Anda di halaman 1dari 8

Nama : 1.

Fivi arifatul khikmah (30501800023)

2. Rifa atul muslihah (30501700007)

3. Muhammad ridwan (30501800078)

Abdurrauf Al-Sinkili dan Tarekat Syattariyah

1. Biografi Abdurrauf Al-Sinkili

Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105
H/1693 M), nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri
As-Singkili. Beliau merupakan ulama besar Aceh yang terkenal dan mempunyai pengaruh
besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia Tenggara pada
umumnya. Beliau juga dikenal dengan nama Teuku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh
Ulama di Kuala). Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia,
yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya,
Syekh Abdurrauf Singkil mulai belajar dari kalangan keluarganya yang kemudian dilanjutkan
belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Setelah itu, beliau pergi menunaikan
ibadah haji dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah
untuk mendalami agama Islam.

Sebelum pergi ke Timur Tengah, Abdurrauf telah menyaksikan dan mungkin terlibat
dalam pertikaian paham keagamaan antara pengikut Nuruddin Al-Raniri dan Syamsudin Al-
Sumatrani. Hal inilah yang nampaknya mempengaruhi pola pemikiran keagamaan Abdurrauf
sehingga lebih moderat dalam menjembatani konflik yang terjadi dimasyarakat. Adapun
kitabnya yaitu berjudul Umtad Al Muhtajin yang dapat membuka mata kita tentang
bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman,
Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu lahir saja tetapi juga ilmu
batin. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang
sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.

Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja, tetapi dikenal juga
di seluruh ranah Melayu dan dunia Islam International. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf
Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani dan dikenal sebagai salah satu
ulama produktif. Karyanya sangat banyak mulai tasawuf hingga fikih sehingga namanya
diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung
jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya
orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Ayahnya
menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayah (Madrasah) Simpang Kanan, di
kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus
Dayan Tengku Chik yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu
agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi. Setelah tamat
kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh
Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil pada
zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke
Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.

Sejarah mencatat bahwa Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika
zaman Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin,
Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat
keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh
Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak
tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari
Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili
merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh
Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19
tahun di Mekah.

2. Neosufisme Al-Sinkili

Ketika Abdurrauf Al-Sinkili meninggalkan Aceh untuk belajar ke Timur Tengah pada
1052/1642, di Aceh terjadi polemik antara Nuruddin Al-Raniri dengan para pengikut Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani. Maka, sangat dimungkinkan Al-Sinkili melihat dan
mengalami secara langsung polemik tersebut sampai adanya pengkafiran dan hukuman mati.
Al-Sinkili pergi ke Madinah dan bertemu dengan Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim Al-
Kurani, pergaulannya dengan ulama-ulama tersebut membawa Al-Sinkili menjadi salah satu
eksponen neosufisme di Nusantara dan menjadi salah satu pembela madzhab Ibn Arabi meski
dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih ortodoks.
Abdurrauf Al-Sinkili menegaskan tentang pentingnya tauhid kepada Allah. Dalam
pandangannya, Tauhid adalah tindakan mengaitkan seperti kata membenarkan atau
mendustakan dan bukan menjadikan. Maka, arti kalimat “ Aku mengesakan Allah ’’ berarti
aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa dan bukan menjadikan-Nya Esa, sebab keesaan Allah
itu telah melekat pada dzat-Nya dan bukan karena ada yang menciptakan.

Berangkat dari konsep tauhid ini kemudian Abdurrauf Al-Sinkili menjelaskan hubungan
ontologis antara Tuhan dan alam, antara al-haqq dan al-khalq, antara yang Esa dengan
banyak, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat. Bahwasannya alam adalah nama untuk
segala sesuatu selain al-haqq. Dibentuknya alam seperti ini karena ia adalah sarana untuk
mengetahui keberadaan Allah maka keberadaan alam itu juga merupakan bukti adanya Allah.
Oleh karena itu, hakikat alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat yang mumkinat dan
jika dihubungkan dengan al-haqq, alam itu bagaikan bayangan. Maka, bayangan itu tidak
memiliki wujud selain wujud pemilik bayangan. Wujud manusia (alam) merupakan bayang-
bayang dari wujud-Nya. Jadi, mesti dipahami bahwa alam ini bukan benar-benar Zat Allah
dan berbeda dengan Allah. Alam itu baru karena ia tercipta dari pancaran wujud-Nya, ia
bukan pula wujud yang menyertai Allah, melainkan wujud dari diciptakan oleh-Nya dan
berada pada tingkat di bawah-Nya.

