Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FILSAFAT ILMU

PERSOALAN-PERSOALAN POKOK DALAM FILSAFAT ILMU


SEBAGAI LANDASAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh :
Mamduh Aufan Nada
NIM : 80300221033

Dosen Pengampu :
Dr. Sulaiman Saat, M.Pd.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA MAGISTER (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
1443 H / 2022 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah (jawaban dari pertsanyaan mengapa hal ini

penting dibahas ?

Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara

dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat

sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama

sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah

ontologi (apa yang menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara mendapatkan

ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada,

yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan

kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, dan tata cara untuk menggunakannya

dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Adapun aksiologi

adalah nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar

normatif dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Adapun ruang

lingkup filsafat ilmu meliputi :

a. Komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu;

b. Sifat dasar ilmu pengetahuan;

c. Metode ilmiah;

d. Anggapan-anggapan ilmiah;
e. Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. (apakah ini pendapat

saudara) ?

Filsafat bertugas memberi landasan filosofik untuk memahami berbagai

konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. 1 Secara substantif, fungsi pengembangan

tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat

menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis diharapkan dengan dibantu

metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep

tesis dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana telah disebutkan di

atas, berikut ini dikemukakan rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimanakah pengertian ontologi dan apa saja persoalan-persoalan pokok yang

dibahas di dalamnya?

2. Bagaimanakah pengertian epistemologi dan apa saja persoalan-persoalan pokok

yang dibahas di dalamnya?

3. Bagaimanakah pengertian aksiologi dan apa saja persoalan-persoalan pokok yang

dibahas di dalamnya?

1
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001),
h. 49-50.
BAB II

PEMBAHASAN

A. ONTOLOGI

1. Pengertian Ontologi

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan

berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat

konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal

seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum

membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai

filosof yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi

terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting

ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu

substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti

sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok

filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada

menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada

manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang

menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. 2 Ontologi dapat pula


2
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 44.
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu

atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca

indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata

lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang

berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini

didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua

being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud. Sumber ?

Obyek telaah ontologi adalah “yang ada”. Studi tentang yang ada, pada

dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah

ontologi banyak digunakan ketika kita membahas “yang ada” dalam konteks

filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu

perwujudan tertentu. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap

kenyataan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal

dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh

Jujun S. Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau

dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.3

2. Persoalan-Persoalan Pokok Yang Dibahas Di Dalam Ontologi

Obyek telaah ontologi adalah “yang ada” studi tentang yang ada, pada

dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah

3
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003), h. 34-35.
ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks

filsafat ilmu.

Ontologi sebagai cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang

hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “Apa

sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau

tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran

dalam filsafat, antara lain:

a. Filsafat Materialisme

b. Filsafat Idealisme

c. Filsafat Dualisme

d. Filsafat Skeptisisme

e. Filsafat Agnostisisme

Pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat ilmu mencakup

tiga segi, yaitu :

a. Logika (Benar-Salah)

b. Etika (Baik-Buruk)

c. Estetika (Indah-Jelek)

Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348

SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini

mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep

universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda

mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang
ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang,

baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau

konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua

manapun di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut

Plato adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain,

idea manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat

universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-

perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.

Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang

merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu

berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita

lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. Karena

itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda

yang dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.

Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430 M).

Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa

dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia

mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa

yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia

mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang

tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal

dalam usahanya mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah
kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.

Sumber ?

Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara

menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris

(misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu

teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai cabang filsafat ilmu yang

membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas

pertanyaan “Apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud

penampakannya atau tidak?”. Sumber ? Dari teori hakikat (ontologi) ini

kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:

a. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa

aliran, yaitu :

1) Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental.

Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya

yang tidak dapat diketahui.

2) Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang

masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang)

dan dunia intelek (dunia ide).

3) Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu

substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat

kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah. Sumber ?

b. “Keberadaan” dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu :


1) Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan

yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh

alam.

2) Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal

yang nyata kecuali materi.

c. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan,

menimbulkan beberapa aliran, yaitu :

1) Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa

dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).

2) Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian

alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada

sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.

3) Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya

dijelaskan secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak

hidup.

4) Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme,

hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki

bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya

sistem yang teratur. Sumber ? dan analisis Anda

B. EPISTEMOLOGI

1. Pengertian Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, dengan asal kata

episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Secara etimologi,

epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan

adalah cabang filsafat ilmu yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup

pengetahuan, tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan. 4

Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat

mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof

pertama di alam tradisi Barat, (misalnya ....) tidak memberikan perhatian pada

cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan

kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.

2. Persoalan-Persoalan Pokok Yang Dibahas Di Dalam Epistemologi

Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu itu, dari mana

sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan

batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan

kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada

murid-muridnya.5 Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian

Epistomologi di antarannya :

a. Epistemologi adalah cabang filasafat ilmu yang menengarai masalah-masalah

filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.

4
Usiono, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 58.
5
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan, (Surabaya:
Pancasila Usaha Nasional, 2011), h. 32.
b. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang

terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode

atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan

(ilmiah).

c. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat ilmu yang membicarakan

tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan

atau kebenaran pengetahuan.

d. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-

sumber pengetahuan, dan ruang lingkup pengetahuan. Sumber ?

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-

kepentingan yang berbeda, mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan

seperti :

a. Dari manakah saya berasal?

b. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?

c. Apa hakikat manusia?

d. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?

e. Mana pemerintahan yang benar dan adil?

f. Mengapa keadilan itu ialah baik?

g. Pada derajat berapa air mendidih?

h. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Sumber ?

Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa

ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada

dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui

sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari

bahwa :

a. Hakikat itu ada dan nyata;

b. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;

c. Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;

d. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal

dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya,

dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia. Sumber ?

Di bawah ini adalah beberapa metode agar dapat memperoleh

pengetahuan :

a. Metode Empiris

Empirisme adalah suatu cara atau metode yang mendasarkan cara

memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak

Empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan,

akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku

catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,

seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta

memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi

yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Sumber ?


Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan, yang

secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua

pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada

pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan

sebagai atom-atom yang menyusun obyek-obyek material. Apa yang tidak

dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah

pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal

yang faktual.

b. Metode Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada

akal. Bukan karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan

pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.

Para penganut Rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di

dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran

mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk

kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan

hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Metode Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian

tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya

sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam

bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan


penalaran. Karena itu, kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang

barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu

seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala

(phenomenon). Bagi Kant, para penganut Empirisme benar bila berpendapat

bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman -- meskipun benar

hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut Rasionalisme juga benar, karena

akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta

pengalaman.

d. Metode Intuisionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui

secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari

dalam dirinya sendiri pada saat ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif

muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran manusia. Mengenai proses

terjadinya, manusia itu sendiri tidak menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri

hasil penghayatan pribadi sebagai hasil ekpresi keunikan dan individualitas

seseorang.

Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk

memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan

pengamatan indra. Dalam filsafat paham ini bertujuan agar manusia dapat

memperoleh kebenaran yang hakiki. Menurut kaum Intuisionisme, dengan


intuisi kita akan mengetahui dan menyadari diri kita sendiri, mengetahui

karakter perasaan orang lain dan motif orang lain.6

e. Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan manusia

untuk memperoleh pengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkanpun akan

berbeda-beda seharusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut

dengan intuisi. Pengetahuan yang lewat ini bisa diperoleh dengan cara seperti

yang dilakukan Imam Al-Ghazali. Intuisi dalam tasawuf disebut dengan

ma'rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan

penyiaran. Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma'rifah

yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang

paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat

individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu

pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.7

f. Metode Dialektis

Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab

untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates.

Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap

logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga

analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam

6
Usiono, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Penerbit Perdana Publishing, 2006), h. 57.
7
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2001), h. 32.
metode peraturan, juga analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang

terkandung dalam pandangannya.

Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk

melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan, ini merupakan bentuk

pemikiran yang tidak terasa dan satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam

percakapan. Berdebat paling kurang dua pendapat. Hegel menggunakan

metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu. Menurut

Hegel, dalam realitas ini berlangsung dialektika.

Ada juga beberapa teori yang dapat dijadikan acuan apakah pengetahuan

itu benar atau salah, yaitu : (misalnya a,b, karena msih masih banyak alirsan

tentang hal itu).

a. Teori Korespondensi

Menurut teori ini, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan

situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dan

pemikiran dengan situasi lingkungannya.

b. Teori Koherensi

Menurut teori ini, kebenaran bukan persesuaian antara pemikiran dan

kenyataan, melainkan persesuaian secara harmonis antara pendapat atau

pikiran kita dengan pengetahuan yang telah kita miliki. Sumber ?

Jenis-jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Filsafat
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan

ini tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun

ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak

dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis

hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis

Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu

ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya

sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga

mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun

ensiklopedi besar Al-Qanun fi Al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang

mengarang Kitab Al-Syifa’.

Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri

berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai

ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu

menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-

hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke

akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang

ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.

Obyek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak

terbatas. Filsafat mempelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih

luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat

tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia
(mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian obyek filsafat telah

diambil alih oleh sains, yakni obyek-obyek yang bersifat empiris.

b. Agama

Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Obyek agama dalam

banyak hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis.

Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti

filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas :

hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, obyek pokok dari agama

adalah etika, khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.

Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi

atau metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang

diberikan kepada Nabi, dan kita memperolehnya dengan jalan percaya bahwa

Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru

berpikir. Kita boleh mempertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan

mempercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-

ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu

tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan

agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan

jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof

sangat mempengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan

agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat
Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya

berbeda atau bertentangan dengan agama.

Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia?.

Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan

pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi

atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan

menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna

itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan

setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Al-Qur'an, obyek iman yang paling

banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah

dan hari kemudian). Sumber ?

c. Sains

Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan,

atau pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized

knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific

method). Sains mempelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam

lingkup pengalaman empiris manusia. Obyek sains terbagi dua, yaitu obyek

material dan obyek formal. Obyek material terbatas jumlahnya dan satu atau

lebih sains bisa memiliki obyek material yang sama. Sains dibedakan satu

sama lain berdasarkan obyek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki

obyek material yang sama, yakni masyarakat. Namun obyek formalnya beda.
Sosiologi mempelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi

mempelajari masyarakat dalam budaya tertentu. Sumber ?

Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok,

yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Ilmu-ilmu alam mempelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar

dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi,

geologi, dan lain-lain) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dan

lain-lain). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak

sekali. Sumber ?

Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa

diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan

keunggulan rasionalisme dan empirisme, kekuatan logika deduksi dan induksi,

serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik.

Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris.

Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode

yang jelas. Bagi kaum positivisme, sains juga bersifat obyektif, artinya

berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya

teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim

obyektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan. Secara ringkas, metode

ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut :

1) Menemukan dan merumuskan masalah.

2) Menyusun kerangka teoritis.


3) Membuat hipotesis.

4) Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dan lain-lain).

5) Menarik kesimpulan. Sumber ?

Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar

dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali

dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan

lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa

juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper,

falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori

dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan

adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika

dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat

kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu

salah.

Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama

untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu

manusia dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh

dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal,

memperkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori.

Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan memperkirakan apa yang akan

terjadi. Dari perkiraan itu, kita mempersiapkan langkah-langkah yang perlu


dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu

merugikan atau menguntungkan.

C. AKSIOLOGI

1. Pengertian Aksiologi

Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno,

terdiri dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi,

aksiologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang mempelajari nilai. Aksiologi

mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal ini aksiologi berkaitan dengan

kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan bidang

kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai substansif dan

standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan perilaku

sosial. Demikian pula etika merupakan penentuan perilaku yang baik, masyarakat

yang baik dan kehidupan yang baik.8

2. Persoalan-Persoalan Pokok Yang Dibahas Di Dalam Aksiologi

Dewasa ini, ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang

mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi

merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun

bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan

perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia

mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
8
Usiono, Pengantar Filsafat Pendidikan, op. cit., h. 62-63.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya

mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan hal-hal yang

bersifat seharusnya :

a. Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?

b. Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan?

c. Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?

d. Apakah ilmu itu bermanfaat bagi manusia itu sendiri? Sumber ?

Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan

seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya, namun bagi ilmuwan

yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia

dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-

pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka

ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.

Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh

manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa

ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam

mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dengan mempelajari atom kita dapat

memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga

dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan


meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu

dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.9

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan

masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika

Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan

menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan

sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah

interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang

berkonotasi metafisik. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam

sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu

mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam

ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, di antaranya adalah agama. Timbullah

konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada

pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh

pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi

berputar mengelilingi matahari. Sumber ?

Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela

mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap

benar. Peradaban telah menyaksikan Socrates dipaksa meminum racun dan John

Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini, kemanusiaan tak pernah urung

9
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2000), h. 91.
dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral, maka ilmuwan

mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara

rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini

berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.10

Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia

tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu

terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal

ini, akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membantu

mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat

ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya

dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu

merupakan hasil kebudayaan manusia, di mana lebih mengutamakan kuantitas

yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subyektif yang berhubungan

dengan keinginan pribadi, sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan

mementingkan dirinya sendiri.

Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai

batas tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu

memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar

dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan

teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia

bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan
10
Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 34-35.
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,

pendidikan, dan komunikasi.

Jadi pada dasarnya, apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini

adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang

berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan

tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah

berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural

yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah

hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu

sendiri. Oleh karena itu, dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga

mempunyai efek negatif dan destruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma

untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak

bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak

yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk

meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika

adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar, atau salah. Hal ini

bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan

tatanan konsep yang melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa jika sesuatu

tidak dijalankan, maka akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi

manusia.
BAB III

KESIMPULAN

Sebagai akhir dari pembahasan dalam makalah ini, penulis kemukakan

kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu

yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat

yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata

hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada

alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan

tertib dalam keharmonisan.

2. Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang

berarti teori. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan.

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat ilmu yang berurusan

dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, tentang asal, struktur, metode,

serta keabsahan pengetahuan.

3. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.

Jadi, aksiologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang mempelajari nilai.

Aksiologi mempelajari tentang hakikat nilai.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2001).

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2003).

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan,


(Surabaya: Pancasila Usaha Nasional, 2011).

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2001).

Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 2000).

Usiono, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Penerbit Perdana Publishing,


2006).

Usiono, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006).

Anda mungkin juga menyukai