Elisa Dourothun Nafis El Adibah1, Ilviana Izzatun Nisa2, Rizqia Putri Damayanti3,
Khairul Umam4
1
Program Studi Tadris IPS FTIK UIN KHAS Jember, E-mail: dneaelisa@gmail.com
2
UIN KHAS Jember, Jl. No. 1 Mangli Jember, Jawa Timur Indonesia, E-mail:
abie.umam80@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah
hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek
kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melakukan dan
memperoleh pendidikan. Akibatnya, filsafat diperlukan dalam pendidikan. Karena
masalah pendidikan bukan hanya tentang mempraktikkan pendidikan, yang terbatas
pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul permasalahan yang lebih
dalam,dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalaman maupun fakta
faktual,dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu.
METODE
PEMBAHASAN
2
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proporsal, Jakarta: Bumi Aksara,1999
3
Sarwono Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2006
Positivisme
4
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai Etisnya terhadap
Sains“, Jurnal Studi Islam, Vol. 11, No. 2, Cakrwala: Magelang, 2016 . hlm 171
5
Budi Hardiman, Melampaui Moderenitas dan Positivisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012,
hlm. 54.
dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya dalam gambaran teologik. Jenjang
teologik ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu: 6
6
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001. hlm.70.
7
Wryani Fajar Riyanto, , Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press, 2011, hlm. 413.
8
Aguste Comte ,The Fundamental Principles of the Positive Philosophy: Being the First
Two Chapters of the “Cours de Philosophie Positive. London: Watts & Co. 1905
a. Perbintangan Ilmu (Astronomi)
Mulai bekerja sesungguhnya dalam tahap ini, ketika pada tahap ilmu
astronomi dan fisika hanya bekerja saja, dalam ilmu ini semua indera harus bekerja.
Comte akan mengatakan, bahwa penciuman dan perasaan adalah hal yang paling
mendasar, karena itu bukan kebetulan atau empirik, karena teori fisiologis kedua
adalah suatu proses kimiawi.
Dalam tahap ilmu hayat pengamatan dipergunakan lebih intens lagi, sebab
dalam ilmu kimia kelima macam indera dipergunakan, maka dalam ilmu hayat indera
kita masih dilengkapi dengan ilmu-ilmu buatan terutama untuk melengkapi ketepatan
hasil pengamatan. Berkat sarana-sarana inilah kita bisa mengamatai benda yang
paling terkecil sekalipun yang merupakan dasar bagi gejala-gejala kehidupan yang
paling penting. Dengan diciptakannya sarana-sarana tadi, ilmu hayat paling
diuntungkan karena mereka bisa menggunakan metode keseluruhan.
Pendekatan fenomenologi saat ini sudah banyak digunakan oleh banyak peneliti
sebagai pendekatan atau metodologi penelitian. Pada awalnya, fenomenologi adalah
pendekatan filsafat yang berdasarkan pada filsafat ilmu. Banyak literatur yang
menyepakati bahwa bapak fenomenologi adalah Edmund Husserl. Bagi Husserl
“realitas” merupakan perluasan dari kata “nature.” Artinya nature science
menggunakan realitas sebagai keseluruhan benda dalam ruang dan waktu. Namun
Husserl membalik persoalan filsafat dari objek ke subjek pengetahuan. Hal tersebut
berasal dari pandangan Rene Descartes tentang “aku yang berfikir atau “cogito ergo
sum”.11
Macam Macam Metode Fenomenologi
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai konsep dasar dari
fenomenologi, terutama terkait perannya sebagai pendekatan pencarian ilmu
pengetahuan. Secara mendasar, fenomenologi mencoba untuk mengungkap realitas
yang dialami subjek untuk kemudian dimaknai oleh peneliti. Fenomenologi terus
dikembangkan oleh para pemikir / filosof setelah Husserl. Fenomenologi akhirnya
9
Hasbiansyah, O. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan
Komunikasi”. JurnalKomunikasi.,Vol. 9. No. 1, Mediator: Blitar,2008.
10
Kuswarno, Engkus. Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan
Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
11
Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi,Koekoesan, Depok, 2010.
mengembangkan sistem baru sebagai hasil dari penemuan-penemuan tersebut.
Menurut Burrel dan Morgan12 setidaknya ada tiga macam fenomenologi yaitu
fenomenologi transendental, fenomenologi eksistensial dan fenomenologi sosiologi.
