penalaran, kegiatan utama, dan tujuan.
Dalam konteks filsafat ilmu, ontologi matematika juga merupakan bagian dari
sintesis pengembangan ilmu matematika dan pendidikan matematika. Hal ini
meliputi persoalan-persoalan pokok, karakteristik, obyek, metode, alat, sejarah, pre-
asumsi dan asumsi dasar, sumber-sumber dan batas-batas, pembenaran, prinsip-
prinsip, berbagai aliran, ontologi, epistemologi, aksiologi, filsafat matematika, dan
filsafat pendidikan/pembelajaran matematika. Dengan demikian, ontologi dalam
filsafat ilmu menuju pendidikan matematika membahas aspek-aspek konkret yang
ada dalam ilmu matematika, baik dalam konteks pembelajaran maupun dalam
sintesis pengembangan ilmu matematika dan pendidikan matematika.
B. Epistemologi Filsafat Ilmu Menuju Matematika/Pendidikan Matematika
Matematika adalah struktur pengalaman langsung dan perkembangan rangkaian
dari pengalaman tersebut yang berpotensi tidak terbatas terbatas. Hal ini melibatkan
penciptaan kebenaran yang dari aksioma dan yang juga yang tidak dapat kita
peroleh negasinya, dapat ditambahkan secara wajar sebagai makna obyektif dengan
pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan tentang
peristiwa-peristiwa yang semuanya akan terjadi di alam semesta dengan determin
yang berpotensi tak terbatas , yang tidak dapat ditentukan benar atau salah dalam
arti absolut (Marsigit, 2010).
Epistemologi dalam filsafat ilmu menuju pendidikan matematika membahas
aspek-aspek yang berkaitan dengan sifat, asal, dan batasan pengetahuan matematika
serta bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh dan dapat dibenarkan. (Sadewo et
al., 2022) memaparkan bahwa epistemologi matematika merupakan cabang dari
filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Secara
epistemologis kedudukan dari matematika disoroti pada keberadaanya yang
berkaitan dengan rasionalitas. Dalam konteks pendidikan matematika, epistemologi
matematika mempertimbangkan cara-cara di mana pengetahuan matematika
disampaikan, dipahami, dan diterapkan dalam proses pembelajaran. eberapa aspek
yang terkait dengan epistemologi dalam pendidikan matematika meliputi:
1. Cara pengetahuan matematika diperoleh dan dikonstruksi oleh siswa.
2. Cara guru memfasilitasi pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
matematika.
3. Peran bukti dan justifikasi dalam pembelajaran matematika.
4. Hubungan antara pengetahuan matematika, kebenaran, dan keyakinan.
Dalam sintesis pengembangan ilmu matematika dan pendidikan matematika,
epistemologi matematika juga mempertimbangkan bagaimana pengetahuan
matematika berkembang, disusun, dan diakses dalam konteks pendidikan (Sadewo
et al., 2022). Hal ini meliputi pemahaman terhadap sumber-sumber pengetahuan
matematika, metode-metode pembuktian, dan validitas pengetahuan matematika
dalam konteks pendidikan.
C. Aksiologi Filsafat Ilmu Menuju Matematika/Pendidikan Matematika
Aksiologi matematika terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran,
tanggung jawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang
membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang
bisa mempengaruhi aspekaspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan.
Aksiologi matematika sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi
kehidupan umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini
tidak bisa lepas dari pengaruh matematika (Novita Sari & Armanto, 2022).
Aksiologi dalam filsafat ilmu menuju pendidikan matematika membahas tentang
tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu
tersebut.
Dalam konteks pendidikan matematika, aksiologi matematika
mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran matematika
dan bagaimana nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Beberapa aspek yang terkait dengan aksiologi dalam pendidikan matematika
meliputi:
1. Tujuan dari pembelajaran matematika dan bagaimana nilai-nilai tersebut
diintegrasikan dalam proses pembelajaran.
2. Bagaimana manusia menggunakan ilmu matematika dalam konteks kehidupan
sehari-hari dan bagaimana hal ini memengaruhi nilai-nilai yang diterapkan.
Dalam sintesis pengembangan ilmu matematika dan pendidikan matematika,
aksiologi matematika juga mempertimbangkan bagaimana nilai-nilai yang
terkandung dalam ilmu matematika diintegrasikan dalam proses pengembangan
kurikulum dan pembelajaran matematika. Dengan demikian, aksiologi dalam
filsafat ilmu menuju pendidikan matematika membahas tentang tujuan dari ilmu
pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut, baik
dalam konteks pembelajaran maupun dalam sintesis pengembangan ilmu
matematika dan pendidikan matematika. Aksiologi pendidikan matematika dapat
dikatakan sebagai ilmu dalam filsafat yang mempelajari tentang kebermanfaatan
pendidikan matematika dalam sebuah proses belajar mengajar matematika.
Contohnya adalah manfaat mempelajari tentang bangun ruang, dan mempelajari
hal-hal lain terkait pendidikan matematika. Sehingga para peserta didik mampu
menerapkan atau menggunakan hasil dari proses belajar matematika untuk
membantu kelangsungan hidupnya.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT ILMU

A. Review Video Kuliaf Filsafat Prof Marsigit


Dari kegiatan memutar video dengan link video https://youtu.be/8t3lalvQbiQ
yang dilaksanakan di kelas Filsafat Ilmu, dapat diambil 6 poin dengan penjelasan di
setiap poinnya. Berikut penjelasannya:
1. Perbedaan Pengetahuan murni dan pengetahuan empiris
Semua pengetahuan diawali dengan pengalaman, tetapi tidak semua muncul
dari pengalaman. Namun ada sebuah pengetahuan yang dimiliki manusia tanpa
adanya pengalaman. Pengetahuan itu disebut dengan pengetahuan apriori.
Gabungan kognisi dan impersi membuat diri kita tidak dapat membedakan dan
memisahkan elemen asli pengetahuan sampai praktik panjang setelahnya.
Pengetahuan apriori adalah murni tetapi juga tidak murni. Pengetahuan apriori
murni adalah pengetahuan apriori tanpa adanya campuran dari pengalaman atau
elemen empiris didalamnya. Apriori bisa tidak murni ketika pengetahuan apriori
tersebut diturunkan dari pengalaman.
Kebalikan dari pengetahuan apriori adalah pengetahuan empiris atau yang
disebut juga dengan aposteriori. Pengetahuan empiris adalah pengetahuan yang
dimiliki manusia dengan cara membangun kemampuan kognisi yang dilanjutkan
dengan latihan yang menstimulus dirinya dan didapatkan melalui pengalaman dan
pembelajaran dalam hidupnya. Seperti yang dikatakan prof. Marsigit bahwa
pengetahuan apriori itu asalnya dari tuhan dan pengetahuan aposteriori asalnya dari
manusia yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman selama hidup di dunia.
2. Kecerdasan manusia yang bahkan bukan dalam lingkup filsafat adalah keadaan
kognitif tertentu yang telah dimiliki manusia “A priori”
Pengalaman mengajarkan kita bahwa suatu obyek dibentuk dengan berbagai
cara. Suatu proposisi yang saling melibatkan suatu gagasan kebutuhan disebut
dengan priori. Penilaian empiris tidak bersifat mutlak tetapi hanya mengasumsikan
suatu keseluruhan yang dapat dibandingkan menggunakan induksi. Sebuah
penilaian yang disertai dengan keseluruhan yang tidak diasumsikan, bersifat
mutlak dan absolut yang mengakui suatu pengecualian dan tidak berasal dari
pengalaman disebut dengan apriori.
Penyeluruhan secara empiris dapat dikatakan sebagai proposisi yang valid pada
sebagian besar kasus. Dengan pengetahuan yang didapatkan sebelumnya
menjadikan penilaian empiris menjustifikasi sesuatu sesuai dengan pengalaman
masing-masing manusia. Padahal pengalaman yang didapat setiap individu
berbeda-beda, secara kebetulan ada suatu hal yang dicap secara khusus karena
banyak orang mendapatkan pengalaman yang sama mengenai hal tersebut. Namun,
pasti ada kelompok lain yang mendapatkan pengalaman yang berbeda atau bahkan
sangat berkebalikan dengan pengalaman yang didapatkan kebanyakan orang.
Dengan penilaian empiris, pengalaman minoritas tersebut dianggap tidak valid.
Pengetahuan apriori merujuk pada konsepsi dan substansi yang ada pada suatu
obyek. Untuk mengenali suatu obyek kita tidak bisa hanya menggunakan panca
indera seperti warna, tekstur, berat, dan yang lainnya karena semua itu bisa lenyap
dalam sekejap, tetapi kita selalu berpegangan pada substansi dan ruang, Ruang
yang kita tempati tidak mungkin lenyap bahkan dalam pikiran sekalipun. Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsepsi mengenai substansi lebih penting daripada kehadiran
obyek.
3. Filsafat adalah Ilmu yang menentukan berbagai kemungkinan, prinsip,dan
tingkatan pengetahuan manusia
Mendirikan suatu konsep dengan kognitif yang kita miliki harus mengetahui
asal ilmu yang didapatkan secara pasti, prinsip-prinsip yang sudah kokoh dan kuat,
dan validitas ilmu tersebut. Ambil contoh yaitu ilmu matematika. Ilmu matematika
memberikan kita contoh seberapa jauh kuta dapat terlepas dari pengalaman yang
membawa pengetahuan apriori kita. Benar bahwa ahli matematika
mengembangkan ilmu matematika dengan obyek dan kognisi dengan hanya
diwakili intuisi. Perlu diingat bahwa intuisi yang digunakan oleh ahli matematika
diimbangi dengan apriori yang sesuai, oleh karena itu kita sulit membedakan
apriori dengan konsepsi murni.
4. Perbedaan penilaian analitik dan penilaian sintetik
Penilaian analitik adalah hubungan antara predikat dengan subyek yang dikenali
melalui identitas yang dimiliki. Penilaian sintetik adalah hubungan atara predikat
dengan subyek yang dikenali tanpa melalui identitas dan selalu merupakan
penilaian yang didasari dari pengalaman. Proporsisi augmentative bergantung pada
seluruh tujuan pengetahuan spekulatif kita secara apriori karena walaupun
penilaian analitis dipandang penting tetapi dibatasi hanya sampai pada kejelasan
konsepsi sejauh yang dibutuhkan untuk sintesis secara pasti.
5. Penilaian sintetik “A priori” merupakan prinsip semua ilmu teoritis
Fakta yang terdapat pada ilmu matematika tidak dapat disangkal oleh karena itu
penilaian dalam matematika selalu sintetis. Matematika murni merupakan konsepsi
