Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 4

1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5

2.1 Prinsip equity dan equality pada program JKN yang diselenggerakan BPJS
pada FKTP dan FKRTL di kota Kendari .......................................................... 15

2.2 Perbedaan Jaminan Kesehatan Yang Diselenggarakan BPJS dan PT.


ASKES .............................................................................................................. 15

2.3 Masalah-Masalah Pada Program JKN Yang Diselenggarakan Oleh BPJS


dan PT Askes .................................................................................................... 21

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 26

3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 26

3.2 Saran ............................................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan


memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat
kemanusiaan (Fajriadi, 2014) . Hal ini merupakan wujud tanggung jawab
negara dari Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 untuk meningkatkan akses masyarakat
pada pelayanan kesehatan yang komprehensif, bermutu, dan merata bagi
seluruh penduduk. Jaminan kesehatan ini bukan hanya merupakan komitmen
dan ikrar Indonesia sebagai bagian dari negara dan masyarakat internasional
tetapi Indonesia bersama negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia
Region Asia Tenggara (WHO-SEARO) telah menyepakati strategi pencapaian
jaminan kesehatan semesta. Langkah-langkah dari jaminan kesehatan semesta
tersebut mencakup: 1) menempatkan pelayanan kesehatan primer sebagai
pusat Jaminan Kesehatan Semesta, 2) meningkatkan pemerataan pelayanan
kesehatan melalui perlindungan sosial, 3) meningkatkan efisiensi pemberian
pelayanan kesehatan, dan 4) memperkuat kapasitas pelayanan kesehatan untuk
mencapai jaminan kesehatan semesta (Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, 2012)

1
Perubahan pembiayaan menuju ke Universal Health Coverage merupakan
hal yang menjanjikan namun mempunyai dampak dan risiko terhadap akses
dan mutu pelayanan. Pembiayaan kesehatan secara menyeluruh berhubungan
dengan strategi kebijakan pembiayaan yang tidak melalui skema BPJS
(Soebijakto, 2013) . Dalam hal ini pembiayaan investasi dan berbagai tindakan
medis yang mungkin belum tercakup oleh BPJS. Permasalahan yang muncul
dalam konteks monitoring dan evaluasi sebuah kebijakan adalah bagaimana
kebijakan JKN oleh BPJS Kesehatan dapat meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan.
Monitoring dan evaluasi program atau kebijakan kesehatan itu penting dan ini
merupakan bagian dari proses manajemen. Monitoring dan evaluasi
menghasilkan umpan balik terhadap program atau pelaksanaan kegiatan.
Tanpa adanya monitoring dan evaluasi, sulit rasanya untuk mengetahui sejauh
mana tujuan yang direncanakan tercapai (Notoatmodjo, 2011). Permasalahan
kedua adalah belum tersosialisasinya secara maksimal mekanisme
pelaksanaan BPJS Kesehatan baik ke provider kesehatan, dokter keluarga,
klinik swasta maupun stakeholder yang lain.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara merupakan elemen


utama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Menurut Fajriadi (2014) pelayanan publik
adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh
penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu
saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adapun menurut Maidin dan Palutturi (2016) menyatakan konsep
pelayanan kesehatan yakni setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.

2
Sehingga pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengamanatkan
bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). JKN ini dikelola melalui suatu badan
pemerintah yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang dinaungi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya
dimulai sejak 1 Januari 2014 (Maidin and Palutturi, 2016).

Setiap peserta harus terdaftar pada satu Fasilitas Kesehatan Tingkat


Pertama (FKTP) yaitu puskesmas, dokter keluarga, atau klinik yang telah
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memeroleh pelayanan medis.
Apabila FKTP tidak mampu melayani, peserta dapat langsung dirujuk ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) atau Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) atau rumah sakit. Peserta datang ke
BPJS Center Rumah Sakit dengan menunjukkan kartu peserta dan
menyerahkan surat rujukan dari FKTP atau surat perintah kontrol pasca
rawat inap berupa Surat Eligibilitas Peserta (SEP) untuk mendapatkan
pelayanan lanjutan. Apabila pasien mengalami kondisi gawat darurat,
pasien dapat langsung ke rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan tanpa harus ke FKTP(Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan makalah ini akan


membahas mengenai :

1. Bagaimana konsep dasar equity dan equality


2. Bagaimana prinsip equity dan equality pada program JKN yang
diselenggerakan BPJS pada FKTP dan FKRTL di kota Kendari?
3. Bagaimana perbedaan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS dan
PT. Askes?

3
4. Bagaimana permasalahan pada pelaksanaan program JKN yang
diselenggarakan kedua badan penyelenggara tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah


ini yaitu :

1. Untuk mengetahuai gambaran equity dan equality


2. Untuk mengetahui prinsip equity dan equality pada program JKN yang
diselenggerakan BPJS pada FKTP dan FKRTL di kota Kendari
3. Untuk mengetahui perbedaan jaminan kesehatan yang diselenggarakan
BPJS dan PT. Askes
4. Untuk mengetahui permasalahan pada pelaksanaan program JKN yang
diselenggarakan kedua badan penyelenggara tersebut.

1.4 Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan tersebut, manfaat penulisan makalah ini


yaitu :

1. Dapat mengetahui prinsip equity dan equality pada program JKN yang
diselenggerakan BPJS pada FKTP dan FKRTL di kota Kendari

2. Dapat mengetahui perbedaan jaminan kesehatan yang diselenggarakan


BPJS dan PT. Askes

3. Dapat mengetahui permasalahan pada pelaksanaan program JKN yang


diselenggarakan kedua badan penyelenggara tersebut

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Equity dan Equality


1. Defenisi equity dan equality
Ada kata “equity” dan “equality”, kedua kata ini mempunyai
konsep yang saling terkait satu sama lainnya. Menurut WHO definisi dari
“equality” ialah ‘The absence of differences in health status or the
distribution of health determinants between different population group’
yang artinya tidak membedakan status kesehatan antar kelompok yang
berbeda-beda. Sedang “equity” merupakan sebuah nilai, tentang keadilan.
Definisi “Equity” menurut Webster’s New Collegiate Dictionary adalah ‘
Suatu keadilan (justice) berdasarkan hukum alam asasi manusia serta
bebas dari bias dan ‘favoritism’ Definisi “Equity” menurut American
Heritage Dictionary adalah: Kondisi/keadaan yang adil, tidak parsial, dan
fair.
Equality merupakan kesamaan (sameness) dan equity merupakan
keadilan (fairness). Dalam suatu kondisi tertentu, kesamaan (equal) bisa
jadi tidak adil (inequitable), atau kesamaan (equal) bisa jadi adil
(equitable). Jadi Equity merupakan sesuatu yang abstrak. Menurut
Whitehead (1992) ada 3 (tiga) dimensi Equity dalam konsep kesehatan:
a. Equity dalam hal status kesehatan
Contoh: Perbedaan Angka Kematian Ibu di Yogyakarta dan di Papua,
Angka Kematian Ibu di Yogya sebanyak 125 per 100.000 kelahiran
hidup, sedangkan Angka Kematian Ibu di Propinsi Papua 362 per
100.000 kelahiran hidup Perbedaan ini “tidak adil” serta dapat
dihindari.
b. Equity dalam akses layanan kesehatan
Terjadi ketimpangan dalam mengakses layanan kesehatan antar
populasi, misalnya masyarakat yang hidup di kota besar sepert Jakarta,
Surabaya, Denpasar sangat mudah mengakses layanan faskes.

5
Sedangkan masyarakat yang ada dipelosok seperti di Papua, Nusa
Tenggara Timur, dimana sarana perhubungan darat amat sangat
terbatas, infrastruktur belum memadai sangat susah untuk mengakses
fasilitas kesehatan. Hal ini dapat juga disebabkan oleh penyebaran
tenaga medis dan paramedis yang tidak merata.Hal tersebut merupakan
“inequity”.
c. Equity dalam pembiayaan kesehatan
Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang
Jaminan Sosial Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dalam hal ini adalah BPJS
Kesehatan, maka membawa angin positif bagi pembiayaan kesehatan
di Indonesia. Adanya jaminan perlindungan yang semakin baik di
bidang kesehatan bagi masyarakat dapat menghindarkan terjadinya
katastropik dimana orang miskin dapat menjadi semakin miskin karena
sakit.
1. Equity dalam pelayanan kesehatan di Indonesia
Equity pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum merata
di seluruh wilayah Indonesia.Akses pelayanan kesehatan sangat
berbeda antar wilayah yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi
dan wilayah (Nadjib 1999). Permintaan pelayanan kesehatan di
berbagai wilayah Indonesia juga ada kaitannya dengan asuransi
kesehatan yang dimiliki masyarakat (Thabrany,2005). Berbagai
masalah akses pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum bisa
teratasi dengan baik. Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara
pemerataan dan keadilan mengatasi faktor yang berhubungan dengan
akses pelayanan kesehatan. Faktor yang dapat menyebabkan masalah
dalam akses tersebut seperti :
a. Persebaran tenaga kesehatan yang tidak merata di setiap wilayah
Indonesia. Tenaga kesehatan banyak terdapat di daerah perkotaan
sedangkan di daerah pedesaan dan daerah terpencil di Indonesia
memiliki tenaga kesehatan yang tidak mencukupi kebutuhan

6
masyarakatnya, hal tersebut dikarenakan tenaga kesehatan di Indonesia
banyak yang tidak ingin di tempatkan pada daerah pedesaan dan
terpencil.
b. Fasilitas kesehatan yang tidak sama antara wilayah di Indonesia dan
antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Umumnya fasilitas kesehatan
di daerah perkotaan memiliki fasilitas yang lebih lengkap
dibandingkan dengan fasilitas kesehatan di daerah pedesaan dan
terpencil. Ketersediaan fasilitas di suatu wilayah juga dapat
menyebabkan ineqiuty pelayanan kesehatan, dengan adanya fasilitas
kesehatan yang cukup akan dapat melayani kebutuhan pelayanan
kesehatan untuk masyarakat secara menyeluruh.
c. Aksesibilitas pelayanan kesehatan yang tidak merata. Pada masyarakat
daerah terpencil, pedesaan dan kepulauan masih mengalami kesulitan
dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan pelayanan fasilitas
kesehatan yang ada karena jarak fasilitas kesehatan jauh dari tempat
tinggal mereka yang mengharuskan masyarakat menggunakan
transportasi sehingga menimbulkan biaya kesehatan tambahan.
Upaya perbaikan perlu terus diupayakan agar masalah equity
terhadap akses pelayanan kesehatan dapat teratasi.Perbaikan tersebut
dapat dilakukan dari Supply side dan Demand Side. Supply side
dibutuhkan kebijakan dengan mendekatkan pelayanan kesehatan pada
kelompok dengan hambatan geografis, seperti distribusi sumber daya
kesehatan yang terkendala oleh keadaan geografis, perlu adanya
pengawasan dan monitoring sehingga akses pelayanan kesehatan dapat
diterima masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan berkualitas.
Sedangkan Demand side berdasar pada kemampuan masyarakat untuk
membayar pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, hal ini dapat diatasi
dengan menggunakan asuransi kesehatan sehingga pemerintah dapat
menjamin seluruh masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan.

7
Untuk mencapai keadaan yang equity di Indonesia, maka Indonesia
harus mengadakan“reformasi” di bidang kesehatan, terutama reformasi
Universal Health Coverage.Universal Health Coverage adalah hampir
tidak bisa lepas dari komponen pembiayaan.Kalau kita berbicara
dalam kehidupan sehari-hari saja, kita tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidup kita kalau tidak ada uang.Kalau masyarakat ingin mengakses
semua layanan yang mereka butuhkan tak lepas dari unsur
pembiayaan.
Sejauh mana reformasi atau perubahan-perubahan yang terjadi
tersebut mempengaruhi aspek dalam Sistem Kesehatan Nasional,
keempat aspek tersebut antara lain;
a. Service delivery, yaitu reformasi bagaimana kita
menyelenggarakan upaya kesehatan
b. Public policy, yaitu reformasi kebijakan pemerintah yang
menyangkut masyarakat luas yang fungsinya melindungi
masyarakat luas, dimana tidak hanya menyangkut sektor
kesehatan, tetapi ada sektor lain yang bisa saling menguatkan
kebijakan lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari konsep
determinan sosial kesehatan dimana konsep sehat sakit tidak hanya
dipengaruhi oleh agent, biologis, genetik tetapi juga oleh
kemiskinan, sektor ekonomi, pengelolaan bidang pertanian, dll.
c. Kepemimpinan, yaitu reformasi yang sangat strategis di bidang
kepemimpinan dimana kepemimpinan itu perannya sangat sentral,
karena pemimpinlah yang memberi arah bagi organisasi mau
kemana kita melangkah, bagaimana pemimpin itu memediasi
segala pihak agar reformasi itu berjalan dengan baik.
d. Universal Health Coverage (UHC), yaitu reformasi dalam sistem
pembiayaan kesehatan dimana orang tanpa memandang status
sosial ekonominya harus bisa mengakses layanan kesehatan yang
mereka butuhkan dengan proteksi masa kini dan nanti baik secara

8
kuratif, rehabilitatif, preventif, promotif, dan paliatif dengan
proteksi sosial finansial kini dan nanti.

Jangan sampai saat dia sakit, tidak boleh sampai jatuh miskin
akhirnya untuk biaya makan saja tidak ada.Inilah yang menjadi dasar
untuk menuju equity yaitu “Keadilan Untuk Semua”.

Tantangan yang cukup besar dalam meraih equity dan universal


health coverage pada era JKN ini:

a. Masyarakat tidak cukup punya asuransi saja, tetapi infrastruktur


kesehatan masyarakat juga harus diperhatikan dalam menghadapi
permintaan/’demand’
b. Kesiapan fasilitas kesehatan dan infrastruktur, tenaga kesehatan,
yang siap menghadapi peningkatan ‘demand’ dari masyarakat
c. Kurangnya bukti yang mendukung (data-data sekunder) bagi para
mengambil kebijakan tentang pembiayaan kesehatan
d. Kapasitas manajerial pemerintah dalam mengelola SJSN perlu
ditingkatkan
e. Kalau kita lihat pedoman JKN, aspek promotif preventif kurang
diperhatikan daripada aspek kuratif. Pedoman penyelenggaraan
JKN masih belum optimal.
Intinya dalam Reformasi Universal Health Coverage, kita
tidak bisa memperhatikan satu elemen pembiayaaan saja, tapi
harus reformasi seluruh elemen.Tercapainya Universal Health
Coverage merupakan dasar untuk meraih Equity “Keadilan untuk
semua”.
2. Equity di era jaminan kesehatan Nasional
Badan kesehatan dunia WHO telah sepakat untuk mencapai
Universal Health Coverage pada tahun 2014. Universal Health
Coverage adalah sebuah sistem yang memastikan setiap orang dalam
populasi memiliki akses yang sama dan adil tanpa memandang latar
belakang orang tersebut dalam pelayanan kesehatan,baik secara

9
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang terjangkau biayanya
dan bemutu layanannya
a. Tantangan Equity Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan kondisi yang dapat dilihat
berdasarkan sejahteranya jasmani, rohani,dan sosial yang dapat
membuat seseorang untuk dapat beraktivitas optimal secara sosial
dan ekonomi.Istilah sehat didalam kehidupan sehari-hari biasanya
digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan
pekerjaanya secara normal. Suatu usaha yang dilakukan oleh
individu atau kelompok dalam suatu mayarakat baik melalui upaya
promotif, preventif , kuratif dan rehabilitatif untuk menjaga,
meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit
serta memulihkan kesehatannya disebut dengan pelayanan
kesehatan.
Equity dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berat
sebelah, tidak sebagian dan berkeadilan.Di bidang kesehatan equity
memberikan keadilan bagi setiap orang dalam memperoleh akses
pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak membeda-bedakan
pelayanankesehatan(Whitehead, 1992). Setiap orang mendapatkan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, baik dalam
mendpatkan akses yang sama dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan
dan tidak membedakan status ekonominya.
Pembagian equity dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu equity
horizontal dan equity vertical. Equity horizontal artinya kesempatan
untuk pelayanan kesehatan yang sama untuk orang dengan kebutuhan
yang sama. Sedangkan equity vertikal merupakan perbedaan pelayanan
kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
Pelayanan kesehatan juga memerlukan equity untuk alokasi
sumber daya dan juga equity pemanfaatan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan kesehatan individu.Equity dalam pelayanan kesehatan dapat
diartikan sebagai persamaan pemanfaatan, distribusi berdasarkan

10
kebutuhan, persamaan akses dan persamaan outcome kesehatan
(Bappenas; World Bank Jakarta, 2008). Equity pelayanan kesehatan
bisa digunakan sebagai evidence atau bukti dasar distribusi faktor-
faktor input dalam sektor kesehatan (pembiayaan, mutu pelayanan,
sumber daya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana). Equity
dalam pembiayaan kesehatan bisa digunakan untuk mengukur derajat
kecenderungan dampak akibat pembiayaan kesehatan.Begitu juga
equity dalam pemberian subsidi kesehatan bisa digunakan untuk
mengukur derajat kecenderungan penerima manfaat dari pelayanan
kesehatan.
Perbedaan yang sangat besar dalam hal pelayanan kesehatan yang
terjadi di berbagai daerah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
kemiskinan, kondisi geografis, sistem sosial, politik serta kebijakan
suatu daerah. Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa daerah-daerah
yang kurang dalam memberikan pelayanan kesehatan cendrung
mempunyai derajat kesehatan dan usia harapan hidup yang lebih
rendah dibandingkan daerah yang memiliki akses dan kualitas
pelayanan kesehatan lebih baik. Kondisi yang lain seperti dalam beban
menderita suatu penyakit, kelompokyang kurang beruntung dalam
pelayanan kesehatan tidak hanya mengalami beban berat dari penyakit
yang bersifat kronis, tetapi juga terjadi kecacatan di usia muda.
Kalau dilihat dari segi konsep dan dasar-dasar equity pelayanan
kesehatan, semuapermasalahan di atas diatas kecendrungannya
berkaitan dengan inequity dalam status kesehatan, inequity dalam
pelayanan kesehatan dan inequity dalam pembiayaan kesehatan
(Margaret Whitehead,1992). Apakah jalan yang harus ditempuh
supaya dapat menciptakan keadilan dalampelayanan kesehatan? Salah
satunya adalah dengan cara yang sudah diterapkan oleh pemerintah
yaitu dengan melaksanakan Undang-Undang Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), mulai 1 Januari 2014 yang diharapkan
dapat mencakup seluruh penduduk, walaupun hanya baru sebagian

11
penduduk Indonesia saja yang dapat terjangkau. Nantinya diharapkan
akhir tahun 2019 akan terjadi universal coverage yang dapat
mengurangi masalah inequity dalam pelayanan kesehatan, dan dapat
melaksanakan pemerataan sumber daya kesehatan di seluruh wilayah
Indonesia serta yang diharapkan dapat memudahkan akses bagi
masyarakat rentan, untuk mencapai cita-cita Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai yang diharapkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Tantangan equity dalam era jaminan kesehatan Nasional
Dalam pasal 25 ayat 1 dikatakan warga negara Indonesia memiliki
hak memperoleh derajat hidup yang optimal untuk kesehatan diri dan
keluarganya serta untuk memperoleh kesejahteraan untuk diri dan
keluarganya.Sehingga, setelah berakhirnya Perang Dunia II sejumlah
negara di dunia melakukan tindakan untuk membuat jaminan untuk
keberlangsungan hidup rakyatnya, misalnya jaminan kesehatan
semesta untuk rakyatnya (Universal Health Coverage).
Upaya yang dilakukan untuk kesepatan global itu adalah
pemerintah harus menjamin kesehatan masyarakatnya melalui Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan seluruh warga negaranya
.Langkah pemerintah untuk hal tersebut diselenggarakan dalam
beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya
adalah melalui, seperti dulu ada kita kenal PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) dan sekarang telah beralai menjadi BPJS. Adapun
hal yang ditangung oleh badan ini adalah pensiunan, karyawan swasta
dan pegawai pemerintah.Pemerintah memberikan jaminan melalui
skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan
JaminanKesehatan Daerah (Jamkesda) untuk masyarakat tidak
mampu.Hal-hal di atas belum dapat memberika pelayanan yang
optimal kepada masyarakati.
Sistem Jaminan Sosial Nasional dilakukan sistm asuransi
kesehatan yang diwajibkan untuk semua penduduk (Mandatory)

12
merujuk pada Undang – Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Yang dikembangkan oleh pemerintah adalah
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).Dengan JKN diharapkan seluruh
masyarakat mendapatkan perlindungan kesehatan dan manfaatnya
yang ditanggung oleh pemerintah melalui BPJS.
Walaupun JKN sudah dilaksanakan mulai tahun 2014 tetapi masih
banyak masalah-masalahinequity pelayanan kesehatan di era jaminan
kesehatan nasional. Dapat kita lihat seperti yang disampaikan oleh
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) , yaitu :
Yang pertama dapat dilihat dari aspek kepesertaan, yaitu
seharusnya BPJS menyediakan kartu kepesertaan sementara untuk
warga negara yang belum memiliki kartu identitas penduduk, jadi
semua warga negara dapat merasakan pelayanan dari BPJS.Masalah
yang kedua berhubungan dengan kemudahan akses
pelayanan.Seharusnya peserta JKN bisa mendapatkan pelayanan di
mana saja di seluruh wilayah Indonesia tanpa adanya penolakan dari
tepat pelayanan kesehatan.
Permasalahan nomor tiga adalah tentang pembagian wilayah
rujukan. Program JKN melaksanakan pemberian peayanan
kesehatannya dengan cara bertingkat mulai dari pelayanan primer
sampai ke pelayanan tersier atau sistem rujukan. Hal ini berlaku di
beberapa tempat di Indonesia. Sistem rujukan semacam ini dirasakan
kurang pas untuk pasien yang akan memaki tempat pelayanan
kesehatan. Masalah mengenai rujukan ini dalam beberapa hal dapat
memperburuk keadaan penyakit yang diderita dan dapat menambah
biaya transport peserta. Solusi untuk masalah rujukan ini sebaiknya
digunKn konsep jangkauan terhadap tempat pelayanan kesehatan dan
kemampuan fsilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Kriteria gawat darurat (emergency) merupakan permasalahan yang
keempat.Hal ini terjadikarena belum ada aturan yang jelas mengenai
pengelompokan keadaan emergency.Kelas perawatan menjadi masalah