Namun, terdapat jenis-jenis fenomenologi yang berbeda secara mendasar meliputi
post-fenomenologi, fenomenologi islam dan post-fenomenologi tauhid 13. Peneliti
mencoba menjelaskan secara umum mengenai jenis-jenis fenomenologi tersebut..
a. Fenomenologi Husserl (Transcendental)
Fenomenologi transendental paling sering digunakan dalam penelitian ilmu sosial.
Kata transenden mengandung arti “berada di luar kemampuan manusia utama”.
Transenden yang dimaksud adalah kesadaran murni dari “Aku” yang mengalami
fenomena. Jadi, fenomenologi transendental Husserl berfokus pada studi tentang
“Aku”. “Aku” adalah “Aku” yang mengalami, bukan pengalaman itu sendiri. Apa
yang dialami oleh “Aku” akan berbeda dengan yang dialami oleh “Aku” yang lain.
Penggunaan kata “Aku” menggambarkan bahwa “Aku” yang satu berbeda dengan
“Aku” yang lain. Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain. Setiap
“Aku” akan membentuk persepsi, ingatan, fantasi, dan ekspektasi yang berbeda
dengan “Aku” yang lain.
b. Fenomenologi Martin Heidegger (Eksistensial)
Fenomenologi Heidegger merupakan transformasi fenomenologi Edmund
Husserl, meskipun ia sendiri juga merupakan kritik atas nuansa idealisme yang
melingkupi fenomenologi Husserl. Menurut Heidegger esensi kesadaran dan aktivitas
merupakan hal yang penting dalam penegmbangan ilmu. Hal tersebut diperlukan
sebagai landasan teori-teori ilmiah. Meskipun konsep fenomenologinya banyak
dipengaruhi oleh pendulunya, namun ia menyoroti bahwa term “kembali pada
subjek” hanya semakin mempertebal idealisme dan melupakan hal yang konkret.
Heidegger menolak model kesadaran Cartesian, yaitu pengkultusan “aku” sebagai
12
Ari Kamayanti Metodelogi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan.
Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh. 2016.
13
realitas murni yang terpisah dari kehidupan keseharian. Dapat dikatakan bahwa yang
dideskripsikan oleh Heidegger adalah eksistensi manusia.
c. Fenomenologi Jean Paul Sartre (Negativitas)
Gagasan filsafat Sartre adalah sebuah usaha untuk merekonsiliasi antara subjek
dan objek. Tren ini dimotivasi oleh pengalaman kehidupan Sartre tentang kebebasan
diri. Fenomenologi Sartre berangkat dari filsafat Cartesian 14. Kebutuhan untuk
membangun konsepsi yang tidak ambigu dan terpilah adalah yang menarik dari
Sartre ke filsafat Cartesian. "Saya terkutuk untuk bebas," kata Sartre, menyiratkan
bahwa tidak ada batasan terhadap kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau
jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas15.
d. Fenomenologi Merleau Ponty (Persepsi)
Filsafat Merleau-Ponty sering dikaitkan dengan tiga orang pendahulunya yaitu
Husserl, Heidegger dan Sartre. Fenomenologi yang dikembangkan Ponty mempunyai
sasaran tetap ialah dualisme subjek-objek. Ponty juga tertarik pada ajakan
intensionalitas pra-prediktif dan eksposisi Heidegger tentang keberadaan manusia
sebagai “ada dalam dunia”. Ia mengembangkan deskripsinya tentang dunia sebagai
bidang pengalaman yaitu tempat “saya menemukan diri”, Fenomenologi Ponty
mengandung dimensi presepsi yang meyakinkan bahwa keistimewaan tubuh sebagai
sebuah media yang mendunia. Merleau Ponty bahwa tubuh bukan lah subjek atau
objek secara penuh. Lebih lanjut lagi, dalam fenomenologi nya Ponty bermaksud
mengajarkan cara melihat pengalaman melalui sebuah cara baru yakni dengan
mengembangkan metode dan bahasa yang memadai untuk mengartikulasikan
pengalaman pra-reflektif khususnya dunia presepsi. Meskipun Ponty tidak
menggunakan istilah "naturalisme" yang ia asosiasikan dengan berbagai bentuk
reduksionisme saintisme, pandangan filosofisnya masih dikategorikan sebagai
naturalisme dialektis.
14
Dermot Moran and Timothy Mooney (ed), The Phenomenology Reader. New York: Routledge, 2002
15
Lavine, T.Z, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto dan Deddy
Andrian Utama. (Yogyakarta: Jendela., 2002)
e. Fenomenologi Alfred Schutz (Realitas dan Makna)
Pemikiran-pemikiran filosofis sangat penting menentukan arah perkembangan
ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan
kemasyarakatan dan kebudayaan. Demikian hal nya dengan filsafat fenomenologi,
yang disebarkan oleh murid-murid Husserl telah mendorong munculnya pemikiran-
pemikiran baru. Alfred Schutz merupakan salah seorang murid Husserl, yang pertama
kali menjelaskan fenomenologi dalam dunia sosial. Schutz mendasarkan ketertarikan
terhadap gaya orang memahami kesadaran orang lain, tetapi ia hidup dalam aliran
kesadaran diri sendiri. Prespektif yang digunakan Schutz untuk memahami kesadaran
itu dengan konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan konsep intersubyektif ini
adalah kehidupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari16
Metode Kritis
Ahli teori kritis berpendapat bahwa siswa membangun pengetahuan dan nilai-
nilai mereka sendiri yang bermakna dalam konteks lokal mereka, situasi langsung
dan komunitas tempat mereka tinggal dan di sekolah yang mereka hadiri. Para guru
harus mulai meningkatkan kesadaran bersama para siswa di kelas mereka dengan
memeriksa kondisi di komunitas lingkungan mereka. Siswa dapat berbagi kisah hidup
mereka untuk membuat otobiografi kelompok kolaboratif yang menceritakan
pengalaman di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Mereka selanjutnya dapat
menghubungkan autobiografi kelompok ini dengan sejarah yang lebih besar dari
kelas ekonomi masing-masing dan kelompok ras, etnis, dan bahasa. Misalnya, The
Freedom Writers Diary memberikan narasi yang menarik tentang bagaimana Erin
Gruwell, seorang guru bahasa Inggris pemula di Sekolah Menengah Atas Woodrow
Wilson di Long Beach, California, secara efektif menggunakan tulisan otobiografi
sebagai metode pendidikan. Siswa Gruwell, yang dikategorikan sebagai siswa
"berisiko" yang diperkirakan putus sekolah, menulis otobiografi mereka dalam buku
harian.
Mereka menulis tentang kondisi yang mereka alami dalam situasi mereka
sendiri seperti; kekerasan, perang geng, penyalahgunaan narkoba, dan kemiskinan.
Ketika mereka mulai mengenal diri mereka sendiri, mereka diberdayakan sendiri.
Bertolak belakang dengan prediksi lembaga pendidikan, semua siswa ini
menyelesaikan sekolah menengah atas. Masyarakat multikultural Amerika Serikat
menyediakan lebih banyak versi pengalaman Amerika daripada cerita yang disetujui
secara resmi. Anggota dari setiap ras, etnis, dan kelompok bahasa dapat menceritakan
kisah mereka sendiri daripada menceritakannya kepada mereka. Setelah menjelajahi
identitas mereka sendiri, siswa dapat mengembangkan cara untuk mengenali stereotip
dan representasi yang salah dan untuk 10 melawan indoktrinasi baik di dalam
maupun di luar sekolah. Mereka dapat belajar bagaimana mengendalikan hidup
mereka sendiri dan membentuk masa depan mereka sendiri.17
- Rasional dan Beralasan ialah suatu argumen yang diberikan berdasarkan analisis
dan memiliki dasar yang kuat ataupun fenomena nyata
Bagian dari suatu sikap ialah pemikir kritis akan selalu menguji sesorang apakah
sesuatu hal yang dihadapi itu lebih baik atau lebih buruk dibanding yang lain
- Kemandirian berfikir ialah selalu berfikir dalam dirinya tidak pasif dalam menerima
suatu pemikiran dan keyakinan orang lain.
Teori kritis berfungsi untuk mengkritik sebuah paradigma. Oleh sebab itulah
muncullah teori pendidikan baru disebut paradigma pendidikan kritis. Monsour Fakih
mengartikan bahwa paradigma pendidikan kritis merupakan sebuah ajaran yang
berpendidikan yang mengacu pada anggapan kritis kepada ideologi dominan
mengacu pada pemikiran yang berhubungan dengan masyarakat. Secara tidak
langsung paradigma pendidikan kritis adalah pendidikan yang menerapkan pemikiran
yang memiliki sifat berkreasi dalam berkarya dan tidak termasuk kedalam sikap
17
Ornstein, A.C. and Levine, D.U. Foundations of Educations, 10th Edition. Boston & NY; Houghton
Mifflin Company, 2008. ( Chapter 6: Philosopical Roots of Education, pp. 159- 198)
meniru. Pada dasarnya kita sebagai peserta didik dituntut untuk selalu berpikir kritis
dalam menyikapi permasalahan baik secara sosial maupun personal.
Artinya sebuah lembaga harus mampu mendirikan sebuah ruang interaksi yang
memadai bisa berupa kelas atau ruang untuk belajar agar peserta didik mampu
berinteraksi secara nyaman.18
18
Chabib Mustofa, . Teori Kritis Madzhab Frankfurt..Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian Pendidikan
Agama Islam, 2016, hlm 33-52
PENUTUP
KESIMPULAN
Positivisme adalah pradigma ilmu pengetahuan paling dasar yang ada di dunia
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, keyakinan dasar aliran didasarkan pada paham
ontologi, yang menyatakan bahwa realitas itu ada (ada) dalam kenyataan yang
mengikuti aturan tanah (hukum alam). Usaha studi dalam hal ini adalah
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut
berjalan. Positivisme ada digerakkam oleh sosiolog Auguste Comte pada abad ke-19,
dengan hal yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan.
Ahli teori kritis berpendapat bahwa siswa membangun pengetahuan dan nilai-
nilai mereka sendiri yang bermakna dalam konteks lokal mereka, situasi langsung dan
komunitas tempat mereka tinggal dan di sekolah yang mereka hadiri. Para guru harus
mulai meningkatkan kesadaran bersama para siswa di kelas mereka dengan
memeriksa kondisi di komunitas lingkungan mereka. Siswa dapat berbagi kisah hidup
mereka untuk membuat otobiografi kelompok kolaboratif yang menceritakan
pengalaman di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Mereka selanjutnya dapat
menghubungkan autobiografi kelompok ini dengan sejarah yang lebih besar dari
kelas ekonomi masing-masing dan kelompok ras, etnis, dan bahasa. Misalnya, The
Freedom Writers Diary memberikan narasi yang menarik tentang bagaimana Erin
Gruwell, seorang guru bahasa Inggris pemula di Sekolah Menengah Atas Woodrow
Wilson di Long Beach, California, secara efektif menggunakan tulisan otobiografi
sebagai metode pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Comte Aguste. 1905. The Fundamental Principles of the Positive Philosophy: Being
the First. Two Chapters of the “Cours de Philosophie Positive. London: Watts
& Co
Moran Dermot, Timothy Mooney (ed), 2002, The Phenomenology Reader. New
York: Routledge,
Adian, Donny Gahral, 2010. Pengantar Fenomenologi, Koekoesan: Depok.
Hardiman F. Budi,2012. Melampaui Moderenitas dan Positivisme.Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, hlm. 54.
Hasbiansyah O, 2008. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian
dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi”, Jurnal Komunikasi.,Vol. 9. No. 1,
Mediator: Blitar.
Kuswarno, Engkus, 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi. Fenomenologi.
Konsepsi. Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran.
Lavine, T.Z, 2010, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi
Iswanto dan Deddy Andrian Utama, Yogyakarta: Jendela.
Mardalis, 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proporsal, Jakarta: Bumi
Aksara.
Mustofa Chabib, 2016. Teori Kritis Madzhab Frankfurt..Jurnal Mudarrisuna: Media
Kajian Pendidikan Agama Islam, hlm 33-52
Muhadjir Noeng, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, hlm.70.
Nugroho Irham, 2016 “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan
Nilai Etisnya Terhadap Sains“,Jurnal Studi Islam, Vol. 11, No. 2, Cakrwala:
Magelang. hlm 171
Ornstein, A.C. and Levine, D.U. Foundations of Educations, 10th Edition, 2008,
Boston & NY; Houghton Mifflin Company, Ritzer, George-Douglas J.
Goodman, 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Predana Media
Group.
Jonathan Sarwono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
Yogyakarta:Graha Ilmu.
Riyanto, Wryani Fajar, 2011. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press,
hlm. 413.