Anda di halaman 1dari 137

‫﴿ نية التعل﴾‬

‫ن ََويْ ُت التَّ َع م َل َوالتَّ ْع ِل ْ َْي َوالتَّ َذكم َر َوالتَّ ْذ ِك ْ َْي َوالنَّ ْف َع‬
‫َو ْ إالنْ ِت َفا َع َو ْالفا َد َة َو ْال ْس ِت َفا َد َة َوالْ َح َّث عَ ََل‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫هللا َو ُس نَّ ِة َر ُس ْو ِ ِِل ِوادلم عَ َاء‬ ‫التَّ َم مس ِك ِب ِكتَ ِاب ِ‬
‫ا ََل الْهُدَ ى َو د ِادل َل َ ََل عَ ََل الْ َخ ْ ِْي ابْ ِتغ ََاء َم ْرضَ ا ِت ِه‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َوثَ َوا ِب ِه َوقُ ْرِب ِه‬

‫‪I‬‬
NADHOM THOLAB ILMU

URANG MOAL HASIL ELMU


ANGING KU GENEP PERKARA
HIJI KA CERDASANNANA
PEK GUNAKEUN SA ENYANA

KUDU LUHUR SEMANGATNA


SABAR JEUNG APIK AKHLAKNA
KUDU TEKUN DI AJARNA
JEUNG KUDU CUKUP BEKELNA

GURU NU BENER AHLINA


WAKTU NA GE KUDU LILA
SANTRI TEH CALON ULAMA
NERUSKEUN TUGAS ANBIYYA

MEUNGPEUNG JUMENENG GURUNA


AYA KA SEMPATANANA
KUDU HASIL SADAYANA

II
KAJIAN KITAB AL-HIKAM

Pemahaman dan pengamalan Kitab Al-Hikam


Secara benar dan sungguh-sungguh
Adalah kunci untuk mencapai Sukses di segala bidang
Kehidupan;

IBAHAT
(Iman, Ibadah, Kesehatan)

MANDIMI
(Keamanan, Pendidikan, Ekonomi)

LAKDATIK
(Akhlak, Budaya, Politik)
Untuk mewujudkan Islam sebagai pelopor Peradaban Dunia.

III
Sepuluh Keutamaan Kitab Al-Hikam

1. Disusun oleh ahli Ilmu dan Amal


2. Intisari dari Al-Qur’an dan Assunnah
3. Muncul pada saat kondisi umat Islam mengalami
kekeringan ruh
4. Setiap hikmahnya merupakan perpaduan antara
ilmu dan praktek sehingga menjadi kunci untuk
memecahkan problematika kehidupan
5. Bahasanya supel
6. Dasar-dasarnya akurat
7. Praktis
8. Sakral
9. Sebagai alat untuk membentuk akhlak mulia (ulul
albab) disegala sisi kehidupan
10. Sebagai kunci utama mencapai Izzul Islam wal
Muslimin
Ayyuhassalik..........
Labbaik........

IV
BIOGRAFI SYEKH IBN ‘ATHAILLAH AS-SAKANDARI

Beliau bernama lengkap Tajuddin Abu Fadl Ahmad bin Muhamad bin Abdul Karim
bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin al-Husain bin Athaillah al-Judami al-
Maliki al-Iskandari atau as-Sakandari al-Qarafi as-Sufi as-Syadili.. Beliau lahir pada 648 H
/ 1250 M di kota Iskandariah Mesir dan wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 709 H / 1309
M di Madrasah al-Masnshuriyah, Kairo Mesir dan dimakamkan di Qarafah.

Kehidupan Syekh Ibn ‘Athaillah bisa dibagi ke dalam tiga fase: pertama dan kedua,
ketika beliau hidup di Iskandariah, dan ketiga ketika beliau hidup di Kairo. Fase pertama
ketika beliau berada di Iskandariah adalah sebelum tahun 673 H. Saat itu kota Iskandariah
adalah pusat ilmu pengetahuan di Mesir, sehingga ia memiliki kesempatan belajar ilmu-ilmu
keislaman secara sempurna, seperti fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, bahasa, adab, dan lain-
lain. Dalam bidang fikih beliau berguru kepada Nasir al-Din ibn al-Munir al-Judami al-
Iskandari (w. 683 H). Dalam bidang ilmu Nahwu beliau belajar kepada Syaikh al-Muhyi al-
Mazuni al-Iskandary. Beliau belajar hadis kepada Syaikh Shihab al-Din Abu al-Ma’ali
Ahmad bin Ishaq bin Muhammad (w. 701). Kemudian belajar ilmu ushul fikih, ilmu kalam,
mantik dan falsafah kepada Syaikh Muhammad bin Mahmud bin Ibad yang masyhur dengan
panggilan Syams al-Din al-Asbahani (w. 688 H) yang bergelar Hujjah Mutakallimīn.
Pada periode ini Syaikh Ibn ‘Athaillah belajar banyak ilmu lahir, sehingga pada satu
saat itu, beliau kurang sependapat dengan pandangan ilmu Tasawuf. Tentang hal ini beliau
berpendapat, bahwa di luar hukum (fikih), tak ada lagi yang bisa dicari. Barulah pada fase
berikutnya, ketika beliau belajar kepada Abul ‘Abbas al-Mursi, beliau mulai masuk ke dalam
dunia tasawuf dan menjadi salah satu ahli tasawuf terkemuka.
Pada fase kedua, fase dimana Syaikh Ibn ‘Athaillah mulai masuk ke dunia tasawuf,
saat itu, Syaikh Ibn ‘Athaillah masih tinggal di Iskandariah, ketika ia bertemu dengan Sykeh
Abul ‘Abbas, Ahmad bin Umar bin Muhammad al-Mursi al-Andalusi al-Anshari (w. 686
H/1288 M). Pertemuannya dengan al-Mursi diawali dari keengganannya pada kisah-kisah
karamah al-Mursi yang diceritakan banyak orang, sehingga Syaikh Ibn ‘Athaillah pun
berkata banyak kritikan mengenainya. Lalu Syaikh Ibn ‘Athaillah berkata: “Biarlah saya
pergi kepadanya, karena orang yang benar pasti ada tanda-tandanya.” Ketika Syaikh
bertemu al-Mursi, beliau (Abul ‘Abbas al-Mursi) sedang menjelaskan mengenai jiwa
manusia dan tahapan menuju Allah SWT, bahwa di dalam Islam ada tiga dimensi yang
saling berkaitan yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Islam adalah dimensi ketaatan, kepatuhan,
dan menjalankan syari’at Tuhan. Iman adalah dimensi saat manusia menyadari hakikat
syariat dari sisi kehambaan dirinya. Sedangkan Ihsan adalah dimensi saat manusia
menyadari Tuhan dengan segenap kesadarannya di dalam hati. Mendengar penjelasan al-
Mursi, Syekh Ibn ‘Athaillah pun terhenyak dan menyadari bahwa al-Mursi adalah orang
yang benar-benar mendalami dalam dunia keislaman dan nur ketuhanan, sehingga beliau
pun mulai mengikuti kajian-kajian yang diberikan al-Mursi. Dari situlah, Syaikh Ibn
‘Athaillah berguru kepada al-Mursi dan selalu bersamanya selama dua belas tahun sampai
gurunya wafat.

V
Selain kepada al-Mursi, Syaikh Ibn ‘Athaillah juga belajar ilmu tasawuf kepada
Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdillah as-Syadzili (w. 656). Beliau adalah tokoh nisbat
pertama tāriqah syādziliyah yang juga guru dari Abu al-Abbas al-Mursi. Sehingga dua tokoh
ini dikenal sebagai orang yang paling berpengaruh pada pemikiran Syaikh Ibn ‘Athaillah as-
Sakandari, khusunya di bidang tasawuf. Selain itu, beliau juga berguru kepada Syaikh Yaqut
al-Arsyi yang juga merupakan murid dari Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi.

Pada fase ketiga, yaitu masa dimana Syaikh Ibn ‘Athaillah pindah dari Iskandariah
ke Kairo, menjadi guru tasawuf dan mursyid tāriqah syādziliyah di sana. Hal itu setelah
gurunya, yaitu al-Mursi wafat pada tahun 686 H/1288 M di Iskandariah. Bahkan sebelum
fase ketiga pun, Syaikh Ibn ‘Athaillah juga telah mengajar ilmu fikih di Kairo, karena
memang beliau dikenal sebagai salah satu pakar fikih madzhab Malikiyah. Semula ia
menginginkan berhenti dari aktifitas mengajar hukum dan kesibukan dunia lainnya, tetapi
al-Mursi melarangnya, karena tidak ada halangan bagi pengiktu Syadziliyah untuk tetap
beraktifitas sosial di masyarakat. Ia pun tetap mengajar fikih Mazhab Malikiyah di
Universitas al-Azhar Kairo dan Madrasah al-Mashuriyah Kairo yang didirikan Sulta al-
Mansur Syarif al-Din Qalawun (678-689 H) di lingkungan kesultanan.
Dari didikan Syekh Ibn ‘Athaillah, banyak lahir tokoh-tokoh dalam berbagai bidang
ilmu keislaman, seperti Imam Taqiy al-Din al-Subki (w. 756) penulis kitab Thabaqāt al-
Syāfi’iyyah al-Kubrā, Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H) penulis kitab anwār al-burūq fī
anwā’ al-furūq dan al-yawāqīt fī ahkām al-mawāqīt, dan Dawud bin Umar bin Ibrahim al-
Syadzili al-Iskandari (w. 733) pengarang kitab al-latīfah al-mardliyyah fī syarh du’ā al-
syādziliyyah dan mukhtashar al-talqīn.
Kitab Al-Hikam ini merupakan masterpiece Ibn ‘Athaillah yang sangat populer di
dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di
hampir seluruh pesantren di Nusantara. Syekh Ibn ‘Athaillah menghadirkan Kitab Al-Hikam
dengan sandaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas
pemikiran Ibn ‘Athaillah, khusunya dalam paradigma tasawuf. Kedudukan pemikiran Ibn
‘Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Akan tetapi
diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syari’at,
tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis.

Adapun pemikiran-pemikirannya tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada


para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal ini pandangannya
mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana
akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Ilahi. “meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan
dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya
menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-
Nya, kata Ibn ‘Athaillah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia salah satu tokoh sufi yang
menempuh jalur tasawuf searah dengan Imam Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang
berlandaskan kepada Al-Qura’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan

VI
penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), seta pembinaan moral (akhlak). Ketiga, zuhud tidak
berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain
daripada Allah. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan
memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan
yang tak kunjung habis. “semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-
lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi. Ujarnya.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh
mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi
hamba dunia. Seorang salik, kata Ibn ‘Athaillah, “tidak bersedih ketika kehilangan harta
benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta”. Kelima, berusaha
merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara
kekeringan spiritual dengan urusan dunia, dengan sikap pasif yang banyak dialami para
salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan
diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh ‘Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek
penting yakni berakkhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya,
dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkenalan dengan-Nya
secara sungguh-sungguh. Ketujuh, ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan; mawahib yaitu Allah memberikannya tanpa usaha dan Dia
memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerahnya tersebut; dan makasib, yaitu
ma’rifat akan diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui riyadhah, zikir, mujahadah,
muroqobah, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh lainnya.
Adapun karya-karya Syekh Ibn ‘Athaillah selain dari Al-Hikam ‘Athaiyyah ini
adalah:
1. Lathāif al-Minan fī Manāqib al-Syaikh Abi al-‘Abbas al-Mursi wa Syaikhih Abi
Hasan Al-Syādzili
Kitab ini berisi biografi dua gurunya, yaitu Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili
dan Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi. Kitab tersebut juga berisi kisah-kisah hikmah
tentang kedua gurunya, ungkapan dan pemikiran tasawuf keduanya dan para ahli
tasawuf lainnya, juga penafsiran al-Syadzili terhadap ayat-ayat al-Quran, hadis, serta
kesaksian terhadap kewalian al-Syadzili. Kitab ini juga dilengkapi dengan bacaan
dzikit-dzikir Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, doa-doanya, dan diakhiri dengan
pesannya kepada murid-muridnya di Iskandariyah.
2. At-Tanwīr fī Isqāt at-Tadbīr
Kitab ini berisi tentang kebajikan dalam perspektif tasawuf, khusunya
tentang tawakul. Menurut Muhammad Abdurrahman asy-Syaghul dalam
sambutannya pada kitab ini, bahwa kitab ini menjelaskan bagaimana seseorang
menata sifat tawakul dengan mengggalkan at-Tadbīr. Memasrahkan hasil akhir
dalam rizki pada Allah SWT, menerima segala ketentuan Allah SWT dalam urusan
rizki, bagaimana mengelola rizki agar sesuai dengan tujuan dan anjuran dari Allah
SWT.

VII
3. Tāj al-‘Arūs wa Uns an-Nufūs
Kitab ini juga berisikan kalam mutiara dengan berbagai tema yang
disampaiikan dengan bahasa sastra singkat. Menurut Abdurrahman Asy-Syaghul
dalam sambutannya pada kitab ini, bahwa kitab Tāj al-‘Arūs wa Uns an-Nufūs ini
meski disampaikan dengan bahasa ringkas – seperti juga karya Syaikh Ibn ‘Athaillah
yang lain – namun, jika diurai akan memberikan penjelasan yang sangat panjang.
Hal itu karena sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Syaikh Ibn ‘Athaillah
merupakan hasil perenungan yang mendalam dalam dunia tasawuf. Maka dari itulah,
kitab ini juga menjelaskan penyakit-penyakit hati dan langkah untuk mengobatinya
dengan secara seksama.
4. Miftāh al-Falāh wa Misbāh al-Arwāh fī Dzikri Allah al-Karīm al-Fattāh
Kitab ini membahas tentang dzikir, dalil keutamaannya dalam al-Quran dan
hadis, prinsip-prinsip dalam berdzikir, keutamaan berdzikir secara berjamaah, etika
dalam berdzikir, faidah berdzikir, prinsip dalam memilih dzikir, dan dzikir-dzikir
dalam waktu-waktu tertentu, seperti pembahasan mengenai kalimat ‫ال اله اال للا‬,
keutamaannya, kajian linguistiknya, dan lain sebgainya.

5. Al-Qaul al-Mujarrad fī al-Ism al-Mufrad


Kitab ini berisikan mengenai nama dan sifat Allah, khususnya nama ‫هللا‬.
Pembahasan di dalamnya dibagi menjadi dua. Pertama, membahas nama dan sifat
Allah SWT, pembagiannya dan dalil-dalilnya. Kedua, pembahasan mengenai ‫هللا‬
dalam bahasa Arab dan dzikir-dzikir yang berkaitan dengannya, serta faidah ketika
istiqomah membacanya.
6. Unwān at-Taufīq fī Adāb at-Tarīq
Kitab ini merupakan karya komentar atas sya’ir (qashidah) yang ditulis oleh
Syaikh Syu’aib bin Husain al-Anshari yang dikenal dengan Abi Madin al-Ghauts
(520 – 594 H). Karya ini menjelaskan tentang etika bertasawuf, fokus pada
introspeksi diri, dan langkah-langkahnya serta bagaimana bersosial dengan orang-
orang saleh.
Selain menulis beberapa karya di atas, Syaikh Ibn ‘Athaillah juga menulis
beberapa risalah, seperti risalah tentang penafsiran ayat, risalah sebagai pesan dan
wasiat kepada murid-muridnya. Ada pula beberapa kalam hikmah yang dikenal
dengan al-Hikam Shugrā berjumlah 60 buah. Risalah yang berisikan doa munajat
berjudul al-munājāt al-ilāhiyah berjumlah 34 doa munajat.

VIII
‫مبادى العرشة عل تصوف‬
‫الرش ْو ِع ِف ْي ِه؛ ِل َي ُك ْو َن عَ ََل ب َ ِص ْ َْي ٍة ِف ْي ِه‪َ ،‬و َل َ َْي ُص ُل‬
‫ك َش ِار ٍع ِِف فَ ٍدن َأ ْن ي َّ َت َص َّو َر ُه قَ ْب َل م ُ‬ ‫ي َن ْ َب ِغي ِل ُ ِد‬
‫عرش ِة الْ َم ْذ ُك ْو َر ِة الْ َم ْن ُظ ْو َم ِة ِِف قَ ْولِ ب َ ْع ِضه ِْم‪:‬‬
‫التَّ َص مو ُر ا َّل ِب َم ْع ِرفَ ِة الْ َم َبا ِدئِ ْالَ ْ َ‬
‫ِ‬
‫َال ْـ َحـــــ مد َوالْ َم ْــوضُ ْـو ُع ثُـــ َّم ثَــــ ْم َ‬
‫ـــــر ْة‬ ‫ـــر ْة‬
‫َـــش َ‬ ‫ا َّن َمــ َبــــا ِدى ُكـــ ِ دل فَ ٍد‬
‫ــــــــن ع ْ‬
‫ِ‬
‫ـــش ِـار ِع‬ ‫ــــــس َبــــ ٌة َوالْ َــو ِاضـــ ُع َو ْ ِال ْسـ ُم ْ ِال ْســـتِ ْمدَ ا ُد ُح ْكــ ُم ال َّ‬ ‫َوفَـــــضْ ــلُـــ ُه َو ِن ْ‬
‫ـــش َــرفَـــا‬ ‫ــن د ََرى َجــ ِم ْيــ َع َح َ‬
‫ــاز ال َّ‬ ‫َم َسائِ ٌل َوالْ َبــ ْع ُـض ِِبلْبــَ ْع ِـض ا ْكــ َتــ َفــى َو َم ْ‬

‫فَ َح مد التَّ َص مو ِف ‪ :‬ه َُو ِع ْ ٌل يُ ْع َر ُف ِب ِه َأ ْح َوا ُل النَّ ْف ِس م َـ ْح ُم ْو ُدهَا َو َم ْذ ُم ْو ُمهَا َو َكـــ ْي ِفـــيَّــ ُة ت َْطه ْ ِِْيهَا‬
‫الـس ْي ُى ا ََل ِ‬
‫هللا‬ ‫َّ‬ ‫السلُ ْو ِك َو‬ ‫م‬ ‫ِم َن الْ َم ْذ ُم ْو ِم ِمْنْ َا َوتَـ ْح ِليَّــُتُ َا ِِب ْلتِ د َص ِاف بـِ َم ْح ُم ْو ِدهَا َو َكــ ْي ِفــيَّــ ُة‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫تَ َع َاَل َوالْـ ِف َر ُار الَـ ْي ِه‪.‬‬
‫ِ‬
‫َو َم ْوضُ ْو ُع ُه‪َ :‬أفْ َعا ُل الْــ ُقلُ ْــو ِب َوالْـ َح َــو ِاس ِم ْن َح ْي ُث الـــتَّ ْــز ِكــــ َّي ِة َوالــتَّ ْــصــ ِفــيَّــ ِة‪.‬‬
‫ـــو ِب‪َ ،‬و َم ْع ِرفَــ ُة عَ ََّّل ِم الْــغُــ ُي ْو ِب َذ ْوقًا َو ِو ْجدَ انً ‪َ ،‬والنَّ َجا ُة ِِف ْ َاْل ِخ َر ِة‬ ‫َوثَ ْم َرتُ ُه‪ :‬ت َــهْ ِذيْ ُب الْـــ ُقـــلُ ْ‬
‫الس َعا َد ِة ْ َاْلب َ ِدي َّ ِة‪َ ,‬وتَـ ْن ِو ْي ُر الْــ ُقلُ ْو ِب َو َص َفا ُؤ ُه ِ َِب ْي ُث يَــ ْنـ َك ِش ُف‬
‫هللا تَ َع َاَل‪َ ,‬ون َ ْي ُل َّ‬ ‫َوالْــ َف ْو ُز ِب ِرضَ ا ِ‬
‫َ ُِل ُأ ُم ْو ٌر َج ِل َّي ٌة َوي َ ْــشهَدُ َا ْح َو ًال َ َِعــ ْيبــَ ًة‪َ ,‬ويُ َعا ِي ُن َما َ َِع َي ْت َع ْن ُه ب َ ِص ْ َْي ٌة غَ ْ ُْي ُه‪.‬‬
‫ِه َأفْضَ ٌل عَ ََل ْ ِال ْط ََّل ِق‪.‬‬ ‫هللا تَ َع َاَل َو ُح دبِــ ِه َو ِ َ‬
‫ْش ُف الْــ ُعلُ ْو ِم ِلــتَ َعل م ِق ِه بِـ َم ْع ِرفَ ِة ِ‬‫َوفَضْ ُ ُل‪َ :‬ان َّ ُه َأ ْ َ‬
‫ْش ٌط ِفْيْ َا ا ْذ َل ِع ْ َل َو َل َ ََع َل ا َّل ِبقَ ْص ِد التَّ َو مج ِه‬ ‫َو ِن ْسبَ ُت ُه ا ََل غَ ْ ِْي ْه ِم َن ْال ُعلُ ْو ِم‪ِ :‬ان َّ ُه َا ْص ٌل لَـهَا َو َ ْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ ِِ‬
‫لــر ْو ِح لِلْ َج َس ِد‪.‬‬
‫م‬ ‫َ‬
‫َك‬ ‫َا‬ ‫ه‬‫ـ‬‫َ‬ ‫ل‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫ت‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ب‬‫س‬‫ْ‬ ‫ن‬ ‫ــ‬‫َ‬ ‫ف‬ ‫َ‬
‫اَل‬ ‫ع‬‫اَل هللا َ‬
‫َ‬ ‫ت‬
‫ِ‬
‫ْشا ِئ َع َو ْ َاْلد ََْي ُن‬
‫َو َو ِاض ُع ُه‪َ :‬ا ُهلل تَ َب َاركَ َوتَ َع َاَل َو َأ ْو َحا ُه ا ََل َر ُس ْو ِ ِِل َو ْ َاْلنْ ِب َيا ِء قَ ْب َلُ‪ ,‬فَان َّ ُه ُر ْو ُح َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الْ ُم ْ ِْن َ َِل ُُكمهَا‪.‬‬

‫‪IX‬‬
‫الص ْو ِف‪َ :‬م ْن َص َفا قَلْ َبه ُ ِم َن ْال ِكدَ ِر‪َ ،‬وا ْم َت َ َل‬ ‫الص َفا ِء‪َ ،‬و م‬ ‫اس ُه ‪ِ :‬ع ْ ُل التَّ َص مو ِف‪َ ،‬مأ ُخ ْو ٌذ ِم َن َّ‬ ‫َو ْ ُ‬
‫ِم َن ال ِع ََب‪َ ،‬و ْاس َت َوى ِع ْندَ ُه ا َّل َه ُب واملَدَ ُر‪.‬‬
‫َو ْاس تِ ْمدَ ا ُد ُه ‪ِ :‬م َن الْ ِكتَ ِاب َو م‬
‫الس نَّ ِة َو ْاْلْ َث ِر الث َّا ِبتَ ِة َع ْن َخ َو ِاص ا ُْل َّم ِة‪.‬‬
‫الش ِار ِع ِف ْي ِه ‪ْ :‬ا ُلو ُج ْو ِب ْال َع ْي ِ ِ دن ؛ ا ْذ َل َ ْيلُو َأ َح ٌد ِم ْن َع ْي ٍب َأو َم َر ٍض قَلْ ِ ِ دب‪ ،‬ا َّل ْ َاْلنْ ِب َيا َء‬ ‫َو ُح ْ ُك َّ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الس ََّل ُم‪..‬‬
‫الص ََّل ُة َو َّ‬ ‫عَلَْيْ ِ ُم َّ‬
‫ات الْ ُقلُ ْو ِب‪َ ،‬وي َت َّ ِب ُع َذا ِ َل ْشح اللكامت َّا ِلت تُ َتدَ َاو ُل‬ ‫َو َم َسا ِئ ُ ُل ‪ :‬قَضَ َاَي ُه الْ َبا ِحث َ ُة َع ْن ِص َف ِ‬
‫ب َ ْ َي الْقَ ْو ِم َ(َك ملز ْه ِد َوالْ َو َر ِع َوالْ َم َح َّب ِة َوالْ َفنَا ِء َو ْال َبقَا ِء)‪.‬‬

‫‪X‬‬
‫بسم هللا الرمحن الرحْي‬
‫اعل أنه ينبغى لك شارع ِف فن أن يتلكم عَل البسمةل ولو بنبذة يسْية مما يناسب‬
‫الفن املرشوع فيه وفائا حلقها وحق الفن املرشوع فيه‪ ،‬وحق البسمةل أن ل يرتك الالكم‬
‫علْيا رأسا وحق الفن املرشوع فيه أن يتلكم علْيا مبا يناس به لتعود بركُتا اإَل ذل الفن‬
‫املرشوع فيه وملا فيه من اس تحضار مسائل الفن املرشوع فيه لينتعش به أذهان الراغبي‬
‫فيه وِه قابةل للتلكم علْيا من مجيع العلوم اإل أن التلكم علْيا ِف بعضها غْي مناسب‬
‫َكلفرائض والعروض ْلن العروض موضوعه الشعر والقرأن ليس بشعر‪ ،‬والفرائض لقسمة‬
‫املواريث ول تعلق فْيا لها ولا ش نع بعضهم عَل من تلكم علْيا مبا يناس هبا فقال اإذا اش تد‬
‫البياض صار برصا والرشوع اْلْن ِف فن التصوف فنتلكم علْيا مبا يناس هبا فنقول‪:‬‬
‫﴿بسم هللا الرمحن الرحْي﴾‬
‫امس الش ئي ما يعرف به‪ ،‬فأسامء هللا تعاَل ِه الصور النوعية الىت تد دل خبصائصها‬
‫وه د ُِو ََّيهتا عَل صفات هللا وذاته‪ ،‬وبوجودها عَل وجه‪ ،‬وبتعيْنا عَل ِوحدته اإذ ِه ظواهره‬
‫مس لذلات الالهية من حيث ِه ِه عَل الإطَّلق‪ ،‬ل ِبعتبار‬ ‫و﴿هللا﴾ ا ُ‬
‫الىت هبا يُ َعرف‪ُ .‬‬
‫اتصافها ِبلصفات ول ِبعتبار ل اتصافها‪.‬‬
‫و﴿الرمحن﴾ هو املفيض للوجود والكامل عَل الك ِبسب ما تقتيض احلمك ُة‬
‫املعنوي اخملصوص ِبلنوع‬
‫د‬ ‫وحتمتل القواب ُل عَل وجه البداية‪ .‬و ﴿الرحْي﴾ هو املُفيض للكامل‬
‫َيرمحن ادلنيا واْلْخرة‪ ،‬ورحْي اْلْخرة‪ .‬مفعناه ِبلصورة‬
‫الإنساين ِبسب الْناية‪ ،‬ولهذا قيل ‪َ :‬‬
‫الانسانية الاكمةل اجلامعة الرمحة العا دمة واخلاصة‪ .‬الت ِه َمظه َُر الات الإلهيي واحلق‬
‫اْلعظمي مع مجيع الصفات ابدأ واقرأ‪ ،‬وِه الامس اْلعظم وإاَل هذا املعىن أشار النب‬
‫تيت جوامع اللكم‪ ،‬وبُ ِع ُ‬
‫ثت ْل تِ دم ماكر َم الاخَّلق))‪ ،‬اذ‬ ‫صَل هللا عليه وسل بقوِل‪ُ (( :‬أو ُ‬
‫اللكامت حقائق املوجودات وأعياهنا‪ .‬كام سي عيىس عليه السَّلم ُكمة من هللا‪ ،‬وماكرم‬
‫‪XI‬‬
‫اْلخَّلق َ َمَك َلهتا وخواصها الىت ِه مصادر أفعالها مجيعها حمصورة ف الكون اجلامع‬
‫الإنساين‪ .‬وههنا لطيفة وِه أن اْلنبياء علْيم السَّلم وضعوا حروف الُتجي إِبزاء مراتب‬
‫املوجودات‪ .‬وقد وجدت ف الكم عيىس عليه الصَّلة والسَّلم وأمْي املؤمني عَ ِِل عليه‬
‫السَّلم وبعض الصحابة ما يشْي اَل ذل‪ .‬ولهذا قيل‪ :‬ظهرت املوجودات من ِبء بسم‬
‫هللا اإذ ِه احلرف الي يِل اْللف املوضوعات إِبزاء ذات هللا‪ .‬فهيي اشارة اإَل العقل‬
‫اْلول الي هو أول ما خلق هللا اخملاطب بقوِل تعاَل‪ (( :‬ما خلقت خلق ًا أحب ا دإيل ول‬
‫عِل منك‪ ،‬بك أعطي‪ ،‬وبك أْخذ‪ ،‬وبك أثيب‪ ،‬وبك أعاقب‪ ))...‬احلديث‪.‬‬ ‫أكرم د‬
‫واحلروف امللفوظات لهذه اللكمة مثانية عرش‪ ،‬واملكتوبة تسعة عرش‪ .‬وإاذا انفصلت‬
‫اللكامت انفصلت احلروف اإَل اثني وعرشين‪ ،‬فالامثنية عرش اإشارة اإَل العوامل املعَب عْنا‬
‫بامثنية عرش ألف عامل‪ ،‬اإذ اْللف هو العدد التام املش متل عَل ِبيق مراتب اْلعداد فهو أ دم‬
‫املراتب الي ل عدد فوقه‪ ،‬فعَب هبا عن أ دمهات العوامل الت ِه عامل اجلَبوت‪ ،‬وعامل‬
‫امللكوت‪ ،‬والعرش‪ ،‬والكريس‪ ،‬والسموات الس بع‪ ،‬والعنارص اْلربعة واملواليد الثَّلثة الت‬
‫ينفصل لك واحد مْنا اإَل جزئياته‪.‬‬
‫والتسعة عرش اإشارة اإلْيا مع العامل الإنساين‪ ،‬فانه وإان َكن ً‬
‫داخَّل ف عامل احليوان‬
‫اإل أنه ِبعتبار ْشفه وجامعيته للك وحرصه للوجود عامل أْخر ِل شأن وجنس برأسه ِل‬
‫برهان‪ ،‬كجَبيل من بي املَّلئكة ِف قوِل تعاَل‪﴿ :‬ومَّلئكته ورسوِل وجَبيل﴾ [البقرة‪،‬‬
‫اْلْية‪.] ۹۸:‬‬
‫واْللفات الثَّلثة احملتجبة الت ِه تمتة الثني والعرشين عند الانفصال اإشارة اإَل‬
‫احلق‪ِ ،‬بعتبار الات‪ ،‬والصفات‪ ،‬واْلفعال‪ .‬فهيي ثَّلثة عوامل عند التفصيل‪،‬‬ ‫العامل الإله ديي د‬
‫وعامل واحد عند التحقيق‪ ،‬والثَّلثة املكتوبة اإشارة اإَل ظهور تكل العوامل عَل املظهر‬
‫عظمي الإنسا دين ولحتجاب العامل الإلهيي‪.‬‬
‫اْل د‬
‫‪XII‬‬
‫حي س ئل رسول هللا صَل هللا عليه وسل عن ألف الباء من أين ذهبت؟ قال‬
‫صَل هللا عليه وسل‪(( :‬رسقها الش يطان))‪ .‬وأمر بتطويل ِبء بسم هللا تعويضً ا عن ألفها‬
‫اإشارة اإَل احتجاب ألوهية الإلهية ف صورة الرمحة الانتشارية وظهورها ف الصورة‬
‫الإنسانية ِبيث ل يعرفها اإل أهلها‪ ،‬ولهذا نكرت ف الوضع‪.‬‬
‫وقد ورد ف احلديث‪(( :‬ا دإن هللا تعاَل خلق أْدم عَل صورته))‪ ،‬فالات حمجوبة‬
‫ِبلصفات‪ ،‬والصفات ِبْلفعال‪ ،‬واْلفعال ِبْلكوان واْلْثر‪ .‬مفن جتلدت عليه اْلفعال ِبرتفاع‬
‫جحب اْلكوان تولك‪ ،‬ومن جتل دت عليه الصفات ِبرتفاع جحب اْلفعال ريض وسل‪ .‬ومن‬
‫جتلدت عليه الات ِبنكشاف جحب الصفات فن ف الوحدة فصار موح ًدا مطلقا ً‬
‫فاعَّل ما‬
‫فعل وقارئًا ما قرأ بسم هللا الرمحن الرحْي‪ ،‬فتوحيد اْلفعال مقددم عَل توحيد الصفات‬
‫وهو عَل توحيد الات وإاَل الثَّلثة أشار صلوات هللا عليه ف جسوده بقوِل‪(( :‬أعوذ‬
‫بعفوك من عقابك وأعوذ برضاك من خسطك‪ ،‬وأعوذ بك منك))‪.‬‬
‫‪Sumber :‬‬

‫‪1. Qawaidu Al-Usul fii mukhtashar Usul Al-fiqh‬‬


‫‪2. Tafsir Ibn ‘Arabi‬‬

‫‪XIII‬‬
INTISARI MATERI AL-HIKAM
Hikmah Ke-1

‫ات ْال ْعتِ َما ِد عَ ََل الْ َع َم ِل نُ ْق َص ُان َالر َجا ِء ِع ْندَ ُو ُج ْو ِد َ ل‬
‫الز َ ِل‬ ِ ‫ِم ْن عَ ََّل َم‬
1. “Diantara tanda-tanda seorang salik yang bergantung terhadap amal adalah
ِ
berkurangnya pengharapan kepada Allah ketika terpeleset ke dalam dosa (kesalahan)”
Substansi : Semangat yang Tinggi dan Ketangguhan
Kalimat Inti : 1. ‫نقصان الرجاء‬ (Turunnya Harapan)

2. ‫الزلـل‬ (Terpeleset Kepada Kesalahan)

Masalah : Seorang salik yakni orang yang sedang berupaya memperbaiki diri, sering
menghadapi kesulitan karena tidak mampu melaksanakan amalan secara
Istiqomah, sangat sulit mencapai tujuan sehingga timbul putus asa.
Terbukti, banyak umat Islam yang tidak mau menjadi Salik, orang yang
mengamalkan metoda Dzikir teruji (Thoriqoh).

Uraian : Allah pencipta seluruh alam, telah menciptakan manusia sebagai makhluk
yang paling sempurna dan termulia, tugasnya adalah sebagai hamba dan
khalifahnya yang dicakup dengan kalimat Taqwa.

َ ‫َ َ ُ ذ‬ َ
Firman Allah di dalam Surat Ali-Imron ayat 102:
َ َُ َ ‫امنُوا ْ ذٱت ُقوا ْ ذ‬
﴾۱۰۲﴿ ‫ٱّلل َح ذق تقاتِهِۦ َوَل ت ُموت ذن إَِل َوأنتُم ُّم ۡسل ُِمون‬ َ ‫يََٰٓأ ُّي َها ذٱَّل‬
َ ‫ِين َء‬

Allah memerintahkan manusia untuk bertaqwa secara sunguh-sungguh, yang belum


iman harus beriman, yang sudah iman harus melaksanakan perintah dan menjauhi
larangannya. Taqwa yang sempurna adalah kembalinya ruh inti manusia kepada Allah, dalam
kitab Sirrul Asror Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani disebutkan 4 lapis alam dan 4 lapis ruh
manusia, manusia harus melakukan perjalanan ruh dari Mulki menembus Malakut, Jabarut, dan
Lahut melalui pengolahan Jasad, Qolbu, Fuad, Sirri mengolah ruh Jismani, Ruwani, Sultoni,
dan Qudsi.
Ternyata hari ini Tahun 1443 H/ 20221 M setelah 14 abad dari gerakan Dakwah
Rasulullah SAW dari jumlah manusia kurang lebih 6 Milyar, baru 1,5 Milyar yang bersyahadat
4,5 Milyar beragama di luar islam. Dari seperempat penduduk muka bumi yang sudah Islam di
dunia kurang lebih 200 juta ada di Indonesia, 200 juta di potong yang belum dewasa kurang
lebih 50% sama dengan 100 juta. Berapakah yang bertaqwa secara sungguh-sungguh? mungkin
belum mencapai 5% yakni 5 juta bahkan mungkin belum bisa di hitung dengan jari. Jangankan
mengamalkan Al-Qur’an secara utuh untuk pengamalan Rukun Islam saja masih sangat lemah,
lihat masjid-masjid di waktu shubuh berapa persen yang mengikuti berjama’ah shalat shubuh
di masjid, ini tidak bisa dipungkiri kebanyakan umat Islam tidak bersemangat untuk menjadi

1
Dikutip dari kajian Al-Hikam KH. Zezen Tahun 2015

1
hamba Allah yang bertaqwa secara sempurna, kita bersyukur upaya pembinaan keimanan dan
ketaqwaan umat terus dilakukan, tetapi lebih banyak pada wilayah kognitif (pengetahuan)
belum pengamalan, maka perlu dicari metoda yang mendidik umat dari pengetahuan dan
pengamalan yang tembus kepada rasa. Dan ternyata sudah ditemukan dan dilaksanakan serta
menimbulkan hasil yaitu apa yang disebut Auliaussholihin, yang dakwahnya mampu
mengislamkan jutaan manusia di seluruh belahan bumi. Di tanah jawa lebih dikenal gerakan
dakwah Wali Songo, Kewalian bukan sebatas legenda, cerita yang enak di tonton, tetapi tugas
yang harus dilakukan sampai hari kiamat. Diawali dengan mencari guru mursyid yang Kamil
Mukammil (sempurna dan mampu menyempurnakan orang lain) lalu mengamalkan ilmu dan
amalan yang diberikannya. Pada tahap ini seorang murid harus bersemangat tinggi, bekerja
keras, tangguh dan pasrah. Sering terjadi karena semangatnya seorang murid ingin mencapai
tujuan amalan semata-mata ingin dengan kemampuan amalannya dan tidak mau mengalami
kesalahan, terbukti pada nyatanya selalu saja ada kesalahan, maka disini murid harus memiliki
ketangguhan, manakala terpeleset kepada kesalahan ia tidak boleh putus asa, ia harus tetap
bersemangat melaksanakan pengamalan. Baik dipakai pribahasa “1000 kali jatuh 1000 kali
bangun”.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat al Insyiroh ayat 5-7:
َ َ‫ت ف‬
ۡ ‫ٱنص‬
﴾۷﴿ ‫ب‬ ٗ ۡ ُ ‫﴾ إ ذن َم َع ٱلۡ ُع ۡس ي‬۵﴿ ‫سا‬
َ ‫﴾ فَإذَا فَ َر ۡغ‬۶﴿ ‫سا‬ ً ۡ ُ ‫فَإ ذن َم َع ٱلۡ ُع ۡس ي‬
ِ ِ ِ ِ ِ
Hikmah ke-2

َ ‫ َوا َرا َدت َُك ْ َاْل ْس َب‬،‫الشه َْو ِة الْ َخ ِفيَّ ِة‬
‫اب َم َع‬ َّ ‫هللا ا ََّيكَ ِِف ْاْل ْس َب ِاب ِم َن‬ ِ ‫ا َرا َدت َُك التَّ ْج ِريْدَ َم َع اقَا َم ِة‬
ِ ِ ِ ِ
ِ‫هللا ا ََّيكَ ِِف التَّ ْج ِريْ ِد ا ْ ِإْن َط ٌاط َع ِن الْهِ َّم ِة الْ َع ِل َّية‬
ِ ‫اقَا َم ِة‬
2. “Hasratmu untuk menempati maqom tajrid sedangkan Allah menempatkanmu pada
ِ ِ
maqam asbab adalah permainan syahwat yang samar (halus). Sebaliknya, hasaratmu
pada maqam asbab padahal Allah menempatkanmu pada maqam tajrid adalah
merupakan wujud penurunan semangat dari tekad yang tinggi”

Substansi : Kerja Keras


Kalimat Inti : 1. ‫اْلس باب‬ : Kerja Keras untuk Mencapai Tujuan

2. ‫التجريد‬ : Menjaga Posisi setelah Mencapai Tujuan

Masalah : Banyak orang yang malas, tetapi berkedok iman dalam hal duniawi
maupun ukhrowi, ketika ditanya mengapa hidup anda belum sejahtera?,
ia menjawab “Nasib saya sudah seperti ini”. Padahal ia belum tahu
hakikat catatan di Lauhil Mahfudz, di satu pihak menerima apa adanya
itu penting, tetapi bila tidak dibarengi dengan semangat maju, ia tidak
akan menjadi orang yang maju. Atau di bidang ma’rifat dan ibadah
ketika ditanya kenapa ma’rifatmu dan ibadahmu cuma seperti itu? Ia
menjawab “ Taqdir saya cuma begini “ sama dengan tadi, padahal ia
tidak tahu hakikat taqdir pada catatan Lauhil Mahfudz, ia tidak paham

2
dia sedang berada di Maqom Asbab, kerja keras sebagai upaya
mencapai tujuan atau dia di Maqom Tajrid yakni dia sudah ditanggung
penuh rizki atau Maqom Ma’rifatnya oleh Allah.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Qoshosh ayat 77:
َ َۡ ُ‫َ َ ٓ َ ۡ َ َ ذ‬ ۡ َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ‫ك ذ‬ َ َٰ َ َٓ
‫صيبك مِن ٱدلنيا وأحسِن كما أحسن ٱّلل إَِلك‬ ‫ٱّلل ذ‬
َ ‫ٱدل‬
ِ ‫ار ٱٓأۡلخ َِرة وَل تنس ن‬ ‫َو ۡٱبتَغِ فِيما ءاتى‬
ۡ ۡ ُّ ُ َ َ ‫ذ ذ‬ َۡ َ َۡ َ َ
َ ‫سد‬
﴾۷۷﴿ ‫ِين‬ ِ ‫ِب ٱل ُمف‬ ِ ‫َوَل ت ۡبغِ ٱلف َساد ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض إِن ٱّلل َل ُي‬
Hikmah Ke- 3

‫َس َواب ُِق الْهِ َم ِم َل َ َْت ُر ُق َأ ْس َو َار ْ َال ْقدَ ا ِر‬


3. “Tingginya cita-cita tidak akan pernah bisa melawan takdir”

Substansi : Semangat Kepasrahan


Kalimat Inti : 1. ‫ الـهامم‬: Semangat
2. ‫ اْلقدار‬: Kepasrahan
Masalah : Terlalu bersemangat lupa taqdir, bila tidak tercapai
kecewa,panik,depresi, dan terlalu pasrah tidak mau berupaya.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Ali Imron ayat 173:
ُ ‫يمٰ ٗنا َوقَالُوا ْ َح ۡسبُنَا ذ‬ َ ََ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ََُ ۡ َ َ ‫ذ َ َ َ َُ ُ ذ ُ ذ ذ‬
َ ‫اد ُه ۡم إ‬
‫ٱّلل َون ِۡع َم‬ ِ ‫ٱَّلِين قال لهم ٱنلاس إِن ٱنلاس قد َجعوا لكم فٱخشوهم فز‬
ُ ۡ
﴾۱۷۳﴿ ‫ٱل َوكِيل‬
Hikmah Ke- 4

‫َأ ِر ْح ن َ ْف َس َك ِم َن التَّـدْ ب ْ ِِـْي فَ َما قَا َم ِب ِه غَ ْ ُْيكَ َع ْن َك َل تَ ُقـ ْم ِب ِه ِلنَـ ْف ِـس َك‬
4. “Istrirahatkan dirimu dari berpikir (hal-hal yang sudah ditanggung oleh Allah) sebab,
apa yang telah dikerjakan oleh selainmu untukmu, tak perlu lagi kau lakukan.”

