Anda di halaman 1dari 37

TUGAS

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

(EMPIRISME, RASIONALISME, FENOMENALISME, INTUISIONISME,

HUMANISME, POSITIVISME)

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK III

1. AYUNANINGSI (G2U119032)
2. ALPIN (G2U119012)
3. YANTI SUTIANI (G2U119008)
4. MUH SUJARWAD (G2U11001)

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

2019/2020

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada orang yang berkata, bahwa orang harus berfilsafat, untuk mengetahui apa yang
disebut filsafat itu. Mungkin ini benar, hanya kesulitannya ialah: bagaimana ia tahu,
bahwa ia berfilsafat? Mungkin ia mengira sudah berfilsafat dan mengira tahu pula apa
filsafat itu, akan tetapi sebenarnya tidak berfilsafat, jadi kelirulah ia dan dengan
sendirinya salah pula sangkanya tentang filsafat itu.
Menyibukkan diri dibidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan
oleh segelintir ahli saja. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dilindungi oleh aneka
macam peristiwa yang langsung dialaminya, seperti bangun tidur, mengenakan pakaian,
bekerja dan beristirahat. Atau yang tidak langsung sampai kepadanya, namun juga
dianggap biasa saja, seperti misalnya berita dalam surat kabar atau radio mengenai
perkembangan mutakhir dalam politik internasional, bencana alam disalah satu negeri
nan jauh atau peristiwa-peristiwa menakjubkan.
Ketika itu dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga
periode yaitu: Ancient, Medieval, dan zaman modern. Zaman modern sangat dinanti
nantikan oleh banyak pemikiran manakala mereka mengingat zaman kuno ketika
peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekanan diluar dirinya.
Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern.
Pada abab ke-13 di Eropa sudah timbul sistem filsafat yang boleh disebut merupakan
keseluruhan. Sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dalam abab
ke-14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahuluan filsafat modern. Yang menjadi
dasar aliran baru ini ialah kesadaran atas yang individual yang kongkrit.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern,
dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran
pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme,
Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup,
Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamna Metode-metode Untuk Memperoleh Ilmu Pengetahun di Lihat Ddari
Aspek :
a. Empirisme
b. Rasionalisme
c. Fenomenalisme
d. Intusionisme
e. Humanisme
f. Poisitivisme

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 EMPIRISME
2.1.1 Pengertian Empirisme

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-
coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kata Yunani
empereikos yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan dari pengalaman inderawi. Hal ini dapat dilihat bila memperhatikan
pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang
empiris akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang
ilmuan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur
yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia
mengetahui bahwa esitu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan
menyentuh langsung lewat alat peraba.dengan kata lain, seorang empiris akan
mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman
inderawi yang sesuai.
Dalam Juhaya juga menyatakan hal yang sama dengan Amsal Bakhtiar
bahwa pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai dan pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan bukan rasio.
Oleh sebab itu, empirisme dinisabatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan yang dimaksudkan dengannya
ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman
batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan menurut Sutarjo
menyatakan bahwa empirisme merupakan aliran yang mengakui bahwa
pengetahuan itu pada hakikatnya didasarkan ataspengalaman atau empiri melalui
alat indra (empiri). Empirisme menolak pengetahuan yang semata-mata
didasarkan akal, karena dapat dipandang sebagai spekulasi belaka dan tidak
berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan.Pengetahuan
sejati harus didasarkan pada kenyataan sejati, yaitu realitas Berbeda dengan

5
Rasionalisme yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal
pula. Dicari dengan akal artinya dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak.bila logis berarti benar, bila tidak
logis berarti salah. Jadi sumber pengetahuan bagi paham Rasionalisme adalah
akal yang logis Dari beberapa uraian di atas tentang empirisme dan rasionalisme
penulis mengatakan bahwa keduanya memiliki kekurangan. Empiris
(pengalaman) belumlah menjadi sebuah pengetahuan, karena masih merupakan
bahan yang belum berbentuk. Pengalaman itu menjadi sebuah pengetahuan
setelah diolah, dibentuk oleh akal kita. Pandangan ini juga selaras dengan
pandangan Kant yang menyebut dirinya sebagai aliran Kritisme.1 Begitupula
dengan akal (rasio) belum juga dapat menjadi sebuah pengetahuan, karena
manusia memiliki akal yang terbatas. Sehingga terkadang orang menafsirkan
sesuatu dengan akalnya sama-sama logis padahal sesuatu itu tidak sama, seperti
ayam dan telur. Tanpa melibatkan konsep penciptaan tidak dapat ditemukan mana
dari keduanya yang pertama kali ada. Adanya telur karena ayam, adanya ayam
juga karena telur. Karena tidak pernah ditemukan ayam melahirkan seorang anak
ayam sebelum telur. Oleh karena itu pengetahuan perlu ditinjau dari kemungkinan
sumber lain.
Adapun kekurangan empirisme menurut positivisme bahwa empirisme
belum terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep umum, seperti
kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar,
demikianlah seterusnya.Konsep ini belum operasional, karena belum terukur.Jadi,
masih perlu alat-alat lain seperti paham positivisme Paham positivisme
mengajarkan bahwa kebenaran itu ialah yang logis, ada bukti empirisnya, dan
terukur.”Terukur” inilah yang menjadi sumbangan penting positivisme.
Positivisme akan mengatakan bahwa air kopi ini panasnya 80 derajat celcius, air
mendidih ini 100 derajat celcius, ini panjangnya satu meter, dan lainnya.