yang terdiri dari pengetahuan non-empiris da apriori. Proposi matematika yang
benar selalu menggunakan penilaian apriori dan bukan empiris karena matematika
membaw a sendiri konsepsi kebutuhan yang tidak bisa didapatkan dari
pengalaman. Beberapa prinsip yang dikemukakan oleh ahli geometri adalah
prinsip analitis dan bergantung pada konsep kontradiksi, tetapi mereka berfungsi
seperti proporsisi identik sebagai penghubung dalam rantai metode dan bukan
sebagai prinsip.
Ilmu filsafat alam atau yang disebut juga dengan ilmu fisika mengandung
penilaian sintetik apriori yang digunakan sebagai prinsip. Dalam konsepsi materi,
keabadian dan kehadiran di ruang yang terisi juga perlu dipikirkan. Ilmu metafisika
yang dilihat hanya sebagai ilmu percobaan tetap menggunakan sifat nalar manusia
oleh karena itu dalam penemuannya harus menggunakan sintetik apriori.
6. Masalah umum dari alasan murni
Penggunaan nalar murni dimungkinkan dalam pondasi dan konstruksi semua
ilmu yang mengandung pengetahuan teoritis apriori suatu obyek. Selain kritik nalar
yang diarahkan pada ilmu pengetahuan, penggunaan dogma dari alasan tanpa kritik
yang diarahkan pada pernyataan tidak berdasar berakhir dengan skeptisisme.
B. Review CPR 1 Kant
Alasan manusia -yang masih dalam satu lingkup dari kongnitifnya- diharuskan
untuk mampu mempertimbangkan semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul
sekalipun pertanyaan itu tidak mampu dijawab, sehingga hal itu tidak bisa ditolak. Hal
ini disebabkan karena pertanyaan itu berasal dari sifat asli pertanyaan itu sendiri.
Pertanyaan ini tidak mampu untuk dijawab karena berada di luar lingkup kemampuan
pikiran. Dia terperangkap dalam kesulitan ini bukan karena kesalahannya sendiri tetapi
dia terperangkap karena memang beberapa prinsip tidak dapat dipisahkan dari
pengalaman.
Nyatanya, prinsip-prinsip ini dibuat dalam rangka mentaati hukum alam itu
sendiri sehingga memunculkan kondisi asing yang malah semakin membuatnya
terasing. Tetapi dia dengan cepat menemukan bahwa dengan cara ini jerih payah
tersebut tetap tidak pernah selesai karena pertanyaan-pertanyaan baru tidak pernah
berhenti untuk memunculkan diri. Dengan demikian dia mampu menemukan dirinya
terpaksa meminta bantuan kepada prinsip-prinsip yang berada di luar wilayah
pengalaman yang diterima oleh akal sehat tanpa penolakan. Dapat dikatakan bahwa dia
terperangkap dalam kebingungan dan kontradiksi dari mana dia menduga adanya
kesalahan tersembunyi yang bagaimanapun tidak dapat ditemukan. Prinsip yang
digunakan sudah melampaui batas-batas pengalaman yang tidak dapat diuji oleh
kriteria tersebut pada konteks yang tak berujung ini disebut metafisika.
Waktu itu ketika dia menjadi ratu dari semua ilmu pengetahuan dan jika kita
menggunakan kehendak bagi perbuatan kita, dia pasti layak untuk melakukannya
sejauh pentingnya objek materi untuk gelar kehormatan. Demikianlah sang waktu
menunjukkan sejumlah penghinaan dan cemoohan padanya. Pada awalnya
pemerintahannya berada di bawah administrasi yang dogmatis yang merupakan
depotisme mutlak. Tetapi ketika legislatif terus menunjukkan jejak aturan baru-baru
kuno kerajaannya secara perlahan runtuh dan perang dalam negeri memperkenalkan
pemerintahan Anarki sedangkan orang yang skeptis seperti suku-suku nomaden yang
membenci tempat tinggal permanen dan modus kehidupan menetap menyerang dari
waktu ke waktu dan telah mengorganisasikan diri ke dalam masyarakat sipil. Jumlah
mereka sangat kecil sehingga demikian mereka tidak bisa sepenuhnya berhenti untuk
melakukan pengerahan tenaga dari orang-orang yang bertahan dalam membesarkan
bangunan-bangunan baru, meskipun bukan di tempat yang menetap atau rencana yang
seragam.
Akhir-akhir ini, harapan untuk melihat bahwa sengketa tersebut akan
diselesaikan dan legitimasi klaimnya ditegakkan melalui semacam fisiologi
pemahaman, ia menegaskan bahwa yang disebut Ratu ini tidak dapat merujuk
keturunannya ke sumber yang lebih tinggi Berdasarkan pengalaman umum keadaan
tersebut tentu membawa kecurigaan atas kliennya karena silsilah ini tidaklah benar
sehingga dia bertahan dalam perkembangan klaimnya mengenai kedaulatan titik.
Dengan demikian ia bersikap tidak peduli terhadap pertanyaan tersebut. Objek tersebut
tidak bisa mengabaikan kemanusiaan. Selain itu, kepura-puraan dan ketidakpedulian
ini, betapapun mereka menunjukkan untuk mencoba menyamarkan diri dengan asumsi
bergaya populer dan melalui perubahan bahasa dalam mazhab tersebut.
Mau tidak mau dia jatuh ke dalam deklarasi metafisika dan proposisi yang
mereka anut dengan memandangnya sebagai penghinaan. Pada saat yang sama
ketidakpedulian ini telah muncul di dunia sains dan yang berhubungan dengan jenis
pengetahuan yang telah kita lihat kehancurannya, Hal itu merupakan fenomena yang
baik sehingga layak untuk memperoleh perhatian dan pemikiran kita. Hal ini jelas
bukan merupakan efek dari kesembronoan tetapi merupakan pertimbangan yang
