Disusun Oleh:
Segala puji kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah tugas akhir mata kuliah Filsafat Ilmu dengan judul
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi Nabi
Bapak Prof. Dr. Marsigit, MA selaku dosen pengampu pada mata Filsafat Ilmu. Penulis
menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
sumbangan pikiran yang berdampak positif sekaligus bermanfaat bagi masyarakat luas.
Penulis
BAB I
FILSAFAT UMUM
Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia, yang terdiri dari kata philein
berarti “cinta” dan sophia berarti “kebijaksanaan”, maka filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Sehingga dapat dikatakan seorang filsuf adalah pencinta atau pencari kebijaksanaan
(Muliadi, 2013). Pengertian filsafat dari pendapat beberapa ahli adalah filsafat merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan tentang gejala
atau fenomena, tetapi mencari hakikat dari suatu gejala atau fenomena. Tiga faktor yang
menjadikan filsafat sebagai suatu landasan dalam mendapatkan pengetahuan yaitu:
A. Ontologi
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani Ontos berarti “yang ada” dan
Logos berarti “ilmu”. Ontologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan
dengan hakikat hidup tentang segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Ontologi
sering kali diidentikkan dengan metafisika (Suminar, 2019). Kajian ontologi dikaitkan
dengan pandangan Islam, terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, objek ilmu yang bersifat
materi, maksudnya adalah objek ilmu yang dapat didengar, dilihat, dan dirasakan. Contohnya
ilmu sains, ilmu eksak, ilmu politik, sosial, budaya, psikologi, dan lain sebagainya. Kedua,
objek ilmu yang bersifat non-materi. Berlawanan dengan objek materi, pada non-materi ini
tidak bisa didengar, dilihat, dan dirasakan. Hasil akhir dari objek non-materi ini lebih sebagai
kepuasan spiritual. Contohnya objek yang berbicara tentang ruh, sifat dan wujud Tuhan
(Khomsatun, 2019).
Menurut Khomsatun (2019) awalnya, argumen tentang ontologi dicetuskan oleh Plato
dengan teorinya yang disebut teori idea. Menurutnya, apa saja yang ada di alam semesta ini
pasti memiliki idea. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah pengertian atau konsep universal
dari tiap sesuatu. Sehingga idea ini yang merupakan hakikat sesuatu itu dan menjadi dasar
dari wujud sesuatu itu. Idea-idea tersebut berada di balik yang nyata dan idea itulah yang
menurutnya abadi. Oleh karenanya, ini yang menjelaskan kenapa benda-benda yang kita lihat
atau yang ditangkap oleh pancaindra senantiasa berubah. Dengan kata lain, benda yang dapat
ditangkap oleh pancaindra manusia hanyalah khayalan dan ilusi belaka. Selanjutnya,
argumen ontologi juga disampaikan oleh St. Augustine. Ia menjelaskan bahwa manusia
mengetahui dari pengalamannya bahwa dalam alam semesta ini ada kebenaran. Namunn,
terkadang akal manusia merasa bahwa apa yang ia ketahui memang benar, terkadang juga
manusia merasa ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurut
Augustine, akal manusia pada dasarnya mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran yang tetap yang menjadi sumber bagi akal manusia dalam usahanya untuk
mengetahui apa yang benar. Kebenaran yang tetap itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran
yang mutlak ini menurut Augustine disebut dengan Tuhan. Ontologi melihat hakikat suatu
kenyataan melalui dua sudut pandang yaitu: 1) kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu berbentuk tunggal atau jamak; 2) kualitatif yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu mempunyai kualitas tertentu. Sederhananya ontologi
bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan konkret secara kritis.
B. Epistemologi
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme artinya
“pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”. Secara istilah, epistemologi adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu
pengetahuan tersebut. Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, serta penegasan bahwa seseorang memiliki
pengetahuan (Rokhmah, 2021). Jadi, epistemologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan pengetahuan seperti sumber, proses, syarat serta jaminan dari
kebenaran pengetahuan tersebut.