Substansi : Terlalu memikirkan sesuatu yang sudah di tanggung oleh Allah.


Kalimat Inti : 1. . ‫التدبـيـر‬ : Berfikir

2. . ‫ل تـقم‬ : Jangan Menempatkan

Masalah : Seorang salik sering terjebak dengan terlalu menggunakan pikiran


ketimbang melaksanakan tugas ibadah, padahal sebenarnya cukup bagi

3
kita membuat frame cita-cita. Laksanakan upaya mencapai cita-cita
sesuai rumus dan terus qurbah kepada Allah.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Ashr ayat 1 - 3:


َ ۡ ‫اص ۡوا ْ ب‬
‫ٱۡل ِق‬ َ ‫ت َوتَ َو‬ َ ٰ ‫امنُوا ْ َو َعملُوا ْ ذ‬
ِ ٰ‫ٱلصلِح‬ ِ َ ‫﴾ إ ذَل ذٱَّل‬۲﴿ ‫نس َن لَِف ُخ ۡس‬
َ ‫ِين َء‬
ِ ٰ َ ۡ ‫ذ‬
‫ٱۡل‬ ‫ن‬ ِ ‫إ‬ ‫ص‬ ۡ ‫َوٱلۡ َع‬
ِ ٍ ِ ِ ﴾ ۱ ﴿ ِ
﴾ ۳﴿ ‫ب‬ ‫اص ۡوا ْ ب ذ‬
ۡ ‫ٱلص‬ َ ‫َوتَ َو‬
ِ ِ
Hikmah Ke- 5
‫ُض َن َ َل َوتَ ْق ِـص ْ ُْيكَ ِف ْي َما ُط ِل َب ِم ْن َك َد ِل ْي ٌل عَ ََل ان ِْط َم ِاس الْ َب ِص ْ َْي ِة ِم ْن َك‬
ِ ُ ‫ِا ْجُتِ َادُكَ ِف ْي َما‬
5. “Kesungguhanmu dalam meraih apa yang telah dijaminkan (oleh Allah) untukmu
tetapi kau lalai dalam menjalankan kewajiban yang telah ditugaskan (Allah) kepadamu
itu merupakan bukti bahwa engkau buta mata hati”

Substansi : Sungguh-sungguh dalam memikirkan hasil tetapi gegabah dalam


melaksanakan tugas
Kalimat Inti : 1. . ‫ اإجـتـهادك‬: Sungguh-sungguh
2. ‫تـقصيـر‬ : Gegabah

Masalah : Seorang salik mengalami lebih memikirkan hasil dan berupaya dalam
hal imbalan, tetapi gegabah dalam melaksanakan tugas ibadah.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Yasin ayat 21 :


َ ُ َ ۡ ُّ ُ َ ٗ ۡ َ ۡ ُ ُ َ ۡ َ ‫ذ ُ ْ َ ذ‬
﴾۲۱﴿ ‫ٱتبِعوا من َل يسلكم أجرا وهم مهتدون‬
Hikmah Ke -6

‫ُض َن َ َل ْال َجاب َ َة ِف ْي َما‬ ِ ُ ‫َليَ ُك ْن تَأَخ َمر َأ َم ِد الْ َع َطا ِء َم َع ْاللْ َحا ِح ِِف ادلم عَا ِء ُم ْو ِج ًبا ِل َيأ ِس َك فَه َُو‬
ِ َّ ْ َّ ْ ِ
ُ‫َ ْي َت ُار ُه َ َل َل ِف ْي َما َ َْت َت ُار ُه ِل َن ْف ِس َك َو ِِف ال َو ْق ِت ِالى ُي ِريْدُ ل ِِف ال َو ْق ِت ِالى تُـ ِريْد‬
َ
6. “Jangan sampai lambatnya pemberian (ijabah do’a) padahal kau terus-terusan berdoa
membuatmu putus asa. Sebab Allah telah menjamin untuk mengijabah do’amu sesuai
dengan pilihan-Nya bukan sesuai dengan pilihanmu, serta pada waktu yang Allah
kehendaki bukan pada waktu yang kau kehendaki”
Substansi : Lambatnya ijabah Do’a
Kalimat Inti : 1. ‫تـأخر‬ : Lambat

4
2. ‫الاحلاح‬ : Sungguh-sungguh

3. ‫ُضـن‬ : Menanggung

Masalah : Seorang salik sering mengalami salah duga, bahkan berburuk sangka
kepada Allah ketika ia melakukan qurbah ibadah do’a kepada Allah,
tetapi belum merasa dikabulkan sehingga putus asa.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 186:


ْ ۡ ۡ ْ َ‫اع إذَا َد ََعن فَلۡيَ ۡست‬ ‫يب َد ۡع َو َة ذ‬ َ ََ َ َ
ُ ‫ك عِبَادِي َعّن فَإّن قَريب أُج‬
‫جيبُوا ِِل َوَلُؤمِنُوا ِِب‬
ِ ِ ِ ِ ‫ٱدل‬ ِ ِ ِِ ِ ‫ِإَوذا سأل‬
َ ُ ‫َ ذ‬
﴾۱۸۶﴿ ‫ل َعل ُه ۡم يَ ۡرش ُدون‬

Dalam Surat Al Mu’min/ Ghafir ayat 60 :


َ ‫خر‬ َ َ ‫َ َ َ َ ُّ ُ ُ ۡ ُ ٓ َ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ ذ ذ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ ذ‬
‫ين‬ ِ ِ ‫جب لك ۚۡم إِن ٱَّلِين يستك ِبون عن عِباد ِِت سيدخلون جهنم‬
‫ا‬‫د‬ ِ ‫ون أست‬
ِ ‫وقال ربكم ٱدع‬
﴾۶۰﴿
Hikmah Ke- 7

‫َل ي َُش ِكد َكن َّ َك ِِف الْ َو ْع ِد عَدَ ُم ُوقُ ْو ِع امل َ ْو ُعو ِد َوا ْن تَ َع َّ َي َز َمنُـ ُه ِل َئ ََّّل يَ ُك ْو َن ٰذ ِ َل قَدْ ًحا ِِف ب َ ِص ْ َْيتِ َك‬
ِ
ِ َ ‫َوا ْ َْخادًا ِل ُن ْو ِر‬
‫رس ْي َرتِ َك‬
7. “Jangan sampai kamu ragu terhadap janji Allah apabila tidak terbukti janji tersebut
ِ
pada waktu yang ditentukan, apabila kamu ragu – ragu maka butalah mata hatimu dan
memadamkan cahaya hati / sirrmu.”
Substansi : Janji Allah yang dirasakan belum terbukti

Kalimat Inti : 1. ‫يشكـكـنـك‬ : { Ragu-ragu atau bimbang}

2. ‫املوعود‬ : { Janji}

3. ‫قدحا‬ : Tutup

4. ‫اخامدا‬ : Mematikan
Masalah : Seorang salik sering mengalami salah duga, bahkan berburuk sangka
kepada Allah ketika ia melakukan qurbah ibadah do’a kepada Allah,
tetapi belum merasa dikabulkan sehingga putu asa.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 9 :

ٞ ‫ َوأَ ۡجر َع ِظ‬ٞ ‫ت ل َ ُهم ذم ۡغفِ َرة‬


﴾۹﴿ ‫يم‬ َ ٰ ‫امنُوا ْ َو َعملُوا ْ ذ‬
ِ ٰ‫ٱلصلِح‬ ِ َ ‫ٱّلل ذٱَّل‬
َ ‫ِين َء‬ ُ ‫َو َع َد ذ‬

5
Hikmah Ke- 8
ُ‫كل؛ فَ ِان َّ ُه َمافَتَ َحهَا َ َل ا َّل َوه َُو ُي ِريْد‬ َ ُ ‫ِا َذا فَتَ َح َ َل ِو ْ َْج ًة ِم َن التَّـ َع مـر ِف فَ ََّل تُ َبالِ َم َعهَا َأ ْن قَ َّل َ ََع‬
ِ
‫َأ ْن يَّتَ َع َّر َف ِالَ ْي َك؛ َألَ ْم تَ ْع َ ْل َأ َّن التَّ َع مر َف ه َُو ُم ْو ِر ُد ُه عَلَ ْي َك َو ْ َال ْ ََع ُال َان َْت ُمهْ ِدْيْ َا ِالَ ْي ِه و َا ْي َن َما‬
‫تُـهْ ِديْ ِه ِالَ ْي ِه ِم َّما ه َُو ُم ْو ِر ُد ُه عَلَ ْي َك‬
8. “Apabila Allah membukakan jalan bagimu untuk ma’rifat maka jangan
menghiraukan amalmu yang sedikit. Sebab sesungguhnya Allah tidak membukakan
ma’rifat kecuali karena Allah ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah kau
menyadari bahwa ma’rifat itu semata-mata pemberian Allah kepadamu. Sedang amal-
amal kau hadiahkan kepada Allah? Dimana sesuatu yang kau berikan kepada Allah
)padahal sesuatu itu) adalah sebagian dari sesuatu yang Allah berikan kepadamu.”
Substansi : Mengalami keterbukaan atau ijabah
Kalimat Inti : 1. ‫فتح‬ : Terbuka

‫التعرف‬ : Ma’rifat atau ijabah

‫قل َعكل‬ : Berkurangnya amal

‫مورده‬ : Yang melimpah

‫همدي‬ : Yang menyerahkan

Masalah : Terkadang seorang salik mengalami keterbukaan ma’rifat atau ijabah


do’a tapi hati-hati karena keterbukaan tersebut sering menjadi ranjau
untuk seorang salik, mengalami keterbukaan atau ijabah sering merasa
sudah besar, ia terjebak, ia mengurangi amalan.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 141 :
َ‫كٰفِرين‬َ ۡ َ َ ۡ ُ َ ‫ذ‬ ُ َ ََۡ ُْٓ َ ‫ َ ذ‬ٞ ۡ َ ۡ ُ َ َ َ َ ۡ ُ َ ُ ‫ذ َ َََذ‬
ِ ‫ِل‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫َك‬ ‫ِإَون‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ل‬‫أ‬ ‫ا‬‫و‬‫ال‬ ‫ق‬ ِ ‫ٱّلل‬ ‫ِن‬ ‫م‬ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫َك‬ ‫ن‬ ِ ‫إ‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ك‬ ِ ‫ٱَّلِين يَتبص‬
‫ب‬ ‫ون‬
ََ َ َ ۡ ََۡ ۡ ُ ََۡ ُ ُ َۡ ُ‫َ ُۡ ۡ َ َ ذ‬
ٰ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ ُ َۡ َ ۡ ۡ َ ۡ َ ََۡ ُْٓ َ ٞ َ
‫صيب قالوا ألم نستح ِوذ عليكم ونمنعكم مِن ٱلمؤ ِمنِيۚۡ فٱّلل ُيكم بينكم يوم ٱلقِيمةِِۗ ولن‬ ِ ‫ن‬
ً َ ‫لَع ٱل ۡ ُم ۡؤ ِمن‬ ََ َ َ ۡ ُ‫َََۡ ذ‬
﴾۱۴۱﴿ ‫ِي َسبِيًل‬ ‫ٱّلل ل ِلكٰفِ ِرين‬ ‫َيعل‬
Hikmah Ke -9
ِ‫َات ْ َاْل ْح َوال‬
ِ ‫تَنَ َّو َع ْت َا ْجنَ ُاس ْ َال ْ ََعالِ ِلتَنَ مو ِع َو ِارد‬
9. “Jenis amal beragam karena pemberian yang Dia berikan juga beragam”

6
Substansi : Limpahan dari Allah bermacam-macam tergantung amalan-amalan
manusia

Kalimat Inti : 1. ‫أجناس اْلعامل‬: Macam-macam amalan


2. ‫واردات اْلحوال‬ : Limpahan hidayah dari Allah pada Qolbu Manusia

Bukti : Hasrat salik berbeda-beda amalannya bermacam- macam tergantung


Masalah hidayah Allah pada Qolbunya.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 36 :
ُ ‫وت فَ ِم ۡن ُهم ذم ۡن َه َدى ذ‬ ٰ‫ُ ُ ذ ذ ُ ً َ ۡ ُ ُ ْ ذ َ َ ۡ َ ُ ْ ذ‬
َ ‫ٱلط ُغ‬ َََۡ ۡ َََ
‫ٱّلل َوم ِۡن ُهم ذم ۡن‬ ‫ك أم ٖة رسوَل أ ِن ٱعبدوا ٱّلل وٱجتنِبوا‬ ِ ‫ولقد بعثنا ِِف‬
َ ُ ۡ ُ َ َٰ َ َ َ ۡ َ ْ ُ ُ َ َۡ ْ ُ َ َُ َ ‫ذ‬ َ ۡ ‫َذ‬
﴾۳۶﴿ ‫ي‬َ ‫ك ِذب‬
ِ ‫م‬ ‫ٱل‬ ‫ة‬‫ب‬ ‫ق‬
ِ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫َك‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫وا‬ ‫ر‬‫ٱنظ‬ ‫ف‬ ‫ۡرض‬
ِ ‫ت َعل ۡيهِ ٱلضلٰلة ۚۡ فسِريوا ِِف ٱۡل‬ ‫حق‬
Hikmah Ke- 10

‫رس ْالخ ََّْل ِص ِفْيْ َا‬ َ ُ ‫َا ْ َل ْ ََع ُال ُص َو ٌر قَائِ َم ٌة َو َأ ْر َو‬
ِ ‫اُحا ُو ُج ْو ُد ِ د‬
ِ
10. “Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah berupa rahasia
ikhlas”
Substansi : Fungsi Ikhlas
Kalimat Inti : 1. ‫صور‬ : Raga

2. ‫رس الاخَّلص‬ : Rahasia Ikhlas.

Masalah : Sering terjadi amalan seorang salik tidak dibarengi dengan ikhlas. Ikhlas
adalah bersih hati dari seluruh gangguan penyakit hati, ruh menembus
alam Lahut tidak terhambat oleh gangguan Mulki, Malakut dan Jabarut
Hikmah Ke -11

‫ِا ْد ِف ْن ُو ُج ْودَكَ ِِف َأ ْر ِض الْـ ُخ ُم ْولِ فَ َما نَبَ َت ِم َّما لَ ْـم يُدْ فَ ْن َلي َ ِ ُِت نَتَا ُج ُه‬
11. “Tanamlah (sembunyikan) wujud amalmu di dalam tanah ketidakterkenalan . Sebab,
sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam, niscaya tidak akan berbuah sempurna.”
Substansi : Menyembunyikan diri dalam keikhlasan
Kalimat Inti : 1. ‫ادفن‬ (Mengubur diri yakni menyembunyikan diri)

2. ‫الـخـمـول‬ (ketidak terkenalan )

Masalah : Hati seorang salik sering ingin terkenal yakni ibadah kita, kemampuan
kita ingin diketahui orang lain sering diekspresikan dalam kata-kata
maupun sikap padahal bila kita yang memasyhurkannya hasilnya hanya

7
sampai pada keterbatasan daya kita tetapi bila disembunyikan dan
sampai kepada Allah maka Allah yang akan memasyhurkannya.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat As-Syu’ara ayat 215:
َ ‫ك م َِن ٱل ُم ۡؤ ِمن‬ۡ
َ ََ ‫ذ‬
َ َ ََ ۡ ۡ
﴾۲۱۵﴿ ‫ِي‬ ‫احك ل َِم ِن ٱتبع‬ ‫َوٱخفِض جن‬
Hikmah Ke-12

‫َمان َ َف َع الْقَلْ َب َش ْ ٌئي ِمثْ َل ُع ْز ٍَل يَدْ ُخ ُل هبِ َا َم ْيدَ ُان ِف ْك َر ٍة‬
12. “Tidak ada sesuatu yang bermanfaat bagi kalbu seperti manfaatnya uzlah yang
dengan melaluinya kita bisa memasuki medan pemikiran”
Substansi : Uzlah
Kalimat : 1. ‫عزَل‬ :Mengisolir diri untuk muhasabah dan mengolah diri,
Inti
mempertajam diri agar sukses melaksanakan tugas bukan
meninggalkan tugas

2. ‫ميدان فكرة‬ : Lapangan berpikir

Masalah : Seorang salik karena terlalu sibuk tidak punya kesempatan untuk
mengevaluasi diri sehingga perjalanan ruhnya macet. Maka ia harus
menyediakan waktu khusus untuk bermuhasabah.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 50:
‫َ ُّ ٓ ْ َ ذ‬
ُ َ‫ٱّللِ إّن ل‬
ٞ ‫ ُّمب‬ٞ‫كم م ِۡن ُه نَذِير‬
﴾۵۰﴿ ‫ي‬ ِ ِ ِ ‫ففِروا إِِل‬
Hikmah Ke-13

ِ ‫رش ُق قَلْ ٌب ُص َو ُر ْاْلَ ْك َو ِان ُم ْن َط ِب َع ٌة ِِف ِم ْرأْتِ ِه ؟ َا ْم َك ْي َف يَ ْر َح ُل ا ََل‬


‫هللا َوه َُو ُمـ َكـــبَّ ٌل‬ ِ ْ ُ‫َك ْي َف ي‬
ِ
ِ َ ِ
‫هللا َوه َُو لَ ْـم ي َ َت َطه َّْر ِم ْن َجنَابَة غَ ْفَّلتِه؟ َا ْم َك ْي َف‬ َ ْ ‫ب َِشه َْواتِ ِه؟ َا ْم َك ْي َف يَط َم ُع َا ْن يَدْ ُخ َل َح‬
ِ ‫ض َة‬
‫رسأ ْ ِر َوه َُو لَ ْـم يَت ُـ ْب ِم ْن َه ْف َواتِ ِه؟‬ َ ْ ‫ي َ ْــر ُجو َا ْن ي َّ ْفه ََم َدقَائِ َـق ْ َال‬
13. “Bagaimana hati akan bercahaya sedangkan dalam hati masih ada gambaran
keduniaan. Bagaimana kita bisa sampai kepada Allah sementara kita masih dikuasai oleh
nafsu (syahwat). Bagaimana kita berharap bisa memasuki hadirat Allah sedangkan kita
belum menyucikan diri dari kotoran dan kelalaian. Bagaimana kita bisa memahami
kedalaman rahasia Allah sedangkan kita belum bertaubat dari ketergelinciran dosa”
Substansi : Menerobos empat penghalang :
1. penutup cahaya
2. Penghalang keberangkatan ruh

8
3. Penghalang masuk Kehadirat Allah
4. Penghalang memahami rahasia
Kalimat Inti : 1. ‫يرشق‬ : Terbitnya sinar

2. ‫يرحل‬ : Bangkit

3. ‫هللا‬ ‫يدخل حضة‬ : Masuk Kehadirat Allah

4. ‫اْلرسار‬ ‫دقائق‬ : Halus-halusnya rahasia

Masalah : 1. Hati seorang salik sulit bersinar dengan nur Allah karena tertutup
oleh kesenangan duniawi, yang miskin harta hidup hanya
menggerutu bahkan mempersalahkan nasib, yang sudah punya
sombong dan hura-hura.
2. Hidup mengikuti keinginan hawa nafsu
3. Sulit melakukan ibadah dhohir bathin untuk membuka perjalanan
ruh menuju Allah
4. Sulit masuk Kehadirat Allah
5. Sulit memahami halus-halusnya rahasia Allah
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imron ayat 14:
ۡ ‫ۡ ذ‬ َ ‫َُۡ َ َِ َ ذ‬ َ ‫ِي َوٱلۡ َق‬َ ‫ت م َِن ٱلن ِ َسا ٓ ِء َو ۡٱۡلَن‬ ‫ُ ُّ ذ‬ ‫ُزي َن ل ذ‬
‫ب َوٱل ِفضةِ َوٱۡلَ ۡي ِل‬
ِ ‫ه‬ ‫ٱَّل‬ ‫ِن‬ ‫م‬ ‫ة‬‫ر‬ ‫نط‬ ‫ق‬ ‫م‬ ‫ٱل‬ ‫ري‬
ِ ‫ط‬
ِ ٰ ‫ن‬ ِ ٰ ‫ب ٱلش َه َو‬ ‫اس ح‬ ِ ‫ِلن‬ ِ
َ
﴾۱۴﴿ ‫اب‬ ‫م‬َ َ ۡ‫ِندهُۥ ُح ۡس ُن ٱل‬
َ ‫ٱّلل ع‬ ُ ‫ٱدل ۡنيَا َو ذ‬ َ ۡ ‫ث َذٰل َِك َم َتٰ ُع‬
ُّ ِ ‫ٱۡليَ ٰوة‬ ِِۗ ‫ر‬ َ ۡ ‫ٱل ۡ ُم َس ذو َمةِ َو ۡٱۡلنۡ َعٰ ِم َو‬
ۡ ‫ٱۡل‬
ِ
Hikmah Ke-14

‫َالْ َك ْو ُن ُُكم ُه ُظلْ َم ٌة و ِان َّ َما َانَ َر ُه ُظه ُُور الْ َح د ِق ِف ْي ِه فَ َم ْن َر َأى الْ َك ْو َن َولَـ ْم ي َْشهَدْ ُه ِف ْي ِه َا ْو ِع ْندَ ُه َا ْو‬
‫قَ ْب َ ُل َا ْو ب َ ْعدَ ُه فَقَدْ َاع َْو َز ُه ُو ُج ْو ُد ْ َاْلن َْو ِار َو َح َج َب ْت َع ْن ُه ُ ُُش ْو ُس الْ َم َع ِار ِف ب ُِس ُح ِب اْلْ َث ِر‬
14. “Alam semesta (makhluk) adalah kegelapan. Sesungguhnya yang meneranginya
adalah cahaya Allah yang ada di dalamnya. Maka barangsiapa yang melihat alam
semesta (makhluk) dan tidak menyaksikan Allah di dalamnya, di sisinya, sebelumnya
atau sesudahnya maka benar-benar ia telah disilaukan oleh wujud cahaya dan tertutup
baginya cahaya ma’rifat oleh kerendahan dunia”
Substansi : Menembus Kehadirat Allah melalui benda alam
Kalimat : 1. ‫الكون‬ ; Makhluk
Inti
2. ‫ظلمة‬ ; Gelap yakni tertutup tidak tembus kepada Allah

9
3. ‫ظهور احلق‬ ; Dhohirnya Allah, mata dhohir melihat alam, bathin

tembus kepada Allah

4. ‫حـجـبت‬ ; Terhalang

Masalah : Seorang salik sering mengalami kesulitan menembuskan pandangan dhohir


ketika melihat alam, macet di makhluk tidak tembus kepada Allah
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imron ayat 190-191:
َ ُُ َۡ َ ‫ذ‬ َ َۡ ۡ ْ ُ َ َ ‫ذ‬ َ ۡ ‫َ ۡ َٰ ذ‬ َۡ َ َ َ ‫ذ‬ ۡ َ ‫ذ‬
‫﴾ ٱَّلِين يذكرون‬۱۹۰﴿ ‫ب‬
ِ ٰ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ٱۡل‬ ‫ِل‬
ِ ‫و‬ ‫ۡل‬ِ ‫ت‬ٖ ٰ ‫ٓأَلي‬ ‫ار‬
ِ ‫ه‬ ‫ٱنل‬‫و‬ ‫ل‬
ِ ‫ٱَل‬ ‫ف‬ِ ‫ل‬ِ ‫ت‬ ‫ٱخ‬‫و‬ ‫ۡرض‬
ِ ‫ٱۡل‬ ‫و‬ ‫ت‬ ِ ٰ ‫و‬ٰ ‫م‬ ‫ٱلس‬ ‫ق‬
ِ ‫إِن ِِف خل‬
َۡ َ َ َ ‫ذ‬
ٗ َ َ َ َ َۡ َ َ َ‫َذ‬
ٰ ٰ
‫ۡرض ربنا ما خلقت هذا ب ِطًل‬ ِ ‫ت وٱۡل‬
ۡ َ َ ‫ََ ذ‬
ِ ٰ ‫جنُوب ِ ِه ۡم َويَتفك ُرون ِِف خل ِق ٱلسمٰو‬ ٰ َ َ ‫ودا َو‬
ُ ‫لَع‬ ٗ ُ ُ َ َٰٗ َ ‫ذ‬
‫ٱّلل ق ِيما وقع‬
‫ُۡ َ َ َ َ َ َ َ َ ذ‬
﴾۱۹۱﴿ ‫ار‬ ِ ‫سبحٰنك فقِنا عذاب ٱنل‬

Hikmah Ke-15

‫ِم َّما يَدُ م َل عَ ََل ُو ُج ْو ِد قَهْ ِر ِه ُس ْب َحان َ ُه َأ َّن ِح َج َب َك َع ْن ُه بِــ َما لَيْ َس بِـ َم ْو ُج ْو ٍد َم َع ُه‬
15. “Diantara sesuatu yang menunjukan terhadap wujud qohar nya Allah adalah
keterhijabanmu dari Allah oleh sesuatu yang tidak wujud bersama-Nya (Allah)”
Substansi : Penghalang antara kita dengan Allah
Kalimat Inti : 1. ‫قـهـر‬ : Sifat Allah yang maha pemaksa

2. ‫ليس مبوجود‬ : Tidak Ada

Masalah : Salik sering kesulitan meyakini alam ini ada atau tidak ada ketika alam
ini disebut ada sering mengakibatkan bahwa Allah tidak disini
dianggap diatas sana, ketika menyebut tidak ada otak sulit menerima
karena alam ini nyata ada.

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Ar Ra’d ayat 16 :


ٗ‫سه ۡم َن ۡفعا‬ ُ َ َ ُ ۡ َ َ ََٓ َۡ ٓ ُ ُ ۡ َ‫ُ ذُ ُۡ ََ ذ‬ َ ۡ َ َ َ ‫ُ ۡ َ ذ ُّ ذ‬
ِ ِ ‫ۡرض ق ِل ٱّللۚۡ قل أفٱَّتذتم مِن دونِهِۦ أو َِلاء َل يملِكون ِۡلنف‬ ِ ‫ت وٱۡل‬ ِ ٰ ‫قل من رب ٱلسمٰو‬
َ‫ُش ََكٓء‬ َ ‫ور أَ ۡم‬
َ ُ ِ‫ج َعلُوا ْ ِ ذّلل‬ ُ ُّ‫ت َوٱنل‬ ُ ٰ‫ٱلظلُ َم‬
ُّ َ ۡ َ ۡ َ َۡ ُ َۡ َ َ ۡ َ ۡ
‫صري أم هل تست ِوي‬
ۡ ُۡ ٗ َ ََ
ٰ ‫ض ۚۡا قل َهل ي َ ۡستَ ِوي ٱۡلع‬
ِ ‫م وٱۡل‬ ‫وَل‬
َۡ ۡ ۡ َ ‫ٱّلل َخٰل ُِق ُك‬ ۡ ََ َ ََ
ُ ‫ٱۡلَلۡ ُق َعلَ ۡيه ۡم قُل ذ‬ ۡ َ َ ْ َُ َ
﴾۱۶﴿ ‫َش ٖء َو ُه َو ٱل َوٰح ُِد ٱلق ذٰه ُر‬ ِ ِ ِ ۡۚ ‫ه‬‫ب‬ ٰ
‫ش‬ ‫ت‬ ‫ف‬ ‫ۦ‬ ‫ه‬
ِ ‫ق‬
ِ ‫خلقوا كخل‬

Hikmah Ke-16

َّ ُ ‫َك ْي َف يُ َت َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َّ ِالى َأ ْظه ََر‬


‫لك َش ْ ٍئي‬

10
16. “Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, sedangkan
Allahlah yang menampakan segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُتَ َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َّ ِالى َظه ََر ِب ُ ِد‬
‫ك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal Allah
tampak dengan segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُ َت َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َّ ِالى َظه ََر ِِف ُ ِ د‬
‫لك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal Allah
tampak dalam segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُ َت َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َّ ِالى َظه ََر ِل ُ ِد‬
‫ك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal Allah
tampak terhadap segala sesuatu?”

َّ ‫َك ْي َف يُتَ َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو‬


‫الظا ِه ُر قَ ْب َل ُو ُج ْو ِد ُ ِ د‬
‫لك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal Allah yang
nampak sebelum ada segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُتَ َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َأ ْظه َُر ِم ْن ُ ِ د‬


‫لك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal Allah
paling jelas (nampak) daripada segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُتَ َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو الْ َوا ِحدُ َّ ِالى لَيْ َس َم َع ُه َش ْ ٌئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, sedangkan Allah
Yang Satu yang tidak ada sesuatu pun bersama-Nya?”

‫َك ْي َف يُ َت َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َوه َُو َأ ْق َر ُب الَ ْي َك ِم ْن ُ ِ د‬


‫لك َش ْ ٍئي‬
ِ
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, sedangkan Allah
lebih dekat kepadamu daripada segala sesuatu?”

‫َك ْي َف يُ َت َص َّو ُر َا ْن َ َْي ُج َب ُه َش ْ ٌئي َولَ ْو َل ُه َما ََك َن ُو ُج ْو ُد ُ ِ د‬


‫لك َش ْ ٍئي‬
“Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang sesuatu, padahal jika tidak
ada Allah, niscaya segala sesuatu tidak akan ada?”

‫ َك ْي َف ي َ ْظه َُر الْ ُو ُج ْو ُد ِِف الْ َعدَ ِم‬،‫ََي َ ََع َبا‬


“Sungguh ajaib, bagaimana mungkin yang wujud menampak dalam ketiadaan?”

‫َا ْم َك ْي َف يَــثْبُ ُت الْ َحاد َُث َم َع َم ْن َ ُِل َو ْص ُف الْ ِقدَ ِم‬


“Atau bagaimana mungkin sesuatu yang baru, menetap bersama Allah yang memiliki
sifat terdahulu?”

11
Substansi : Dhohirnya Allah. Salah satu Asma Allah adalah Ad-dhohir
Kalimat : 1. ‫َيجبه‬ : Menghalangi
Inti
2. ‫لك يشء‬ : Segala Sesuatu

Masalah : Salik sering kesulitan meyakini alam ini ada atau tidak ada ketika alam ini
disebut ada sering mengakibatkan bahwa Allah tidak disini dianggap diatas
sana, ketika menyebut tidak ada otak sulit menerima karena alam ini nyata
ada.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 3:
ُ ‫ٱلظه ُر َو ۡٱۡلَاط ُِن َو ُه َو ب‬
ۡ َ ‫كل‬
﴾۳﴿ ‫َش ٍء َعلِيم‬
ٰ‫ُ َ ذ‬
‫و‬ ‫ِر‬‫خ‬‫ٱٓأۡل‬‫و‬َ ‫ُه َو ۡٱۡلَ ذو ُل‬
ِ ِ ِ

Hikmah Ke-17

ُ ‫َماتَ َركَ ِم َن الْـ َجه ِْل َشيْئًا َم ْن َأ َرا َد َأ ْن ُ َْي ِد َث ِِف الْ َو ْق ِت غَ ْ َْي َما َأ ْظه ََر ُه‬
‫هللا ِف ْي ِه‬
17. “Betapa bodoh orang yang menginginkan terjadinya sesuatu diluar waktu yang
dikehendaki Allah”
Substansi : Penghalang antara kita dengan Allah
Kalimat Inti : 1. ‫اجلهل‬ : Bodoh

2. ‫ما اظهر‬ : Perkara yang di dhohirkan

Masalah : Seorang salik sering terkecoh bahwa yang disebut ijabah Allah adalah
kejadian yang dianggap luar biasa, seperti, berjalan diatas air, tidak
mempan senjata tajam atau peluru, menyingkat waktu, melipat tempat,
padahal sebenarnya apa yang sedang dia alami itulah Qudrat Ilahi dan
sesuatu yang mahal luar biasa.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 216 :
ْ َ ْ َ َٰٓ َ َ ْ ُ ‫ُ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ُ َ ُ َ ُ ْ ذ‬
ُ ‫ك َر ُه ْوا َشيْـًا ذو ُه َو َخ ْري لذ‬
‫ك ْم ۚۡ َو َع َٰٰٓٓس‬ ‫كتِب عليكم القِتال وهو كره لكم ۚۡ وعٰٓس ان ت‬
َ َ َ َ ْ َ َ ُ ‫َ ْ ُ ُّ ْ َ ْ ً ذ ُ َ َ ٌّ ذ ُ ْ َ ه‬
٢١٦ ࣖ ‫اّلل َي ْعل ُم َوانتُ ْم َل ت ْعل ُم ْون‬‫ُتِبوا شيـا وهو ُش لكم و‬‫ان‬

Hikmah Ke-18

‫ا َحالَ ُت َك ْ َال ْ ََعا َل عَ َٰل ُو ُج ْو ِد الْ َف َرا ِغ ِم ْن ُر ُع ْونَ ِت النَّـ ْف ِـس‬


18. “Menunda amal karena menantikan kesempatan lebih baik (waktu luang) adalah
ِ
tanda dari kebodohan diri”
Substansi : Tipuan mengulur waktu

12
Kalimat Inti : 1. ‫احاَل‬ : Mengulur-ulur waktu

2. ‫الفراغ‬ : Keleluasaan

Masalah :
Sering seorang salik mengalami untuk melakasanakan tugas ibadah
mengalami kemalasan atau dihinggapi sifat malas. Mau melaksanakan
amal kalau menemukan kesempatan yang leluasa dan perlengkapan
yang sempurna.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Insyiroh ayat 7 :

ۡ ‫ٱنص‬
﴾۷﴿ ‫ب‬ َ ‫فَإذَا فَ َر ۡغ‬
َ َ‫ت ف‬
ِ
Hikmah Ke-19

َ َ ‫َلت َْطلُ ْب ِم ْن ُه َأ ْن ُ ْي ِر َج َك ِم ْن َح َ ٍاَل ِليَ ْس َت ْع َم‬


َ َ ‫ فَلَ ْو َأ َرادَكَ َل ْس َت ْع َم‬،‫كل ِف ْي َما ِس َواهَا‬
‫كل ِم ْن غَ ْ ِْي‬
‫ا ْخ َرا ٍج‬
ِ
19. “Janganlah pernah meminta kepada Allah untuk mengeluarkanmu dari suatu
keadaan supaya Allah menempatkanmu pada keadaan yang lain. Jika Allah
menghendakimu, niscaya Allah membuatmu beramal tanpa perlu mengeluarkanmu
(dari keadaan)”
Substansi : Pasrah dalam peningkatan Maqom
Kalimat : 1. ‫ان يـخـرجك‬ : Mengeluarkan
Inti
2. ‫لـيـستـعـمـلـك‬ : Menggunakan

Masalah : Seorang salik sering diganggu oleh nafsu dan syaitan tergesa-gesa ingin
naik Maqom.
Firman Allah Dalam Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 30 :
ۢ ‫ت م ِْن ُس ْوْۤ ٍء ۛ تَ َو ُّد ل َ ْو اَ ذن بَيْنَ َها َوبَيْنَ ٗ ٓه اَ َم ًدا‬
ْ َ‫َضا َۛو َما َعمل‬
ً َ ْ‫ت م ِْن َخ ْري ُُّّم‬ْ َ‫ك َن ْفس ذما َعمل‬ ُّ ُ ُ َ َ ْ َ
ِ ٍ ِ ٍ ‫َتد‬ِ ‫يوم‬
ْ ُ ‫اّلل َن ْف َس ٗه َو ه‬
ُ ‫ك ُم ه‬ ُ ‫حذ ُِر‬ َ ُ‫بَعِيْ ًدا َوي‬
٣٠ ࣖ ‫اّلل َر ُء ْو ۢف بِالعِبَا ِد‬
Hikmah Ke-20