matang terhadap zaman tersebut yang menolak untuk menggunakan pengetahuan ilusi
karena pada kenyataannya merupakan panggilan bagi akal budi yang sekali lagi telah
melakukan sesuatu yang paling melelahkan dari semua tugas yang berdasarkan
pemeriksaan dan demi tegaknya kebenaran. Mungkin akan aman untuk mengklaim
tentang akal budi tersebut sambil menyatakan tentang semua asumsi dan pretensi yang
tak bersadar, dengan cara yang tidak serampangan, tetapi berdasarkan hukum yang
kekal dan tidak berubah titik penilaian ini merupakan penyelidikan yang kritis tentang
akal budi murni.
Peneliti tidak memaksudkan semua ini sebagai kritik terhadap berbagai buku
serta berbagai sistem, tetapi merupakan penyelidikan kritis terhadap bidang akal budi
dengan mengacu pada kognisi di mana ia berusaha untuk mencapainya tanpa bantuan
pengalaman dengan kata lain sebagai solusi atas pertanyaan mengenai kemungkinan
atau kemustahilan metafisika serta penentuan asal-usul dan tingkat serta batas ilmu ini.
semua harus dilakukan atas dasar beberapa prinsip. jalan ini satu-satunya jalan yang
sampai sekarang masih tersisa dan dengan cara ini mampu menemukan penyebab serta
akibat menjadi modus dalam menghapus semua kesalahan yang sampai sekarang telah
menjadikan akal budi bertentangan dengan dirinya sendiri yakni dalam lingkup
pemikiran non empiris. saya belum kembali kepada jawaban yang mengelak terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang akal budi dengan menuduh ketidakmampuan dan
keterbatasan bidang pikiran sebaliknya saya telah memeriksa bidang-bidang tersebut
benar-benar berdasarkan prinsip yang jelas, dan telah menemukan penyebab keraguan
dan kontradiksi tentang akal budi tersebut. Semua itu telah terpecahkan dengan
kepuasan yang sempurna. Memang benar bahwa pernyataan pertanyaan ini belum
dipecahkan sebagai dogmatisme sebagaimana yang diinginkan oleh hasrat karena ia
hanya dapat dipuaskan melalui latihan seni magis dan Kant tidak memiliki pengetahuan
tentang hal ini.
Semua ini juga tidak muncul di dalam batas-batas kekuatan mental kita dan hal
itu merupakan tugas filsafat untuk menghancurkan ilusi yang memiliki asal usul dari
kesalahpahaman apapun harapan dan nilai yang diruntuhkan oleh penjelasannya
sendiri. Tujuan utama Kant dalam menyelesaikan karya ini adalah ketelitian dan Ia
berani untuk mengatakan bahwa tidak ada masalah metafisika yang tidak menemukan
solusinya, atau setidaknya kunci solusi dalam persoalan ini. Akal budi murni
merupakan suatu kesatuan yang sempurna dan oleh karena itu jika prinsip ini
dikemukakan olehnya dan terbukti tidak cukup untuk memberikan solusi, bahkan dari
pertanyaan-pertanyaan di mana teori tentang akal budi itu dilahirkan kita harus
menolaknya karena kita tidak bisa memastikan secara sempurna dalam kasus yang
memadai.
Ketika Kant mengatakan pernyataan di paragraph sebelumnya, Ia pikir Ia
melihat pada wajah adanya tanda-tanda ketidakpuasan yang bercampur dengan rasa
mual ketika pembaca mendengar Deklarasi yang terdengar begitu sombong dan
berlebihan. Namun semua itu berada di luar perbandingan yang lebih moderat daripada
yang dikemukakan oleh penulis paling umum dari program filsafat umum dimana para
ahli dogma mengaku telah menunjukkan sifat sederhana tentang jiwa atau pentingnya
wujud primal. Para ahli dogma seperti itu berjanji bahwa hal ini benar-benar berada di
luar kemampuan peneliti titik alih-alih melakukan upaya tersebut peneliti membatasi
diri untuk melakukan pemeriksaan tentang akal budi saja beserta pikiran murninya dan
peneliti tidak perlu mencari jauh-jauh mengenai jumlah total kognisi karena ia memiliki
tempatnya sendiri di pikiran itu sendiri.
Selain itu logika umum menunjukkan kepada peneliti mengenai katalog lengkap
dan sistematis mengenai semua operasi sederhana tentang akal serta menjadi tugas
peneliti untuk menjawab pertanyaan atau mana akal budi bisa melakukan sesuatu tanpa
materi yang disampaikan dan bantuan yang diberikan oleh pengalaman. Begitu banyak
kelengkapan dan ketelitian yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas ini titik tujuan
yang ditetapkan di hadapan kita tidak diusulkan secara sembarangan tetapi dipaksakan
kepada kita oleh sifat kognisi itu sendiri. Pernyataan di atas berhubungan dengan soal
pertanyaan kritis kita mengenai bentuk ada dua kondisi yang sangat diperlukan dimana
di setiap orang melakukan tugas kritik yang begitu sulit sebagaimana kritik tentang akal
budi murni yang mau tidak mau harus dilakukannya. Kondisi ini memiliki kepastian
dan kejelasan titik mengenai kepastian Kant telah sepenuhnya meyakinkan diri bahwa
dalam lingkup pemikiran, pendapat saja tidak dapat diterima dan bahwa segala sesuatu
yang memiliki kemiripan dengan hipotesis tidak boleh digunakan, karena tidak
memiliki nilai dalam diskusi tersebut.
BAB IV
MENERAPKAN FILSAFAT ILMU