5
Oleh karena itu, filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan
dengan aliran positivisme logis. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu
harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Kalau kaum rasionalis berpendapat
bahwa manusia sejak lahir di karuniai idea oleh Tuhan yang dinamakan “idea
innatae” ( idea terang benderang atau idea bawaan) , maka pendapat impiris
berlawanan mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih
bersih ( tabula rasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan “idea
innatae”.
Meskipun demikian positivisme telah memberi sumbangan terhadap
paham empirisme yang dapat mengajukan logikanya, menunjukkan bukti
empirisnya yang terukur, namun keduanya masih pula memiliki kekurangan.
Kekurangannya menimbulkan pertanyaan “ Bagaimana caranya?”oleh karena itu
masih diperlukan alat-alat lain seperti Metode Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan,
untuk memperoleh pengetahuan yang benar dilakukan langkah berikut: logico –
hypothetico – verificartif. Maksudnya, buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan
hipotesis berdasarkan logika itu, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu
secara empiris
2.1.2 Tokoh Empirisme
Sebagai aliran filsafat, empirisme merupakan salah satu dari dua cabang
filsafat modern yang lahir pada zaman pencerahan.Bertentangan dengan rivalnya,
rasionalisme, yang menempatkan rasio sebagai sumber utama pengetahuan,
empirisme justru memilih pengalaman sebagi sumber utama pengetahuan baik
lahiriah maupun batiniah.
Aliran ini bertanah air di Inggris. Francis Bacon (1561-1626) bisa
dikatakan sebagai peletak dasar lahirnya empirisme yang untuk kali pertama
menyatakan pengalaman sebagai sumber kebenaran yang paling
terpercaya.Kemudian paham ini diikuti dan dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753) dan
mencapai puncaknya dalam filsafat David Hume (1711-1776).
1. Francis Bacon (1561-1626 M)

5
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia
fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati. Kata Bacon
selanjutnya, kita sudah terlalu lama dpengaruhi oleh metode deduktif. Dari
dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita sekarang
memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu
pengetahuan.
2. Thomas Hobbes(1588-1679 M)
Ia seorang ahli pikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia
pergi ke Oxford untuk belajar logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata
gagal, karena ia tidak berminat sebab gurunya beraliran Aristotelien.
Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem materialistis
yang besar, termasuk juga kehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang
kenegaraan ia mengemukakan teori teori Kontrak Sosial. Materialisme yang
dianut Hobbes yaitu segala yang bersifat bendawi. Juga diajarkan bahwa
segala kejadian adalah gerak yang berlangsung secara keharusan. Bedasarkan
pandangan yang demikian manusia tidak lebih dari satu bagian alam bendawi
yang mengelilinginya. Manusia hidup selama jantungnya tetap bergerak
memompa darahnya. Dan hidup manusia merupakan gerak anggota-anggota
tubuhnya. Menurutnya pula akal bukanlah pembawaan melainkan hasil
perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar merupakan suatu awal gerak yang
kecil yang jikalau diarahkan menuju kepada sesuatu yang disebut keinginan,
dan jika diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut keengganan atau
keseganan. Menurutnya pula pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas
pengamatan, yang disimpan didalam ingatan dan digabungkan dengan suatu
pengamatan, yang disipan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu
pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada
masa yang lampau.
Pendapatnya tentang ilmu filsafat yaitu suatu ilmu pengetahuan yang
sifatnya umum. Karena filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat-
akibat atau tentang gejala-gejala yang diperoleh dari sebab-sebabnya. Sasaran

5
filsafat adalah fakta yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ada
ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum ilmu
pasti/ilmu alam.
Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa pengalaman indrawi
sebagai permulaan segala pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh
dengan indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio)
tidak lain hanyalah merupakan pengabungan data-data indrawi belaka.
3. Jhon Locke(1632-1704 M)
John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington/Somersetshire dan
meninggal di Oates/Essex tanggal 28 Oktober 1704. Ia dilahirkan dari
keluarga yang memihak parlemen. Sikap puritan ayahnya sedikit banyak
menularkan kepada anaknya sebuah sikap tidak suka pada aristokrasi.
Menurutnya segala pengetahuan datang dari pengalaman, sedangkan akal
tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Seluruh pengetahuan kita
peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan
yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan
tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita.
Sedangkan obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea, yang
timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan pengalaman batiniah
(reflection) dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan. Reflection itu
pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih
baik lebih penuh dari pada sensation. Sensation merupakan suatu yang
memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak
dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga
suatu pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara
sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab
jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa,
tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide bawaan.
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Ia menyarankan
bahwa akal budi dan spekulasi abstrak agar kita harus menaruh perhatian dan
kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui

5
pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang
dilaluinya seperti mencium, merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar
bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana. Gagasan yang datang
dari indra tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai dan
meragukannya dan inilah akhirnya disebut bagian aktivitas merenung dan
perenungan.
4. George Berkeley (1685-1753)
George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysert Castle
Irlandia dan meninggal tanggal 14 Januari 1753 di Oxford.2Sebagai penganut
empirisme mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar
prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke
yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali
tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh
saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide. Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai
benda yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu
substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-
ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Pandangan Berkeley ini sekilas seperti rasionalisme karena memutlakkan
subjek. Jika diperhatikan lebih lanjut padangan ini termasuk empirisme, sebab
pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip
dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Selanjutnya,
dengan menegaskan tentang adanya sesuatu yang sama dengan pengertiannya
dalam diri subjek dan juga ia beranggapan bahwa dunia adalah idea-idea kita.
5. David Hume (1711-1776)
Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh Inggris dan meninggal
pada tanggal 25 Agustus 1776. Empirisme mendasarkan pengetahuan
bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih pengalaman sebagai
sumber pengetahuan. Pengalaman itu bersifat lahiriyah (yang menyangkut