‫ َّ ِالى ت َْطلُ ُب‬:‫ال َأ ْن تَ ِق َف ِع ْندَ َما ُك ِش َف لَهَا ِا َّل َونَ َدتْــ ُه ه ََواتِ ُف الْ َح ِق ْيقَ ِة‬ ٍ ِ ‫َما َا َراد َْت ِهـ َّم ُة َس‬
‫ ان َّ َما َ ْْن ُن ِف ْتنَ ٌة فَ ََّل تَـ ْكفـُ ْر‬:‫ َو َل َ َّتَب َج ْت َظ َوا ِه ُر الْ ُم َك َّونَ ِت ا َّل َونَ َدت َْك َحقَائِ ُقهَا‬،‫َأ َما َم َك‬
ِ
20. “Semangat seorang salik tidak akan berhenti ketika sesuatu telah terbuka baginya
ِ
(mukasyafah) kecuali hawatiful haqiqah (suara-suara hakikat) membisikan
(memperingatkan) kepadanya bahwa ‘apa yang kamu cari masih ada di depanmu!’
(teruslah berjalan ke depan). Demikian pula alam semesta (dunia) tidak akan

13
menampakan keindahan melainkan hakikatnya memperingatkan (menyeru)
‘sesungguhnya kami semata-mata adalah ujian (fitnah) maka janganlah tertipu sehingga
menjadi kufur”
Substansi : Mengalami keluarbiasaan seperti ijabah do’a, terjadi hal yang luar biasa
(Khowarik) pada diri kita. Sering menjadi jebakan atau dengan kata lain
jebakan keluarbiasaan.
Kalimat Inti : 1. ‫ مهة‬: Semangat
2. ‫ ان تقف‬: Berdiam
3. ‫ هواتف‬: Suara Hakikat
4. ‫ امامك‬: di Depanmu
Masalah : Terkadang seorang salik mengalami keterbukaan ma’rifat atau ijabah do’a
maka hati-hatilah karena keterbukaan tersebut sering menjadi ranjau untuk
seorang salik, mengalami keterbukaan atau ijabah sering merasa sudah
besar, ia terjebak, ia mengurangi amalan.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Araf ayat 96-97:
‫َ ذ‬ ٰ َْ ْ َ‫َول َ ْو اَ ذن اَ ْه َل الْ ُق َٰٓرى ا ٰ َمنُ ْوا َو ذات َق ْوا لَ َفت‬
‫حنَا َعلَيْه ْم بَ َركٰت م َِن ذ‬
‫ك ْن كذبُ ْوا‬ ِ ‫الس َماْۤ ِء َواَل ْر ِض َول‬ ٍ ِ
َ َ ً ْ ْ ْ َ ْ
ُ ُْ َ َََ َ ْ ُ َ ْٰ َ ََ
٩٧ ‫ افام َِن اهل الق َٰٓرى ان يذأتِيَ ُه ْم بَأ ُسنَا َبيَاتا ذو ُه ْم ناْۤىِٕ ُم ْون‬٩٦ ‫فاخذن ُه ْم ب ِ َما َكن ْوا يَكسِبُ ْون‬
Hikmah Ke-21

‫ َو َطلَ ُب َك‬، ‫ َو َطلَ ُب َك ِلغ ْ َِْي ِه ِل ِق َّ ِةل َح َيائِ َك ِم ْن ُه‬، ‫ َو َطلَ ُب َك َ ُِل غَ ْي َب ٌة ِم ْن َك َعن ْـ ُه‬، ‫َطــلَ ُب َك ِم ْن ُه ا ِت دــهَا ٌم َ ُِل‬
ِ
‫ِم ْن غَ ْ ِْي ِه ِل ُو ُجو ِد بُ ْع ِدكَ َع ْن ُه‬
21. “Ketika kau berdo’a meminta (rezeki) dari Allah berarti kau telah berprasangka
buruk (salah sangka) pada Allah. Ketika kau meminta (agar Allah mendekatkan dirimu)
kepada Allah menunjukan engkau lenyap dari Allah, dan ketika engkau meminta kepada
selain Allah berarti engkau tidak punya rasa malu kepada Allah, dan ketika engkau
meminta dari selain Allah berarti kau jauh dari Allah”
Substansi : Keseimbangan antara meminta dan kepasrahan
Kalimat Inti : 1. ‫اهتام‬ : Salah sangka

2. ‫اغيبة‬ : Kehilangan

3. ‫بعد‬ : Jauh

Masalah : Salik Terjebak ketika meminta menganggap Allah belum mengetahui


keperluannya, bahkan ketika meminta ia memaksa.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 216 :

14
ُ ْ َ ْ َ ْ َ َٰٓ َ َ ْ ُ ‫ُ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ُ َ ُ َ ُ ْ ذ‬
ُ ‫ك َر ُه ْوا َشيْـًا ذو ُه َو َخ ْري لذ‬
‫ك ْم ۚۡ َو َع َٰٰٓٓس ان ُت ُِّب ْوا‬ ‫كتِب عليكم القِتال وهو كره لكم ۚۡ وعٰٓس ان ت‬
َ َ َ َ ْ َ َ ُ ‫َ ْ ً ذ ُ َ َ ٌّ ذ ُ ْ َ ه‬
٢١٦ ࣖ ‫اّلل َي ْعل ُم َوانتُ ْم َل ت ْعل ُم ْون‬‫شيـا وهو ُش لكم و‬

Hikmah Ke-22

‫َما ِم ْن ن َ َف ٍس تُـ ْب ِدي ِه ِا َّل َو َ ُِل قَدَ ٌر ِف ْي َك يُ ْم ِض ْي ِه‬


22. “Tiada suatu nafas berhembus bagimu, kecuali disitu takdir Allah berlaku padamu”
Substansi : Umur (kesempatan)

Kalimat Inti : 1. ‫نفس‬ : Nafas


: Kerelaan
2. ‫قدر‬
Masalah : Seorang salik sering lupa nafas itu sesuatu yang sangat berharga dan
berguna.
Firman Allah Dalam Al Qur’an Surat Faatir ayat 11:
‫ُْ ٰ َ َ َ ذ‬ ُ َْ ً ‫ك ْم اَ ْز َو‬ُ َ‫ج َعل‬ َ ‫ك ْم مِ ْن تُ َراب ُث ذم م ِْن ُّن ْط َفة ُث ذم‬ ُ ‫اّلل َخلَ َق‬ ُ ‫َو ه‬
‫اجا َو َما ُت ِمل م ِْن انٰث َوَل تض ُع ا َِل‬ ٍ ٍ
١١ ‫س ْري‬ َ ‫ذ ٰ َ ََ ه‬ ٰ‫بعلْمه َو َما ُي َع ذم ُر م ِْن ُّم َع ذمر ذو ََل ُينْ َق ُص م ِْن ُع ُمره ٓ ا ذَِل ِفْ كِت‬
ِ ‫ب ا ِن ذل ِك لَع اّللِ ي‬
ِۗ ٍ ِ ِٖ ٍ ِٖۗ ِ ِ ِ
Hikmah Ke-23

‫َلت َ ََـرتقَّ ْب فُ ُر ْو َغ ْ َاْل ْغ َيا ِر فَ ِا َّن ٰذ َل ي َ ْق َط ُع َك َع ْن ُو ُج ْو ِد الْ ُم َراقَ َب ِة َ ُِل ِفميَا ه َُو ُم ِقمي ُ َك ِف ْي ِه‬
23. “Janganlah menunggu hingga selesai gangguan makhluk, sebab yang demikian itu
akan memutuskanmu dari murqobah (mawas diri) kepada Allah dalam maqam yang
telah Allah tetapkan untukmu”

Substansi : Menunggu-nunggu bersih dari selain Allah


Kalimat Inti : 1. ‫فروغ االغيار‬ : Hilangnya segala sesuatu selain
: Pendekatan
2. ‫المراقبة‬

Masalah : Seorang salik malas melakukan ibadah karena ingin bersih dulu qolbu
dari selain Allah, padahal justru dengan melaksanakan amal itulah akan
menghasilkan kebersihan qolbu dari selain Allah.

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Addukhon ayat 59 :


َ َ ‫َ َْ ْ ذ‬
٥٩ ࣖࣖ ‫ب ا ِن ُه ْم ُّم ْرتقِبُ ْون‬ِ‫فارتق‬

15
Hikmah Ke-24

‫َلت َ ْس تَغ ْـ ِر ْب ُوقُ ْو َع ْاْلَ ْكدَ ِار َما ُد ْم َت ِِف ٰه ِذ ِه ا َّدلا ِر فَ إانَّـهَا َما َأ ْب َر َز ْت ا َّل َما ه َُو ُم ْس تَ َح مق َو ْص ِفهَا‬
ِ
‫َو َو ِاج ُب ن َ ْعُتِ َا‬
24. “Jangan engkau merasa heran atas terjadinya kesulitan (dosa) selama engkau berada
di dunia ini. Sebab ia (dunia) tidak akan menampakan sesuatu kecuali sesuatu itu telah
menjadi hak dan kewajibannya”
Substansi : Sok Suci
Kalimat Inti : 1. ‫األكدار‬ : Kotoran
: Nampak
2. ‫أبرزت‬

Masalah : Seorang salik sering terjebak karena semangat ingin suci tapi masih
terpeleset pada kotoran, maka akibatnya meninggalkan tugas.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat An-Najm ayat 32 :
ُ َ‫ك ْم ا ِذْ اَن ْ َشا‬ َ ‫َ ذ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ٰ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ ذ ذ َ َ َۙ ذ َ ذ‬
ُ ‫ك َواس ُِع ال ْ َم ْغف َرة ِ ُه َو اَ ْعلَ ُم ب‬
‫ك ْم‬ ِ ِۗ ِ ‫اَلث ِم والفواحِش ا َِل اللمم ا ِن رب‬ ِ ‫اَّلِين َيتنِبون كبْۤىِٕر‬
ٰ‫ذ‬ َْ َ ُ ‫ك ْم فَ ًَل تُ َز ُّك ْٓوا اَنْ ُف َس‬ َْ َ
ُ ‫اَل ْر ِض َوا ِذْ اَنْتُ ْم اَج ذنة ِفْ ُب ُط ْون اُ ذم ٰهت‬
٣٢‫ق‬ ࣖ ‫ك ْم ُه َو اعل ُم ب ِ َم ِن ات‬ ِ ِ ِ ِ ‫مِن‬

Hikmah Ke-25

َ َّ َ‫َمات ََوقَّ َف َم ْطلَ ٌب َان َْت َطا ِلــ ُب ُه ِب َرب د َِك َو َل تَي‬
‫َّس َم ْطلَ ٌب َان َْت َطا ِلــ ُب ُه ِبنَ ْف ِس َك‬
25. “Permintaan tidak akan sulit selama engkau memohon (hanya) kepada Allah. Dan
permintaan tidak akan mudah selama engkau bergantung pada dirimu sendiri.”

Substansi : Ingin meningkatkan maqom oleh sendiri


Kalimat Inti : 1. ‫توقف‬ : Macet
: Mudah
2. ‫تيسر‬
Masalah : Seorang salik sering terlalu percaya diri menganggap bahwa mencapai
peningkatan tingkat Qurbah dengan kemampuan sendiri.
Hikmah Ke-26

ِ ‫ِم ْن عَ ََّل َم‬


ِ ‫ات النَّـ ْج ِح ِِف ِ دالْنَ َاَي ِت مالر ُج ْو ُع ِا ََل‬
‫هللا ِِف البِدَ َاَي ِت‬
26. "Diantara tanda-tanda keberhasilan pada akhir perjuangan (wusul kepada Allah)
adalah berserah diri (kembali) kepada Allah sejak permulaan”

Substansi : Keberhasilan di akhir tergantung perjuangan di awal

16
Kalimat Inti : 1. ‫النـجـح‬ : Selamat/keberhasilan
: Penghujung
2. ‫النـهايـات‬
: Tahap awal
3. ‫البدايـات‬
Masalah : Seorang salik sering terjebak dengan tipuan syaitan, ingin mencapai
Khusnul Khotimah (baik di penghujung) tanpa Khusnul Bidayah (baik
diawal). Ia terlena menunggu kebaikan di penghujung tanpa
memperjuangkan kebaikan di tahap awal, padahal kebaikan di
penghujung itu hasil dari pada perjuangan di tahap awal.

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al-Fajr ayat 28 :


ً ْ ‫َ ًَ ذ‬ ٰ ْٓ ْ
٢٨ ۡۚ ‫ض ذية‬
ِ ‫اضية مر‬ ِ ِ ‫ع ا ِِل َرب‬
ِ ‫كر‬ ِ‫ج‬
ِ ‫ار‬

Hikmah Ke-27

‫ْشقَ ْت ِنـهَايَتُـ ُه‬


َ ْ ‫َم ْن َا ْش َـرقَ ْت بِدَ ايَتُـ ُه َأ‬
27. “Barangsiapa bersinar permulaannya maka bersinar pula penghujungnya”

Substansi : Keberhasilan diakhir tergantung perjuangan diawal


Kalimat Inti : 1. ‫البدايـات‬ : Tahap awal
: Penghujung
2. ‫النـهايـات‬

Masalah : Seorang salik sering terjebak dengan tipuan syaitan, ingin mencapai
Khusnul Khotimah (baik di penghujung) tanpa Khusnul Bidayah (baik
diawal). Ia terlena menunggu kebaikan di penghujung tanpa
memperjuangkan kebaikan di tahap awal, padahal kebaikan di
penghujung itu hasil dari pada perjuangan di tahap awal.

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Ankabut ayat 69 :


َ ْ ‫سن‬ َ َ َ ْ ‫َ ذ‬
ْ ْ َ َ ‫اه ُد ْوا فِيْنَا َنلَ ْهد َِي ذن ُه ْم ُسبُلَنَا َوا ذِن ه‬
٦٩ ࣖ ‫ِي‬ ِ ‫اّلل ل َم َع ال ُمح‬ ‫واَّلِين ج‬
Hikmah Ke-28

َّ ‫الَّسائِ ِر َظه ََر ِِف َشهَا َد ِة‬


‫الظ َوا ِه ِر‬ َ َّ ‫ااسـت ُـو ِد َع ِِف غَ ْي ِب‬
ْ ‫َم‬
28. “Sesuatu yang disimpan rapat di dalam hati (batin) akan nampak pada lahiriyahnya”

Substansi : Dhohir gambaran bathin


Kalimat Inti : 1. ‫ استودع‬: Disimpan
2. ‫ السرائر‬: Bathiniyah
3. ‫ الظواهر‬: Dhohiriyah

17
: Seorang salik sering merasa sudah baik bathinnya padahal orang lain
melihat keburukan dhohirnya, ia sulit dinasehati karena merasa sudah
besar.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al-Hadiid ayat 13 :
ُ ‫ارج ُع ْوا َو َرا َْۤء‬
‫ك ْم‬ ْ ‫ت ل ذَِّل ِْي َن ا ٰ َمنُوا انْ ُظ ُر ْونَا َن ْقتَب ْس م ِْن نُّ ْور ُك ْم قِيْ َل‬ ُ ‫يَ ْو َم َي ُق ْو ُل ال ْ ُمنٰفِ ُق ْو َن َوال ْ ُمنٰفِ ٰق‬
ِ ۡۚ ِ ِ
ُ ‫ْح ُة َو َظاه ُِر ٗه م ِْن ق ِبَلِهِ الْ َع َذ‬
َ ْ ‫الر‬
‫ب بَاطِنُ ٗه فِيْهِ ذ‬ َ‫َض َب بَيْنَ ُه ْم ب ُس ْور ذ َّٗل ب‬ ُ َ‫اْلَم ُس ْوا نُ ْو ًرا ف‬ ْ َ
١٣ ‫اب‬ ِۗ ‫ا‬ ٍ ِ ِ ِ ‫ف‬

Hikmah Ke-29

‫ الْ ُم ْس تَ ِد مل ِب ِه َع َر َف الْ َح َّق ِ َله ِ ِْل فَأَثْبَ َت ْ َال َمر‬،‫َش تَّ ِان ب َ ْ َي َم ْن ي َْس تَ ِد مل ِب ِه َا ْو ي َْس تَ ِد مل عَلَ ْي ِه‬
‫اب َح َّىت ي ُْس تَدَ َّل‬ َ َ‫ َوا َّل فَ َم َىت غ‬،‫ َوال ْس تِدْ َل ُل عَلَ ْي ِه َم ْن عَ ِد َم ُالو ُص ْو َل ِال ْي ِه‬،‫ِم ْن ُو ُج ْو ِد َأ ْص ِ ِل‬
ِ ِ
ِ.‫ِه ال َّ ِىت ت ُْو ِص ُل ِالَ ْيه‬
َِ ‫عَلَ ْي ِه َو َم َىت ب َ ُعدَ َح َّىت تَ ُك ْو َن ْاْلْ َث ُر‬
29. “Jauh berbeda antara orang yang sudah wusul kepada Allah (yastadillu bih /
murōdūn) dengan orang yang masih meraba-raba (yastadillu ‘alaih / murīdīn). Orang
yang sudah wusul kepada Allah (yastadillu bih / murōdūn) adalah orang yang mengetahui
Allah (ma’rifat) yang dipandu oleh Allah. Sehingga ia menetapkan urusan (makhluk)
dari wujud aslinya (Allah). Dan orang yang masih meraba-raba (yastadillu ‘alaih /
murīdīn) adalah orang yang mencari petunjuk kepada Allah melalui alam. Karena,
kapan Allah lenyap sehingga dia mencari petunjuk tentang Allah? Dan kapan Allah jauh
sehingga makhluk dijadikan perantara untuk sampai kepada Allah? “

Substansi : Perbedaan yang mencolok dalam perjalanan menuju Allah antara orang
yang masih meraba-raba melalui alam dan orang yang sudah tembus.
Kalimat Inti : 1. ‫من يستدل به‬ : Orang yang sudah wusul dalam ma’rifat telah
dipandu oleh Allah
: Orang-orang yang masih meraba-raba
2. ‫يستدل عليه‬ petunjuk melalui alam

Masalah : Pada tahap awal, salik harus ‫ يستدل عليه‬mencari petunjuk dari alam
menuju Allah untuk mencapai ‫ يستدل به‬dipandu oleh Allah terkadang
salik tergesa- gesa ingin ‫ يستدل به‬tidak tekun dalam ‫ يستدل عليه‬.

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Isro ayat 11 :


ً ُ َ ُ َ ْ ْ َ َ َ ْ َْ ٗ َ َ ُ ‫َ َ ْ ُ ْ ْ َ ُ ذ‬
١١ ‫ج ْوَل‬ ‫اَلنسان ع‬
ِ ‫ريِۗ وَكن‬
ِ ‫الّش دَعْۤءه بِاۡل‬
ِ ِ ‫اَلنسان ب‬
ِ ‫ويدع‬

Hikmah Ke-30

‫السائِ ُر ْو َن ِالَ ْي ِه‬


َّ ‫ِل ُي ْن ِف ْق ُذ ْو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه الْ َو ِاصلُ ْو َن ِالَ ْي ِه َو َم ْن قُ ِد َر عَلَ ْي ِه ِر ْزقُ ُه‬
18
30. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang
yang mampu adalah orang yang telah sampai kepada Allah (wāsilīn). Dan orang yang di
sempitkan rezekinya adalah orang yang masih dalam perjalanan kepada Allah (sāirīn) “
Substansi : Orang yang bisa membimbing ruh orang lain adalah orang yang sudah
sampai ketingkat ma’rifat. Orang yang belum sampai jangan
memposisikan diri membimbing ruh orang lain.
Kalimat Inti : 1. ‫لينفق‬ : Membimbing
: Orang-orang yang sampai (ahli ma’rifat)
2. ‫الوصالون‬ : Orang yang masih dalam perjalanan
3. ‫السائرون‬
Masalah : Sering terjadi amalan seorang salik tidak dibarengi dengan ikhlas.
Ikhlas adalah bersih hati dari seluruh gangguan penyakit hati, ruh
menembus alam lahut tidak terhambat oleh gangguan mulki, malakut
dan jabarut.
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Aththolaq ayat 7 :
ٓ َ ‫ُْ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َْ ُْٗ َ ُْْ ْ ذ ٓ ٰٰ ُ ه ُ َ ُ َ ُ ه ُ َ ْ ً ذ‬
‫َِلن ِفق ذو سع ٍة مِن سعتِ ٖهِۗ ومن قدِر عليهِ ِرزقه فلين ِفق مِما اتىه اّلل َل يكلِف اّلل نفسا ا َِل ما‬
ُ ‫ج َع ُل ه‬
ً ْ ُّ ‫اّلل َب ْع َد ُع ْس ي‬
٧ ࣖ ‫سا‬ َ ٰ‫اٰت‬
ْ َ‫ىها َسي‬
ٍ
Hikmah Ke-31

‫ال َّولُ ْو َن ِل ْ ََّلن َْوا ِر َو َه ُؤ َل ِء‬


َ ْ َ‫اْج ِة؛ ف‬
َ َ ‫ َوالْ َو ِاصلُ ْو َن لَهُ ْم َان َْو ُار الْ ُم َو‬،‫ِا ْه َتـدَ ى َّالرا ِحلُ ْو َن ِالَ ْي ِه ِبأَن َْوا ِر التَّ َـو مج ِه‬
﴾‫هللا ث ُـ َّم َذ ْر ُ ُْه ِِف خ َْو ِضهِ ْم يَلْ َع ُب ْو َن‬ ُ ‫ْ َال َنو ُار لَه ُْم ِ َلهنَّ ُ ْم ِهلل َل ِل َش ْ ٍئي د ُْون َ ُه ﴿قُ ِل‬
31. “Orang yang masih dalam perjalanan menuju Allah (rāhilūn) mendapatkan cahaya
petunjuk melalui cahaya tawajjuh (menghidupkan diri). Sementara orang yang telah
sampai kepada Allah (wāsilūn) memiliki cahaya muwājahah (saling
berhadapan/papencrong-pencrong). Golongan pertama (rāhilūn) adalah milik cahaya,
sedangkan golongan kedua (wāsilūn) adalah memiliki cahaya “. Sebab mereka itu milik
Allah bukan milik sesuatu selain-Nya. ( katakanlah Allah-lah yang menurunkannya.
Kemudian sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka biarkan mereka
bermain-main dalam kesesatan mereka) (Q.S. Al-An’am : 91 )

Substansi : Perjalanan Menuju Allah


Kalimat Inti : 1. ‫الراحلون‬
ّ : Orang yang masih dalam perjalanan
: Cahaya menghidupkan diri
2. ‫نوار التوجه‬

Masalah : Salik terjebak karena berhenti sebelum sampai

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al-An’am ayat 91 :

19
َ ْ ‫ب ذاَّل‬ َ ٰ‫َش ٍء قُ ْل َم ْن اَن ْ َز َل الْكِت‬َ ْ َ َ ٰ َ ُ‫ْ َ ُْ َ ٓ َََْ ه‬ َْ ‫ََ ََ ُ هَ َ ذ‬
ٖ‫ِي جا َْۤء بِه‬ ِۗ ْ ‫ِن‬ ‫م‬ ‫ّش‬
ٍ ‫وما قدروا اّلل حق قد ِره ٖ ٓ ا ِذ قالوا ما انزل اّلل لَع ب‬
ٓ َ َ ْ ُ ْ َ ْٓ ُ َ ْ َ ْ َ ‫َ ْ َ ُ ْ َ ٗ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ ً َ ُ ْ ُ ْ ذ‬ ‫ُم ْو ٰٰس نُ ْو ًرا ذو ُه ًدى لِ ذ‬
‫اس َتعلونه قراطِيس تبدونها وَّتفون كثِرياۚۡ وعلِمتم ما لم تعلموا انتم وَل‬ ِ ‫لن‬
َ ْ َ ُ َ ُ ُ ‫ك ْم قُل ه‬ ُ ‫اٰبَا ُْۤؤ‬
٩١ ‫ض ِه ْم يَل َعبُ ْون‬
ِ ‫اّلل َۙث ذم ذ ْره ْم ِِفْ خ ْو‬ ِ
Hikmah Ke-32

‫تَشَ موفُ َك ا ََل َما ب َ َط َن ِف ْي َك ِم َن الْ ُع ُي ْو ِب خ ْ ٌَْي ِم ْن تَشَ مو ِف َك ا ََل َما ُحجِ َب َع ْن َك ِم َن الْ ُغ ُي ْو ِب‬
ِ ِ
32. “Perhatianmu terhadap aib yang tersembunyi (samar) dalam diri lebih baik daripada
perhatianmu terhadap kegaiban yang terhalang darimu”
Banyak orang salah jalan dalam bersuluk, mengamalkan tarekat, yaitu ia menunggu-
nunggu ingin mendapatkan mughoyyabat (hal-hal gaib) seperti bisa mengetahui hal-hal yang
akan terjadi. Mau mendapatkan yang aneh-aneh; bisa terbang, pergi ke mekah sekejap mata.
Mau jadi orang yang luar biasa supaya terkenal dan lain-lain. Bertasawuf dan bertarekat seperti
ini keliru.
Sebagian kita kadang punya fikiran "kenapa ya, sudah sekian tahun mengamalkan
tarekat, tapi kok masih gini-gini aja?". Memangnya anda mau apa? Mau pamer kehebatan,
unjuk "kedekatan" dengan Allah, sehingga bisa ngatur-ngatur Allah? Semua yang anda mau
bisa langsung terwujud?
Bukan begitu, justru dengan bertarekat mendidik kita agar bisa lebih pasrah dan
menerima akan ketentuan-ketentuan Allah.
Biasa aja seperti ini. Kadang pahit - kadang manis, kadang susah - kadang senang,
kadang cukup uang - kadang kekurangan, kadang mengalami pertengkaran dengan istri -
kadang harmonis.
Mengamalkan tarekat itu belajar memperbaiki diri, bukan untuk mendapatkan
kesaktian atau karomah. Adapun ketika dalam proses memperbaiki diri, lalu Allah
menampakkan keanehan-keanehan atau karomat pada diri kita itu bukan tujuan, bahkan bisa
menjadi jebakan. Berhati-hatilah.
Maka, memperhatikan diri, sehingga kita tahu kelemahan-kelemahan diri; lemah iman,
lemah ibadah, lemah ketahanan mental, lemah baca al quran, lemah dzikir, lemah dalam tolong
menolong, lemah dalam shodaqoh dan kelemahan-kelemahan lain, itu lebih baik daripada kita
terus mengejar-ngejar kegaiban, ini kalau tidak dibimbing oleh ahli akan banyak orang
mengamalkan tarekat untuk mendapatkan kesaktian atau keanehan lainnya.
Menurut imam al Ghazali r.a, ada 4 cara agar kita mengetahui kelemahan diri;
1. Sering berkumpul dengan guru yang mengetahui dan mengingatkan kita akan kekurangan
diri sendiri.
2. Bergaul dengan teman-teman yang mau dan berani menasihati kita, ketika salah.
3. Mengetahui kelemahan dan kekurangan diri dari orang-orang yang membenci kita.

20
4. Melihat kelemahan yang ada pada orang lain, untuk kemudian menelitinya dalam diri kita.
Ketika bertemu dengan orang kikir, lihatlah kedalam diri sendiri, jangan-jangan kita
juga sama. Melihat orang malas ibadah atau bekerja, ingatlah malas itu juga ada pada diri kita,
dan seterusnya.
Hikmah ke 33
‫َالْ َح مق لَيْ َس ِب َم ْح ُج ْو ٍب َوان َّ َما الْ َم ْح ُج ْو ُب َأن َْت َع ِن النَّ ْظ ِر الَ ْي ِه ا ْذ لَ ْو َح َج َب ُه َش ْ ٌئي لَ َس َ َرت ُه َما َح َج َب ُه‬
ِ ِ ِ
‫َش ٍء فَه َُو َ ُِل قَا ِه ٌر َوه َُو الْقَا ِه ُر فَ ْو َق ِع َبا ِد ِه‬ ْ َ ‫ارص ِل‬ ٌ ِ ‫َولَ ْو ََك َن َ ُِل َسا ِت ٌر لَ َاك َن ِل ُو ُج ْو ِد ِه َح‬
‫ارص َو ُ م‬
ٍ ِ ‫لك َح‬
33. “Allah tidak terhalang darimu, sesungguhya kamulah yang terhalang untuk
melihatnya. Karena jika sesuatu menghalangi Allah tentu ia menutupinya. Jika Allah
punya penutup, berarti wujud Allah ada yang membatasi. Dan setiap yang membatasi
sesuatu, pasti memaksanya, padahal ‘Allah berkuasa atas semua hamba-hamba-Nya’.”
Jangan pernah berfikir antara kita dan Allah itu ada penghalang, kebanyakan kita masih
berfikir seperti itu, karena memang mata kita tidak bisa melihat Allah. Yang tampak adalah
benda-benda kasat mata saja seperti gunung, pohon, rumah, mobil, tubuh manusia dan lain-
lain. Tuhan bukan benda, bukan sesuatu yang berbentuk, namun di dalam al-Quran
(diantaranya QS. An-Nisa : 126) disebutkan dan harus diyakini serta dirasakan bahwa Allah
memiliki sifat al-Muhith, yaitu Maha Meliputi segala sesuatu.
Sebagai jembatan pemahaman, kita ambil contoh meliputinya air terhadap ikan di
lautan, kalau ditanyakan kepada ikan, “ikan, dimana air?”, maka menurut ikan ;
Hareup, tukang, katuhu, kenca # Luhur, handap, luar, jero urang dibulen ku cai
(Depan, belakang, kanan, kiri # atas, bawah, luar, dalam kita dicakup oleh air)
Begitu juga al muhitnya Allah kepada makhluq, termasuk kita. Maka ;
Hareup, tukang, katuhu, kenca # Luhur, handap, luar, jero urang dibulen ku gusti Allah
(Depan, belakang, kanan, kiri # atas, bawah, luar, dalam kita dicakup oleh Allah)
Akidah yang benar ini, kenapa saya (pangersa Uwa) berani mengatakan bahwa Allah
mencakup semua alam? Disamping karena memang ada dalil al-Qurannya, juga bisa difahami
dengan logika; kalau Allah tidak dikatakan mencakup, berarti Allah duduk/berdiam di suatu
tempat, sedangkan apabila beranggapan bahwa Allah berada di satu tempat, berarti meyakini
bahwa Allah butuh tempat, sedangkan yang butuh tempat adalah makhluq, bila anda
menganggap Allah butuh tempat, berati anda menyamakan Allah dengan makhluq. Justru
pemahaman seperti ini yang keliru.
Lantas Jika memang Allah meliputi seluruh makhluq, mana? kok tidak bisa dilihat?
Jangan pernah beranggapan bahwa melihat Allah itu; muncul cahaya yang menyilaukan, atau
tercium wangi yang menyegarkan, terdengar ada suara tanpa raga. Bukan saudaraku. Kalau
seperti itu, anda menyamakan Allah dengan makhluk lagi.
Saya buat sebuah ilustrasi :
Ada seorang laki-laki namanya ujang, punya istri neneng. Neneng istri yang rajin, kalau ada
waktu luang tidak dipakai untuk ngerumpi atau hal-hal kurang berguna lainnya, tapi dipakailah
menyulam taplak meja. Taqdir Allah, neneng lebih dulu meninggal dunia. Ujang begitu
mencintai neneng sehingga merasa sangat kehilangan. Ketika ujang melihat taplak yang dibuat
neneng, lisannya spontan berucap “mamaahhh” sambil menangis, karena walaupun yang dia
lihat taplak, tapi hatinya melihat neneng. Anaknya ujang, yaitu agus, mendengar bapaknya

21
memanggil mamah kepada taplak, beranggapan bapaknya gila, taplak ko dipanggil mamah?
Karena agus melihat dengan bashornya (penglihatan mata) sedangkan ujang melihat dengan
bashirohnya (mata hati).
Seperti itu pula makna melihat Allah, mata ini melihat ciptaan Allah (baik yang
langsung diciptakan Allah, atau melalui perantara yang lain) ; manusia, pohon, batu, air, mobil,
hape, pisau dsb. Hati tembus melihat Allah. Jadi makhluq itu jembatan untuk sampai
kepadaNya, jangan macet di makhluq.
Namun hati-hati jangan pula terlalu "porno" ketika melihat pohon pisang, berkata "ini
Allah", melihat batu "ini Allah", melihat mobil "ini Allah". Kalau begini, bisa divonis aliran
sesat nanti. Ucapan dijaga jangan sampai menimbulkan masalah. Biasa aja seperti ini, jangan
ada niat cari sensasi, bicara yang aneh-aneh.
Allah berfirman :
‫َُ َْذُ َ ْٰ ُ َ ذ‬
ُ ‫الظاه ُِر َو ْاۡلَاط ُِن َو ُه َو ب‬
ْ َ ‫كل‬
٣ ‫َش ٍء َعلِيْم‬ ِ ِ ۡۚ ‫هو اَلول واَلخِر و‬
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al hadid : 3)
Hikmah Ke-34

،‫لك َو ْص ٍف ُمنَا ِق ٍض ِل ُع ُب ْو ِديَّتِ َك ِل َت ُك ْو َن ِلنِدَ ا ِء الْ َح د ِق ُم ِج ْي ًبا‬ ِ َ َ ‫ُأخ ُْر ْج ِم ْن َأ ْو َص ِاف ب‬


‫رشيَّتِ َك َع ْن ُ ِ د‬
.‫ضتِ ِه قَ ِريْ ًبا‬
َ ْ ‫و ِم ْن َح‬
34. “Keluarlah dari sifat-sifat kemanusiaanmu, sifat yang membatalkan
penghambaanmu. Agar engkau menyambut kewajiban panggilan Allah dan dekat ke
hadirat-Nya”
Dalam isthilah bahasa arab, ada yang disebut insan dan basyar, keduanya memiliki arti
manusia. bedanya adalah insan itu manusia mencakup unsur dzohir dan batin (jasad dan ruh).
Sedangkan basyar, hanya jasad saja. Diantara sifat basyar adalah makan, minum, tidur,
berhubungan badan dll.
Saudaraku untuk melakukan perjalan ruh menuju Allah anda harus belajar sedikit demi
sedikit keluar dari ke-basyar-an anda. Untuk itu ada sebagian orang yang melakukan ini secara
totalitas, misalkan selama 40 hari/malam, tidak makan dan minum yang sering dikenal dengan
mati geni. Hal tersebut merupakan salah satu upaya mengurangi sifat kebasyaran tadi. Untuk
seperti itu kita belum mampu, maka puasa pindah makan dulu aja selama 40 hari, nanti bergeser
lagi kepada puasa tarku dzirruh (tidak makan yang asalnya punya ruh), bergeser lagi kepada
shaum mutih. Rata-rata auliyaulloh tanah jawa shaumnya 30 tahun. Mama Kyai Haji Dimyathi
Cadasari yang saya dengar shaumhya 30 tahun, Sesepuh Pesantren Al-husainiyyah ciparay
bandung shaumhya 32 tahun.
Jadi bagi orang yang sudah merindukan kedekatan dengan Allah, maka shaum tidak
lagi menjadi beban, bahkan menjadi sebuah kenikmatan. Apa sih tujuannya? Dasari dengan
dua saja dulu ; Tobat dan syukur. Karena dosa kita maha banyak dan nikmat Allah maha luas
Keluarlah dari segala kesenangan basyariyahmu, kalaupun masih suka, yaa jangan
jangan terlalu sering, paling sedikit ada shaum senin-kamisnya, kalau malam ada waktu buat

22
tahajudnya, jangan hidup mengejar puas. Jangankan puasa bertahun-tahun seperti para wali,
senin-kamis saja malas. Malam hari bagusnya bangun jam 2, lebih leluasa untuk shalat.
Kalau anda sudah mencoba mengendalikan nafsu, mengurangi kebasyariyahan, maka
anda akan lebih mudah mendengar panggilan dari Allah, dan lebih dekat kepadaNya

Hikmah Ke-35
‫ عَدَ ُم د ِالرضَ ا‬،‫لك َطاعَ ٍة َوي َ ْق َظ ٍة َو ِعفَّ ٍة‬
‫ َو َأ ْص ُل ُ ِ د‬،‫لك َم ْع ِص َي ٍة َوغَ ْف َ ٍةل َو َشهْو ٍة د ِالرضَ ا َع ِن النَّ ْف ِس‬
‫َأ ْص ُل ُ ِ د‬
‫ َو َ َْل ْن ت َْص َح َب َجا ِه ًَّل َل يَ ْر ََض َع ْن ن َ ْف ِس ِه خَْيٌ َ َل ِم ْن َأ ْن ت َْص َح َب عَا ِلامً يَ ْر ََض‬،‫ِمنْ َك َعْنْ َا‬
!‫ فَأَ مي ِع ْ ٍل ِل َعا ِلـ ٍم يَ ْر ََض َع ْن ن َ ْف ِس ِه! َو َأ ُّي َ َْج ٍل ِلـج َـا ِه ٍل َل يَ ْر ََض َع ْن ن َ ْف ِس ِه‬،‫َع ْن ن َ ْف ِس ِه‬
35. “Pangkal segala maksiat, lalai dan syahwat adalah rela terhadap nafsu. Dan pangkal
semua ketaatan, kewaspadaan, dan kesucian adalah ketidakrelaanmu terhadap nafsu.
Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak rela dengan nafsunya lebih baik daripada
bersahabat dengan seorang alim yang rela terhadap nafsunya. Tidaklah berilmu seorang
alim yang rela terhadap nafsunya. Dan tidaklah bodoh seorang bodoh yang tidak rela
terhadap nafsunya”
Firman Allah SWT
ُ َ ْ َ ‫ُّ ْ ذ َ َ َ َ ْ ذ‬ َ َ َ ْ ‫َ َ ٓ َُ ُ َ ْ ْ ذ ذ‬
َ ‫َل ذم‬
٥٣ ‫ب غف ْور ذرحِيْم‬ ِ ‫ر‬ ‫ِن‬ ‫ا‬ ‫ب‬
ِ ‫ر‬ ‫ِم‬
‫ح‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫َِل‬ ‫ا‬ ِ
‫ء‬ ْۤ ‫و‬‫الس‬ِ ‫ب‬ ۢ ‫ة‬‫ار‬ ‫ٰٓس ا ِن انلفس‬
ۡۚ ِ ‫۞ وما اب ِرئ نف‬
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yusuf ;53)
Setelah pada hikmah sebelumnya dijelaskan bahwa seorang salik harus mengendalikan
nafsu dan mengurangi kebasyariyahannya, maka pada hikmah yang ini disebutkan bahwa
pangkal segala maksiyat, syahwat dan ghoflah adalah ridho terhadap nafsu
Seorang salik harus terus mengontrol dirinya, dorongan dari dalam diri itu berasal dari
nafsu yang mana?
Kita awali dari pola kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur ke tidur lagi. Bangun tidur
seorang salik usahakan jam 2, walaupun pada prakteknya bangun jam 4, tetap saja wajibkan
diri sendiri untuk bangun jam 2, supaya ada rasa salah ketika bangun jam 3, Supaya lebih
leluasa untuk sholat syukrul wudu, tahajud, sholat hajat, sholat tasbih, ini sudah harus dijadikan
makanan harian, kalau terlewat shalat malam itu serasa belum makan. Datang waktu subuh,
ikut shalat berjamaah, kemudian wirid dzikir, setelah dzikir, kuliah subuh/ngaji bagi kyai atau
santri, bagi yang tidak punya kegiatan bisa diisi dengan tawajjuh/dzikir khofi sampai datang
waktu shalat isyroq.
Apabila mengikuti nafsu bangun itu enaknya jam 6, jangankan qiyamullail, shalat
subuh saja kesiangan. Setelah shalat subuh yang enak menurut nafsu adalah tidur lagi, atau
minum kopi.
Nafsu itu sangat luwes, apalagi kalau sudah kolaborasi dengan setan, membuat alasan
yang hebat supaya kita tidak ibadah, disitulah fungsinya dzikir, bagi saya yang bodoh, yang

23
malas, kalau sudah tidak kuat dengan bujukan nafsu dan setan yang menghalangi ibadah, sudah
nunduk aja (dzikir khofi) sambil menjerit “ ya Allah bantu saya”, barulah ada hidayah dan
semangat lagi.
Anda berteman dengan orang bodoh tapi mampu mengendalikan nafsunya lebih baik
dari pada anda berteman dengan seorang yang berilmu yang mengikuti nafsunya. Tidak sedikit
orang berilmu yang menjadi hamba nafsunya, ilmunya menjadi hujjah, ilmunya malah
digunakan untuk membuat alasan, tidak mau dikoreksi orang lain
Hikmah Ke-36
‫ُش َعا ُع الْ َب ِص َْي ِة يُش ْـهِدُ كَ قُ ْـرب َ ُه ِمنْ َك َوعَ ْ ُي الْ َب ِص ْ َْي ِة يُش ْـهِدُ كَ عَدَ َم َك ِل ُو ُجو ِد ِه َو َح مق الْ َب ِص َْي ِة‬
َ‫يُش ْـهِدُ كَ ُو ُجو َد ُه َل عَدَ َم َك َو َل ُو ُج ْودَك‬
36. “Cahaya bashirah (mata batin) akan menyaksikan dekatnya Allah kepadamu. Dan
‘ainul bashiroh (dzatiyah mata hati) akan menyaksikan ketiadaanmu karena wujud
Allah. Dan haq al-bashirah (hakikat mata hati) akan menyaksikan wujud Allah
kepadamu. Bukan ketiadaanmu dan bukan pula wujudmu”
Kalau kita ibaratkan kepada obor Syu’a itu terangnya sinar obor, sedangkan ‘ain adalah
obornya.
Cahaya bashiroh menghasilkan kesaksian dekatnya Allah dari diri kita, dzatnya bashiroh
menghasilkan kesaksian tidak adanya diri kita di sisi Allah. Tidak ada bagaimana? Bukankah
ini jelas-jelas kita ada? Bukan tidak ada menurut mata, tapi secara hakikat. Wujud kita
bermuara pada wujud-Nya. Ini baru sekedar informasi, untuk merasakan hal tersebut tidak
cukup dengan dibahas tapi harus dilatih; diantaranya, usahakan menyediakan waktu dalam
sehari, satu jam saja gunakan untuk dzikir, dengan dzikir yang berthoriqoh (baik dzikir jahar
maupun khofi). Selain itu asah juga bashirah dengan sholawat, sholawat yang pakai rasa, bukan
asal membaca shalawat. Gunakan imajinasi seakan-akan baginda Nabi ada dihadapan kita,
supaya sedikit tembus kedalam rasa.
Hikmah Ke-37

‫هللا َو َل َش ْ َئي َم َع ُه َوه َُو ْاْلْ َن عَ ََل َما عَلَ ْي ِه ََك َن‬
ُ ‫َكَ َن‬
37. “Allah ada sejak dahulu, dan tidak ada satu pun makhluk yang bersamanya. Dan kini
Allah tetap sebagaimana adanya semula (azali)”

Secara substansi hikmah ini sama dengan hikmah ke 36, Cuma beda redaksi saja.
Keberadaan Allah terdahulu dan tanpa permulaan, sebelum Allah menciptakan
makhluq, tidak ada satupun makhluq menyertainya, yang ada hanya Dia. Sekarang pun
keberadaan Allah tetap seperti itu, yakni tidak ada makhluq yang menyertainya. Ketika kita
terus berlatih meleburkan diri, maka akan sampai pada suatu keadaan “tidak ada sesuatu pun
kecuali Allah” (‫هللا‬ ‫)الموجود اال‬, termasuk diri kita sendiri.

