Anda di halaman 1dari 22

MEMPERBINCANGKAN FENOMENOLOGI SEBAGAI

CABANG FILSAFAT DAN METODOLOGI PENELITIAN

“TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU”

DOSEN: DR. SUWANDI SUMARTIAS, M.SI

OLEH
PETRUS ANA ANDUNG
NPM. 210130150024

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM DOKTOR ILMU KOMUNIKASI
BANDUNG 2015

0
A. Pendahuluan

Pada hakekatnya manusia adalah makhluk bebas yang dilengkapi dengan


sejumlah kemampuan untuk berbuat seperti berbicara dan melakukan tindakan-
tindakan yang sulit diprediksi/diramalkan. Karena itulah kemudian realitas itu
dipahami memiliki intersubjektifitas. Manusia sebagai makhluk bebaslah yang
menciptakan realitas itu melalui interaksi dengan lingkungannya.

Dengan demikian, dalam konteks ilmu sosial menurut kacamata atau


perspektif konstruktivistik, manusia tidak bisa dipahami secara objektif. Realitas
sosial yang terjadi dan dialami oleh manusia bersifat plural dan melalui proses
dialektis dalam diri setiap individu. Karena itu lahirnya perspektif postpositivistik
dengan pendekatan dan metode penelitian kualitatif merupakan sebuah upaya
perluasan terhadap khazanah keilmuan yang memang sejak awal dikuasai oleh
cara berpikir ilmu alam yang lebih cenderung positivistik.

Sebagaimana diketahui, dominasi paradigma positivisme selama bertahun-


tahun terhadap dunia keilmuwan, termasuk ilmu-ilmu sosial ditengarai telah
mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir
positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai
makhluk historis.

Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan


peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya
upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial
dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri.
Salah satu pendekatan tersebut adalah tradisi fenomenologi.

Untuk itu, artikel ini ingin membahas akan hakekat fenomenologi sebagai
cabang dari filsafat dan juga fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian.

1
B. Mengenal Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
dalam Filsafat

B.1. Landasan Ontologi


Bagir, dkk (2005 : 113) menguraikan, ontologi merupakan cabang teori
hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul
empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3)
aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme. Ontologi merupakan salah satu di antara
lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran
Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam
persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan
hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya
dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi
(kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada
dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan
yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan
kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan
Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being
qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan
pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S.
Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A.
Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi
adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara
yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan

2
(objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka
tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal
ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang
sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika
umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika
umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling
dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus
masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.

B.2. Landasan Epistemologi

Menurut Semiawan dkk, (2005: 157) epistemologi adalah cabang filsafat


yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan.
Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dhubungkan dengan
konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan sebagainya.

Menurut Poedjiadi (2001: 13) epistemologi adalah cabang filsafat yang


membahas tentang pengetahuan, adapun yang dibahas antar lain adalah asal
mula, bentuk atau struktur, dinamika, validitas, dan metodologi, yang bersama-
sama membentuk pengetahuan manusia.

Dalam Wattimena (2008 : 30) diuraikan bahwa epistemologi disebut juga


sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam
epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:

1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?

3
2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).

Selanjutnya Wattimena (2008) menjelasan lebih lanjut, epistemologi


meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana
yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model
epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis,
positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1) Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang
bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-
pernyataan universal. Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka
akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau
logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa
logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas
bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang
disebut sintetik.
2) Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik
diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang
harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan

4
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut.
3) Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini
dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-
gejala saja.
4) Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-
beda harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan
intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan
cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5) Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis
sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan.

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia.


Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu
sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan
koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu suatu kesatuan yang merupakan hasil
pengamatan kritis dari ilmu-ilmu dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan
sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung
oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa
yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi

5
tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar
dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam
menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai
penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai
akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan


berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk
teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis,
yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara
mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk
mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya

B.3. Landasan Aksiologi

Menurut Suriasumantri (1987: 234) aksiologi adalah teori nilai yang


berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus
Bahasa Indonesia (1955: 19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Berdasarkan
pendapat di atas dapat dikatakan bahwa aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.

Bramel sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Abdullah (1997 : 106) membagi


aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang
ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam
etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan.
Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan
sebagai sang pencipta.
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai

6
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan
dan fenomena disekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (dalam Baktiar, 2012), nilai itu
objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan
dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan
hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam
filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas
benar-benar ada (Bakhtiar, 2012).

Bagian ketiga dari Aksiologi adalah sosio-political life, yaitu kehidupan


sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah
sudah tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk
hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot
Zuckerberg , ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi
manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia
dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia.
Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia,
tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang
lain.

Menurut Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999), “Pengetahuan adalah


kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka bagi
umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan
kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau
buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Hal

7
senada juga disampaikan Suriasumantri bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.

Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan ke


dalam 4 tahapan yaitu:

- Untuk apa ilmu tersebut digunakan?


- Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral?
- Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu
yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di
masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.

Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan


dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai.
Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan membahas
beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan
masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai
itu subjektif atau objektif.

Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu


menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia
bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan
diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena
hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan
kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya
adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi
objektivitas nilai.

8
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif.
Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara
tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya
penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga
latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang
tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati)
merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal
itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu
diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama
suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal
itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang
dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak
lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu
bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.

Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan
salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak
yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan
porno tentu bagus setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-
pura dan sok bermoral, tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik
tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.

Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu
sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada
sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai
nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang
tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya.
“Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada mata manusia yang
memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia
tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan
manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi
hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”

9
C. Mengenal Fenomenologi Secara Umum

Secara etimologis, istilah fenomenologi berasal dari kata fenomena dan


logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti
menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya
sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harafiah fenomena diartikan
sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Selanjutnya fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama,
fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di
luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi
selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang
fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga
mendapatkan kesadaran yang murni (Moeryadi, 2009).
Menurut Liliweri (dalam Sobur, 2013 : iii), jauh sebelum term fenomenologi
sebagaimana dikenal saat ini, Plato telah memberikan definisi fenomenologi
sebagai studi mengenai struktur, pengalaman, atau struktur kesadaran. Dengan
kata lain, fenomenologi dalam pandangan Plato merupakan kajian tentang semua
hal yang muncul dari kesadaran pengalaman orang lain, termasuk cara kita
memberikan makna terhadap hal-hal yang mengemuka dari pengalaman tersebut.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal
dari objek-objek sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi juga
merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia.
Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan
baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis,
sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis.
Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga
dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.
Dari berbagai pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa bicara
fenomenologi adalah bicara tentang studi yang menuntun kita dapat memahami
terhadap makna dari pengalaman orang lain yang bersifat intersubjektifitas.
Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama

10
pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah
makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran
manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman
kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti (Smith, dkk., 2009: 11). Prinsip-
prinsip penelitian fenomenologis ini pertama kali diperkenalkan oleh Husserl.
Husserl mengenalkan cara mengekspos makna dengan mengeksplisitkan struktur
pengalaman yang masih implisit. Konsep lain fenomenologis yaitu Intensionalitas
dan Intersubjektifitas, dan juga mengenal istilah phenomenologik Herme-neutik
yang diperkenalkan oleh Heidegger.
Setiap hari manusia sibuk dengan aktifitas dan aktifitas itu penuh dengan
pengalaman. Esensi dari pengalaman dibangun oleh dua asumsi (Smith, dkk.,
2009: 12). Pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi
dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya
sendiri yang memang bersifat subjektif. Kedua, setiap bentuk kesadaran selalu
merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika melihat mobil melewati kita, kita
berpikir siapa yang mengemudikannya, mengharapkan memiliki mobil seperti itu,
kemudian menginginkan pergi dengan mobil itu. Sama kuatnya antara ingin
bepergian dengan mobil seperti itu, ketika itu pula tidak dapat melakukannya. Itu
semua adalah aktifitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sebuah sikap
yang natural. Kesadaran diri mere-fleksikan pada sesuatu yang dilihat, dipikirkan,
diingat dan diharapkan, inilah yang disebut dengan menjadi fenomenologi.
Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran
individu, yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas (intentionality),
menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan
objek yang menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi,
pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah
melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai adalah menilai
sesuatu. Sesuatu itu adalah objek dari kesadaran yang telah distimulasi oleh
persepsi dari sebuah objek yang “real” atau melalui tindakan mengingat atau
daya cipta (Smith, dkk., 2009: 12). Intensionalitas tidak hanya terkait dengan
tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu
sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan
pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki objek. Hal yang sama berlaku untuk
kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of
11
consciousness). Dan intensionalitas juga merupa-kan keterarahan tindakan, yakni
tindakan yang bertujuan pada satu objek.
Smith, dkk., (2009: 17) menuliskan bahwa menurut Heidegger pandangan
lain dalam konsep fenomenologi adalah mengenai person (orang) yang selalu
tidak dapat dihapuskan dari dalam konteks dunianya (person-in-context) dan
intersubjektifitas. Keduanya juga merupakan sentral dalam fenomenologi.
Intersubjektifitas berhubungan dengan peranan berbagi (shared), tumpang tindih
(over-lapping) dan hubungan alamiah dari tindakan di dalam alam semesta.
Intersubjektifitas adalah konsep untuk menjelaskan hubungan dan perkiraan pada
kemampuan mengkomunikasikan dengan orang lain dan membuat rasa (make
sense) pada yang lain. Keterhubungan dengan dunia merupakan bagian yang
fundamental dari konstitusi fenomenologis.
Untuk mencapai sikap fenomenologis dalam Smith, dkk., (2009: 13) Husserl
mengembangkan metode fenomenologi yang direncanakan untuk mengidentifikasi
struktur inti dan ciri khas dari pengalaman manusia. Untuk itu, perlu
memperhatikan konsekuensi-konsekuensi dari taken-for-granted (menduga untuk
pembenaran) dari cara-cara hidup yang familiar, setiap hari alam semesta adalah
objek. Untuk itu perlu kategori untuk taken-for-granted pada suatu objek (alam
semesta) agar memusatkan persepsi kita pada objek (alam semesta).
Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009) dimulai dari
serangkaian reduksi-reduksi. Reduksi dibutuhkan supaya dengan intuisi kita dapat
menangkap hakekat objek-objek. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua
hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama,
menyingkirkan segala sesuatu yang subjektif. Sikap kita harus objektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang objek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah
dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-
reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin
(memperlihatkan diri).
Menurut Smith, dkk., (2009: 14) masing-masing reduksi memberikan
perbedaan lensa atau prisma, dan perbedaan cara dalam berpikir dan
pengambilan keputusan berdasarkan pemikiran logis tentang fenomena pada sisi
lain. Susunan reduksi direncanakan untuk memandu peneliti jauh dari

12
kebingungan dan salah arah dari asumsi-asumsi dan prekonsepsi-prekonsepsi
dan kembali menuju pada esensi dari pengalaman dari fenomena yang telah ada.
Dalam fenomenologi dilakukan pengujian dengan deskripsi dan refleksi
terhadap setiap hal yang penting terutama dari fenomena yang given. Deskripsi
dari pengalaman yang fenomenologis hanya merupakan tahap pertama. Yang
real/nyata dilakukan dalam pengujian adalah untuk mendapatkan pengalaman
dengan lebih general. Pengujian dilakukan dengan mencoba dan menetapkan
apakah inti dari pengalaman subjektif dan apakah essensi atau ide dari objek
(Smith, dkk., 2009: 14). Fenomenologi juga mengadakan refleksi mengenai
pengalaman langsung atau refleksi terhadap gejala/fenomena. Dengan refleksi ini
akan mendapatkan pengertian yang benar dan sedalam-dalamnya. Dalam
fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang
orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya. Fokus fenomenologi
bukan pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran,
yakni realitas objektif yang mewujud di dalam pengalaman subjektif orang per
orang. Fenomenologi berfokus pada makna subjektif dari realitas objektif di
dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Alfred Schutz sebagaimana dituliskan oleh Smith, dkk (2009:
15) mengadopsi dan mengembangkan fenomenologi ini dengan pendekatan
interpretatif praktis. Teori tentang interpretative ini bermula dari teori hermeneutik.
Hakekat dari metode hermeneutik adalah metode interpretasi, memahami suatu
gejala dari bahasanya baik lisan maupun tulisan, dan bertujuan ingin mengetahui
suatu gejala dari gejala itu sendiri yang dikaji secara mendalam. Hermeneutik
pada awalnya merepresentasikan sebuah usaha untuk menyediakan dasar-dasar
yang meyakinkan untuk menginterpretasi yang berhubungan dengan teks-teks
Alkitab. Selanjutnya dikembangkan sebagai fondasi filosofis untuk
menginterpretasi secara meningkat dan meluas pada teks-teks, seperti teks
sejarah dan literature kerja. Teoris-teoris hermeneutik perhatian pada apa metode
dan tujuan dari interpretasi itu sendiri. Apakah mungkin untuk mengkover maksud
atau makna yang original dari seorang author? Apakah hubungan antara konteks
dari produksi teks (pada sejarah di masa lalu) dengan konteks dari interpretasi
teks (relevansinya dengan kehidupan sekarang). Schiermacher yang pertamakali
menuliskan secara sistematis mengenai hermeutik sebagai mempunyai bentuk
yang umum (generic form). Menurutnya interpretasi melibatkan apa yang disebut
interpretasi grammatical dan psychological.
13
Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi
Interpretatif (AFI) atau Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). IPA dalam
Smith dan Osborn (2009:97-99) bertujuan untuk mengungkap secara detail
bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya. Sasaran
utamanya adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, status yang dimiliki oleh
partispan. Juga berusaha mengeksplorasi pengalaman personal serta
menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang
objek atau peristiwa. IPA berusaha memahami secara “seperti apa” dari sudut
pandang partisipan untuk dapat berdiri pada posisi mereka. “Memahami” dalam
hal ini memiliki dua arti, yakni memahami-interpretasi dalam arti mengidentifikasi
atau berempati dan makna kedua memahami dalam arti berusaha memaknai. IPA
menekankan pembentukan-makna baik dari sisi partisipan maupun peneliti
sehingga kognisi menjadi analisis sentral, hal ini berarti terdapat aliansi teoritis
yang menarik dengan paradigma kognitif yang sering digunakan dalam psikologi
kontemporer yang membahas proses mental.

