Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“ONTOLOGI FILSAFAT ILMU”


TUGAS INI DIAJUKKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU

DOSEN PEMBIMBING : ISMED SARI, M.A

DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK 4
DITHA DAMAYANTI (0401173069)
NURAZIZAH LUBIS (0401173076)
ELLA WARDANI (0401183039)
ANGGRAINI (0401183035)

PRODI AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA –
MEDAN
T.A 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan
pada waktunya.

Adapun bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan


makalah ini didapatkan dari berbagai sumber yang berhubungan
dengan tugas yang bersangkutan. Dalam kesempatan ini kami
ucapkan terima kasih banyak kepada pihak yang dapat disebutkan
satu persatu hingga makalah ini selesai, dan telah memberikan arahan
baik secara langsung maupun tidak langsung.

Makalah yang disajikan ini masih sangat jauh dari


kesempurnaan, hal tersebut dikarenakan keterbatasan wawasan ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Untuk lebih menyempurnakan laporan ini,
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan dalam penyempurnaan makalah ini.

Akhirul kalam, semoga laporan yang sederhan ini bermanfaat


bagi kita semua.

Medan, 23 Maret 2020

Penyusun

Kelompok 4

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat ilmu atau teori keilmuan, sering direduksi hanya menjadi ajaran tentang
metode keilmuan. Lebih jelas lagi ia direduksi menjadi sebuah refleksi atau metode-
metode yang belum dimasukan kedalam bidang matematika atau logika formal, etika
dan nilai. Padahal filsafat ilmu tidak boleh dibatasi atau direduksi hanya sekedar
mengenal metode-metode atau teori-teori. Apabila filsafat ilmu atau teori keilmuan
tidak direduksi, maka sebagai filsafat, akan dapat merefleksikan pertanyaan-
pertanyaan yang bersangkut paut dengan masalah keilmuan dan kehidupan yang lebih
luas. Misalnya : “Apakah ilmu itu?” dengan cara bagaimana ilmu itu dibangun?
“Adakah batas-batas karya keilmuan?” Dengan cara bagaimana tanggung jawab
ilmuan ditentukan?”.
Artinya dengan pertanyaan-pertanyaan itu, ajaran tentang metode keilmuan akan
menjadi suatu bagian yang kokoh dari filsafat ilmu, di samping ajaran-ajaran lainnya.
Dengan demikian, maka persoalan-persoalan tentang posisi dari metodologi, akan
menjadi persoalan di dalam lingkungan teori keilmuan atau filsafat ilmu itu sendiri,
begitu juga mencakup pembahasan Ontologi dan Metafisika.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun beberapa topik
pembahasan sebagai berikut :
1. Apakah makna ontologi?
2. Apakah pengertian ontologi dan metafisika?
3. Apakah landasan metafisika?
4. Apakah cabang-cabang metafisika?
5. Sumber-sumber kebenaran metafisika?
6. Apakah Kegunaan Metafisika?

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ontologi
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti
sesuatu yang sunguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya,
dan logos yang berarti teori atau ilmu. Maka ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan. Ontologi mempelajari
keberadaan dalam bentuknya yang paling abstrak. Ontologi
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tatanan dan
struktur kenyataan dalam arti luas.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini
menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup
cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi
sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.1
Ada beberapa pengertian dasar mengenai “ontologi” antara lain: pertama,
ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari “Yang Ada “ dalam dirinya
sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam
mempelajari “yang ada” dalam bentuknya yang sangat abstrak, studi tersebut
melontarkan pertanyaan seperti “apa itu “Ada” dalam dirinya sendiri?”
Kedua, Ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang
menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan
kategori-kategori seperti ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, esensi,
keniscayaan dasar, bahkan “yang ada” sebagai “yang ada”. Ketiga, Ontologi bisa juga
merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat “Ada” yang terakhir,
ini menunjukan bahwa segala hal tergantung pada eksistensinya. Keempat, Ontologi
juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan,
apa arti “Ada” dan “Berada”, juga menganalisis bermacam-macam makna yang
memungkinkan hal-hal dapat dikatakan “Ada”. Kelima, Ontologi bisa juga
mengandung pengertian sebuah cabang filsafat, antara lain ialah :

1
Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
4
1) Menyelidiki status realitas suatu hal, misalnya “apakah objek
pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusi (menipu)?
“apakah bilangan itu nyata?” apakah pikiran itu nyata?”