24
ْ ْ َ ٰ َْ ُ َ َ ُ ْ َ ٰ ْ َ ‫ذ‬ َ َ ْ َ َ ْ َ ُّ ُ
٢٧ ‫اَلك َرا ِ ِۚم‬
ِ ‫ ويبق وجه ربِك ذو اْلل ِل و‬٢٦ ‫ان‬
ٍ ‫ك من عليها ف‬
“ Semua yang ada di bumi itu akan binasa, Dan tetap kekal Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Arrahman 26-27)
Hikmah Ke-38

‫َل تَتَ َع َّد ِنـ َّي ُة ِهـ َّمتِ َك ا ََل غَ ْ ِْي ِه؛ فَالْ َك ِر ْ ُْي َل تَتَخ ََّطا ُه اْلْ َم ُال‬
ِ
38. “Janganlah cita-citamu tertuju kepada selain Allah, karena harapan seseorang
tidak akan bisa melampaui Allah Yang Maha Mulia (Al-Karīm)”

Diantara sifat Allah adalah al karim yaitu yang maha memberi tanpa melihat keadaan
yang diberi, apakah mereka orang patuh atau pembangkang, Al-karim adalah Dzat yang
memberi tanpa dipinta sebelumnya, dan tidak pernah mengecewakan orang-orang yang
berharap pada-Nya.
Ketika kita mempunyai sebuah cita-cita yang baik, apapun itu, hati bersandar/bergantung
kepada Allah, badan berupaya mewujudkannya

Hikmah Ke-39
‫َلتَ ْرفَ َع َّن ا ََل غَ ْ ِْي ِه َحا َج ًة ه َُو ُم ْو ِر ُدهَا عَلَ ْي َك فَ َك ْي َف يَ ْرفَ ُع غَ ْ ُْي ُه َم َأَك َن ه َُو َ ُِل َو ِاض ًعا َم ْن َل‬
ِ
ِ َ ُ َ ِ
‫ي َْس َت ِط ْي ُع َا ْن يَ ْرفَ َع َحا َج ًة َع ْن ن َ ْف ِسه فَك ْي َف ي َْس َت ِط ْي ُع َا ْن يَك ْو َن لهَا َع ْن غَ ْ ِْيه َرا ِف ًعا‬
39. “Janganlah sekali-kali kau mengadukan kebutuhan kepada selain Allah, padahal
Allah lah yang mendatangkannya kepadamu. Maka bagaimana selain Allah mampu
menghilangkan (kebutuhan) apa yang telah Allah datangkan. Barang siapa tidak mampu
menghilangkan kebutuhan dari dirinya, maka bagaimana dia mampu menghilangkan
kebutuhan itu dari orang lain”
Di dalam Al Quran surat An-Nisa ayat 28, disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia
dalam keadaan lemah,
ً َ ُ ْ ْ َ ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ ُّ ْ َ ُ ‫ُ ْ ُ ه‬
٢٨ ‫اَلن َسان ض ِعيْفا‬
ِ ‫ي ِريد اّلل ان ُّي ِفف عنكم ۚۡ وخلِق‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah”
Salah satu tanda lemahnya manusia, ia tidak bisa berdiri sendiri, ia selalu membutuhkan
yang lain. Lapar butuh makan, haus butuh minum, sakit butuh kesembuhan dll.

Selama anda menjalani kehidupan, pernahkah anda dililit hutang, cicilan motor sudah
habis tempo namun belum dibayar, anak sakit parah harus ke dokter, beras hanya cukup untuk
satu kali masak lagi, apa yang anda butuhkan saat itu? Uang bukan?
Dalam kondisi seperti ini atau semisalnya, kebanyakan orang panik, mengeluhkannya
kepada hampir semua orang yang ia temui. Bukan seperti itu cara menghadapinya, tapi
mengadulah kepada Allah, karena Allah lah yang mensetting semua keadaan yang mendorong
kita membutuhkan hal lain, dan Allah pula yang meletakkan “sifat butuh” itu di dalam diri kita.
Jika Allah yang mengirim sifat butuh itu kedalam diri kita, maka hanya Allah pula yang bisa
25
menghilangkannya (dengan memenuhi kebutuhan tersebut), bukan pihak lain. Orang lain juga
sama punya kebutuhan dan masalah masing-masing
Setelah kita mengadukannya kepada Allah, boleh jadi Dia memberi kita semangat
bekerja sebagai perantara uang yang kita butuhkan, jangan ingin instan mendapatkan uang
dengan mudah, bekerjalah yang benar. Atau bahkan mungkin Allah menggerakkan hati hamba-
Nya yang punya kelebihan harta untuk shodaqoh, dan Allah taqdirkan kitalah yang
menerimanya. Tidak apa-apa terima saja, yang jelek dan membuat cape itu mengejar-ngejar,
minta-minta kepada manusia
Namun tidak pula hikmah ke 39 ini melarang kita untuk meminta bantuan kepada sesama
manusia sebagai perantara pertolongan Allah, silahkan meminta bantuan kepada pihak lain,
sebagai bentuk usaha kita selaku manusia, dengan tetap menjaga qalbu, meyakini yang dapat
memberi pertolongan itu hanya Allah, manusia hanya perantara saja. Karena itu sudah
sunnatullah (aturan Allah).
Mengenai hal ini, syekh Abdul Qodir al Jailani dalam kitab fathurrobbani memberikan
nasihat sebagai berikut

‫املؤمن يسرت حزنه ببرشه ظاهره يتحرك ِف الكسب وِبطنه ساكن اإَل ربه عز وجل ظاهره لعياِل وِبطنه لربه‬
‫عز وجل ل يفىش رسه اإَل أهل وودله وجاره وجارته ول اإَل أحد من خلق ربه يسمع قول النب صَل هللا‬
‫عليه وسل إاس تعينوا عَل امورمك ِبلكامتن‬
“Orang beriman itu menutupi kesusahannya dengan kegembiraannya. Lahirnya bergerak
untuk berusaha, sedangkan Bathinnya tenang bersama Tuhannya, lahirnya untuk keluarganya
dan bathinnya untuk Tuhannya. Ia tidak menyiarkan rahasianya kepada keluarganya,
anaknya, tetangganya, dan tidak seorangpun dari makhluk Tuhannya. Ia mendengar sabda
baginda Nabi SAW : “mohon pertolonganlah atas urusan-urusan kamu sekalian dengan
menyembunyikannya”
Hikmah Ke-40
َ‫ا ْن لَ ْم ُ ْحت ِس ْن َظنَّ َك ِب ِه ِ َْل ْج ِل ُح ْس ِن َو ْص ِف ِه فَ َح ِ دس ْن َظنَّ َك ِب ِه ِل ُو ُج ْو ِد ُم َعا َملَتِ ِه َم َع َك فَهَ ْل َع َّو َدك‬
ِ
ِ َّ َ
‫ال َح َس نًا َوه َْل َأ ْسدَ ى ال ْي َك ال منَنًا‬ َّ
ِ ِ ِ
40. “Jika kamu belum bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan
(kesempurnaan) sifat-Nya maka berbaik sangkalah kepada-Nya karena mu’amalah
(perlakuan) Nya bersamamu. Maka tidaklah Allah mendatangkan (membiasakan) suatu
perkara kepadamu kecuali merupakan kebaikan, dan tidaklah Allah memerikan
kepadamu kecuali berbagai ni’mat”
Dalam menjalani kehidupan, harus diyakini dan disadari bahwa apapun yang terjadi
kepada kita adalah af’aalullah (perbuatan Allah). Yang enak atau tidak enak, manis atau pahit,
maka kita wajib berhusnudzzon (baik sangka) bahwa itu semua baik menurut Allah bagi kita.

26
Pernahkah anda hilang uang, badan sakit, istri melirik laki-laki lain, suami selingkuh,
usaha rugi atau hal-hal menyakitkan lainnya? Sadari bahwa semua itu baik menurut Allah bagi
kita
Munculnya menggerutu, marah-marah, mengeluh, penyesalan yang berlebih bahkan
menyalahkan orang lain atau taqdir atas kepahitan yang kita alami itu karena hilangnya
kesadaran bahwa yg terjadi adalah af’alullah dan tidak ada husnudzon kepada Allah
Dalam hikmah ke 40 di atas, syekh ibn ‘Athoillah membantu kita untuk belajar
berhusnudzon kepada Allah. Beliau membaginya menjadi 2 tahap, yaitu
1. Husnudzon karena bagusnya/baiknya sifat-sifat Allah
2. Husnudzon karena muamalah (perlakuan) Allah kepada kita
Ketika anda mengalami hal-hal pahit dalam hidup, ingatlah bahwa dari semua sifat-sifat Allah,
tidak ada sifat Allah adzzolim (yang berbuat aniaya kepada hambanya)
ْ ‫َ ذ‬ َ َ‫ٰ َ َ َ ذ َ ْ َْ ْ ُ ْ ََ ذ ه‬
٥١ َۙ‫اّلل ليْ َس بِظًل ٍم لِل َعبِيْ ِد‬ ‫ذل ِك بِما قدمت ايدِيكم وان‬
Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak menganiaya hamba-Nya (Q.S Al-Anfal : 51)
Bagi salik ketika mendapatkan yang pahit, cepat-cepatlah masuk kedalam dzikir, ambil
wudhu, sholat 2 rokaat, kemudian dzikir laailahaillallah, mengadulah kepada-Nya;
“Alhamdulillah, ya Allah terimakasih, engkau telah memberikan cobaan ini, aku yakin
engkau maha tahu akan apa yang baik buat saya, termasuk apa yang sedang saya alami, ini
kebaikanmu ya Allah”
Walaupun sakit, perih yang dirasakan, usahakanlah berucap seperti itu. Nanti
manusiawinya sedikit demi sedikit menurun, yang ada husnudzonnya kepada Allah, nantinya
anda tidak akan jadi manusia penggurutu.
Apabila kita tidak bisa husnudzon karena belum bisa memahami dan merasakan
kebaikan Allah dalam kepahitan yang sedang dialami, maka berhusnudzonlah kepada Allah
dengan mengingat muamalah (perlakuan) Allah kepada kita selama ini, diantaranya;
Allah membuat kita "ada" padahal sebelumnya tidak ada, Allah menjadikan kita
manusia, padahal bisa saja Dia menjadikan kita ayam yang akan disembelih, babi yang diburu
manusia, rumput yang diinjak-injak atau dimakan hewan.
Kemudian Dia juga yang mentaqdirkan kita memeluk agama islam, di indonesia pula,
bukan di rohingya, palestina, irak, libiya yang setiap waktu ketakutan bahkan dibantai dan
diporakporandakan musuh-musuh islam.
Dia yang memberi kita mata dengan kemampuan melihatnya, telinga dengan
mendengarnya, hidung dengan penciumannya, lidah dengan rasa dan ucapnya, kulit dengan
daya rabanya.
Sakit baru 3 hari disebut-sebut, dikeluhkan, padahal sehat bertahun-tahun dilupakan.
Motor hilang, memaki taqdir, padahal nikmat dua kaki dari Allah selama ini lebih berharga.

27
Betapa jarang bahkan nyaris tidak pernah kita berterimakasih kepada Allah atas segala
nikmat-Nya itu. Yang dikeluhkan dalam doa cuma kesulitan dan susah saja, padahal
karuniaNya lebih banyak.
Oleh karena itu marilah kita belajar lebih beradab dihadapan Allah dengan senantiasa
berusaha berbaik sangka atas segala perlakuan-Nya kepada kita

Hikmah Ke-41
‫ ﴿ فَ ِاهنَّ َا‬.‫ َوي َ ْطلُ ُب َما َل بَقَا َء َ ُِل َم َع ُه‬،ُ‫لك الْ َع َج ِب ِم َّم ْن ْيَ ْ ُر ُب ِم َّم ْن َل ِانْ ِف َاككَ َ ُِل َع ْنه‬
‫ال َع َج ُب ُ م‬
2﴾٤٦ ‫ب الَّت ِِف الصدُ و ِر‬
ْ ‫م‬ ْ ِ ُ ‫َل تَ ْع َمى ْ َالبْ َص ُار َو ٰل ِك ْن تَ ْع َمى الْ ُقلُ ْو‬
41. “Mengherankan sekali, orang yang melarikan diri dari sesuatu yang tidak bisa
terpisah dari Allah dan justru mecari sesuatu yang tidak kekal baginya. ‘karena
sesungguhnya bukan mata (kepala) yang buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang
berada di dalam dada”.
Orang yang paling bodoh adalah orang yang merasa bisa lepas/kabur dari Allah dan
mencari kenikmatan yang sementara dengan mengikuti hawa nafsunya
Seperti telah disebutkan pada pembahasan hikmah-hikmah sebelumnya bahwa Allah
memiliki sifat Al Muhith (Yang Maha Meliputi); depan belakang, kanan kiri, atas bawah, luar
dalam kita dicakup oleh Allah
Dimanapun, kemanapun kita pergi maka kita dicakup oleh Allah, tidak akan bisa
menjauh. Dari mulai makhluk terkeceil sampai galaksi bima sakti terbesar semuanya dicakup
oleh Allah.
Pernahkah anda melakukan suatu kejelekan karena merasa tidak ada yang melihat?
Pasti pernah. Kalau mau pakai hukum “saklek”, berarti saat itu anda menganggap Allah buta.
Dibalik semua dosa atau kejelekan ada unsur memuaskan nafsu, maka ketika anda
melakukan dosa atau kejelekan tersebut saat itulah anda dikatakan berusaha lepas dari Allah
dan mengejar kepuasan nafsu yang hanya sebentar saja.
Hikmah ke 42
‫َلتَ ْر َح ْل ِم ْن َك ْو ٍن اَل َك ْو ٍن فَ َت ُك ْو ُن َك ِح َما ِر َّالر َحا ي َ ِس ْ ُْي َوالْ َم َاك ُن َّ ِال ْي ِا ْر َ َحت َل الَ ْي ِه ه َُو َّ ِال ْي‬
ِ 3 ْ َ ِ َ
َ ْ َ ْ
) ‫ِا ْر َ َحت َل ِمنْ ُه َول ِك ِن ْار َح ْل م َن اْلك َو ِان اَل ال ُمك د ِو ِن َ(وا َِّن اَل َرب َِك ال ُم ْنَتَ َى‬
َ ْ ِ
ِ ِ
42. “Janganlah kau berangkat / beraktifitas dari satu kaun (makhluk) menuju makhluk
lain sehingga kau seperti menjadi keledai penggilingan: berjalan berputar sehingga akhir
perjalanannya adalah awal kepergiannya. Tetapi berangkatlah dari makhluk menuju
Allah. ‘dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu)”

2
Q.S. Al-Hajj : 46

3
Q.S. An-Najm : 42

28
ِ ‫هللا َو َر ُس ْو ِ ِِل فَهِ ْج َرتُ ُه ا ََل‬
‫هللا‬ ِ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ْل "فَ َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا ََل‬ ُ ‫َوانْ ُظ ْر ا ََل قَ ْو ِ ِِل َص ََّل‬
ِ ِ ِ
‫ فَافْهَ ْم‬،"‫َو َر ُس ْو ِ ِِل َو َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا ََل ادلم نْ َيا يُ ِص ْيهبُ َا َأ ِو ا ْم َر َأ ٍة ي َ َ ََت َّو ُ َْجا فَهِ ْج َرتُ ُه ا ََل َماهَا َج َر الَ ْي ِه‬
ِ ِ ِ
‫ َوتَأَ َّم ْل ه ََذا ْ َاْل ْم َر ا ْن ُك ْن َت َذا فَهْ ٍم‬،‫الس ََّل ُم فَهِ ْج َرتُ ُه ا ََل َماهَا َج َر الَ ْي ِه‬ َّ َّ ‫قَ ْو َ ُِل عَلَ ْي ِه‬
‫الص ََّل ُة َو‬
ِ ِ ِ
“Dan perhatikanlah sabda Nabi SAW: maka, barang siapa hijrahnya untuk Allah
dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang
hijrahnya untuk dunia dan yang diinginkan atau perempuan yang dinikahi maka
hijrahnya untuk yang diniatkannya. Fahamilah sabda Nabi SAW: maka hijrahnya untuk
yang ia inginkan. Dan fikirkanlah urutan ini jika kamu memiliki pemahaman”
Al kaun adalah makhluq yakni segala sesuatu selain Allah, sedangkan al mukawwin
adalah Al-kholiq (Allah)
Apakah anda tahu penggilingan gandum dengan mnggunakan tenaga himar/keledai?
Mungkin sebagian orang tahu, tapi kebanyakan tidak tahu bagaimana bentuk dan cara kerja
keledai penggilingan, karena memang di negara kita kurang dikenal. Yang lebih familiar bagi
kita dan memiliki substansi yang sama apabila dikaitkan dengan hikmah ke 42 di atas adalah
seperti komedi putar (korsel).
Apabila kita naik komedi putar, kita akan mengalami keadaan “naik dari satu tempat
kemudian turunnya juga masih di tempat yang sama,” naik dari sana, turunpun di sana (tempat
naik semula), baik anda membayar 10 ribu, 50 ribu, 100 ribu atau bahkan sekalian anda beli
komedi putarnya, tetap saja, anda akan naik dari sana, turun di sana. Tidak kemana-mana.
Syekh ibnu ‘Athoillah menjadikan keledai penggilingan atau komedi putar sebagai
perumpaan bagi kehidupan kebanyakan manusia yang aktifitasnya tidak tembus kepada Allah,
yaitu “arrihlah minal kaun ilal kaun”, seluruh putaran hidupnya dari makhluk untuk makhluk
tidak ada yang untuk Allah.
“Pak mau kemana?”. “Kerja !.”

“Untuk apa bekerja?”. “Supaya dapat uang !”


“Untuk apa uang?”. “Untuk beli beras !”.
“Beras untuk apa?”. “untuk dimasak kemudian dimakan !”.

“Terus Kalau sudah makan bagaimana?”. “bisa tidur nyenyak !”.


“Kalau sudah tidur nyenyak?”. “badan segar dan bertenaga !”
“Kalau sudah bertenaga?”. “Kuat untuk Kerja !”

“Untuk apa kerja?”. “Supaya dapat uang !” .


Lihatlah, ujungnya kembali kepada kerja dan uang !
Seperti itulah pola kehidupan manusia komedi putar, berawal dari kerja untuk cari uang
dan berakhir dalam kerja untuk cari uang pula, tidak ada satupun aktifitasnya yang tembus

29
untuk Allah. Apabila dalam main bola, bolanya dikocek terus, dari satu pemain ke pemain lain,
tidak menghasilkan GOL.
Janganlah kita menjadi tipe manusia komedi putar !
Adapun pola kehidupan yang menghasilkan GOL, yang tembus kepada Allah bisa kita
umpamakan sekurang-kurangnya seperti ini :
“Pak mau kemana?”. “bekerja, sebagai bentuk ibadah kepada Allah, semoga dengan bekerja
Allah memberi saya rizki berupa uang !.”
“Untuk apa uang?”. “Untuk beli beras !”.
“Beras untuk apa?”. “untuk dimasak kemudian dimakan !”.

“Terus Kalau sudah makan bagaimana?”. “bisa tidur nyenyak !”.


“Kalau sudah tidur nyenyak?”. “badan segar dan bertenaga !”
“Kalau sudah bertenaga?”. “ada kekuatan untuk beribadah, salah satunya bekerja”.
Ketika makan atau tidur, tujuannya/niyatnya supaya kuat beribadah, maka makan dan
tidurnyapun terbawa menjadi ibadah. Prinsipnya, segala sesuatu yang menjadi sebab,
penunjang terhadap terlaksananya ibadah, terbawa menjadi ibadah pula (Selama penunjang-
penunjang tersebut tidak dilarang syara’)
Selanjutnya syekh ibn ‘athoillah mengutip sebuah Hadits Baginda Nabi SAW yang
menggambarkan kedua tipe manusia di atas

‫هللا َو َر ُس ْو ِ ِِل َو َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا ََل ادلم نْ َيا يُ ِص ْيهبُ َا َأ ِو ا ْم َر َأ ٍة‬
ِ ‫هللا َو َر ُس ْو ِ ِِل فَهِ ْج َرتُ ُه ا ََل‬
ِ ‫فَ َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا ََل‬
ِ ِ ِ
ِ‫ي َ َ ََت َّو ُ َْجا فَهِ ْج َرتُ ُه ا ََل َماهَا َج َر الَ ْيه‬
ِ ِ
Hijrah itu jangan Cuma diartikan sebagai perpindahan dari satu daerah ke daerah lain
saja. Hijrah dalam hadits ini bisa diartikan sebagai sebuah aktifitas, maka terjemah haditsnya
akan seperti ini ; “barang siapa yang beraktifitas kepada/untuk Allah dan Rasul-Nya, maka
aktifitasnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang beraktifitas untuk
mendapatkan hal-hal duniawi, maka ia akan mendapatkannya atau ingin perempuan, ia akan
menikahinya. Maka aktifitas seseorang akan sampai kepada yang menjadi tujuan aktifitas
tersebut.
Hikmah Ke-43

ِ ‫َل ت َْص َح ْب َم ْن َل ُيْنْ ِضُ َك َح ُ ُاِل َو َل يَدُ م َل عَ ََل‬


‫هللا َم َق ُ ُاِل‬
43. “Janganlah engkau bersahabat dengan orang yang keadaannya tidak
membangkitakan semangatmu, dan pembicaraannya tidak membimbingmu ke jalan
Allah”
Hubungan Pertemanan merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian penting
dalam islam. Di dalam Al-Quran, Al-Hadits bahkan kitab para ulama salaf seperti ta’liimul

30
muta’allim banyak dibahas tentang tatacara memilih teman. Termasuk dalam Al-Hikam
hikmah ke 43 ini, Syekh Ibn ‘Athaillah menjelaskan tentang pertemanan.

Menurut beliau, kita jangan bergaul terlalu dekat dengan orang yang memiliki 2 kategori :
1. Sikapnya atau tingkahnya tidak mendorong kita kepada peningkatan ibadah, dakwah,
bekerja dan hal positif lainnya. Kita malah terbawa malas.

2. Orang yang ucapannya tidak mendorong kepada melaksanakan tugas dari Allah
Namun bukanlah kita harus membenci dan menjauhi orang yang memiliki kedua sifat di
atas, tapi jangan terlalu dekat, sekedar kenal saja, sebab nanti kita akan terbawa jelek. Ditinjau
dari sisi objek dakwah, mereka juga sama termasuk orang yang harus kita ajak kepada kebaikan
Bukan pula kita harus mencari teman yang sempurna, tanpa cacat sama sekali, karena ini
tidak mungkin, semua manusia ada kekurangan dan kelebihan. Sekurang-kurangnya orang kita
jadikan teman sangat dekat adalah orang yang ilmunya, ibadahnya, semangat bekerjanya ada
di atas kita, supaya kita tertulari kebaikan-kebaikannya.
Tentang pertemanan Allah berfirman
ً َُ ْ ‫ََْٰ ٰ ََْ ْ َ َذ‬ ً ْ َ ْ ُ ‫َ َ ْ َ َ َ ُّ ذ ُ َ ٰ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ٰ َ ْ َ ذ َ ْ ُ َ َ ذ‬
‫ّن ل ْم اَّتِذ فًلنا‬
ِ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫و‬‫ي‬ ٢٧ ‫ًل‬ ‫ويوم يعض الظال ِم لَع يديهِ يقول يليت ِّن اَّتذت مع الرسو ِل سبِي‬
ً ُ َ ْ ْ ُ ٰ ْ ‫ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ ََ َ ذ‬ َ ْ ‫ضلذ‬
َ َ ْ ََ ًْ َ
٢٩ ‫ًِلن َسا ِن خذ ْوَل‬
ِ ‫ّن ع ِن اَّلِك ِر بعد ا ِذ جاْۤء ِّن وَكن الشيطن ل‬
ِ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ٢٨ ‫ًل‬ ‫خلِي‬
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata,
?Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.' Kecelakaan besarlah
bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia
telah menyesatkan aku dari al-Quran ketika al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah
setan itu tidak mau menolong manusia." (QS. al-Furqan: 27-29)

َ َ ُْ ْ َ َ
Sabda Baginda Nabi SAW
َ‫ ِإَوما‬,‫ك‬ ‫ك إِما أن ُيذِي‬ ْ ْ ُ َ َ‫ ف‬, ‫حامِل الْم ْسك َونَاف ِخِ الْكِري‬
ِ ‫حامِل ال ِمس‬ ِ ِ
َ ‫الس ْو ِء َك‬ َ ‫اْللِيس‬
َ ‫الصالِحِ َو‬ ِ َ ْ ‫َمثَ ُل‬
ِ ِ
َ
ً‫ِإَوما أ ْن ََت َد ريحا‬
َ ,‫ك‬ َ َ َ َ ُْ ْ َ َ ْ ُ ََ ًَ َ ً ُْ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ ََْ ْ َ
ِ ِ ‫ِري إِما أن ُي ِرق ثِياب‬
ِ ‫ وناف ِخ الك‬, ‫َتد مِنه ِريحا طيِبة‬ ِ ‫ ِإَوما أن‬, ‫أن تبتاع مِنه‬
.‫َخبِيثَة‬

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak
wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak
wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai
pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR.
Bukhari)

31
Hikmah ke-44

ْ ُ ،‫ُرب َّ َما ُك ْن َت ُم ِسيْئًا فَأَ َراكَ ْا ِ إل ْح َس َان ِمنْ َك‬


‫ُص َب ُت َك َم ْن ه َُو َأ ْس َو ُأ َحا ًل ِمنْ َك‬
44. “Kerap kali kau sering berbuat jelek, akan tetapi hal itu tampak baik olehmu
lantaran engkau bersahabat dengan orang yang perilakunya lebih buruk darimu”
Keharusan memilih teman yang baik disebabkan karena pertemanan kita dengan
seseorang akan mempengaruhi akhlak kita sendiri. Ketika kita buruk dalam satu hal, tapi karena
bergaul dengan orang yang lebih buruk, maka kita akan jadi merasa baik.
Umpamanya kita sholat dzuhur agak akhir, ini tidak baik. Tapi karena teman kita justru
tidak sholat, atau shalatnya sering terlewat, maka pasti kita akan merasa lebih baik, dan lama-
lama menganggap sholat akhir waktu jadi baik. Sebaliknya kalau kita berteman dengan orang
yang selalu menjaga shalat awal waktu, maka di saat kita shalat akhir waktu karena malas,
tentulah kita akan merasa malu dan bersalah.
Kalau arahnya sebatas untuk menimbulkan roja (harapan), tidak apa-apa melihat orang
yang akhlaknya lebih buruk dibanding kita. Misalkan ketika kita sholat akhir waktu kita merasa
menyesal dan putus asa, sehingga tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri, maka untuk
membangkitkan kembali semangat boleh melihat teman yang lebih jelek. Tapi kalau untuk
melegalisir, bahwa sholat akhir waktu tidak jelek, nah ini yang tidak boleh. Bukan berarti kita
belah bambu memilah-milah orang yang dijadikan teman, ini dalam rangka menjaga akhlak
kita saja
Hikmah Ke-45

‫َماقَ َّل َ ََع ٌل بَ َر َز ِم ْن قَلْ ٍب َزا ِه ٍد َو َل َك ُ َُث َ ََع ٌل بَ َر َز ِم ْن قَلْ ٍب َرا ِغ ٍب‬
45. “Tidaklah remeh (sedikit) amal yang keluar dari hati yang zuhud dan tidaklah
berharga (banyak) amal yang keluar dari hati yang cinta dunia”

Zaahid adalah orang yang zuhud yaitu yang menjaga qalbunya dari cinta dunia.
Sedangkan roghib adalah orang yang qolbunya cinta terhadap dunia. Ketika dalam qolbu ada
cinta terhadap dunia maka ini yang akan mendorong kepada beramal ingin imbalan, dipuji dan
dihormati manusia, saat itu rusaklah keihklasan dalam beramal.
Dalam pandangan manusia, kebaikan ada yang dianggap kecil, ada yang dianggap besar
Contoh yang dianggap kecil ; memberi makan kucing, senyum ketika bertemu orang, membaca
basmallah saat hendak makan dll
Contoh yang dianggap besar ; memberi makan 2000 orang, shaum beberapa tahun, tahajud tiap
malam dll
Jangan anggap remeh ibadah/kebaikan sekecil apapun. Karena kebaikan yang
dilakukan oleh orang yang qolbunya zuhud walaupun tampak kecil dalam pandangan manusia,
tetap punya nilai besar dihadapan Allah. Karena qolbu yang zuhud mendorong untuk ikhlas,
sebagaimana diketahui ikhlas merupakan kunci diterimanya sebuah amalan. Contoh mau
32
makan basmallah dulu, keliatannya amalan ini kecil, namun akan memiliki nilai besar disisi
Allah. Sebaliknya amalan yang dilakukan oleh orang yang qolbunya roghib, tidak akan punya
nilai tinggi dihadapan Allah, walaupun amalannya tampak besar dihadapan manusia, seperti
jihad mengangkat senjata, shodaqoh dengan jumlah besar dan lain sebagainya Sayyid ibnu
mas’ud r.a pernah berkata :

ْ َ ‫ي َأبَ ًدا‬
ً‫َس َمدا‬ َ ْ ‫غب‬ ‫ذ‬ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ََ َ ُّ َ َ َ ْ َ ْ
ِِ ‫َرك َعتَا ِن م ِْن ََعل ٍِم َزاه ٍِد خري وأحب إِِل اّللِ تعاِل مِن عِبادة ِ المتعبِدِين الرا‬
Dua roka’at dari seorang yang berilmu yang zuhud lebih baik dan lebih dicintai Allah
dibandingkan ibadahnya ahli-ahli ibadah yang senang dunia seumur hidupnya
Apa itu Zuhud ?
Sebagian orang masih memahami Zuhud dengan anti dunia, harus miskin; rumah jelek, baju
lusuh, makan nasi tanpa lauk atau cuma makan daun-daunan. Ini pemahaman yang keliru.
Zuhud bukan soal punya atau tidak punya, tapi lebih melihat kepada penggunaan. Ketika
seseorang punya harta yang banyak, kemudian disyukuri dan digunakan untuk beribadah,
berjuang menegakkan agama Allah, maka zuhudlah ia. Sebaliknya orang yang miskin harta,
namun harta yang ada (walau sekecil apapun) tidak disyukuri dan tidak dipakai beribadah,
maka ia tidak tergolong zuhud walaupun miskin
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa ada 10 sahabat yang dijamin masuk surga, yaitu ;
1. Sayyid Abu bakar as Shiddiq

2. Sayyid Umar ibn Khottob


3. Sayyid Utsman ibn Affan
4. Sayyid Ali Ibn Abi tholib

5. Sayyid Tholhah ibn Abdulloh


6. Sayyid Zubair ibn Awwam
7. Sayyid Sa’ad ibn abi waqosh
8. Sayyid sa’id ibn zaid
9. Sayyid Abdurrohman ibn Auf
10. Sayyid Abi Ubaidillah ibn Jarroh

Dari 10 orang tersebut di atas, kebanyakan orang kaya. Diantaranya bisa kita lihat dari
sejarah, menurut sebagian sumber Sayyid Utsman bin Affan pernah membeli sumber mata air
“raumah” di madinah yang airnya jernih dari seorang yahudi seharga 20.000 dirham (sekitar
Rp. 5 Milyar) Kemudian sumber air tersebut diwakafkan untuk kepentingan kaum muslimin,
karena saat itu kaum muslimin sedang kekurangan air bersih. Ia juga pernah menyumbangkan
1000 ekor unta (sekitar Rp. 10 Milyar) dan 70 ekor kuda ditambah 1000 dirham untuk
kelancaran perang tabuk.

33
Sayyid tholhah dijuluki “al fayyadh” (yang sangat banyak infaknya) oleh Baginda Nabi, ia
pernah menginfakkan hartanya sebesar 300.000 dirham (Rp. 18 Milyar)

Abdurrohman bin Auf, dikenal sebagai pedagang yang tidak pernah rugi. Beliau yang
pernah menyumbangkan 4000 dinar (sekitar Rp 4,250,000,000), hampir mencapai separuh
hartanya saat itu. Ia juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda (sekitar Rp. 5 Milyar) untuk
kelengkapan tentara Islam.
Kalau zuhud diidentikkan dengan miskin, berarti para shohabat yang disebut di atas tidak
zuhud? Mana mungkin mereka dijamin masuk surga?. Yang tidak boleh itu bukan punya dunya
(kaya harta) tapi cinta dunia sehingga tertipu dunia, sedangkan letaknya cinta itu dihati. Tanda
tertipu bagaimana? Yang tadi disebutkan, bahwa hartanya tidak disyukuri dan tidak digunakan
untuk beribadah. Maka dunia jangan sampai masuk dan menguasai hati, simpan saja di tangan.

Dalam hal ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi 4 tipe


1. Orang tidak cinta harta, namun kaya raya
2. Orang tidak cinta harta, juga miskin harta
3. Orang cinta harta, juga kaya raya
4. Orang cinta harta, namun miskin harta
Tipe ke 1 dan ke 2 termasuk zuhud, sedangkan yang ke 3 dan ke 4 bukan tipe zuhud walaupun
miskin.
Harus diingat, miskin bukan tanda kesholehan, karena di dalam Al-Quran pun dari
surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas, tidak ada yang menyebutkan tanda-tanda orang
beriman, atau orang sholeh harus miskin. Sekali lagi yang ada itu jangan tertipu oleh
harta/dunia
Kita umat islam jangan ingin miskin, tapi harus siap miskin, artinya ketika hidup kita
belum diberi kesejahteraan oleh Allah jangan mengeluh, menggerutu dan putus asa. Tapi
berusaha sepenuh daya keluar dari keadaan tersebut. Bukankah kita punya yelyel “
PERUBAHAN ! BISA, BISA, PASTI BISA. INSYA ALLAH”. Saya bicara seperti ini bukan
omdo (omong doang) karena memang pernah mengalami, 10 tahun saya hidup serba
kekurangan, sering mengalami ketika mau makan tidak ada beras buat dimasak, harus pinjam
dulu ke santri. Genting dipakai untuk “nyangrai” ikan asin sebagai pengganti wajan. Kemudian
walaupun sudah berkeluarga, alhamdulillah semangat mencari ilmu tidak pernah surut, pernah
suatu ketika ingin mengikuti “pasaran” fathul mu’in ke Mama Abdurrohman cikole-ciamis,
untuk itu saya harus menanam sawi dulu, hasilnya dijual, uang penjualannya dikumpulkan,
beberapa bulan kemudian barulah bisa berangkat ke ciamis. Alhamdulillah, diantaranya berkah
para guru, berkah mengamalkan wirid waqi’ah, sholawat dll, saya bisa keluar dari keadaan
tersebut. Yang repot, hidup belum sejahtera, tapi malasnya akut. Kerja malas, berdo’a malas.
Disuruh shaum 40 hari disertai mengamalkan wirid waqi’ah, tidak mau. Wirid sholawat 4444x
ْ
juga berat. Ingat, ‫س ِهم‬
َُْ َ ‫ري ْوا‬
ِ ‫ما بِانف‬ ُ ‫اّلل ََل ُي َغ‬
ُ ‫ري َما ب َق ْوم َح هت ُي َغ‬ َ ‫ا ذِن ه‬
ِ ٍ ِ ِ
Kembali ke pembahasan awal, bahwa jangan anggap remeh amal yang menurut kita
kecil/sedikit, selama kita terus menjaga qalbu kita. Setiap kebaikan khususnya yang termasuk
sunnah (amalan yang dilakukan/berasal dari Baginda Nabi) mempunyai kekuatan spiritual

34
yang luar biasa, yang bisa menurunkan nushrotulloh (pertolongan Allah). Saya pernah
mendengar al habib umar bin hafidz menceritakan sebuah kisah, pada masa pemerintahan
sayyid Umar bin khattab
Ketika sayyid Umar bin Khatab mengirim pasukan ke sebuah kota untuk menaklukan
kota tersebut setelah sebelumnya menolak ajakan masuk Islam. Selang berhari-hari pasukan
islam belum bisa menaklukkan kota tersebut. Akhirnya sang panglima meminta tambahan
pasukan sejumlah 40.000 orang pada Khalifah Umar bin Khatab.
Khalifah Umar mengabulkan permintaan tersebut. Namun tambahan pasukan yang
dikirim hanya berjumlah 4 orang saja. Beliau beralasan bahwa 4 orang ini masing-masing sama
dengan 10.000 pasukan. Sayyid Umar berpesan pada 4 orang ini untuk menyelidiki mengapa
pasukan Islam belum juga berhasil dalam penaklukan tersebut.
Berangkatlah tambahan pasukan ini dengan membawa misi khusus dari sang khalifah.
Sesampainya di perkemahan pasukan muslim, 4 orang ini membaur dan mengikuti semua
kegiatan pasukan. Mulai dari sholat berjamaah, qiyamul lail, tilawah dll. Mereka menilai
bahwa dari segi ibadah pasukan ini tidak ada masalah. Lalu apa sebenarnya yang menjadi
masalah mereka sehingga menghalangi mereka dari memperoleh kemenangan?
Setelah diamati ternyata ada satu sunnah yang belum diamalkan oleh pasukan muslim
saat itu, dengan berbagai alasan. Yaitu bersiwak. Setelah hal itu dimusyawarahkan dengan sang
panglima, maka semua pasukan dikumpulkan. Mereka diminta untuk menebang pohon untuk
membuat siwak. Semua pasukan menuruti perintah ini. Mereka berbondong-bondong mencari
pohon yang kayunya bisa dipakai untuk bersiwak lalu menebangnya kemudian dibuatlah
siwak. Setelah itu mereka semua bersiwak dengan kayu dari pohon yang sudah mereka tebang
tadi.

