Anda di halaman 1dari 18

Metode Filsafat Pendidikan

Educational Philosophy Method

Elisa Dourothun Nafis El Adibah1, Ilviana Izzatun Nisa2, Rizqia Putri Damayanti3,
Khairul Umam4

1
Program Studi Tadris IPS FTIK UIN KHAS Jember, E-mail: dneaelisa@gmail.com
2
UIN KHAS Jember, Jl. No. 1 Mangli Jember, Jawa Timur Indonesia, E-mail:
abie.umam80@gmail.com

ABSTRACT

Education is carried out assisted by methods of being educated, especially the


method of educational philosophy which focuses on analyzing education both benefits,
objectives, structures, systems and those related to education. Based on the title above, the
purpose of this study is to provide an understanding of the methods of educational
philosophy, including three, namely positivistic, phenomenological, and critical. From a
strong understanding, it helps prospective educators to be able to apply methods to achieve
educational goals. This study uses a research type/approach in the form of Library Research,
using journals and books. The results of the study are as follows: 1). The positivistic method
is a way in the philosophy of education that only studies what he thinks exists, is real and is
based on empirical data. 2). The phenomenological method is an oriented way to get an
explanation of the apparent/clear reality. 3). The critical method is a way of responding to a
thought or opinion.
Keywords: positivistic, phenomenological, critical

ABSTRAK

Pendidikan terlaksanakan dibantu oleh metode dalam berpendidikan terutama


metode filsafat pendidikan yang menfokuskan untuk menganalisis tentang pendidikan baik
sistem,tujuan,manfaat,struktur dan yang berkaitan dengan pendidikan. Berdasarkan dari
judul diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang metode
filsafat pendidikan diantaranya ada tiga yaitu positivistic,fenomenologis, dan kritis. Dari
pemahaman yang kuat membantu para calon pendidik untuk bisa menerapkan metode agar
tercapainya tujuan pendidikan. Penelitian ini menggunakan jenis/pendekatan penelitian yang
berupa Studi Kepustakaan (Library Research), dengan menggunakan jurnal dan buku. Hasil
penelitian adalah sebagai berikut: 1). Metode positivistime ialah cara dalam filsafat
pendidikan yang hanya mempelajari sesuatu yang dia anggap ada, nyata dan berdasarkan
pada data empiris. 2). Metode Fenomenologis merupakan cara berorientasi untuk
mendapatan penjelasan tentang realitas yang tampak/jelas. 3). Metode kritis yaitu cara
merespon sebuah pemikiran atau pendapat.

Kata Kunci: Positivistic, Fenomenologis, Kritis


PENDAHULUAN

Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses


perkembangan itu secara alamiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang
paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi
ini akan dapat terwujud apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan
memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya; kesehatan, keamanan,
iklim, dan makanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.1

Pendidikan merupakan masalah penting serta tidak dapat di pisahkan dari


kehidupan manusia, kebanyakan orang menganggap serta memandang bahwa
pendidikan ialah suatu kegiatan yang sangat bermanfaat dan berguna, yang nantinya
akan mengarahkan manusia pada nilai kemanusiaan untuk menjadikan manusia saling
menghormati. Terutama bagi pelajar IPS yang bersosialisasi tinggi.

IPS merupakan mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari


berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan psikologis
serta kelayakan dan kebermaknaannya bagi peserta didik dan kehidupannya. IPS di
sekolah pada dasarnya bertujuan mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara
yang baik (good citizenship). Sebagai warga negara yang baik, peserta didik harus
menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitude
dan values) yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah pribadi maupun sosial
serta dapat mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat di
tingkat lokal, regional, maupun global.

Akan tetapi, Pembelajaran IPS di sekolah juga belum maksimal dalam


melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial
kemasya- rakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai
aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu, dalam pembelajaran IPS lebih menekankan
1
Husnul Amin, Proses Pendidikan, Jurnal Tarbiyah Islamiyah, Vol 3, No.1, Sumetra Selatan: Raudhah
Proud To Be Professionals, 2018. hlm 20
pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka.Inilah
yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan” pembelajaran IPS
di sekolah/madrasah di Indonesia.

Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah
hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek
kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melakukan dan
memperoleh pendidikan. Akibatnya, filsafat diperlukan dalam pendidikan. Karena
masalah pendidikan bukan hanya tentang mempraktikkan pendidikan, yang terbatas
pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul permasalahan yang lebih
dalam,dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalaman maupun fakta
faktual,dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis/pendekatanpenelitian yang berupa Studi


Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan suatu studi yang
digunakan dalam mengeumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai
macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku,majalah, kisah-
kisah sejarah, dsb.2

Studi kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi serta


hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan
teori mengenai masalah yang akan diteliti.3 Penelitian ini menggunakan
jenis/pendekatan penelitian yang berupa Studi Kepustakaan (Library Research),
dengan menggunakan jurnal, dan buku.

PEMBAHASAN

2
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proporsal, Jakarta: Bumi Aksara,1999
3
Sarwono Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2006
 Positivisme

Positivisme adalah pradigma ilmu pengetahuan paling dasar yang ada di


dunia ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, keyakinan dasar aliran didasarkan pada
paham ontologi, yang menyatakan bahwa realitas itu ada (ada) dalam kenyataan yang
mengikuti aturan tanah (hukum alam). Usaha studi dalam hal ini adalah
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut
berjalan. Positivisme ada digerakkan oleh sosiolog Auguste Comte pada abad ke-19,
dengan hal yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan. Positivisme oleh
August Comte menghasilkan ilmu yang berdiri dari enam jilid buku dengan judul
jalan filsafat positif (1830-1842).4

Positivisme adalah perundingan tren pemikiran sejarah barat modern yang


telah menyingsing sejak tatanan dunia abad pertengahan, melalui rasionalisme dan
empirisme. Positivisme adalah sorotan yang khusus dalam refleksi filsafat terhadap
metodologi. Dalam positivisme, pengetahuan dihargai di atas segalanya, dan salah
satu metode terpenting adalah metodologi yang sudah ada sejak Renaisans, dan
sumber pada zaman Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Akibatnya,
penekanan positivisme metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi
wilayah refleksi epistemology, yaitu pemahaman manusia tentang kenyataan.5

Filsafat Positivistik (Positive Filsafat) Comte tampil di sejarah


perkembangan alam fikiran manusia dalam studinya. Matematika adalah alat berfikir
logika, bukan ilmu. Aguste Comte terkenal karena karyanya di bidang teologik,
metafisik, dan positivisme. Manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup

4
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai Etisnya terhadap
Sains“, Jurnal Studi Islam, Vol. 11, No. 2, Cakrwala: Magelang, 2016 . hlm 171
5
Budi Hardiman, Melampaui Moderenitas dan Positivisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012,
hlm. 54.
dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya dalam gambaran teologik. Jenjang
teologik ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu: 6

1. Animism atau fetishisme. Sudah pasti bahwa setiap zat memiliki


karakteristiknya sendiri.
2. Polytheisme. memandang, sejumlah dewa memiliki kemauannya pada
sejumlah obyek.
3. Monotheisme. memandang. bahwa satu Tuhan menampilkan kemauannya
pada beragam objek.

Terlepas dari kenyataan bahwa Comte sendiri adalah seorang matematikawan,


ia percaya bahwa matematika bukanlah ilmu, melainkan alat untuk menganalisis data,
dan matematika dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena. Namun, dalam
praktiknya, fenomena lebih kompleks.7

 Metode Positivisme Comte Aguste

Dalam ilmu pengetahuan yang didasarkan atas gejala-gelaja yang paling


sederhana, umum, atau abstrak, menuju ketingkat gejala-gelaja yang semakin jelas,
khusus, dan kongret yang dihadapi oleh masing-masing ilmu. Comte menggunakan
eksperimen, percobaan, dan metode perbandingan, khususnya di bidang ilmu sosial,
di mana tahap perkembangannya belum mencapai filsafat positif. Comte
menambahkan metode baru ke dalam campuran. Untuk melihat bagaimana Comte
menggunakan metode ini, diantaranya:8

