Anda di halaman 1dari 34

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU:

Matematika dan Pendidikan Matematika


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, MA.

OLEH
Riki Yohan Nur Permadi
23031140019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
BAB I
FILSAFAT UMUM

Filsafat ilmu merupakan ‘induk’ dari ilmu pengetahuan yang mendasari logika,
bahasa, dan matematika (suaedi, 2016). Jika ditelisik lebih jauh, filsafat merupakan
sumber dari segala ilmu pengetahuan. Artinya, filsafat dapat dikatakan sebagai
dasar. Seorang yang berfilsafat digambarkan oleh Suriasumantri (1996) seperti
orang yang berpijak di bumi sedang tengadah memandang bintang-bintang di
langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Dalam
filsafat terdapat tiga pokok bahasan yakni ontologi, epistemology dan aksiologi.

a. Ontologi

Ontologi adalah cabang filsafat yang memfokuskan diri pada penyelidikan


hakikat keberadaan atau eksistensi. Kata "ontologi" berasal dari bahasa Yunani, di
mana "ontos" berarti "keberadaan" dan "logos" berarti "ilmu". Ontologis membahas
pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa yang benar-benar ada, bagaimana
sesuatu dapat dikatakan ada, dan bagaimana entitas bersifat dan berinteraksi satu
sama lain. Atau dengan kata lain ontologi merupakan satu cabang filsafat yang
membahas tentang yang ada. Secara istilah, ontologi merupakan suatu cabang
filsafat yang berhubungan dengan hakikat tentang suatu keberadaan yang meliputi
keberadaan yang ada dan yang mungkin ada (Mahfud, 2018).

Ontologi sering sekali disamakan dengan metafisika. Hal ini dikarenakan


ontologi yang merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat
apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana
membahas tentang realitas atau kenyataan. Pada dasarnya ontologi berbicara asas-
asas rasional dari yang ada atau disebut suatu kajian mengenai teori tentang “ada”,
karena membahas apa yang ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan
tersebut.
Beberapa tokoh kunci dalam sejarah filsafat yang memiliki kontribusi besar
terhadap perkembangan ontologi adalah Parmenides, Plato, dan Aristoteles.
Parmenides, seorang filsuf Yunani kuno, memainkan peran penting dalam
pembentukan pemikiran ontologis dengan menekankan ide bahwa keberadaan
adalah yang satu dan perubahan hanyalah ilusi. Plato, melalui teorinya tentang
bentuk atau ide, membawa pemikiran ontologis ke tingkat yang lebih tinggi dengan
mengajukan pertanyaan tentang keberadaan ide-ide abstrak yang ada di luar dunia
pengalaman kita. Aristoteles, seorang murid Plato, mengembangkan ontologi
dengan memetakan berbagai jenis keberadaan dan menyusun kategorisasi ontologis
yang masih memengaruhi pemikiran filosofis modern.

b. Epistemologi
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya
“Episteme” artinya “pengetahuan” dan “Logos” artinya “ilmu”. Secara istilah,
epistemologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan,
metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut (Arwani,2017).

Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan


hakikat, dasarnya, serta penegasan bahwa seseorang memiliki pengetahuan.
Epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi adalah sebuah ilmu
yang mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan
dipelajari secara substantif.

Ketika ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang ada, berbeda
epistemologi berupaya membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Ibarat
pondasi, landasan epistemologi mempunyai arti yang sangat penting bagi
pengetahuan, karena menjadi tempat berpijak dimana suatu pengetahuan yang baik
ialah yang memiliki landasan yang kuat.

Epistemology juga disebut sebagai logika material dalam membahas


pengetahuan. Atau epistemologi seringkali dikaitkan dengan kajian untuk
mengetahui benda-benda. Selain itu, epistemology merupakan doktrin filsafat yang
lebih menekankan pada peranan pengalaman untuk memperoleh pengetahuan
dengan menyampingkan peranan akal. Epistemologi menganggap setiap
pengetahuan manusia merupakan hasil dari penyelidikan benda hingga akhirnya
dapat diketahui manusia. Dengan demikian, disimpulkan bahwa epistemology
membahas tentang sumber, proses, syarat, batas, dan hakikat dari pengetahuan yang
memberikan kepercayaan dan jaminan dari kebenarannya (Rahayu, 2021)
Epistemologi dasarnya berbicara tentang dasar, sumber, karakteristik,
kebenaran, dan cara mendapatkan suatu pengetahuan. Aspek terpenting yang
dibahas dalam epistemologi yaitu sumber pengetahuan dan metode pengetahuan.
Kedua hal itu dibicarakan dalam epistemologi dan ada juga kuantitas pengetahuan
juga dibahas di epistemologi. Jadi ketika ilmu pengetahuan disoroti melalui
epistemologi maka pembahasannya terarah pada bagaimana sumber yang dipakai
oleh para ilmuwan didalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan metodenya
seperti apa karena setiap jenis ilmu itu mempunyai sumber dan metode pengetahuan
yang tidak sama, boleh jadi sama tapi tentu ada karakteristik atau nuansa yang
membedakan ilmu tersebut.
c. Aksiologi
Cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya disebut aksiologi. Aksiologi berusaha untuk menggapai
hakikat dan manfaat yang terdapat pada suatu pengetahuan. Diketahui bahwa
manfaat dari ilmu pengetahuan yakni agar memberikan kebaikan dan kemudahan
untuk manusia. Ini yang menjadikan aksiologis memiliki peran sangat penting
dalam suatu proses pengembangan ilmu pengetahuan karena pada saat cabang ilmu
tidak mempunyai nilai aksiologis, akan lebih cenderung menghadirkan keburukan
bagi kehidupan manusia bahkan sampai pada kemungkinan ilmu yang bersangkutan
dapat mengancam kehidupan sosial dan keseimbangan alam (Jauhari,2019).

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “axion” yang berarti “nilai” dan
“logos” yang berarti “ilmu”. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai.
Aksiologis dasarnya berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu
bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena berhubungan dengan nilai maka
aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan dengan benar atau
salah, berhubungan dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas.

Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai(values) yang bersifat normatif dalam


pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan manusia yang menjelajahi berbagai kawasan,seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Aksiologi juga dapat dikatakan analisis terhadap nilai-nilai. Maksud dari
analisis yaitu membatasi arti, ciri, tipe, kriteria, dan status dari nilai-nilai.
Sedangkan nilai yang dimaksud disini yaitu menyangkut segala yang bernilai. Nilai
berarti harkat yaitu kualitas suatu hal yang menjadikan hal tersebut berguna. Nilai
dapat bermakna bernilai guna sebagai suatu kebaikan. Apalagi dalam aksiologi
dimana aksiologi merupakan bidang menyelidiki atau menganalisis nilai-nilai maka
dalam implikasinya aksiologi mencoba untuk menguji dan mengintegrasikan semua
nilai kehidupan dalam kehidupan manusia dan membinanya dalam kepribadian
seseorang.
BAB II
FILSAFAT ILMU