Setelah semua bersiwak pasukan ini bersiap menyerang kota tersebut. Sesampainya di
kota, mereka sangat kaget bercampur bahagia, karena ternyata pasukan kafir telah pergi dari
kota tersebut, mereka menang tanpa berperang

Setelah ditelusuri penyebabnya, ternyata saat semua pasukan muslim menebang pohon,
sampai bersiwak, ada mata-mata pihak kafir yang mengintai semua kegiatan pasukan islam
tersebut. Kemudian si mata-mata melaporkan kepada pimpinan pasukannya bahwa pasukan
muslim sangat hebat dan menakutkan, mereka sedang memakan kayu dan terlihat sedang
mengasah gigi-gigi mereka dengan kayu tersebut, “mungkin mereka akan memakan kita juga
komandan” ujar mata-mata itu. Padahal mereka sedang bersiwak

Ketika kita melakukan sebuah kebaikan dengan ikhlas maka Allah ridho, kalau sudah
ridho, maka pertolonganpun turun.
Ini juga merupakan salah satu makna dari motto Pesantren Azzainiyyah “BUKAKAN PINTU
LANGIT, GETARKAN BUMI”
Hikmah Ke-46

ِ‫ات ْالنْ َزال‬


ِ ‫ َو ُح ْس ُن ا َْل ْح َوالِ ِم َن التَّ َحقم ِق ِف َمقَا َم‬، ِ‫ُح ْس ُن ا َْل ْ ََعالِ نَتَائِ ُج ُح ْس ِن ا َْل ْح َوال‬
ِ

35
46. “Baiknya amal merupakan hasil dari baiknya ahwal. Sedangkan baiknya ahwal
merupakan hasil dari pencapaian maqām-maqām inzāl”

Bagusnya a’maal (aktifitas) adalah hasil dari bagusnya ahwal. Dalam literatur umum
ahwal adalah tingkah laku, namun dalam hikmah ke 46 ini ahwal difahami sebagai kondisi
qalbu. Dengan begitu baiknya aktivitas kita tergantung kondisi qalbu, dan bagusnya kondisi
qalbu merupakan hasil dari pemposisian/maqomat yang telah dicapai
Hikmah Ke-47

‫ ِ َْل َّن غَ ْفلَتَ َك َع ْن ُو ُج ْو ِد ِذ ْك ِر ِه َأ َش مد ِم ْن غَ ْفلَتِ َك ِف‬،‫هللا ِف ْي ِه‬ ِ ‫َل ت ْ َُرت ِك ا دِل ْك َر ِل َعدَ ِم ُحضُ ْو ِركَ َم َع‬
‫ َو ِم ْن ِذ ْك ٍر‬،‫ فَ َع َس َأ ْن يَ ْرفَ َع َك ِم ْن ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد غَ ْف َ ٍةل ا ََل ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد ي َ ْق َظ ٍة‬.‫ُو ُج ْو ِد ِذ ْك ِر ِه‬
ِ
‫ َو ِم ْن ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد ُحضُ ْو ٍر ا ََل ِذك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد‬،‫َم َع ُو ُج ْو ِد ي َ ْق َظ ٍة ا ََل ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْو ِد ُحضُ ْو ٍر‬
ْ
ِ ْ ِ
ِ َ
﴾ ‫﴿و َما ٰذ ِ َل عََل ٰ داّلل ِب َع ِزْي ٍز‬
4
َّ ،‫غَ ْي َب ٍة َم ِاس َوى الْ َمذك ْو ِر‬
ُ
47. “Jangan tinggalkan zikir karena ketidakhadiran hati-mu bersama Allah (khusu’).
Sebab, sesungguhnya kelalaianmu kepada Allah ketika tidak berzikir lebih buruk
daripada kelalaianmu dalam berzikir. Semoga Allah berkenan mengangkat derajarmu
dari zikir disertai lalai menuju zikir disertai kesadaran, dari zikir disertai kesadaran
menuju zikir disertai kehadiran, dan dari zikir yang disertai kehadiran menuju zikir
yang disertai fana dari yang selain dizikirkan. “Hal itu bagi Allah tidaklah sulit”

Permasalahan : Apakah pemikiran ulama indonesia masih ada yang menyalahkan dzikir
berthoriqoh? Masih sangat banyak pak. Ini perlu kita luruskan
Secara umum dzikir terbagi dua
1. Dzikir untuk cari pahala : membaca Al-Quran, tasbih, tahmid tahlil, sholawat, hizb-
hizb, dan lain-lain. Hukum dzikir seperti ini sunat
2. Dzikir untuk membersihkan qolbu dari berbagai penyakitnya. Dzikir seperti ini
hukumnya wajib. Berdasarkan Q.S Al-An’am ayat 120 :
َ ُ ََْ ُْ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ َْ ْ َ ُْ ْ َ َ ْ ‫َ َُ ْ َ َ ْ ْ ََ َٗ ذ ذ‬
١٢٠ ‫َتف ْون‬
ِ ‫اَلثم سيجزون بِما َكنوا يق‬
ِ ‫اَلث ِم وباطِنه ا ِن اَّلِين يكسِبون‬
ِ ‫وذروا ظاهِر‬
“Dan tinggalkanlah dosa dzohir (yang nampak) dan dosa bathin (yang tersembunyi).
Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari
kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”.

Dosa dzohir atau yang nampak seumpama membunuh, zina, mencuri, ghasab, ghibah,
dll. Adapun dosa bathin, menurut Syeikh Amin Al Kurdi dalam tanwirul Qulub, biangnya ada
7 yaitu; Takabbur(sombong), Tamak, Syahwat (malas), Dengki, Marah, Kikir dan Dendam.

4
Q.S. Ibrahim : 20

36
Dari ke 7 biang tersebut, penyakit/dosa qolbu bisa berkembang menjadi ribuan bahkan jutaan
dosa lain.
Lalu bagaimana cara mengobati penyakit/dosa qalbu tersebut?

Hadis Baginda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dari Imam Jabir,
‫ْ ذ‬ ُ ُْ ََ َ ‫ذ‬ ًَ َ ْ َ ‫إِ ذن ل ُِك‬
ِ‫وب ذِك ُر اّلل‬
ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ة‬‫ال‬‫ق‬ ‫ص‬
ِ ‫ِإَون‬ , ‫ة‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ص‬
ِ ‫ء‬
ٍ ‫َش‬ ِ
“Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih qalbu adalah
dzikir kepada Allah”
Setelah kita tahu bahwa menjauhi dosa bathin/penyakit qalbu hukumnya wajib, alatnya
sudah ada yaitu dzikir, apakah sudah cukup dengan alat saja? belum saudaraku, tapi harus
memakai cara yang benar. Anak kecil disuruh mencuci piring oleh ibunya, alatnya (sabun dan
spons) ada, tapi tidak diajarkan caranya bagaimana, kira-kira apakah piringnya akan bersih?
Mungkin saja piring yang sudah dicuci masih ada bau amisnya, masih licin karena
lemak tidak terangkat, atau bahkan piringnya malah pecah. “Mencuci” qalbu juga walau sudah
ada alatnya yaitu dzikir, tapi kalau belum tahu “cara” nya tidak akan berpengaruh banyak.
“Cara” kalau diterjemahkan kedalam bahasa inggris menjadi methode, sedangkan kalau di
terjemahkan kedalam bahasa arab menjadi thoriqoh. Maka thoriqoh bisa diartikan sebagai
metoda/cara berdzikir agar dapat membersihkan qalbu. Alhasil, menggunakan thoriqoh dalam
berdzikir itu hukumnya wajib.
Setelah anda mengamalkan thariqah, apakah dzikir anda selalu khusyu? Saat dzikir
“laailaaha illallah” apakah hatinya masih suka lupa kepada Allah? bukankah terkadang muncul
jengkel dan putus asa, mengapa hati ini susah khusyu?
Hikmah ke 47 di atas dapat membantu mengurangi rasa jengkel dan kecewa kita,
menurut syekh ibn athaillah, janganlah anda meninggalkan dzikir walaupun anda belum bisa
khusyu, karena lupanya hatimu disertai jauh dari dzikir (lisan), itu lebih berbahaya daripada
lupanya hatimu namun lisannya masih berdzikir
Makanya orang-orang tarekat jauhilah ucapan seperti “ apaan itu subhanallah, itu
dzikir umum, kalau saya sudah punya dzikir khusus”, bahasa sombong itu, belajarlah
menghargai orang lain.
Subhanallah dzikir agung, alhamdulillah dzikir agung
Allahu akbar dzikir agung, laailaahaillaloh lebih agung

Boleh jadi ada pergeseran dari yang tadinya kita dzikir yang ada lupanya, kepada dzikir
yang ada yaqdzohnya (melek), nanti dari dzikir yaqdzoh (banyak ingatnya) bergeser lagi
menjadi dzikir hudhur (hadir hati), sudah merasakan berhadapan dengan Allah, dekatnya Allah,
kebesamaan Allah, dari dzikir hudhur naik lagi kepada dzikir ghaibah (hilangnya semua selain
Allah termasuk diri kita), bagaimana itu maksudnya? Hal-hal seperti ini tidak bisa difikirkan
oleh otak, harus diamalkan dan dirasakan. Tidak sulit bagi Allah meningkatkan maqom dzikir
kita dari tahap ke tahap

37
Hikmah Ke-48

ِ َ‫ات َم ْو ِت الْقَلْ ِب عَدَ ُم الْ ُح ْز ِن عَ ََل َما فَات ََك ِم َن الْ ُم َوافَق‬
‫ وتَ ْركُ النَّدَ ِم عَ ََل َما‬،‫ات‬ ِ ‫ِم ْن عََّل َم‬
‫فَ َعلْ َت ُه ِم ْن ُو ُج ْو ِد َّالز َّل ِت‬
48. “Diantara tanda-tanda matinya hati adalah tidak merasa sedih ketika meninggalkan
ibadah/kebaikan dan tidak prihatin terhadap dosa/pelanggaran yang telah engkau
lakukan”
Hikmah ini bukan untuk menilai orang lain, tapi untuk menilai diri sendiri.
Diantara tanda qalbu yg mati, adalah tidak ada rasa sedih/penyesalan ketika ada
kebaikan yang tidak dilaksanakan padahal kita punya kesempatan. Salah satu contonya adalah
shalat berjamaah. Kalau tidak merasa sedih karena tidak berjamaah, ini tanda matinya qalbu
Kita baru sedih apabila hilang uang, motor atau benda lain, inilah kelakuan kita, tapi
“hilangnya” tahajud dari malam-malam kita, kosongnya pagi dari shalat dhuha, hilangnya
kesempatan shodaqoh tidak membuat bersedih, acuh-acuh saja, berarti qolbu kita masih mati.
kalau sudah sadar kesini nanti dzikirnya lebih beda lagi, bisa sambil nangis pak.
Diantara hal yag menyebabkan tidak adanya rasa sedih ketika terlewat ketaatan-
ketaatan adalah terjebak oleh terminologi hukum, dalam islam, klasifikasi hukum ada 5, yaitu
;
1. Wajib = dilaksanakan diberi pahala, ditinggalkan disiksa
2. Sunat = dilaksanakan diberi pahala, ditinggalkan tidak akan disiksa
3. Mubah = dilaksanakan dan ditinggalkan sama saja

4. Makruh = dilaksanakan tidak akan disiksa, ditinggalkan diberi pahala


5. Haram = dilaksanakan disiksa, ditinggalkan diberi pahala

“Kang mengapa tidak shaum, ini kan hari senin/kamis? “ah kan cuma sunat, tidak akan
disiksa”.
Itulah alasan meninggalkan ibadah sunat, dan tidak bersedih meninggalkannya. Untuk
merubah pola pikir seperti itu, saya buat sebuah perumpamaan, sifatnya fiktif. Tanpa
bermaksud istihza (mengolok-olok) akhirat dan malaikat, ini semata-mata agar mudah
difahami orang awam
Umpamanya di akhirat sedang terjadi penimbangan amal, ceritanya si ujang amalnya
ditimbang setelah ditimbang ternyata amal baik ujang adalah 1000 kg, amal jeleknya 1 ton,
maka berimbanglah kebaikan dan kejelakan ujang, tiba-tiba ada malaikat datang bawa amal si
ujang yang ketinggalan, yaitu ketika si ujang pulang kerja, matanya melotot melihat perempuan
seksi, maka dimasukkanlah kedalam neraca dosa, kemudian beratnya bertambah misalkan
menjadi 1 ton 5 ons, sehingga timbangan amal jelek ujang lebih berat, saat mau diputuskan
bahwa ujang masuk neraka, tiba-tiba ada malaikat yang datang lagi bawa amal yang
ketinggalan juga, amal apa itu? Dulu waktu dia mau makan, baca bismillah dulu ternyata
nilainya misalkan 5 ons juga, jadilah berat timbangannya berimbang lagi, namun karena amal
baik dibalasnya 10 kali lipat, maka kebaikan yang 5 ons itu menjadi 5 kg, jadilah berat amal
baik ujang 1005 kg (1 ton 5 kg) dan amal jeleknya 1 ton 5 ons, oleh karena itu diputuskanlah

38
bahwa ujang masuk surga. Andaikan si ujang saat mau makan tadi tidak baca basmallah, maka
si ujang akan masuk neraka.
Jadi walaupun dengan meninggalkan amalan sunat tidak diancam dengan
siksaan/neraka, tapi tidak menutup kemungkinan dengan meninggalkannya kita masuk neraka.
Hikmah Ke-49
َّ ‫َل ي َ ْع ُظ ِم ا َّلن ُْب ِع ْندَ كَ َع َظ َم ًة ت َُصدمكَ َع ْن ُح ْس ِن‬
‫ فَا َّن َم ْن َع َر َف َرب َّ ُه‬،‫الظ ِدن ِِب ِهلل تَ َع َاَل‬
ِ
‫ِا ْس تَ ْصغ ََر ِف َجنْ ِب َك َر ِم ِه َذنْ َب ُه‬
49. “Janganlah suatu dosa dianggap begitu besar oleh mu, sehingga akan
menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah. Sesungguhnya siapa yang
mengenal Rabbnya pasti akan menganggap tidak seberapa dibandingkan dengan
kemurahan-Nya”

Bagi Seorang salik yang senantiasa berusaha menjaga dirinya agar tidak terpeleset
kedalam dosa, baik dosa kecil apalagi dosa besar. Apabila satu saat terpeleset juga melakukan
suatu dosa, terkadang muncul perasaan menyesal yang diikuti dengan putus asa dan berburuk
sangka kepada Allah. menganggap dosanya sangat besar dan tidak akan diampuni oleh Allah,
merasa dirinya kotor, tak layak wushul kepada Allah.
Dalam keadaan seperti ingatlah sebuah Hadits Qudsi, yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairoh r.a,

ْ ‫ض‬َ َ ْ ََ َ ْ َْ َ ‫ذ‬
‫ب‬ ِ ‫إِن رْح ِت سبقت غ‬
“Sesungguhnya kasih sayang-Ku mendahului murka-Ku”
Selama kita mau bertobat, sebesar apapun dosa kita pasti diampuni

Hikmah Ke-50

‫اْج َك فَضْ ُ ُل‬


َ َ ‫ َو َل َكب ْ َِْي َة ا َذا َو‬،ُ‫كل عَدْ ُِل‬
َ َ َ ‫َل َص ِغ ْ َْي َة ا َذا قَاب‬
ِ
50. “Tidak ada dosa kecil bila dihadapkan pada keadilan-Nya, dan tidak ada dosa besar
ِ
bila dihadapkan pada kemurahan-Nya”

Ada ‘adl (keadilan) Allah, ada juga fadhl (karunia) Allah. ‘adil itu bisa diartikan yang
Maha tegas, yang salah dihukum, yang benar diberi imbalan. Sedangkan fadhol nya Allah,
lebih mengedepankan kasihsayang ketimbang nilai benar-salah atau baik-buruk.

Kalau pada hikmah ke 49 kita lebih diarahkan kepada fadhol/rahmat Allah, sebagai
penangkal agar tidak putus asa dan berburuk sangka kepada Allah. Pada hikmah ke 50 ini syekh
ibn ‘Athoillah mengajarkan kita keseimbangan antara keyakinan terhadap fadholnya Allah dan
‘adilnya Allah.
Terlalu dominan kepada fadholnya Allah, bisa mengaikbatkan kita menyepelekan dosa.
Sebaliknya apabila terlalu dominan kepada ‘adilnya Allah bisa mengakibatkan kita putus asa.

39
Maka ketika kita putus asa karena dosa yang terlanjur dilakukan, saat itu ingatlah fadhol-Nya,
dan ketika muncul dorongan menganggap remeh suatu dosa, maka ingatlah Adil-Nya

Kalau kita dihadapkan dengan adilnya Allah, maka ibadah kita tidak akan ada yang
layak diterima. Dalam shalat banyak melamunnya, shodaqoh banyak riyanya. Kalaupun layak
diterima maka sebanyak apapun ibadah kita jangankan untuk “membeli” surga-Nya, untuk
menebus nikmat mata dengan kemampuan melihatnya saja belum tentu mampu.
Hikmah Ke-51

‫َل َ ََع َل َأ ْر ََج لِلْ ُقلُ ْو ِب ِم ْن َ ََع ٍل ي َ ِغ ْي ُب َع ْن َك ُشه ُْو ُد ُه َويَـ ْحتَ ِق ُر ِع ْندَ كَ ُو ُج ْو ُد ُه‬
51. “Tidak ada amal yang lebih bisa diharapkan untuk diterima daripada amal yang
tidak engkau sadari (tidak di ingat-ingat) dan engkau menganggapnya tidak berarti”
Semua orang beramal tujuannya tentu ingin diterima. Amal yang seperti apa yang bisa
diharapkan diterima Allah? Yaitu amal yang kita sendiri melupakannya, karena kita anggap
kecil. tidak kita ingat-ingat. Kalaupun kita ingat, kita anggap itu amal kecil.
Kalau anda masih suka bangga dengan amal anda, menganggapnya besar dan hebat
sehingga diingat-ingat terus, itu karena anda membandingkan amal anda dengan amal orang
yang lebih malas daripada anda.
Anda rajin tahajud baru 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun, akan merasa banyak, bangga
dan hebat apabila anda membandingkan diri anda dengan tetangga anda yang tak pernah
tahajud, tapi coba kalau dibandingkan dengan baginda Nabi Muhammad SAW, yang sampai
bengkak telapak kakinya karena tahajud, bandingkan dengan Syeikh Abdul Qodir yang selama
40 tahun sholat subuh dengan wudu shalat isya (semalaman beribadah/shalat). Inilah salah satu
hikmah pentingnya membaca kisah orang-orang sholeh, agar disaat kita loyo ibadah, jadi
semangat lagi. Dan di saat kita bangga dengan amal kita, maka akan malah merasa malu, karena
mereka jauh lebih banyak amalnya.

Hikmah Ke-52

‫إان َّ َما َأ ْو َر َد عَلَ ْي َك الْ َوا ِر َد ِلتَ ُك ْو َن ِب ِه عَلَ ْي ِه َوا ِردًا‬


52. “Sesungguhnya Allah mendatangkan wārid (limpahan) kepadamu supaya dengannya
engkau datang kepada Allah”
Istilah warid agak kurang populer dalam literatur keilmuan kita. Yang lebih populer
adalah wirid. Wirid sesuatu yang dibiasakan, bacaan-bacaan yang biasa dibaca disebut wirid.
Secara bahasa warid adalah sesuatu yang datang, dalam ilmu tasawuf warid adalah maa
yaridu alal qolbi artinya segala sesuatu yang Allah kirimkan kedalam qalbu manusia tentang
kema’rifatan, dan lathoif robbaniyyah contohnya seperti yang telah kita fahami tentang Al-
Muhith-Nya Allah ; depan, belakang, kanan, kiri, atas bawah, luar dalam, kita dicakup oleh
Allah

40
Sekali lagi harus cepat merubah diri, jangan selalu berfikir bahwa yang dinamakan
imbalan dari Allah adalah berbentuk makanan, harta. kalau otak kita berfikirnya kesana melulu,
nanti yang “bagian dalam” tidak akan mendapat bagian
Datangnya warid dari Allah itu sebagai alat pembersih qalbu kita, dari kita dzikir, Allah
pun berdzikir kepada kita namun berbentuk warid, ini yang dimaksud dzikir dapat
membersihkan qalbu
Ketika kita melakukan perjalanan ruh menuju Allah, kita ambil ilmu dari guru,
diamalkan dengan istiqomah, maka sedikit demi sedikit Allah limpahkan warid, limpahan dari
Allah kedalam qalbu kita, supaya kita lebih meningkatkan ibadah kepada Allah. Ini bedanya
ilmu do’a dengan ilmu qurbah, dalam ilmu do’a, ketika kita mengamalkan sebuah amalan, lalu
Allah mengabulkan permintaan kita, maka sudah saja sampai disitu, tidak ada keinginan
meningkatkan amalan, karena sudah diqabul. Dan qabul itulah yang menjadi tujuan
Sedangkan dalam ilmu qurbah/suluk/thariqoh, kita melakukan ibadah kepada Allah,
istiqomah, Allah mengqobulkan keinginan kita, justru akan semakin meningkatkan ibadahnya
baik dari segi kualitas maupun kuantitas, jadi polanya bukan seperti ini ; istiqomah dalam
amalan- ijabah- libur, justru semakin meningkat, sebab perjalanan menuju Allah minimal
diawali dari alam mulki – malakut- jabarut – lahut. Dari mulki ke malakut itu berapa milyar
kilometer, jarak dari bumi ke matahari saja 90 juta kilometer, itu baru dilingkup galaksi, apalagi
kalau dengan planet dan bintang yang lain, sampai langit ke tujuh bisa triliyunan kilometer,
nah itu baru alam kecil (alam mulki). Apabila kita terus beramal, naik ke alam jabarut, masih
terus beramal ruh kita naik ke alam lahut sampai ke hadhrat Allah. Dari kita terus mendorong
ruh dengan amalan-amalan, dan dari sana melimpah jemputan dari Allah, ini yang belum
dikenal umat, dikalangan umat baru sebatas ibadah-pahla, dalam bersuluk rumusnya ibadah –
marifat
Hikmah Ke-53

‫ َو ِل ُي َح د ِر َركَ ِم ْن ِر د ِق اْلْ َث ِر‬،‫َأ ْو َر َد عَلَ ْي َك َالوا ِر َد ِل َيت َ َسل َّ َم َك ِم ْن ي َ دِد ْ َاْل ْغ َي ِار‬
53. “Allah memberimu wārid untuk menyelamatkanmu dari cengkraman dunia dan
membebaskanmu dari pebudakan makhluk”

Allah memberikan warid kepada kita tujuannya agar kita terbebas dari makhluk, dan
dari diperbudak oleh makhluk,
Makhluk itu terkadang mencuri kita dari Allah, yaitu ketika kita mencintainya. Contoh,
di awal-awal kita punya motor atau mobil, qalbu kita lebih cinta kepada mobilnya atau yang
memberi mobil (Allah)? Kebanyakan kita lebih cinta mobilnya, itu berarti mobil telah mencuri
hati kita dari Allah, karena seharusnya hati kita hanya untuk Allah
Nah Allah memberi kita warid untuk menyelamatkan kita dari pencuri qalbu kita yaitu
makhluq, sehingga walaupun badan kita berhadapan dengan mobil, tapi qalbu tetap ingat
kepada Allah, bukan malah memuji dan memuja mobil

41
Tujuan lain adanya warid dari Allah adalah Dia hendak membebaskan kita dari
perbudakan makhluk, kita ini diperbudak makhluk, dengan kata lain banyak diantara kita yang
masih menjadi hamba makhluk (segala sesuatu selain Allah) ; kita lebih taat kepada atasan/bos
dari pada kepada Allah, kita lebih memuja harta dari pada Allah, kita lebih mengejar
popularitas/pangkat namun meremehkan ridho Allah, kita lebih berani cape, lelah untuk
kepentingan perut dari pada lelah untuk beribadah kepada-Nya. Itu semua menjadi indikasi
bahwa kita ini budak makhluk, bukan hamba Tuhan
Hikmah Ke-54

ْ ِ ‫َأ ْو َر َد عَلَ ْي َك الْ َوا ِر َد ِل ُي ْخ ِر َج َك ِم ْن‬


َ‫جس ِن ُو ُج ْو ِدكَ ا ََل فَضَ ا ِء ُشه ُْو ِدك‬
ِ
54. “Allah memberimu wārid untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu menuju
medan penyaksian”
Masih seputar tujuan adanya warid, Allah mengirimkan warid kepada kita agar Allah
mengeluarkan diri kita (ruhul qudsi) dari penjara wujud kita, karena kita sering “dipenjara”
dikekang oleh diri kita sendiri.
Baiknya sepertiga malam kita beribadah kepada Allah, tapi kenyataannya kita lebih
mengikuti selera nafsu (diri) untuk tidur, 2,5 % harta kita milik orang lain, namun diri ini masih
berat mengeluarkannya karena lebih sayang terhadap diri sendiri, takut kekurangan. Dengan
adanya warid dari Allah berupa kenikmatan ma’rifat, maka ego kita sedikit sedikit bergeser.
Hikmah Ke-55

َ ْ ‫ا َْلن َْو ُار َم َط َاَي ال ُقلُ ْو ِب َوا َْل‬


‫رسا ِر‬
55. “Cahaya-cahaya adalah kendaraan hati dan asrār (rahasia)”
Kalau dalam tasawuf bicara cahaya, bukan cahaya terang seperti cahaya matahari atau
lampu, nur (cahaya) Allah tanpa warna, gelap menurut pandangan mata pun masih
mengandung cahaya Allah.
Cahaya Allah adalah kendaraan qalbu, yang dengannya qalbu tersebut sampai kepada
yang dituju yakni Allah. Bagaimana cara menghasilkan cahaya tersebut? Yaitu dengan
melakukan ibadah-ibadah dzohir seperti shalat, dzikir, shaum dakwah dan lain sebagainya.
Hikmah Ke-56

‫رص َع ْبدَ ُه َأ َم َّد ُه ِ ُِب ُن ْو ِد ا َْلن َْوا ِر‬


َ ُ ‫هللا َ َأ ْن ي َ ْن‬ ‫ َ َمَك َأ َّن م‬،‫النم ْو ُر ُجنْدُ القَلْ ِب‬
ُ ‫الظلْ َم َة ُجنْدُ النَّ ْف ِس فَا َذا َأ َرا َد‬
ِ
‫الظ َ ِل َو ْ َاْل ْغ َي ِار‬
‫َوقَ َط َع َع ْن ُه َمدَ َد م‬
56. “Cahaya adalah tentara hati, sebagaimana kegelapan adalah tentara nafsu. Ketika
Allah hendak menolong hamba-Nya, maka Dia membantunya dengan pasukan cahaya
dan memutus bantuan kegelapan serta kepalsuan”
Cahaya Allah adalah tentaranya qalbu, sedangkan kegelapan adalah tentaranya nafsu.

42
Disaat dalam diri kita terjadi “perang” antara qalbu dan nafsu; qalbu mengajak kepada
kebaikan, sedangkan nafsu menghalanginya, nafsu membujuk kepada kejelekan sementara
qalbu menolaknya. Dalam diri kita selalu terjadi hal seperti itu. Ketika mau mengeluarkan uang
50 ribu untuk dimasukan kas (kencleng) masjid menjelang shalat jumat, bukankah kadang
terjadi perang dalam diri kita, antara jadi shodaqoh atau tidak, atau antara ngasih yang 50 ribu
atau yang 5 ribu. Dorongan yang mana yang akan menang?
Dari kita selaku hamba, kuatkan mujahadah untuk melawan kehendak nafsu. Setelah
itu, seandainya Allah bermaksud menolong kita maka Dia akan mengirimkan tentara qalbu
yaitu cahaya-Nya, sehingga qalbu diliputi cahaya, dan kegelapan nafsu pun sirna.
Saya sendiri, kadang ketika datang malas untuk berjamaah sholat, berat sekali untuk
tahajud, udah nunduk aja, dzikir khofi, hati menjerit meminta pertolongan Allah. barulah ada
cahaya lagi
Hikmah Ke-57

‫ َوالْقَلْ ُب َ ُِل ْال ْق َب ُال َو ْالد َِْب ُر‬،‫ َوالْ َب ِص ْ َْي ُة لَهَا الْـ ُح ْ ُك‬،‫َالنم ْو ُر َ ُِل الْ َك ْش ُف‬
ِ ِ
57. “Cahaya dapat menyingkap tabir, mata hati (basirah) dapat menetapkan hukum,
sedangkan hati dapat menghadap dan berpaling”
Saya bahas dulu mukasyafah, sebagian orang memahami mukasyafah itu kemampuan
mengetahui hal-hal ghaib, seperti tahu jodoh seseorang, tahu siapa yang ngambil uang kita.
Ada juga yang beranggapan bahwa mukasyafah hanya merupakan karomat seorang
wali, sehingga menimbulkan perasaan kita tidak akan sampai kepada hal tersebut.

Melihat mobil tabrakan, mendengar halilintar, saat berjalan kaki tersandung kemudian
spontan lisan berucap Subhanallah, Maasya Allah. Itu sudah masuk ke gerbang mukasyafah.
Orang komunis anti tuhan melihat kejadian tersebut yg dikataknnya “mobil tabrakan” sudah
itu saja, kita mengatakan masyaa Allah (ini kehendak Allah), berarti sedikit banyak hati kita
sudah terbuka, tahu bahwa itu kehendak Allah.

Adapun bisa nebak siapa yang mencuri dompet, siapa jodoh seseorang, itu juga
memang mukasyafah namun dalam bidang ilmu hikmah, caranya tinggal mengamalkan wirid
tertentu, tercapailah kemampuan seperti itu.

Pada hikmah ke 57 ini Syekh Ibn Athoillah menjelaskan bahwa dengan adanya cahaya
Allah pada qalbu, maka terbukalah tabir kegaiban, sehingga mata hati (bashiroh) bisa melihat
hal-hal gaib, diantaranya “melihat”/menyadari keberadaan Allah, atau menyadari besarnya
nikmat Allah yang ada pada diri dll.
Dari keterbukaan bashiroh terhadap hal-hal seperti itu, akan mendorong qalbu untuk
“iqbal (menghadap/melakukan)” dan idbar (meninggalkan). Contoh karena menyadari
besarnya nikmat Allah muncullah iqbal seperti semakin rajin ibadah sebagai tanda syukur. Dan
karena “melihat”/menyadari keberadaan Allah muncullah idbar yaitu meninggalkan yang tidak
disukai Allah

43
Hikmah Ke-58

ِ ‫هللا ِالَ ْي َك﴿قُ ْل ِب َفضْ ِل ٰ د‬


‫اّلل‬ ِ ‫الطاعَ ُة ِ َلهنَّ َا بَ َر َز ْت ِمنْ َك َوافْ َر ْح هبِ َا ِ َلهنَّ َا بَ َر َز ْت ِم َن‬ َّ ‫َلتُ َف د ِر ُح َك‬
﴾ 5‫َو ِب َر ْ َمحتِ ٖه فَب ِٰذ ِ َل فَلْ َي ْف َر ُح ْوا ۗ ه َُو خ ْ ٌَْي ِدم َّما َ َْي َم ُع ْو َن‬
58. “Janganlah ketaatanmu kepada Allah membuatmu bahagia lantaran merasa ia
berasal darimu . Akan tetapi berbahagialah dengan ketaatan karena ia terjadi karena
karunia Allah kepadamu. (Katakanlah ‘dengan karunia dan rahmat Allah maka
hendaklah mereka berbahagia, hal itu lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan)”.

Sebagian umat islam ada yang merasa bahagia karena terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat duniawi dan syahwat seperti punya pekerjaan yang layak dengan gaji
tinggi, rumah megah, mobil mewah, istri wah, harta berlimpah, disanjung orang, dan lain
sebagainya. Semua itu tidaklah dilarang dalam islam, namun ketika hal tersebut tidak
digunakan untuk beribadah kepada Allah maka kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang
hakiki, bahkan termasuk kedalam orang-orang yang tertipu.

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-
Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. " (QS, Al-Hadid
: 20)
Ada juga sebagian umat islam yang setingkat lebih baik, yaitu yang menemukan
kebahagiaannya dalam keta'atan kepada Allah.
Syekh Zainuddin al mulaibari dalam nadzom syu'abul iman mnyebutkan
َّ ُ ‫َا ْخ ِل ْص ِل َرب د َِك ُ َُّث‬
‫ َوا ْح َز ْن ب ُِس ْو ٍء ت ُْب َو َان َْت النَّا ِد ُم‬# ‫رس ب َِطاعَ ٍة‬
"Ikhlaskanlah (ibadahmu) untuk Tuhanmu, lalu hendaklah berbahagia karena melakukan
ta'at. Dan bersedihlah karena melakukan kejelekan, kemudian bertobatlah disertai keadaan
kamu yang perihatin."
Bahagia karena melakukan keta'atan itu sudah baik, namun tingkatkan lagi. Jangan
berhenti sampai disana.

Dalam kutipan hikmah dari kitab Al-Hikam Syekh Ibn Athoillah yang saya sebut di awal
tulisan, bisa difahami bahwa Kebahagiaan seseorang karena telah melakukan keta'atan/ibadah
terbagi dua :

1. Orang yg bahagia melakukan keta'ataan karena ia beranggapan bahwa dengan ilmunya,


kekuatannya ia telah mampu melakukan keta'atan tsb.

5
Q.S. Yunus : 58

44
2. Orang yg bahagia telah melakukan ketaata'atan karena ia merasa bahwa ia telah
mendapatkan karunia dan kasih sayang Allah sehingga mampu beribadah.

Tipe orang pertama berkeyakinan bahwa ibadah tersebut terwujud oleh dirinya, ia
melakukannya dengan kemampuan dan kekuatan sendiri, sedangkan hatinya samasekali tidak
tembus kepada Allah, maka hati orang seperti ini rentan disusupi ujub (merasa hebat karena
mampu beramal), riya (mencari kedudukan dihati manusia) dan takabur (berbangga diri dan
menyepelakan orang lain) yang dapat menghanguskan pahala amal ibadah tersebut, apa yang
ia lakukan tidak akan menjadikannya dekat dengan Allah. Bahkan Syekh Ibn Athoillah
memasukannya kedalam golongan orang yang kufur nikmat.
Tetapi walau bagaimanapun juga orang- orang seperti ini masih lebih bagus dibanding
orang yang tidak beribadah samasekali.

Tipe orang kedua berkeyakinan bahwa ibadah yang telah ia lakukan itu terwujud oleh
Allah, karena pertolongan Allah kepadanya. Allah yang telah memberi hidayah sehingga
hatinya tergerak untuk beribadah, Allah pula yang menggerakkan anggota badannya untuk
beribadah. Laa haula walaa quwwata illa billah telah melekat dalam hatinya, Maka tidak akan
muncul perasaan ujub riya atau takabur dalam hatinya. Hanya orang kurang sehat aqalnya yang
mengakui keberhasilan sebuah pekerjaan yang bukan dilakukan olehnya.
َ ُ َ ُ ‫اّلل َخلَ َق‬
ُ ‫َو ه‬
٩٦ ‫ك ْم َو َما ت ْع َمل ْون‬
"Allah lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan. " (QS Ash-Shofat :96)
Marilah kita sama-sama meningkatkan kualitas ketaatan kita kepada-Nya dengan
belajar ;

1. Lillah (karena Allah)


2. Billah (oleh Allah)
3. IlAllah (menuju Allah)

Hikmah Ke-59

َّ ‫ َأ َّما‬،‫السائِ ِرْي َن َ ُِل َو َالو ِاص ِل ْ َي ِالَ ْي ِه َع ْن ُر ْؤي َ ِة َأ ْ ََعا ِلهِ ْم َو ُشه ُْو ِد َأ ْح َوا ِلهِ ْم‬
‫السائِ ُر ْو َن فَ ِ َلهنَّ ُ ْم لَ ْم‬ َّ ‫قَ َط َع‬
‫ َو َأ َّما الْ َو ِاصلُ ْو َن فَ ِ َلن َّ ُه غَ َّيهبَ ُ ْم ب ُِشه ُْو ِد ِه َعْنْ َا‬،‫هللا ِفْيْ َا‬
ِ ‫الصدْ َق َم َع‬ ِ ‫يَتَ َحقَّ ُق ْوا د‬
59. “Allah menghalangi orang yang masih dalam perjalanan menuju Allah (sāirīn) dan
orang yang telah sampai kepada-Nya (wāsilīn) dari melihat amal mereka dan
menyaksikan ahwāl mereka. Bagi Orang yang masih dalam perjalanan menuju Allah
(sāirīn) adalah karena mereka belum bisa menyatakan amalnya yang benar bersama
Allah. Dan bagi orang yang telah sampai kepada Allah (wāsilīn) adalah karena Allah
melenyapkan mereka dari amalnya dengan menyaksikan-Nya”

Pada hikmah ini ada istilah saa-iriin yaitu orang-orang yang sedang menempuh perjalan
menuju Allah, atau bisa disebut juga saalik. Istilah kedua adalah waasiliin yaitu orang-orang
yang sudah sampai kepada Allah .