D. Fenomenologi sebagai Cabang Filsafat


Liliweri (dalam Sobur, 2013 : vi-viii) menjelaskan bahwa fenomenologi
sebagai cabang filsafat telah diperbincangkan dalam tradisi filsafat kontinental di
Eropa pada sebagian besar abad ke-20. Para perintis seperti Huserl dan sejumlah
nama lain mengklaim bahwa bagaimanapun keberadaan fenomenologi, meskipun
memiliki ide yang berbeda-beda, tetap bersumber dari dan berkaitan dengan
disiplin kunci filsafat seperti metafisika, epistemologi, logika, dan etika.
Pertama, cabang pertama dari Hegel, fenomenologi merupakan suatu
pendekatan filsafat yang dimukai dengan eksplorasi fenomena (yang
terrepresentasikan sebagai pengalaman sadar kepada kita) sebagai sarana yang
membuat kita pada akhirnya memahami sesuatu yang mutlak logis, bahkan
menjadikannya sebagai spirit ontologis dan metafisika yang berada di balik
sebuah fenomena. Cabang fenomenologi ini disebut sebagai fenomenologi
dialektis. Karena fenomenologi berlangsung melalui beberapa dialektika yang
mewakili pola pikir yang berbeda atau tergantung pada interpretasi kita masing-
masing.
Kedua, cabang kedua dari Edmund Husserl dimana fenomenologi sebagai
suatu pendekatan filsafat yang mengambil pengamalan intuitif fenomena (apa

14
yang terpresentasi kepada kita sebagai bentuk refleksi fenomenologis) dijadikan
sebagai titik awal dan sekaligus dari sana pula kita mengekstrak esensi
pengalaman orang lain. Fenomenologi ini disebut fenomenologi transendental.
Ketiga, Martin Heidegger mengemukakan bahwa fenomenologi membuat
kita harus bergerak dari sekadar dunia makhluk ke arah tertentu untuk menangkap
apa yang berada di balik kehidupan makhluk tersebut, atau yang disebut
fenomenologi eksistensial. Melalui fenomenologi eksistensial ini, kita merangkul
pengalaman nyata dan konkret dari orang lain. Pada konteks ini, fenomenologi
merupakan upaya untuk mendapatkan pengalaman subjektif yang sesugguhnya,
menemukan sifat asli, menemukan tujuan dan sebuah pengalaman, atau
menemukan fokus yang menunjukkan hubungan antara peristiwa dan orang, dll.
Sebagai peletak dasar metode fenomenologi, Edmund Husserl memakai
fenomenologi sebagai suatu analisa deskriptif serta introspektif mengenai
kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung: religius,
moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Bagi E. Husserl, perhatian filsafat
hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Lebenswelt (dunia kehidupan)
atau Erlebinisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya
menekankan ciri intensional yang terdapat pada kesadaran, tanpa mengandaikan
berbagai praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi sebagai filsafat, menurut Husserl memberi pengetahuan yang
perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia
menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan
demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda
itu sendiri. Dan ini justru karena benda itu sendiri merupakan objek kesadaran
langsung dalam bentuknya yang murni.
Jadi, hakikat kebenaran bagi metode fenomenologi bertitik tolak pada
peniadaan dualitas subjek-objek, dan khususnya diterapkan pada ilmu-ilmu sosial
dan humoniora, juga didasari oleh sifat-sifat khas objeknya. Secara fenomenologis
diakui adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan dunia dan
sesamanya sebagai suatu totalitas, sehingga sebagai konsekuensi logisnya
terdapat beberapa unsur yang membuat manusia memiliki kesamaan dengan
dunia diluarnya, yaitu unsur-unsur biotis dan fisis, serta ada pula unsur yang
membuat manusia mengatasi determinasi dunia meterial di luarnya, yakni akal
dan jiwanya.

15
Dengan demikian suatu usaha untuk mencari kebenaran tentang manusia
sebagai objek ilmu ditentukan juga oleh pemahaman terhadap unsur-unsur yang
terkandung di dalam dirinya. Sehingga kualitas kebenaran yang dicapai manusia
tidak hanya bergantung pada tingkat pengertian dari pihak subjek terhadap
kenyataan, seperti pengertian inderawi, naluriah atau (sekedar) rasional, tetapi
pemahaman akan kenyataan bersama kebenarannya tersebut tergantung dari
pilihan taraf yang ingin dipahami. Misalnya pendidikan orang muda dapat
dipandang dari sudut dorongan psikologis, segi humanistik atau dari segi religius.
Masing-masing segi pemahaman otentik akan tetapi yang satu lebih parsial
daripada yang lain. Masing-masing segi pemahaman tersebut merupakan bagian
dari struktur pemahaman yang luas, dan masing-masing menyumbang kepada
pemahaman yang lebih menyeluruh.
Pendekatan fenomenologis terhadap kriteria kebenaran berakar pada
pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa pengetahuan yang paling benar
dan paling luhur tercapai apabila si pengenal dan apa yang dikenal identiksatu
sama lain dalam pengetahuan yang semakin sempurna. Kemudian dengan
melewati Agustinus dan Anselmus, sampai kepada Husserl dan Scheller
diformulasikan bahwa kebenaran adalah penyamaan akal dengan realitas dalam
bentuk keterarahan tiada henti dan tak terlepas dari indera.
Artinya, kriteria kebenaran fenomenologis adalah sintetis tiada henti
antara “sudah tahu ” dan “belum tahu”; maka kebenaran pengetahuan sesuai
tradisi fenomenologis terletak pada “apa yang kusadari sebagai subjek
pengetahuan”. Hal ini dicatat oleh Verhaak bahwa kebenaran adalah kenyataan
adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal. Pengalaman tentang
kebenaran itu dialami akal si pengenal dalam kesamaan dengan kenyataan objek
yang menampakkan diri kepadanya. Karena kesamaan itu memang dicari dan
dikejar namun belum tentu tercapai, maka menurut pengalaman manusia si
pengenal, kebenaran itu tanpa hentinya mewujudkan diri sambil ditentukan dari
luar tanpa pernah mencapi kesamaan yang sempurna. Kedudukan kebenaran lalu
terletak baik pada apa yang dikenal maupun siapa yang mengenal, atau lebih
tepat lagi dalam relasi di antara keduanya.
Lebih khusus lagi, kriteria kebenaran seperti di atas dalam penerapannya di
bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora memiliki sifat yang lebih dinamis, sebab
sudah menjadi kecenderungan yang khas manusiawi bahwa subjek pengenal