Salah satu cabang ilmu yang sampai saat ini masih dipelajari dibangku sekolah
formal maupun nonformal adalah matematika. Matematika merupakan ilmu yang
bersifat deduktif. Dalam tinjauan filsafat, matematika dianggap sebagai pondasi
dari berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Berikut matematika jika ditinjau dari sisi
filsafat.
a. Epistemologi matematika
Epistemologi matematika adalah teori pengetahuan yang sasaran
penelaahannya ialah pengetahuan matematika. Epistomologi sebagai salah satu
bagian dari filsafat merupakan pemikiran reflektif terhadap berbagai segi dari
pengetahuan seperti kemungkinan, asal-mula, sifat alami, batas-batas, asumsi
dan landasan, validitas dan reliabilitas sampaikebenaran pengetahuan. Dengan
demikian landasan matematika merupakan pokok soal utama dari epistemologi
matematika.
Dalam tinjauan epistemology, beberapa filsuf berpandangan bahwa
matematika adalah pengetahuan yang bersifat apriori dan bukan aposteriori.
Apriori merupakan pengetahuan myang diperoleh tanpa mengalami
pengalaman, sedangkan aposteriori merupakan pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman. Matematika dipandang sebagai pengetahuan apriori karena
dibentuk atas dasar deduksi-deduksi logis dan konsep konsep dasar dimana
deduksi ini tidak memerlukan pengalaman didalamnya, murni atas dasar
rasionalitas.
Matematika dikenal karena pendekatannya yang deduktif, di mana teorema
dan hasilnya diperoleh melalui deduksi logis dari aksioma dan definisi yang
sudah ada. Pertanyaan muncul apakah deduksi matematika ini mencerminkan
suatu bentuk penemuan atau penciptaan, dan bagaimana hal ini terkait dengan
kebenaran objektif. Namun untuk memvalidasi kebenaran atau objektivitas
matematika kita tidak bisa menggunakan pengalaman (kondisi fisik). Sebab
untuk membuktikan kebenarannya, pengalaman (kondisi fisik) tidak akan
pernah cukup untuk membuktikannya. Maka dari itu matematika akan
tervalidasi kebenarannya jika dan hanya jika tidak ada pertentangan
didalamnya (kontradiksi).
b. Ontologi matematika
Ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada. Hubungan antara
pandangan ontologis (atau metafisis) dengan matematik cukup banyak
menimbulkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh sebagian filsuf
matematik. Dalam ontologi matematik dipersoalkan cakupan dari pernyataan
matematik (cakupannya suatu dunia yang nyata atau bukan). Pandangan
realisme empirik menjawab bahwa cakupantermaksud merupakan suatu
realitas. Eksistensi dari entitas-entitas matematik juga menjadi bahan
pemikiran filsafat. Terhadap problem filsafat ini pandangan Platonisme
menjawab bahwa titik dan garis yang sesungguhnya terdapat dalam dunia
transenden yang kini hanya diingat oleh jiwa manusia di dunia ini, sedang
konsepsi Aristotelianisme mengemukakan bahwa entitas-entitas itu sungguh
ada dalam dunia empirik tetapi harus disuling dengan abstraksi. Suatu hal lagi
yang merupakan problim yang bertalian ialah apakah matematik ditemukan
oleh manusia atau diciptakan oleh budinya.
Ontologi filsafat matematika membahas hakikat dari segala sesuatu yang
ada dalam ilmu matematika yang bersifat konkret. Contoh dari ontologi
matematika adalah segala sesuatu yang ada dalam matematika, seperti teorema-
teorema. Teorema di dalam matematika akan dibuktikan secara logis,
terstruktur, dan sistematis, yang merupakan salah satu contoh ontologi
matematika Epistemologi matematika, di sisi lain, adalah ilmu filsafat untuk
mempelajari keaslian atau validitas dari sifat-sifat matematika, seperti
kebenaran sebuah teorema. Pembuktian teorema dalam matematika merupakan
contoh dari epistemologi matematika. Ontologi pendidikan matematika
membahas hal-hal atau aspek dalam proses pembelajaran matematika yang
bersifat ada atau konkret, seperti media pembelajaran matematika yang
digunakan untuk mengajarkan konsep matematika kepada peserta didik. Ruang
lingkup filsafat matematika meliputi epistemologi matematika, ontologi
matematika, metodologi matematika, dan struktur matematika Ontologi
matematika berusaha memahami keseluruhan dan kenyataan matematika, yaitu
segala matematika yang ada. Metafisika umum atau yang lebih dikenal dengan
istilah ontologi merupakan cabang filsafat yang paling mendasar dan memiliki
kaitan erat dengan pemahaman akan realitas. Setiap cabang filsafat, tidak
terkecuali filsafat matematika, menjadikan ontologi sebagai salah satu
landasan, bersama dengan epistemologi dan aksiologi. Dari sudut pandang
ontologi, matematika memiliki aspek-aspek konkret yang ada dalam ilmu
matematika, seperti teorema-teorema yang dibuktikan secara logis, terstruktur,
dan sistematis. Epistemologi matematika membahas validitas dari sifat-sifat
matematika, seperti kebenaran sebuah teorema. Ontologi matematika juga
berusaha memahami keseluruhan dan kenyataan matematika, yaitu segala
matematika yang ada. Semua ini merupakan bagian dari ruang lingkup filsafat
matematika yang mendalam.

c. Aksiologi matematika
Aksiologi matematika terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran,
tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang
membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan
yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam
kehidupan. Aksiologi matematika sangat banyak memberikan kontribusi
perubahan bagi kehidupan umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala
sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh matematika.
Matematika yang merupakan induk ilmu pengetahuan mempunyai manfaat.
Dalam perspektif aksiologi ilmu pengetahuan, matematika mempunyai banyak
manfaat. Manfaat ilmu pengetahuan menurut Nata (2018), antara lain:
1. Menjadi dasar bagi terbentunya dan berkembangnya teknologi baik berupa
konsep, gagasan, pemikiran dan idenya yang bersifat nonfisik
2. Menjadi penjelas atas fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak peristiwa atau kejadian yang masih membutuhkan penjelasan
secara ilmiah.
3. Menjadi penerang bagi kehidupan manusia. Eksistensi hari ini dan
keberlangsungan masa depan sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan
4. Berfungsi sebagai landasan/pondasi yang kokoh untuk menyangga
peradaban zaman ini, sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia.
5. Berfungsi sebagai tool/alat untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT ILMU
Dari Realita Menuju Idealitas

a. Rangkuman Video
Kehidupan manusia itu metafisik. Maka sebelum yang ada, masih adalagi
dan begitu seterusnya sampai tak terhinggan ujungnya. Begitupun sebaliknya,
setelah yang ada maka masih ada lagi setelahnya dan seterusnya sampai tak
terhingga ujungnya. Maju tidak selesai, mundur tidak selesai. Alasan dibalik itu
semua adalah ketidak sempurnaan manusia. Ketidaksempurnaan inilah yang
membuat manusia bisa hidup. Jadi pada dasarnya kesempurnaan manusia itu
adalah ketidaksempurnaannya. Atau bisa dikatakan “manusia sempurna didalam
ketidaksempurnaan dan tidak sempurna dalam ketidaksempurnaan”.

Kehidupan manusia diawali dengan yang namanya fatal dan vital. Fatal
berarti terpilih atau yang biasa disebut takdir dan vital yang artinya dipilih atau
yang biasa diistilahkan sebagai ikhtiar. Takdir merupakan suatu ketetapan yang
diluar kendali manusia. Karena diluar kendali manusia, maka manusia tidak bisa
merubahnya. Dari fatal dan vital ini hadir metafisiknya, yaitu sifat dibalik sifat,
sifat mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, sifat mempunyai sifat. Maka
sebenar-benar manusia itu adalah sifat mengikuti sifat.