Jika ontologi mencari secara reflektif tentang yang ada, epistemologi berupaya
membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan epistemologi memiliki arti yang
sangat penting bagi pengetahuan, karena menjadi tempat berpijak dari pengetahuan yang baik
ialah yang memiliki landasan yang kuat. Selain itu, epistemologi merupakan pengetahuan
yang diperoleh melalui hasil tangkapan indra lalu diteruskan dan ditampilkan oleh akal.
Epistemologi menganggap bahwa setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari
pemeriksaan dan penyelidikan hingga akhirnya dapat diketahui manusia. Dengan demikian,
jelas bahwa epistemologi ini membahas tentang dasar, sumber, karakteristik, kebenaran, dan
cara mendapatkan suatu pengetahuan. Aspek terpenting yang dibahas dalam epistemologi
yaitu sumber pengetahuan dan metode pengetahuan.
C. Aksiologi
Secara bahasa, aksiologi berasal dari Bahasa Yunani axion yang berarti nilai dan logos
yang berarti ilmu, sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya
berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu
terikat nilai. Sehingga aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan dengan
layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin membentuk
satu jenis ilmu pengetahuan maka seharusnya dia telah melakukan uji aksiologis (Rokhmah,
2021). Pada intinya aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu
pengetahuan, pantas atau tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Kemudian aksiologi
juga yang melakukan pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu yang memang tingkat
perkembangannya begitu cepat, yang mungkin pada akhirnya nanti akan membuang nilai-
nilai yang dipegang kuat oleh umat manusia.
Berdasar pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila
pernyataan ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai
manfaat bagi kehidupan manusia. Menghilangkan unsur aksiologis dari ilmu pengetahuan
berarti telah memperlemah posisi ilmu tersebut dari sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia
yang negatif sehingga ilmu pengetahuan tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Daya kerja
dari aksiologi diantaranya: 1) menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat
menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh
kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. 2) pemilihan objek dapat
dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat
manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik,
arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. 3) pengembangan pengetahuan diarahkan untuk
meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta
keseimbangan, kelestarian lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.
BAB II
FILSAFAT ILMU
B. Epistemologi Ilmu
Epistemologi matematika merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan
pengetahuan matematika. Cabang ini khusus menelaah segi-segi dasar pengetahuan
matematika seperti sumber, hakikat, batas-batas, dan kebenaran pengetahuan beserta ciri-ciri
matematika yang meliputi abstraksi, ruang, waktu besaran, simbolik, bentuk, dan pola.
Epistemologi matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau validitas dari
sifat-sifat matematika. Misalnya, untuk mengetahui benar atau tidaknya suatu teorema, maka
diperlukan adanya pembuktian. Sehingga pembuktian teorema dalam matematika ini
merupakan contoh dari epistemologi matematika.
Di dalam teori pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar
epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat
dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh
kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan apriori.
Epistemologi dalam matematika yaitu ketika kita mengajarkan materi lingkaran dimana
dalam rumus keliling dan luas lingkaran terdapat nilai, biarkan siswa sendiri yang
menemukan berapa nilai yaitu dengan cara siswa diajak melakukan percobaan terhadap
beberapa benda yang berbentuk lingkaran, dari hasil percobaan tersebut siswa akan
menenmukan sendiri berapa nilai tersebut. Epistemologi pendidikan matematika yaitu ilmu
filsafat untuk mempelajari keaslian atau validitas dari sifat-sifat pendidikan matematika,
keaslian atau kebenaran hal-hal yang termuat dalam proses belajar mengajar matematika.
Contohnya seperti pengetahuan dasar matematika yang telah dipahami siswa sebelumnya.
Apakah pengetahuan itu bersifat benar atau tidak, seperti itulah contoh dari epistemologi
matematika.
C. Aksiologi Ilmu
Akisologi bersifat subjektif, sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Sehingga
kadar kebermanfaat suatu pengetahuan berbeda-beda dari satu manusia dengan manusia
lainnya. Aksiologi dalam matematika sendiri juga bersifat subjektif. Di mana nilai
kebermanfaatan dari matematika berbeda-beda pada setiap orangnya. Nilai kebermanfaatan
ini dipengaruhi dengan pengalaman-pengalaman masing-masing individu yang dirasakan.