16
berkeinginan untuk maju terus tanpa henti dan tanpa batas. Di samping itu juga
didasari bahwa objek –manusia– bukanlah semata-mata fakta
yang operable begitu saja demi hasrat untuk memperoleh penjelasan tentang
tingkah lakunya, dengan semata-mata berdasarkan ikhtisar hipotesis, hukum dan
teori, tetapi objek adalah juga identik dengan subjek yang terlibat dalam kerja
penelitiannya. Hal ini lalu berimplikasi pada jenis cara kerja yang dilakukan, yaitu
tidaklah memadai andaikata fakta-fakta kemanusiaan dijelaskan semata-mata
berdasarkan hukum sebab akibat (causal explanation) yang bersifat linier. Fakta-
fakta yang terdapat dalam objek penelitian haruslah diamati pula berdasarkan
kemampuan yang ada dalam diri subjek peneliti; sehingga hasil penelitiannya
mampu mengungkapkam makna yang terkandung dalam fakta itu.
Dengan mengacu pada Heidegger, cara kerja yang dilakukan adalah
hermeneutik fenomenologis, seperti oleh Ricoeur dan Levinas; yaitu agar Das
Sein keluar dari ketersembunyiannya dengan didasari oleh seinsverstandnis
(pemahaman tentang being) sebagai hakekat berfikir. Kriteria kebenaran seperti di
atas membawa konsekuensi logis terhadap kualifikasi objektifitas dan sifat
kepastiannya. Kualifikasi objektifitasnya secara jelas berbeda dengan ilmu-ilmu
kealaman, sebab subjek peneliti tidak terletak di luar objek. Objektifitas seperti
yang dituntut dalam ilmu-ilmu kealaman yang menekankan “pengamatan murni”
prasangka, mustahil diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial dan humanioran, karena
manusia (peneliti) tidak bisa sama sekali meninggalkan dirinya. Demikian juga
halnya, sifat kepastian yang eksak dalam ilmu-ilmu kealaman juga tidak bisa
diterapkan. Sifat kepastiannya ditentukan berdasarkan taraf evidensi objek yang
dikenal (diteliti). Evidensi dan kepastian dilihat dari sudut kesatuan subjek-objek
dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Sebab makin dekat bidang
ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin besar kesatuan subjek
dan objek makin besar pula peranan subjek, dalam kesatuan yang dinamis itu.

E. Fenomenologi sebagai Metodologi Penelitian

17
Fenomenologi sebagai metode, demikian Dreyfus and Wrathall (2006)
berkenan dengan keyakinan Husserl bahwa filsafat seharusnya menjadi ilmu yang
ketat atau rigorous. Maksud dari ilmu yang ketat adalah bahwa filsafat dapat
menjernihkan semua jenis dan bentuk kesadaran. Penjernihan kesadaran
dimungkinkan apabila penemuan struktur umum dari semua perilaku mental
terjadi.
Sebagai metode, fenomenologi mengajukan tawaran penjernihan kesadaran
ini dalam tehnik pemahaman langsung akan kesadaran yang tidak lain adalah
kesadaran intensional. Perilaku intensional, kata Husserl, memiliki suatu struktur
pengertian melalui mana pikiran dapat secara langsung terarah kepada objek.
Menurut Moustakes sebagaimana dikutip Liliweri (dalam Sobur, 2013 : ix),
metodologi yang mendasari fenomenologi mencakup empat tahap yakni:
1) Bracketing
Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dengan “menunda” setiap
keyakinan dan opini yang sudah terbentuk sebelumnya tentang fenomena
yang sedang diteliti. Dalam hal demikian, seorang peneliti akan diberikan
peluang untuk berusaha kembali seobjektif mungkin dalam menghadapi data
tertentu.
2) Intuition
Intuition terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk mengkaitkan
makna-makna fenomena tertentu dengan orang-orang yang telah
mengalaminya. Intuisi mengharuskan peneliti kreatif berhadapan dengan data
yang sangat bervariasi, sampai pada tingkat tertentu memahami pengalaman
baru yang muncul. Bahkan intuisi mengharuskan peneliti menjadi seseorang
yang benar-benar tenggelam dalam fenomena tersebut.
3) Analysing
Analysing melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial, dan selektif),
kategorisasi sehingga membuat sebuah pengalaman mempunyai makna yang
penting. Setiap peneliti diharapkan mengalami “kehidupan” dengan data akan
di deskripsikan demi memperkaya esensi pengalaman tertentu yang
bermunculan.

4) Describing
Yakni menggambarkan. Pada tahap ini peneliti mulai memahami dan dapat

18
mendefinisikan fenomena menjadi “fenomenon” (fenomena yang menjadi).
Langkah ini bertujuan untuk mengkomunikasikan secara tulis maupun lisan
dengan menawarkan suatu solusi yang berbeda.