A. Sejarah Perkembangan Matematika


Penemuan matematika di Mesopotamia dan Mesir kuno didasarkan pada banyak
dokumen asli yang ditulis oleh ahli-ahli Taurat yang masih ada. Meski tidak banyak
catatan yang berbentuk artefak, namun dianggap mampu mengungkap matematika zaman
ini. Artefak matematika yang ditemukan menunjukkan bahwa bangsa Mesopotamia
memiliki pengetahuan matematika yang luar biasa banyaknya, meskipun matematika
mereka masih primitif dan belum memiliki struktur deduktif seperti saat ini.
Matematika di Mesir kuno dapat dipelajari dari artefak yang ditemukan kemudian
dikenal sebagai Rhind Papyrus (pertama kali diterbitkan pada tahun 1877), yang
memberikan wawasan tentang bagaimana matematika dilakukan di Mesir
kuno.modernitas berkembang pesat. Artefak yang berkaitan dengan matematika telah
ditemukan terkait dengan wilayah kekaisaran seperti kerajaan Sumeria tahun 3000 SM,
rezim Akkadia dan Babilonia (2000 SM), dan kerajaan Asyur (1000 SM).BC), Persia (abad
ke-6-4)SM) dan Yunani(1000 SM.3 - 1 SM). Pada zaman Yunani kuno, setidaknya tercatat
ada satu ahli matematika penting, yaitu Thales dan Pythagoras. Thales dan Pythagoras
adalah pionir dalam bidang geometri, namun Pythagoras-lah yang mulai melakukan atau
membuat pembuktian matematis.
Sampai masa pemerintahan Alexander Agung dari Yunani dan sesudahnya, telah
tercatat Karya monumental dari Euclides berupa karya buku yang berjudul Element
(unsur-unsur) yang merupakan buku Geometri pertama yang disusun secara deduksi.
Risalah penting dari periode awal matematika Islam banyak yang hilang, sehingga ada
pertanyaan yang belum terjawab masih banyak tentang hubungan antara matematika Islam
awal dan matematika dari Yunani dan India. Selain itu, jumlah jumlah dokumen yang
relatif sedikit menyebabkan kita mengalami kesulitan untuk menelusuri sejauh mana peran
matematikawan Islam dalam pengembangan matematika di Eropa selanjutnya.
Tetapi yang jelas, sumbangan matematikawan Islam cukup besar bersamaan dengan
kebangkitan pemikiran modern yang muncul himpunanelah jaman kegelapan sampai
sekitar abad ke 15 himpunanelah masehi. Penemuan alat cetak mencetak pada jaman
modern, yaitu sekitar abad ke 16, telah memungkinkan para matematikawan satu dengan
yang lainnya melakukan komunikasi secara lebih intensif, sehingga mampu menerbitkan
karya-karya hebat. Hingga sampailah pada jamannya Hilbert yang berusaha untuk
menciptakan matematika sebagai suatu sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten.
Namun usaha Hilbert kemudian dapat dipatahkan atau ditemukan kesalahannya oleh
muridnya sendiri yang bernama Godel yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin
diciptakan matematika yang tunggal, lengkap dan konsisten. Persoalan Geometri dan
Aljabar kuno, dapat ditemukan di dokumen yang tersimpan di Berlin. Salah satu persoalan
tersebut misalnya memperkirakan panjang diagonal suatu persegi panjang. Mereka
menggunakanhubungan antara panjang sisi-sisi persegi panjang yang kemudian mereka
menemukan bentuk segitiga siku-siku. Hubungan antara sisi-sisi siku-siku ini kemudian
dikenal dengan nama Teorema Pythagoras. Teorema Pythagoras ini sebetulnya telah
digunakan lebih dari 1000 tahun sebelum ditemukan oleh Pythagoras.
Orang-orang Babilonia telah menemukan sistem bilangan sexagesimal yang kemudian
berguna untuk melakukan perhitungan berkaitan dengan ilmu-ilmu perbintangan. Para
astronom pada jaman Babilonia telah berusaha untuk memprediksi suatu kejadian dengan
mengaitkan dengan fenomena perbintangan, seperti gerhana bulan dan titik kritis dalam
siklus planet (konjungsi, oposisi, titik stasioner, dan visibilitas pertama dan terakhir).
Mereka menemukan teknik untuk menghitung posisi ini (dinyatakan dalam derajat lintang
dan bujur, diukur relatif terhadap jalur gerakan jelas tahunan Matahari) dengan berturut-
turut menambahkan istilah yang tepat dalam perkembangan aritmatika.
Matematika di Mesir Kuno disamping dikarenakan pengaruh dari Masopotamia dan
Babilonia, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks Mesir yang mempunyai aliran sungai yang
lebar dan panjang yang menghidupi masyarakat Mesir dengan peradabannya. Persoalan
hubungan kemasyarakatan muncul dikarenakan kegiatan survive bangsa Mesir
menghadapi keadaan alam yang dapat menimbulkan konflik diantara mereka, misalnya
bagaimana menentukan batas wilayah, ladang atau sawah dipinggir sungai Nil
himpunanelah banjir bandang terjadi yang mengakibatkan tanah mereka tertimbun lumpur
hingga beberapa meter. Dari salah satu kasus inilah kemudian muncul gagasan atau ide
tentang luas daerah, batas-batas dan bentukbentuknya. Maka pada jaman Mesir Kuno,
Geometri telah tumbuh pesat sebagai cabang Matematika.
Pada jaman Yunani Kuno, selama periode dari sekitar 600 SM sampai 300 SM , yang
dikenal sebagai periode klasik matematika, matematika berubah dari fungsi praktis
menjadi struktur yang koheren pengetahuan deduktif. Perubahan fokus dari pemecahan
masalah praktis ke pengetahuan tentang kebenaran matematis umum dan perkembangan
obyek teori mengubah matematika ke dalam suatu disiplin ilmu. Orang Yunani
menunjukkan kepedulian terhadap struktur logis matematika. Para pengikut Pythagoras
berusaha untuk menemukan secara pasti Panjang sisi miring suatu segitiga siku-siku.
Tetapi mereka tidak dapat menemukan angka yang tertentu dengan skala yang sama yang
berlaku untuk semua sisi-sisi segitiga tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan
persoalan Incommensurability, yaitu adanya skala yang tidak sama agar diperoleh bilangan
yang tertentu untuk sisi miringnya. Jika dipaksakan digunakan skala yang sama (atau
commensurabel) maka pada akhirnya mereka menemukan bahwa panjang sisi miring
bukanlah bilangan bulat melainkan bilangan irrasional.
Kebangkitan matematika pada abad 17 sejalan dengan kebangkitan pemikiran para
filsuf sebagai anti tesis abad gelap dimana kebenaran didominasi oleh Gereja. Maka
Copernicus merupakan tokoh pendobrak yang menantang pandangan Gereja bahwa bumi
sebagai pusat jagat raya; dan sebagai gantinya dia mengutarakan ide bahwa bukanlah Bumi
melainkan Mataharilah yang merupakan pusat tata surya, sedangkan Bumi
mengelilinginya. Jaman kebangkitan ini kemudian dikenal sebagai Jaman Modern, yang
ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir filsafat sekaligus matematikawan seperti
Immanuel Kant, Rene Descartes, David Hume, Galileo, Kepler, Cavalieri, dsb.
B. Ideologi Pendidikan (Paul Ernest)

Williams (1961) menyebutkan 3 kelompok: industrial trainer (pelatih industri),


humanis, dan pendidik masyarakat, yang mana ideologinya telah mempengaruhi
pendidikan, baik di masa lalu dan di masa sekarang. Para pelatih industri merupakan kelas
pedagang dan manajer industri. Mereka memiliki pandangan 'borjuis', dan nilai aspek
utilitarian pendidikan. Tujuan pendidikan dari para pelatih industri adalah utilitarian, yaitu
mencetak pekerja industri yang akan mengembangkan industri mereka. Para humanis kuno
mewakili kelas terdidik dan berbudaya, seperti aristokrasi dan kebangsawanan. Tujuan
pendidikan mereka adalah pendidikan liberal, transmisi warisan budaya, terdiri dari
pengetahuan murni (sebagai lawan dari terapan) dalam sejumlah bentuk-bentuk
tradisional. Humanis kuno berpendapat bahwa kesehatan rohani manusia tergantung pada
jenis pendidikan yang lebih dari hanya pelatihan untuk pekerjaan khusus, sebagai jenis
yang dijebarkan sebagai manusiawi, liberal, atau budaya. Para pendidik publik mewakili
reformasi radikal atas budaya, yang mana berhubungan dengan demokrasi dan keadilan
sosial. Tujuan mereka adalah ‘pendidikan untuk semua’, untuk memberdayakan kelas
pekerja untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga demokratis masyarakat, dan untuk
lebih berbagi dalam kesejahteraan gugus industri modern.
Ernest (1986, 1987) membedakan 3 kelompok kepentingan yang terdiri dari
pendidik, matematikawan, dan perwakilan industri dan masyarakat, yang masing-
masing memiliki tujuan pendidikan matematika. Tujuan-tujuan tersebut adalah adalah
pengembangan pribadi, penanaman matematika murni dan utilitarian, sesuai dengan
tujuan dari para pendidik publik, dikombinasikan dengan pendidik progresif, humanis
lama, dan trainer industri yang dikombinasikan dengan teknologi pragmatis. Para
matematikawan ingin silabus sekolah dibawa lebih dekat ke silabus matematika
universitas modern, dan para guru sekolah umum juga mengutarakan apa yang mereka
inginkan. Para pengusaha menginginkan masuknya beberapa topik terapan modern dan
pemecahan masalah dalam kurikulum matematika sekolah. Tetapi di atas itu semua
mereka ingin memastikan terdapatnya pasokan lulusan matematika untuk melayani
kebutuhan industri.

