Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk
mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut
dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir.
Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan
melakukan pengamatan ataupun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut
berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya tersebut.
Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ontologi?
2. Apa landasan ontologi ilmu (hakekat yang dikaji)?
3. Hakekat apa yang dikaji ilmu budaya/kemanusiaan (ontologi manusia)?
4. Hakekat apa yang dikaji ilmu kealaman (ontologi ilmu alam) ?
5. Hakekat apa yang dikaji ilmu sosial (ontologi ilmu sosial)?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dari ontologi.
2. Menjelaskan landasan ontologi ilmu (hakekat yang dikaji).
3. Mendeskripsikan hakekat yang dikaji ilmu budaya/kemanusiaan (ontologi manusia).
4. Mendeskripsikan hakekat yang dikaji ilmu kealaman (ontologi ilmu alam).
5. Mendeskripsikan hakekat yang dikaji ilmu sosial (ontologi ilmu sosial)?

1
Barnadib, Imam. 2002. Kode Etik Akademik (Telaah Deskriptif Awal). Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Taman siswa. Hal 03.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ontologi
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos =
ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut
istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada.
Muhadjir (2001 : 57), mengemukakan bahwa objek telaah ontologi adalah
yang ada, studi tentang yang ada, dan tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. 2
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah
satu saja, tidak mungkin dua.
2. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
3. Idealisme
Aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani.
4. Dualisme
Memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan
idealisme.
5. Pluralisme
Segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
6. Agnotisisme
Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya.
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang
ada sebagai wujud konkrit dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal
ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut
manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap
kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya. Ontologi berusaha

2
Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme.
Yogyakarta: Rake Sarasin. Hal. 57.

2
untuk mengetahui esensi terdalam dari “yang ada. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan
“Apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang.
Dengan demikian ontologi berarti suatu usaha intelektual untuk mendeskripsikan
sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar
tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling
umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan.
Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang
apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat universal.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak.
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan,
bunga mawar yang berbau harum.

B. Landasan Ontologi Ilmu dan Hakekat yang Dikaji


Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn).
Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara
sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian
ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia.
Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-
batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal
itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-
objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan
keilmuan tersebut.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut
sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni
orientasi terhadap dunia empiris.

3
Suriasumantri (2003: 110), menjelaskan bahwa ilmu merupakan salah satu usaha
manusia untuk memperkaa dirinya. Ilmu dapat diartikan sebuah sistem yang melahirkan
sebuah kebenaran.3
Ilmu merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan
logis. Ilmu bukanlah sekedar kumpulan fakta, melainkan pengetahuan yang
mempersyaratkan objek, metode, tori, hukum, atau prinsip. (Muhadjir, 1998: 31)4
Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka
bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan
berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari
pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan
surga dan neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat
pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas
pengalamannya.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode
yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris.
Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan
karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah
kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara
kerja berpikir keilmuan. Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar
tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal.
Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:
1. Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai ”ada”?
2. Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana cara mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi
entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena
jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk
mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada
disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat
dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.

3
Surjasumantri, Jujun S. 2003. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 110.
4
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin. Hal 31.

4
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi ilmu dapat dirangkum menjadi
5 konsep utama, yaitu :
1. Umum (universal) dan Tertentu (particular)
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu,
misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan
melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing
berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau
”menjadi hijau”.
2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti
yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka
obyek tidak ada lagi. Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin
atau tidak mungkin. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah kualitas yang dapat
digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.
3. Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada”
pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah
abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit). Kongkrit adalah obyek yang ”ada”
pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan,
badan manusia.
4. Esensi dan eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan
sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang
maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa
Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.
5. Determinisme dan indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia,
pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya. Indeterminisme
merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme
mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa
lalu.

5
C. Hakekat yang Dikaji Ilmu Budaya/Kemanusiaan (Ontologi Manusia)
Dalam filsafat manusia objek materialnya adalah manusia itu sendiri, sedangkan
objek formalnya adalah inti manusia, alam kodratnya, strukturnya yang fundamental.
Maksud dari struktur yang fundamental itu bukan sesuatu yang bersifat fisik, bukan
sesuatu yang dapat dirasakan, bukan apa-apa yang dapat digambarkan. (Louis Leahy
dalam Surajiyo, 2005: 127)5
Van Peursen dalam Surajiyo (2005: 127-128) mengemukakan bahwa pada zaman
Yunani kuno ada ungkapan “Kenalilah dirimu sendiri”. Seorang filsuf pertama yaitu
Socrates, menganggap ungkapan tersebut sebagai ungkapan kefilsafatan yang pokok. 6
De Vos (1968: 3), mengemukakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang
majemuk. Bagaimanapun juga ia terdiri dari suatu jasmani san sesuatu yang berupa roh.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan hak istimewa dan sampai batas
tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal yang sangat mendalam. (Louis, 1985: 1) 7
1. Aspek manusia
Secara sederhana, manusia dapat dikatakan terdiri dari dua aspek yang
esensial yaitu tubuh dan jiwa.
a. Aliran Materialisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang terpenting adalah tubuh manusia. Jiwa
dalam tubuh merupakan masalah yang kurang penting.
b. Aliran Spiritualisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang terpenting adalah jiwa manusia.
c. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang terpenting adalah tubuh dan jiwa manusia.
2. Manusia itu Animal Rationale dan Animal Symbolicum
Dahulu manusia dianggap sebagai seekor hewan ditambah sesuatu yang
ekstra (roh, akal budi). Manusia didefinisikan oleh Aristoteles sebagai animal
rationale yang berarti seekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi.
Manusia merupakan animal symbolicum, dunia manusia merupakan dunia
yang ditafsirkan. Manusia tidak dapat dilukiskan berdasarkan data-data biologisnya,
melainkan perbuatan kebudayaannya. Manusia tidak menjadi manusia karena sebuah
faktor di dalamnya.

5
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 127.
6
Ibid. Hal 127-128
7
Zen. 1984. Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Gramedia. Hal 01.

6
3. Manusia itu Mono Pluralis
Hakikat manusia menurut Notonagoro dengan menggunakan metode
abstraksi metafisi, berpendapat bahwa manusia itu hakikatnya bisa dilihat dari tiga
dimensi, yaitu sebagai berikut.
a. Dilihat dari susunan kodrat, manusia itu terdiri dari jiwa dan raga.
b. Dilihat dari sifat kodrat, manusia itu terdiri atas sifat individu dan sifat sosial.
c. Dilihat dari kedudukan kodrat, manusia adalah makhluk individu dan makhluk
Tuhan.
4. Raga dan jiwa
Manusia dilihat dari bagiannya yaitu raga dan jiwa. Antara raga dan jiwa ada
semacam pertentangan tetapi tidak secara eksklusif. Yang ditunjukkan oleh raga
ialah bagian-bagian lahiriah dan yang ditunjukkan jiwa adalah bagian dalam serta
bagian yang bersifat kerohanian manusia. (Van Peursen dalam Surajiyo, 2005: 131)8

D. Hakekat yang Dikaji Ilmu Kealaman (Ontologi Ilmu Alam)


Menegenai ontologi, di sini kita membatasi diri pada alam kebendaan dan zat
kehidupan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan, karena mereka dapat berkembang dan karena
mempunyai suatu organisasi intern di dalam dirinya.
1. Objek Materiil (Sudut pandang ekstensif)
Tersusun mengenai manusia, binatang, laut, atom. Sehingga timbul
pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dan apa yamg terjadi di alam.
2. Objek Formil (Sudut Pandang Intensif)
Semua obyek material dapat dibedakan lagi. Misalnya manusia saja dapat
dipandang secara matematis, fisis, biologis, psikologis, dan sebagainya. Sehingga
munculnya spekulasi tentang kepadatan dari ilmu alam itu sendiri. (Bakker : 1)
Ilmu alam, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah natural science, atau
ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu
dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan
umum, berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik dan
nonmanusia tentang Bumi dan alam sekitarnya.
Ilmu Alamiah mempelajari semua alam yang berada di sekitar kita. Jadi, benda-
benda alam itulah objek Ilmu Alamiah. Sesuai dengan tujuan ilmu, Ilmu Alamiah ingin
memperoleh kebenaran mengenai objeknya. Kebenaran yang sedalam-dalamnya yang
8
Ibid. Hal 131

7
hendak dicakup oleh ilmu, karena ilmuwan baru merasa puas jika ilmu yang
diperolehnya sesuai dengan objek. Alam sebagai objek penyelidikan mempunyai aspek
yang sangat luas, misalnya aspek fisis.
Aspek biologis, aspek psikologis, aspek ekonomis, dan sebagainya. Oleh karena
itu, dapat dikatakan mustahil bahwa ilmu dapat mencapai seluruh kebenaran mengenai
objeknya. Demikian pula apa yang dicapai oleh Ilmu Alamiah. Ilmuwan dapat saja tidak
mengetahui salah satu aspek.