5
dunia) dan dapat pula bersifat batiniah (yang menyangkut pribadi manusia).
Hume mengkritik tentang pengertian subtansi dan kausalitas (hubungan sebab
akibat). Ia tidak menerima subtansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan-
kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan
muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung atas realitas
lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan Hume membagi
kesan menjadi dua: kesan sensasi dan kesan refleksi. Kesan sensasi adalah
kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak diketahui sebab-
musababnya. Misalnya (kita melihat sebuah meja kayu): benda yang saya lihat
di depan adalah meja. Kesan refleksi adalah hasil dari gagasan. Gagasan jika
muncul kembali ke dalam jiwa akan membentuk kesan-kesan baru. Kesan
baru hasil pencerminan dari ide sebelumnya inilah yang disebut dengan kesan
refleksi. Misalnya, (kita melihat sebuah meja dari besi): itu meja besi. Kita
dapat menentukan bahwa itu meja walaupun terbuat dari bahan yang berbeda,
karena sebelumnya kita sudah ada kesan sensasi terhadap meja kayu.
Sedangkan ia menolak tentang kausalitas dan menurutnya bahwa
pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan
kepada kita urutan sebab-akibat. Hume lebih suka menyebut urutan kejadian.
Jika kita bicara tentang hukum alam atau sebab akibat, sebenarnya kita
membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja,
yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika
atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan
saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air
mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang
mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa
diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan
suatu peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa terdahulu.

2.2. RASIONALISME
2.2.1 Defensi Rasionalisme

5
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris
rationalism. Kata ini berakar dari kata dalam bahasa latin ratio yang berarti
“akal”. Menurut A.R. lacey berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah :
sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi
pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran
atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada
sumber kebenaran hakiki.
Sementar itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang
berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan.
ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului
dan bebas dari pengamatan indrawi. Hanya pengetahaun yang diperoleh melalui
akal yang memenuhi semua syarat pengetahuan ilmiah alat terpenting dalam
memperoleh pengatahun dan mengetes pengetahuan. “Pengalaman hanya dipakai
untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal.

2.2.2 Pendiri Filsafat Rasionalisme


Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut
sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu
kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandinganya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang
benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu
pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat
dijadikan model cara mengenal secara dinamis.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat, bahwa
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang
diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu
pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode
deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu past
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk
membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional(skolastik), yang pernah

5
diterima tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan
yang dihadapi. Apa yang ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih
dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlikan
titik tolak pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan,
Cogito ergo sum(saya berfikir maka saya ada). Jelasya, bertolak dari keraguan
untuk mendapatkan kepastian.
Oleh pelopor rasionalisme, DESCARTES, memang dikatakan dengan
amat tegas, bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan keluasanya
(extensio) serta budi dengan kesadaranya. Kesadaran ini rohani dan yang
bertindak itu sebenarya budilah. Dalam pengetahuan dan pengenalan misalnya,
satu-satunya pengetahuan yang benar itu hanya yang bersumber pada kesadaran.
Jiwa dan badan memang terhubungkan, akan tetapi hubungan ini sejajar, jadi
tidak merupakan kesatuan. Ada pengaruh jiwa kepada badan, akan tetapi
pengaruh ini hanya secara materi, tetaplah kedua hal tersebut berdampingan.
Dalam pada itu murid-muridnya melihat persesuaian atau harmoni antara badan
dan jiwa itu pada pencciptanya. Tuhan dari semula dan dari keabadian sudahlah
menyesuaikan dua hal yang bertentangan ini. Sebagai dua buah jam sudahlah
jasmani dan rohani dalam manusia disesuaikan oleh penciptanya. Seperti kita
ketahui dari renungan rasionalistis ini adalah yang sampai kepada paham
panteisme, yaitu SPINOZA.

2.2.3 Tokoh tokoh Rasionalisme


Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah:
1. Blaise Pascal
2. Cristian Wolf
3. Rene Descartes
4. Baruch Spinoza
5. G.W Leibnitz

3.1. FENOMENALISME

5
3.1.1 Pengertian Fenomenalisme
Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata
Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam
fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar
manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional
(berdasarkan niat atau keinginan).3 Secara harfiah, fenomenologi atau
fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme
juga adalah suatu metode pemikiran.
Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat
yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan
terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu
yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian
diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat
manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai
subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna
dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada
intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh
alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang
kesadaran murni yang dialami manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari
pada fenomenologi. Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran

5
atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala
tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi
dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya
menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya
adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan
sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat,
sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin.
Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman
menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dari beberapa
pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu
tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan
filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri
pada kesadaran kita.

3.1.2 Tokoh Fenomenologi

a. Edmund Husserl (1859-1938)


Edmund Husserl adalah pelopor filsafat fenomenologi. Ia lahir di
Prosswitz (Moravia) pada tahun 1859. Semula ia belajar ilmu pasti di Wina,
tetapi kemudian ia berpindah studi ke filsafat. Berturut-turut ia menjabar guru
besar di Universitas Halle, Gotingen dan Freiburg. Banyak sekali buah
karyanya, akan tetapi belum semuanya diterbitkan. Diantara yang telah
diterbitkan ialah: Logische Untersuchungen, atau “Penyelidikan-penyelidikan
yang logis” (1900-1901), Ideen zu einer reinen Phanamenologie atau “Idea-idea
bagi suatu fenomenologi yang murni” (1913), Formale und transdentale Logik
atau “Logika yang formal dan transdental” (1929) dan Erfahrung und Urteil
atau “pengalaman dan Pertimbangan” (1930).