Fatal bersifat tetap. Artinya bahwa fatal (takdir) itu kemudian diluar dari
kehendak manusia, itu adalah ketentuan sang pencipta. Maka dari itu manusia
tidak bisa merubah ketentuan tersebut. Maka dikatakan fatal bersifat tetap.
Karena fatal bersifat tetap maka lahirlah idealisme. Idealisme melahirkan
absolutism yang kemudian termanifestasi dalam spiritualisme hingga sampai
pada “kuasa tuhan” atau yang biasa di disebut sebagai causa prima. Dalam
hukum kausalitas, causa prima merupakan suatu sebab yang tidak tersebabkan.
Causa prima ini erat kaitannya dengan tuhan. Jalan untuk menuju kesana adalah
logika. Paham ini biasa disebut logisisme. Paham logisisme menekankan pada
pengkajian yang didasari oleh logika yang kemudian sejalan dengan paham
coherentism. Paham paham ini menggunakan pendekatan analitik dalam
penggunaannya. Sehingga kedua aliran filsafat ini bersifat konsisten, formal, dan
normatif. Karena didasari oleh logika analitik maka paham paham ini bersifat
apriori (memahami sebelum melihat). Kedua paham ini yang kemudian
mendasari lahirnya paham rasionalisme dan skeptisisme (Rene des Cartes).

Sementara di sisi lain, vital tidak bersifat tetap (berubah). Perubahan


yang dimaksud dilihat dari kondisi yang terjadi (bisa diamati). Paham ini yang
kemudian disebut dengan realisme. Sejalan dengan itu, obek pengamatan dari
paham realisme adalah materi. Materi yang dimaksudkan disini dalam artian
yang luas, baik itu yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa dan gejala yang
terjadi di alam. Hal ini yang kemudian mendasari paham materialisme. Paham
materialism berbicara tentang hukum alam. Sehingga paham ini menekankan
pada korespondensi (paham korespondentism). Paham paham ini kemudian
bersifat a posteriori (pengalaman). Ini yang kemudian melahirkan empirisisme
(D. Hume).

Sebelum zaman modern, terjadi dikotomi antara tokoh tokoh filsafat.


Permenides dengan paham yang menitik beratkan pada fatal, sedangkan
Heraclitos dengan paham vitalnya. Dialektika yang terjadi diatara dua tokoh
filsafat ini mengenai tetap dan berubah. Permenides berpendapat bahwa segala
sesuatu bersifat tetap (A=A), sedangkan Heraclitos berpendapat bahwa segala
sesuatu itu berubah ( A≠A). Dialektika juga terjadi antara R. Des Cartes dengan
paham rasionalisme dengan semboyan “cogito ergo sum” yang artinya Ketika
aku berfikir maka aku ada, dengan D. Hume dengan paham empirisisme.
Dialektika yang terjadi ini kemudian di tengahi oleh Immanuel Kant yang
mengawinkan kedua paham tersebut yaitu ilmu harus a priori dan sintetik.

Selanjutnya muncul satu tokoh bernama Aguste Compte dengan paham


positivismenya yang menentang paham-paham sebelumnya. Aguste Compte
berpandangan semua yang kamu kerjakan dan kamu pikirkan tidak ada gunanya
bagi dunia serta agama itu tidak bisa membangun dunia karena tidak logis.
Aguste compte menaruh agama di lapisan paling dasar kemudian metafisik,
kemudian positif.

Masyarakat hari ini telah menjelma menjadi kontemporer. Kontemporer


ini kemudian terbagi atas 7 hirarki tingkatan yaitu : archaic, tribal, tradisional,
modern, post modern, power now. Masyarakat kontemporer ini di backup oleh
capitalism, materialism, pragmatism, utilitarian, liberalism.

b. CPR I. kant

Pengetahuan yang didasari pengalaman tidak lagi diragukan, sebab dengan


indra kita dapat menghasilkan interpretasi, membandingkan dan
menghubungkan, atau memisahkan. Pengetahuan dari indra kita disebut
pengalaman. Dalam hal waktu, tidak ada pengetahuan yang didahului
pengalaman, tapi dimulai dengan waktu. Namun, meskipun semua pengetahuan
kita didahului oleh pengalaman, tidak berati bahwa semua pengetahuan kita
muncul dari pengalaman. Karena bisa jadi pengetahuan empiris merupakan
gabungan yang kita terima melalui kesan, dimana kemampuan kognisi muncul
dari dirinya sendiri. Namun tambahan ini kita tidak bisa membedakan dari unsur
asli yang diberikan oleh akal (rasio).