45
Allah melindungi saairin dan waashilin dari melihat amal-amal mereka, dengan kata
lain mereka tidak pernah menganggap amal-amal mereka sebagai sesuatu yang pantas
dibanggakan, pengakuan yang keluar dari mereka adalah tetap saja belum punya amal. Ketika
imam hanafi mendengar bacaan faman ya’mal mitsqoola dzarrotin khoiron yarohu (QS. Az-
zalzalah :7), beliau langsung demam selama 3 hari, saking merasa bahwa selama ini ia belum
punya amal yang layak dihadapkan kepada Allah.
Pengakuan saa-iriin belum punya amal, bukan karena tidak mensyukuri nikmat telah
bisa beramal, tapi disebabkan karena mereka merasa belum bisa beradab yang baik dihadapan
Allah, amal-amal yang telah dilakukanpun masih sedikit dan banyak kekurangan, belum layak
untuk dihadapkan kepada Allah, tidak sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan.
Jangankan dibandingkan dengan kemuliaan dan keagungan Allah, dibandingkan
dengan para guru saja kita masih kalah jauh, dalam kekhusyuan wudu belum seperti Aang Nuh
Gentur, keapikan bacaan Al-Quran belum seperti mama junaidi, dzikir tarekat belum seperti
pangersa abah anom, kedalaman tauhid belum seperti pangersa uwa khoer affandi manonjaya,
kualitas kecerdasan belum seperti Mama Ilyas cipasung, kebijaksanaan dan kejujuran mengajar
santri belum seperti mama ciharashas.
Ini salah satu cara agar kita tidak ujub dan sombong dengan amal yang telah diperbuat
Mulyakan para guru, kalau anda punya guru 10, jangan ada satupun yang anda depak.
Mencintai satu guru dan menafikan guru lain, maka barokah Allah untuk anda tidak akan turun
melalui satu guru yg anda cintai saja
Hikmah Ke-60

ٍ ‫َما ب َ َسقَ ْت َأ ْغ َص ُان ُذ ٍ دل ِا َّل عَ ََل ب ِْذ ِر َط ْمع‬


60. “Tidak akan tumbuh menjulang cabang-cabang kehinaan kecuali di atas benih
tamak”
Thoma’ adalah mengejar-ngejar nikmat yang belum ada, sedangkan yang ada tidak
disyukuri. Bukan tidak boleh ada keinginan tapi keinginan tersebut hendaknya disertai dengan
mensyukuri yang sudah ada.
Apakah rumah anda sudah dilengkapi kursi? Pernah berkunjung ke rumah orang kaya?
Lalu melihat kursinya lebih bagus dari punya anda, dan harganya sekitar 20 juta? Bukankah
suka timbul dalam hati keinginan memiliki kursi yang serupa dan menganggap remeh kursi
yang ada, itulah thoma’. Contoh lain, untuk bepergian kita sudah punya avanza, ketika melihat
orang lain mengendarai fortuner, maka avanza yang sudah ada mendadak kurang bernilai, dan
seolah kita menafikannya “ah mobil saya Cuma avanza butut”.
Jangan begitu saudaraku, ucapkanlah alhamdulillah. Bukankah masih banyak orang
yang bepergian kemana-mana menggunakan speda motor, ketika cuaca panas kepanasan, saat
hujan, kehujanan. Bahkan masih banyak pula mereka yang kemana-mana hanya jalan kaki saja,
karena tidak punya kendaraan sama sekali. Lebih dari itu, banyak saudara kita yang tidak
mempunyai dua kaki untuk berjalan. Kemana-mana harus ngesot atau pakai kursi roda
Mengapa thama’ menjadi sumber kehinaan?
Menurut syekh Ahmad Zaruq Di dalam syarah al hikam ibn athoiyyah, thama’ menjadi
sumber kehinaan, karena thama’ sering disertai dengan 3 hal
1. Tergesa-gesa untuk memiliki barang/keadaan yang diinginkan

46
2. Menunjukkan kelemahan dan keputusasaan kepada orang yang dianggap dapat
memberi atau memenuhi keinginannya, dengan tujuan agar dikasihani.

3. Membentuk pribadi-pribadi “penjilat”


Mari baca dan telaah diri kita masing-masing, jika masih ada bibit thama’ dalam diri,
sedikit-demi sedikit kita bersihkan dengan dzikir yang bermetoda, yang sudah diijazahkan.
Karena dengan memelihara sifat thama’ dalam diri, kita tidak akan menemukan kebahagiaan
dalam hidup
Hikmah Ke-61

‫م َا قَادَكَ َش ْ ٌئي ِمثْـ ُل الْ َو ْ ُِه‬


61. “Tidak ada sesuatu pun yang menuntunmu (kepada thoma’) seperti menuntunnya
waham (angan-angan)”

َ ‫( أ َ ْم ٌر‬suatu yang tidak nyata/angan-angan atau dugaan)


Waham adalah ‫ع َدمِي‬

Setelah pada hikmah ke 60 disebutkan bahwa biang dari kehinaan adalah adanya thama’
dalam diri kita, disini dijelaskan bahwa yang membawa kita kepada thama’ adalah waham yaitu
dugaan-dugaan.

Orang yang belum punya motor menduga; “enak kayanya kalau saya punya motor,
kemana-mana tidak harus cape jalan kaki

Ketika sudah punya motor waham (dugaan) menuntunnya kembali untuk beranggapan
“ enak kayanya kalau saya punya mobil, disamping tidak cape saat bepergian, tidak perlu
kepanasan atau kehujanan juga”

Dan seterusnya bermunculan waham-waham yang lain, sehingga kita lupa untuk
menikmati karunia Allah yang sudah ada pada diri kita. Kita tidak akan pernah bahagia kalau
seperti ini terus. Syukuri, nikmati dan manfaatkan yang sudah ada.

Kalau kita dalam keadaan sangat lapar, yang ada dihadapan kita sepiring nasi dan ikan
asin, makan dan nikmati saja itu. Jangan malah menggerutu dan melamunkan ikan mas/gurame
yang masih dikolam.

Oleh karena itu pada saat muncul lintasan waham (praduga) dalam benak kita, segera
putuskan. Jangan terus diikuti, agar tidak berlanjut menjadi sifat thama.

Hikmah Ke-62

‫َأن َْت ُحر ِم َّما َان َْت َع ْن ُه أ ْ ِي ٌس َو َع ْب ٌد ِل َما َان َْت َ ُِل َطا ِم ٌع‬
62. “Kau bebas dari sesuatu yang darinya kau berputus asa. Dan kau adalah budak
untuk sesuatu yang kepadanya kau bersikap tamak”

47
Manusiawi jika kita mempunyai keinginan-keinginan terhadap apa yang belum
dimiliki. Disatu sisi keinginan itu baik dan merupakan karunia Allah, karena mendorong kita
untuk melakukan perubahan-perubahan supaya lebih maju dan sejahtera.
Namun perlu diperhatikan; pertama, adanya keinginan tersebut jangan sampai membuat
kita lupa terhadap nikmat-nikmat Allah yang selama ini telah dan sedang kita gunakan dan
manfaatkan. Kedua, keinginan yang terbersit didalam hati jangan terus difikirkan dan menjadi
lamunan setiap saat, supaya kita tidak menjadi orang yang diperbudak/dijajah oleh keinginan-
keinginan. Saat punya keinginan tulis saja dikertas, lalu simpan di dompet atau laci, supaya
sewaktu-waktu ingat lagi. Dengan begitu kita merdeka, tidak diperbudak oleh keinginan
sendiri.
Hikmah Ke-63

‫ات ْ ِال ْح َس ِان قُــــ ديِدَ ِالَ ْي ِه ب َِس ََّل ِس ِل ْ ِال ْم ِت َح ِان‬ ِ ‫َم ْن لَ ْم يُق ِب ْل عَ ََل‬
ِ ‫هللا ِب ُم ََّل َط َف‬
63. “Barang siapa tidak menghadap kepada Allah dengan belaian yang baik maka dia
dituntun kepada-Nya dengan serangkaian ujian/cobaan”
Pada hikmah-hikmah sebelumnya telah dijelaskan mengenai waham dan thama’. Dan
dari penjelasan tersebut bisa kita ketahui bahwa kedua penyakit itu dapat menutup mata hati
dari melihat dan menyadari nikmat-nikmat Allah yang sudah ada pada diri kita.

Pada saat kita lupa akan nikmat-nikmat yang ada, maka saat itu pula kita lupa kepada
yang memberi nikmat tersebut yakni Allah.
Pada hikmah ke 63 ini Syekh Ibn ‘Athoillah mengingatkan kita, bahwa barangsiapa
yang kebaikan-kebaikan Allah tidak dapat membawanya segera menghadap kepada Allah
(ingat kepada Allah), maka Allah akan menuntun orang tersebut dengan cobaan-
cobaan/kepahitan agar ia kembali menghadap/ingat kepada-Nya

ْ َ ‫ادتِهِ بس َِعةِ ْاۡلَ ْر َزاق َو َد َوا ِم ال ْ ُم َعافَاة ِ ل‬


Syekh Abu Madyan berkata :
ْ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ْ ‫َذ َ َذ‬ ُ‫ذ‬
‫ فإِن‬.ِ‫ج ُع ْوا إَِلْهِ بِن ِْع َمتِه‬
ِ ‫ِري‬ ِ ِ ‫ب‬ ‫ع‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫د‬
ِ ‫ا‬ َ ‫ب‬ ِ ‫ُسنة اّللِ عز وجل إِستِدَعء ال‬
‫ع‬
َ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ ‫َْ َْ َُْ َْ َُ ْ ذ ذ َ ذ ذ ََذُ ْ َْ ُ ْ َ َ ذ ُ َ َُ َ ذ َ َ ذ‬
‫لعبْ ِد إَلْهِ َط ْو ًَع ا ْو‬ ‫جعون ِۡلن مراده عز وجل رجوع ا‬ ِ ‫لم يفعلوا إِبتًلهم بِالسآ ِء والَضآ ِء لعلهم ير‬
ً َ
‫ك ْرها‬
“Telah menjadi sunnatulloh azza wajalla untuk mengundang hamba-hambanya supaya
beribadah dengan luasnya rizki dan kesehatan, agar mereka kembali kepada Allah dengan
nikmatNya. Apabila mereka tidak melakukannya, maka Allah akan memberi mereka cobaan
berupa kemakmuran dan kepayahan agar mereka kembali, karena tujuan Allah adalah
kembalinya hamba kepada-Nya baik secara suka rela atau terpaksa”.
َ َ ُْ َْ ‫ذ ٰٰ َ َْ ْ َ ْ ً ذ َ ْ ً ذ‬ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ ‫اَ َف َغ ْ َ ْ ه‬
٨٣ ‫ج ُع ْون‬ ِ ‫ري دِي ِن اّللِ َيبغ ْون َو َّٗل ٓ اسل َم م ْن ِِف السمو‬
‫ت واَلر ِض طوَع وكرها وا َِلهِ ير‬

48
"Maka apakah mereka mencari agama selain dari agama Allah, padahal kepada-Nya lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan
hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83)
Limpahan nikmat dan mushibah yang menghimpit, keduanya merupakan seruan Allah
agar kita kembali menghadap-Nya. Tinggal kita memilih mau kembali mengingat-Nya melalui
nikmat-nikmat yang telah diberikan atau harus diberi mushibah yang pahit dulu baru ingat
Hikmah ke-64

‫َم ْن لَ ْم ي َْش ُك ِر النِد َع َم فَقَدْ ت َـ َع َّر َض ِل َز َوا ِله َا َو َم ْن َش َك َرهَا فَقَدْ قَ َـ َّيدَ هَا ِب ِعقَا ِلهَا‬
64. “Siapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, berarti ia telah menghilangkan nikmat
itu, dan siapa yang mensyukurinya maka ia telah mengikatnya dengan tali kekangnya”
Allah berfirman :
َ َ ْ َ َ ‫َ ْ َ َ ذ َ َ ُّ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ذ ُ ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ذ‬
٧ ‫اِب لشدِيْد‬
ِ ‫وا ِذ تاذن ربكم لىِٕن شكرتم َل ِزيدنكم ولىِٕن كفرتم ا ِن عذ‬
Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memberitahu bahwa; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrohim ;7)
Bagaimana cara bersyukur akan nikmat Allah?
1. Sadari bahwa semuanya dari Allah
2. Sering mengungkapkannya, seperti dengan ucapan alhamdulillah, atau ketika berdo’a
sebelum minta apa-apa, ungkapkan dulu rasa terimakasih kita kepadaNya

3. Pergunakan semuanya di jalan Allah, dengan kata lain dipakai beribadah


Di dalam Al-Quran diceritakan tentang sebuah negeri yang bernama Saba, negeri yang
sangat subur dan makmur, istilah dalam Al-Qurannya “baldatun thayyibatun”. Kesuburan
negeri tersebut terlukis dari beberapa pemaparan ahli tafsir yang menggambarkan sebagian
keadaan negeri tersebut, diantaranya dalam tafsir Ash shawi, dijelaskan bahwa saba adalah
sebuah negeri yang tidak ada satu jengkal tanahpun yang gersang (tidak dapat menumbuhkan
tumbuhan), tidak ada lalat, nyamuk, tikus, ular atau hewan-hewan yang merusak tanaman dan
mengganggu kenyamanan penduduknya. Bahkan apabila ada orang asing yang melintasi negeri
tersebut dan di atas kepalanya ada kutu, kutu tersebut akan segera mati, karena udaranya yang
sehat dan segar. Keadaannya yang subur membawa kesejahteraan bagi penduduknya, dalam
Tafsir al Qurtubi disebutkan apabila ada seorang perempuan penduduk saba keluar dari rumah
untuk memenuhi kebutuhannya sambil membawa bakul di atas kepala, maka sebelum ia sampai
ketempat tujuannya, bakulnya sudah dipenuhi buah-buahan yang jatuh dari pohon-pohon di
pinggir jalan. Seperti itulah sedikit gambaran kesuburan negeri saba dan kesejahteraan
penduduknya.
َ ْ ُ ۡ ُ ‫ُُكُوا ْ مِن ر ۡزق َرب‬
Kepada mereka dikatakan ‫ك ۡم َوٱشك ُروا َُّل‬ ِ ِ ِ
“silahkan makan dari rizki Tuhan kalian, dan bersyukurlah kepada-Nya” (QS.Saba ; 15)

49
Namun, karena mereka tidak mau bersyukur kepada Allah, bahkan setelah diutusnya
13 orang Nabi sebagai pemberi peringatan kepada mereka, maka Allah mengirimkan banjir
yang membuat negeri tersebut hancur. Sehingga kesuburan dan kemakmuran sebagai bentuk
nikmat Allah hilang seketika.
Dari kisah di atas patutlah kita ambil pelajaran, tentang betapa meruginya kalau kita
tidak mampu bersyukur atas segala nikmat-Nya
Hikmah Ke-65

‫خ َْف ِم ْن ُو ُج ْو ِد ا ْح َسا ِن ِه الَ ْي َك َود ََوا ِم ا َسائَــتِ َك َم َع ُه َأ ْن يَ ُك ْو َن َذ ِ َل ْاس تِدْ َراج ًا َ َل‬
ِ 6 ِ ِ
﴾ ‫ون‬ َ ‫﴿ َسن َ ْس َتدْ ِر ُ ُْج ْم ِم ْن َح ْي ُث َل ي َ ْعلَ ُم‬
65. “Takutlah akan kebaikan Allah kepadamu, sedangkan kau tetap bermaksiat kepada-
Nya. Karena bisa jadi kebaikan-Nya menjadi istidrāj bagimu” ‘Kami nanti akan menarik
mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah cara yang mereka tidak
ketahui (Q.S. Al A’raaf:182)”
Pada pembahasan hikmah-hikmah selanjutnya, yaitu pada hikmah ke 96 & 97, disana dibahas
tentang dua nikmat yang sangat mendasar bagi seluruh makhluk ; manusia, jin, hewan dan lain
sebagainya. Tidak ada satupun makhluk yang terlepas dari kedua nikmat ini, Yaitu nikmat ijad
dan imdad. Nikmat ijad adalah Allah meng-ada-kan kita padahal sebelumnya tidak ada.

Setelah kita ada kemudian dihidupkan, Allah pula yang menyediakan bagi kita sarana-
sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup; Allah memberi kita mata dengan melihatnya, telinga
disertai pendengarannya, hidung dan penciumannya, lidah dengan rasa dan ucapnya dan masih
banyak lagi nikmat-nikmat sejenis yang berada pada tubuh kita, inilah yang disebut nikmat
imdad. Kalau mau dihitung nikmat imdad yang ada dikepala saja bisa mencapai jutaan,
milyaran atau bahkan tidak akan terhitung.

Dengan didasari pengetahuan tentang kedua nikmat di atas, mari kita masuk,
memahami hikmah ke 65 ini. Syeikh Ibn Athaillah Radiyallahu anhu mengingatkan, takutlah
kita, ketika kebaikan-kebaikan Allah terus mengalir kepada diri kita, sedangkan kitanya malah
su-ul adab (tidak beradab) dihadapan-Nya, banyak melanggar aturan-Nya, perintah-Nya
banyak yang dilalaikan, ibadah kita kepada-Nya begitu sedikit, dan tidak sempurna, ketika
dipanggil oleh Allah untuk menghadap (adzan), seolah kita berkata “ nanti saja ya Allah
setengah jam lagi”. ibadah sedikit minta imbalan, ingin disanjung. Subhaanallah, tatakrama
kita kepada Allah jelek pak !. Nah kalau sikap kita masih seperti itu, takutlah kebaikan-
kebaikan Allah yang terus dilimpahkan kepada kita menjadi istidroj.
Istidroj bukan hanya ada dalam sihir, istidroj adalah pemberian yang tidak disertai
dengan ridho-Nya. Kalau dalam istilah orang sunda disebut “panyungkun”. Bagaikan seorang
anak yang nangis, maksa minta uang jajan kepada ibunya, gelas dilempar, pintu dibanting,

6
Q.S. Al-A’raaf : 182

50
jendela pecah. Lama kelamaan ibunya memberi uang, tapi tidak disertai keridhoan. Seperti
itulah istidroj.

Hikmah Ke-66

‫ لَ ْو ََك َن ه ََذا ُسو َء َأد ٍَب لَقَ َط َع‬:‫ول‬ ُ ‫ِم ْن َ ْْج ِل الْ ُم ِريْ ِد َأ ْن ي ُِس ْ َئي ْ َاْلد ََب فَتُ َؤخ ََّر الْ ُع ُق ْوب َ ُة َع ْن ُه فَ َي ُق‬
.‫ فَقَدْ ي َ ْق َط ُع الْ َمدَ َد َع ْن ُه ِم ْن َح ْي ُث َل ي َْش ُع ُر َولَ ْو لَ ْم يَ ُك ْن ا َّإل َمنْ َع الْ َم ِزيْ ِد‬.‫ْال ْمدَ ا َد َو َأ ْو َج َب ْالبْ َعا َد‬
ِ ْ ِ
ُ‫ َولَ ْو لَ ْم يَ ُك ْن ا َّل َأ ْن يُـ َخ ِل د َي َك َو َما تُ ِريْد‬،‫َوقَدْ يُقَا ُم َمقَا َم ال ُب ْع ِد َوه َُو َل يَدْ ِرى‬
66. “Diantara kebodohan seorang murid adalah ia beretika buruk (sū’ul adab) kepada
ِ
Allah sedangkan hukumannya ditangguhkan oleh Allah. Kemudian ia berkata,
‘seandainya perbuatanku dianggap sū’ul adab, tentu pertolongan akan terputus atau aku
mendapat hukuman’. Padahal pertolongan itu boleh jadi sudah diputuskan tanpa ia
sadari. Seandainya tak terjadi pemutusan (limpahan nikmat), tentu pertolongan tidak
akan bertambah. Dan ia akan benar-benar ditempatkan di dalam tempat yang jauh,
sedangkan ia tidak mengetahuinya. Seandainya tidak terjdadi pemutusan (limpahan
nikmat), Dia pasti mengosongkan nikmat darimu padahal kau tidak menginginkannya
itu terjadi”
Diantara tanda bodohnya seorang salik adalah jelek tatakrama dengan Allah, tapi
karena Allah menangguhkan akibatnya, dengan kata lain tidak langsung memberi peringatan.
Maka si salik beranggapan bahwa “kalau memang saya buruk tatakrama kepada Allah maka
pastilah Allah memutuskan limpahan-Nya, dan menjauhkanku dari-Nya, tapi hidup saya masih
tetap enak-enak dan tenang saja, seperti ini, tidak mengalami hal yang menyakitkan”

Padahal terkadang peringatan Allah itu ada yang disegerakan dan ada yang
ditangguhkan, pada saat ditangguhkan namun salik malah menganggap keburukan adabnya
sebagai hal yang baik, maka peringatan dari Allah dan putusnya limpahan terjadi dalam
keadaan ia tidak menyadarinya.
Hikmah Ke-67

‫ فَ ََّل‬،‫هللا عَلَْيْ َا َم َع ُط ْولِ ْال ْمدَ ا ِد‬ ُ ‫ َو َأدَا َم ُه‬،‫هللا تَ َعاَل ب ُِو ُج ْو ِد ْ َاْل ْو َرا ِد‬ ُ ‫إا َذا َر َأيْ َت َع ْب ًدا َأقَا َم ُه‬
ِ
‫ت َ ْس تَ ْح ِق َر َّن َما َمنَ َح ُه َم ْو َل ُه ِ َْلن ََّك لَ ْم تَ َر عَلَ ْي ِه ِس ْي َما الْ َع ِارِف َي َو َل هبَ ْ َج َة الْ ُمـ ِح دب ْ َِي؛ فَلَ ْول َو ِار ٌد َما‬
َ
‫ََك َن ِو ْر ٌد‬
67. “Jika engkau melihat seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga
wiridnya, dan Allah melanggengkannya dalam keadaan demikian, namun lama ia tak
mendapatkan pertolongan-nya, maka engkau jangan sampai meremehkan terhadap
sesuatu yang telah Allah berikan kepadanya, hanya karena engkau belum melihat tanda-
tanda ‘arif ataupun cahay indah seorang pencipta pada dirinya. Kalaulah bukan karena
wārid niscaya tidak akan ada wirid”

51
Kalau kamu melihat seseorang yang dipertemukan dengan seorang guru yang
memberinya wirid, kemudian istiqomah mengamalkannya, namun ia tidak mendapat limpahan
dari Allah, orang ini rajin ibadah tapi hidupnya belum sejahtera, maka hati-hati jangan sampai
anda meremehkannya.
Kebanyakan kita menganggap bahwa wali Allah itu harus sakti, do’anya selalu
dipenuhi seketika, senantiasa ditolong oleh Allah, harus tampak karomatnya. Dampaknya
kalau ada orang rajin ibadah dan istiqomah tapi hidupnya belum sejahtera, bahkan terlihat
memprihatinkan, kita jadi meremehkannya. Padahal banyak wali-wali Allah, arif billah yang
kesehariannya biasa saja bertani, dagang, rumahnya sederhana, bahkan ada yang tampak
seperti pengemis atau orang gila, tapi mereka berada pada maqom yang mulia disisi Allah.
Jangan menganggap warid (limpahan) dari Allah itu hanya berbentuk kesaktian,
luasnya rizki, bisa terbang dll, karena kita bisa istiqomah mengamalkan wirid juga itu
merupakan warid dari Allah.
Hikmah Ke-68

‫﴿الك ن م ِم مد ٰهْ ُؤ َ ۤل ِء َو ٰهْ ُؤ َ ۤل ِء ِم ْن َع َط ۤا ِء َرب د َِك َۗو َما‬


‫قَ ْو ٌم َأقَا َمهُ ُم الْـ َح مق ِلـ ِخدْ َم ِت ِه َوقَ ْو ٌم ِا ْخ َت َّصهُ ْم ِب َم َح َّبتِ ِه ُ ا‬
﴾7 ‫ََك َن َع َط ۤا ُء َرب د َِك َم ْح ُظ ْو ًرا‬
68. “Ada satu golongan yang Allah tetapkan untuk berkhidmah kepada-Nya. Dan satu
golongan yang Allah istimewakan dengan mencintai-Nya. ‘Kepada masing-masing, kami
berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat
dihalangi”

Ada orang yang diposisikan oleh Allah pada maqom khidmat, dengan istiqomah dalam
beribadah kepada Allah sehingga layak masuk surga-Nya
Ada orang yg diposisikan pada maqom mahabbah, yang mendahulukan Allah dari
segala sesuatu termasuk dari ingin surga. Sehingga ibadah-Nya bertujuan ingin qurbah dan
mendapatkan ridho-Nya. Surganya adalah jannatul qurbah, yang sudah tidak ada bidadari, tidak
ada madu, tidak ada buah-buahan yang ada hanya dia dan Allah.
Keduanya maqom tersebut merupakan limpahan karunia Allah, tidak bisa diakui oleh
kita sendiri.
Kita berada pada maqom khidmah atau mahabbah? Yaa kita maunya maqom
mahabbah, tapi kan maqom khidmah juga kita belum pasti. Tugas kita ibadah, yang
memposisikan adalah Allah, terserah Dia saja.
Jangan muncul bahasa “buat apa itu surga, surga itu makhluk, saya sudah tak
mengharapkannya, yang saya harapkan adalah jannatul qurbah”

Hikmah Ke-69

‫ ِلئَ ََّّل يَدْ ِعْيَ َا الْ ِع َبا ُد ب ُِو ُج ْو ِد ْ ِال ْس تِ ْعدَ ا ِد‬،‫َات ْاللَـهِ َّي ُة ا َّإل ب َ ْغتَ ًة‬
ُ ‫قَل َّ َما تَ ُك ْو ُن الْ َوا ِرد‬
ِ
7
Q.S. Al-Israa : 20

52
69. “Jarang sekali wārid ilāhiyah datang kecuali datang dengan tiba-tiba, supaya para
hamba tidak mengundangnya dengan mengadakan persiapan (untuk menyambutnya)”

Limpahan dari Allah itu terkadang datang mendadak serentak, supaya kita tidak
mengakui limpahan dari Allah sebagai hasil ibadah dan kebaikan kita, agar kita mengakuinya
sebagai karunia Allah semata.

Hikmah Ke-70

‫ فَ ْاس تَ ِد َّل‬،‫لك َما عَ ِ َل‬


َّ ُ ‫ َو َذا ِك ًرا‬، َ‫لك َما َشهِد‬
‫ َو ُم َع ِ د ًَبا َع ْن ُ ِ د‬،‫لك َما ُس ئِ َل‬
‫َم ْن َر َأيْتَ ُه ُم ِج ْي ًبا َع ْن ُ ِ د‬
‫ب َِذ ِ َل عَ ََل ُو ُج ْو ِد َ ْْج ِ ِل‬
70. “Jika kau melihat seseorang selalu menjawab segala apa yang ditanyakan kepadanya,
mengungkapkan segala yang diketahuinya, dan menceritakan semua yang disaksikannya
maka ketahuilah bahwa semua itu adalah tanda kebodohannya”

Apabila ada yang bertanya tentang suatu permasalahan, apapun itu, khususnya bidang
agama, kalau kita tidak tahu jawabannya atau ragu, jangan malu untuk berkata “maaf saya tidak
tahu, nanti saya teliti lagi” jangan sampai karena gengsi, takut dikatakan bodoh, kita menjawab
semaunya tanpa dasar yang kuat. Ini yang banyak berlaku di negeri kita saat ini, sangat
memprihatinkan.
Dalam kitab ihya-u uluumiddin diceritakan sebuah hadits riwayat Sayyid Ibn Umar,
pernah ada yang bertanya kepada Baginda Nabi SAW tentang apa dan dimana sebaik-sebaik
tempat yang ada di bumi?, karena beliau tidak tahu, ya dijawablah “saya tidak tahu”, sampai
satu waktu datang malak jibril megunjungi beliau, maka ditanyakanlah pertanyaan tadi
kepadanya, ternyata malak jibril pun menjawab “saya tidak tahu” juga, sampai akhirnya Allah
memberitahu malak jibril bahwa sebaik-baik tempat adalah masjid.
Jika Nabi Muhammad SAW saja sebagai “madiinatul ilmi”, sumber segala ilmu berani
mengatakan “saya tidak tahu”, maka bagaimana dengan kita? Kita ini orang bodoh, banyak
ilmu dan keahlian yang tidak dikuasai, katakan saja tidak tahu, kalau memang tidak tahu,
jangan nipu umat.
Tanda kebodohan salik lainnya adalah suka menceritakan apa yang ia saksikan dan
alami mengenai kegaiban, mengalami hal-hal aneh seperti didatangi Nabi Muhammad dalam
keadaan sadar dll, dengan tujuan agar dianggap hebat oleh orang lain. Kalau
mengkonsultasikannya kepada guru mursyid atau orang-orang yang kompeten dan dipercaya,
boleh-boleh saja.
Ulama sufi mengatakan :
َ ْ ‫قُلُ ْو ُب ْ َاْل ْح َرا ِر قُ ُب ْو ُر ْ َاْل‬
‫رسا ِر‬
“Hatinya orang-orang merdeka (arif billah) adalah quburannya rahasia-rahasia”
Keanehan-keanehan selama menjalani suluk simpanlah dalam hati, jangan diumbar.

Dan tanda kebodohan salik yang ke 3 adalah selalu menceritakan apa yang ia ketahui,
tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu, dan tanpa melihat situasi serta kondisi.

53
Hikmah Ke-71

‫ان َّ َما َج َع َل ا َّدل َار ْاْلْ ِخ َر َة َم َح اَّل ِل َج َزأ ْ ِء ِع َبا ِد ِه الْ ُم ْؤ ِم ِن ْ َي ِ َْل َّن َه ِذ ِه ا َّدل َار َلت َ َس ُع َما ُي ِريْدُ َأ ْن يُ ْع ِطْيَ ُ ْم‬
ِ
‫َو ِ َْلن َّ ُه َأ َج َّل َأ ْقدَ َار ُ ُْه َع ْن َأ ْن ُ ََيا ِزْيَ ُ ْم ِ ْف دَا ٍر َلبَقَأ ْ َء لَهَا‬
71. “Sesungguhnya Allah menjadikan negeri akhirat sebagai tempat pembalasan bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, sebab negeri ini (dunia) ini tidak akan cukup untuk
menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Dan karena Allah telah
menangguhkan derajat mereka dari pembalasan di negeri dunia yang tidak kekal”

Logis berfikir bahwa setiap pekerjaan ada imbalan, termasuk di dalam Al-Quran dan
Al-Hadits disebutkan bahwa apabila kita beramal akan ada pahalanya. Bahkan ada beberapa
kitab ulama yang menyatakan, umpama mengamalkan surat Waqi’ah sekian bilangan dan
puasa sekian hari, akan memperbanyak rizki, mengamalkan wirid "wa adzzin finnasi" dan
sholawat adrikni bisa ke mekah, semua Ini memberi kesan kepada kita bahwa rizki tersebut
adalah imbalan amal, betul?.
Saya (red-pangersa Uwa) bicara pengalaman sendiri, karena memang dari gurunya juga
begitu, wirid anu buat anu, ketika diberi wirid ini, hasilnya ini. Hal tersebut tidaklah salah,
hanya kebanyakan dari kita beranggapan bahwa itulah balasan amal.
Padahal sebenarnya yang disebutkan jaza (balasan), tsawab (pahala) tidak diberikan di
saat manusia masih hidup, tapi diberikan di akhirat.
َ ْ َ ُّ ُ ْ ُ ُ َ َ ٰ ََ ‫ذ ذ‬
ْ ُ ِ‫خفيْ َها ْل‬
١٥ ‫ج ٰزى ك نف ٍ ۢس ب ِ َما ت ْس ٰع‬ ِ ‫الساعة اتِيَة اكاد ا‬ ‫ا ِن‬
“Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) supaya tiap-
tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan” (Q.S Thoha : 15)
Tidak ada pahala di dunia, lalu apabila mengamalkan wirid “anu” bisa hasil “anu”, itu
apa namanya? Itu adalah “bonusnya”. Masa puasa 40 hari dibalas dengan satu innova, betapa
murahnya, cuma sekitar 200 - 400 juta. Yang namanya pahala di akhirat, tiang surganya saja
emas semua. Kalau di uangkan, berapa triliun?
Kenapa ya Allah tidak kontan sekarang saja balasannya?
Karena dunia ini tidak akan cukup untuk tempat penyimpanan pahala, bayangkan saja,
pahala satu orang yang melakukan sholat sunat fajar melebihi langit, bumi serta isinya, itu baru
satu orang dan satu amalan saja. Bagaimana kalau pahala jutaan umat islam dengan triliyunan
amalnya? Selain itu dunia ini fana (akan rusak) apabila pahala diberikan di dunia, ketika dunia
rusak, maka pahalapun ikut rusak.
Hikmah Ke-72

‫َم ْن َو َجدَ ثَ ْم َر َة َ ََع ِ ِل عَ ِاج ًَّل فَه َُو َد ِل ْي ٌل عَ ََل ُو ُج ْو ِد الْقَ ُب ْولِ أ ْ ِج ًَّل‬
72. “Barang siapa yang mendapat buah amalnya di dunia maka itulah tanda diterimanya
amal di akhirat”

54
Adanya “bonus” yang Allah berikan di dunia atas suatu amalan seperti yg disebutkan
pada hikmah ke 71 di atas, atau juga berupa ; akhlak baik, iman kuat jiwa sholeh, rizki dan
ilmu barokah, itu jadi indikator bahwa di akhirat sudah disediakan pahala yang lebih besar dan
lebih baik.
Ilustrasinya seperti ini ; si ujang bekerja di juragan Agus untuk mengurus dan
menggarap sawah, honor setiap bulannya misalkan Rp.1.000.000. Suatu waktu juragan Agus
mengontrol ke sawah dan nampaklah ujang sedang mencangkul dengan giatnya walaupun di
bawah terik matahari, ternyata cangkul yang dipakai ujang sudah jelek, copot lagi-copot lagi
dari “dorannya” (gagang cangkul), melihat hal itu, juragan Agus langsung memanggil ujang,
dan memberinya uang Rp.300.000 untuk membeli cangkul baru.
“waduh uangnya kebanyakan juragan kalau hanya untuk membeli satu cangkul”, kata ujang.
“sisanya buat kamu aja, karena kamu kerjanya giat dan bagus”. Jawab juragan Agus.
Begitulah kira-kira, bonus kembalian pembelian cangkul yang diberikan juragan Agus,
bukanlah honor bulanan, namun menjadi indikator akan adanya honor yang lebih besar di akhir
bulan.
Kembali ke persoalan di atas, karena balasan atas amalan itu di akhirat, maka
mengawetkan amal itu sampai mati, gangguan ibadah ada. Sebelum pelaksanaan, seperti malas.
Disaat dan setelah pelaksanaan, seperti riya takabbur ujub dll, apabila kita tidak mampu
menjaganya maka “kantung” amal kita bocor.
“Pak bawa apa?”. “Beras !”
“Berapa karung?”. “10 karung !”

“Mau Kemana?”. “Ke jakarta !”


“Dari mana?”. “Sukabumi !”
Sewaktu sampai ke pasar induk jakarta, karungnya kosong semua, berasnya habis
berceceran di jalan. Setelah diperiksa ternyata karungnya bocor semua.
Banyak sekali ibadah manusia di dunia, tujuannya untuk bekal di akhirat, namun ketika
diperiksa di akhirat ternyata tinggal “karungnya” saja yang tersisa.

Hikmah Ke-73

‫إا َذا َأ َرد َْت َأ ْن تَ ْع ِر َف قَدْ َركَ ِع ْندَ ُه فَان ُْظ ْر ِف ْي َما َذا يُ ِقمي ُ َك‬
73. “Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka perhatikanlah
dimana Allah menempatkanmu”
Untuk mengetahui kedudukan kita disisi Allah, apakah mulia atau hina, lihat saja
ibadah kita kepada-Nya. Saat ibadah kita lumayan bagus, maka kita mulia di sisi Allah, dan
sebaliknya apabila ibadah kita jelek, maka hinalah kita dihadapan-Nya.
Allah berfirman :
َ ُ ‫اّللِ اَت ْ ٰق‬
َ ‫ىك ْم ا ذِن ه‬ ‫ذ َ ََْ ُ ْ َْ ه‬
١٣ ‫اّلل َعلِيْم خبِ ْري‬ ‫ا ِن اكرمكم عِند‬
55
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-
Hujurot ; 13)
Hikmah Ke-74

‫الطاعَ َة َوالْ ِغ َىن ِب ِه َعْنْ َا فَاعْ َ ْل َأن َّ ُه قَدْ َأ ْس َب َغ عَلَ ْي َك ِن َع َم ُه َظا ِهر ًة َو َِب ِط َن ًة‬
َّ ‫َم َىت َر َزقَ َك‬
74. “Apabila Allah memberikan rezeki kepadamu berupa ketaatan dan merasa cukup
dengan-Nya. Maka ketahuilah bahwa Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya
kepadamu lahir dan batin”

Kita dikatakan telah mendapatkan nikmat dzohir bathin apabila badan kita bisa
melakukan keta’atan, dan qolbu kita hanya menginginkan keridhoan Allah dari keta’atan yang
dilakukan tersebut.

Hikmah Ke-75

‫َخ ْ ُْي َما ت َـ ْطلُـ ُب ُه ِم ْن ُه َما ه َُو َطا ِل ُب ُه ِم ْن َك‬


75. “Sebaik-baiknya apa yang kau minta dari Allah adalah apa yang Dia minta darimu”
Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadanya, maka permintaan yang
paling baik yang kita pinta dari Allah adalah permintaan agar bagus dalam ibadah
Kalau diuraikan secara lebih rinci, permintaan terbaik seorang salik adalah
1. Diampuni dosa
2. Iman yang kuat
3. Ibadah yang bagus

4. Dakwah yang baik


5. Keturunan yang shalih
Maka ketika kita berdo’a; “ya Allah aku mohon kepadaMu, ampunan dari segala dosa,
iman yang kuat”, maka itulah permintaan terbaik
Kelemahan kita dalam berdo’a adalah sering mengedepankan apa yang nafsu kita
inginkan ; uang, kedudukan, wanita, kesehatan dll. sedangkan “keinginan” Allah di ungkap
belakangan, atau bahkan kadang tidak diungkap.
Mulai sekarang mari belajar lebih beradab kepada Allah ketika berdo’a, kedepankan
meminta apa yang Allah inginkan, baru mengungkap apa yang kita inginkan.

