Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dimensi Ontologi Dalam Kajian Filsafat

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Kata ontologi (ontology) berasal dari bahasa Yunani;on, ontos yang
berarti ada (being), keberadaan dan logos yang berarti studi, ilmu tentang. Dengan
demikian, ontologi berarti pengetahuan tentang yang ada.

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Geclenius pada


tahun 1636 M. untuk memahami teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya Chiristian Wolff (1679-1754) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika
umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Dengan demikian,
metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip
yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan
metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat
dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui pancaindra
manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah
manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada dalam batasan pra
pengalaman (seperti penciptaan Tuhan) dan pasca pengalaman (seperti surga dan
neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.

Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan


pokok/aliran-aliran pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme,
Nihilisme, dan Agnotisisme.

1. Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber
yang asal, baik yang asal berupa materi maupun rohani. Tidak mungkin ada
hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya
merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya.

Paham ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran materialisme dan aliran
idealisme. Aliran materialisme atau disebut juga naturalisme menganggap bahwa
sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme
dinamakan juga spiritualisme.

Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh,


idealisme diambil dari kata ‘idea’ yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam ini semua berasal
dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat
hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.

2. Aliran Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan ruh,
jasa dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda.
Sama-sama hakikat kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Contoh, yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
adalah dalam diri manusia. Demikianlah materi dan bentuk tidak dapat
dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak
dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari bentuk dan
materi.

3. Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan


kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of philoshophy
and religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tiada kebenaran
yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap yang berdiri sendiri, lepas
dari akal yang mengenal.

4. Nihilisme

Paham ini menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan


kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif positif. Dalam
pandangan nihilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan
berkreativitas.

5. Agnotisme

Aliran agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin


mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Sebab kemampuan manusia
manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada,
baik oleh indranya maupun oleh pikirannya. Aliran ini adalah paham
pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui
hakikat benda baik materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme
yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengenai hakikat.

B. Dimensi Epistemologi dalam Kajian Filsafat Ilmu

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang


pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem
dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.

Epistemologi merupakan cabang imu filsafat yang menyelidiki asal, sifat,


metode, dan batasan pengetahuan manusia. Epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge) berasal dari kata Yunani episteme, yang
berarti pengetahuan, pengetahuan yang benar, pengetahuan ilmiah, dan logos yang
berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya pengetahuan.
Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah ‘Apakah ada itu?’ sedangkan
dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah ‘Apa yang dapat saya ketahui?’.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-
lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1. Metode Induktif

Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan


hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan
menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai dengan
metode induktif, suatu inferensi bias disebut induktif bila bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.

Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan


hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan
mengembang. Bertolak dari teori ini akan tahu bahwa logam lain yang kalau
dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi
tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.

2. Metode Deduktif

Metode deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data


empirik diolah lebih lnjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal
yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik oleh teori
tersebut.

3. Metode Positivisme

Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini


berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
mengesampingkan segala uraian di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia
menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak
dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-
beda, harusnya dikembangkan satu kemampuan akala yang disebut dengan intuisi.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan Al-Ghazali.

5. Metode Dialeksis

Dalam filsafat, dialekta mula-mula berarti metode tanya jawab untuk


mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis
sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

Dalam kehidupan sehari-hari dialekta berarti kecakapan untuk melakukan


perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak
tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti seperti percakapan, bertolak
paling kurang dua kutub.

Jadi, Epistemologi atau teori pengetahuan ini membahas secara mendalam


segenap proses yang terlihat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan. Proses
tertentu ini dikenal dengan metode ilmiah, yang merupakan paduan dari berpikir
sebelumnya yaitu rasionalisme dan empirisme. Kebenaran ilmu adalah tidak
absolut, oleh karena itu hasil pengetahuan yang diperoleh secara rasionalisme dan
empirisme selalu diuji kebenaran sesuai dengan berjalannya waktu.

C. Dimensi Aksiologis dalam Kajian Filsafat Ilmu

Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios


(layak, pantas) dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu


sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam
menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat,
2010). Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu
yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.

Aksiologi disamakan dengan Value and Valuation yang memiki tiga


bentuk, yaitu: 1) Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. 2) Nilai sebagai kata
benda konkret. 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai dan dinilai.

Jadi terlihat jelas, bahwa pembahasan utama dalam aksiologi adalah


mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

1. Etika

Istilah etika berasal dari yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan
dengan ‘’moral’’.27 Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan
sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,norma
dan adat istiadat manusia.

Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah


menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates dan para kaum shopis. Disitu
dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan moral.

Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di


atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda
dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah
dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari
etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggung jawabkan apa
yang ia lakukan.

Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab,
baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap
Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori
etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme
dan deontologi.

Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut


pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan
manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah
kebahagiaan. Selanjutnya utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan
perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.

Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan


oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara
terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan
dengan baik oleh kehendak manusia.

2. Estetika

Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang


nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu
terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga
mempunyai kepribadian. Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu
kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan.

Anda mungkin juga menyukai