5
Menurut Husserl hukum-hukum logika yang memberi kepastian, yang
berlaku, tidak mungkin bersifat a posteriori, sebagai hasil pengalaman, tapi
bersifat a priori. Umpamanya asas pemikiran yang berbunyi: A tak mungkin
sekaligus A dan bukan A, artinya, tidak mungkin bahwa jikalau A adalah A,
maka A sekaligus juga bukan A. Asas pemikiran ini tetap berlaku, juga
seandainya tiada seorangpun yang memikirkannya. Hal ini sama dengan
kenyataan, bahwa 2 x 2 = 4. Juga seandainya tiada seorang pun yang
menghitungnya, patokan itu tetap berlaku, pasti. Oleh karena itu logika sejenis
dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku adalah sama.
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan
ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang
harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu,
harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk
kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi
memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan
kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bawah untuk
menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-
benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan
kalimat zu den sachen (to the things).4 Kembali kepada “benda-benda”
dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara
tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi
bergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh
“benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan
hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran
biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk

5
menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang
digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat
adalah Wesenschau (melihat secara intuitif) hakikat gejala-gejala
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan
segala pengetahuan yang tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang
digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di
antara dua kurung. Namun yang dimaksud ialah “melupakan pengertian-
pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara
langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada
sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap
fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap
netral, tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada
dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.

b. Max Scheler (1874-1928)


Max Scheler adalah seorang penganut filsafat fenomenologi yang
menyebarluaskan gagasan Husserl. Ia telah meninggalkan kesan yang
mendalam sekali karena ia mempunyai cara yang asli untuk menerapkan dan
mengelompokkan gagasan-gagasan Husserl, serta mempunyai cara
menguraikan yang dijiwai oleh seluruh pribadinya.
Pada tahun 1874 ia dilahirkan di Munchen. Setelah belajar di Munchen,
Berlin. Pada tahun 1919 ia menjabat guru besar di Koln dan meninggal dunia di
Frankfurt pada tahun 1928. Banyak buku yang ditulis, sekalipun banyak sekali
metode cara pemikiran fenomenologis yang terdapat di dalam karya-karyanya,
namun, tekanannya berbeda dengan Husserl. Scheler jelas adalah seorang realis,
yang memusatkan perhatiannya kepada kenyataan dan hidup yang konkrit.
Seperti halnya dengan Husserl, filsafat Scheler juga mengalami
perkembangan. Disini hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu bagian
filsafatnya yang menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode

5
fenomenologis tentang “penilaian hakikat” oleh Scheler diterapkan di bidang
teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang nilai.
Jasanya besar sekali dalam pemikiran tentang nilai ini. Dalam pendekatan
fenomenologis seperti yang dimengerti oleh Scheler, secara skematis dapat
dibedakan tiga unsur berikut ini;
1. “Penghayatan” (Erleben): pengalaman intuitif yang secara langsung menuju
kepada “yang diberikan”, dengan demikiankita menghadapi disini suatu
sikap yang sama sekali aktif, bertentangan dengan bentuk-bentuk
penghayatan yang lain yang bersifat pasif belaka.
2. Perhatian kepada Washeit (Whatness; apa-nya, esensi), sambil tidak
memperhatikan segi eksistensi (ada-nya). Inilah salah satu aspek dari apa
yng ditunjukkan Husserl sebagai “reduksi transcendental”.
3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antara
esensi-esensi tadi. Hubungan itu bersifat apriori: “diberikan” dalam intuisi,
terlepas dari kenyataan. Hubungan satu sama lain antara esensi-esensi itu
dapat bersifat logis belaka maupun non-logis.

c. Martin Heidegger (1889-1976)


Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman pada tanggal 26 Desember
1889 dan meninggal pada tanggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Ia adalah
seorang filusuf asal Jerman. Ia belajar di universitas Freiburg di bawah Edmund
Husserl, penggagas Fenomenologi, kemudian menjadi profesor disana pada
1928. Ia mempengaruhi banyak filusuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk
Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo
Strauss, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-luc nancy, dan Philippe
Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya secara mendalam. Selain
hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi,
hermeneutika (muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi
Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik

5
fokus” dari isu-isu teologis sekarang)5 dan pascamodernisme. Ia berusaha
mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan ontologis. Artinya,
pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut makna keberadaan, atau apa arti bagi
manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang
penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Selain tokoh fenomenologi, Martin Heidegger juga adalah tokoh
eksistensialisme, ia mengemukakan bahwa keberadaan hanya akan dapat
dijawab melalui jalan Antologi, artinya jika persoalan ini dihubungakan dengan
manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk ini adalah
fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu. Satu-
satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia.
Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia,
mengambil tepat di tengah-tengah dunia sekitar. Keberadaan manusia disebut
Desein. Berada artinya menempati atau mengambil tempat.

4.1 INTUSIONISME
4.1.1 Pengertian Intusionism
Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa secara bahasa,
intuisionisme (berasal dari bahasa Latin, intuitio yang berarti pemandangan.i
Sedangkan ahli yang lain mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari
perkataan Inggris yaitu intuition yang bermakna gerak hati atau disebut hati
nurani.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan dengan
bisikan hati, gerak hati ataudaya batin untuk mengerti atau mengetahui
sesuatu tidak dengan berpikir atau belajar.ii Perbedaannya dengan firasat
atau feeling, kata intuisi lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang bersifat
metafisika atau di luar jangkauan rasio, biasanya dipakai untuk menyebut
indera keenam.

5
Jujun S. Sumantri menggambarkan intuisi pada, suatu masalah yang
sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu,
tiba-tiba muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita
merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak
bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai disana.
Pengertian diatas memberi penjelasan bahwa manusia memiliki
gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia
melihat secara langsung suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik,
buruk atau baik secara moral. Ia dirujuk sebagai suatu proses melihat dan
memahami masalah secara spontan juga merupakan satu proses melihat dan
memahami suatu masalah secara intelek. Pengetahuan intuitif ini
merupakan pengetahuan langsung tentang suatu hal tanpa melalui proses
pemikiran rasional. Namun kemampuan seperti ini bergantung kepada usaha
manusia itu sendiri.
Secara fisik organ yang berkaitan dengan gerak hati atau intusi tidak
diketahui secara jelas. Sebagian ahli filsafat menyebutnya sebagai jantung
dan ada juga yang menyebutnya otak bagian kanan. Pada praktiknya intuisi
muncul dalam bentuk pengetahuan yang tiba-tiba hadir dalam sadar tanpa
melalui penalaran yang jelas, tidak analitik dan tidak selalu logis. Intuisi
bisa muncul tanpa kita rencanakan, ketika diam ataupun bergerak. Dengan
kata lain pemikiran intuisionis ialah sejenis pengetahuan yang lebih tinggi
dan berbeda dengan yang diperoleh secara individu. Kemunculan ide yang
meledak secara tiba-tiba dalam memberikan tafsiran terhadap sesuatu
perkara boleh dikaitkan dengan aliran pemikiran ini.
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun
pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak
terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah
berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah
memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah
intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo

5
rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari
rasional dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal
namun menemui jalan buntu.
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme
menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-
objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi
pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga
terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson
mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.
Hati bekerja pada tempat yang tidak mampu dijangkau oleh akal
yaitu penggalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal adalah karena
ia ditutupi oleh banyak perkara. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) akal
tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu
perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena)
tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh
perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya
pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman hidup manusia yang dirasakan
langsung, bukan yang telah ditafsir oleh akal. Akal tidak dapat mengetahui
rasa cinta, tetapi hatilah yang merasakannya.
Dalam tradisi Islam, mengenal juga istilah pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui intuisi dan kontemplasiatau dikenal dengan
istilahma‘rifat al-qalb setelah melewati proses riyadhah dan mujahadah
sehingga terjadimukasyafah, atau yang lebih dikenal dengan metode ‘irfani.
Secara tekstual, kata al-‘irfanberasal dari kata ‘arafa-ya‘rifu-‘irfaanan wa
ma‘rifatan, yang berarti “tahu atau mengetahuiatau pengetahuan”. Dalam
filsafat Yunani, istilah ‘irfani ini disebut “gnosis”, yang artinyasama
dengan ma‘rifat, yaitu pengetahuan yang didapat dari pancaran hati nurani.
Istilahma‘rifat kemudian banyak digunakan oleh kaum sufi dalam
pengertian sebagai: “ilmuyang diperoleh melalui bisikan hati atau ilham
ketika manusia mampu membukakan pintuhatinya untuk menerima

5
pancaran cahaya dari Tuhan”. Keadaan hati yang terbuka terhadapcahaya
kebenaran dari Tuhan ini disebut al-kasysyaaf atau al-mukaasyafah.
Memang tidakmudah bagi seseorang untuk bisa mencapai
mukaasyafah dan memperoleh ma‘rifat, ia harusmelewati beberapa station
atau maqaamaat, yaitu beberapa tahapan perjalanan spiritual yang panjang
dan berat, berupa riyaadhah dan mujaahadah untuk mensucikan jiwa dan
mengasahhati dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam al-Qur’an
terdapat ayat-ayatyang menggunakan lafadz al-`irfandengan berbagai
bentuk. Lafadz-lafadztersebut secara umum digunakan dalam konteks
pengertian, pengetahuan yang mendalam,pengetahuan tentang kebenaran,
pengetahuan tentang kebaikan, dan pengetahuan tentangkebenaran yang
bersemayam di kedalaman jiwa.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa
dipercaya dibanding sumber lainnya dikembangkan oleh filosof Muslim,
yang paling terkenal diantaranya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192)
yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan
oleh Mulla Shadra (w.1631).
4.2.1 Intuisionisme Sebagai Sumber Pengetahuan
Intuisionisme dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-
1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya
suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera.
Setidaknya, dalam beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman
inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh
melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau
jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang
diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam
penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan
langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera
dan akal.

5
Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang
diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan
mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi
menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan
dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan
yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga
tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian
realitas.perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis
sebagaimana pengetahuan rasional melainkan dengan jalan kesalehan, sehingga
seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima.
Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern yang
beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan menjadi dua macam; “pengetahuan
mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of).
Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis dan
pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif
karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan
bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba
menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagai
terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari
sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat
maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalah
merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Ia mengatasi sifat -
lahiriah- pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan
memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut
Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri
(instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada
kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk
dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital”

5
atau dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan
dengan intelek.
Douglas V. Steere dalam Mysticism, mengatatakan bahwa pengetahuan
intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan
kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi (transcend)
pengatahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera. Mistisisme atau mistik
diberi batasan sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha
riil (the condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately
real). Kata Steere pula, intuisi dalam mistik bahkan memiliki implikasi yang lebih
jauh sebab mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-
ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).
Menurut William James, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman
(noetic). Sebab bagi para penganutnya, mistisisme merupakan suatu kondisi
pemahaman dan pengetahuan, di mana dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat
realitas yang baginya merupakan ilham yangbersifat intuitif dan bukan merupakan
pengetahuan demonstratis. Sejalan dengan James, Bertrand Russell setelah
menganalisa kondisi-kondisi mistisisme kemudian berkesimpulan, bahwa di antara
yang membedakan antara mistisisme dengan filsafat-filsafat yang lain adalah
adanya keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai
metode pengetahuan, kebalikan dari pengetahuan rasional analitik.

4.2.2 Tokoh Aliran Intuisionisme dan Pemikirannya


1) Henry Bergson (1859-1941)
Salah satu tokoh aliran intuisionisme ini adalah Henry Bergson (1859-
1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan
adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif),di samping pengalaman
oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari
nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna
adalah yang diperoleh melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan,
bahwa intuisi adalah suau jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya

5
berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal; dan
bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik
memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi
(trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera dan akal. Selain itu ia
juga beranggapan tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek –
objek yang kita tangkap adalah objek – objek yang selalu berubah. Jadi
pengetahuan tentangya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal
hanya memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu.
Jadi dalam hal seperti itu, manusia tidak mengetahui secara keseluruhan
(unique), tidak juga memahami sifat – sifat yang tetap dalam objek. Akal hanya
mampu memahami bagian – bagian dari objek, kemudian bagian – bagian itu
digabung oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan menhyeluruh tentang
objek itu.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di
atas, Bergson mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil pemikiran evolusi pemahaman yang
tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran
dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi). Memerlukan sutu
usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang
tetap, dan unique. Intuisi ini menangkap objek secara langsung, tanpa melalui
pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang
tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang
utuh dan tetap.
Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasrnya
bersifat analitis. Yang memberikan keseluruhan yang bersahaja. Yang mutlak
tanpa suatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis. Maka
menurut Bergson, instuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui sacara
langsung dan seketika. Bergson juga mengembalikan sagala sesuatu pada kata
hati. Tapi pengaruhnya kalau kita mengambil keputusan berdasarkan kata hati,
maka kita akan selalu berprasangka. Jadi, tidak semua hal itu berdasarkan
intuisi.

5
Intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasanya
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme dalam beberapa
bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui
intuisi. Sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi, yang meliputi sebagian saja
yang diberikan oelh analisa. Ada yang berpendirian yang bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah yang menampak belaka. Sebagai lawan dari apa
yang diberikan oelha intuisi, yaitu kenyataan.
2) Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966)
Brouwer dilahirkan di sebuah kota di Overschie, Belanda. Di kalangan
teman-temannya, Brouwer sering dipanggil dengan nama “Bertus.” Pada tahun
1897, Brouwer mengikuti kuliah di universitas Amsterdam untuk belajar
matematika dan fisika. Salah seorang dosennya, Diederik Korteweg, dosen
matematika, kelak memberi pengaruh besar bagi dirinya. Korteweg terkenal
karena mengemukakan suatu persamaan yang disebut persamaan Korteweg – de
Vries. Dosen lain yang mempengaruhinya adalah Gerrit Mannoury, dosen
filsafat. Karya pertama Brouwer adalah rotasi pada ruang empat dimensi di
bawah bimbingan Korteweg. Menurut Brouwer, dasar dari intuisionisme adalah
pikiran.
Namun pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh
pandangan Immanuel Kant. Matematika didefinisikan oleh Brouwer sebagai
aktifitas berpikir secara bebas, namun eksak,suatu aktivitas yang ditemukan dari
intuisi pada suatu saat tertentu. Dalam pandangan intuisionisme tidak ada
realisme terhadap objek-objek dan tidak ada bahasa yang menjembatani,
sehingga bisa dikatakan tidak ada penentu kebenaran matematika diluar
aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan
kebenarannya (dibawa keluar dari kerangka pemikiran). Singkat kata, Brouwer
mengungkapkan bahwa “tidak ada kebenaran tanpa dilakukan pembuktian”.
Brouwer konsisten dengan falsafahnya. Hal ini dinyatakannya apakah
matematika perlu dibenahi agar kompatible atau tidak-kompatible dengan
matematika klasik adalah pertanyaan yang kurang penting lagi, dan tidak
dijawab. Pandangannya terhadap matematika tradisional, dia menganggap

5
dirinya hanya sekedar menjadi seorang tukang revisi. Disimpulkan, dimana
artimatika intusionistik adalah bagian (sub-sistem) dari aritmatika klasik, namun
hal ini tidak berlaku untuk analisis.
Untuk analisis, tidak semua analisis klasikal diterima atau dipahami secara
intuisionistik, tetapi tidak ada analisis intusionistik secara klasik diterima.
Brouwer mengambil langkah ini dengan segala konsekuensinya dengan sepenuh
hati. Bukan berarti pandangan Brouwer ini tidak ada yang mendukung. Di luar
negaranya, Belanda, pandangan ini didukung oleh Herman Weyl. Brouwer
memegang prinsip bahwa matematika adalah aktivitas tanpa-perlu-diutarakan
(languageless) yang penting, dan bahasa itu sendiri hanya dapat memberi
gambaran-gambaran tentang aktivitas matematikal setelah ada fakta.
Hal ini membuat Brouwer tidak mengindahkan metode aksiomatik yang
memegang peran utama dalam matematika. Membangun logika sebagai studi
tentang pola dalam linguistik yang dibutuhkan sebagai jembatan bagi aktivitas
matematikal, sehingga logika bergantung pada matematika (suatu studi tentang
pola) dan bukan sebaliknya. Semua itu digunakan sebagai pertimbangan dalam
memilah antara matematika dan metamatematika (istilah yang digunakan untuk
‘matematika tingkat kedua’), yang didiskusikannya dengan David Hilbert.
Berdasarkan pandangan ini, Brouwer bersiap merombak kembali teori
himpunan Cantor. Ketika upaya ini mulai dilakukan dengan ‘membongkar’
kategori bilangan sekunder (bilangan ordinal tak terhingga/infinite) dan kategori
bilangan ordinal infiniti yang lebih besar, tapi juga gagal. Disadari bahwa
metodenya tidak berlaku dan tidak dapat menyelesaikan kategori-kategori
bilangan lebih tinggi, dan hanya meninggalkan bilangan ordinal terbatas (finite)
dan tidak dapat diselesaikan atau terbuka (open-ended) bagi sekumpulan
bilangan ordinal tak-terhingga/infinite. Tetap konsisten dengan pandangan
falsafatnya, Brouwer mencoba mengesampingan semua itu dan mau memahami
matematika apa adanya.
Inovasi ini memberi intuisionisme mempunyai ruang gerak lebih besar
daripada matematika konstruktif aliran-aliran lainnya (termasuk di sini disertasi
Brouwer) adalah pilihan-pilihan dalam melihat suatu deret. Banyak diketahui