2) Menyelidiki apakah jenis reaitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa


jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Atau pikiran?

3) Yang menyelidiki relitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas.
Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa
ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”2
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Barat sudah menunjukan
munculnya perenungan dibidang Ontologi. Yang tertua diantara segenap filsuf barat
yang kita kena ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Atas
perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sampai pada kesimpulan
bahwa air merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala
sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajarannya yang mengatakan
bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin
sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka.3

B. Ontologi dan Metafisika


Sejak lama, istilah “metafisika” dipergunakan di Yunani untuk menunjukan
karya-karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani metata physika
yang berarti “ha-hal yang terdapat sesudah fisika”. Aristoteles mendefinisikan sebagai
ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang-ada, yang dilawankan. Misalnya,
dengan yang-ada sebagai yang digerakan atau yang- ada sebagai yang dijumlahkan.
Metafisika dipergunakan baik untuk menunjukan filsafat pada umumnya maupun
acapkali untuk menunjukan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan
terdalam. Namun secara singkat banyak yang menyebutkan metafisika sebagai studi
tentang realitas dan tentang apa yang nyata.

2
Prof.Dr. Idam Fautanu,MA, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Referensi, 2012), hal.120-121
3
Drs. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992), hal.191

5
Pembahasan ontologi terikat dengan pembahasan mengenai metafisika. Ontologi
membahas hakekat yang “ada” sedangkan metafisika menjawab pertanyaan apakah
hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya. Pada suatu pembahasan metafisika
merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain ontologi merupakan
salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, ontologi dan metafisika
merupakan dua hal yang saling terkait.4
Jujun Suriasumantri mengumpamakan metafisika sebagai sebagai sebuah
landasan roket, roket itu sendiri adalah pikiran-pikiran manusia. Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya. Dengan kata lain,
metafisika adalah dasar atau landasan pandangan mengenai alam dan manusia sebagai
makhluk hidup (termasuk zat dan pikiran yang dimilikinya). 5

C. Landasan Metafisika
Terkadang metafisika ini sering disamakan dengan “ontologi” (hakikat ilmu).
Namun demikian, Anton Baker membedakan antara Metafisika dan ontologi.
Menurut istilah “metafisika” tidak menunjukan bidang ekstensif atau objek material
tertentu dalam penelitian, tetapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti itu hanya tersentuh pada taraf penelitian
paling fundamental, dan dengan metode tersendiri.6
Maka nama metafisika menunjukan sebuah pemikiran, dan merupakan refleksi
filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling
Ultimate. Sedangkan ontologi yang menjadi objek material bagi filsafat pertama itu
terdiri dari segala hal yang ada.
Secara umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif
mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang “ada” (being). Yang
dimaksud dengan “ADA” ialah semua yang ada, baik yang ada secara mutlak, ada
tidak mutlak, maupun ada dalam kemungkinan.”
Jujun S Sumantri mengatakan, bidang telaah falasafati yang disebut metafisika ini
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran ilmiah. Diibaratkan bila pikiran itu
4
J.S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 22 edn (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2017).
5
R. Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Remaja Rosdakarya,
2001).
6
Anton Baker, Ontologi atau Metafisika Umum, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hal.15
6
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah dasar peluncurannya.7
Secara umum metafisika dibagi menjadi dua bagian yaitu :
 Metafisika umum (yang disebut ontologi)
 Metafisika khusus (yang disebut kosmologi)

Metafisika umum (ontologi) berbicara tentang segala sesuatu sekaligus. Perkataan


ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “yang ada” dan, sekali lagi, logos.
Maka objek material dari filsafat umum itu terdiri dari segala-gala yang ada.
Pertanyaan-pertanyaan dari ontologi misanya :

 Apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak ?