Begitu dengan aksiologi pada pendidikan matematika. Di mana pada proses pembelajaran
matematika guru atau pun siswa dapat berbeda nilai dari kebermanfaatan materi yang
diajarkan. Siswa dapat menilai suatu materi itu bagi dirinya atau tidak, dikarenakan dekat
dengan kehidupan siswa itu sendiri masing-masing. Sehingga bentuk aksiologi pada
pendidikan matematika itu berbeda setiap siswa.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT
Filsafat berbeda dengan ilmu yang lain, ilmu lain bergerak dari tidak tahu menuju
tahu, sedangkan ilmu filsafat bergerak dari tidak tahu menuju tahu selanjutnya ke hakikat.
Berpikir yang seperti ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan bisa
dipertanggung jawabkan. Sehingga diperlukan beberapa hal, yaitu: a. Sistematis, pemikiran
yang sistematis bertujuan untuk menyusun pola pengetahuan yang rasional; b. Konsepsional,
sebagai upaya untuk menyusun suatu bagan yang terkonsepsi (jelas); c. Koheren (runtut) dan
Rasional, pemikiran filsafat harus memuat kebenaran yang logis, yang mempunyai kaidah-
kaidah berpikir (logika); d. Sinoptik, pemikiran filsafat harus melihat hal-hal secara
menyeluruh; e. Mengarah kepada pandangan dunia, pemikiran filsafat sebagai upaya untuk
memahami semua realitas kehidupan (Muliadi, 2013). Pada bagian ini akan dibahas filsafat
merupakan metafisika, kritik terhadap pemikiran, dan pergulatan dalam memperebutkan
dunia dan kehidupan.
A. Metafisika
Hidup manusia itu metafisik, yakni ada sifat dibalik sifat, sifat mendahului sifat, sifat
mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat. Ini berarti sebelum adanya suatu hal ada hal lain
yang lebih mendahului dan keberadaannya itu tidak terbatas, begitu pula untuk hal-hal yang
akan datang. Maka dari itu, manusia hidup karena tidak sempurna. Namun, tidak sempurna
yang dimaksud bukan dalam hal fisik.
Anggapan awal bahwa hidup manusia itu adalah metafisik yaitu bermula dari segala
macam kegiatan dan sifat manusia yang terbagi menjadi dua bagian. Yang apabila hilang
salah satunya maka tidak ada kehidupan lagi. Hal yang paling mendasari dari dua bagian itu
adalah kuasa Tuhan dan hukum alam. Lahirnya manusia adalah kuasa Tuhan, hanya manusia
terpilih yang lahir dan kelahirannya sesuai dengan takdir Tuhan yang bersifat tetap. Namun,
manusia bisa memilih untuk menjalani kehidupannya. Apakah ia memilih pada jalan
kebenaran atau malah sebaliknya yaitu pada jalan kemunafikan. Hal ini disebut ikhtiar dan
sifatnya dapat berubah sesuai hukum alam.
Suatu yang tetap dalam matematika akan bersifat A = A (identitas), atau disebut juga
tautologi yang berarti hal tersebut benar (tetap) untuk setiap kemungkinan. Sedangkan,
sesuatu yang berubah akan bersifat A ≠ A (kontradiksi), sehingga akan terjadi novelty atau
kebaruan. Dua hal yang bertolak-belakang ini juga terjadi pada Rene Descartes dan David
Hume. Perselisihan terjadi antara mereka di mana Rene Descartes memiliki paham
rasionalism, ia percaya bahwa cara untuk mencapai pengetahuan adalah dengan logika dan
intelektual. Sedangkan David Hume memiliki paham empirisme, yang mana ia
mengandalkan bukti empiris dan menganggap kebenaran hanya diperoleh melalui
pengalaman. Hingga Immanuel Kant berada diantara keduanya, ia menyatakan bahwa
pengetahuan bersumber dari akal dan pengalaman.
