Anda di halaman 1dari 17

Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu

Oleh Husnan Sulaiman, S. Pd. & Munasir, S.Pd.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari
peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu
sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu.
Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah
perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern
dan zaman kontemporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak
terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur
penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak
sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah
disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan transportasi,
pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan
mendapat sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini
dapat kita temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu
bahwa ilmu kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan
terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan
pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam
hal inilah penyebutan “potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi
diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
tak pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu
kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan
pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia,
karena pengetahuan adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah
sebagai differentia (atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,
yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya
dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa
ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin
diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan
dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu
benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu
diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena
pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke
alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau
ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan
epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan
pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang
ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat
dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema :
“Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi
yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?


2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
4. Bagaimana hubungan antara ketiga landasan tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna landasan ontologi


2. Untuk mengetahui makna landasan epistemologi
3. Untuk mengetahui makna landasan aksiologi
4. Untuk mengetahui hubungan ke tiga landasan tersebut

D. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian
pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sestematika penulisan; BAB II Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan
epistemologi, landasan aksiologi dan hubungan ke tiga landasan tersebut dalam
filsafat ilmu. BAB III berisi tentang kesimpulan, yang memaparakan makna dan
kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan dalam suatu pengkajian ilmu,
yakni; Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

BAB II
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU

A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang
ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran
Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang
paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya
perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi
persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?
Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama,
kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang
mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan
sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being,
dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah ,
sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan
logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata
secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori
yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat
dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori
mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya
akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.
Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan
teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan
tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber
asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada
hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam
dua aliran:
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa
zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi,
yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri.
Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan
salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga
memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:

 Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba,
biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
 Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang
abstrak.
 Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.

Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih
menonjol dalam peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi.
Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa
yang merupakan haklekat adalah benda.

b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang
hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis
dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau
sebangsanya adalah:

 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi
kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya.
Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang
ada energi itu saja.
 Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM)
dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada
idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati
ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah
yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi
maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya
ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan
menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil
misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya.
Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya
badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan
spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650
M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu
dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

3.Pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk
itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada
itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern
aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth
James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.

4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya
adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari
keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani
dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi.
Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya
moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak
dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri
harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan
transvaluasi semua nilai.
5. Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air,
api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas
dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya
maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya
orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan
yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal
adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui
dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar,
Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal
dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak
pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini
mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.

B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara
etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan
logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas)
pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”,
sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya
ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan
ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan
sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model
epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis,
positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal
lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang,
bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan
mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-
kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah
teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-
teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari
apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda
harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah
dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik
buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah
yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang
ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya,
dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan
negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama
berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan
kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-
nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam


Filsafat Ilmu
Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan
gambaran yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini
dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya
matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan
[science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah
keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah
peranan logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut
metode penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang
menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk
dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling
sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran
tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
[knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan
abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa" dan
"Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah pemikiran
itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui
oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti
berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah
menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada
pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan
“kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang
ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change],
“tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ”
Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu
diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek
dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau
apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian
yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan
mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia
dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut
membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu
adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang
bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan
abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam
sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau
"mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa
keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi
diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan
untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik kenyatan-
kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat
diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan
transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi]
mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah
yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu
mempunyai keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat
dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap
obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan
keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu.
Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari
suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian
memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang
sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat
tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung
maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu
hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar
mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai
konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.

b. Landasan Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai
pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology
menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun
sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin
secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan
cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten
dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan
melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran
pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah kriterianya ?
- Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu ?
Inilah kajian epistemologi
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap kegiatan
dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek
empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode
keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi
atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan
menurut persyaratan keilmuan.

c. Landasan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika
nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia
dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan
dipergunakan secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan :
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
- Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi
terhadap hasil akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan
untuk memberikan hasil yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan
kemaslahatan bagi umat manusia.

BAB III
KESIMPULAN

Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat
yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara
mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam
menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal.
Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori
hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa
hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya,
bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu
terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan
dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika).
Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan
kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu
sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara
komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya
dan metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk
dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke
tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian
kajian hakekat kebenaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia


H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT
Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta :
Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat.
[Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm
[4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai