Anda di halaman 1dari 8

1.

1 Definisi dan Sejarah Filsafat

Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia, yang berasal dari kata Philein yang
berarti mencintai, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti “cinta akan
kebijaksanaan” (Dharmodiharjo D, 2006). Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan
filsafat disebut “filusuf” atau “filosof”, artinya pencinta kebijaksanaan. Sokrates (470-399
SM) memberi arti filsafat dengan tegas, yaitu pengetahuan sejati, terutama untuk menentang
kaum Sofis yang menanamkan dirinya para bijaksana (sofos). Filsafat adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar (Wardhana, 2016). Adapun definisi lainnya ialah filasafat merupakan usaha
spekulatif yang rasional, sistematik dan konseptual untuk memperoleh pengetahuan atau
pandangan yang selengkap mungkin mengenai realitas (kebenaran). Tujuannya adalah untuk
mengungkapkan atau menggambarkan dengan kata-kata, hakekat realitas akhir yang
mendasar dan nyata. Bisa juga sebagai ikhtiar untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (holistic dan comprehensive), sebagaimana
yang tampak dari kegiatan filosofis yang mencari sumber, hakikat, keabsahan dan nilai-nilai
pengetahuan apapun.
Filsafat adalah wacana tempat berlangsungnya penelusuran kritis terhadap berbagai
pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan. Filsafat dapat
dipandang sebagai tubuh pengetahuan yang memperlihatkan lepada kita apa yang kita
katakan, dan mengatakan kepada kita apa yang kita lihat. Filsafat umumnya sibuk
menanyakan serta menelusuri makna dan penyebab dasar dari berbagai pengetahuan tanpa
mengenal batas apapun, baik batas alamiah, apalagi batas buatan manusia, seperti batas
ruang, waktu, agama atau kepercayaan, adat istiadat, etnik, ilmu, dan hal-hal lainnya.
Penalaran filosofis yang dimaksud adalah penalaran yang selalu mengandung ciri-ciri skeptis
(meragukan), menyeluruh (holistik, komprehensif), mendasar (radikal), kritis, dan analitis.
Filsafat adalah upaya manusia untuk menemukan kebenaran hakiki melalui cara berpikir
yang sistematis, komprehensif (menyeluruh, meluas), dan radikal (sampai ke akar-akarnya).
Melalui berfikir filsafati, diharapkan manusia menjadi lebih mampu bersikap.
Pada saat awal munculnya filsafat, corak dan sifat dari pemikirannya bersifat mitologik
(keterangannya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya
demitologisasi oleh para pemikir naturalis seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-

1
528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta
banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Sejak abad 5M, pemikiran filsafat beralih kearah manusia
dengan kemampuan berpikirnya, masa ini dikenal dengan masa filsafat modern. Masa ini
dikenal dengan sederet filosof seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Pada ahirnya filsafat
berkembang dalam ruang lingkup yang semakin luas serta dengan beraneka ragam
permasalahan. Pemikiran filsafati pada masa itu diartikan sebagai bermacam-macam ilmu
pengetahuan, hal ini dapat dinyatakan dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa
filsafat adalah segala sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan atas dasar akal pikiran.
Ketika itu membagi filsafat menjadi ilmu pengetahuan teoritis, dan ilmu pengetahuan praktis.
Seorang filusuf dipandang cendikiawan jika orang tersebut cinta dan ingin selalu berpikir
dengan kebijaksanaan (Wardhana, 2016).

1.2 Cabang dan Aliran Filsafat Ilmu

Dilihat dari kriteria dan sifat berfikir filsafat, maka filsafat dapat dibedakan dalam dua jenis
pengertian. Pertama, filsafat sebagai reflective thinking, artinya filsafat sebagai aktivitas pikir
murni, kegiatan akal pikir manusia dalam usaha mengerti secara mendalam atas segala
sesuatu. Dalam hal ini filsafat merupakan suatu daya atau kemampuan berpikir yang tinggi
dari manusia dalam usaha memahami kesemestaan. Kedua, filsafat sebagai produk kegiatan
berpikir dan terbentuk dalam suatu disiplin ilmu. Hal ini berarti telah terbentuk dalam
perbendaharaan yang terorganisasi dan telah memiliki sistimatika tertentu. Seiring dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat, filsafat kemudian berkembang dan melahirkan tiga
cabang besar dan sekaligus sebagai objek kajiannya. Ketiga cabang pemikiran filsafat itu
adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dari ketiga cabang filsafat ini kemudian
berkembang lagi dan masingmasing melahirkan cabang tersendiri. Berikut penjelasan ketiga
cabang filsafat tersebut dan perkembangannya (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM) Menurut
Suriasumantri JS menyatakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi objek kajian filsafat
mencakup tiga segi, yakni logika (benar-salah), etika (baik-buruk) dan estetika (indah-jelek),
kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian
lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.

2
D. Runes dalam The Dictionary of Philosophy (1963) membagi filsafat dalam tiga cabang
utama, yaitu: ontology, epistemology dan aksiologi. Ontologi adalah cabang filsafat yang
menyelidiki tentang keberadaan sesuatu. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang asal, syarat, susunan, metode dan validitas pengetahuan. Aksiologi adalah cabang
filsafat yang menyelidiki tentang aksiolog hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan metafisis
(keberadaan) suatu nilai.
Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
memiliki ketiga landasan ini, yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana
landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan
maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya
jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Suriasumantri JS, 2007).
Dalam kaitannya dengan cabang filsafat yang telah penulis sebutkan sebelumnya, bentuk
pertanyaan terkait dengan keilmuan yang menerapkan ilmu tersebut dapat dicontohkan
sebagai berikut, pertanyaan seputar ontologi akan meliputi objek apa yang ditelaah oleh ilmu
tersebut? apa wujud nyata dari ilmu tersebut?. Pertanyaan seputar epistemologi akan meliputi
bagaimana proses yang memungkinkan agar kita dapat menimba ilmu? bagaimana
prosedurnya?. Pertanyaan seputar aksiologi akan berupa untuk apa ilmu itu dipergunakan?
bagaimana mengaitkan penerapan ilmu tersebut dengan nilai moral di masyarakat?
Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat
mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan
mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa
mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar, maka bukan saja kita tidak dapat
memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, namun kadang kita salah dalam
menggunakannya. Ilmu dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama,
bukankan tidak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?

1.3 Ontologi
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang.
Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos yang bermakna ada atau keberadaan,
dan logos yang bermakna studi atau ilmu. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu

3
tunggal atau jamak”? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat
juga mengajukan pertanyaan, “Dalam adegan terakhir apakah yang merupakan jenis
kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif.
Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran dari
isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan realitas atau
tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Selain itu ontologi juga
digunakan untuk menetapkan batas-batas dari obyek pengetahuan atau ilmu yang sedang
dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka batasannya juga harus materi. Jika obyeknya
nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.
Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi
bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang piano misalnya,
maka kita dapat menilai piano dengan hakikat-hakikat piano itu, misalnya bahwa kursi
mempunyai banyak tuts nada, berat, dapat menghasilkan nada dan lain sebagainya.
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh
mengenai dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi,
sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi
sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian
muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu keberadaan dipandang dari
segi jumlah (kuantitas), seperti Monisme yaitu aliran yang menyatakan bahwa hanya satu
keadaan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi
lainnya yang tidak dapat diketahui. Dualisme (serba dua) yaitu aliran yang menganggap
adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-
bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui
adanya sesuatu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah (empedogles). Keberadaan
dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu Spiritualisme, mengandung
arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yang
mengisi dan mendasari seluruh alam. Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan
bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Keberadaan dipandang dari segi proses,

4
kejadian, atau perubahan Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau
peristiwa dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin). Teleologi (serba tujuan),
berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi
sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu
tujuan. Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara
fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup. Organisisme (lawannya
mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik,
suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah
adanya sistem yang teratur.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang
filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata yunani meta dan phusika yang dapat
diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai
istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat
uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup,
mati. Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini
terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga
mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Metafisika
dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature)
dari kenyataan atau keberadaan.

1.4 Epistemologi
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.
Secara etimologis, istilah epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata,
yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). Jadi
epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Pada abad 19, istilah epistemologi pertama dipergunakan oleh L.E.Ferier di Institut of
Metaphisics (1854), didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang bersangkutan dengan
sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta kenyataan
umum dari keharusan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi membahas isi pikiran manusia
berupa pengetahuan, studi tentang pengetahuan bagaimana kita mengetahui benda-benda.
Pengetahuan pada hakikatnya adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek

5
tertentu. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang
diajukan. Kemudian akan timbul pertanyaan, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan
yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut dengan epistemologi dan
landasan epistemologi ilmu disebut sebagai metode ilmiah. Dengan kata lain metode ilmiah
adalah cara yang dilakukan oleh sebuah ilmu guna menghimpun pengetahuan yang benar.
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara
memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.
Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah
bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi
dan askiologi masing-masing. Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi
epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab
permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan
dan mengontrol gejala alam.
Untuk bisa meramalkan atau mengontrol sesuatu, tentulah kita harus menguasai
pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu, dengan demikian maka penelaahan ilmiah
diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Penjelasan yang menjadi tujuan penelaahan ilmiah diarahkan kepada hubungan berbagai
faktor yang terkait yang kemudian menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau
mekanis terjadinya gejala tersebut. Sebagai contoh seorang mahasiswa ingin mengetahui
apakah pemberian probiotik dapat menurunkan lama rawat inap penderita diare. Hubungan
antara pemberian probiotik dengan lama rawat inap penderita diare inilah yang menjadi
pokok pengkajian ilmiah.

1.5 Aksiologi
Bidang aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung
pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada
kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan.
Semua pengetahuan memiliki tujuan obyektif. Tujuan dari pengetahuan adalah untuk
mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan
kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk

6
memperbaiki atau untuk merusak diri. Aspek aksiologi ini amatlah penting untuk dicermati
karena dewasa ini kita sebagai orang tua cenderung mengabaikan nilai moral dalam mendidik
anak-anak. Fokus pendidikan anak tidak boleh hanya diarahkan untuk mendidik seorang anak
agar menjadi cerdas, akan tetapi juga harus menekankan nilai moral yang luhur dalam setiap
sendi aktivitas mereka. Disamping itu, para orang tua ataupun pendidik juga tidak terlepas
dari tanggung jawab untuk secara langsung menjad suri tauladan dalam proses pendidikan
ataupun proses belajar mengajar.

7
DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo D, Siddharta. Pokok Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat
Hukum di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;2006
Iswara S, Sriwiyana H. Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Tinggi. Jakarta:Cintya Press;2010
Rapar JH. Pustaka Filsafat: Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius;2010
Suriasumantri JS. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan;2007
Tafsir A. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Bosda Karya;2004
Wardhana. Filsafat Kedokteran. Denpasar: Vaikuntha International Publication; 2016

Anda mungkin juga menyukai