Anda di halaman 1dari 11

TASAWUF DASAR

(Dzun Nun al-Mishri)

Dosen Pengampu:

Zainal Mukhlis, M.fil.I

Nama Kelompok 5:

Akhmad Alwi Aminuddin (E91219062)

Hilda Awwaliyatul Maulidiyah (E71219044)

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Jl. Ahmad Yani No. 177 Surabaya

Abstrak: Setelah Rasulullah wafat, ajaran Islam telah berkembang sedemikian rupa mengikuti
irama perkembangan alam pikir dan tradisi umat manusia. Oleh karena itu, pada saat ini ajaran
agama Islam telah dapat dilihat dari banyak segi dimensi.Mendekati agama secara rasional
absolut cenderung membuat ajaran agama terasa kering, kulit dan statis yang seakan-akan
hanya berisi dengan perintah dan larangan saja.Maka dari itu tidak mengherankan ada
segelintir orang yang mencari kesejukan hati dalam beragama melalui pendekatan tasawuf yang
memberikan penekanan pada cinta, penyatuan, kerendahhatian, ketenangan, dzikir dan
perenungan.Sebagaimana adanya, manusia terdiri atas dua susunan yakni jasmani dan
ruhani.Tasawuf lebih mengarah pada objek kajian batiniah/ruhani manusia.Jadi, selain agama
harus dipahami secara lahiriyah, agama juga harus dipahami secara batiniyah, sehingga kedua
unsur dalam diri manusia itu dapat berjalan secara berdampingan seperti seekor burung yang
terbang dengan kedua sayapnya.Itulah sebabnya ajaran tasawuf ini mendapatkan perhatian dan
banyak pengikut, sehingga lahirlah sejumlah tokoh tasawuf yang terkenal, diantaranya adalah
Dzun Nun al-Mishri.Dzun Nun al-Mishri adalah seorang tokoh tasawuf yang memiliki latar
belakang dan konsep ajaran tasawufnya sendiri.Untuk mengenal secara dekat Dzun Nun al-
Mishri dan konsep ajaran tasawufnya, yang perlu ditelusuri adalah konsep ma’rifahnya.

Kata Kunci: Dzun Nun al-Mishri, Tasawuf, Ma’rifah.


Pendahuluan

Meskipun sebelumnya paham ma’rifah sudah dikenal di kalangan para sufi, tetapi
sebenarnya Dzun Nun lah yang lebih menekankan paham ma’rifah dalam
tasawuf.Menurutnya, ma’rifah adalah fadl (anugerah) semata dari Allah.Dan ini hanya
bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seorang mengenal Allah, maka semakin
pula ia dekat, khusyuk, dan mencintaiNya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifah
sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertikal maupun horizontal. Jadi, ma’rifah
terkait erat dengan syari’ah, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat
membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh
Allah. Demikian pula dalam kehidupan sesama, seorang arif akan senantiasa
mengedapankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.1
Hakikat ma’rifah bagi Dzun Nun al-Mishri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni,
cahaya mata hati seorang arif dengan anugerah dariNya sanggup melihat realitas
sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifah, seorang arif mendapati
penyingkapan hijab “kasyf al-hijab”. Dengan pengetahuan inilah, segala gerak-gerik
sang arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah,
tangan, dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzun Nun menegaskan bahwa, “Aku
makrifat kepada Tuhanku sebab Tuhanku, andai kata bukan karena Tuhanku, niscaya aku
tidak akan makrifat kepadaNya”.2

Biografi Dzun Nun al-Mishri


Nama asli Dzun Nun al-Mishri adalah Abul Fayd Dzun Nun al-Mishri.Ia juga
dikenal dengan panggilan Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Akhmim (sebuah kota
kuno yang berada di tepi Timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir) pada tahun 156 H
dan meninggal dunia pada tahun 245 H. dalam literatur lain disebutkan bahwa Dzun Nun
al-Mishri lahir di Mesir pada tahun 180 H/796 M – 246 H/860 M. Abul Fayd Tsauban bin
Ibrahim al-Mishri sebagai sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifah dalam
ajaran tasawufnya.3

1
Suteja Ibnu Pakar, Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya, (Yogyakarta, Deepublish, Mei 2013),48.
2
Ibid, 48-49.
3
Bahdar, “Zunnun al-Mishri: Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”, (Hunafa, Vol. 3 No. 2, Juni 2006, 205-214),
207.
Riwayat hidupnya tak banyak diketahui kecuali bahwa Dzun Nun banyak
melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara
lain adalah Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Syria, Libanon, dan Anatholiah. Di
samping seorang sufi, ia ahli di bidang filsafat, kimia, dan tulisan hieroglif (tulisan dan
abjad Mesir Kuno). Suatu ketika Dzun Nun menumpang kapal saudagar kaya.Tiba-tiba
saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga.Dzun Nun dituduh
mencurinya.Karena itu, Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk
mengembalikan permata itu.Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya, Dzun Nun
menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru, “Wahai Tuhan, Engkaulah yang
Maha Tahu”.Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukaan air mendekati
kapal membawa permata di mulutnya masing-masing.Dzun Nun lalu mengambl sebuah
permata dan menyerahkannya pada saudagar tadi.sejak peristiwa ganjil itu, ia digelari
“Dzunnun” artinya yang empunya ikan nun.4
Dzun Nun al-Mishri termasuk salah seorang murid Imam Malik bin Anas di
Madinah. Selain berguru kepada Imam Malik bin Anas, ia juga sering bertemu dengan
Imam Ahmad bin Hanbal, Ma’ruf al-Karkhi, Sarri al-Saqathi, dan Bisyr al-Hafi.5
Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama ulama
Hadits dan Fikih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang
menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama.Pandangan hidupnya yang cukup
sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ,
bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai
orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu
pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain.6 Namun, dalam literatur lain seperti
yang terdapat pada kitab “Risalah al-Qusyairiyah” karya Abul Qosim Abdul Karim
Hawazin al-Qusyairi (Imam Qusyairi), sewaktu Dzun Nun al-Mishri difitnah, ia dipanggil
oleh Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Bani Abbasiyah) ke Mesir. Lalu, ketika Dzun Nun
memberikan nasihat kepadanya, al-Mutawakkil pun menangis dan berbalik
menghormatinya ketika pulang ke Mesir.

4
Ibid, 207-208.
5
Ibid, 208.
6
https://www.bacaanmadani.com/2018/03/biografi-dzun-nun-al-misri-dan-ajarannya.html
Konsep Tasawuf Dzun Nun al-Mishri
Maqamat dan al-Ahwal
Dzun Nun al-Mishri menggolongkan tasawuf ke dalam ilmu batin yang hanya
dapat dipahami oleh kalangan tertentu yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi (orang
khawas).Karena itu, menurut Dzun Nun ada perbedaan antara tobat orang awam dengan
orang khawas.Orang awam bertobat dari dosa, sedangkan orang khawas bertobat dari
kelalaian/kelengahan.Dan di dalam membangun ajaran-ajarannya, Dzun Nun bertitik
tolak kepada ma’rifah.Jalan menuju ma’rifah melalui maqamat.Salah satu maqamat yang
penting adalah mahabbah.7

Al – mishri membedakan tobat menjadi 3 tingkatan:


1.    Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
2.      Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
3.      Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.8

Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf.Keduanya
merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan
Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya
ini.Maqamat jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih
populer diterjemahkan dengan “stasiun”, seperti halnya stasiun kereta api yang harus
dilalui sepanjang perjalanan, dari titik “start” sampai kepada “finish” sebagai akhir
tujuan perjalanan. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal”, biasanya diartikan sebagai
keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.9
Dengan begitu, maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para
sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kepada
cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di

7
Bahdar, “Zunnun al-Mishri: Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”, (Hunafa, Vol. 3 No. 2, Juni 2006, 205-214),
208.
8
Walijot.Com,http:/www.bloger.com/post-edit.9? (Diakses pada tanggal 10 November 2010).hlm3
9
Fitriyatul Hanifiyah, Konsep Tasawuf Sunni: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, al-Maqamat dan Ahwal, al-Ma’rifah dan
Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni, (At-Turas: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2019)219-
220.
tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika
Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk
keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut
dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat (qurb), rasa cinta
(mahabbah), harapan (raja’), tenteram, dan yakin. Dan kondisi tersebut yang dinamakan
ahwal.10
Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual
seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi terdapat perbedaan yang
mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun
pelangsungannya. Maqamat adalah tahaptahap perjalanan spiritual yang dengan gigih
diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya
merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa
nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karenanya hal itu yang
menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat
dari kenyataan bahwa seorang sufi terkadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya
untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya.Sedangkan ahwal sering diperoleh
secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Dintara ahwal yang sering disebut adalah
takut, syukur, rendah hati, ikhlas dan gembira.Meskipun ada perbedaan di antara penulis
tasawuf, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan
berlangsung sebentar dan diperoleh tidak didasarkan usaha sadar atau perjuangan keras,
seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan Ilahi
(Divine Flashes).11
Dengan demikian, relevansi antara maqamat dan ahwal merupakan dua prinsip
dalam sebuah kajian tasawuf yang tidak dapat dipisahkan.Maqamat dengan usaha dan
kerja keras yang maksimal, kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah berupa
perasaan dan kedaan (ahwal) yang dialami oleh seorang sufi dari perjalanan spiritualnya.