Perselisihan tidak berhenti pada saat Immanuel Kant hadir. Auguste Comte muncul
dan menolak semua perselisihan tersebut, ia menyatakan perselisihan tersebut tidak ada yang
benar. Auguste Comte mengembangkan teori yang dikenal sebagai positivisme, ia
meletakkan agama pada urutan paling bawah, kemudian metafisik, dan metode positif. Ia
menekankan bahwa pengetahuan yang tepat hanya dapat diperoleh melalui pengamatan yang
akurat dan verifikasi empiris. Dari perselisihan – perselisihan tersebut manusia menjelma
dari Archaic (manusia batu), Tribal (pedalaman), Tradisional, Feudal, Modern, Post Modern,
hingga Power Now.
1. Matematika Tradisional
Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial, pemerintah berbenah diri
menyusun program pendidikan. Matematika diletakkan sebagai salah satu mata pelajaran
wajib. Saat itu pembelajaran matematika lebih ditekankan pada ilmu hitung dan cara
berhitung. Pembelajaran matematika tradisional di Indonesia juga mempunyai ciri yang
serupa dengan pembelajaran tradisional pada umumnya, seperti materinya materi lama, lebih
mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung,
menekankan kepada bagaimana sesuatu itu dihitung daripada kepada mengapa sesuatu itu
dihitung demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak daripada kegunaannya, bahasa/
istilah/ symbol yang dipergunakan.
2. Matematika Modern
Pembelajaran matematika modern resminya dimulai setelah adanya kurikulum 1975.
Model pembelajaran matematika modern ini muncul karena adanya kemajuan teknologi, di
Amerika Serikat perasaan adanya kekurangan orang-orang yang mampu menangani senjata,
rudal dan roket sangat sedikit, mendorong munculnya pembaharuan pembelajaran
matematika. Selain itu penemuan-penemuan teori belajar mengajar oleh J. Piaget, W
Brownell, J.P Guilford, J.S Bruner, Z.P Dienes, D.Ausubel, R.M Gagne dan lain-lain semakin
memperkuat arus perubahan model pembelajaran matematika.
2. Technological Pragmatist
Aliran ini adalah kelompok kontemporer yang diturunkan dari pendidik industri yang
misinya mempromosikan versi modern dari sebuah ideologi dengan tujuan utilitarian, prinsip
utilitas atau kemanfaatan. Secara konseptual, aliran ini dapat digambarkan sebagai sikap atau
perilaku ideologis, mazhab, atau politik yang tidak mau mengubah sistem secara radikal.
Sikap ini biasanya dipegang oleh mereka yang memegang status atau kekuasaan khusus di
dalam struktur, atau setidaknya mereka yang merasa sangat diuntungkan dari sistem yang
ada. Secara keseluruhan, posisi pragmatis teknologis bersandar pada dasar epistemologis dan
moral yang tidak memadai untuk pengajaran matematika. Perspektif pragmatis teknologis
mengakui bahwa fungsi sosial matematika dan peran komputer berpotensi penting untuk
pendidikan matematika dan masyarakat. Tetapi unsur-unsur ini membutuhkan pengakuan,
pragmatisme teknologis gagal untuk memasukkan mereka dalam perspektif yang cukup luas
atau cukup beralasan.
3. Old Humanist
Aliran ini berpendapat bahwa sains murni hanya baik untuk dirinya sendiri. Namun
kenyataannya, matematikawan kuno memandang matematika sebagai komoditas yang
berharga dan elemen sentral dari budaya. Matematika yang membuktikan logika, terdapat
nilai dalam struktur, abstraksi, dan penyederhanaan. Berdasarkan nilai tersebut, maka tujuan
pembelajaran matematika adalah untuk mengajarkan matematika itu sendiri. Ideologi
kelompok ini dibagi oleh relatif absolut. Kelompok humanis kuno adalah kelompok yang
menekankan perbaikan diri dengan membangun kemanusiaan. Menurut ideologi ini, dalam
pembelajaran matematika harus dilakukan pembelajaran yang dapat membangun karakter
siswa sehingga tidak hanya ahli dalam bidang matematika, tetapi agar siswa dapat terus
memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya di masa depan. Apabila matematika
ditampilkan kepada pelajar sebagai sesuatu yang objektif, tambahan, dingin, keras, dan
terpencil akan menimbulkan efek negatif pada sikap dan tanggapan afektif terhadap
matematika. Sehingga, aliran ini berpendapat bahwa matematika memiliki nilai
kebenarannya sendiri. Hal ini sesuai dengan analogi bahasa dalam matematika yaitu
matematika adalah "Ratu Pengetahuan". Matematika menekankan ketelitian, bukti logis,
struktur, abstraksi, kesederhanaan, dan keanggunan.