Dalam karyanya yang lain Kifayah Muhtajin juga dijelaskan hubungan antara alam dan
Tuhan seperti bayang-bayang dan pemilik bayang-bayang. Alam adalah bayang-bayang dari
Allah dan antara bayang-bayang dan pemilik bayang-bayang tidak akan pernah sama, dan
selamanya bayang-bayang selalu tergantung dengan pemilik bayang-bayang, yaitu Allah.
Inilah yang dimaksud oleh Abdurrauf Al-Sinkili sebagai wahdat al-wujud, yaitu alam
bukanlah wujud kedua yang berdiri sendiri selain Allah dan bahwa al-haqq SWT. Itu Esa,
tidak atau satupun yang menyertai akan tetapi ia selalu menyertai segala sesuatu baik di
permulaan maupun di akhiranya.

Selain itu, dalam Daqa’iq al-Huruf Abdurrauf Al-Sinkili menjelaskan doktrin penciptaan
alam menjadi tujuh tahapan (martabat tujuh) merujuk pada kitab Tuhfah Al-Burhanpuri yang
memang menjadi wacana yang dikenal luas di Nusantara. Tidak diketahui secara pasti kapan
kitab ini masuk di Nusantara. Kitab Tuhfah ini akhirnya menjadi rujukan terpenting dalam
menjelaskan ajaran tajalli al-haqq, dan pengaruhnya menyebar ke penjuru nusantara. Dalam
hal ini Al-Kurani bersama muridnya Al-Hamawi telah mencatat pengaruh kitab ini terhadap
ulama melayu. Dalam penjelasannya mengenai Al-Burhanpuri, seperti yang dikutip oleh
Johns dan Azra, Al-Hamawi menjelaskan bahwa gurunya Ibrahim Al-Kurani menceritakan
bahwasannya doktrin wahdat al-wujud yang terkandung dalam kitab Tuhfah tersebut menjadi
ajaran yang populer di kalangan tanah jawa, dan bahkan menjadi pelajaran dasarnya.

Berbagai tulisan dihasilkan dalam rangka menjernihkan doktrin martabat tujuh sehingga
tidak dipahami secara salah. Kendati terdapat kontroversi tentang kitab Tuhfah ini, namun
berkat susunannya yang jelas dan logis serta ringkas, sistem tajalli dalam kitab ini menjadi
dasar teori dan praktik sufi masyarakat melayu, dimulai dari Syamsuddin Al-Sumatrani dan
terutama setelah Abdurrauf Al-Sinkili dan murid-muridnya sebagai khalifah dari tarekat
Syattariyah. Tulisan-tulisan ulama Haramayn dalam rangka menjelaskan doktrin wahdat al-
wujud dan martabat tujuh dalam kitab tuhfah dikalangan orang jawa cukup banyak.
Disamping menulis Ithaf al-Dhaki, Al-Kurani juga menulis Jawabat al-Gharawiyyah ‘an
masa il al-jawwiyah al-Dahriyah (jawaban penting terhadap masalah orang jawa atheis),
lewat karya ini ia berusaha meluruskan keimanan orang jawa yang menurut pandangannya
sudah termasuk kedalam kelompok Dahriyyah (atheis).

Al-Sinkili menulis risalah yang menjelaskan tentang penampakkan Tuhan di alam


semesta. Dalam Daqa iq al-Huruf, Bayan Tajalli dan Umdat al-Muhtajin, Al-Sinkili
menjelaskan tajalli Tuhan ke dalam tujuh martabat. Seperti yang disampaikan oleh Al-
Burhanpuri, karya ini sekaligus pengaruh dari isi kitab Tuhfah tentang penggunaan tujuh
martabat untuk menjelaskan penampakkan Tuhan di alam semesta. Dalam karya itu Al-
Sinkili menjelaskan bahwa tajalli Tuhan terjadi dalam tujuh tahapan martabat pertama adalah
martabat ahadiyah, martabat kedua adalah waddah, martabat ketiga adalah wahidiyah,
martabat keempat adalah alam arwah, martabat kelima adalah alam mitsal, martabat keenam
adalah alam ajsam, dan martabat ketujuh adalah alam insan. Tiga martabat yang pertama,
sebagai anniyat Allah, dinamakan dengan martabat ketuhanan dan disebut juga dengan
martabat batin, dan empat martabat berikutnya sebagai anniyat makhluq disebut dengan
martabat kehambaan dan martabat lahir.

Al-Sinkili menjelaskan bahwa martabat ahadiyah merupakan nuskhah dzat, martabat


wahdah adalah nuskhah sifat, dan martabat wahidiyah adalah nuskhah asma’. Martabat alam
arwah adalah nuskhah adam, alam mitsal adalah nuskhah segala perkara yang di langit dan di
bumi, alam ajsam adalah nuskhah segala tubuh dan alam insan adalah nuskhah dari martabat-
martabat sebelumnya. Kehati-hatian Abdurrauf Al-Sinkili tercermin dalam kitab Daqa iq al-
Huruf yang menjelaskan simbol aku dan dia. Ungkapan ini sebetulnya merupakan ungkapan
Ibn Arabi yang dipandang sebagai ungkapan sebagai ungkapan yang panteistis sebab
menggambarkan hubungan antara Tuhan dan alam yang menegaskan kesatuan wujud pada
segala realitas. Akan tetapi, Abdurrauf Al-Sinkili menegaskan bahwa ungkapan dari Ibnu
Arabi ini harus dipahami bahwa hal itu berlaku pada zaman azali. Ungkapan Ibnu Arabi ini
kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Sinkili dalam bagiannya yang lain. Bahwasannya
hakikat alam adalah wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat.