Ma’rifah

10
Ibid, 220.
11
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2002) 180.
Kata ma’rifah berasal dari kata “‘arafa” yang artinya mengenal. Istilah tersebut
bersumber pada hadis Rasulullah yang artinya: “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan
mengenal Tuhannya”.Diri manusia pada hakikatnya penuh dengan segala ketergantungan
dan kefanaan.Sedangkan Allah adalah pemilik kebesaran, kekuasaan, kekekalan serta
memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan.Tidak ada satu pun manusia yang mampu
mengenalNya dalam arti hakiki, kecuali dengan (karena) kehendakNya. Hal ini juga sama
dengan ungakapan Dzun Nun al-Mishri: “Aku mengenal Tuhanku karena Tuhanku,
andaikata bukan karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengenalNya”.12

Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat. Walaupun paham ma’rifat
sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan
paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al
Qathfi dan al Mas’udi yang kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam
Falsafah ash Shufiah fi al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil
memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam.
Keberhasilan itu ditandai dengan :
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan
kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu
menggunakan pendekatan akal.
2.  Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah
sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3.  Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik.
Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad. Oleh
karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.

Dzun Nun al-Mishri termasuk sufi angkatan pertama. Menurutnya, sufi adalah
orang yang jika berbicara, pembicaraannya bisa menjelaskan hakikat ilmu, dan jika diam,
anggota badannya berbicara tentang hakikat ilmu itu, dan memutuskan hubungan dengan
yang ada disekitarnya. Seorang sufi sebelum mengkaji hakikat ilmu harus mengkaji dan
mengenali dulu ilmu itu. Menurut Dzun Nun dalam mengetahui hakikat ilmu, mula-mula
12
Fitriyatul Hanifiyah, Konsep Tasawuf Sunni: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, al-Maqamat dan Ahwal, al-Ma’rifah dan
Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni, (At-Turas: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2019) 226.
mempelajari teks syariah dan ilmu yang berkenaan dengannya, seperti: ilmu tafsir, ilmu
hadis, dan juga ilmu fiqih. Selain itu, ditempuh juga jalan pengetahuan yang bersumber
dari akal—dipraktikannya melalui ilmu kimia dan kedokteran—karena ilmu-ilmu
kealaman itulah yang ditekuninya. Namun, jika hanya menempuh jalan tersebut
seseorang belum sampai pada hakikat ilmu itu sendiri, atau belum ke tingkat sufi.
Seorang sufi yang telah mencapai hakikat ilmu dengan jalan ma’rifah harus melewati
zuhud (dengan meninggalkan kemewahan hidup duniawi), dan selalu beribadah dan
bertafakkur. Ketika jiwa bersih dari kotoran, maka ia siap untuk menerima al-Faidh
(limpahan dari Allah), atau orang yang bisa sampai ke tingkat ma’rifah melalui jalan
kasyf dan ilham yang diberikan Allah kepada hamba yang dikehendakinya.13
Disamping itu, Dzun Nun al-Mishri juga membedakan antara pengetahuan dengan
keyakinan. Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil dari pengamatan inderawi, yaitu
apa yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari
apa yang dipikirkan atau diperoleh melalui intuisi.14
Dzun Nun membagi ma’rifah menjadi tiga bagian: (1)Ma’rifah Tauhid, yakni
doktrin bahwa seorang mukmin bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian
ajaran yang telah dia terima, (2) Ma’rifah al-Hujjah wa al-Bayan, yakni makrifat yang
diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar, dan logika. Bentuk konkretnya, mencari dalil
atau argumen penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Tuhan. Tetapi, makrifat
kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya makrifat tersebut, (3)Ma’rifah Sifat al-
Wahdaniyah wa al-Fardhiyah, yakni makrifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya
dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl.Atau
kasyf.Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan
bukannya akal.15
Ma’rifah bagian pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan hakiki
tentang Tuhan.Keduanya disebut ilmu, bukan ma’rifah.Ma’rifah dalam bagian ketigalah
yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut
ma’rifah.Ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan
hati sanubari mereka. Pengetahuan ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum

13
al-Sayyid Abu Dhaif al-Madaniy, Dzu al-Nun al-Mishri wa al-Adab al-Shufi, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1973), hal. 44.
14
https://www.bacaanmadani.com/2018/03/biografi-dzun-nun-al-misri-dan-ajarannya.html .
15
Suteja Ibnu Pakar, Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya, (Yogyakarta, Deepublish, Mei 2013) 49.
Sufi.Ma’rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh
dengan cahaya.16
Dzun Nun berpandangan bahwa tidak semua orang dapat mencapai tingkat al-
Ma’rifah. Seorang sufi yang sudah sampai ke tingkat al-Ma’rifah akan memiliki tanda-
tanda tertentu, antara lain sebagai berikut17:
a) Selalu memancar cahaya al-ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b) Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata (inderawi), karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belum tentu
benar.
c) Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak/berlebih untuk dirinya, karena itu
dapat membawa kepada lupa/ghaflan.

Seorang sufi yang telah mencapai ma’rifah melihat Tuhan dengan pengetahuan
yang langsung diberikan oleh Tuhan, tanpa penglihatan mata, informasi, observasi,
penelitian ataupun penghalang. Mereka tidak berada dalam diri mereka melainkan berada
dalam diri Tuhan.Gerakangerakan mereka disebabkan oleh Tuhan, perkataan-perkataan
mereka adalah perkataan Tuhan yang keluar lewat lidah-lidah mereka dan penglihatan
mereka adalah penglihatan Tuhan yang disalurkan ke dalam mata-mata mereka. Dzun
Nun mengatakan bahwa semakin tahu seorang sufi tentang Tuhan, semakin melebur ia
dalam diri Tuhan.18

Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al Ta’aruf
li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab Tasawwuf), Dzun
Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu tingkatan maqam (stasiun)
tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal,
rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan sanubari. Dalam
buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara
memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu
rabbi” ,Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak

16
Harun Nasution,Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. VIII. (Jakarta: Bulan 1992) 76.
17
Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991) 119-120.
18
M. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy, ed. Cet. IV. (New Delhi 1995) 341.
akan mengetahui Tuhan). Kata-kata Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu
tasawuf. Menurut Abu Al Qasim Abd Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui
bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi,
melainkan lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya.

Cinta dan Ma’rifat

Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?".
"Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku
maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang
yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa
didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya,
dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya.
Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".

Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya


pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!.
Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada
selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih
Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya".
"Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: cinta pada Yang Agung, benci
kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir
(dalam kesesatan)".19

Kesimpulan

Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-
tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang
19
M.Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi, (Bandung, Putaka Setia : 2003), hlm.58
maqamat dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufistik. Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri
adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab
mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah
hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain. Ahwal adalah
sifat dan keadaan sesuatu. Menurut Dzun Nun al Mishri setiap maqam mempunyai
permulaan dan akhir. Dintara keduanya terdapat ahwal. Setiap maqam memiliki symbol
dan setiap ahwal ditunjuk oleh isyarat. Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang
yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan
sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah
dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah".

Daftar Pustaka

Al-madaniy,al-Sayyid Abu Dhaif. Dzu al-Nun al-Mishri wa al-Adab al-Shufi. Beirut:


Dar al-Syuruq. 1973.

Bahdar. “Zunnun al-Mishri: Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”. Hunafa, Vol. 3
No. 2, Juni 2006.

Hanifiyah,Fitriyatul. Konsep Tasawuf Sunni: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, al-Maqamat


dan Ahwal, al-
Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni. At-Turas: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 6 No. 2, Juli-
Desember 2019.

Ibnu Pakar,suteja. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta: Deepublish. 2013.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. VIII.Jakarta: Bulan. 1992.

Mahjuddin. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Muli. 1991.

M. Syarif, M. A History of Muslim Philosophy, ed. Cet. IV. New Delhi: 1995.

Sholihin, Muhammad. Tokoh-Tokoh Suf. Bandung: Putaka Setia . 2003.

Anda mungkin juga menyukai