4. Progressive Educator
Pendidikan progresif didasarkan pada progresivisme, dan pendidikan harus didasarkan
pada sifat manusia sebagai makhluk sosial dan paling baik dipelajari dalam situasi kehidupan
nyata dengan orang lain. Progressive Educator sebenarnya merupakan perpanjangan dari
gagasan tentang pragmatisme pedagogis. Ideologi ini memandang siswa sebagai makhluk
sosial yang aktif. Tujuan matematika dari pendidik progresif adalah untuk menyumbang
perkembangan meyeluruh dari pertumbuhan manusia, untuk mengembangkan kreativitas
anak dan realisasi diri dalam pengalaman belajar matematika. Hal ini mencakup dua hal.
Pertama, perkembangan anak sebagai penyelidik diri sendiri dan orang yang tahu
matematika. Kedua, mengembangkan kepercayaan diri anak, sikap positif dan mengagumi
diri sendiri dengan penghargaan terhadap matematika, dan melindungi anak dari pengalaman
negatif yang mungkin merusak sikap. Dalam teori ini, belajar bekerja paling baik ketika
berhubungan dengan situasi kehidupan nyata siswa. Pembelajaran pada aliran ini berpusat
pada siswa (student centered), dalam arti bahwa subjek dari kegiatan pembelajaran. Siswa
tidak hanya menerima semua ilmu dari gurunya, tetapi mencari atau membangun sendiri
ilmunya.
5. Public Educator
Aliran public educator yaitu orang-orang dengan ideologi demokrasi. Di era sekarang ini,
pendidikan bisa menjadi milik semua orang. Dengan kata lain, pendidikan tidak memandang
jenis kelamin, ras, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain. Tujuan dari posisi ini adalah
pemenuhan potensi individu dalam konteks masyarakat. Jadi tujuannya adalah
pemberdayaan dan pembebasan individu melalui pendidikan untuk memainkan peran aktif
dalam menentukan nasib sendiri, dan untuk memulai dan berpartisipasi dalam pertumbuhan
dan perubahan sosial. Secara keseluruhan, ideologi ini berorientasi sosial, dengan
epistemologi berdasarkan konstruksi sosial, dan berdasarkan etika keadilan sosial. Maka dari
itu, pendidikan harus bertujuan untuk memberikan pengalaman untuk menemukan atau
memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan sosial. Masyarakat pada dasarnya
adalah yang terbaik, tetapi masyarakat demokratis adalah yang terbaik, di mana setiap
pekerjaan memiliki peluang dan demokrasi tidak memiliki hierarki sosial. Ideologi ini juga
menekankan bahwa pendidikan tercapai bila anak terlibat aktif dan terintegrasi dalam semua
kegiatan sosial di lingkungannya. Orang tua tidak mengisolasi anaknya di sekolah. Tujuan
lain dari pendidik masyarakat ini adalah agar masyarakat juga berperan sebagai pembimbing
dan guru bagi anak-anak. Teori pembelajaran didiskusikan dan siswa diberikan kebebasan
sesuai dengan kemampuannya. Teori pengajarannya adalah diskusi dan inkuiri. Namun,
aliran ini juga memiliki kelemahan terutama berkaitan dengan masalah pelaksanaan, tetapi
juga karena sejumlah kontradiksi dalam ideologi. Misalnya pendekatan pendidik masyarakat
ini dapat menyebabkan ketidakcocokan dan krisis bagi peserta didik. Penerimaan isu-isu
sosial, budaya dan politik ke dalam kurikulum matematika akan membuka pengaruh atau
manipulasi terang-terangan dari kurikulum matematika oleh kelompok komersial dan politik.
Dari perspektif ideologi, tujuan pendidik masyarakat untuk pendidikan matematika bersifat
demokratis, memberdayakan dan tidak memihak. Namun, evaluasi ini tidak sama dengan
posisi ideologi lain, yang mungkin merasa bahwa seperangkat nilai-nilai itu perlu
dipromosikan.