E. Hakekat yang Dikaji Ilmu Sosial (Ontologi Ilmu Sosial)


Orang telah berpikir mengenai kehidupan sosial dan masyarakat dan berusaha
memberikan penjelasan sejak masa dahulu. (Bert, 1988: 5)9
Ilmu sosial cenderung bersifat berubah-ubah, ilmu sosial memandang kebenaran
tidak bersifat mutlak, yang ada hanya mendekati kebenaran. Ia bergantung pada keadaan
objek yang dikaji, dalam ilmu sosial saat ini, belum tentu sama dengan beberapa abad
lalu atau yang akan datang.
Supardi (2011: 21-22), mengemukakan ilmu sosial pada dasarnya merupakan
ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas manusia dalam kehidupan bersama. 10
Agus dan Ali (2007: 4), mengemukakan bahwa proses sosial adalah pengaruh
timbal balik antara segi kehidupan yang satu dengan kehidupan lainnya.11
Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek
yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan
seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari
manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Menurut Wallerstein (dalam
Supardi, 2011: 21-22) mengemukakan bahwa ilmu sosial terdiri dari sosiologi,
antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu politik. Ilmu sosial
dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
Objek Material adalah kehidupan social, gejala-gejala dan proses hubungan
antara manusia yang mempengaruhi kesatuan manusia itu sendiri. Objek Formal lebih
ditekankan pada manusia sebagai makhluk social atau masyarakat.Dengan demikian
objek formal sosiologi adalah hubungan manusia antara manusia serta proses yang
timbul dari hubungan manusia didalam masyarakat.

9
Hoselitz, Bert F. 1988. Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.Hal 05.
10
Hamdani, S. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. Hal 21-22.
11
Sumali, Agus, dan Ali, Sarilan M. 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial. Surakarta: Ghalia Indonesia.

8
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-
subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding
dengan pengetahuan alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah
banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan
lintas-disiplin.

BAB III
PENUTUP

9
A. Kesimpulan
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada. Objek material
ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud
konkrit dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah
memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan
Tuhan.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi
filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). 5 konsep
utama ontologi ilmu: 1) Umum (universal) dan Tertentu (particular), 2) Substansi
(substance) dan Ikutan (accident), 3) Abstrak dan Kongkrit, 4) Esensi dan eksistensi, dan
5) Determinisme dan indeterminisme.
Dalam filsafat manusia objek materialnya adalah manusia itu sendiri, sedangkan
objek formalnya adalah inti manusia, alam kodratnya, strukturnya yang fundamental.
Dalam hakekat yang dikaji ilmu kealaman objek materiilnya tersusun mengenai
manusia, binatang, laut, atom. Sedangkan objek formilnya Semua obyek material dapat
dibedakan lagi. Misalnya manusia saja dapat dipandang secara matematis, fisis, biologis,
psikologis, dan sebagainya.
Dalam hakekat yang dikaji ilmu sosial objek Material adalah kehidupan social,
gejala-gejala dan proses hubungan antara manusia yang mempengaruhi kesatuan
manusia itu sendiri. Objek Formal lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk
social atau masyarakat. Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan
manusia antara manusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia didalam
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

10
Barnadib, Imam. 2002. Kode Etik Akademik (Telaah Deskriptif Awal). Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Taman siswa.

Hoselitz, Bert F. 1988. Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.

Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme.
Yogyakarta: Rake Sarasin.

Sumali, Agus, dan Ali, Sarilan M. 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial. Surakarta: Ghalia
Indonesia.

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Surjasumantri, Jujun S. 2003. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Surjasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Zen. 1984. Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Gramedia.

MAKALAH FILSAFAT ILMU

11
Tentang

LANDASAN ONTOLOGIS ILMU

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

1. Mia Asvarina : 18.043


2. Rama Ramuna : 18.046

Dosen Pembimbing :

Jurna Petri Roszi, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

YAYASAN TARBIYAH ISLAMIYAH

PADANG

2019

12

Anda mungkin juga menyukai