6
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001. hlm.70.
7
Wryani Fajar Riyanto, , Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press, 2011, hlm. 413.
8
Aguste Comte ,The Fundamental Principles of the Positive Philosophy: Being the First
Two Chapters of the “Cours de Philosophie Positive. London: Watts & Co. 1905
a. Perbintangan Ilmu (Astronomi)

Bila menggunakan ilmu astronomi, semua perhitungan astronomis didasarkan


pada ukuran-ukuran waktu dan sudut. Untuk memastikan bahwa hasil pengamatan
tidak disalahartikan. Jadi, selain pengkajian atas teori-teori tertantu, alat yang harus
digunakan harus tepat.

b. Ilmu Alam (Fisika)

Dalam kasus ini, rangkaian yang lebih kompleks ditemukan, sehingga


mengharuskan dalam penggunaan metode percobaan. Jika ilmu perbintangan
pengamatan hanya menggunakan satu indera, maka ilmu dalam hal ini menggunakan
beberapa indera. Oleh karena itu perlu mendapatkan hasil yang memuaskan. Suatu
metode pengamatan juga harus menggunakan metode percobaan. Ini terletak pada
pemilihan yang jelas menunjuk kepada kita apa yang kita cari.

c. Ilmu Kimia (Chemistry)

Mulai bekerja sesungguhnya dalam tahap ini, ketika pada tahap ilmu
astronomi dan fisika hanya bekerja saja, dalam ilmu ini semua indera harus bekerja.
Comte akan mengatakan, bahwa penciuman dan perasaan adalah hal yang paling
mendasar, karena itu bukan kebetulan atau empirik, karena teori fisiologis kedua
adalah suatu proses kimiawi.

d. Ilmu Hayat (Biologi)

Dalam tahap ilmu hayat pengamatan dipergunakan lebih intens lagi, sebab
dalam ilmu kimia kelima macam indera dipergunakan, maka dalam ilmu hayat indera
kita masih dilengkapi dengan ilmu-ilmu buatan terutama untuk melengkapi ketepatan
hasil pengamatan. Berkat sarana-sarana inilah kita bisa mengamatai benda yang
paling terkecil sekalipun yang merupakan dasar bagi gejala-gejala kehidupan yang
paling penting. Dengan diciptakannya sarana-sarana tadi, ilmu hayat paling
diuntungkan karena mereka bisa menggunakan metode keseluruhan.

e. Fisika Sosial (Soisologi)

Sosiologi merupakan ilmu pengetahun yang tinggi, kompleks, dan khusus,


dengan tidak khusus dalam penyelidikannya. Untuk melakukan penyeledikikan ini,
Comte menggunakan metode berikut: pengamatan, perbandingan, dan percobaan.
Menggunakan metode yang tidak langsung, yaitu metode hubungan ilmu fisika yang
lain dengan ilmu yang lain. Comte mengidentifikasi sejumlah besar orang-orang yang
menolak ilmu fisika sosial, sebagai akibat dari kurangnya pasti yang diperoleh secara
inderawi. Aguste Comte akan mengatakan, "Metode pengamatan semakin diperlukan
dengan meningkatkan kompleksnya gejala-gejala yang dihadapi, lebih-lebih apabila
suatu pertemuan tidak tahu suatu mana harus melihat selain dari suatu teori yang ia
ketahui sebelumnya.

f. Ilmu Pasti (Matematika)

Setelah mempelajari cara membuat keempat macam metode, sampailah kita


pada ilmu pasti yang berdiri pada urutan pertama dalam suatu ilmu pengetahuan,
karena itu bagi Comte ilmu pasti ini ilmu dasar bagi ilmu lainnya. Tepat karena yang
dihadapi ini merupakan gejala-gejala yang sangat sederhana, umum, dan abstrak,
maka ilmu pasti merupakan sarana yang sangat tepat bagi manusia untuk gejala gejala
alam Justru merupakan dasar keseluruhan filsafat alam, dan ilmu ini disebutkan
himpunan bagi unsur-unsur filsafat alam.
 Metode Fenomenologi

Kata "fenomenologi" berasal dari bahasa Yunani phaenaesthai, yang berarti


"menunjukkan diri"9. Secara harfiah fenomenologi berarti nampak atau
menampakkan diri. Fenomena merupakan fakta yang disadari dan dimengerti pada
pemahaman manusia. Fenomenologi menggambarkan faktual manusia yang terkait
dengan objek10. Fenomenologi adalah pendekatan filsafat yang memusatkan perhatian
pada gejala yang memenuhi kesadaran manusia. Menurut Bagus, ilmu bisa diperoleh
dengan mengalami secara sadar suatu peristiwa. Dalam fenomenologi tidak ada teori,
tidak ada hipotesis, dan tidak ada sistem.

Pendekatan fenomenologi saat ini sudah banyak digunakan oleh banyak peneliti
sebagai pendekatan atau metodologi penelitian. Pada awalnya, fenomenologi adalah
pendekatan filsafat yang berdasarkan pada filsafat ilmu. Banyak literatur yang
menyepakati bahwa bapak fenomenologi adalah Edmund Husserl. Bagi Husserl
“realitas” merupakan perluasan dari kata “nature.” Artinya nature science
menggunakan realitas sebagai keseluruhan benda dalam ruang dan waktu. Namun
Husserl membalik persoalan filsafat dari objek ke subjek pengetahuan. Hal tersebut
berasal dari pandangan Rene Descartes tentang “aku yang berfikir atau “cogito ergo
sum”.11
 Macam Macam Metode Fenomenologi
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai konsep dasar dari
fenomenologi, terutama terkait perannya sebagai pendekatan pencarian ilmu
pengetahuan. Secara mendasar, fenomenologi mencoba untuk mengungkap realitas
yang dialami subjek untuk kemudian dimaknai oleh peneliti. Fenomenologi terus
dikembangkan oleh para pemikir / filosof setelah Husserl. Fenomenologi akhirnya

9
Hasbiansyah, O. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan
Komunikasi”. JurnalKomunikasi.,Vol. 9. No. 1, Mediator: Blitar,2008.
10
Kuswarno, Engkus. Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan
Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
11
Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi,Koekoesan, Depok, 2010.
mengembangkan sistem baru sebagai hasil dari penemuan-penemuan tersebut.
Menurut Burrel dan Morgan12 setidaknya ada tiga macam fenomenologi yaitu
fenomenologi transendental, fenomenologi eksistensial dan fenomenologi sosiologi.
Namun, terdapat jenis-jenis fenomenologi yang berbeda secara mendasar meliputi
post-fenomenologi, fenomenologi islam dan post-fenomenologi tauhid 13. Peneliti
mencoba menjelaskan secara umum mengenai jenis-jenis fenomenologi tersebut..
a. Fenomenologi Husserl (Transcendental)
Fenomenologi transendental paling sering digunakan dalam penelitian ilmu sosial.
Kata transenden mengandung arti “berada di luar kemampuan manusia utama”.
Transenden yang dimaksud adalah kesadaran murni dari “Aku” yang mengalami
fenomena. Jadi, fenomenologi transendental Husserl berfokus pada studi tentang
“Aku”. “Aku” adalah “Aku” yang mengalami, bukan pengalaman itu sendiri. Apa
yang dialami oleh “Aku” akan berbeda dengan yang dialami oleh “Aku” yang lain.
Penggunaan kata “Aku” menggambarkan bahwa “Aku” yang satu berbeda dengan
“Aku” yang lain. Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain. Setiap
“Aku” akan membentuk persepsi, ingatan, fantasi, dan ekspektasi yang berbeda
dengan “Aku” yang lain.
b. Fenomenologi Martin Heidegger (Eksistensial)
Fenomenologi Heidegger merupakan transformasi fenomenologi Edmund
Husserl, meskipun ia sendiri juga merupakan kritik atas nuansa idealisme yang
melingkupi fenomenologi Husserl. Menurut Heidegger esensi kesadaran dan aktivitas
merupakan hal yang penting dalam penegmbangan ilmu. Hal tersebut diperlukan
sebagai landasan teori-teori ilmiah. Meskipun konsep fenomenologinya banyak
dipengaruhi oleh pendulunya, namun ia menyoroti bahwa term “kembali pada
subjek” hanya semakin mempertebal idealisme dan melupakan hal yang konkret.
Heidegger menolak model kesadaran Cartesian, yaitu pengkultusan “aku” sebagai

12
Ari Kamayanti Metodelogi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan.
Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh. 2016.
13
realitas murni yang terpisah dari kehidupan keseharian. Dapat dikatakan bahwa yang
dideskripsikan oleh Heidegger adalah eksistensi manusia.
c. Fenomenologi Jean Paul Sartre (Negativitas)
Gagasan filsafat Sartre adalah sebuah usaha untuk merekonsiliasi antara subjek
dan objek. Tren ini dimotivasi oleh pengalaman kehidupan Sartre tentang kebebasan
diri. Fenomenologi Sartre berangkat dari filsafat Cartesian 14. Kebutuhan untuk
membangun konsepsi yang tidak ambigu dan terpilah adalah yang menarik dari
Sartre ke filsafat Cartesian. "Saya terkutuk untuk bebas," kata Sartre, menyiratkan
bahwa tidak ada batasan terhadap kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau
jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas15.
d. Fenomenologi Merleau Ponty (Persepsi)
Filsafat Merleau-Ponty sering dikaitkan dengan tiga orang pendahulunya yaitu
Husserl, Heidegger dan Sartre. Fenomenologi yang dikembangkan Ponty mempunyai
sasaran tetap ialah dualisme subjek-objek. Ponty juga tertarik pada ajakan
intensionalitas pra-prediktif dan eksposisi Heidegger tentang keberadaan manusia
sebagai “ada dalam dunia”. Ia mengembangkan deskripsinya tentang dunia sebagai
bidang pengalaman yaitu tempat “saya menemukan diri”, Fenomenologi Ponty
mengandung dimensi presepsi yang meyakinkan bahwa keistimewaan tubuh sebagai
sebuah media yang mendunia. Merleau Ponty bahwa tubuh bukan lah subjek atau
objek secara penuh. Lebih lanjut lagi, dalam fenomenologi nya Ponty bermaksud
mengajarkan cara melihat pengalaman melalui sebuah cara baru yakni dengan
mengembangkan metode dan bahasa yang memadai untuk mengartikulasikan
pengalaman pra-reflektif khususnya dunia presepsi. Meskipun Ponty tidak
menggunakan istilah "naturalisme" yang ia asosiasikan dengan berbagai bentuk
reduksionisme saintisme, pandangan filosofisnya masih dikategorikan sebagai
naturalisme dialektis.

14
Dermot Moran and Timothy Mooney (ed), The Phenomenology Reader. New York: Routledge, 2002
15
Lavine, T.Z, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto dan Deddy
Andrian Utama. (Yogyakarta: Jendela., 2002)
e. Fenomenologi Alfred Schutz (Realitas dan Makna)
Pemikiran-pemikiran filosofis sangat penting menentukan arah perkembangan
ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan
kemasyarakatan dan kebudayaan. Demikian hal nya dengan filsafat fenomenologi,
yang disebarkan oleh murid-murid Husserl telah mendorong munculnya pemikiran-
pemikiran baru. Alfred Schutz merupakan salah seorang murid Husserl, yang pertama
kali menjelaskan fenomenologi dalam dunia sosial. Schutz mendasarkan ketertarikan
terhadap gaya orang memahami kesadaran orang lain, tetapi ia hidup dalam aliran
kesadaran diri sendiri. Prespektif yang digunakan Schutz untuk memahami kesadaran
itu dengan konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan konsep intersubyektif ini
adalah kehidupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari16

Metode Kritis

Metode kritis merupakan suatu aliran yang menekankan terhadap penilaian


dari masyarakat ataupun budaya dengan menerapkan sistem pengetahuan tentang
pemikiran yang kompleks dengan menggunakan proses analisa dan avaluasi terhadap
suatu informasi yang diterima. Ahli teori kritis melihat kurikulum ada dalam dua
bidang: kurikulum resmi dan kurikulum "tersembunyi". Kurikulum yang diamanatkan
secara resmi berisi keterampilan dan mata pelajaran yang diamanatkan dan
ditransmisikan secara sengaja kepada siswa.

Melalui lingkungan pendidikan, kurikulum “tersembunyi” membebankan


kebiasaan dan sikap yang disetujui oleh siswa.Kelas dominan menggunakan
kurikulum resmi untuk mentransmisikan keyakinan dan nilai-nilai khusus mereka
sebagai versi pengetahuan yang sah untuk semua siswa. Transmisi (pengiriman,
penyebaran, penjangkitan), alih-alih pemikiran kritis dan analisis, mereproduksi pada
siswa versi pengetahuan yang disetujui dan dipercayakan secara formal. Sebagai
contoh, bentuk resmi sejarah menggambarkan faktual Amerika sebagai seri
16
Ritzer, George-Douglas J. GoodmanTeori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Predana Media
Group. 2007.
kemenangan Amerika yang sebagian besar Eropa dalam penyelesaian dan
industrialisasi bangsa. Perempuan, Afrika, dan Pribumi Amerika, dan Latin
terpinggirkan sebagai "tambahan" pada narasi resmi.

Kurikulum tersembunyi adalah materi kunci dalam kontrol sosial berbasis


sekolah. "Tersembunyi" karena tidak dinyatakan dalam mandat negara yang
diterbitkan atau kebijakan 9 sekolah setempat, itu meresapi lingkungan sekolah
umum. Misalnya, sikap memihak bahwa laki-laki memiliki bakat lebih besar daripada
perempuan dalam matematika dan sains mempertahankan pola pengkhususan gender
dalam pendidikan dan karier di bidang-bidang tersebut

Ahli teori kritis berpendapat bahwa siswa membangun pengetahuan dan nilai-
nilai mereka sendiri yang bermakna dalam konteks lokal mereka, situasi langsung
dan komunitas tempat mereka tinggal dan di sekolah yang mereka hadiri. Para guru
harus mulai meningkatkan kesadaran bersama para siswa di kelas mereka dengan
memeriksa kondisi di komunitas lingkungan mereka. Siswa dapat berbagi kisah hidup
mereka untuk membuat otobiografi kelompok kolaboratif yang menceritakan
pengalaman di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Mereka selanjutnya dapat
menghubungkan autobiografi kelompok ini dengan sejarah yang lebih besar dari
kelas ekonomi masing-masing dan kelompok ras, etnis, dan bahasa. Misalnya, The
Freedom Writers Diary memberikan narasi yang menarik tentang bagaimana Erin
Gruwell, seorang guru bahasa Inggris pemula di Sekolah Menengah Atas Woodrow
Wilson di Long Beach, California, secara efektif menggunakan tulisan otobiografi
sebagai metode pendidikan. Siswa Gruwell, yang dikategorikan sebagai siswa
"berisiko" yang diperkirakan putus sekolah, menulis otobiografi mereka dalam buku
harian.

Mereka menulis tentang kondisi yang mereka alami dalam situasi mereka
sendiri seperti; kekerasan, perang geng, penyalahgunaan narkoba, dan kemiskinan.
Ketika mereka mulai mengenal diri mereka sendiri, mereka diberdayakan sendiri.
Bertolak belakang dengan prediksi lembaga pendidikan, semua siswa ini
menyelesaikan sekolah menengah atas. Masyarakat multikultural Amerika Serikat
menyediakan lebih banyak versi pengalaman Amerika daripada cerita yang disetujui
secara resmi. Anggota dari setiap ras, etnis, dan kelompok bahasa dapat menceritakan
kisah mereka sendiri daripada menceritakannya kepada mereka. Setelah menjelajahi
identitas mereka sendiri, siswa dapat mengembangkan cara untuk mengenali stereotip
dan representasi yang salah dan untuk 10 melawan indoktrinasi baik di dalam
maupun di luar sekolah. Mereka dapat belajar bagaimana mengendalikan hidup
mereka sendiri dan membentuk masa depan mereka sendiri.17

 Ciri Ciri Metode Kritis

- Rasional dan Beralasan ialah suatu argumen yang diberikan berdasarkan analisis
dan memiliki dasar yang kuat ataupun fenomena nyata

- Reflektif yaitu analisis berdasarkan ilmu, fakta dan kejadian

Bagian dari suatu sikap ialah pemikir kritis akan selalu menguji sesorang apakah
sesuatu hal yang dihadapi itu lebih baik atau lebih buruk dibanding yang lain

- Kemandirian berfikir ialah selalu berfikir dalam dirinya tidak pasif dalam menerima
suatu pemikiran dan keyakinan orang lain. 

Teori kritis berfungsi untuk mengkritik sebuah paradigma. Oleh sebab itulah
muncullah teori pendidikan baru disebut paradigma pendidikan kritis. Monsour Fakih
mengartikan bahwa paradigma pendidikan kritis merupakan sebuah ajaran yang
berpendidikan yang mengacu pada anggapan kritis kepada ideologi dominan
mengacu pada pemikiran yang berhubungan dengan masyarakat. Secara tidak
langsung paradigma pendidikan kritis adalah pendidikan yang menerapkan pemikiran
yang memiliki sifat berkreasi dalam berkarya dan tidak termasuk kedalam sikap

17
Ornstein, A.C. and Levine, D.U. Foundations of Educations, 10th Edition. Boston & NY; Houghton
Mifflin Company, 2008. ( Chapter 6: Philosopical Roots of Education, pp. 159- 198)
meniru. Pada dasarnya kita sebagai peserta didik dituntut untuk selalu berpikir kritis
dalam menyikapi permasalahan baik secara sosial maupun personal.

 Konsep dalam Pendidikan Kritis

Konsep pendidikan kritis sebenarnya ditujukan kepada peserta didik yang


diharapkan dapat berpikir secara aktif, kritis dan kreatif. Ada tiga konsep supaya
memenuhi standar interaksi secara menyeluruh yaitu :

1. Pendidikan harus membebaskan.


Artinya sebuah pendidikan tidak boleh dipaksakan karena siswa memiliki
kemampuan masing-masing dalam mengaplikasikan bakat.
2. Pendidikan memiliki akses yang sama terhadap peserta didik.
Artinya seorang pendidik tidak diperkenankan untuk membeda-bedaka antara
peserta didik yang satu dengan yang lainnya. Seorang pendidik harus berlaku adil
kepada semua peserta didiknya.
3. Pendidikan mampu memberikan ruang interaksi.

Artinya sebuah lembaga harus mampu mendirikan sebuah ruang interaksi yang
memadai bisa berupa kelas atau ruang untuk belajar agar peserta didik mampu
berinteraksi secara nyaman.18

18
Chabib Mustofa, . Teori Kritis Madzhab Frankfurt..Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian Pendidikan
Agama Islam, 2016, hlm 33-52
PENUTUP

KESIMPULAN

Positivisme adalah pradigma ilmu pengetahuan paling dasar yang ada di dunia
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, keyakinan dasar aliran didasarkan pada paham
ontologi, yang menyatakan bahwa realitas itu ada (ada) dalam kenyataan yang
mengikuti aturan tanah (hukum alam). Usaha studi dalam hal ini adalah
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut
berjalan. Positivisme ada digerakkam oleh sosiolog Auguste Comte pada abad ke-19,
dengan hal yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan.

Kata "fenomenologi" berasal dari bahasa Yunani phaenaesthai, yang berarti


"menunjukkan diri". Secara harfiah fenomenologi berarti nampak atau menampakkan
diri. Fenomena merupakan fakta yang disadari dan masuk dalam pemahaman
manusia. Fenomenologi menggambarkan pengalaman manusia yang terkait dengan
objek. Fenomologi terbagi atas :

1. Fenomologi Husserl (Transcendental), mengandung arti “berada di luar


kemampuan manusia; utama”. Transenden yang dimaksud adalah kesadaran murni
dari “Aku” yang mengalami fenomena.
2. Fenomenologi Martin Heidegger (Eksistensial), transformasi fenomenologi
Edmund Husserl, meskipun ia sendiri juga merupakan kritik atas nuansa idealisme
yang melingkupi fenomenologi Husserl.
3. Fenomenologi Jean Paul Sartre (Negativitas), fenomenologi Sartre berangkat
dari filsafat Cartesian.
4. Fenomenologi Merleau Ponty (Persepsi), fenomenologi Ponty mengandung
dimensi presepsi yang menunjukkan bahwa keunggulan tubuh sebagai sebuah wahana
yang mendunia.
5. Fenomenologi Alfred Schutz (Realitas dan Makna), yang dimaksud dengan
konsep intersubyektif ini adalah kehidupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan
sehari-hari.

Metode Kritis merupakan suatu aliran yang menekankan terhadap penilaian


dari masyarakat ataupun budaya dengan menerapkan sistem pengetahuan tentang
pemikiran yang kompleks dengan menggunakan proses analisa dan avaluasi terhadap
suatu informasi yang diterima.

Ahli teori kritis berpendapat bahwa siswa membangun pengetahuan dan nilai-
nilai mereka sendiri yang bermakna dalam konteks lokal mereka, situasi langsung dan
komunitas tempat mereka tinggal dan di sekolah yang mereka hadiri. Para guru harus
mulai meningkatkan kesadaran bersama para siswa di kelas mereka dengan
memeriksa kondisi di komunitas lingkungan mereka. Siswa dapat berbagi kisah hidup
mereka untuk membuat otobiografi kelompok kolaboratif yang menceritakan
pengalaman di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Mereka selanjutnya dapat
menghubungkan autobiografi kelompok ini dengan sejarah yang lebih besar dari
kelas ekonomi masing-masing dan kelompok ras, etnis, dan bahasa. Misalnya, The
Freedom Writers Diary memberikan narasi yang menarik tentang bagaimana Erin
Gruwell, seorang guru bahasa Inggris pemula di Sekolah Menengah Atas Woodrow
Wilson di Long Beach, California, secara efektif menggunakan tulisan otobiografi
sebagai metode pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Comte Aguste. 1905. The Fundamental Principles of the Positive Philosophy: Being
the First. Two Chapters of the “Cours de Philosophie Positive. London: Watts
& Co

Amin Husnul, 2018. Proses Pendidikan, Jurnal Tarbiyah Islamiyah,Vol 3, No.1,


Sumetra Selatan: Raudhah Proud To Be Professionals, hlm 20.

Moran Dermot, Timothy Mooney (ed), 2002, The Phenomenology Reader. New
York: Routledge,
Adian, Donny Gahral, 2010. Pengantar Fenomenologi, Koekoesan: Depok.
Hardiman F. Budi,2012. Melampaui Moderenitas dan Positivisme.Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, hlm. 54.
Hasbiansyah O, 2008. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian
dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi”, Jurnal Komunikasi.,Vol. 9. No. 1,
Mediator: Blitar.
Kuswarno, Engkus, 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi. Fenomenologi.
Konsepsi. Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran.
Lavine, T.Z, 2010, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi
Iswanto dan Deddy Andrian Utama, Yogyakarta: Jendela.
Mardalis, 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proporsal, Jakarta: Bumi
Aksara.
Mustofa Chabib, 2016. Teori Kritis Madzhab Frankfurt..Jurnal Mudarrisuna: Media
Kajian Pendidikan Agama Islam, hlm 33-52
Muhadjir Noeng, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, hlm.70.
Nugroho Irham, 2016 “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan
Nilai Etisnya Terhadap Sains“,Jurnal Studi Islam, Vol. 11, No. 2, Cakrwala:
Magelang. hlm 171
Ornstein, A.C. and Levine, D.U. Foundations of Educations, 10th Edition, 2008,
Boston & NY; Houghton Mifflin Company, Ritzer, George-Douglas J.
Goodman, 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Predana Media
Group.
Jonathan Sarwono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
Yogyakarta:Graha Ilmu.
Riyanto, Wryani Fajar, 2011. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press,
hlm. 413.

Anda mungkin juga menyukai