Dengan demikian, alam disebut sebagai sesuatu selain al-haqq. Dan jika dihubungkan
dengan al-haqq maka alam itu bagaikan bayangan. Karena itu, menurut konsep ini, manusia
itu adalah bayangan al-haqq. Lebih lanjut. Abdurrauf Al-Sinkili menjelaskan tentang konsep
bayangan ini. Bahwasannya bayangan itu tidak memiliki wujud selain wujud pemilik
bayangannnya. Oleh karenanya, wujud bayangan itu sangat tergantung pada wujud pemilik
bayangan. Jadi, karena wujud bayangan itu ditentukan oleh wujud yang lain maka wujud
yang lain itulah hakikat yang sebenarnya. Kemudian, dalam Daqaiq Al-Huruf Al-Sinkili
menjelaskan persoalan Tuhan dan alam bagaikan cermin dengan yang becermin. Allah adalah
cermin bagi orang yang arif dan ia pun sebagai cermin bagi Tuhannya. Rupa dalam cermin
adalah tergantung kepada yang bercermin, apabila yang bercermin itu kecil maka akan
tampak kecil pula, demikian seterusnya.

3. Tarekat Syattariyah

Dalam penyebaran doktrin wahdat al-wujud di Nusantara, peran tarekat Syattariyah yang
dibawa oleh Abdurrauf Al-Sinkili setelah menerima ijazah untuk menjadi khalifah
Syattariyah dari Ahmad Al-Qusyasyi yang disebutnya sebagai pembimbing spiritual dan guru
di jalan Allah. Tarekat ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengembangan ajaran
islam, kehadirannya membawa pemahaman baru dan membuat polemik antara kaum
ortodoks dan hetrodoks dapat diminimalisasi. Pengaruh Abdurrauf Al-Sinkili tersebar ke
Nusantara lewat berbagai ijazah tarekat yang diterimanya (yang bukan syattariyah saja).
Pengaruhnya tersebar ke pulau jawa lewat salah satu muridnya Abdul muhyi pamijahan yang
kemudian segera tersebar pula ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejumlah muridnya yang
belum dapat diidentifikasi namanya juga membawa tarekat Syattariyah ke Bengkulu, yang
akhirnya membawa bangkitnya sebuah tarekat yang dinamakan Qusyasiyah, yang diduga
dinisbatkan kepada Al-Qusyasyi yang merupakan guru dari Al-Sinkili.

Syeikh Burhanudin menjadi murid Al-Sinkili dan diangkat sebagai khalifah Syattariyah di
Ulakan Sumatra barat. Syeikh Burhanudin dari ulakan dan gurunya Abdurrauf Al-Sinkili
menulis sebuah risalah yang menggambarkan kedatangan islam di Ulakan dan ajaran tarekat
Syattariyah dengan basis surau. Dari surau di Ulakan inilah ajaran wahdat al-wujud yang
dikemas oleh tarekat Syattariyah menyebar di daerah Minangkabau pada akhir abad 17.
Murid syeikh Burhanudin yang lain menurut Fathurrahman ada di antaranya adalah empat
orang teman studinya ketika belaja kepada Abdurrauf Al-Sinkili. Keempat orang tersebut
adalah Datuk Maruhun Panjang, Syaikh Tarapang, Syaikh Mutanasil, dan syaikh Buyung
Muda.

Tidak semua jaringan tarekat Syattariyah di Nusantara selalu dihubungkan dengan


Abdurrauf Al-Sinkili, tetapi ada yang menyatakan bahwa ada beberapa daerah di Nusantara
yang memperoleh tarekat Syattariyah dari jalur yang lain meski pada muara yang sama, yaitu
Ahmad Al-Qusyasyi melalui muridnya Ibrahim Al-Kurani, seperti berkembangnya tarekat
Syattariyah di Buntet Cirebon. Inti jaringan penyebaran doktrin wahdat al-wujud dan
pengembangannya adalah berada di Haramayn. Al-Qusyasyi dan Al-Kurani memiliki peran
yang jelas dalam penyebaran ajaran martabat tujuh di Nusantara melalui tarekat Syattariyah
dan Abdurrauf Al-Sinkili, namun ulama yang dikenal sebagai khalifah dari tarekat
Syattariyah tersebut justru di Haramayn sendiri lebih dikenal sebagai penganut tarekat
Naqsabandiyah.

Seperti yang disampaikan oleh Bruinessen bahwa kamus biografi ulama Kurdi yang terbit
paling akhir, yakni oleh Mudarris pada 1983 M hanya menyebutkan Al-Kurani sebagai
penganut tarekat Naqsabandi, begitu juga kamus biografi yang terkenal dari Muhammad
Khalil yang berjudul Silk al-Durrar juga menyebutkan hal yang sama. Mereka mengajarkan
latihan-latihan dzikir dengan suara keras serta melalui mendengarkan musik yang hal ini
tidak disukai oleh ulama Naqsabandi yang lain khususnya Al-Sirhindi. Ulama ini
mengajarkan tarekat Naqsabandi dan mengangkatnya sebagai khalifah tarekat Naqsabandi
kepada Abdullah bin Abd Al-Qohhar Al-Bantani putra dari Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Kesimpulan

Syekh Abdurrauf Singkil adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki
pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia
Tenggara pada umumnya. Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi
Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia
atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa
mudanya, ia mula-mula belajar dari kalangan keluarganya. Ia kemudian juga belajar pada
ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan
dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk
mendalami agama Islam. Sebelum pergi ke Timur Tengah, Abdurrauf telah menyaksikan dan
mungkin terlibat dalam pertikaian paham keagamaan antara pengikut Nuruddin Al-Raniri dan
Syamsudin Al-Sumatrani. Hal inilah yang tampaknya mempengaruhi pola pemikiran
keagamaan Abdurrauf sehingga tampak lebih moderat untuk dapat menjembatani konflik
yang terjadi dimasyarakat.

Abdurrauf Al-Sinkili menegaskan tentang pentingnya tauhid kepada Allah. Dalam


pandangannya tauhid adalah tindakan mengaitkan seperti kata membenarkan atau
mendustakan dan bukan menjadikan. Maka, arti kalimat “ Aku mengesakan Allah ’’ berarti
aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa dan bukan menjadikan-Nya Esa, sebab keesaan Allah
itu telah melekat pada dzat-Nya dan bukan karena ada yang menciptakan. Berangkat dari
konsep tauhid ini kemudian Abdurrauf Al-Sinkili menjelaskan hubungan ontologis antara
Tuhan dan alam, antara al-haqq dan al-khalq, antara yang Esa dengan banyak, antara wajib
al-wujud dan al-mumkinat. Oleh karena itu, hakikat alam adalah wujud yang terikat pada
sifat-sifat yang mumkinat. Dan jika dihubungkan dengan al-haqq, alam itu bagaikan
bayangan. Maka, bayangan itu tidak memiliki wujud selain wujud pemilik bayangan

Al-Sinkili menulis risalah yang menjelaskan tentang penampakkan Tuhan di alam


semesta. Dalam Daqa iq al-Huruf, Bayan Tajalli dan Umdat al-Muhtajin, Al-Sinkili
menjelaskan tajalli Tuhan ke dalam tujuh martabat. Seperti yang disampaikan oleh Al-
Burhanpuri, karya ini sekaligus pengaruh dari isi kitab Tuhfah tentang penggunaan tujuh
martabat untuk menjelaskan penampakkan Tuhan di alam semesta. Dalam karya itu Al-
Sinkili menjelaskan bahwa tajalli Tuhan terjadi dalam tujuh tahapan martabat pertama adalah
martabat ahadiyah, martabat kedua adalah waddah, martabat ketiga adalah wahidiyah,
martabat keempat adalah alam arwah, martabat kelima adalah alam mitsal, martabat keenam
adalah alam ajsam, dan martabat ketujuh adalah alam insan. Tiga martabat yang pertama,
sebagai anniyat Allah, dinamakan dengan martabat ketuhanan dan disebut juga dengan
martabat batin, dan empat martabat berikutnya sebagai anniyat makhluq disebut dengan
martabat kehambaan dan martabat lahir.

Dalam penyebaran doktrin wahdat al-wujud di Nusantara, peran tarekat Syattariyah yang
dibawa oleh Abdurrauf Al-Sinkili setelah menerima ijazah untuk menjadi khalifah
Syattariyah dari Ahmad Al-Qusyasyi yang disebutnya sebagai pembimbing spiritual dan guru
di jalan Allah. Tarekat ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengembangan ajaran
islam, kehadirannya membawa pemahaman baru dan membuat polemik antara kaum
ortodoks dan hetrodoks dapat diminimalisasi.

5. Daftar pustaka

Miftah, Arifin. 2013. Sufi Nusantara Biografi, karya intelektual, dan pemikiran tasawuf. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.

https://sianakrimo.blogspot.com/2012/10/biografi-syekh-abdurrauf-singkil.html.

Anda mungkin juga menyukai