Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT PENDIDIKAN

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

Etika Keilmuan

Dosen Pengampu : Dr. SUBANJI, M.Si

Disusun oleh:

Offering D

Kelompok 1

ANNESA EKA NORMAN 200311858006

ATIK KHOIRUN NISAK 200311858016

AULIA RAHMI LUBIS 200311867321

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

DESEMBER 2020
PENDAHULUAN

Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan
sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu
berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam
mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena
semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada
disepanjang pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika
kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat.
Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori
pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.
Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban
dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana
masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu
mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari
kebenaran.
Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga
masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut
sangat sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk
menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai
kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ada“ dengan
perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan.
Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan
aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh (Saefuddin, 1998: 31)
Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa
hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu
sebagaimana mestinya (Suriasumantri, 1990: 33). Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka
penulis akan membahas pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi serta segala
permasalahannya sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat ilmu yang dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
PEMBAHASAN

A. Ontologi

Kata Ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani. Ontologi berasal dari
kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”. Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu
hakekat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Dengan
demikian Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti segala sesuatu yang ada.
Ontologi merupakan bagian filsafat yang paling umum dan yang paling sulit untuk
dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Bidang utama
dalam ilmu filsafat seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral
dan sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi (Sentosa, 2015: 47). Ontologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang keadaan alam yang sebenarnya secara universal (teory of
reality) (Bahrum, 2013: 102).
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan
antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai
pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali
segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa
dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan,
bunga mawar yang berbau harum.(Saefuddin, 1998: 50-51)
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Ontologi merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu
bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu
perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam
semua bentuknya. (Syafii,2004: 9)
Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat
manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah
uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan
bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar (Bakker,
1997: 5).
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan
hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk,
berupa, berwaktu dan bertempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh
pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris.
Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia (Suariasumantri,1991:5). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal
yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu ini karena tidak
dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri
tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris.
Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan ada dua macam:
1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau
bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang
terhadap obyek material.(Saefuddin, 1998:51)
Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat
beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan
tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang
kegiatan. Asumsi itu perlu sebab, pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan
landasan bagi kegiatan penelaahan.
Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:
Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua,
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar
mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai kaitan
dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia (Suariasumantri, 1991:7-8).
Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan
berbagai disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus
operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya” (Suariasumantri, 1991: 89).
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi
kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang ilmuan harus benar-
benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah dilandasi dengan asumsi yang tegas,
yaitu tersurat karena yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat.
Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa
penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila
kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli
ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang
ilmuan politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.
B. Epistemologi

1. Pengertian Epistemologi

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” dan “Logos”. “Episteme”


berarti pengetahuan (knowledge), “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistemologi
secara etimologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi mengkaji mengenai apa
sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya.
Epistimologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan
tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan.
Dengan kata lain, epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau
membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuwan.
Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuwan adalah dengan metode
non-ilmiah, metode ilmiah dan metode problem solving. Pengetahuan yang diperoleh
melalui pendekatan/metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara
penemuan secara kebetulan , untung-utungan (trial and error), akal sehat (common
sense), prasangka, otoritas (kewibawaan) dan pengalaman biasa. Metode ilmiah adalah
cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan
metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi
permasalahan, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, mengorganisasikan dan
menganalisis data, menyimpulkan dan conclusion, melakukan verifikasi yakni dengan
melakukan pengujian hipotesis.

2. Epistemologi Matematika
Epistemologi Matematika merupakan cabang filsafat yang behubungan dengan
pengetahuan matematika. Cabang ini khusus menelaah segi-segi dasar pengetahuan
matematika sepeti sumber, hakikat, batas-batas, dan kebenaran pengetahuan beserta ciri-
ciri matematika yang meliputi abstraksi, ruang, waktu, besaran, pola, dll. Epistemologi
matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau validitas dari sifat-sifat
matematika, misalnya sepeti kebenaan sebuah teorema. Untuk mengetahui benar atau
tidaknya sebuah teorema maka diperlukan adanya pembuktian. Sehingga pembuktian
teoema dalam matematika ini merupakan contoh dari epistemologi matematika. Contoh
epistemologi dalam matematika yaitu ketika kita mengajarkan materi lingkaran dimana
dalam rumus keliling dan luas lingkaran terdapat suatu nilai. Dalam hal ini siswa diminta
untuk menemukan nilai tersebut salah satunya dengan cara melakukan percobaan
pengukuran terhadap beberapa benda yang berbentuk lingkaran, dari hasil percobaan
tersebut siswa akan menemukan sendiri nilai yang dicari. Epistemologi diperlukan dalam
pendidikan dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa
yang harus diajakan kepada anak didik di sekolah, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan tersebut dan bagaimana cara menyampaikannya. Semua itu adalah
epistemologinya pendidikan
3. Landasan Epistemologi pada Kurikulum 2013
Landasan epistemologi pada kurikulum 2013 tercermin secara operasional dalam
metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara memperoleh ilmu dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: a) kerangka pemikiran yang bersifat logis
dengan argumentsi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah
berhasil disusun., b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut, c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termasuk untuk menguji
kebenaran pernyataan secara faktual.
Kurikulum 2013 yang dikaji dari landasan Kajian Epistimologi, yakni saat
Implementasi kurikulum 2013 telah selesai dilaksanakan, pemahaman masing-masing
instruktur nasional, guru inti, kepala sekolah dan guru sasaran tidak semuanya sama.
Beberapa persepsi yang berbeda mengalir di sekolah masing-masing. Kondisi ini sedikit
banyak menimbulkan beberapa pertanyaan yang tidak bertepi dan dapat menjadi
resistensi berkelanjutan pada kurikulum 2013. Metode pembelajaran dalam kurikulum
2013 menggunakan sistem scientific approach atau dengan istilah lain pendekatan ilmiah.
Materi pelajaran dalam pendekatan ilmiah berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru dan
siswa terbebas dari prasangka yang serta merta, atau penalaran yang menyimpang dari
alur berpikir logis. Hal ini mendorong siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran. Secara epistemologi, kurikulum 2013 menjawab pertanyaan tentang sejauh
mana pengetahuan dapat diperoleh peserta didik secara terpercaya dengan menerapkan
proses pembelajaran yang menanamkan 5 M (scientific approach)
C. Aksiologi

1. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari istilah Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos berari ilmu, akan tetapi aksiologi juga dapat disebut juga dengan
teori nilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu
tersebut. Dalam hal ini yang ingin dicapai oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat
yang terdapat dalam suatu pengetahuan. Jadi aksiologi di sini adalah menyangkut
masalah nilai kegunaan ilmu. Dewasa ini, istilah axios = nilai dan logos = teori
istilah ini sebenarnya lebih akrab dipakai dalam istilah filosofi. Adapun aksiologi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia; atau kajian tentang nilai, khususnya etika. Lebih lanjut
aksiologi meliputi nilai-nilai parameter bagi apa yang disebut dengan kebenaran atau
kenyataan. Sebagaimana kehidupan yang kita jalani berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan fisik materi dan kawasan simbolik yang masing-masing
menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-
kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menjalankan ilmu praktis. Dalam
pendekatan aksiologis ini ilmu harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan cara melihat berbagai aspek kehidupan yang melingkupinya.
Ada dua kategori dasar aksiologis, yaitu (1) objektivisme dan (2) subjektivisme.
Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama, yaitu, apakah nilai itu bersifat
bergantung atau tidak bergantung pada manusia? Dari sini, muncul empat
pendekatan etika, dua yang pertama beraliran objektivisme dan dua berikutnya
beraliran subjektivisme. Adapun yang dimaksud adalah (1) teori nilai intuitif, (2)
teori nilai rasional, (3) teori nilai alamiah dan (4) teori nilai emotif. (Hamdani, 2011)

2. Implikasi Aksiologi dalam Pendidikan


Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan
mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya
dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu,
benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah
dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal
anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.

Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk


dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi
etika, estetika, dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan
saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota,
negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan
sebaliknya harus mendapat perhatian. Akan tetapi aksiologi pendidikan berkaitan
dengan masalah ilmu dan pengetahuan (kognitio), maksudnya adalah memikirkan
segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan segala sesuatu yang bersifat
fisikal dan metafisikal, baik yang umum maupun yang khusus. Oleh karena itu,
kajiannya mengarahkan diri pada dasar- dasar pengetahuan dalam bentuk penalaran,
logika, sumber pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Untuk itu perlu dipahami
bahwa aksiologi pendidikan secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang
memahami ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Islam dalam hal ini tentu tujuannya adalah menjadikan manusia
sampai pada satu tahap tertinggi dalam hidupnya. Sebagaimana Kadar (2002) Islam
mempunyai pandangan Khusus tentang pendidikan. Pandangan tersebut meliputi
paradigmanya mengenai ilmu pengetahuan, proses, materi dan tujuan pembelajaran.
Hal itulah yang menjadi ciri khas dari pendidikan Islam, yang tidak dimiliki oleh
pendidikan lainnya. Ilmu pengetahuan dalam Islam sangat erat dengan iman. Di
dalam Islam iman seseorang di bangun atas dasar ilmu pengetahuan, maka
bertambahnya ilmu identik dengan bertambahnya iman.

Ajaran islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara
islami, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi pendidikan Islam berkaitan
dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam.
Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut Abuddin Nata adalah untuk
mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan
akhirat.
Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan Islam,
diantaranya:
1) Mengandung petunjuk akhlak.

2) Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di bumi


dan kebahagiaan di akhirat.
3) Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.

4) Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan


dunia dan akhirat.
DAFTAR RUJUKAN

Adib, M. 2011. FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Bahrum. 2013. Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi. Sulena Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.
journal.uinalauddin.ac.id/index.php/sls/article/download/1276/1243.
Bakker, Anton. Ontologi dan Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamdani. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia

Komara, Endan. 2011 . Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: Refika Aditama,
2011.

Mahfud. 2018. Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan

M. Yusuf, Kadar. 2011. Tafsir Tarbawi. Pekanbaru: Zanafa Publishing

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
__________________. 1991. Ilmu dalamPerspektif Sebuha Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu. Jakarta: Gramedia
Saefuddin. 1998. Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi. Bandung: Mizan
Santosa, Nyong Eka Teguh Iman. 2015. Fenomena Pemikiran Islam. Anna Books,Sidoarjo.
ISBN 978-602-70561-3-8. URI: http://eprints.umsida.id/id/eprint/196.
Syafii, Inu K. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Tafsir, A. 2004. FILSAFAT ILMU Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Islam Stai Hasan Jufri Bawean: CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman.

Tim Penyusun Sunan Ampel. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

Anda mungkin juga menyukai