Pelatih Industri Pragmatis Humanist Pendidik Pendidik


Teknologi Progresif Masyarakat
Ideologi Radikal Kanan, Meritrokatik, Konservatif/ Liberal Sosialis
Politik Kanan Baru Konservatif Liberal Demokratik
Pandangan Kumpulan Pengetahuan Pengethuan Proses Konstrukti-
Matematika kebenaran dan bermanfaat murni yang personali- visme
aturan yang tidak terstruktur sasi sosial
perlu matematika
dipertanyakan
Nilai Moral Authoritarian Utiliarian, Keadilan Berpusat Keadilan
Victorian Pragmatism, ‘Buta’, pada Sosial,
values,pilihan Expediency, Struktur seseorang, kebebasan,
usaha, ‘penciptaan yang Peduli, kesamaan,
menolong diri, kekayaan’, berpusat Empati, persaudara
kerja, Pengemb- aturan, Nilai-nilai an,
kelemahan angan Hirarki, kemanusia kepedulian
moral, kita- Teknologi pandangan an, sosial,
baik-, mereka- ‘klasik’ Maternali keterlibatan
jelek- kaum stik, dan
paternalistik pandangan kewarganeg
romantis araan
Teori Hirarki yang Hirarki Elitis, Strata Hirarki Hirarki adil,
Masyarakat ketat, Market meritokratik Kelas lembut, reformasi
Place Wilayah
kesejahte
raan
Teori Anak Tradisi Sekolah Anak adalah Character Berpusat Pandangan
Dasar, Anak pekerja atau building pada anak, kondisi
adalah malaikat manajer di pandangan sosial, anak
jatuh dan kapal masa depan progresif sebagai
kosong anak tanah liat
sebagai yang
bunga yang dibentuk
tumbuh liar lingkungan
dan tanpa atau raksasa
dosa yang
sedang
tidur
Teori Tertentu dan Kemampuan Warisan Bervariasi Tidak tetap
Kemampuan warisan warisan buatan dari
terealisasi oleh pikiran
usaha
Tujuan Numerasi dan Berpusat pada Berpusat Kreatifitas Kesadaran
Matematis pelatihan sosial spesifikasi pada dan realisasi kritis dan
dalam ketaatan industri pengetahuan diri melalui kewargane-
matematika matematika garaan
dan (berpusat demokratis
matematika pada anak)
murni
Teori Belajar Kerja keras, Kemahiran, Pemahaman Aktivitas Memperta-
usaha, latihan, keterampilan, dan bermain, nyakan,
hafalan pengalaman penerapan eksplorasi membuat
praktis keputusan,
negosiasi
Teori Otoriter, tanpa Instruktur Menjelas- Eksplorasi, Diskusi,
Mengajar embel-embel keterampilan, kan, mencegah konflik,
Matematika motivasi kegagalan memperta-
melalui memotivasi, nyakan isi
relevansi terstruktur dan
pekerjaan pedagogi
Teori Sumber Tradisional dan Tangan, Bantuan Kaya Relevan
Daya anti kalkulator micro- visual untuk peralatan secara
komputer memotivasi untuk sosial
eksplorasi autentik
Teori Asesmen Uji eksternal Menghindari Pemeriksaan Penilaian Beragam
dalam dasar yang kecurangan, eksternal internal, mode,
Matematika sederhana uji eksternal berdasarkan menghindari penggunaan
dan hirarki kegagalan isu sosial
sertifikasi,
profil
keterampilan
Teori Sekolah Kurikulum Kurikulum Matematika Aneka
Keberagaman dibedakan disesuaikan disesuaikan netral untuk ragam
Sosial menurut kelas, kebutuhan dengan semua, sosial
crypto-rasis, masa depan kemampuan budaya budaya
mono- (matematika lokal
culturalist netral)
C. Sintaks Dan Penilaian Pendidikan Yang Dapat Diturunkan Dari Paradigma/ Teori/ Metode/ Pendekatan/ Model/ Strategi