Karena itu, sebagai sebuah metode, fenomenologi membangun karakter


yang oleh Embree (1998) sebagaimana dikutip Pawito (2008 : 56-58), diidentifikasi
meliputi empat hal sebagai berikut. Pertama, fenomenologi pada dasarnya
menolak pandangan filsafat positivisme, terutama naturalisme. Hal mana, aliran
filsafat naturalism pada dasarnya menganjurkan agar dalam dunia ilmu hanya
diberlakukan satu metodologi, yakni metodologi yang lazim digunakan dalam ilmu
alam (natural science). Dengan kata lain naturalism mendesak agar metode
kuantitatif dijadikan model dan diterapkan juga dalam disiplin ilmu-ilmu social dan
ilmu perilaku. Menolak pandangan demikian, kalangan fenomenologis lebih jauh
berpendapat bahwa persoalan sosio-historis dan kultural pantas menjadi fokus
kajian dalam ilmu-ilmu social, dan demikian lalu kecenderungan reduksionis
seperti tampak jelas dalam paradigma pendekatan kuantitif harus dihindari.
Kedua, fenomenologi pada saat yang sama juga menolak pemikiran
spekulatif (speculative thinking) serta kecenderungan bertumpu pada segi-segi
bahasa semata. Bagi kalangan fenomenologis, pengetahuan selayaknya
didasarkan pada apa yang Embree katakan sebagai intuisi atau penglihatan
mengenai persoalan-persoalan yang dipikirkan itu sendiri.
Ketiga, kalangan fenomenologis menyarankan suatu metode reflektif
berkenaan dengan proses kesadaran dengan memberikan penekanan pada
persoalan bagaimana dan/atau untuk tujuan apa proses-proses kesadaran
termaksud digunakan. Keempat, fenomenologi cenderung menggunakan analisis-
analisis yang mengarah pada penggambaran serta pemberian makna-makna atas
gejala yang diteliti.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya maka dapatlah dikatakan bahwa
fenomenologi menganggap pengalaman yang aktual sebagai data tentang realitas
yang dipelajari. Tampak bahwa esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah
pendekatan kualitatif terhadap gejala dan/atau realitas yang diteliti. Berbeda
dengan kalangan positivis yang biasa bekerja meneliti dengan mengemukakan
hipotesa-hipotesa tentang realitas dan kemudian melakukan pengamatan untuk
membuktikan apakah hipotesa yang bersangkutan benar. Hal ini terutama

19
disebabkan oleh karena kalangan fenomenologis berkeyakinan bahwa
pengalaman itu bersifat subjektif, bukan objektif.

F. Penutup

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, dapatlah disimpulkan bahwa fokus
utama fenomenologi terletak pada bagaimana kita sebagai manusia memberikan
makna terhadap pengalaman (phenomenon). Karena itu isu utama dalam
memahami fenomenologi yakni sebagai filosofi atau sejarah atau cabang dari
filsafat yaitu fenomenologi dialektis, transendental, dan eksistensial. Selain itu,
fenomenologi juga sebagai metodologi penelitian.

Sejalan dengan berkembangnya semua bidang ilmu pengetahuan,


nampaknya pendekatan fenomenologi dalam penelitian kualitatif semakin
mendapat momentum yang tepat. Upaya untuk menemukan kejelasan substansi
dalam setiap kajian bidang ilmu mulai dirasakan, sehingga tampak ada gerakan
metodologis yang radikal untuk kembali mempersoalkan dimensi ontologi,
epistemologi, aksiologi. Pada kesempatan yang lain, juga terjadi upaya untuk
merekonstruksi bidang ilmu juga sekaligus mengembalikannya ke dalam kajian
ilmu dasar, dengan demikian kajian dimensi keilmuan menjadi sangat penting dan
mencakup paradigma ilmu itu sendiri.

20
Daftar Pustaka

Bagis, Zainal Abidin., dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi.
Bandung: Mizan Pustaka.

Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Depdiknas. 2003., Kamus Besar Bahasa Indonsia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media
Pratama.

Monteiro, Josef M. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan: Perjuangan Membentuk


Karakter Bangsa. Yogyakarta: Deepublish.

Semiawan, C. dkk. 2005. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu


Sepanjang Zaman. Jakarta : Mizan Publika.

Poedjiadi. 2001., Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan


Cendrawasih.

Sobur, Alex. 2013. Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi.


Bandung: Remaja Rosdakarya.

Susriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta,1997

Smith, Jonathan A., Flowers, Paul., and Larkin. Michael. 2009. Interpretative
phenomenological analysis: Theory, method and research. Los
Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington: Sage.

Smith, Jonathan A. (ed.). 2009. Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset.
Terjemahan dari Qualitative Psychology A Practical Guide to Research
Method. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wattimena, Reza A. A., 2008. Filsafat & Sains: Suatu Pengantar. Jakarta:
Grasindo.

21

Anda mungkin juga menyukai