13
yang kelima.Kelas perawatan rawat untuk inap dipandang kurang
cocok dengan yang diamanatkan oleh UU SJSN dan UU BPJS.Dalam
peraturan tersebut dengan menyebutkan bahwa ruang untuk pasien
rawat inap disesuaikan dengan tanggungannya.Diskriminasi pelayanan
kesehatan dirasakan karena adanya perbedaan kelas di rumah sakit dan
juga adanya pembiayaan yang berbeda sesuai dengan kelas ruangan di
rumah sakit.Hal ini tidak sesuai dengan dengan prinsip keadilan sosial
dan kemanusiaan.
Masalah yang nomor enam adalah tentang ketersediaan.Pendapat
dari DJSN bahwa dafar obat yang ada tidak dapat memenuhi
kebutuhan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan. Jadi daftar obat
yang ada bukan merupakan satu-satunya cara untuk pengadaan obat
karena masih ada jalan lain yang dapat dilakukan supaya pelyanan
dapat berjlan dengan baik. Jenis obat yang tidk ada di daftar harganya
dapat mengacu pada harga pasar, karrena itu perlu dilakukan
peninjauan ulang untuk peraturan yang mengaturnya.
Masalah yang ketujuh berhubungan dengan jenis biaya INA-CBGs.
Hal ini menimbulkan permasalahan pada mutu layananan yang
menjadi rendah dan tidak merata. Untuk mengatasi masalah biaya,
pemerintah perlu membuat rentang biaya yang akan dijadikan dasar
kesepakatan dengan pemberi layanan kesehatan. Kedelapan, yang
menjadi permasalahan juga tentang jasa pelayanan di RS
pemerintah.Pengaturan pembagian jasa medis yang berlaku selama ini
di rumah sakit.

14
2.2 Prinsip equity dan equality pada program JKN yang diselenggerakan
BPJS pada FKTP dan FKRTL di kota Kendari

Menurut UU no. 40 tahun 2004 dan UU no. 24 tahun 2011, prinsip equity
dan equality pada program JKN BPJS adalah :

1. Kegotong-royongan

2. Nirlaba

3. Keterbukaan

4. Kehati-hatian

5. Akuntabilitas

6. Portabilitas

7. Kepesertaan wajib

8. Dana amanat

9. Hasil pengelolaan dana diserahkan seluruhnya dan digunakan untuk


pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

Berdasarkan peraturan dari Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi


JKN Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Kendari, prinsip
equty dan equality JKN BPJS pada FKTP dan FKRTL untuk kota Kendari
adalah merujuk pada prinsip yang telah dilakukan secara nasional. Hanya saja
untuk indikator setiap point prinsipnya dieksekusi oleh masing-masing
puskesmas atau rumah sakit yang menjalankan, baik itu rumah
sakitpemerintah maupun rumah sakit swasta(BPJS Kota Kendari, 2015).

2.3 Perbedaan Jaminan Kesehatan Yang Diselenggarakan BPJS dan PT.


ASKES

Program ASKES

Program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikenal dengan nama


Asuransi Kesehatan (ASKES) yang dikelola oleh PT Askes Persero, hanya

15
dikhususkan untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
kalangan pegawai pemerintah.

Kalangan ini meliputi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pejabat Negara,


Penerima Pensiun PNS, Penerima Pensiun TNI/Polri, Penerima Pensiun
Pejabat Negara, Veteran dan Perintis Kemerdekaan, sehingga hanya
pegawai pemerintahan saja yang bisa mendapatkan
manfaatnya(Khoirunisa, 2016).

Transformasi ASKES Menjadi BPJS Kesehatan

Terbitnya Undang-undang tersebut tentang BPJS, menyebabkan


ASKES dialihkan atau ditransformasi menjadi BPJS Kesehatan, yang
mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, PT Askes (Persero) dinyatakan
bubar tanpa likuidasi.

Semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes
(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS
Kesehatan, dan semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS
Kesehatan.

Setelah transformasi menjadi BPJS Kesehatan semenjak


peresmiannya pada tanggal 1 Januari 2014, masih banyak masyarakat
Indonesia yang belum mengerti secara jelas dan seksama mengenai
berbagai informasi berkenaan dengan perubahan program nasional fasilitas
kesehatan dari pemerintah yang satu ini(Antie, 2015).

Sesuai dengan UU RI NO. 24 tahun 2011mengenai Badan


Penyelenggara Jaminan Kesehatan mengumumkan tentang peresmian
perubahan ASKES menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS
Ketenagakerjaan.Perubahan tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan di
mata masyarakat mengenai program dan fasilitas apa saja yang mengalami
perubahan dan berbagai prosedur dalam proses perubahan tersebut.

16
Program pemerintah dengan sistem gotong royong ini mewajibkan
semua warga Indonesia untuk mendaftar menjadi peserta.Khusus bagi
peserta yang sebelumnya telah memiliki kartu ASKES maka secara
otomatis telah terdaftar menjadi peserta BPJS. Oleh sebab itu, tidak perlu
lagi mendaftar ke BPJS.Namun penggantian kartu ASKES ke kartu BPJS
tetap harus dilakukan.Fasilitas ASKES yang pertanggungannya hanya
meliputi 2 anak saja, namun dalam program transformasinya menjadi
BPJS kesehatan, kini pertanggungan anak menjadi 3(Fajriadi, 2014).

Jenis Kepesertaan BPJS Kesehatan

Berikut ini akan dijelaskan beberapa jenis kepesertaan BPJS Kesehatan,


yaitu sebagai berikut(Soebijakto, 2013):

1. Peserta BPJS PBI (Peserta Bantuan Iuran)


Ini khusus untuk warga miskin yang tidak mampu sesuai
dengan kriteria dinas sosial, Peserta BPJS PBI dibagi menjadi 2
macam, BPJS yang didanai oleh APBN dan BPJS yang didanai
oleh APBD, yang didanai oleh APBN dikenal dengan
JAMKESMAS, sedangkan yang didanai oleh APBD dikenal
dengan JAMKESDA/PJKMU.
2. Peserta BPJS Non PBI (Bukan Penerima Bantuan Iuran)

Sedangkan untuk peserta BPJS PBI dikategorikan menjadi


beberapa bagian:
a. Pekerja Penerima Upah (BPJS PPU), khusus untuk pegawai
pemerintah maupun non pemerintah BPJS ini bisa disebut juga
sebagai peserta BPJS badan usaha atau BPJS yang ditanggung
oleh perusahaan.
b. Pekerja Bukan Penerima Upah (BPJS PBPU), ini untuk
Individu atau perorangan dengan kategori, pengacara akuntan,
arsitek notaris dan lain sebagainya.
c. Bukan Pekerja, ini untuk golongan bukan pekerja seperti
penerima pensiun, investor, maupun veteran.

17
Secara umum, perbedaan ASKES dan BPJS adalah sebagai
berikut (Antie, 2015):
1. BPJS kesehatan telah menanggung sepenuhnya faskes ( fasilitas
kesehatan ) semua biaya diserahkan kepada BPJS, sedangkan
ASKES ketentuan pelayanan obat itu ditagih secara terpisah
dengan pelayanan kesehatannya dan fasilitas kesehatan tidak
menyediakan pelayanan obat.
2. ASKES hanya ditujukan untuk pegawai instasi pemerintah
seperti PNS, CPNS, pejabat negara, TNI, Polisi dll. Sedangkan
BPJS kesehatan ditujukan untuk semua warga indonesia agar
mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.
3. Nilai premi; Setiap peserta BPJS dan asuransi kesehatan
tentunya diwajibkan untuk membayar iuran atau premi. Nilai
iuran BPJS Kesehatan tergolong murah, dan dibedakan menurut
kelas layanan. Iuran untuk kelas 1 sebesar Rp59.500,-, kelas 2
sebesar Rp42.500,-, dan kelas 3 sebesar Rp25.500,- per bulan.
Sementara nilai premi asuransi kesehatan cenderung mahal dan
dibedakan menurut kelas layanan juga usia. Semakin tua usia
peserta, maka semakin mahal premi asuransinya. Secara
nominal, nilai premi asuransi kesehatan swasta antara yang satu
dengan yang lain bisa jadi berbeda. Namun, rata-rata mencapai
Rp300.000,- hingga Rp500.000,- per bulan.
4. System layanan; Dalam hal sistem pelayanan, BPJS
menggunakan sistem berjenjang dan rujukan. Untuk
memeriksakan kesehatannya, peserta harus melalui fasilitas
kesehatan (faskes) tingkat pertama lebih dulu, yaitu bisa
puskesmas, klinik, atau dokter pribadi. Jika ternyata penyakit
yang diderita oleh peserta tidak bisa ditangani oleh faskes 1,
baru dirujuk ke rumah sakit yang bekerjasama. Itupun peserta
tidak bisa memilih sendiri rumah sakit yang diinginkan, tetapi
tergantung pada faskes 1 yang membuat rujukan. Meski dalam

18
kondisi darurat, peserta bisa langsung berobat ke rumah sakit
manapun, namun BPJS memberlakukan ketentuan gawat
darurat yang cukup ketat. Pada asuransi kesehatan, sistem
layanan yang diterapkan bersifat langsung. Artinya peserta bisa
berobat langsung ke rumah sakit yang diinginkan tanpa perlu
rujukan. Asal rumah sakit yang dituju telah bekerjasama dengan
perusahaan asuransi yang diikuti. Dengan begitu, peserta bisa
memperoleh layanan kesehatan secara cepat. Bahkan, peserta
asuransi kesehatan cenderung lebih diprioritaskan dibandingkan
dengan peserta BPJS.
5. Batasan plafon ; Penggunaan layanan kesehatan dengan BPJS
tidak dibatasi dengan plafon. Berapapun biaya pemeriksaan dan
perawatan yang dibebankan pada peserta akan ditanggung
seluruhnya oleh BPJS. Maka dari itu, peserta tak perlu lagi
khawatir dengan biaya perawatan ketika mengalami gangguan
kesehatan, apapun penyakitnya. Sebaliknya, biaya perawatan
pada asuransi kesehatan dibatasi dengan plafon. Sebagai contoh
peserta membeli premi asuransi dengan plafon Rp20 juta. Jika
peserta sakit dan dirawat dengan total biaya mencapai lebih dari
plafon, maka kelebihan biaya menjadi tanggungan peserta itu
sendiri.
6. Batasan usia ; Peserta BPJS tidak ada batasan usia, dalam arti
berapapun usia seseorang tetap bisa menjadi peserta BPJS.
Mulai dari bayi baru lahir hingga manula bisa mendaftar
sebagai peserta BPJS. Selain itu, perbedaan usia maupun gender
tidak mempengaruhi besaran iuran yang harus dibayarkan.
Besar iuran tergantung pada kelas layanan yang diinginkan,
kelas 1, 2, atau 3. Sementara pada asuransi kesehatan terdapat
batasan usia. Umumnya asuransi kesehatan menolak
kepesertaan seseorang yang telah memasuki usia tidak
produktif, yaitu 55 tahun ke atas. Logis, karena rentang usia

19
tersebut cenderung rawan terhadap penyakit, tentu perusahaan
asuransi tak mau rugi.
7. Pre Existing Condition : BPJS tidak memberlakukan pre
existing condition. Hal ini dimaksudkan bahwa BPJS menerima
kepesertaan seseorang apapun kondisinya tanpa memperhatikan
riwayat sakit yang pernah diderita. Berbeda dengan asuransi
kesehatan yang menerapkan pre existing condition. Artinya,
penyakit yang pernah diderita oleh peserta sebelum mengikuti
asuransi kesehatan tidak akan dijamin pembiayaannya.

20
2.3 Masalah-Masalah Pada Program JKN Yang Diselenggarakan Oleh
BPJS dan PT Askes

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan


amanat dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
dan dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
(BPJS Kesehatan) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang BPJS saat ini usianya baru akan 1,5 tahun pada Juni
mendatang. Sebagaimana halnya bayi yang baru lahir, kemudian tumbuh
dan berkembang menjadi anak-anak yang berusia 1,5 tahun tentu saja
masih banyak kekurangan dan kendala di sana sini. Apalagi BPJS
Kesehatan yang merupakan hasil transformasi dari ASKES ini juga
menerima “limpahan” program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
dari Jamsostek yang saat ini juga sudah sukses melakukan transformasi
menjadi BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK).

Dari begitu banyak masalah, kendala dan keluhan dari masyarakat


dan pemberi layanan JKN melalui BPJS Kesehatan ini, saya mencoba
untuk memetakan masalah (problem maping)terkait dengan program JKN
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan oleh
BPJS Kesehatan. Ada dua persoalan besar yaitu persoalan
pada sistem dan sub sistemnyakemudian persoalan pada supra
sistem dalam kerangka makro. Sistem dan sub sistem nya saya membagi
menjadi 3 lingkup kewenangan dan tanggungjawab yaitu :

1. Lingkup pembuat aturan (regulator) : Yaitu Pemerintah Pusat melalui


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI termasuk di dalamnya adalah
National Case Mix Centre (NCC) yang berada dibawah Direktorat
Jendral Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes RI.

2. Lingkup badan penyelenggaran : Yaitu Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

21
3. Lingkup penyedia pelayanan atau fasilitas kesehatan : Yaitu Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu Puskesmas, Klinik dan
Dokter Praktek Mandiri serta Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL) yaitu Rumah Sakit Umum dan Khusus kelas D, kelas
C, kelas B dan kelas A.

Di luar ketiga lingkup tadi, terdapat beberapa persoalan yang


dianggap masalah makro (supra sistem) nya dari JKN melalui BPJS
Kesehatan ini. Masalah-masalah yang timbul terkait dengan para
pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/ Kota,
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) serta tentu saja masyarakat
sebagai peserta BPJS Kesehatan.
a. Lingkup Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan
(KEMENKES) dan NCC Kemenkes
1) Aturan tentang besaran premi yang memberatkan
a. Iuran (premi) untuk peserta BPJS Mandiri terlalu tinggi.
2) Aturan tentang sistem rujukan yang rumit dan berbelit
a). Pasien ditolak oleh UGD RS karena menganggap bukan kasus
emergensi
b). Pasien harus ke RS Kelas D dan C dulu sebelum ke RS kelas B
atau kelas A
c). Pasien harus meminta rujukan dari klinik sebelum ke RS
3) Aturan tentang nilai kapitasi terlalu rendah
a) Nilai kapitasi untuk PPK I yang terlalu rendah
b) Nilai kapitasi PPK I antara Puskesmas dengan PPK I Non
Puskesmas BERBEDA
4) Aturan tentang aktivasi kartu yang lama (7 hari)
a) Bayi baru lahir harus membayar biaya sendiri dan tidak dijamin oleh
BPJS
b) Pasien membutuhkan pelayanan segera sedangkan kartu belum aktif
c) Bayi dalam kandungan harus didaftarkan dulu ke BPJS

22
5) Aturan tentang keseragaman tarif RS Negeri dan Swasta
a) Tarif INA CBG untuk kode dan deskripsi yang sama antara RS
Pemerintah dan RS Swasta DISAMAKAN
6) Aturan tentang pembagian jasa pelayanan dari nilai kapitasi PPK I
a) Aturan pembagian jasa pelayanan dari pembayaran Kapitasi PPK I
yang kurang jelas dan kurang tajam
7) Aturan tentang kecelakaan kerja dan KLL belum jelas ke masyarakat
a) Pasien harus membayar biaya pelayanan UGD untuk kasus
kecelakaan lalu lintas
8) Aturan besaran tarif INA CBG dari NCC Kemenkes yang terlalu kecil
a) Tarif INA CBG terlalu kecil dan tidak sesuai dengan real cost RS
b. Lingkup Badan Penyelenggara (BPJS KESEHATAN)
1) Pendaftaran peserta yang rumit dan berbelit
a) Syarat-syarat pendaftaran peserta BPJS rumit
b) Pendaftaran peserta BPJS Mandiri HARUS sekeluarga penuh
c) Pasien JAMKESDA yang ingin menjadi peserta BPJS dipersulit
2) Konversi data based yang belum lengkap
a) Pasien ex JAMSOSTEK dan ASKES dipersulit untuk berubah jadi
peserta BPJS
b) Pasien ex JAMKESMAS dipersulit untuk berubah jadi peserta BPJS
3) Pembayaran Iuran (Premi) rumit dan berbelit
a) Sistem pembayaran yang harus minimal 3 bulan memberatkan
b) Pembayaran melalui rekening bank menyulitkan
4) Sosialisasi ke masyarakat kurang
a) Masyarakat belum paham manfaat JKN
b) Masyarakat belum paham penyakit-penyakit yang dijamin dan yang
tidak dijamin
5) Jumlah RS yang bekerjasama belum banyak
a) Masih banyak pasien yang ditolak oleh RS karena ternyata RS
tersebut belum bekerjasama dengan BPJS
6) Klinik dan PPK I yang ingin kerjasama dengan BPJS dipersulit

23
a) Syarat-syarat sebuah faskes PPK I untuk bisa bekerjasama dengan
BPJS terlalu banyak dan memberatkan
b) Proses kredensialing faskes PPK I tidak objektive
7) Penerbitan dan aktivasi kartu yang lama
a) Penerbitan kartu peserta yang lama padahal sudah mendaftar dan
membayar iuran
b) Penggantian kartu dari ASKES, JAMSOSTEK dan JAMKESMAS
menjadi kartu BPJS ribet dan lama
c) Kualitas kartu peserta yang buruk, tanpa foto dan tanpa nama PPK
d) Aktivasi kartu memerlukan waktu 7 hari
8) Pemilihan PPK I yang tidak fair
a) Permainan untuk memberikan sejumlah peserta tertanggung kepada
PPK I tertentu dengan imbalan
b) Peserta diarahkan untuk memilih PPK I tertentu
c) Perubahan PPK I dipersulit, ribet dan lama (membutuhkan waktu 3
bulan baru bisa dirubah).
c. Lingkup Fasilitas Kesehatan (PPK I DAN RUMAH SAKIT)
1) Tempat Tidur RS penuh
a) RS menolak merawat pasien dengan alasan ruang perawatan penuh
b) RS memperlakukan pasien BPJS PBI tidur (dirawat) di tempat yang
tidak layak di RS
c) RS menyarankan pasien naik ke kelas VIP/VVIP dengan konsekuensi
terkena selisih bayar
2) RS tidak menjelaskan ketentuan naik/turun kelas karena ruangan penuh
atau atas permintaan sendiri
a) Pasien diturunkan kelas nya dengan alasan kamar haknya penuh.
b) Pasien dinaikkan kelas nya dan dikenakan selisih biaya (cost sharing)
c) Pasien yang menginginkan naik kelas tidak dijelaskan konsekuensi
yang timbul
d) Pasien tidak diminta untuk menandatangani surat pernyataan naik
kelas atas permintaan sendiri

24
3) RS Menolak pasien BPJS
a) UGD RS menolak pasien BPJS
b) UGD RS menarik biaya pelayanan dengan alasan TIDAK dijamin
BPJS
4) RS mengenakaniur biaya(cost sharing) pelayanan
a) RS menagih selisih biaya (cost sharing) kepada pasien
5) RS mengenakaniur biaya(cost sharing) untuk obat-obatan tertentu
a) RS menagih biaya obat-obatan yang “katanya” tidak dijamin oleh
BPJS
6) Obat di RS sering kosong
a) RS sering memberikan resep untuk diambil di Apotek luar RS
7) Pembagian jasa pelayanan di RS
a) Jasa dokter yang dibayar kecil sekali untuk melayani pasien BPJS
8) Kualitas pelayanan RS yang kurang
a) Antrian Pasien BPJS dibedakan dan membuat panjang antrian
b) Pelayanan rumit berbelit tidak bisa selesai dalam 1 hari
c) Obat-obatan yang diberikan adalah obat generic
9) PPK I mengenakan biaya pengobatan pasien
a) PPK I masih menarik biaya obat-obatan kepada peserta BPJS

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Prinsip equity dan equality pada program JKN BPJS adalah


kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan wajib, dana amanat,
hasil pengelolaan dana diserahkan seluruhnya dan digunakan
untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk
kepentingan peserta.
2. Transformasi ASKES Menjadi BPJS Kesehatan Terbitnya
Undang-undang tersebut tentang BPJS, menyebabkan
ASKES dialihkan atau ditransformasi menjadi BPJS
Kesehatan, yang mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, PT
Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Semua aset
dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes
(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban
hukum BPJS Kesehatan, dan semua pegawai PT Askes
(Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.
3. Terdapat beberapa persoalan yang dianggap masalah makro
(supra sistem) nya dari JKN melalui BPJS Kesehatan.
Masalah-masalah yang timbul terkait dengan para pemangku
kepentingan (stakeholder) seperti Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/
Kota, Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) serta tentu saja
masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan.

26
3.2 Saran

Sustainabilitas program atau bahwa program jaminan sosial harus


berkelanjutan selama negara ini ada. Oleh karena itu harus dikelola secara
prudent, efisien dengan tetap mengacu pada budaya pengelolaan
korporasi.Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan
di Provinsi adalah penyakit yang seharusnya menjadi tanggungan jaminan
kesehatan. Namun dalam praktiknya banyak peserta jaminan kesehatan
dalam penggunaan kartu jaminannya banyak yang mengeluh karena
beberapa aspek pelayanan kesehatan tidak ditanggung penyelenggara
jaminan kesehatannya. Oleh karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
membutuhkan sistem rujukan berjenjang dan terstruktur agar peserta
merasa tidak rugi membayar iuran tetap yang dibebankan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Antie, S. A. (2015) ASKES atau BPJS Kesehatan, https://goo.gl/GvzMWj.

BPJS Kota Kendari (2015) Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN
Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Kendari.

Fajriadi, N. (2014) Persiapan PT Askes sebagai BPJS Kesehatan 2014,


www.ptaskes.com.

Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2012) Peta Jalan Menuju


Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019.

Khoirunisa, R. K. (2016) Perbedaan BPJS, JAMSOSTEK, ASKES, JAMKESMAS


dan JAMKESDA, Pasienbpjs.com – https://goo.gl/FHE0OP.

Maidin, A. and Palutturi, S. (2016) ‘Kajian Implementasi Jaminan Kesehatan


Nasional Lintas Provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat) Tahun 2014’, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 05(03), pp. 96–
100. Available at: https://drive.google.com/file/d/0Bzt046lJwc-
DTHp5dTh5RjFWNFF2RDNfbVltZ3hNMi1qVFVj/view.

Notoatmodjo, S. (2011) Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka


Cipta.

Soebijakto, H. (2013) Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS


Kesehatan. Askes dan BPJS Kesehatan.

UU RI NO. 24 tahun 2011 (no date) UU RI NO. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Indonesia.

28

Anda mungkin juga menyukai