PARADIGMA/TEORI/
METODE/
No SINTAKS PENILAIAN REFERENSI
PENDEKATAN/MODE
L/STRATEGI
1. Behaviorisme 1. Menentukan tujuan-tujuan 1. Presentasi 1. Rahyubi,Heri. 2012. Teori-Teori
(Direct Learning) pembelajaran. 2. Latihan Terstruktur Belajar dan Aplikasi Pembelajaran
2. Menganalisis lingkungan kelas yang 3. Latihan Terbimbing Motorik. Bandung: Penerbit Nusa
ada saat ini termasuk mengidentifikasi 4. Latihan Mandiri Media.
pengetahuan awal (entry behavior) 2. Suciati dan Prasetya Irawan, 2001.
siswa. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta:
3. Menentukan materi pelajaran. PAU PPAI Universitas Terbuka.
4. Memecah materi pelajaran menjadi
bagian kecil-kecil, meliputi pokok
bahasan, sub pokok bahasan, topik,
dsb.
5. Menyajikan materi pelajaran.
6. Memberikan stimulus, dapat berupa :
pertanyaan baik lisan maupun tertulis,
tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.
7. Mengamati dan mengkaji respons yang
diberikan siswa.
8. Memberikan penguatan/reinforcement
(mungkin penguatan positif ataupun
penguatan negatif), ataupun hukuman.
9. Memberikan stimulus baru.
10. Mengamati dan mengkaji respons yang
diberikan siswa.
11. Memberikan penguatan lanjutan atau
hukuman.
12. Evaluasi hasil belajar.
2. Pembelajaran Bermakna 1. Menentukan tujuan pembelajaran yang 1. Penilaian Autentik Burhanuddin; Nur Wahyuni, Esa. 2010.
jelas dan terukur. 2. Penilaian Unjuk Teori Belajar dan Pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik Kerja Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media
peserta didik, termasuk pengetahuan 3. Tes Uraian
awal dan minat mereka.
3. Memilih strategi dan model
pembelajaran yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran dan karakteristik
peserta didik.
4. Menggunakan pendekatan, metode,
dan media pembelajaran yang
bervariasi dan sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
5. Mengelola kelas dengan baik dan
memberikan kesempatan untuk
partisipasi aktif siswa dalam
pembelajaran.
6. Mengecek pemahaman siswa dan
memberikan umpan balik yang sesuai.
7. Memberikan kesempatan untuk
pelatihan lanjutan dan penerapan.
3. Problem Solving 1. Merumuskan masalah. 1. Penilaian Autentik Erika, E., Astalini, A., & Agus
2. Menelaah masalah. 2. Penilaian Unjuk Kurniawan, D. (2021). Literatur Review :
3. Mencari alternatif solusi. Kerja Penerapan Sintaks Model Pembelajaran
4. Mengevaluasi alternatif solusi. 3. Tes Uraian Problem Solving Pada Kurikulum
5. Melaksanakan solusi. 2013. Edumaspul: Jurnal
6. Menilai hasil yang dicapai. Pendidikan, 5(1), 147 - 153.
https://doi.org/10.33487/edumaspul.v5i1.
1101
4. Discovery Learning 1. Pemberian rangsangan (stimulation) 1. Penilaian Autentik Hammer, D. 1997. Discovery learning
2. Pernyataan/Identifikasi masalah 2. Penilaian Unjuk and discovery teaching. Cognition and
(problem statement) Kerja Instruction, 15(4): 485-529.
3. Pengumpulan data (data collection) 3. Tes Uraian
4. Pengolahan data (data processing)
5. Pembuktian (verification)
6. Menarik simpulan/generalisasi
(generalization)
5. Konstruktivisme 1. Identifikasi Tujuan Pembelajaran 1. Penilaian Autentik Adi Prayitno, B. (2013). Potensi Sintaks
2. Penetapan Konsep yang Harus Dikuasai 2. Penilaian Portofolio Model Pembelajaran Konstruktivis-
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pemahaman 3. Penilaian Proyek Metakognitif Dalam Melatihkan Berpikir
Awal Siswa Dan Kemandirian. Journal of Chemical
4. Proses Pembelajaran Information and Modeling, 53(9), 1689–
5. Diskusi dan Penjelasan Konsep 1699.
6. Pengembangan dan Aplikasi

6. Inquiry 1. Tahap Orientasi 1. Penilaian Autentik Almuntasheri, S.R.M. Gillies dan


2. Merumuskan Masalah 2. Penilaian Portofolio Wright, T., 2016, The Effectiness of A
3. Merumuskan Hipotesis 3. Penilaian Kerja Guided Inquiry-based, Teachers’
4. Pengumpulan Data Ilmiah Professional Development Programme
5. Menguji Hipotesis on Saudi Students’ Understanding of
6. Merumuskan Kesimpulan Density, Science Education International,
Vol 27, No 1, Hal 16-39.
7. Project Based Learning 1. Penentuan Proyek 1. Penilaian Proyek Nurhayati, Ai Sri & Harianti, Dwi. 2020.
2. Perencanaan 2. Rubrik Penilaian Model Pembelajaran Project Based
3. Pelaksanaan Proyek 3. Penilaian Formatif Learning (PjBL) [online]. Link:
4. Presentasi https://sibatik.kemdikbud.go.id/inovatif/a
5. Evaluasi ssets/file_upload/pengantar/pdf/penganta
r_5.pdf
BAB V
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Sekitar tahun 1985 orang jarang mendengar kata konstruktivisme. Istilah


konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan struktur kognitif dari Piaget.
Dalam perkembangannya konstruktivisme memiliki arti bermacam-macamBerikut ini
disajikan beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang dikemukakan oleh
filsofpsikolog, dan pendidik. Konstruktivisme yang dikenal dari kerja Piaget yang menyatakan
bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya,
melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka
sendiriPengetahuan seseorang merupakan hasil konstruksi individu, melalui interaksi dengan
objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Konstrukivisme menurut von Glasersfeld
adalah pengetahuan secara aktif diterima orang melalui indera atau melalui komunikasi atau
pengalamanOrang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan
interaksinya dengan lingkungannya. Fosnot menyatakan konsep bahwa siswa membangun
pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme. Sedangkan Nodding
menyatakan konstruktivisme dapat dikarakteristikkan sebagai posisi kognitif dan perspektif
metodologis.

Konstruktivisme memandang siswa secara konstan memeriksa informasi baru terhadap


aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan bila mereka bekerja dalam waktu relatif singkat.
Inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri
berdasar pengalamannya. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada
pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-
psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological)
dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke
internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-
psikologi (dalam diri individu) Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara
individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang di


kemukakan Piaget, Glasersfeld, Fosnot, Nodding, dan Vygotsky tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu pengetahuan manusia yang dikonstruksi oleh
dirinya sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka secara individu maupun melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan merekaSuatu
pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008). Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus
diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi
tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus Dan dalam proses itulah
keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.

Berbicara tentang konstruktivisme tidak terlepas dari peran Piaget. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajarMenurut
Wadsworth, teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang
biologi (Suparno, 2008). Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap
organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan
pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang
untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema
pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget,
pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisik maupun pengalaman
mental. Cara belajar berfilsafat juga tidak bisa secara instan. Kita bisa berfilsafat dengan
menggunakan pikiran kita yang disertai dengan pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-
pengalaman kita. Salah satu cara yang paling mudah untuk kita mendapatkan pengetahuan
sebagai modal kita dalam berfilsafat adalah membaca.

Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (Suparno,


2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok
konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal
bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, "Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan." Dia menjelaskan bahwa "mengetahui" berarti 'mengetahui
bagaimana membuat sesuatu.' Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep
yang dibentukLain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu
harus menunjuk kepada kenyataan luar.
Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno,
2008).Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean
Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Sedangkan Doolittle dan Camp (1999) memandang konstruktivisme tidak sebagai satu
kesatuan (unitary), tetapi memandang sebagai rangkaian (continuum) teoritis. Dengan
memandang konstruktivisme sebagai rangkaian teoritis ini, Doolitte dan Camp
mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme ke dalam beberapa bagian yaitu:

1. Konstruktivisme Kognitif
Dari sudut pandang konstruktivisme kognitif, pengetahuan merupakan hasil
internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal (Doolittle & Camp, 1999). Hasil
dari proses internalisasi ini adalah struktur-struktur dan proses-proses kognitif yang
secara akurat berkaitan dengan struktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di
dunia nyata. Proses internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal adalah belajar,
yakni belajar adalah proses membangun model-model dan representasi-representasi
internal yang merupakan cerminan atau refleksi dari struktur-struktur eksternal yang
ada dalam dunia nyata.
2. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu sebagaimana
konstruktivisme Piaget. Konstruktivisme radikal bukan suatu teori pengembangan
atau teori pembelajaran, tetapi suatu model pengetahuan yang dapat digunakan oleh
para ahli teori pengembangan pembelajaran untuk mengembangkan suatu model
pembelajaran. Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada
siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa
sendiri.
3. Konstruktivisme Sosial
Konstruktivisme sosial meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari
interaksi sosial dan pemakaian bahasa, jadi merupakan pengalaman yang dihasilkan
dari kesepakatan melalui tukar pendapat dalam interaksi sosial, dan bukan
pengalaman yang hanya dihasilkan secara individu.

Berkaitan dengan pembelajaran, konstruktivisme kognitif dipandang sebagai bentuk


konstruktivisme "lemah". Istilah "lemah" di sini bukan didasarkan pada pertimbangan nilai,
misalnya lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya suatu indikasi keterkaitannya dengan asumsi-
asumsi dasar epistemologi konstruktivisme. Konstruktivisme kognitif memandang konstruksi
pengetahuan sebagai suatu proses yang bersifat teknis dalam menciptakan struktur-struktur
mental, dan kurang memperhatikan aspek pengetahuan subyektif yang ada dalam benak siswa
secara individu.

Konstruktivisme radikal dan konstruktivisme sosial keduanya dipandang sebagai


bentuk konstruktivisme yang lebih "kuat". Konstruktivisme radikal memperhatikan konstruksi
struktur mental dan makna secara individu dengan menginterpretasi dan mengkonstruksi
pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini konstruksi radikal dipadang
memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding konstruktivisme kognitif yang hanya
memperhatikan konstruksi struktur mental (Doolittle & Camp, 1999)Dalam konstruktivisme
sosial lebih memperhatikan interaksi sosial dari pada konstruksi pengetahuan secara individu;
penekannya pada konstruksi makna dalam suatu kegiatan interaksi sosial.

B. Kasus Kuliah Prof.Marsigit Membangun Filsafat Ilmu.


Mata kuliah Filsafat Ilmu diampu oleh Bapak Prof. Dr. Marsigit, M.A berlangsung pada
semester 1 S2 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.
Perkuliahan mata kuliah Filsafat ilmu ini dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 09.20 – 11.00
WIB dan dihadiri oleh 21 mahasiswa kelas C S2 Pendidikan Matematika UNY. Prof. Dr.
Marsigit, M.A memiliki gaya mengajar yang dinamis serta tidak monoton. Prof.Marsigit dalam
mengajar filsafat dapat secara luring dating langsung ke kampus maupun hybrid. Pertemuan
pertama ini diawali dengan perkenalan seluruh mahasiswa dengan menyebutkan nama, alamat
asal, dan jurusan kuliah sebelumnya.
Prof. Marsigit menyampaikan tata cara, aturan, tugas, dan adab dalam perkuliahan mata
kuliah filsafat ilmu. Tugas yang diberikan meliputi: (1) Tonton video YouTube yang telah
diberikan dan tuangkan dalam tulisan; (2) Mereview buku The Critique of Pure Reason karya
Immanuel Kant; (3) Membuat Makalah; (4) Memperebutkan kehidupan dan dunia; (5)
Membuat sintaks dari model pembelajaran; (6) Membuat tugas akhir Filsafat Ilmu. Uniknya
saat perkuliahan filsafat ilmu berlangsung, mahasiswa dianjurkan tidak mencatat di buku
secara manual selama perkuliahan tapi fokuskan untuk mendengarkan dan berpikir. Untuk
menyimpan materi yang disampaikan bisa memanfaatkan teknologi dengan menggunakan
rekaman atau alat bantu lainnya.
Dalam mata kuliah filsafat ilmu, tidak menggunakan sumber secara baku. Berfilsafat itu
olah pikir, bisa didefinisikan sesuka hati dan setiap definisi yang diberikan bisa dikritisi.
Berpikir itu dilakukan oleh manusia, dan hanya ada di dunia saja karena di akhirat hanya tinggal
amal perbuatan. Jadi, berpikir itu merupakan suatu urusan dunia yang sifatnya tidak absolute
(relatif). Menurut Prof. Marsigit filsafat itu merdeka dan independen sesuai pemikiran sendiri,
namun tergantung batasan-batasan yang ada seperti dalam ranah spiritual. Dalam filsafat pahit
itu manis, lebar itu sempit, gemuk itu kurus, salah itu benar, berbeda dengan matematika dan
semua itu unik dan bedanya belajar filsafat dan belajar matematika. Belajar matematika
berawal dari yang abstrak menjadi jelas, sedangkan belajar filsafat diawali dari yang jelas
menjadi abstrak. Saat sudah merasa binggung atas apa yang dipikirkan, berarti sudah siap untuk
menerima pengetahuan baru sedangkan jika binggung dalam hati itu harus dihindari karena
berasal dari setan. Ketika manusia egonya tinggi tidak mungkin bisa belajar filsafat ataupun
menuntut ilmu lainnya.
Untuk masuk dunia filsafat, biasakan untuk tersenyum dalam kehidupan karena “kalau
kamu tersenyum pada dunia, maka dunia akan tersenyum pada dirimu”. Dalam filsafat kalau
jelas itu bahaya, karena jika sudah jelas maka proses berpikirnya telah berhenti. Manusia dapat
membangun pengetahuan dengan dibatasi oleh spiritual dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Hidup kalau masih dalam dunia itu akan ada kontradiksinya, secara filsafat semua
matematika hanya benar dalam pikiran namun semuanya salah dalam tulisan. Mudah-mudahan
dengan belajar filsafat bukan hanya bisa menjadi akademika yang bisa terus berpikir untuk
mendaptkan ilmj baru, tapi bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai