Makalah
Oleh :
Dosen Pengampu
Dzun Nun Al-Mishri adalah seorang tokoh sufi yang telah banyak
memberikan sumbangsih berharga bagi perjalanan tasauf di dunia Islam,
Sesungguhnya faham sufi (sufisme) itu berkembang dari waktu ke waktu mengikuti
keadaan jaman. Sejak jaman Rasulullah saw hingga sekarang, banyak diwarnai
dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam beberapa tahapan
perkembangan.
Sebagian ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun di Mekkah -
periode Makkiyah- sudah menekankan betapa pentingnya spiritual, dalam kaitannya
tentang orientasi kenabian dan tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman spiritual
kenabian yang dilalui Rasulullah saw (dikenal dengan Isra` Mi`raj).
Sebagian ulama filosof mengatakan, bahwa pengalaman isra` mi`raj Nabi
lebih kepada pengalaman spiritual. Para yang mendapat cerita tentang isra` mi`raj
langsung menerima dan mereka tidak bertanya mengenai pengalaman-pengalaman
tersebut. Ada sejumlah alasan mengapa demikian, karena mereka dilatih untuk suatu
tujuan moral atas dasar keagamaan. Lagi pula aktifitas mereka telah membuat
mereka cenderung untuk tidak bertanya-tanya tentang rahasia metafisik itu. Kedua,
mereka menganggap bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi saw tersebut
merupakan ciri khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka
hanya mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.
Dalam masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya -walaupun
pada tingkatan yang berbeda- suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya,
kemahakuasaanNya, serta perasaan mendalam pada pertanggungjawaban dihadapan
pengadilan Tuhan menyangkut perilaku selama di dunia.
Ajaran Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat,
terutama yang sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana sepeninggal
Rasulullah, Abu Dzar merupakan tokoh penting yang dikenal keshalihannya dimata
penduduk Madinah. Keshalihan Abu Dzar inilah yang kemudian menjadi pondasi
bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama Hijriyah.
Pada perkembangan berikutnya, keshalihan beragama secara spiritual ini
2
muncul dalam bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi
oleh kondisi umat islam disaat itu yang tenggelam dalam menikmati kemewahan
duniawi. Kemewahan duniawi itu dipengaruhi oleh keberhasilan pemerintahan islam
dalam mengembangkan politik dan militer hingga ke seluruh jazirah Arabia.
Menurut sebagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi
terhadap kehidupan sekuler dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap
kurang religius. Artinya, Dinasti Umyyah telah meninggalkan keshalihan dan
kesederhanaan hidup sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan
para sahabat empat.
Dua abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama)
zuhud mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping
konsep syariat. Lalu muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai protes terhadap
kehidupan umat islam yang dianggap kurang religius karena tenggelam dalam
kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama zuhud itu, salah satu yang sangat
terkenal adalah Hasan al-Bashri. Pengaruh konsep ajarannya demikian kuat selama
berabad-abad.
Setelah itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu
konsep ulama zuhud yang sangat populer adalah pemahaman tentang tawakkal
(berserah diri kepada Tuhan). Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin yang sangat
mencolok. Mereka menempuh jalan sufi dengan menyerahkan diri secara totalitas
kepada Allah.
Dari sini kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar,
Ibrahim bin Adham, Rabi`ah al Adhawiyah dan masih banyak lagi.
Kencenderungan pengaruh ajaran sufi pada saat itu misalnya dapat dijumpai dalam
cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari nafkah (rejeki). Malik bin Dinar
memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia
mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Sementara Wasi` lebih menyukai menjadi orang yang jika makan tidak peduli
darimana dia akan memperoleh makanan lagi nanti.
Ciri khas gerakan pada masa itu hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah
yang bertujuan untuk membersihkan jiwa secara lahir bathin. Belum ada teori-teori
khusus yang menonjol. Baru pada abad ketiga hijriyah, muncul ulama-ulama besar
3
dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al
Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu Manshur al Halajj. Ulama-ulama sufi tersebut
menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang pada masa itu. Dzun
Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal "al ma`rifah" (pengetahuan). Abu
Yazid al Bistami merumuskan konsep yang disebutnya "Al Ittihad (penyatuan hamba
dengan Tuhan). Adapun Abu Manshur al Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj
merumuskan konsep yang disebut "Al Hulul" "(Tuhan mengambil tempat dalam diri
seseorang).
Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam islam.
Konsep tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada. Namun
dengan konsep tersebut, para sufi meyakini bisa memperoleh pengetahuan tidak
dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang ditempuh oleh para filsuf dan
teolog, melainkan dengan hati dan perasaan.
4
BAB II
DZUNNUN AL-MISHRI
7
mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti
keempat orang ini : Dzunnun Al-Mishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-
Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn
Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam,
bahkan Imam kita".