Oleh karena itu diperlukan investigasi cermat dan tidak langsung bisa
dijawab. Apakah pengetahuan yang bebas dari pengalaman, dan bahkan dari
semua kesan indra?. Pengetahuan semacam ini biasa didebut apriori yang
bertentangan dari paham empiris yang bersumber dari pengalaman. Tapi
ungkapan apriori belum pasti memadai untuk menunjukkan arti keseluruhan
tentang permasalahan tersebut. Sebab sangat sulit untuk memisahkannya. Kita
tidak bisa mengatakan pengetahuan itu apriori sebab kita tidak memperoleh
pengetahuan itu dari pengalaman, tetapi dari pengetahuan umum yang dimiliki
yang berasal dari pengalaman. Ibarat seseorang yang masuk kerumahnya dan
mengatakan bahwa rumah ini akan rubuh. Hal ini termasuk apriori sebab dia
tidak perlu menunggu pengalaman rumahnya benar-benar rubuh. Namun tentu
saja dia telah melihat rumah tersebut berat dan akibatnya rumah tersebut rubuh
saat tiangnya patah yang tentu saja berasal dari pengalamannya. Dari sini kita
bisa belajar bahwa pengetahuan ada yang apriori murni dan ada yang tidak
murni. Apriori murni adalah pengetahuan yang tidak ada unsur empiris
didalamnya. Misalnya preposisi setiap perubahan memiliki sebab adalah apriori,
namun tidak murni. Karena perubahan adalah konsep yang hanya dapat
diperoleh dari pengalaman.
BAB IV
MENERAPKAN FILSAFAT
a. Sejarah perkembangan matematika
Prespektif epistimologi matematika dominan menyangkut tentang
pandangan bahwa matematika adalah suatu konsep yang absolut benar (mutlak).
Artinya matematika dipandang sebagai ilmu yang tidak diragukan lagi
kebenarannya. Namun dalam dialektika ilmiah, terdapat juga pandangan
fallibilist yang memandang kebenaran matematika tidak mutlak dan perlu
adanya evaluasi mendalam. Dari pandangan absolut-falibilis ini diperoleh
banyak perbedaan, diantaranya pada prespektif filosofis sebab faktor
epistimologi yang paling penting sebab mendasari pengajaran matematika.
Banyak sekali pertanyaan yang muncul ketika mencari filosofi dari
matematika. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa dasar dari matematika,
bagaimana sifat kebenaran matematika, mengapa kebenaran matematika
diperlukan, dan masih banyak lagi sering muncul dalam dialektika ilmiah. Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini diperlukan pendekatan epistimologi.
Pendekatan epistimologi paling dekat adalah dengan menganggap bahwa
setiap pengetahuan diwakili oleh satu set preposisi yang bersama-sama untuk
memvalidasi atau memberikan pembenaran pada suatu pernyataan. Pada konteks
matematika, untuk melakukan pembenaran diperlukan asumsi. Asumsi inilah
yang kemudian menjadi dasar. Karna hal inilah pandangan absolutis kemudian
hadir.
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori.
Pengetahuan itu pada dasarnya terbagi atas dua yaitu apriori dan aposteriori.
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebgai pengetahuan apriori karena
hanya preposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Sementara alasan yang
digunakan bersifat deduktif yang menggunakan defenisi yang berhubungan
dengan aksioma atau postulat sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan
matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dasar
matematika yaitu dasar untuk menyatakan preposisi matematika, yang terdiri
dari bukti deduktif.
Definisi belum eksplisit, seperti dalam definisi asli induktif tentang
penambahan karya Peano (Heijenoort dalam Ernest, 1991), yang diasumsikan di atas
sebagai sebuah aksioma, dan bukan sebagai definisi, maka definisi tidak akan
eliminable pada prinsipnya. Dalam hal ini masalah dasar definisi, yaitu pada asumsi
yang bersandar adalah sama dengan yang aksioma.
Aksioma dalam buktinya tidak eliminable. Mereka harus dianggap baik
sebagai kebenaran aksiomatik jelas, atau hanya mempertahankan status dibenarkan,
asumsi sementara, diadopsi untuk memungkinkan perkembangan dari teori
matematika di bawah pertimbangan. Kami akan kembali ke titik ini.
Asumsi logis, yaitu aturan penarikan kesimpulan (bagian dari bukti teori
secara keseluruhan) dan sintaks yang logis, diasumsikan sebagai bagian dari logika
yang mendasari, dan merupakan bagian dari mekanisme yang diperlukan untuk
penerapan alasan. Jadi logika dianggap sebagai dasar unproblematic untuk
pembenaran ilmu pengetahuan.
Singkatnya, kebenaran matematika dasar '1+ 1 =2', tergantung pada
pembenaran pembuktian matematis. Hal ini pada gilirannya tergantung pada asumsi
sejumlah pernyataan matematika dasar (aksioma), serta pada logika yang mendasari.
Secara umum, pengetahuan matematika terdiri dari pernyataan yang dibenarkan oleh
bukti, yang tergantung pada aksioma matematika (dan logika yang mendasari).
Pandangan absolutis yang menganggap kebenaran matematika itu mutlak
mendapat tentangan dari kaum fallibilist. Argumen mendasar terhadap pandangan
absolutis pengetahuan matematika dapat dielakkan dengan pendekatan
hypothetico-deduktif. Namun, di luar masalah diasumsikan kebenaran aksioma,
pandangan absolutis mengalami kelemahan utama.

Yang pertama menyangkut logika yang mendasar pada pembuktian


matematika lainnya. Pembentukan kebenaran matematika, yaitu
mendeduktifkan teorema dari seperangkat aksioma, membutuhkan asumsi lebih
lanjut, yaitu aksioma dan aturan inferensi logika sendiri. Ini adalah non trivial
dan tidak dapat diasumsikan untuk argumen di atas (yang tidak dapat
diasumsikan pada masalah lingkaran setan) berlaku sama logika.
Dengan demikian kebenaran matematika tergantung pada logika
mendasar sama sperti asumsi matematis. Tidak mungkin hanya menambahkan
semua asumsi logika untuk menetapkan asumsi matematika, setelah 'jika-maka'
dari strategi hypothetico-logika deduktif menyediakan kanon dari kesimpulan
yang benar dengan teorema matematika yang diperoleh. Memasukkan semua
asumsi logis dan matematis ke dalam 'bagian hipotesis' dasar untuk bagian
deduktif' dari metode ini. Deduksi mengenai ' kesimpulan yang benar ", dan ini
pada gilirannya didasarkan pada gagasan tentang kebenaran (kebenaran nilai)
tapi apa yang kemudian dipakai sebagai dasar kebenaran logis?. Ini tidak dapat
dibiarkan pada bukti, yang menjengkelkan dari lingkaran setan, sehingga harus
diasumsikan. tetapi setiap asumsi tanpa dasar yang kuat, apakah itu diperoleh
melalui intuisi, konvensi, berarti atau apa pun, adalah salah. "

Singkatnya, kebenaran matematika mendasarkan pada bukti deduksi


dan logika. Tetapi logika sendiri tidak memiliki dasar tertentu. Ini terlalu
bertumpu pada asumsi tereduksi. sehingga meningkatkan ketergantungan pada
deduksi logis himpunan asumsi yang lain kebenaran matematika, dan ini tidak
bisa dinetralisir oleh strategi 'jika-maka’.

Dugaan lebih jauh dari pandangan absolut bahwa matematika pada


dasarnya bebas dari kesalahan. untuk inkonsistensi dan absolutisme jelas tidak
kompatibel. tapi ini tidak dapat didemonstrasikan. matematika terdiri dari teori-
teori (misalnya teori grup, teori kategori) yang dipelajari dalam sistem
matematika, berdasarkan serangkain asumsi (aksioma). untuk menetapkan
bahwa sistem matematika aman (consistent), untuk setiap sistem sederhana
tetapi kita dipaksa untuk memperluas serangkaian asumsi dari sistem (teorema
ketidaklengkapan Godel kedua dalam Ernest, 1991). Oleh karena itu kita
menganggap konsistensi sistem kuat untuk menunjukkan bahwa seorang lemah.
Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui bahwa setiap sistem matematika
termasek yang paling sepele tetap aman, dan kemungkinan kesalahan dan
inkonsistensi harus selalu tetap. Kepercayaan pada keamanan matematika harus
didasarkan baik atas dasar empiris (tidak ada kontradiksi yang ditemukan pada
sistem matematika) atau pada iman, tidak memberikan dasar tertentu yang
membutuhkan absolutisme.

b. Ideologi pendidikan (P.ernest)


Filsafat matematika mencakup ontologi dan epistemologi. Ontologi
menyangkut hakekat matematika, apakah hakekat yang ada dibalik
matematika, sedangkan secara epistemologi adalah berkaitan dengan
bagaimana cara menjawab pertanyaan mengenai matematika, cara
memperoleh dan menangkap permasalahan dalam matemaika. Filsafat
pendidikan matematika mengacu pada masalah belajar dan mengajar. Filsafat
matematika membentuk filsafat pendidikan matematika, artinya bahwa
filsafat pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika
(Martin,2009:63).
Menurut Ernest, matematika adalah pengetahuan yang dibangun
(mathematical knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered).
Matematika sebagai ilmu adalah matematika yang utuh dalam sistem maupun
strukturnya yang deduktif aksiomatik. Artinya kebenaran matematika
didapatkan dengan menggunakan penalaran deduktif kemudian disusun
rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada kesimpulan akhir
(Soemoenar, dkk., 2007: 1.19).
Filsafat matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran
matematika tidak pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin
(2009) menyatakan bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah
yang diusulkan dari pengetahuan matematika adalah buktinya. Menekankan
pada reduksi formal, menjadi proses yang dipusatkan pada pembuktian.
Pembuktian adalah teks naratif, yang juga bagian dari percakapan atau dialog
yang berkelanjutan, sebab mengasumsikan sebuah respon (Martin: 2009: 69).
Pada awal perkembangannya matematika merupakan alat untuk
menyelesaikan masalah kesulitan hidup sehari-hari melalui objek-objek alam
nyata yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian matematika berkembang
melalui abstraksi dan idealisasi menjadi sebuah ilmu. Matematika sebagai
ilmu yang dibangun lebih merupakan proses sosial dibandingkan proses
individual. Hal ini dikarenakan:
1. Pemikiran individual mengenai kesulitan-kesulitan awal yang muncul
akan dibentuk dengan komunikasi atau percakapan,
2. Seluruh pemikiran individual yang selanjutnya dibentuk oleh pemikiran
sosial,
3. Fungsi-fungsi mental adalah kolektif (misalnya kelompok pemecahan
masalah).
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa seluruh proses berfikir dan belajar
dibentuk oleh pengalaman sosial yang dialami oleh setiap individu (Martin,
2009: 77). Untuk meningkatkan komunikasi sosial maka guru dapat
memfasilitasi siswa dengan belajar secara berkelompok untuk mendiskusikan
suatu permasalahan.
Menurut Bain (1988) dalam Marsigit (2009) dikatakan bahwa dengan
berdiskusi, siswa dapat terlibat secara penuh dalam pembelajaran dengan
diberikan kesempatan yang lebih banyak untuk berbicara, siswa akan lebih
tergugah untuk mengembangkan jawaban mereka, siswa akan terlibat dalam
pembelajaran sehingga mereka akan lebih berkonsentrasi terhadap apa yang
sedang dipelajari, siswa yang pemalu akan mampu bicara dengan rasa takut
yang lebih kecil, guru tetap dapat mengawasi, terlibat, menilai, atau berbicara
dengan siswa secara individual, dan guru dapat mengingatkan siswa yang
menyimpang tanpa harus menghentikan kerja mereka.
Pengetahuan matematika diperoleh melalui “memperpanjang
partisipasi dan berbagai situasi percakapan sosial yang ada dalam konteks
berbeda dengan orang yang berbeda”. Siswa membangun sistem percakapan
sosial melalui permainan. Ketika siswa bermain mereka mengartikan benda
dan perbuatan, membangun dan menginterpretasikan pengalaman. Hal ini
dapat membantu siswa belajar dua konsep utama dalam matematika; yaitu
menggunakan simbol atau tanda dan mengkreasikan kenyataan yang ada
dalam angan-angan. Inilah yang dimaksud dengan membangun matematika
melalui generalisasi dan abstraksi. Konsep baru dibentuk dengan cara
mengabstraksikan konsep dari tingkat yang lebih rendah atau melalui refleksi
dari pengalaman nyata atau kongkret (Martin, 2009: 78).
Bagian ini membedakan berbagai ideologi yang tergabung dalam
kedua pandangan epistemologis dan etis. Karena konsep 'ideologi’ adalah
penting, sangatlah tepat untuk menjelaskan artinya terlebih dulu. Williams
menelusuri satu penggunaan pada Napoleon Bonaparte, di mana hal ini
ditandai dengan pemikiran revolusioner, yang dianggap sebagai suatu set ide
yang tidak diinginkan dan mengancam cara berpikir baik dan masuk akal.
Hal ini membawa pada penggunaan 'ideologi' yang merendahkan yaitu
sebagai teori fanatik atau teori masyarakat tidak praktis. Walaupun Marx
pertama kali menggunakan istilah ‘kesadaran palsu ', dimana pemikir
'membayangkan motif yang palsu atau nyata, ia kemudian menggunakannya
dalam arti yang dimaksudkan di sini. Dalam pengertian yang lebih sosiologis
ini, ideologi adalah suatu filsafat yang bernilai kaya atau pandangan dunia
yang menyeluruh, suatu sistem ide dan keyakinan yang saling mengunci satu
dengan lainnya. Jadi ideologi yang dipahami di sini menjadi persaingan
sistem kepercayaan, menggabungkan kedua sikap nilai epistemologis dan
nilai moral, tanpa arti yang bermaksud merendahkan. Namun, perlakuan
terhadap ideologi yang diberikan di sini menekankan pada aspek
epistemologis, etika dan pendidikan, dan kepentingan social; kekuasaan dan
dominasi akan dibahas kemudian.Kepercayaan ini terdiri dari komponen
yang saling terjalin, termasuk epistemologi pribadi, rangkaian nlai-nilai dan
teori-teori pribadi lainnya. Oleh karenanya, dibutuhkan lebihh dari
epistemologi untuk menghubungkan fiilsafat publik dengan ideologi pribadi.
Sebagai dasar untuk membedakan ideologi kita mengadopsi teori Perry.

1. Teori Perry Teori Perry


menetapkan urutan tahap pengembangan, serta memungkinkan
melakukan fiksasi dan pengunduran dari level-level nya. Untuk
sederhananya, kami hanya mempertimbangkan tiga tahap yaitu, 'Dualisme,
Multiplisitas dan Relativisme. Teori tidak berakhir pada Relativisme, tapi
terus melalui beberapa tahap komitmen. Namun tahapan ini tidak mewakili
re-strukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi
Relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari Skema Perry
adalah asumsi bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam
dalam serangkaian keyakinan yang tidak dipertanyakan, berlangsung
melalui beberapa tingkat detasemen kritis, dan kemudian kembali tertanam
dengan sendirinya dalam suatu komitmen terhadap seperangkat prinsip
intelektual dan etika. Jadi tiga tahap dibahas disini cukup untuk
membedakan ideologi yang secara struktural berbeda.

a.) Dualisme
Dualisme sederhana adalah penataan bercabang dari dunia antara
baik dan buruk, benar dan salah, kami dan lainnya. Pandangan dualistik
dicirikan oleh dikotomi sederhana dan ketergantungan yang kuat pada
keabsolutan dan otoritas sebagai sumber kebenaran, nilai, dan kontrol.
Sehingga dalam hal keyakinan epistemologis, Dualisme menyiratkan
pandangan absolutis terhadap pengetahuan yang dibagi menjadi dua yaitu
kebenaran dan kepalsuan, bergantung pada otoritas (penguasa) sebagai
arbiter/wasit. Pengetahuan tidak dinilai secara rasional, tetapi dinilai dengan
mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika, Dualisme berarti bahwa
semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah. Semua masalah
diselesaikan dengan Ketaatan (penyelarasan diri dengan Authority):
kepatuhan dan kesesuaian terhadap hak dan apa yang Mereka inginkan.
Keinginan/kemauan kekuasaan (Will Power) dan pekerjaan akan
menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan. Keserbaragaman
(multiplicity) tidak diperhitungkan. Diri didefinisikan terutama oleh
keanggotaan dalam hak dan tradisional.

b.) Keserbaragaman/Multiplisitas
Sebuah pluralitas 'jawaban', sudut pandang atau evaluasi, dengan mengacu
pada topik atau masalah yang sama. Pluralitas ini dianggap sebagai
kumpulan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri (discrete) tanpa struktur
internal maupun hubungan eksternal, dalam artian ‘orang memiliki hak
untuk memiliki pendapatnya sendiri', dengan implikasi bahwa tidak ada
penilaian dapat dibuat terhadap pendapat- pendapat tersebut. Pandangan
multiplistik mengakui adanya pluralitas jawaban, pendekatan atau
perspektif, baik yang bersifat epistemologis ataupun etis, tetapi tidak
memiliki dasar pilihan rasionalt antara alternatif-alternatif.