C. Paradigma/Teori/Metode/Pendekatan/Model/Strategi
Pada proses pembelajaran terdapat hal-hal yang menunjang pembelajaran tersebut.
Dalam pembelajaran dibutuhkannya paradigma, teori, model, pendekatan, strategi dan
praktis untuk menyukseskan suatu pembelajaran di kelas. Untuk diketahui berikut beberapa
kajian terkait paradigma, teori, model, pendekatan, metode, strategis, dan praktis yang dapat
dilihat pada tabel berikut.
Paradigma /
No Sintak Penilaian
Teori / Metode
Pendekatan /
Model / Strategi
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Menganalisis lingkungan kelas dan
pengetahuan peserta didik
3. Menentukan materi
4. Membagi/menguraikan materi menjadi
beberapa bagian, seperti topik, pokok - Authentic :
1. Teori bahasan, sub bab, dan lainnya Penilaian
Behaviorisme 5. Menyajikan materi pelajaran berdasarkan perilaku
6. Memberikan stimulus kepada peserta didik, yang tampak
berupa pertanyaan, tes dan pemberian
tugas/latihan
7. Mengamati dan mengkaji respon peserta
didik
8. Memberikan penguatan(positif atau negatif )
9. Memberikan stimulus baru
10. Mengevaluasi hasil belajar
11. Memberikan penguatan
- Assesment
1. Menentukan pertanyaan mendasar
formatif
2. Mendesain perencanaan produk
- Proyek / produk
3. Menyusun jadwal
- Authentic :
4. Project Based 4. Memonitor keaktifan dan perkembangan Menekankan
Learning (PjBL) proyek peserta didik kemampuan
5. Menguji hasil karya peserta didik merancang,
6. Mengevaluasi pengalaman menerapkan,
menemukan, dan
menyampaikan
produk kepada orang
lain.
1. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian
siswa)
2. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran
3. Memulai pelajaran dengan mengajukan
masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai - Assesment:
5. Realistic dengan pengalaman dan tingkat Diagnostik, formatif,
Mathematics pengetahuannya, sehingga siswa segera dan sumatif mulai
Education (RME) terlibat dalam pelajaran secara bermakna dari tingkat rendah,
4. Permasalahan yang diberikan diarahkan sedang hingga tinggi
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut
5. Siswa mengembangkan atau menciptakan
model-model simbolik secara informal
terhadap persoalan/masalah yang diajukan
6. Pengajaran berlangsung secara interaktif,
siswa bertanggung jawab terhadap
jawabannya, memahami jawaban dari siswa
lain, menyatakan ketidaksetujuan, mencari
alternatif penyelesaian lain; dan melakukan
refleksi terhadap hasil pelajaran.
1. Mengamati, guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan pengamatan
- Assessment
sesuai dengan materi pembelajaran.
- Authentic:
2. Menanya, siswa diberikan kesempatan
Guru menilai siswa
untuk bertanya bahasan yang berkaitan
6. Saintifik selama proses
dengan materi
pembelajaran, baik
3. Mengeksplor, siswa mencari data yang
dari kerjasama,
diperlukan
keaktifan siswa, serta
4. Mengasosiasi, berdasarkan data yang telah
hasil kerja.
diperoleh siswa menjawab pertanyaan yang
telah dirumuskan
5. Mengomunikasikan, siswa menyampaikan
hasil kerjanya
Ermida & Ardimen. (2023). Ontologi Ilmu Pengetahuan. Journal on Education, 6(1).
https://doi.org/10.31004/joe.v6i1.3396
Herianto & Marsigit. (2023). Filsafat, Ideologi, Paradigma, Teori, Model dan Inovasi
Pendidikan. DOI: https://doi.org/10.31219/osf.io/e4ahb
Muliadi. 2013. Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi,
EDUCREATIVE: Jurnal Pendidikan Kreatif Anak, Vol. 4, No. 2, 2019, 229-231.
Rokhmah, D. (2021). Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 7(2).
https://media.neliti.com/media/publications/389275-none-a1ba1d1f.pdf