Hikmah Ke-76
‫ات ْالغْ ِ َرت ِار‬
ِ ‫وض إالَْيْ َا ِم ْن عَ ََّل َم‬ َّ ‫َالْـ ُح ْز ُن عَ ََل فُ ْقدَ ِان‬
ِ ُ ‫الطاعَ ِة َم َع عَدَ ِم الْنم‬
ِ
76. “Merasa sedih atas hilangnya ketaatan tetapi tidak disertai kebangkitan untuk
melakukan ketaatan adalah tanda dari ketertipuan”

56
Orang yang merasa sedih ketika terlewatnya sebuah kesempatan ibadah atau kebaikan,
tapi tidak melakukan perubahan, maka kesedihannya itu merupakan kebohongan. Bukti kita
sedih karena tertinggal sebuah kebaikan adalah cepat-cepat melakukan perbaikan
Hikmah Ke-77

،ُ‫ ب َ ِل الْ َعا ِر ُف َم ْن َل ا َش َار َة َِل‬،‫َما الْ َعا ِر ُف َم ْن ا َذا َأ َش َار َو َجدَ الْ َح َّق َأ ْق َر َب إالَ ْي ِه ِم ْن ا َش َارتِ ِه‬
ِ ِ ِ
‫ِل َفنَائِ ِه ِف ُو ُج ْو ِد ِه َوان ِْط َوائِ ِه ِف ُشه ُْو ِد ِه‬
77. “Orang arif bukanlah orang yang apabila menyampaikan isyarat lalu menemukan
Allah (Al-Haq) lebih dekat daripada isyaratnya. Akan tetapi seorang ‘arif adalah yang
tidak memiliki isyarat, karena fana (lebur diri) dalam wujudnya dan sendiri dalam
penyaksiannya”
Ada orang yang tidak mampu menjadikan isyarat Allah sebagai alat untuk mengenal-Nya
Ada juga orang yang dengan isyarat Allah, ia mengenal-Nya
Ada orang yang tanpa isyarat pun sudah mampu mengenal-Nya
Salah satu “isyarat” adalah alam ini, orang arif billah/washilin sudah tidak memerlukan
adanya alam ini untuk membuktikan keberadaan Allah atau untuk mengenal Allah. karena
mereka sudah fana (melebur) dalam wujud-Nya.
Seperti yang sering diungkapkan : depan belakang, kanan kiri, atas bawah, luar dalam,
kita dicakup oleh Allah
Hikmah Ke-78

‫ ِوا َّل فَه َُو ُأ ْم ِن َي ٌة‬،‫َّالر َجا ُء َما قَ َ نار َ ُه َ ََع ٌل‬
ِ
78. “Roja’ adalah harapan yang disertai amal, jika tidak disertai amal maka itu hanyalah
lamunan (angan-angan)”
Roja (harapan) merupakan hal yang sangat penting. Orang yang punya harapan
terhadap satu hal maka akan terdorong untuk bergerak meraihnya. Apabila ada harapan, tapi
tidak disertai dengan usaha untuk menuju ke arahnya, maka masuk ke dalam tamanni
(lamunan)
Hikmah Ke-79

‫الصدْ ُق ف ال ُع ُبو ِدي َّ ِة َوال ِق َيا ُم ِ ُِب ُق ْو ِق مالربُ ْو ِب َّي ِة‬ ِ ‫َم ْطلَ ُب ال َع ِارِف ْ َي ِم َن‬
ِ ‫هللا تَعاَل د‬
79. " Yang diminta orang ‘arif dari Allah adalah benar dalam beribadah dan dapat
menjalankan hak-hak ketuhanan”
Pada hikmah ke 75 telah diungkapkan bahwa sebaik-baik permintaan kepada Allah
adalah kita meminta apa yang Allah “inginkan” dari kita, yaitu ingin baik dalam beribadah.
Orang yang telah mengenal Allah (arif billah) permintaannya bukan uang, mobil, istri
cantik atau hal-hal yang menjadi pemuas nafsu lainnya, tapi mereka ingin benar-benar dalam
beribadah dan menegakkan hak-hak keTuhanan. “Saya hamba, engkau Tuhan”. Sering kita
bertingkah seperti Tuhan, dan Tuhan dijadikan hamba oleh kita. Pernah sholat akhir waktu

57
karena malas semata?, pernahkah berdo’a dan ketika belum diijabah muncul buruk sangka
kepada Allah, jengkel dan menggerutu? Itu berarti kita bersikap seolah-olah Tuhan, dan Allah
dianggap hamba. Kita Ingin mengatur Allah, dan tidak mau diatur Allah. Kefir’aunan ada
dalam diri kita pak !

Hikmah Ke-80

‫ َو َأخ َْر َج َك َعْنْ ُ َما َ َْك َل‬،ِ‫ َوقَ َبضَ َك َ َْك َل ي َ ْ ُرت َك َك َم َع البَ ْسط‬،‫ب َ َس َط َك َ َْك َل يُ ْب ِق ْي َك َم َع القَ ْب ِض‬
ْ َ ‫تَ ُك ْو َن ِل‬
‫َش ٍء د ُْون َ ُه‬
80. “Allah melapangkanmu agar Dia tidak menetapkanmu selamanya dalam kesempitan.
Allah menyempitkanmu agar Dia tidak meninggalkanmu dalam kelapangan selamanya.
Dan Allah mengeluarkanmu dari keduanya agar kau tidak menjadi milik sesuatu selain
Dia”

Pada hikmah ini ada 2 istilah yang perlu dikenali, yaitu basthun dan qobdhun
Basthun berarti Allah memberi apa yang kita inginkan, sedangkan Qobdhun berarti
Allah menahannya (tidak memberi)

Ketika apa yang kita inginkan selalu di basthun oleh Allah, maka hal ini terkadang bisa
mengakibatkan berkurangnya sifat khauf (takut) dalam diri. Kalau dalam istilah bahasa sunda
ada yang disebut nyalutak, yaitu hilangnya rasa takut dan hormat karena merasa dekat dan
terlalu diperlakukan dengan baik. “Allah itu baik sama saya, buktinya apa yang saya inginkan
cepat dipenuhi, kayanya kalau gak shalat berjamaah sekali saja, gak apa-apalah”.
Sebaliknya apabila yang kita inginkan selalu di qabdhun oleh Allah, maka terkadang
akan mengakibatkan putus asa, berkuranglah sifat roja (harapan)
Oleh karena itu Sengaja Allah terkadang membashtu kita, supaya kita keluar dari
qobdhu-Nya Allah, dengan kata lain agar muncul lagi roja (harapan) dalam diri kita. Dan
apabila Allah mengqabdhu, itu agar ada lagi sifat khauf (takut) dalam diri kita. Dan saat Allah
mengeluarkan kita dari keduanya, berarti kita mulai fana bersama-Nya
Hikmah Ke-81

‫ َو َل ي َ ِق ُف عَ ََل ُحدُ ْو ِد ْ َاْلد َِب ِف البَ ْسطِ ا َّل قَ ِل ْي ٌل‬،‫ال َع ِارفُ ْو َن ا َذا ب ُِس ُط ْوا َأخ َْو ُف ِمْنْ ُ ْم ا َذا قُبِضُ ْوا‬
ِ ِ ِ
81. “Para ‘arif lebih takut dalam kelapangan daripada dalam kesempitan. Dalam
keadaan lapang hanya sedikit yang bisa bertahan menetapi ketentuan adab (etika)”

Kalau kita mau jujur, lebih senang dibasthun atau diqabdhun? Pasti lebih senang di
basthun. Itulah kita. Sementara orang-orang arif billah, yang sudah wushul kepada Allah,
mereka lebih suka di qabdhun daripada di basthun. Karena mereka sadar bahwa sulit sekali
mengendalikan nafsu agar tetap beradab bersama Allah ditengah-tengah limpahan pemberian
dan kelapangan yang Dia berikan. Mereka takut nyalutak kepada-Nya

58
Hikmah Ke-82

‫ َوالقَ ْب ُض َل َحظَّ لِلنَّ ْف ِس ِف ْي ِه‬،‫َالْبَ ْسطُ تَأخ ُُذ النَّ ْف ُس ِمنْ ُه َح َّظهَا ب ُِو ُج ْو ِد الْ َف َر ِح‬
82. “Kelapangan mengambil/menguasai nafsu beserta bagiannya karena adanya kegembiiraan.
Sedangkan dalam kesempitan, nafsu tidak mendapatkan bagian apa-apa”

Kalau dikaji secara ilmiah, bashtun itu cocok dengan nafsu, sedangkan qabdhun
bertentangan dengan nafsu. Kalau kita dibasthu maka nafsu kita terpenuhi keinginannya.
Karena kita masih jadi anak buah nafsu, maka kita ingin terus di bashtun oleh Allah, Walaupun
kita masih belum seperti kaum arifin/washilin yang lebih senang di qabdhu, tapi setidaknya
kita tahu mana yg benar. Dan tahu target/tujuan, kita ini belum seperti mereka, tapi harus, dan
sedang belajar. Supaya kita tidak tamak dan mengatur Allah.
Hikmah Ke-83

َ‫ َو ُرب َّ َما َمنَ َع َك فأَع َْطاك‬،‫ُرب َّ َما َأع َْطاكَ فَ َم َن َع َك‬


83. “Mungkin Dia memberimu padahal (sedang) menahanmu dan mungkin Dia
menahamu padahal (sedang) memberimu”
Kita sangat menginginkan punya motor honda CBR 150R, setelah berusaha dan
berdo’a, akhirnya punya juga. Mau tidur ngeliat dulu motor, bangun tidur langsung ingat motor,
lagi sholat subuh ingat motor, selesai shalat, dzikir laailahaillallah 3x saja karena mau cepet-
cepet nyamperin motor. Hati kita sibuk dengan motor, lupa kepada Allah. Nah itu berarti Allah
memberi kita motor, padahal Dia menolak kita dari-Nya
Namun terkadang Dia menolak memberi apa yang kita inginkan padahal dia memberi
kita keselamatan dari menuruti nafsu, keselamatan badan atau lainnya. Seperti contoh yang
pernah diceritakan pada hikmah-hikmah sebelumnya ; “ujang anak umur 7 tahun, minta
dibelikan motor honda tiger kepada bapaknya. Pasti tidak akan dibelikan, karena kalau ujang
yang masih kecil diberi motor besar, yang terjadi ujang malah kecelakaan. Bapaknya ujang
menolak memenuhi keinginan ujang, padahal sesungguhnya dia memberi keselamatan bagi
ujang

Hikmah Ke-84

‫َم َىت فَ َت َح َ َل َِب َب ال َفهْ ِم ِف الْـ َم ْنع ِ عَا َد الْـ َم ْن ُع عَ ْ َي ال َع َطا ِء‬
84. “Ketika Allah membukakan kepadamu pintu pemahaman dalam penolakan-Nya,
maka penolakan itu pun berubah menjadi pemberian”
Ketika keinginan kita tidak dipenuhi oleh Allah maka itulah pemberian. Menurut otak
dangkal kita ketika permintaan kita tidak dipenuhi maka seakan-akan kita ditolak. Contohnya
tentang si ujang pada hikmah ke 85 yang sudah disebutkan
Atau contoh lain seperti anak kecil minta pisau kepada ibunya, oleh ibunya tidak
diberikan. Hakekatnya penolakan tersebut adalah pemberian (memberi keselamatan)

59
Hikmah ke 85

‫ َوالْقَلْ ُب ي َ ْن ُظ ُر ا ََل َِب ِط ِن‬،‫ فَالنَّ ْف ُس تَ ْن ُظ ُر ا ََل َظا ِهر ِغَ َّرتِـهَا‬.‫ْاْلَ ْك َو ُان َظا ِه ُرهَا غُ َّر ٌة َو َِب ِطْنُ َا ِع ْ ََب ٌة‬
ِ ِ
‫ِع ْ ََبتِـهَا‬
85. “Makhluk ini dzohirnya merupakan tipuan dan batinnya adalah pelajaran. Nafsu
melihat lahiriah tipuannya dan hati melihat batiniah pelajarannya.”

Makhluk itu dhohirnya adalah tipuan sedangkan bathinnya merupakan ‘ibroh, maksud
ibroh adalah dipakai gerbang menuju Allah, kullu syaiin babbun ilallah (segala sesuatu adalah
gerbang menuju Allah). nyambung lagi dengan pengertian ihsan yang sudah dibahas di awal-
awal kajian hikam, yakni badan kontak dengan makhluk, qolbu tembus kepada Allah.
Apapun yang kita lihat, dengar, cium, sentuh semuanya harus mendorong kita ingat kepada
Allah
Hikmah Ke-86

‫ فَ ََّل ت َ ْس تَ ِع َّز َّن ِب ِع د ٍز ي َ ْف َىن‬،‫ا ْن َأ َرد َْت َأ ْن يَ ُك ْو َن َ َل ِعز َل ي َ ْف َىن‬


ِ
86. “Jika engkau menginginkan kemuliaan yang abadi, maka engkau jangan banggakan
kemuliaan yang fana”
Manuisa hadits (baru), Allah Qodim (terdahulu), manusia fana (hancur), Allah Baqo
(kekal)

Kalau manusia igin kemuliaan yang kekal, merapatlah pada Dzat yang kekal
ۡ ۡ َ َٰ َۡ ُ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ُّ ُ
٢٧ ‫ٱۡلك َر ِام‬ ٰ ‫ ويب‬٢٦ ‫ان‬
ِ ‫ق وجه ربِك ذو ٱْلل ِل و‬ ٖ ‫ك من عليها ف‬
“26. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. 27. Tetapi Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”(Q.S. Ar_Rahman : 26-27)
Kebanyakan kita meletakkan kemuliaan pada pangkat, maka saat hilang pangkat, hilang
pula kemuliaannya, kita menganggap kemuliaan ada pada kecantikan/ketampanan, saat umur
menjadi tua, hilanglah kemuliaannya. Kita menggantungkan kemuliaan pada harta, maka saat
miskin kita tidak merasa mulia lagi. Bukan tidak boleh memiliki, tapi jangan menomor satukan,
jangan menjadikan harta prioritas utama. Ketika anda terjebak mencari keagungan yang pasti
rusak, maka dicakhirat anda tidak memiliki keagungan, kemuliaan dan keagungan diakhirat
diraih dengan taqwa, lebih baik mencari keagungan untuk hidup setelah mati, karena sekarang
juga pasti agung. Kalaupun memang ada sebagian orang yang menurut kita taqwa; ibadahnya
rajin dan istiqomah tapi kehidupannya belum sejahtera, pasti hatinya tenang dan bahagia.
Bukankah mengejar kemuliaan juga ujungnya ingin bahagia?

Hikmah Ke-87

‫َا َّلط مي الْ َح ِق ْي ِق مي َا ْن ت َْط ِو َي َم َسافَ َة ادلم نْ َيا َع ْن َك َح َّىت تَ َرى ْاْلْ ِخ َر َة َا ْق َر َب الَ ْي َك ِمنْ َك‬
ِ
60
87. “Atthay (kemampuan melipat/meringkas jarak atau tempat) yang hakiki adalah jika
engkau bisa melipat jarak dunia ini, sehingga engkau dapat melihat akhirat itu lebih
dekat kepadamu daripada dirimu sendiri”
Di dalam kitab jaami’u karoomaatil auliya syekh Yusuf An Nabhani menjelaskan
tentang beberapa jenis karomat wali-wali Allah, diantaranya ada “inziwa-ul ardhi”
(mengerutkan bumi) atau dikenal juga dengan istilah “Thayyul ardhi” (melipat bumi/jarak),
dan “thayyuzzaman” (meringkas waktu), contohnya para wali dari pamijahan (Tasikmalaya,
Jawa Barat) berangkat ke mekah yang tadinya berjarak ribuan kilometer dan membutuhkan
waktu berjam-jam atau berhari hari, tapi mereka hanya menempuhnya dalam waktu 5 -10 menit
bahkan bisa sekejap mata. inilah athhayyu yang dikenal oleh banyak masyarakat dan dianggap
sebagai tanda kewalian seseorang, sehingga kalau tidak bisa seperti itu, diragukanlah
kewaliannya.
Dampaknya, tidak sedikit orang belajar tarekat yang terobsesi oleh kemampuan
tersebut, terus mengharapkannya sampai putus asa, “kenapa ya saya belajar tarekat sudah
bertahun-tahun, tapi ko gini-gini aja, belum ada karomatnya”
Kalau dalam diri kita masih ada fikiran seperti itu, mari kita luruskan. Syekh ibn
Athoillah, dalam hikmah ke 87 di atas menegaskan bahwa atthayyu yang hakiki bukan melipat
jarak, sampai ketempat yang jauh dalam sekejap mata. Kemampuan tersebut jangan dikejar-
kejar, seandainya pun suatu saat mengalami, lewatkan saja, tidak usah diingat-ingat apalagi
diumbar kepada orang lain, supaya tidak terjebak.
Menurut beliau, Atthayyu yang hakiki adalah pandangan qalbu tembus ke akhirat,
apapun yang dilakukan di dunia selalu diperhitungkan manfaat dan madharatnya untuk
kehidupan di akhirat. Contoh kalau mau berbicara, timbang-timbang dulu, pembicaraan ini
bermanfaat tidak ya untuk diakhirat? Saat hendak mengerjakan apapun, perhitungkan dulu
“kalau saya melakukan ini, kira-kira di akhirat bagaimana ya? bahaya tidak?”.

Seperti inilah atthayyu yang sebenarnya, yang dilipatnya bukan jarak di bumi dari satu
tempat ke tempat lain, melainkan dari bumi ke akhirat. Orang yang sudah berkemampuan
melakukan atthayyu yang hakiki ini, terkadang diberi thayyul ardhi (melipat jarak) yang
tadinya jauh menjadi dekat. Dalam tarekat hal seperti ini masuknya kedalam bonus, bukan
tujuan.
Hikmah Ke-88

ِ ‫ َوالْ َم ْن ُع ِم َن‬،‫َالْ َع َطا ُء ِم َن اخلَلْ ِق ِح ْر َم ٌان‬


‫هللا ا ْح َسا ٌن‬
ِ
88. “Pemberian dari makhluk adalah penghalang, sedangkan penolakan dari Allah
adalah kebaikan”

Pemberian dari makhluk menjadi penghalang kita dari Allah kalau hati kita macet
dimakhluk. Misalkan kang Agus memberi kita sarung BHS, saat menerimanya dalam hati kita
tidak sedikitpun ada kesadaran bahwa hakikatnya itu kebaikan Allah, sebab Allah yang
menggerakan hati dan kaki juragan agus untuk shodaqoh BHS kepada kita. Maka pemberian
itu jadi pengahalang kita dari Allah. Sebaliknya kalau ada kesadaran bahwa itu merupakan

61
kebaikan Allah; lisan mengucapkan “terimakasih kang agus”. Hati mengucapkan “terimakasih
ya Allah, ini kebaikanMu”. Maka pemberian tersebut tidak menjadi penghalang kita dari Allah.
Hikmah Ke-89

‫َج َّل َربمنَا َأ ْن يُ َعا ِم َ ُل ال َع ْبدُ ن َ ْق ًدا فَ ُي َج ِازي َ ُه ن َ ِسيْئَ ًة‬


89. “Maha Agung Allah, seorang hamba beramal kepada-Nya secara kontan, dan Dia
menangguhkan pembalasannya”
Hikmah Ke-90

َّ ‫َك َفى ِم ْن َج َزائِ ِه ا ََّيكَ عَ ََل‬


‫الطاعَ ِة َأ ْن َر ِض َي َك لَهَا َأه ًَّْل‬
90. “Cukuplah balasan dari Allah kepadamu atas ketaatan adalah bahwa Dia ridha
ِ
kepadamu”
Sebuah ilustrasi ; ceritanya ada seorang lelaki namanya Ujang, ia sangat mencintai
neneng, satu waktu neneng nyuruh ujang datang ke rumahnya. Tentulah ujang sangat senang,
karena akan bertemu dengan wanita yang sangat dicintainya, ujang pun membeli martabak
kesukaan neneng, sebagai oleh - oleh. Singkat cerita setelah mereka bertemu dan ngobrol
panjang lebar, kira-kira apakah ujang akan meminta uang ganti bekas beli martabak? Atau
meminta imbalan, karena ujang jauh-jauh datang menemui neneng, mengorbankan waktu dan
tenaga?

Tidak akan ! karena bagi ujang, neneng mengundangnya dan mau bertemu juga sudah
merupakan kebahagiaan dan imbalan yang luar biasa
Kita dipanggil oleh Allah melalui ibadah-ibadah, tidak usah meminta imbalan, karena
ibadah itu juga sudah merupakan imbalan dari Allah.
Hikmah Ke-91

‫ َو َما ه َُو ُم ْو ِر ُد ُه عَلَْيْ ِ ْم ِم ْن ُو ُج ْو ِد‬،‫لي َج َزا ًء َما ه َُو فَاتِـ ُح ُه عَ ََل قُلُوهبِ ِ ْم ِف َطا َعتِ ِه‬
َ ْ ‫َك َفى الْ َعا ِم‬
‫ُم َؤان َ َس تِ ِه‬
91. “Cukuplah sebagai balasan untuk orang yang beramal adalah terbukanya hati
mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan apa yang Allah berikan kepada mereka
berupa kemesraan berhubungan dengan-Nya.”
Kita jangan meminta imbalan atas ibadah yang kita lakukan, karena ibadah itu
bermesraan dengan Allah. kalau anda diundang ke istana oleh presiden, saat pulang presiden
tidak memberi apa-apa kepada anda. Tagih jangan? Tidak usah, kan mendapat panggilan dari
beliau saja sudah merupakan kehormatan
Hikmah Ke-92

‫ فَ َما قَا َم ِ َِب د ِق َأ ْو َصا ِف ِه‬،ُ‫َش ٍء يَ ْر ُج ْو ُه ِمنْ ُه َأ ْو ِل َيدْ فَ َع ب َِطا َعتِ ِه ُو ُر ْو َد ال ُع ُق ْوب َ ِة َع ْنه‬
ْ َ ‫َم ْن َع َبدَ ُه ِل‬
62
92. “Barang siapa beribadah karena berharap sesuatu dari Allah, atau mentaati-Nya
supaya menolak hukuman-Nya, berarti ia tidak menjalankan hak sifat-sifat-Nya”

Kalau kita ibadah karena ingin imbalan, atau ingin dijauhkan dari siksaaan Allah,
berarti kita belum benar-benar menganggap Allah sebagai Tuhan, dan belum meyadari kita
sebagai hamba.
Yang mau bekerja ketika di beri imbalan adalah buruh/kuli bukan hamba, dan yang
mau bekerja kalau diancam itu adalah hamba yang jelek.
Hikmah ke 93
‫لك َذ ِ َل ُمتَ َع د ِر ٌف الَ ْي َك َو ُمقَ ِ دب ٌل‬
‫َم َىت َاع َْطاكَ َأ ْشهَدَ كَ ِب َّر ُه َو َم َىت َمنَ َع َك َأ ْشهَدَ كَ قَه َْر ُه فَه َُو ِِف ُ ِ د‬
ِ
‫ب ُِو ُج ْو ِد لُ ْط ِف ِه عَلَ ْي َك‬
93. “Ketika Allah memberimu maka Dia mempersaksikan kebaikan-Nya kepadamu.
Ketika Allah menolakmu maka dia mempersaksikan qohar (memaksa)Nya kepadamu.
Dalam semua itu Dia sedang memperkenalkan kepadamu dan menghadap kepadamu
dengan kelembutan-Nya”

Apabila ada hal-hal yang menyenangkan yang terjadi pada diri kita, apapun bentuknya
dan apapun sebabnya ingatlah bahwa itu merupakan pemberian Allah. Dan melalui hal itu Dia
sedang memperkenalkan diri kepada kita dengan memperlihatkan kebaikanNya,
kedermawananNya serta kasih sayangNya
Sebaliknya ketika kita mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, maka
tembuskan kedalam hati bahwa Dia sedang memperkenalkan diriNya kepada kita dengan
menampakkan sifat QohharNya (berkuasa/memaksa). Kita lemah sedangkan Dia kuat,
keinginan kita tidak dapat mengalahkan kehendakNya, Dia yang mengatur kita, bukan kita
yang mengaturNya. Secerdas dan sekuat apapun usaha kita untuk menghindari hal-hal yang
menurut kita buruk, tetap saja kehendak dan KuasaNyalah yang berlaku
Jadi apapun yang terjadi kepada kita, baik kejadian yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan, semuanya merupakan sein (isyarat) dari Allah agar kita kembali
mengingatNya, dan mengenalNya.
Di dalam muqaddimah kitab sirrul asror pada penjelasan mengenai awal penciptaan,
syekh ‘Abdul Qodir al Jailani QS mengutip sebuah hadis Qudsi sebagai berikut :
َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ ًّ ْ َ ً ْ َ ُ ْ ُ
‫كنت كْنا َمفِيا فأحببت أن أعرف فخلقت اۡللق لَِك أعرف‬
“Aku Adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan
makhluq agar Aku dikenali”
Hikmah Ke-94

ِ ‫إان َّ َما يُ ْؤ ِل ُم َك الْ َم ْن ُع ِل َعدَ ِم فَهْ ِم َك َع ِن‬


‫هللا ِف ْي ِه‬
94. “Al-man’u (Allah tidak memberi apa yang kita inginkan) terasa pedih bagimu, karena
engkau tidak memahami Allah dalam penolakan itu”

63
Ketika permintaan kita tidak dipenuhi dan kita merasa prihatin, itu tanda kita tidak
faham tentang Allah. Allah lebih tahu tentang yang terbaik buat kita dan Dia pun maha
pemberi.
Hikmah Ke-95

‫ َو ُرب َّ َما قَ َض عَلَ ْي َك ِِب َّلن ِْب فَ َاك َن َسبَ ًبا ِِف‬. ِ‫الطاعَ ِة َو َما فَتَ َح َ َل َِب َب الْـقَ ُب ْول‬
َّ ‫ُربَّام فَتَ َح َ َل َِب َب‬
ِ‫الْ ُو ُص ْول‬
95. “Terkadang Dia membukakan untukmu pintu ketaatan dan tidak (belum)
membukakan untuk pintu penerimaan. Dan boleh jadi Allah menetapkan atas dirimu
suatu dosa yang menjadi sebab wushūl kepada-Nya”
Rukun iman yang ke 6 adalah iman kepada qodo dan qodar Allah, baik atau buruk itu
kehendak Allah.

Rumah kita kebakaran, hakikatnya kehendak Allah. kita berbuat maksiyat juga
kehendak Allah.
Namun hati-hati jangan sampai tergelincir kepada faham jabbariyyah.
Ada iman, ada adab/tatakrama. Berdasarkan keimanan sesungguhnya maksiyat kita
juga Taqdir Allah, tetapi apabila ditinjau menggunakan adab/ tatakrama, maka yang baik dari
Allah, sedangkan yang buruk, dari diri kita sendiri. Dalam hal ini kita berpegang pada ayat Al
Quran
َ ٗ
ٰ‫اس َر ُسوَل ۚۡ َوك َِف‬ ‫ذ‬ َ َٰ ۡ َ ۡ ََ َ ۡ ‫َ َ َ ذ‬ َ َ َ َََٓ ‫ذَٓ َ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ذ‬
ِ ‫ما أصابك مِن حسنةٖ ف ِمن ٱّللِ وما أصابك مِن سيِئةٖ ف ِمن نفسِكۚۡ وأرسلنك ل ِلن‬
ٗ َ ‫ذ‬
٧٩ ‫بِٱّللِ شهِيدا‬

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”(QS. An Nisa : 79

Perhatikan pula ungkapan Nabi Ibrohim yang diabadikan dalam Al-Quran surat Asy-
Syu’aro ayat 80. Beliau menisbatkan penciptaan, pemberi hidayah, pemberi makan dan minum
kepada Allah, tapi menisbatkan sakit kepada dirinya sendiri.

Sengaja dijelaskan dari sana dulu, supaya ketika kita melakukan dosa dan dikoreksi
orang lain, tidak keluar ungkapan dari kita “dosa ini juga taqdir Allah”
Dalam hikmah ke 95 di atas dijelaskan, terkadang Allah mentaqdirkan kita melakukan
suatu ketaatan, namun Dia tidak menerima ketaatan kita itu, karena ada hal-hal yang merusak
keikhlasan kita saat melakukannya. Tidak apa-apa, ndak usah protes, terserah Dia saja. yang
penting kita terus berusaha.

64
Bahkan terkadang Allah mentaqdirkan seseorang melakukan maksiat, ternyata
maksiyat tersebut menjadi sebab dia wusul kepadaNya. Sepeti Robiah al adawiyah, Sayyid
Umar dan lain-lain.
Tapi jangan berfikir untuk melakukan dosa dulu, dengan harapan menjadi sebab wusul,
karena kita tidak tahu taqdir Allah terhadap kita bagaimana. Orang-orang seperti sayyidina
umar, ibu robi’ah al adawiyah itu kan langka. Kan banyak pula yang wushul tanpa sebab
maksiyat dulu seperti Syeikh Abdul Qodir, Syeikh Ibn ‘Arobi dll
Hikmah Ke-96

‫َم ْع ِص َي ٌة َأ ْو َرثَ ْت ُذ ال وافْ ِتقَ ًارا خَْيٌ ِم ْن َطاعَ ٍة َأ ْو َرثَ ْت ِع ازا َو ْاس تِ ْك َب ًارا‬
96. “Kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan rasa membutuhkan (rahmat dan
ampunan Allah) lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan
kesombongan”
Apabila melihat substansi, maksiyat tetap dicela oleh syara’, sebaliknya ketaatan
merupakan hal yang terpuji.
Sedangkan apabila melihat efek bagi diri dari kedua hal tersebut, terkadang maksiyat
jadi lebih baik dari pada ketaatan. Yaitu ketika maksiyat memberikan dampak kita merasa hina
dan butuh terhadap rahmat dan ampunan Allah, sedangkan ketaatan menjadikan kita berbangga
diri dan sombong.
Tetapi jangan pula beranggapan “ah kalau begitu, saya mau sengaja aja melakukan dosa
!”. kalau melihat awalnya sudah seperti ini, kemungkinan besar dosa yang dilakukan tidak akan
menimbulkan perasaan hina.
Hikmah Ke-97

‫ َو ِن ْع َم ُة ْال ْمدَ ا ِد‬،‫ ِن ْع َم ُة ا ْل ْ ََيا ِد‬:‫ك ُم َك َّو ٍن ِمْنْ ُ َما‬


‫ َو َلبُ َّد ِل ُ ِد‬،‫ِن ْع َمتَ ِان َما خ ََر َج َم ْو ُج ْو ٌد َعْنْ ُ َما‬
ِ ِ
97. “Ada dua nikmat yang tidak satu makhluk pun terlepas darinya dan setiap makhluk
pasti berasal darinya. Yakni nikmat ījād (diciptakan) dan nikmat imdād
(pertolongan/pemenuhan kebutuhan)”

Ada dua nikmat yang Allah berikan kepada kita dan seluruh makhluk, dan tidak ada
makhluk yang lepas dari dua nikmat ini, yaitu ;
1. Nikmat Ijad (keberadaan) yakni Allah menjadikan kita ada padahal sebelumnya tidak
ada.
2. Nikmat imdad (pertolongan) yakni Allah menyediakan sarana-sarana penopang untuk
keberlangsungan hidup kita.
Nikmat imdad sangat banyak dan tidak terhitung. Diantaranya saja; Allah menciptakan
bumi, air tumbuhan, hewan, oksigen dll

65
Hikmah Ke-98

‫َأنْ َع َم عَلَ ْي َك َأ َّو ًل ِِب ْل ْ ََيا ِد َو َث ِن ًيا ِبتَ َو ِاَل ْ إال ْمدَ ا ِد‬
98. “Pertama-tama Allah memberimu dengan nikmat ījad dan kedua dengan berturut-
ِ
turut nikmat imdād”
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa nikmat imdad itu tidak terbatas. Kalau
mau dihitung, nikmat imdad yang ada pada kepala saja bisa milyaran atau bahkan sampai tak
terhingga.
Yang tampak saja dulu dikepala ada rambut disamping untuk perhiasan/aksesoris juga
untuk melindungi kepala agar tidak terlalu panas.
Bulu yang tumbuh dikepala banyak, ada rambut, alis, bulu mata, bulu hidung, kumis
janggut dll, yang semuanya Allah ciptakan ada manfaatnya bagi kita.

Rambut dengan alis sama-sama bulu dan sama-sama tumbuh dikepala, tapi mengapa
rambut terus memanjang tapi ali tidak, siapa yang menghentikannya?
Silahkan sekali-sekali tafakkur meneliti nikmat-nikmat Allah yang ada pada tubuh kita,
sebelum habis terhitung semua, keburu habis umur kitanya pak. Dampaknya ibadah kita jadi
berkualitas, bukan ibadah ingin imbalan.
Hikmah Ke-99

ٌ ‫فَاقَ ُت َك َ َل َذاتِ َّي ٌة َو ُو ُر ْو ُد ْ َاْل ْس َب ِاب ُم َذ ِكد َر‬


‫ َوالْ َفاقَ ُة ا َّلاتِ َّي ُة َل تَ ْرفَ ُعهَا‬،‫ات َّ َل ِب َما َخ ِف َي عَلَ ْي َك ِمْنْ َا‬
.‫الْ َع َوا ِر ُض‬
99.“Faqoh bagimu adalah suatu keniscayaan. Sedangkan datangnya sebab-sebab adalah
menjadi pengingatmu terhadap apa yang tersembunyi dalam waktu aslimu itu. Dan faqoh
yang mendasar itu tidak bisa dihilangkan oleh hal-hal yang baru”
Faqoh adalah syiddatul ihtiyaj (kebutuhan yang sangat) *
Faqoh maksudnya Allah mentaqdirkan kita mengalami suatu kejadian, yang dirasakan
sangat menghimpit, dan kita sulit keluar dari keadaan tersebut. Seperti mertua pemarah,
menantu pemalas, anak bermasalah dengan polisi, istri maksa minta cerai, suami selingkuh dan
lain sebagainya
Faqoh bagi kita adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, melekat, pasti akan
mengalami. Walaupun setiap orang, jenis dan kadar faqohnya berbeda
Ketika terjadi faqoh jangan cengeng jangan berprasangka buruk. Cepat yakini ini kerja
Allah, dan ini baik bagi kita menurut ilmu Allah. Tujuannya untuk mendekatkan diri kita
kepada Allah, agar kita sadar bahwa kita butuh kepada Allah, kita lemah Dia kuat, kita bodoh
tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sedangkan Allah maha Mengetahui akan
segala sesuatu, “saya hamba, dan Allah Tuhan”. Kita pasrah saja, terserah Dia, mau berbuat
apa saja kepada kita.

66
Dengan begitu kejadian yang menghimpit tersebut akan menjadi batu loncatan bagi kita
untuk wushul kepada Allah

* pada kesempatan lain yaitu pada kajian hikam tahun 2014 pembahasan faqoh pangersa uwa
adalah sebagai berikut :
Pengertian Faqoh yang paling mendasar adalah syiddatul ihtiyaj (kebutuhan yang
sangat kuat), yaitu kaitannya dengan nikmat ijad dan imdad, keberadaan dan keberlangsungan
hidup kita di dunia ini tidak ada satu detikpun yang terlepas dari pertolongan Allah. Seandainya
satu detik saja kita “ditinggalkan” Allah maka pasti kita akan mati. Oleh sebab itu selamanya
kita faqoh (sangat membutuhkan) kepada Allah, termasuk saat ini, walaupun kita tidak sedang
mengalami masalah yang menghimpit, namun kita bernafas menghirup oksigen, oksigennya
disediakan oleh Allah, paru-parunya diberi, difungsikan dan dijaga oleh Allah, kita ini bagaikan
wayang-wayag tak berdaya, untuk apapun membutuhkan Allah, inilah faqoh yang sebenarnya.
Nah, karena manusia sering lupa bahkan menafikan bahwa dirinya sangat
membutuhkan Allah setiap saat, maka dengan datangnya masalah-masalah yang menghimpit
itu pada hakikatnya adalah sebuah teguran dari Allah untuk mengingatkan, bahwa sesunguhnya
kita faqoh kepada Allah, agar kita sadar bahwa kita ini bukan Tuhan yang memiliki sifat al
Qowiy (Maha kuat) dan al Qiyaamu binafsihi (berdiri sendiri, tidak membutuhkan pihak lain)
Hikmah Ke-100

‫ َوتُ َر مد ِف ْي ِه ا ََل ُو ُج ْو ِد ِذلَّتِ َك‬،‫خ ْ َُْي َأ ْوقَاتِ َك َو ْق ٌت ت َ ْشهَدُ ِف ْي ِه ُو ُج ْو َد فَاقَ ِت َك‬


ِ
100. “Sebaik-baiknya waktumu adalah yang kau pergunakan untuk menyaksikan
kefaqohanmu, sehingga waktu itu mengembalikanmu pada wujud kehinaanmu”

Waktu yang terbaik bagi kita adalah disaat Allah memberi kita faqoh, dan dari faqoh
tersebut, kita menyadari bahwa kita butuh kepada Allah, sehingga terus mendekati-Nya.
Sebagaimana sekolah waktu terbaik adalah saat menghadapi ujian, karena saat itu
menjadi momen penentu peningkatan kelas kita. Itu kalau dalam dunia persekolahan. Kalau
dalam hidup, menghadapi faqoh dan lulus maka bersyukur, andaipun tidak lulus, jadikan itu
pengalaman .
Hikmah Ke-101

‫َم َىت َأ ْو َحشَ َك ِم ْن َخلْ ِق ِه فَاعْ َ ْل َأن َّ ُه ُي ِريْدُ َأ ْن ي َ ْف َت َح َ َل َِب َب ا ُْلن ْ ِس ِب ِه‬
101. “Apabila Allah menjauhkanmu dari makhluk, maka ketahuilah bahwa Dia hendak
membukakan untukmu pintu keintiman dengan-Nya.”
Pada hikmah ini syekh ibn ‘Athoillah membahas tentang Istihasy, yaitu Allah
mentaqdirkan kita dijauhi, dikucilkan atau bahkan dibenci oleh manusia, maka saat seperti itu
fahami dan sadari bahwa semua itu disengaja oleh Allah agar kita lepas dari makhluk, supaya
kita mendekat dan mesra bersama-Nya. Karena kita selama ini terlalu betah dengan
makhluknya bukan dengan Dia.
Allah memanggil kita dengan sholat fardu, kitanya telat .

67
Allah menunggu kita dalam qiyamullail, kitanya tidur
Allah memanggil kita dengan shaum sunat, kitanya malah makan terus
Kapan waktu kita “bermesraan” dengan Allah?
Hikmah Ke-102

‫َم َىت َأ ْطلَ َق ِل َسان ََك ِِب َّلطلَ ِب فَاعْ َ ْل أن َّ ُه ُي ِريْدُ أ ْن يُ ْع ِط َيك‬
102. “Ketika Allah melepaskan lidahmu untuk meminta (kepada-Nya), maka ketahuilah,
bahwa Dia hendak memberimu.”
Ada orang yang meminta kepada Allah, dan dalam qalbunya merengek-rengek,
mengatur Allah, ingin diberi, ini yang kurang baik. Ada juga yang meminta kepada Allah tapi
sikap qalbunya memakai adab, dalam qalbunya tertanam bahwa apa yang ia lakukan hanya
mengamalkan perintah Allah, yaitu untuk berdoa, kalaupun ada kebutuhan terhadap apa yang
dipinta tidak diutamakan dan tidak didahulukan, atau bahkan tak pernah diungkap.
Seperti yang pernah dibahas pada hikmah yang lalu, ketika berdo’a, sebelum meminta
kebutuhan-kebutuhan yang lain, belajarlah mengawalinya dengan syukur, berterima kasih atas
segala nikmat yang telah Allah berikan. Kemudian beralih ke taubat, yaitu minta diampuni
dosa-dosa. Lalu minta dikuatkan iman, bagus dalam ibadah. Setelah itu keturunan yang sholeh,
ilmu yang manfaat. Setelah itu barulah minta rizki, terbayar utang, motor dll.

Kalau kita ditaqdirkan mengucapkan permintaan kepada Allah maka dengan itu
menjadi tanda bahwa Allah berkehendak untuk memberi apa yang kamu butuhkan, tapi ingat
jangan ngatur Tuhan. Ada yang berdo’a tujuannya qurbah ; semata-mata melaksanakan
perintah Allah, dan ingin mendapatkan ridho-Nya Ada juga yang berdo’a tujuannya ijabah;
Allah mau ridho atau tidak, yang penting keinginannya terpenuhi.
Kekeliruan umat islam dunia saat ini lebih mengutamakan ijabah ketimbang
qurbah,padahal tujuan utama do’a adalah qurbah, adapun ijabah terserah Allah, bukan untuk
kita atur.
Hikmah Ke-103

ِ ‫ َو َل يَ ُك ْو ُن َم َع غَ ْ ِْي‬،‫َالْ َعا ِر ُف َل يَ ُز ْو ُل اضْ ِط َر ُار ُه‬


‫هللا قَ َر ُار ُه‬
103. “Seorang ‘arif tak pernah hilang perasaan butuhnya (kepada Allah), dan selamanya
ia tidak akan pernah berpaling ke pada selain Allah”.