 Apakah alam raya merupakan peredaran abadi dimana semua gejala
selau kembali, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu
proses perkembangan ?

Sedangkan metafisika khusus (Kosmologi) adalah ilmu pengetahuan tentang


struktur alam semesta yang membicarakan tentang ruang, waktu, dan gerakan.
Kosmologi berasal dari kata “kosmos” = dunia atau ketertiban, lawan dari “chaos”
atau kacau balau atau tidak tertib, dan “logos” = ilmu atau percakapan. Kosmologi
berarti ilmu tentang dunia dan ketertiban yang paing fundamental dari seluruh
realitas.8

D. Cabang Metafisika
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati,
termasuk pemikian ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah
alam ini. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini.
1. Supernaturalisme

Tafsiran supernatural adalah tafsiran yang diberikan manusia kepada alam


bahwa alam terdiri dari wujud-wujud gaib (supernatural) dan lebih berkuasa
dibandingkan dengan kuasa alm nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang

7
Jujun S Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal.63
8
Op.Cit, Prof.Dr. Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu, hal.132
7
berdasarkan pemikiran supernatural ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat
roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
2. Naturalisme

Paham ini menolak wujud-wujud supernatural. Materialisme merupakan


paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme
menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat
dalam alam itu sendiri yang dapay dipelajari dan dengan demikian dapat kita
ketahui.9
Democritos (460-370 SM) adala salah satu tokoh awal paham
materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan
bahwa unsur dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis
itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Objek dari penginderaan sering
dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang
bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia
berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindera.10
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika.
Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam
(termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini
ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga.
Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat
diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk
makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari
proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan beranjut pada bagaimana pandangan
mengenai pikiran (kesadaran). Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu
yang unnik yang berbeda dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berpikir
manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya.
Namun, apakah kebenarannya dari hakikat pemikiran tersebut. Apakah dia
berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukkah bentuk lain dari zat tersebut.

9
J.S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 22 edn (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2017).
10
Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
8
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya
Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran
dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses
berlainan, namun memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat,
teori Einstein menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berpikir
dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang
berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda
secara substantif. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John
Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap
oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia
adalah bersifat mental. Yang bersifat nyata hanyalah fikiran, karena dengan
berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir
maka saya ada.
John Locke mengibaratkan fikiran manusia pada awalnya merupakan
sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat
dalam lempeng tersebut. Organ manusialah yang menangkap dan menyimpan
pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya “to be is to be perceived”. Ada
adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir
dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan
menghasilkan sesuatu yang berwujud.11
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri
dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah
dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-
pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat
diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa
memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan
dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.12

11
Prasetya, 'Filsafat Pendidikan' (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
12
A. Idi, and M. Faizin, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan Pendidikan (Jakarta: Ar-
Ruzz Media, 2007).
9
E. Sumber Kebenaran Metafisika

10
F. Kegunaan Metafisika

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ontologi dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan


kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif
filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, duaisme,
pluralisme, nihilisme dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan
paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat serta keyakinan kita
masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa
ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”,
metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar- benarnya?
Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada
pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena
itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.

12
Daftar Pustaka

Prof.Dr. Idam Fautanu,MA, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Referensi, 2012),.

Drs. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara


Wacana, 1992),.

Op.Cit, Prof.Dr.Idzam Fautanu, MA, Filsafat Ilmu,.

Sunarto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta : Andi


Offset, 1983),.

Jujun S.Suriasumantri, Fisafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 196),.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),.

M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, (Jakarta : Lintas


Pustaka Publisher, 2006),.

Anton Baker, Ontologi atau Metafisika Umum, (Yogyakarta : Kanisius,

1992),. Jujun S Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,

2001), hal.63

A. Idi, and M. Faizin, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan


Pendidikan (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

Anda mungkin juga menyukai