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan
kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : Sahl al-Tustari (salah satu
Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri
bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia
menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang
menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun Al-
Mishri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab
karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata
padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejunilah guru sufi, tetapi ía adatah
orang pertama yang mentheri tafsirau terliadap isyarat—isyarat tasawuf. Ia pun
merupakan orang pertama di Mesir yang berbicàra tentang ahwal dan inaqwnal para
wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang
bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pernbentukan pemikiran
tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejum lab penulis menyebutnya sebagai salali
seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat AI-Mishri hidup pada masa
awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ía seorang sufi pengembara yang
memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya.
Keberaniannya itulah yang rnenyebab kannya harus berhadapan dengan gelombang
protes yang disertai dengari tuduhan zindiq. Akibatnya, ía dipanggil menghadap
Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan
penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umurn tatkala Ia
meninggalkan dunia yang fana ini.
3 Abdul Qadir Mahmud, Falsujulu, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arab, 1966), hlm. 306.
8
1. Ma’rifat Menurut Dzun-Nun Al-Mishri
Al-Mishri adalah pelopor paharn ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat
karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis
Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam; Al-Mishri
berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme
Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah.
Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para
sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Mishri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah
qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-
Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-
teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang
pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.4
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit
diterima kalangan teolog sehingga ía dianggap sebagai seorang zindiq dan
ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebas. Berikut ini beberapa pandangannya
tentang hakikat ma’rifat:
a. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilinu—ilinu
hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahii balaghah, tetapi
ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wall Allah. Hal iiui
karena mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab dengan hatinya,
sehingga terbukaia baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya
yang lain.5
b. Ma’rifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan
cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ía merasa
hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa hamba, mereka
4 Ibid.
5 Ibid.
9
bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka
melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah. 6
6 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam:. Routledge and Kegan Paul, (London.1975),
hlm. 115.
7 Mahmud, Op. Cit., hlm. 66—67.
10
b. Al-Mishri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah.
adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq
ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena
merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Mishri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu
Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn iman,
sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan
ma’rifat.
Menunut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rjfat, Al-
Mishri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam
semesta. Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Mishri, adalah sebagai
berikut:
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c. Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai
larangan Tuhan.8
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna
selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa
bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-
Nya.
2. Pandangan Dzu An-Nun AI-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Pandangan Al-Mishri tantang maqarnat, dikemukakan pada beberapa hal
saja, yaitu at-Taubah, ash-Shabr, at-Tawakal, dan ar-Rida. Dalam Dairat Al-
Ma’rifat Al-Islamiyat terdapat keterangan yang berasal dan Al-Mishri bahwa
simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki
rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan
bahwajumlah maqam yang disebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan
penulis sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat
khawas. Orang awam bertobat kar kelalaian (dan mengingat Tuhan). Dalam
ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan
8 Abd Nashr Al-Sarraj At-Thusj, Al-Dzuna, (Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1960), hlm.
61.
11
oleh Al-abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al-muqarrabin. Pandangan mi
mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah engkau
melupakan dosamu. Pada tahap mi orang-orang yang mendambakan hakikat tidak
lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada
kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut Al-Mishri
membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
b. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kea!faan mengingat Tuhan.
c. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak dapat dikatakan bertentangan
dengan apa yang telah disebut di atas. Pada pembagian Al-Misni membagi lagi
orang khawas menjadi dua bagian sehingga jenis tobat dibedakan alas tiga macam.
3. Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui
Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau
tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang
ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling
bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat
pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-
Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq,
bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan
kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah
pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak
punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada
Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak,
perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada
pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana,
mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam
kesesatan)".
4. Konsep Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri
Setelah memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri,
12
maka dibawah ini penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah
Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna
yang ia dapati dari namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah
kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana
kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka
untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri
manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini.
Sentral yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral
dari manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus
mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa
Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul
seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut Dzun-Nun yang biasa
dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal,
penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan
penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah,
inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling
keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi;
inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada
hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta.
Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan
manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak
menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya
sebuah pengalaman keterbukaan.
Pada penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya
bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan
keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral
kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta bisa melihat
Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat kepada Allah
SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan
beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang sebelum bisa ma’rifah kepada
Allah SWT.
13
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair,
al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur
hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia
tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih tergoncang dan belum istiqamah.
Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka akan masuk lebih dalam lagi
kepada tahapah yang kedua, yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada tahapan ini,
maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya.
Selain itu orang yang sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan
ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap
konsisten dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua. Maka tahap
selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai
bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya
qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan
atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya
adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk
menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan ini maka
orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan.
Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan
yang hampir mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah
proses untuk mempersiapkan diri kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir,
yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan
yang lainnya, maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang
bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan
hal ini disebut dengan ma’rifah.
Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian,
yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-
burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof,
yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan
ketiga, ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan
melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi
epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi,
metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih
14
bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi,
sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya
rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atau
aulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek sehingga ia
merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya
ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.
Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai
pada tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan
dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan
bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh
kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya
diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka seorang
hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan anugrah serta
karunia Allah SWT.
BAB III
15
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
16
Abd Nashr AI-Sarraj At-Thusj. Al-Dzuna. Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1960.
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam: Routledge and Kegan Paul. London:
1975.
17