Anda di halaman 1dari 8

BAB I

A. Pendahuluan

Tasawuf adalah salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat
ini semakin dirasakan khazanah pemikiran dan pandangannya, dibidang tasawuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh
munculnya sejumlah ulama’ besar dalam era tasawuf . Menurut riwayat hidup para sufi,Dzu Nun
al-misri dikenal sebagai seorang yang ilmunya luas, kerendahan hati, dan budi pekertinya yang
baik. Dalam bidang tasawuf beliau dianggap penting, karena beliau adalah orang pertama di
mesir yang membahas masalah maqamat dan ahwal para wali. Serta memahami definisi tauhid
dengan pengertian yang bercorak sufistik, beliau mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan pemikiran tasawuf. Sejumlah penulis banyak menyebutkan beliau sebagai salah
seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
BAB II

B. Zu al-Nun al-Misri

Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Sauban bin Ibrahim Zu al-Nun al-Misri. Dia lahir
di Ekhmim yang terletak di kawasan Mesir Hulu pada tahun 155 H/770 M. Banyak guru-guru
yang telah didatanginya dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri Arab
maupun Syria. Pada tahun 214 H/829 M dia ditangkap dengan tuduhan membuat bid' ah dan
dikirim ke kota Bagdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar
ia dibebaskan dan dikembalikan ke Cairo. Di kota ini dia meninggal tahun 245 H/860 M.
Kuburannya sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia dianggap sebagai
seorang ahli kimia yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib dan telah mengetahui rahasia tulisan
Hiroglif Mesir. Sejumlah syair dan risalat diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakan
masih diragukan. 1
Ia disebut “Dzunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari
dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar
kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun
dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk
mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan
1
Drs. Asmaran, Pengantar Study Tasawuf, (Jakarta, PT Rja Grafindo Persada) 1994 h. 281-282

1
kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu
secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil
membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan
menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-
aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah
sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil
(Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara
selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan
sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih
utuh.2
Menurut biografi-biografi para sufi, dia adalah salah seorang yang pada masanya
terkenal keluasan ilmunya. kerendahan hatinya dan budi pekertinya yang baik. Dalam tasawuf
posisinya dipandang penting, karena dia itulah yang pertama di Mesir yang memperbincangkan
masalah ahwal dan maqamat para wali. Abdurrahman al-Jami' dalam Nafhat al-Uns
menggambarkannya sebagai tokoh aliran tasawuf Mesir, di mana para sufi banyak menimba
ajaran-ajarannya ataupun menisbahkan ajaran mereka pada ajaran-ajarannya. Dan menurut Louis
Massignon, kemasyhurannya dimungkinkan karena dia secara khusus telah mengklasifikasikan
ahwal dan maqamat para sufi.

C. Konsep Ma’rifah Zu al-Nun

Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah
sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb).
Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang
diketahuinya itu. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi di dalam kitabnya Al-luma’ mengatakan bahwa
ma’rifah itu merupakan pengenalan hati terdapat obyek-obyek yang menjadi sasarannya.
Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf yang dimaksud dengan ma’rifah ialah mengenal
Allah (ma’rifatullah). Dan ini merupakan tujuan utama dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal
Allah dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini, Allah SWT berfirman :
           

2
http://teosufi.blogspot.com/2010/04/marifat.html

1
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.(Q.S 20:14).
Ma’rifah juga dipandang sebagai maqam dan terkadang sebagai hal. Misalnya al-Tusi dan
al-Junaid memandang ma’rifah sebagai hal, sedangkan al-Qusyairy ma’rifah disebut sebagai
maqam.3
Dalam tasawuf, Zu al-Nun al-Misri dipandang sebagai bapak paham ma' rifah. Walaupun
istilah ma' rifah sudah dikenal sebelum Zu al-Nun al-Misri, namun pengertian ma'rifah versi khas
tasawuf barulah dikenal dengan munculnya Zu al-Nun. Disamping itu, jasa yang paling besar
daripadanya ialah ajarannya yang menetapkan keharusan melewati maqamat dan ahwal dalam
perjalanan menuju ma'rifah. Dengan kata lain, sejak munculnya Zu aI-Nun al-Misri
berkembanglah pengertian ma'rifah yang khas dalam dunia sufi dan mulailah tersusun amalan-
amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, yang dikenal dengan istilah
maqamat dan ahwal. Zu aI-Nun al-Misri mengklasifikasikan ma’rifah ke dalam tiga macam,
yaitu:
(1) ma’rifah orang awam,
(2) ma'rifah para teolog dan filosof, dan
(3) ma'rifah para awliya' dan muqarrabin serta mereka yang mengetahui Allah melalui
hati nuraninya.
Menurut Zu al-Nun, ma'rifah macam ketiga inilah yang tertinggi dan meyakinkan,
karena ia diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi ia adalah ilham yang
dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambanya. Sehingga ia mengenal
Tuhannya melalui Tuhannya. Ini berarti, bahwa menurutnya, ma'rifah itu bukan maqam, tetapi
hal, yaitu suatu sikap mental yang diperoleh semata-mata karena karunia ilahi.
Menurut Zu al-Nun dan juga sufi-sufi yang lain ma’rifah dalam arti pertama dan kedua
belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ‘ilm, bukan
ma’rifah. Ma’rifah dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan,
dan inilah yang disebut ma’rifah, yakni pengenalan yang tertinggi dan meyakinkan. Dengan
demikian, ma’rifah hanya terdapat pada para awliya’ dan muqarabbin atau para sufi yang
sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengenalan seperti ini hanya diberikan
Tuhan kepada kaum sufi. Dengan kata lain, ma’rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang

3
Drs. Asmaran, Pengantar Study Tasawuf, …………….h.101-103

1
sufi. Sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Lebih tegas lagi dapat dilihat dalam salah satu
ungkapannya: "Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku, dan sekiranya bukan karena Tuhanku,
aku tidak akan mengenal Tuhanku.”4
Dzu nun Al-Mishriy mengatakan alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni:
Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah
sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena
itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram.5
Dan Zu al-Nun al-Misri juga berkata:
"Ma'rifah yang sebenarnya ialah, bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma'
rifah yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasalah
seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur di dalam
kekuasaanNya, mereka merasa bahwa mereka berbicara dengan ilmu yang diletakkan Allah
pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan
perbuatan Allah.”
Kutipan di atas menggambarkan adanya tendensi ke arah timbulnya paham panteistik.
Oleh karena itu, beberapa peneliti dari Barat (orientalis) berpendapat bahwa Zu al-Nun al-Misri
adalah "orang pertama" yang membawa pemikiran filsafat ke dalam tasawuf. Edward G.
Browne, umpamanya menganggapnya sebagai "orang pertama”, yang di awal zaman tapa brata,
memberikan kecenderungan panteistik yang pasti dan ungkapan quasi-erotik yang kemudian kita
kenaI sebagai ciri-ciri utama tasawuf." Namun pendapat Browne ini belum dapat diterima oleh
Annemarie Achimmel.
Selanjutnya, Nicholson cenderung menerima adanya pengaruh Neo Platonisme pada Zu
al-Nun. Karena ahli mistik itu hidup Mesir, tempat berkembangnya tradisi neoplatonistik. Oleh
teman-temannya ia dipandang sebagai "filosof', yang mungkin sekali ia telah berkenalan dengan
gagasan-gagasan neoplatonistik. Dalam suatu alinea yang sangat tersohor, ia telah memberi
4
Drs. Asmaran, Pengantar Study Tasawuf, ……………..h. 281-282
5
http://teosufi.blogspot.com/2010/04/marifat.html

1
gambaran tentang arif, ahli mistik sejati yang memiliki pandangan mendalam; namun "kita" kata
Schimmel, tidak menemukan pendekatan "filsafat" dalam kata-kata yang dipergunakannya.
Dalam hal ini, Nicholson di dalam bukunya The Mystics of Islam, mencatat perkataan Zu
al-Nun sebagai berikut: "Mereka bergerak sebagaimana Tuhan telah memberi sebab untuk
bergerak, dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang mengalir melalui lidah-lidah
mereka, dan pandangan mereka adalah pandangan Tuhan yang telah menelusup ke dalam
matanya. "
Dari uraian-uraian yang berkaitan dengan ma'rifah tersebut. terlihat bahwa pemikiran Zu
al-Nun tidak lagi sesederhana ungkapan-ungkapan para zahid abad-abad I dan II Hijriah.
Pemikirannya kini mencerminkan kecenderungan tasawuf ke arah suatu metode yang lebih teliti
dan mendalam. Memang, pada kenyataannya, pentingnya posisi Zu al- Nun dalam tasawuf
dimungkinkan oleh karena dia merupakan sufi pertama yang memperbincangkan ma'rifah secara
rinci. Bahkan daripadanyalah muncul untuk pertama kalinya karakteristik ma'rifah.
Di samping Zu al-Nun membahas paham ma'rifah, dia juga berbicara tentang paham
cinta, tobat dan lain-lain. Mengenai paham cinta kalau cinta Rabi'ah kepada Allah, seperti
disebtkan diatas, menyebabkan ia seakan-akan lupa kepada Nabi SAW karena ia tidak mau
mengurangi cintanya kepada Allah, maka Zu al-Nun justru menempatkan cinta kepada
Rasulullah SAW sejajar dengan cintanya kepada Allah SWT. Di antara ucapan-ucapannya
adalah: "Sebagian dari tanda-tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah (Nabi
Muhammad SA W) di dalam akhlaknya, perbuatannya dan sunnahnya." Di lain kesempatan, dia
berkata: "Prinsip dasar tasawuf ada empat perkara:
(1) mencintai Allah yang Maha Agung,
(2) menjauhi yang sedikit (dunia) ,
(3) mengikuti al-Qur'an, dan
(4) takut akan terjadinya perebutan (dari taat kepada maksiat)."

Ketika ditanya tentang hakikat cinta, Zu al-Nun menjawab:

“Bahwa engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenciNya, engkau
memohon ridhaNya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju Dia. Jangan

1
takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya,
karena dinding yang sangat tebal untuk melihatnya ialah lantaran melihat diri sendiri."
Demikianlah paham Zu aI-Nun tentang cinta, yaitu cinta kepada Allah dalam arti
menjalankan perintahNya, menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya, mengosongkan jiwa dari
yang lain selain daripadaNya. Perasaan cinta tidak akan terjadi begitu saja, tetapi harus dicapai
dengan melalui maqamat dan ahwal yang cukup banyak dan berat jarang orang yang bisa
mencapainya; itupun karena rahmat dan karunia Allah yang diberikanNya kepada orang yang
dikehendakiNya.
Zu al-Nun mengatakan bahwa orang-orang awam memang sulit untuk memahami arti
cinta ini, karena ia termasuk masalah batin yang hanya dipahami oleh orang-orang khawas.
Kalau takut bagi orang yang berdosa, harap bagi orang yang mencari balasan, tetapi cinta adalah
bagi orang yang bersih dan suci, yaitu orang-orang khawas. Hal ini dapat dilihat dalam larik
syairnya sebagai berikut:
Takut lebih pantas bagi orang yang berdosa
Bila ia merasa susah dan sedih
Cinta lebih pantas bagi orang yang takwa
Dan bagi orang yang suci dan bersih.

1
BAB III
D. Kesimpulan

1. Dzu nun al-misri adalah nama julukan yang diberikan oleh allah kepadanya, nama beliau
ialah abu al-faidh sauban bin ibrohim ia dikenal sebagai salah seorang yang luas ilmunya,
karendahan hatinya dan budi pekertinya yang baik.
2. Pemikiran dzu nun al-misri adalah beliau mengklasifikasikan ma’rifat secara mendetail
agar para sufi lebih mudah untuk memahami ajarannya, beliau menganjurkan untuk memenpuh
ma’rifat, seseorang haruslah melewati maqamat dan ahwal.
3. Corak pemikiran dari dzu nun al-misri itu tergolong aliran irfani yang identik dengan
maqamat dan ahwal yang memiliki Esensi tentang ma’rifat kepada allah.
4. Diantara pemikiran yang paling terkenal beliau adalah mengklasifikasikan ma’rifat
menjadi tiga bagian:
a. ma’rifat orang awam
b. ma’rifat para teolog (para ahli ilmu kalam) dan filosof
c. ma’rifat para wali dan muqorrobin

5. Ma’rifat dzu nun al-misri ini memiliki persamaan dengan gnosis ala Neo-platonik, yang
menganggap sebagai jembatan menuju wahdad asy-syahid dan ijtihad (perpaduan dengan tuhan
tanpa adanya perantara apapun).

1
Daftar Pustaka

Asmaran, Pengantar Study Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada) 1994


Al-Ghanimi Abu Al-Wafa’, Sufi dari zaman ke zaman, (Bandung, PT Penerbit
Pustaka)1997
http://teosufi.blogspot.com/2010/04/marifat.html
http://www.scribd.com/doc/45012825/Aliran-Aliran-Tasawuf-Dan-Tokoh-Tokohnya

Anda mungkin juga menyukai