5
deret-deret bilangan tak-terhingga (obyek obyek matematikal lain) dipilih
mendahului yang lainnya oleh setiap matematikawan sesuai keinginan mereka
masing-masing. Memilih suatu deret memberi mereka impresi awal secara
intuisi menerima obyek yang ditulisnya pada buku yang terbit pada tahun 1914.;
prinsip yang membuat secara matematika mudah dikerjakan, prinsip
berkesinambungan, yang diformulasikan pada kuliah Brouwer pada tahun 1916.
Selain dari Henry Bergson dan Brouwer, dikenal juga sebagai tokoh
Intuisionisme adalah Arend Heyting dan Dummett.

3) Arend Heyting (1898-1980)


Murid Brouwer yang memiliki pengaruh besar pada perkembangan
intuisionisme filsafat matematika adalah Arend Heyting. Heyting menciptakan
sebuah formula logika intuisionisme yang sangat tepat. Sistem ini dinamakan
“Predikat Kalkulus Heyting”. Heyting menegaskan bahwa dari asumsi
metafisika yang pokok dalam kebenaran realisme-logika klasik, bahasa
matematika klasik adalah pengertian faktor-faktor objektivitas syarat-syarat
kebenaran yang terbaik. Semantic matematika klasik menggambarkan suatu
kondisi dalam pernyataan benar atau salah. Semantic seperti ini tidak tepat
untuk intuisionisme. Sebagai pengganti, bahasa intuisionisme seharusnya
dimengerti dalam faktor-faktor syarat-syarat penyelesaian. Semantic akan
menggambarkan suatu perhitungan seperti sebuah penyelesaian kanonikal untuk
setiap permasalahan.
Heyting mempunyai andil dalam pandangan Brouwer mengenai kelaziman
kontruksi mental dan down playing bahasa dan logika. Dalam buku
“Intuitionism” (1956) dia mengemukakan pendapat Brouwer, bahasa adalah
media tidak sempurna untuk mengkomunikasikan konstruksi nyata matematika.
System formalnya adalah dirinya sendiri sebagai sebuah legitimasi konstruksi
matematika, tetapi satu yang tidak diyakini system formal menggambarkan
secara utuh domain pemikiran matematika. Pada suatu penemuan metode baru
memungkinkan kita untuk memperluas system formal. Heyting menegaskan
logika bergantung pada matematika bukan pada yang lain. Oleh karena itu,

5
Heyting tidak bermaksud pekerjaannya pada logika untuk menyusun
pertimbangan intuisionistik.

4) Sir Michael Anthony Eardly Dummett (1925)


Mengingat kembali Brouwer dan Heyting yang mengatakan bahasa
merupakan media tidak sempurna untuk komunikasi konstruksi mental
matematika. Keduanya, logika menyangkut bentuk yang berlaku untuk
penyebaran media ini dan tentu saja focus langsung pada bahasa dan logika
telah jauh berpindah dari permasalahan yang seharusnya. Sebaliknya
pendekatan utama Dummett, matematika dan logika adalah linguistic dari awal.
Filosofinya lebih interest pada logika intuisionistik daripada matematika itu
sendiri. Seperti Brouwer, tetapi tidak seperti Heyting, Dummet tidak memiliki
orientasi memilih. Dummet mengeksplorasi matematika klasik dengan
menggunakan bentuk pemikiran yang tidak valid pada suatu jalan legitimasi
penguraian pernyataan alternatifnya. Ia mengusulkan beberapa pertimbangan
mengenai logika adalah benar yang pada akhirnya harus tergantung pada arti
pertanyaan. Ia juga mengadopsi pandangan yang diperoleh secara luas, yang
kemudian disebut sebagai terminologi logika.

Dummet menegaskan bahwa arti suatu pernyataan tidak bisa memuat


suatu unsur yang tidak menunjukkan penggunaannya. Untuk membuatnya,
harus berdasarkan pemikiran individu yang memahami arti tersebut. Jika dua
individu secara bersama setuju dengan penggunaan pernyataan yang dibuat,
maka mereka pun menyetujui artinya. Alasannya bahwa arti pernyataan
mengandung aturan instrumen komunikasi antar individu. Jika seorang individu
dihubungkan dengan simbol matematika atau formula, dimana hubungan
tersebut tidak berdasar pada penggunaan, kemudian dia tidak dapat
menyampaikan muatan tersebut dengan arti simbol atau formula tersebut, maka
penerima tidak akan bisa memahaminya.

5
5.1 HUMANIMISME
5.1.1 Pengertian Humanisme
Humanisme sebagai sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan
“kebebasan” manusia, baik berfikir, bertindak dan bekerja, sebagai segalah-
galanya, berpengaruh secara signifikan terhadap munculnya bangunan peradaban
modern dan yang lainnya. Epistimologi himuanisme bersandar diri pada
kemampuan rasionalitas manusia dengan segala otoritasnya, terutama pada abad
modern ini.
Kerja dari humanisme ini adalah mencoba menanusiakan manusia
(humanisasi) sebagai manusia, yang selama ini menusia tidak lebih dipahami
sebagai seonggok ‘objek’ atau minimal benda tanpa mempunyai kekuatan dan
kemampuan apa-apa melalui relitas.
Dalam kamus filsafatnya, Lorens Bagus, berpendapat
bahwa humanisme merupakan sebuah filsafat yang memandang individu rasional
sebagai nilai tertinggi, menilai individu sebagai sumber nilai tertinggi dan
ditujukan untuk membina perkembangan kretif dan moral individudengan cara
yang bermakna dan rasional tanpa menunjukkan pada konsep-konsep adikodrati.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa kemampuan sebagai individu yang rasional
dan digunakan untuk memahami realitas.
Zainal Abidin memberikan penjelasan bahwa humanisme akan mudah
dipahami bila kita meninjau dari dua sisi, yakni sisi historis dan sisi aliran-aliran
dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan
kesusteraan yang awalnya muncul di Itali pada paruh kedua abad ke-14, gerakan
ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya
Eropa. Sedangkan dari sisi aliran filsafat adalah sebagai paham yang menjunjung
tinggi nilai-nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia
menempati posisi yang sangat tinggi, sentral dan penting, baik dalam
perenungan teoretis-filsafati maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Kedua
sisi ini merupakan dasar otonomisasi manusia sebagai ukuran setiap penilaian
dan refrensi utama dari setiap kejadian alam semesta. Di mana manusia
merupakan pusat dari realitas.

5
Sehingga secara historis munculnya humanisme sebagai gerakan
pemikiran bersumber pada keinginan manusia untuk mengembalikan fitrah dasar
kemanusiaan, sebagai makhluk yang otonom dengan kemampuan rasionalitasnya
dan kemerdekaan berfikirnya, gerakan ini bisa jadi juga lahir sebuah semangat
perlawanan setiap kekuatan yang “memasung” kemampuan dasar alami
manusia. Yang pada saranya lahir untuk memanusiakan manusia sebagai objek
dengan kesadarannya bukan sebagai objek tanpa kesadaran.
Frederick Edword, mengemukakan beberapa pengertian humanisme yaitu
sebagai berikut :
1. Humanisme Renaissance, sebagai semangat belajar yang mulai berkembang
pada khir abad pertengahan, ditandai dengan bangkitnya kembali karya-
karya klasik dan keyakinan yang diperbaharui atas kemampuan manusia
untuk menentukan kebenaran dan kepalsuan bagi diri mereka sendiri.
2. Humanisme Literer, yaitu penyerahan kepada budaya humanitas atau literer
3. Humanisme Cultur, adalah budaya rasional dan empiris, khususnya yang
berasal dari Romawi dan Yunani Kuno dan Revolusi sepanjang sejarah
Eropa, sekarang ini menjadi bagian yang medasar dari pendekatan Barat
terhadap ilmu pengetahuan, teori politik, etika dan hokum
4. Humanisme Filsufi, yaitu pengekspresian cara hidup yang dipusatkan pada
kebutuhan dan minat manusia, yang meliputi humanisme
kristiani dan humanisme modern.
5. Humanisme Kristiani, yaitu filsafat yang menekankan pemenuhan diri dalam
rangka prinsip-prinsip kristiani.
6. Humanisme Modern, yaitu sebuah pemikiran filsafat yang menolak hal-
hal supranatural, ia bersandar pada kemampuan akal dan ilmu pengetahuan,
demokrasi dan kasih sayang manusia. Humanisme ini mempunyai
sifat sekuler dan religius.
7. Humanisme Sekuler, adalah perkambangan lanjutan dari era pencerahan adab
ke-18 dan abad ke-19
8. Humanisme Raligius, sebagai humanisme yang muncul dari budaya
etis, utilitarianisme dan universalisme.

5
6.1 POSITIVISME
6.1.1 Pengertian Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya
dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme,
pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian,
maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut.
Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan
“hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat,
hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua
harus didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan
sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya
formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya
dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang
didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak
metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan
bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan
suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi
sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern. Positivisme
telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan
dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut
oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia
objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik
hadir independen dari mental dan menghadirkan properti properti mereka secara
langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa
yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.

5
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-
ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme
berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun
mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang
menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan,
positivisme tidak menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme
adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst,
ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak
obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para
ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk
menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat.
Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada
di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh
karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil
proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan
terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di
atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan
sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta.
Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi
tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu
eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan
sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran
terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun
masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan
dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—sudah ditafsirkan oleh
masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek
yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa
filsafat bukanlah ilmu.

5
6.2.2 Perkembangan Positivisme
Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan.
Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik
yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin
yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa
perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil
pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia
menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat
menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam merespon
dampak negatif renaissance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan
tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan
berfikir empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan
intelektual dengan Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte
berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia
memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System
of Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato
dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik
(Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi
(positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga diberikan
pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika
yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.
Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal
pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius
(positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang
obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut
pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

5
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina
dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain
(positivisme logis). Serta kelompok yang turut berpengaruh pada
perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran sepert

5
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan
positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,
struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

6.2.3 CIRI-CIRI POSITIVISME


Ciri-ciri Positivisme antara lain:
1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur,
maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas
(korespondensi).
2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-
gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata.
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta
yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta
memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-
prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-
sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work
(Syaebani, 2008).

6.2.4 Metode Filsafat Posistivisme


Menurut Koento Wibisono (1983: 39) filsafat positivisme menggunakan
metode pengamatan, percobaan dan perbandingan, kecuali dalam
menghadapi gejala dalam fisika sosial, digunakan metode sejarah.

6
Pengamatan digunakan untuk mempelajari astronomi, kesemuanya ini
berkaitan dengan ukuran waktu dan adapun untuk ilmu fisika
disamping pengamatan juga digunakan percobaan, dalam percobaan
ini pengamatan tak ketinggalan. Dalam mempelajari ilmu kimia
disamping percobaan dan pengamatan, digunakan juga metode peniruan
(artifisial). Dalam ilmu biologi menggunakan metode percobaan, yang
disesuaikan

6
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan
kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran
pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme,
Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme,
Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme

Anda mungkin juga menyukai