c.) Relativisme
Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai
dan kontingensi (ketidaktentuan) yang mana sifat-sifat struktural dari
konteks dan bentuk memungkinkan adanya berbagai macam analisis,
perbandingan dan evaluasi dalam Multiplisitas. Secara epistemologis,
Relativisme mengharuskan pengetahuan, jawaban dan pilihan dilihat
sebagai suatu yang bergantung pada fitur dari konteks, dan dievaluasi atau
dibenarkan dalam sistem atau prinsip-prinsip yang diatur. Dari sudut
pandang etika, tindakan dianggap diinginkan atau tidak diinginkan
berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai-nilai dan prinsip-
prinsip. Sejumlah peneliti pendidikan menemukan bahwa skema Perry
adalah kerangka yang berguna untuk menggambarkan perkembangan
intelektual dan etika dan juga keyakinan pribadi. Termasuk juga aplikasinya
untuk tingkat pemikiran sistem teori siswa, mahasiswa dan siswa jurusan
matematika dan guru matematika 'terkait keyakinan-sistem.
Jadi teori Perry secara luas digunakan untuk menjelaskan filosofi
pribadi, khususnya dalam matematika.

2. Filosofi Matematika Pribadi

Kita bisa menghubungkan teori Perry terhadap posisi dalam filsafat


matematika. Ini adalah filosofi umum matematika, secara eksplisit
dinyatakan danterbuka bagi debat publik. Di sini kita mempertimbangkan
filsafat pribadi matematika, yang merupakan teori pribadi dan implisit
kecuali dipikir secara mendalam, dinyatakan secara eksplisit dan
dipublikasikan. Perbedaannya adalah bahwa antara pengetahuan objektif
dan subjektif, yang dibuat antara lain oleh Polanyi, yang berpendapat tentang
pentingnya peran komitmen terhadap pengetahuan pribadi, menunjukkan
dukungan terhadap bentuk teori Perry, bukan terhadap detilnya. Menerapkan
teori Perry terhadap filosofi pribadi matematika, pandangan. matematika
dapat dibedakan pada masing-masing dari ketiga tingkat tersebut.
Pandangan dualistik terhadap matematika menganggapnya berhubungan
dengan fakta, aturan, prosedur yang benar dan kebenaran sederhana yang
ditentukan oleh otoritas mutlak. Matematika dipandang sebagai tetap dan
pasti, tetapi memiliki struktur yang unik. Model-model ideologi terdiri dari:

a.) Absolutisme dualistic


Menggabungkan Dualisme dengan absolutisme, pandangan ini
melihat matematika sebagai sesuatu yang pasti, terdiri dari kebenaran mutlak
dan sangat tergantung pada otoritas. Perspektif keseluruhannya ditandai oleh
dua ciri: (1) penataan dunia kedalam dikotomi sederhana, seperti kami dan
mereka, baik dan buruk, benar dan salah, dan dikotomi sederhana lainnya;
(2) tingkat kepentingan yang diberikan, dan identifikasi terhadap otoritas.
Dengan demikian nilai-nilai ini menekankan perbedaan yang kaku, aturan
mutlak, dan otoritas paternalistik. Nilai tersebut konsisten dengan versi
ekstrim dari moralitas konvensional, yang diidentifikasi oleh Kolhberg dan
Gilligan.

b.) Absolutism multiplistic


Pandangan ini menggabungkan Multiplisitas dengan absolutisme,
yang mana memandang matematika sebagai sesuatu yang pasti, badan
kebenaran yang tidak meragukan, dan dapat diterapkan atau digunakan
dalam aneka ragam cara. Perspektif ini secara keseluruhan ditandai dengan
liberality, banyak pendekatan dan kemungkinan yang dianggap valid, namun
tidak memiliki dasar dalam memilih antara alternatif kecuali dengan atas
dasar utilitas, kemanfaatan dan pilihan yang bersifat pragmatis.Hal ini
membangun nilai-nilai yang berhubungan dengan posisi ini, yang berkaitan
dengan aplikasi dan teknik, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip atau
teori. Jadi matematika diterapkan secara bebas, tetapi tidak dipertanyakan
atau diselidiki.

c.) Absolutism relativistik


Berbagai perspektif sesuai dengan kategori ini, memiliki fitur-fitur
berikut yang sama. Matematika dipandang sebagai tubuh pengetahuan
benar, tetapi kebenaran ini tergantung pada struktur dalam dari matematika
(yaitu logika dan bukti) bukan otoritas. Perspektif intelektual dan moral
secara keseluruhan mengakui adanya sudut pandang, interpretasi, perspektif,
kerangka referensi dan sistem nilai yang berbeda. Dua sudut pandang
dibedakan, menurut apakah perspektif terpisah atau terhubung yang
diadopsi. Absolutisme relativisticterpisah. Nilai-nilai moral terpisah yang
dikombinasikan dengan absolutisme relativistik menyebabkan penekanan
pada objektivitas dan aturan. Ideologi ini berfokus pada struktur, sistem
formal dan relasi, perbedaan, kritik, analisis dan argumen. Dengan mengacu
pada matematika, hal ini menyebabkan penekanan pada hubungan logika
inner dan bukti, dengan struktur formal teori matematis.

d.) Fallibilisme relativistic


Posisi ini menggabungkan pandangan fallibilist atas pengetahuan
matematika (construtivism sosial) dan nilai-nilai terkait dengan keadilan
sosial, dalam kerangka relativistik, dengan menerima adanya kebergandaan
perspektif intelektual dan moral. Dua tema sentral dari ideologi ini adalah
masyarakat dan pembangunan. Pengetahuan dan nilai- nilai keduanya
berkaitan dengan masyarakat: pengetahuan dipahami sebagai konstruksi
sosial dan nilai-nilai berpusat pada keadilan sosial. Pengetahuan dan nilai-
nilai keduanya berkaitan dengan pengembangan: pengetahuan berkembang
dan tumbuh, dan keadilan sosial adalah tentang pengembangan masyarakat
yang lebih adil dan egaliter. Hal ini merupakan posisi yang sangat konsisten
dan terpadu, karena prinsip- prinsip yangberpusat pada manusia mendukung
pembangunan pada tiga tingkatan, yaitu pengetahuan, individu dan
masyarakat sebagai suatu kesatuan.
3. Penilaian Teori Perry dan Alternatif-nya

Asumsi dari teori Perry membutuhkan justifikasi dan penilaian


kritis. Survei terhadap alternatif berikut ini berfungsi untuk menempatkan
teori Perry dalam konteks yang lebih luas. Dengan menggunakan dasar karya
Piaget pada penilaian moral anak, Kohlberg mengembangkan hirarki
perkembangan moral. Hirarki ini memiliki tiga tingkatan: pra-konvensional
(moralitas egosentris), konvensional (penilaian moral tergantung pada
norma-norma konvensional), dan pasca-konvensional dan berprinsip
(keputusan moral didasarkan pada prinsip-prinsip universal).
c. Paradigma/Teori/Model/Strategi/Pendekatan
NO MODEL/STRATEGI/ SINTAK LINK/REFERENSI
METODE/
PENDEKATAN
1. Behaviorisme Menurut Ivan Pavlov Buku Ulfiani
1. Law of respondet Rahman (2014)
conditioning Memahami Psikologi
(hukum pembiasaan dalam Pendidikan
yangdituntut)
2. Law of respondet
extinction (hukum
pemusnahan yang
dituntut)

Menurut Skinner
1. Reinforcement
(penguatan kembali)
2. Punishment
(hukuman)

Menurut Thorndike
1. Law of Effect
2. Law of Readiness
3. Law of Exercise
2. Social Congnitive Menurut Bandura
1. Memperhatikan Buku Ulfiani
(attention) : Rahman (2014)
memperhatikan Memahami Psikologi
suatu perilaku/objek. dalam Pendidikan
2. Menyimpan
(retention)
3. Memproduksi
gerakan motorik
(motor reproduction)
4. Penguatan dan
motivasi (vicarious-
reinforcement and
motivational)

3. Teori Kognitif Menurut Piaget Buku Ulfiani


1. Intelegensi Rahman (2014)
2. organisasi Memahami Psikologi
3. Skema dalam Pendidikan
4. Asimilasi
5. Akomodasi
6. Equilibrasi
4 Teori Humanistik Menurut Maslow Buku Ulfiani
1. Kebutuhan fisiologis Rahman (2014)
2. Kebutuhan akan rasa Memahami Psikologi
aman dalam Pendidikan
3. Kebutuhan memiliki
cinta
4. Kebutuhan
penghargaan
Kebutuhan
aktualisasi diri
6 Teori Sosiokultural Menurut Vygotsky https://staffnew.uny.ac.id/
1. Tindakan anak masih upload/
dipengaruhi atau 198407242008122004/la
dibantu orang lain inlain/
2. Tindakan anak yang TEORI+KULTUR.pdf
didasarkan atas
inisiatif sendiri
3. Tindakan anak
berkembang spontan
dan terinternalisasi.
4. Tindakan anak
spontan akan terus
diulang-ulang hingga
anak siap untuk
berfikir abstrak.
7 Dicovery Learning Menurut Brunner Winarti, & Suyadi.
1. Stimulation (2020). Pelaksanaan
2. Problem Statement Model Discovery
3. Data Collection Learning Jerome Bruner
4. Data Prosessing pada Pembelajaran PAI
5. Verification di SMPN
(pembuktian) 3 Depok Sleman
6. Generalization Yogyakarta.
Qalamuna:Jurnal
Pendidikan, Sosial, dan
Agama. 12(2): 157.
8 Kontruktivisme Menurut Brunner Nurliana, Nurfadhilah,
1. Memperoleh dan Bahri, A. (2021).
Informasi Teori Belajar dan
2. Transformasi Pembelajaran.LPP
Infromasi UNISMUH
3. Menguji Relevansi MAKASSAR:
dengan ketepatan Makassar.
pengetahuan
10 Konektivisme Menurut Siemmens Malikah, S., dkk. (2022).
1. Pembelajaran dan Perspektif Connectivisme
pengetahuan terletak terhadap Pembelajaran
pada keragaman Daring Berbasis Google
pendapat Workspace For
2. Belajar adalah Education.Edukatif:Jurnal
proses Pendidikan. 4(2):2053.
menghubungkan
simpul khusus atau
sumber informasi
3. Belajar mungkin
berada di peralatan
non-manusia
4. Kapasitas untuk
mengetahui lebih
banyak lebih penting
daripada apa yang
diketahui saat ini
5. Kemampuan untuk
melihat hubungan
antara bidang, ide
dan konsep adalah
keterampilan inti.
6. Mata uang
(pengetahuan yang
akurat dan terkini)
adalah tujuan dari
semua aktivitas
pembelajaran
conektivis
7. Pengambilan
keputusan itu sendiri
merupakan proses
pembelajaran.
Memilih apa yang
harus dipelajari dan
makna informasi
yang masuk dilihat
melalui lensa realitas
yang berubah
11 Saintifik Menurut Rangkuti, dan Rangkuti, A.N. & Hasibuan,
Hasibuan: A. A. (2022). Strategi
1. Mengamati Pembelajaran Matematika.
(Observasi) Padang Sidempuan: Perdana
2. Menanya Publishing.
3. Mencoba
4. Menalar
5. Mengkomunikasikan
12 Open Ended Menurut Rangkuti, dan Rangkuti, A.N. & Hasibuan,
Hasibuan: A. A. (2022). Strategi
1. Meperkenalkan suatu Pembelajaran Matematika.
masalah terbuka. Padang Sidempuan: Perdana
2. Kemudian Publishing.
memahami masalah
tersebut
3. Meminta siswa untuk
memecahkan
masalah tersebut.
4. Membandingkan
atau mendiskusikan
pemecahan masalah
yang sudah
dilakukan.
5. Meminta siswa untuk
menulis kembali
pelajaran yang
mereka dapatkan

13 Kontekstual Menurut Rangkuti, dan Rangkuti, A.N. & Hasibuan,


Hasibuan: A. A. (2022). Strategi
1. Mengembangkan Pembelajaran Matematika.
pemikiran bahwa Padang Sidempuan: Perdana
anak akan belajar Publishing.
lebih bermakna
dengan cara bekerja
sendiri, dan
mengkonstruksi
sendiri pengetahuan
dan keterampiannya.
2. Melaksanakan
sejauh mungkin
kegiatan inkuiri
untuk semua
topik.
3. Mengembangkan
sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya
4. Menciptakan
masyarakat belajar.
Dalam pembelajaran
kontekstual
5. biasanya
pembelajaran
dilakukan dengan
diskusi kelompok.
6. Menghadirkan
model atau
narasumber yang
ahli sebagai contoh
pembelajaran.
Dengan adanya
model dapat menarik
perhatian siswa
dalam
mendengarkan
pembelajaran.
7. Melakukan refleksi
di akhir pertemuan.
Gunanya agar siswa
dapat
8. mengingat kembali
tentang
pembelajaran yang
telah dilakukan
9. sebelumnya.
10. Melakukan penilaian
yang sebenarnya
dengan berbagai cara
14 Inquiry Menurut Rangkuti, dan Rangkuti, A.N. &
Hasibuan: Hasibuan, A. A. (2022).
1. Mengidentifikasi Strategi Pembelajaran
kebutuhan siswa. Matematika. Padang
2. Seleksi pendahuluan Sidempuan: Perdana
terhadap konsep Publishing.
yang akan dipelajari.
3. Seleksi bagian
materi yang akan
dipelajari.
4. Menentukan peran
yang harus
dilakukan masing-
masing siswa.
5. Melakukan
penjagaan terhadap
kemampuan awal
siswa terkait
materi yang akan
diberikan.
6. Mempersiapkan
kelas.
7. Memberikan
kesempatan kepada
siswa untuk
melakukan kegiatan
penyelidikan dan
penganalisisan data
yang ditemukan
dalam rangka
menemukan hal baru
dalam pembelajaran.
8. Melakukan tindakan
penguatan
15 Model STADS ➢ Guru Yuberti. 2014.
(Student Team Adalah Memberikan Teori Pembelajaran
Chievement Division) materi berupa Dan
konsep atau Pengembangan
Bahan Ajar Dalam
masalah yang Pendidikan. Lampung:
akan dipelajari. Anugrah Utama Raharja
➢ Siswa
menyelesaikan
permasalahan
yang diberikan
dalam kelompok
heterogen.
➢ Siswa
mengkomuni kasikan
hasil diskusinya.
BAB V
PENDIDIKAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF

Pembelajaran konstruktif merupakan metode pembelajaran yang


menekankan pada pengalaman belajar dan produksi karya yang berkualitas (Ulfa &
Syaifuddin, 2018). Metode ini menekankan pada aktivitas belajar yang didasarkan
pada penemuan yang memberi siswa kesempatan untuk mengkonstruksi
pengetahuannya. Pembelajaran konstruktif diasumsikan untuk memfasilitasi
pembelajaran yang menyenangkan, lebih efektif, dan kebih produktif daripada
metode lainnya. Metode ini berfokus pada proses belajar yang didorong oleh siswa,
menggali informasi dan membuat asumsi yang tepat. Siswa bergantung pada
kemampuan mereka untuk Menyusun informasi dari sumber terpisah dan
berkolaborasi dengan teman sebaya untuk menyelesaikan tugasnya. Pembelajaran
konstruktif juga berfokus membantu siswa mengkonstruksi pemahamannya dan
kemampuan baru melalui aktivitas yang berusaha untuk menggabungkan konsep
yang telah dimiliki, dengan konsep baru.

Pembelajaran konstruktif menitikberatkan pada pengetahuan individu


merupakan hasil konstruksi dari individu itu sendiri. Pada pembelajaran ini,
pembelajaran tidak menjadi pemindahan pengetahuan dari pendidik kepada peserta
didik, melainkan proses di mana peserta didik senantiasa aktif untuk mengkonstruk
pengetahuannya sendiri. Pendidik hanya berperan sebagai membantu peserta didik
mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan situasi yang nyata.
Beberapa karakteristik model pembelajaran konstruktif mencakup
pembelajaran top-down, kooperatif, generatif, penemuan, pengaturan diri, dan
bantuan (scaffolding). Pembelajaran top-down berarti mahasiswa mulai belajar
dengan masalah kompleks yang diselesaikan dengan bantuan dosen menggunakan
keterampilan dasar yang diperlukan. Pembelajaran kooperatif memungkinkan
mahasiswa lebih mudah memahami konsep-konsep sulit melalui diskusi dengan
teman. Pembelajaran generatif melibatkan metode khusus untuk memproses
informasi baru dan berkontribusi pada hasil belajar dan ingatan mahasiswa.
Pendekatan konstruktif juga mendorong pembelajaran dengan penemuan, di
mana mahasiswa aktif dalam proses penguasaan konsep dan prinsip-prinsip.
Mahasiswa didorong untuk belajar secara aktif, melakukan eksperimen, dan
menemukan konsep sendiri. Model ini menggambarkan visi bahwa mahasiswa
adalah sosok yang mampu mengatur dirinya sendiri, memiliki pengetahuan tentang
strategi belajar yang efektif, dan dapat menggunakan pengetahuannya.
Dosen dalam model pembelajaran konstruktif memberikan bantuan
terstruktur pada awal pembelajaran dan kemudian mengaktifkan mahasiswa untuk
belajar mandiri secara bertahap. Tahap-tahap dalam model ini melibatkan
mahasiswa dalam menyatakan pengetahuan awal, menyelidiki dan menemukan
konsep, memikirkan penjelasan dan solusi, dan mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya melalui kegiatan dan pemecahan masalah yang relevan dengan
lingkungan mereka.
Review Pembelajaran Filsafat Ilmu ( Prof. Dr. Marsigit, M.A. )
Filsafat ilmu merupakan salah satu mata kuliah wajib dengan beban 2 sks. Mata
kuliah yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A ini menekankan pada melatih kemampuan
berfikir mahasiswa dan mempelajari tentang dasar-dasar pembentukan ilmu pengetahuan.
Setiap pertemuan diadakan kuis di awal sebanyak 50 butir. Pemberian kuis ini selain dapat
memicu kemampuan berfikir untuk mencari padanan dari sebuah kata, juga meruntuhkan
kesombongan akan pengetahuan yang ada pada diri mahasiswa. Sebab, dari 50 butir soal
paling banyak hanya 10 yang benar. Tentunya setelah mengerjakan kuis ada penjelasan.
Mahasiswa dipersilahkan untuk bertanya mengenai kuis atau apapun itu.

Selain kuis juga ada video pembelajaran yang bisa diakses dimanapun. Kemudian
mahasiswa dituntut untuk mereview video tersebut sehingga mahasiswa akan memahami
video tersebut. Dalam perkuliahan disediakan banyak referensi berupa buku, jurnal, artikel
atau tulisan mengenai filsafat. Sehingga mahasiswa dapat mengakses berbagai sumber
tersebut dengan bebas. Menyambung dari kuis yang meruntuhkan kesombongan, dengan
berbagai referensi yang disediakan mahasiswa terpacu untuk senantiasa belajar dan belajar.
Daftar Pustaka
Agus Arwani, Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah), Religia, Vol. 15,
No. 1, 2017, 127.

Juhari, Aksiologi Ilmu Pengetahuan (Telah Tentang Manfaat Ilmu Pengetahuan dalam
Konteks Ilmu Dakwah), Al-Idarah: Juenal Manajemen dan Administrasi
Islam, Vol. 3, No. 1, 2019, 101.
Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam,
Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4, No.1, 2018, 84.

Maria Sanprayogi & Moh.Toriqul Chaer, Aksiologi Filsafat Ilmu, 106-108.

Marsigit. 2009. Asumsi Dasar Karakteristik Matematika, Subyek Didik dan Belajar
Matematika Sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Matematika Berbasis
Kompetensi Di SMP. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist Philosophy of Mathematics
Education. Disertasi University of Illinois at Urbana Champaign

Nata, Abuddin. 2018. Islam dan Ilmu Pengetahuan.Jakarta: Prenada Media Group.
Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan, 229-231.

Nur Afni Puji Rahayu, Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Peningkatan
Keterampilan Menulis Deskripsi Melalui Model Kooperatif Tipe Round
Table, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2021,
133.
Nurliana, Nurfadhilah, dan Bahri, A. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran.LPP
UNISMUH MAKASSAR:Makassar.
Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A. A. (2022). Strategi Pembelajaran Matematika.
Padang Sidempuan: Perdana Publishing.

Soemoenar, Suyono, & Makmuri. 2007. Penerapan Matematika Sekolah. Jakarta:


Universitas Terbuka.
Ulfa, M., Saifuddin, S., 2018. Terampil Memilih dan Menggunakan Metode
Pembelajaran. Suhuf 30,35-56.
Winarti, & Suyadi. (2020). Pelaksanaan Model Discovery Learning Jerome Bruner
pada Pembelajaran PAI di SMPN 3 Depok Sleman Yogyakarta.
Qalamuna:Jurnal Pendidikan, Sosial,dan Agama. 12(2): 157

Yuberti. 2014. Teori Pembelajaran Dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam


Pendidikan.Lampung: Anugrah Utama Raharja.

Anda mungkin juga menyukai