Karena tahu bahwa dorongan nafsu begitu kuat, godaan setan semakin licin dan samar,
dan tak ada yang dapat menyelamatkannya dari semua itu kecuali Allah, maka orang arif billah
semakin bergantung kepada-Nya, perasaan butuhnya kepada Allah semakin kuat.
Oleh karena itu prioritasnya sudah bukan harta atau kedudukan lagi, hal-hal seperti itu
merupakan perkara sepele dalam pandangan mereka. Prioritasnya adalah ibadah dan adab
bersama Allah, tegaknya islam dimuka bumi, yang belum islam diupayakan masuk islam

68
(dengan cara yang baik dan benar), dan yang sudah islam diperjuangkan, dibimbing supaya
bertaqwa sempurna

Hikmah Ke-104

،‫ ِ َِل ْج ِل َذا ِ َل َأفَلَ ْت َأن َْو ُار ا َّلظ َوا ِه ِر‬.‫لَّسائِ َر ِبأَن َْوا ِر َأ ْو َصا ِف ِه‬
َ َّ ‫ َو َأنَ َر ا‬،‫َأنَ َر ا َّلظ َوا ِه َر ِبأَن َْو ِار أ ْ َث ِر ِه‬
‫ (ا َّإن َ ُْش َس الْنَّ َ ِار تَغ ُْر ُب ِِبلل َّ ْي ِـل َو َ ُْش ُس ال ُقلُ ْو ِب‬:‫الَّسائِ ِر َو ِ َل ِ َل ِقي َل‬
َ َّ ‫َولَ ْم تَأفُ ْل َأن َْو ُار ال ُقلُ ْو ِب َو‬
)8‫لَي َْس ْت تَ ِغ ْي ُب‬
104. ”Allah menerangi alam lahir dengan cahaya jejak-Nya. Dan menerangi rahasia hati
(sirr) dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Karena itulah cahaya-cahaya lahir tenggelam,
sedangkan cahaya hati dan sirr tidak akan pernah tenggelam. Karena itu dikatakan:
‘sesungguhnya matahari siang terbenam kala malam menjelang, namun mata hati tidak
akan pernah terbenam”
Allah menerangi benda-benda dzohir dengan cahaya makhluk-Nya. Kalau siang dengan
cahaya matahari, kalau malam dengan cahaya matahari yang diserap oleh bulan. Sehingga
terbukalah benda-dzohir bagi mata kita dan dapat dilihat.

Sedangkan rahasia-rahasia bathin diterangi oleh cahaya sifat-sifat-Nya.


Dalam semua makhluk terdapat unsur sifat Allah. Contoh dalam tiang ini, ada sifat ad-
dzohir (yang dzohir), al qowiy (yang kuat) dan lain-lain. Ketika kita melihat benda-benda
dzohir kemudian di tafakkuri, dan bisa sampai tembus kepada Allah, maka muncullah cahaya
dalam qalbu yang dapat membuka rahasia-rahasia bathin.
Hikmah Ke-105

َ َ ‫ فَ َّ ِاَّل ْي َو‬.‫ِل ُي َخ ِفد ْف َالَ َم ال َب ََّل ِء عَلَ ْي َك ِعلْ ُم َك ِ َِبن َّ ُه ُس ْب َحان َ ُه ه َُو الْ ُم ْب َِل َ َل‬
‫اَج ْت َك ِمنْ ُه ْ َال ْقدَ ُار ه َُو‬
‫َّ ِال ْي َع َّودَكَ ُح ْس َن ْ ِال ْخ ِت َيا ِر‬
105. “Pedihnya cobaan yang meimpamu akan menjadi ringan saat kau tahu bahwa Allah
lah yang mengujimu. Dzat Allah yang menghadapkan ketentuan-Nya kepadamu adalah
Dzat yang yang membiasakanmu pada pilihan yang terbaik.”
Kalau kita ingin merasa ringan dan tenang saat menghadapi bala/ujian, maka ingatlah
bahwa apapun yang terjadi pada kita itu adalah kerja Allah.
Kita ambil sebuah ilustrasi ; Ujang dan neneng adalah sepasang pengantin baru,
keduanya masih diliputi rasa cinta. Satu saat Neneng ingin menggoda ujang suami tercintanya.
Kesempatan tersebut muncul ketika ujang mau duduk di atas kursi yang ada dibelakangnya,
dengan spontan neneng mengambil kursinya. Sehingga ujang terjatuh. Kaget, sakit dan ingin

8
‫ ه‬۳۰۹ ‫هذا البيت هو للشيخ الحسين بن منصور الحالج المتوفى سنة‬

69
marah itu yang dirasakan ujang kira-kira, tapi saat mendengar tawanya neneng dari belakang,
tahulah ia bahwa yang membuatnya terjatuh adalah istri tercintanya, maka rasa sakitnya mulai
terobati, kemudian muncul bahagia dan tanpa fikir panjang lagi, ujang langsung menyusul
neneng yang berlari masuk ke dalam kamar. Akhirnya kemesraan pun terjalin antara keduanya
Mengapa ujang bahagia padahal ia terjatuh?

Karena didukung 3 faktor ;


1. Ujang tahu yang membuatnya jatuh adalah neneng
2. Ujang mencintai neneng

3. Ujang berbaik sangka, neneng menjatuhkannya bukan karena benci tapi tanda sayang
dan "signal" untuk "bermesraan"
Begitu juga kita kepada Allah.

Kalau kita sudah faham al hikam, mendapatkan ujian itu memang terasa sakit dan perih
namun ada bahagianya juga, karena kita tahu dan sadar bahwa itu adalah kerja Allah, yang
dicintai dan mencintai kita. Dan juga karena Dia adalah Dzat yang selalu memberi yang terbaik
bagi kita, walaupun sering kita belum bisa menemukan kebaikan-Nya dalam pahitnya ujian
yang dijalani.

ُ َُ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ َ ‫َ ۡ ۡ ُِ ۡ َ َ َ ذ‬
٤٨ ‫وٱص ِب ۡلك ِم ربِك فإِنك بِأعينِنا وسبِح ِِبم ِد ربِك حِي تقوم‬

“Dan bersabarlah terhadap hukum Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan
Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu berdiri” (Q.S At-Thur:48)

Hikmah Ke-106

‫َم ْن َظ َّن انْ ِف َاككَ لُ ْط ِف ِه َع ْن قَدَ ِر ِه فَ َذ ِ َل ِل ُق ُص ْو ِر ن ََظ ِر ِه‬


106. “Barang siapa menyangka kelembutan-Nya terlepas dari qadar-Nya, maka
sesungguhnya sangkaan itu muncul dari kesempitan pandangannya.”
Orang yang ketika mendapatkan musibah pahit, mengatakan/beranggapan bahwa Allah
tidak sayang kepadanya maka itu merupakan tanda dangkal pemikirannya.
Seperti anak kecil yang pagi-pagi dimandiin oleh ibunya dengan paksa. Dinginnya air,
dan kerasnya si ibu menggosok seluruh badan anak itu, membuat si anak beranggapan bahwa
ibunya tidak sayang kepadanya. Padahal si ibu melakukan semua itu karena sayang, supaya
anaknya bersih dan sehat.
Hikmah Ke-107

.‫ َوإانَّام ُ َي ُاف عَلَ ْي َك ِم ْن غَلَ َب ِة الْه ََوى عَلَ ْي َك‬،‫الط ُر ُق عَلَ ْي َك‬
‫َل ُ َي ُاف عَلَ ْي َك َأ ْن تَلْتَ ِب َس م‬
107.”Tidak perlu dikhawatirkan bahwa jalan menuju Allah akan membingunkan.
Namun yang perlu dikhawatirkan adalah kemenangan nafsu atas dirimu”

70
Tidak usah bingung dengan banyaknya cara, untuk sampai kepada Allah. Ada yang
dengan dzikir laailahaillallah, ada pula yang dengan sholawat, dakwah, mengajar santri, atau
apapun itu asalkan mampu, silahkan saja. Yang paling harus di takutkan adalah menguasainya
hawa nafsu dalam menempuh jalan untuk sampai kepada Allah tersebut. Walaupun yang
dipegang al Quran, al hadits, tapi yang dianut hawa nafsunya, ini yang berbahaya dan perlu
dikhawatirkan.
Hikmah Ke-108

.‫ َو َظه ََر ِب َع َظ َم ِة مالربُ ْو ِب َّي ِة ِِف ا ْظهَا ِر الْ ُع ُبو ِدي َّ ِة‬،‫رشي َّ ِة‬
ِ َ َ‫وص َّي ِة ب ُِظه ُْو ِر الب‬
ِ ‫رس اخل ُُص‬
َّ ِ ‫ُس ْب َح َان َم ْن َس َ َرت‬
ِ
108. “Maha Suci Allah, yang telah menutupi rahasia golongan yang istimewa dengan
menampakkan sifat-sifat kemanusiaan. Dan telah menampakkan keagungan rubūbiyah
dengan menampakan ‘ubūdiyah (sifat-sifat penghambaan).”

Seluruh asma /sifat Allah sudah ada dalam diri kita, namun ditutupi oleh Allah dengan
menampakkan sifat-sifat kemanusiaannya.
Hikmah Ke-109

.‫َل ت َُطا ِل ْب َرب َّ َك ِب َتأَ مخ ِر َم ْطلَب َِك َول ِك ْن َطا ِل ْب ن َ ْف َس َك ِب َتأَ مخ ِر َأ َدب َِك‬
109. “Janganlah menuntut Rabbmu karena permohonanmu belum dikabulkan. Akan
tetapi tuntulah dirimu sendiri karena tidak menjaga etika (kepada Allah)”

Sering terjadi, apa yang kita minta dari Allah melalui do’a- do’a tak kunjung terpenuhi, saat
mengalami hal ini jangan protes kepada Aloh, telitilah adab kita kepadaNya, periksalah ibadah
kita yang masih sangat kurang.

Hikmah Ke-110

‫ فَقَدْ َأع َْظ َم الْـ ِمنَّ َة‬،‫ َو َر َزقَ َك ِِف الْ َبا ِط ِن ْ ِال ْس ِت ْس ََّل ِم ِلقَهْ ِر ِه‬،‫الظا ِه ِر ُم ْمتَثِ ًَّل ِ َْل ْم ِر ِه‬ َ َ ‫َم َىت َج َع‬
َّ ‫كل ِِف‬
.‫عَلَ ْي َك‬
110. “Ketika Allah menjadikan lahiriahmu melaksanakan perintah-Nya, dan memberi
rezeki dari sisi batin berupa kepasrahan atas kuasa-Nya. Maka Allah benar-benar telah
memberimu karunia yang agung”

Budaya umat islam indonesia, baru merasa mendapat anugrah/nikmat besar kalau bisa
mendapatkan mobil, tiba-tiba dapat hadiah uang tunai 500 juta, ada orang kaya yang shodaqoh
motor, foto bareng pejabat atau artis, sukses kampanye dan semisalnya

Padahal nikmat terbesar menurut al hikam adalah badan bisa ibadah, hati mampu berserah.
Perjuangkan badan ini untuk melaksanakan ibadah, baik yang fardu maupun yang
sunat. Kemudian Gembleng qalbu supaya dengan ibadah-ibadah yang dilakukan jangan ada
keinginan diberi imbalan, jangan ingin agar mudah mengatur Tuhan. Tapi harus semakin
meningkatkan kepasrahan.

71
Disaat kita terus berupaya meningkatkan ibadah kita, namun kehidupan belum sejahtera
atau do’a-do’a kita tak kunjung di ijabah, pasrah saja kepada-Nya, “silahkan ya Allah, terserah
pada-Mu”. Jangan pernah menjadikan ibadah-ibadah kita sebagai “senjata” untuk memaksa
Allah agar memenuhi keinginan kita. “ya Allah saya kan udah puasa 40 hari, oleh karena itu
saya mohon engkau memberi saya innova ya Allah”. Gak boleh begitu pak, malu kepada Allah.
Ibadah 500 tahun saja belum cukup untuk menebus nikmat sekali berkedip, apalagi cuma
shaum 40 hari.
Hikmah Ke-111

‫لك َم ْن ثَبَ َت َ َْت ِص ْي ُص ُه ََكُ َل َ َْت ِل ْي ُص ُه‬


‫لَيْ َس ُ م‬
111. “ Tidak setiap orang yang tampak keistimewaannya, sempurna pula keikhlasannya”
Ketika tampak keluarbiasaan dari diri seorang salik atau washil, itu belum menjadi
jaminan sempurna keikhlasannya, karena munculnya keluarbiasaan bukan tujuan dalam
bertarekat, dan bukan ukuran keikhlasan, namun justru menjadi ujian keikhlasan.
Hikmah Ke 112

‫ َوالْ ِو ْر ُد ي َ ْن َط ِوى ِِبن ِْط َوا ِء َه ِذ ِه‬. ‫ َالوا ِر ُد يُ ْو َجدُ ِف ا َّدلا ِر اْلْ ِخ َر ِة‬. ‫َل ي َْس َت ْح ِق ُر الْ ِو ْر َد ا َّل َ ُْج ْو ٌل‬
ِ
ُ‫ َوالْ َو ِار ُد َأن َْت ت َْطل ُب ُه‬،‫ال ِو ْر ُد ه َُو َطا ِل ُب ُه ِمنْ َك‬. ‫ َو َأ ْو ََل َما يُ ْع َت َىن ِب ِه َما َل َ ْيلُ ُف ُو ُج ْو ُد ُه‬. ‫ا َّدلا ِر‬
‫ َو َأ ْي َن َما ه َُو َطا ِل ُب ُه ِمنْ َك ِم َّما ه َُو َم ْطلَ ُب َك ِمنْ ُه‬. ‫ِمنْ ُه‬
112. “Tidak akan menganggap enteng wirid, kecuali orang bodoh. Karena wārid dapat
ditemukan di negeri akhirat, sedangkan wirid akan hilang dengan lenyapnya negeri ini
(dunia). Yang paling utama untuk diperhatikan adalah sesuatu yang tidak menyalahi
wujudnya. Wirid adalah sesuatu yang Allah minta darimu, sedangkan wārid adalah apa
yang kau minta dari-Nya. Dimanakah letak apa yang Allah minta darimu dengan apa
yang engaku minta darinya? (sungguh tak berbanding antara permintaan-Nya darimu
dengan permintaanmu kepada-Nya)”
Wirid ialah amalan amalan yang dilakukan secara rutin baik berupa bacaan ataupun
pekerjaan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah), Sedangkan warid ialah limpahan
karunia dari Allah sebagai bonus dari wirid yang kita lakukan
Banyak orang yang dikarenakan sudah kaya, sudah mendapatkan kedudukan,
mendapatkan apa yang dicita citakan malas untuk melakukan wirid (amalan amalan), tapi
mereka terus menuntut kepada Allah akan limpahan limpahan yang ia inginkan. Padahal
kesempatan kita melakukan wirid itu hanya ketika kita masih berada di dunia, ketika kita mati
atau bumi hancur, maka hilanglah kesempatan tersebut. Oleh karena itu hal yang harus
diutamakan seorang salik ialah berupaya melakukan wirid, karena hal itu yang dituntut oleh
Allah dari kita. bukan malah sebaliknya, yang diutamakan adalah warid sementara wiridnya
dilupakan.

72
Hikmah Ke-113

َ ْ ‫ْش ْو ُق ْ َاْلن َْو ِار عَ ََل َح َس ِب َص َفا ِء ا َْل‬


‫رس ِار‬ ُ ُ ‫ َو‬, ‫ُو ُر ْو ُد ال ْمدَ ا ِد ِ َِب َس ِب ا ِل ْس تِ ْعدَ ا ِد‬
113. “Datanganya limpahan dari Allah adalah sesuai dengan besarnya kesiapan,
ِ
sedangkan terbitnya cahaya-cahaya adalah sesuai dengan kesucian sirr.”
Pada hikmah sebelumnya kita bicara warid, sekarang kita membicarakan imdaad
(limpahan). Datangnya imdad (limpahan) dari Allah, tergantung kepada isti’dad
(persiapan/upaya). Apabila limpahan karunia Allah dikaitkan dengan sifat rohman Rohim
Allah, maka semua makhluk juga menerima limpahan Allah, jangankan orang islam, kafir juga
tetap mendapat nikmat Allah, bisa hidup, bisa merasakan nikmat makan dan sebagainya.
Namun apabila ingin limpahan lebih, dan dapat bermanfaat di dunia dan akhirat, maka
limpahan tersebut harus lahir dari isti’dad (persiapan dan upaya)
Sedangkan bercahayanya hati tergantung dari kebersihan hati, upaya membersihkan
hati yaitu dengan dzikir. Semakin sering hati dibersihkan semakin besar cahaya yang timbul.
Semakin jarang hati dibersihkan semakin kecil cahayanya. Tidak dibersihkan sama sekali maka
kosong dari cahayanya.
Hikmah Ke-114

‫هللا ِب ِه‬
ُ ‫ َوالْ َعا ِق ُل ي َ ْن ُظ ُر َما َذا ي َ ْف َع ُل‬،‫َالْغَا ِف ُل إا َذا َأ ْص َب َح ي َ ْن ُظ ُر َما َذا ي َ ْف َع ُل‬
114. “Orang yang lalai (bodoh), ketika waktu pagi datang, ia memperhatikan ‘apa yang
harus ia lakukan’. Sedangkan orang yang berakal akan memperhatikan ‘apa yang
dilakukan Allah atas dirinya”

Dalam menjalani hidup biasanya manusia dalam kesehariannya menyusun plening


(rencana-rencana) tentang apa saja yang akan dilakukan pada hari ini. Kesulitan seperti apa
yang akan menghadang dan bagaimana solusi menyelesaikannya? orang seperti ini bagus
karena memiliki jiwa kreatif, inovatif. Sedangkan menurut Al-hikam tipe orang seperti itu
masuk dalam kategori manusia Ghofil (orang lalai) karena dia lupa dan tidak sadar bahwa roda
kehidupan ini sudah ada yang mengatur, sudah ada yang merancang dengan rancangan paling
baik yakni Allah SWT.
Kalau begitu kita tidak boleh punya rencana? Bukan tidak boleh, tapi lapisi pemikiran
terhadap rencana-rencana tersebut dengan keyakinan akan af’alulloh, taqdir Allah. Dia lah
yang mengatur segalanya. Agar disaat rencana-rencana kita tidak sesuai diharapkan, tidak
menggerutu, tapi ada kepasrahan kepada Allah.
Orang-orang ahli marifat lebih mendahulukan “apa yang akan Allah lakukan kepada
saya hari ini”, baru diikuti oleh rencana-rencana, sebagai bentuk upaya saja. Maka agar hidup
kita sejahtera,aman dan tentram, mari kita susun hidup yang terencana sesuai dengan yang
dicita-citakan tapi selalu diiringi dengan kesadaran bahwa Allah sang kholik telah menyiapkan
skenario kehidupan kita.

73
Hikmah Ke-115

‫ فَلَ ْو َشهِدُ ْو ُه ِ ْف‬.‫يش ٍء‬ ِ ‫يش ٍء ِلغَ ْيبَُتِ ِ ْم َع ِن‬


‫هللا ِ ْف ُ ِ د‬
ْ َ ‫لك‬ ‫ان َّ َما ي َْس تَ ْو ِح ُش الْ ُع َّبا ُد َو مالزهَّا ُد ِم ْن ُ ِ د‬
ْ َ ‫لك‬ ِ
ْ َ ‫يش ٍء لَ ْم ي َْس تَ ْو ِح ُش ْوا ِم ْن‬
.‫يش ٍء‬ ْ َ ‫لك‬ ‫ُ ِد‬
115. “Ahli ibadah dan ahli zuhud akan merasa gelisah dari segala sesuatu hanya karena
mereka lenyap dari Allah dalam segala hal. Maka apabila mereka menyaksikan Allah
dalam segala sesuatu maka mereka tidak pernah gelisah dari sesuatu pun”
Banyak diantara kita, ketika mulai belajar mendekatkan diri kepada Allah, baik melalui
ibadah-ibadah seperti sholat, shaum dan sebagainya, atau dengan pendekatan kepasrahan
(tawakkul) kepada Allah, pada awalnya kita berusaha menjauhkn diri dari orang-orang
sekitar atau lebih dikenal dengan istilah uzlah. Alasannya adalah supaya kita tidak terganggu
dalam melakukan ibadah. Menurut saya alasan seperti ini masih terselip kesombongan, saya
pribadi lebih cenderung alasan melakukan uzlah adalah agar kita tidak mengganggu orang lain.
Mayoritas umat islam salah faham terhadap uzlah, banyak yang menganggap bahwa
uzlah sebagai upaya membebaskan diri dari tanggung jawab sosial. Tujuan uzlah bukan seperti
itu melainkan merupakan upaya mempertajam ruhani, untuk nanti digunakan dakwah, agar
dakwah kita “tajam”. kalau diibaratkan tukang sabit rumput, kadang mereka menghilang dulu
dari padang rumput, untuk mengasah sabitnya. Ketika sabit terus-terusan digunakan tanpa
pernah diasah, maka akan tumpul. Begitu juga ruhani kita.
Ketika dirasakan bahwa orientasi hidup kita sudah bukan Allah lagi, melainkan harta
tahta pangkat dll. maka masuklah kedalam uzlah dengan tertib. Misalkan 7 hari, 21 hari atau
40 hari, setelah sebelumnya membekali anak istri dengan perbekalan yang cukup, tanggung
jawab-tanggung jawab yang diemban diwakilkan dulu.
Hikmah Ke-116

‫كل ادلَّ ِار َع ْن َ َمَكلِ َذاتِ ِه‬


َ ْ ِ‫َأ َم َركَ ِ ْف َه ِذ ِه ا َّدل ِار ِِبلنَّ َظ ِر ِِف ُم َك َّونَ تِ ِه َو َس َي ْك ِش ُف َ َل ِ ْف ت‬
116. “Allah memerintahkanmu di dunia ini untuk melihat ciptaan-Nya. Dan kelak di
akhirat Dia akan membukakan kepadamu kesempurnaan Dzat-Nya”
Setiap hamba yang melakukan suluk pasti mendambakan ingin mampu melihat Allah,
karena itulah cita cita terbesar mereka, tapi sehebat apapun amalan yang mereka lakukan di
dunia ini secara rutin tetap saja mereka tidak akan mampu melihat Allah dengan mata dzohir.
Ketika di dunia yang bisa kita lakukan adalah melihat makhluk-Nya, namun mata hati tembus
kepada Allah. seperti yang telah dicontohkan pada hikmah-hikmah sebelumnya. Sedangkan
untuk melihat Allah dengan mata dzohir adalah di akhirat.
Siapapun yang ketika di dunia sudah mampu “melihat” Allah dengan mata hati, pasti
dia akan mampu melihat Allah dengan mata dzohir di akhirat. Tapi barang siapa ketika di dunia
dia tidak bisa melihat Allah, tidak merasa selalu diperhatikan oleh Allah maka nanti dia tidak
akan mampu memandang-Nya.

74
Hikmah Ke-117

‫عَ ِ َل ِمنْ َك َأن ََّك َل ت َْص ِ َُب َع ْن ُه فَأَ ْشهَدَ كَ َما بَ َر َز ِم ْن ُه‬
117. “Allah tahu bahwa engkau sudah tidak bersabar untuk melihat-Nya, maka Allah
memperlihatkan kepadamu apa yang bersumber dari-Nya.”
Allah tahu bahwa kamu itu sudah tidak sabar untuk bermusyahadah dengan-Nya,
karena itulah Allah mendzohirkan makhluk ciptaan-Nya untuk di jadikan perantara agar bisa
“melihat-Nya”, bahan tafakkur, bahwa Allah itu ada.
Seperti seorang laki-laki yang mempunyai kekasih yang sedang merantau keluar negeri,
setiap hari saling berkirim pesan yang menunjukan ketidaksabaran ingin segera bertemu. Sang
wanita idaman tahu bahwa kekasihnya ingin segera bertemu tapi karena terpisah ruang dan
waktu, maka sang wanita mengirimkan kerudung yang biasa ia pakai kepada sang lelaki. Setiap
si lelaki merasakan rindu ingin bertemu, dilihatlah kerudung tadi, dan yang tampak adalah
wanita idamannya.
Begitu juga Allah kepada kita, Allah menciptakan segala yang nyata ini, diperlihatkan
kepada manusia untuk dijadikan jembatan menembus kepada Nya.
Hikmah Ke 118
‫الرش ِه فَ َح َج َرهَا‬
ِ ‫ َوعَ ِ َل َما ِف ْي َك ِم ْن ُو ُج ْو ِد َّ د‬.‫ات‬ َّ ‫ لَ َّو َن َ َل‬،‫ملا عَ ِ َل احل مَق ِمنْ َك ُو ُجو َد الْ ِملَ ِل‬
ِ َ‫الطاع‬
‫لك ُم َص ٍ دل ُم ِق ْْي‬‫ فَ َما ُ م‬،‫الص ََّل ِة‬
َّ ‫الص ََّل ِة َل ُو ُج ْو َد‬ ِ َ‫عَلَ ْي َك ِف ب َ ْع ِض ْ َاْل ْوق‬
َّ ‫ ِل َي ُك ْو َن َ ممه َك اقَا َم َة‬،‫ات‬
118." Karena Allah tahu bahwa engkau mudah bosan, maka Dia membuat beraneka
ِ
ragam ketaatan. Dan karena Allah mengetahui kerakusanmu, maka Dia membatasi
waktu-waktu ketaatanmu. Agar semangatmu tertuju pada menegakan
(menyempurnakan) shalat bukan wujud shalatnya. Karena tidak setiap orang yang
shalat dapat menegakan (menyempurnakan) shalatnya.”

Bentuk-bentuk taat (ibadah) kepada Allah itu bermacam macam dikarenakan manusia
itu mudah bosan, seperti halnya seorang istri membuat masakan untuk suami. Pagi memasak
nasi goreng, siang hari membuat ikan goreng, sambal dan lalapan, sore hari sop ayam, tempe
goreng dan menu hari berikutnya pun pasti ada beda lagi. Istri membuat makanan berbeda beda
dikarenakan ia paham jika masak yang itu itu terus suami akan bosan, begitu juga Allah kepada
kita, jika bentuk ibadah Cuma satu jenis maka kita akan cepat bosan dan malas
mengerjakannya.
Waktu-waktu melaksanakan ibadah itu pun diatur oleh Allah karena manusia juga
memiliki sifat serakah/semangat, seperti sholat sehari semalam yang wajib 5 waktu tidak
boleh dikerjakan di luar waktu yang sudah ditentukan.
Mengapa Allah membuat sarana ketaatan beraneka ragam dan menentukan waktu
waktunya? itu dikarenakan agar semangatmu(kemauan kuat)mu terpokuskan untuk bisa
menyempurnakan solat. Karena tidak semua yang melaksanakan solat itu menegakan solat.
Apakah beda antara melakukan shalat dengan menegakan sholat? ini jelas berbeda,
yang dimaksud melaksanakan solat adalah melakukan pekerjaan solat yang dimulai dari takbir

75
dan ditutup dengan salam, sedangkan yang dimaksud menegakan sholat ialah menerapakan
nilai nilai yang terkandung dalam sholat didalam kehidupan sehari-hari.

Hikmah Ke 119

‫َا َّلص ََّل ُة ُطه َْر ٌة لِلْ ُقلُ ْو ِب ِم ْن َأدْنَ ِس ا ملن ُْو ِب َو ْاس تِ ْفتَ ٌاح ِل َب ِاب الْ ُغ ُي ْو ِب‬
119." Shalat itu menyucikan hati dari kotoran dosa dan membuka pintu-pintu kegaiban”

Sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW


َ َ َ ُ ‫ َص ذَّل‬- ِ‫ أَ ذن َر ُس ْو َل اّلل‬- ‫اّلل َعنْ َه‬ َ
ً‫ أ َرأ ْيتُ ْم ل َ ْو أ ذن َن ْهرا‬:‫ قَا َل‬- ‫اّلل َعلَيْهِ َو َسلذ َم‬ َ ِ ‫ َر‬- ‫َع ْن أِب ُه َريْ َر َة‬
ُ ‫ِض‬
ِ
َ َ َ ُ َ َ َ َ َْ َ َ َْ َْ ُ ُْ ُ َْ َ ْ ُ َ َ
ِ‫ َل َيبْق م ِْن د َرنِه‬:‫؟ قالوا‬,‫ هل َيبْق م ِْن د َرنِهِ شيْئ‬,‫ات‬ ٍ ‫اب أحدِكم يغتسِل مِنه ك يو ٍم َخس م ذر‬
َ
ِ ‫بِب‬
ْ َ ‫َ َ َ َ َ ُْ ذ‬ َ
).‫اّلل ب ِ ِه ذن اۡلَ َطايَا (متفق عليه‬ ُ ‫حو‬ ُ ‫ َي ْم‬,‫ات اۡلَ ْم ِس‬ ِ ‫ فذل ِك مِثل الصل َو‬:‫ قال‬,‫شيْئ‬
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “ sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda,’
Apakah pendapat kalian jika ada sebuah sungai di depan pintu rumah salah seorang dari
kalian, lalu ia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah kotoran masih melekat di
tubuhnya?’ Para shahabat menjawab,” Kotoran tidak akan melekat di tubuhnya.” Sabda
beliau, “ Itulah perumpamaan sholat lima waktu. Dengan mengerjakannya, Allah akan
menghapus dosa-dosanya.”
Hikmah Ke-120

‫رش ُق ِفْيْ َا َش َو ِار ُق‬ َ ْ ‫الصَّل ُة َم َح مل الْ ُم َنا َجا ِة َو َم ْع ِد ُن الْ ُم َصافَا ِة تَت َّ ِس ُع ِفْيْ َا َم َيا ِد ْي ُن ا َْل‬
ُ ْ َ ‫رس ِار َوت‬ َّ
.‫ َوعَ ِ َِل ْاح ِت َيا َج َك ا ََل فَضْ ِ ِل ف َك َّ َُث َأمدَ ا َدهَا‬.‫عَ ِ َل ُو ُج ْو َد الضَّ ْع ِف ِم ْن َك فَقَل َّ َل أ ْعدَ ا َدهَا‬. ‫ا َْلن َْوا ِر‬
ِ
120." Shalat merupakan sarana bermunajat dan sumber penyucian hati. Dalam shalat
terbentang medan rahasia dan terbit pijar-pijar rahasia. Allah mengetahui adanya
kelemahan dalam dirimu maka Dia menyedikitkan bilangannya, dan karena Allah
mengetahui kebutuhanmu pada keutamaan-Nya maka Dia perbanyak pahalanya.”
Sering sebagian orang yang sedang belajar tarekat, karena menekankan bahwa sholat
harus khusyu, maka keluar ungkapan, kalau tidak khusyu buat apa shalat?.
Bagi kita yang bodoh shalat laksanakan walaupun masih susah khusyu, agar tidak
bertentangan dengan syariat, namun sekali-kali sediakan waktu untuk sholat belajar khusyu’,
bacaannya dinikmati, upayakan dzikir khofi dalam qalbu.
Shalat adalah tempatnya munajat (meminta tolong) kepada Allah, sumber penyucian
qalbu, ketika sholat ditegakkan maka akan menyebar energi positif, membuang energi-energi
negatif akibat dosa zina, mencuri, riba dan lain-lain yang menghalangi antara bumi dan langit
dibersihkan oleh ibadah sholat
Allah tahu kita lemah, maka Dia meringankan jumlah shalat dan melipatgandakan
karunia yang diperoleh darinya

76
Hikmah Ke-121

َّ ‫الصدْ ِق ِف ْي ِه َويَ ْك ِفي الْ ُم ِريْ ُب ُو ْجدَ ُان‬


‫السَّل َم ِة‬ ِ ‫َم َىت َطلَ ْب َت ِع َوضً ا عَ ََل َ ََع ٍل ُط ْو ِل ْب َت ب ُِو ُج ْو ِد د‬
121. Apabila engkau menuntut imbalan untuk suatu amal maka engkau pun akan
dituntut untuk melakukannya dengan benar. Dan bagi orang yang meragu, cukuplah
baginya mendapat keselamatan.”

Jika salik menuntut imbalan dari amal ibadah yang dikerjakan maka Allah akan
menuntut kesempurnaan dalam ibadah tersebut, padahal adanya keselamatan dari macam
macam marabahaya sudah cukup untuk meyakinkan orang yang ragu bahwu Allah memberi
limpahan atas amal ibadah.
Bukankah banyak bahaya yang mengelilingi kita. Sebagai contoh ketika sedang tidur,
siapa yang menjaga telinga, hidung kita dari dimasuki semut atau serangga lain? Allah yang
menyelamatkan kita
Hikmah Ke-122

‫َل ت َْطلُ ْب ِع َوضً ا عَ ََل َ ََع ٍل لَ ْس َت َ ُِل فَا ِع ًَّل يَ ْك ِفى ِم َن الْ َج َزا ِء َ َل عَ ََل الْ َع َم ِل ِا ْن ََك َن َ ُِل قَا ِب ًَّل‬
122. “Janganlah minta ganti atas suatu amal yang tidak kau kerjakan. Cukuplah sebagai
balasan atas amalanmu bahwa amalmu diterima”
Mayoritas manusia jika sudah melakukan amalan ibadah apapun jenis nya pasti
mengharapkan adanya imbalan dari Allah, karena pada dasarnya memang itu
diperbolehkan.Tapi menurut hikmah ini permohonan akan adanya imbalan dari Allah setelah
melakukan amalan ibadah itu tidak layak dan tidak pantas, karena sebenarnya menurut hakikat,
yg melakukannya,yg membuat manusia ibadah itu Allah, seperti halnya wayang bisa duduk,
berdiri dan berlari itu karena digerakan oleh dalang. maka apakah layak jika manusia menuntut
imbalan kepada Allah? sungguh tidak layak. Allah mau menerima amalan ibadah saja itu
adalah imbalan yang agung.
Hikmah Ke-123

‫ا َذا َأ َرا َد َأ ْن يُ ْظه َِر فَضْ َ ُل عَلَ ْي َك َخلَ َق َون َ َس َب الَ ْي َك‬
ِ
123. “Apabila Allah berkehendak akan menampakkan keutamaan-Nya atas dirimu,
ِ
maka Allah meciptakan amal dan melekatkannya kepadamu.”
Ketika muncul sebuah ketaatan dari diri kita, maka sadarilah bahwa Allah yang
memunculkan keinginan dalam hati untuk melakukan ketaatan tersebut, kemudian Allah pula
yang memberi kita kekuatan untuk melakukannya. Maka ketaatan kita merupakan karunia dari-
Nya. Dan Dia menisbatkan ketaatan tersebut kepada kita, sehingga kita dikenal dikalangan
malaikat bahwa kita orang taat, malaikat pencatat amal baik pun mencatat ketaatan kita sebagai
kebaikan milik kita. Padahal semuanya dari Allah. bukankah itu sebuah karunia yang besar
pak?

77
Hikmah Ke-124

‫ َو َل تَ ْف ُر ُغ َمدَ ِ ُاِئ َك ا ْن َأ ْظه ََر ُج ْو َد ُه عَلَ ْي َك‬،‫َل هنِ َاي َ َة ِل َم َذا ِدم َك ا ْن َأ ْر َج َع َك الَ ْي َك‬
ِ
124. “Tidak ada ujung bagi celaanmu seandainya Allah mengembalikanmu kepada
ِ ِ
dirimu sendiri. Dan juga tidak ada habis pujian untukmu jika Allah menampakan
kedermawanan-Nya kepadamu.”

Tidak akan ada habisnya kejelekan kita, kalau dikembalikan kepada diri kita sendiri,
Dan tidak akan ada habisnya kebaikan kita, ketika dikembalikan kepada kemurahan/kasih
sayang Allah, Contoh nya kita melaksanakan sholat, kalau ada pengakuan bahwa kemampuan
melaksanakan sholat itu karena kita sendiri, maka akan tampak kekurangan-kekurangan dalam
shalat kita, karena memang kita gudang kekurangan.
Tapi apabila ada kesadaran bahwa kita bisa melaksanakan shalat itu karena bantuan
dari Allah, merasa kita lemah, dan kita menyerahkan hasilnya kepada Allah. maka yang
dikedepankan adalah kasih sayang Allah
Hikmah Ke-125

‫ُك ْن ِبأَ ْو َص ِاف ُربُ ْو ِبي َّ ِت ِه ُم َت َع ِل دقًا َو ِبأَ ْو َص ِاف ُع ُب ْو ِديَّتِ َك ُم َت َح ِقدقًا‬
125. “Jadilah orang yang bergantung pada sifat-sifat rububiyah-Nya dan membuktikan
dengan sifat-sifat penghambaanmu”

Sifat –sifat kehambaan diantaranya faqir (butuh), lemah, hina. Sedangkan sifat
ketuhanan diantaranya kaya, kuat dan mulia.
Nyatakanlah sifat hina, lemah, dan butuh kita dihadapan Allah, dengan bergantung
kepada mulianya, kuatnya dan kayanya Allah
Hikmah Ke-126

‫َمنَ َع َك َأ ْن تَ َّد ِع َى َمالَيْ َس َ َل ِم َّما لِلْ َم ْخلُ ْو ِق ْ َي َأفَ ُي ِب ْي ُح َ َل َا ْن تَ َّد ِع َى َو ْص َف ُه َوه َُو َر مب الْ َعالَ ِم ْ َي‬
126. “Allah melarangmu mengakui sesuatu yang bukan milikmu dari sesuatu milik
makhluk (lain). Apa mungkin Allah membolehkanmu mengakui sifat-Nya padahal Dia
adalah Tuhan semesta alam”

Hikmah ini masih berkaitan dengan hikmah sebelumnya. Dalam kehidupan sosial
sesama manusia tidak diperbolehkan merampas, mengakui hak milik orang lain, mengakui
sawah oranglain , merebut mobil orang lain dsb.
Apalagi ketika manusia berhubungan dengan Allah, manusia tidak layak mengakui,
merampas, sifat sifat milik Allah.
Kita punya kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kalau dalam diri ada sedikit saja merasa
bahwa semua itu milik kita, berarti kita merampas dan mengakui hak milik Allah. Apabila
dalam hubugan sosial ada sanksi untuk tindakan seperti itu, lalu bagaimana apabila
berhubungan dengn Allah.

78
Hikmah Ke-127

. َ‫ل الْ َع َوائِدُ َو َأن َْت لَ ْم َ َْت ُر ْق ِم ْن ن َ ْف ِس َك الْ َع َوائِد‬


َ َ ‫َك ْي َف َ َْت ُر ُق‬
127. “Bagaimana keluarbiasaan dibukakan bagimu, sedangkan kau belum bisa
melanggar kebiasaan nafsumu”
Bagaimana kamu bisa membuat khowariqul adat (membuat satu keluarbiasaan)
sedangkan kamu sendiri belum bisa merubah dan meganti kebiasaan burukmu.
Setiap salik dalam perjalanan suluknya pasti pernah mempunyai keinginan untuk
memiliki kehebatan keluarbiasaan sedangkan dia belum mampu membakar, merubah
kebiasaan buruk, suka tidur, masih rakus makan, malas puasa, solat malam ditinggalkan Maka
kelaurbiasaan pun tidak akan keluar dari orang yang perilakunya masih biasa.
Hikmah Ke-128
َّ ‫الطلَ ِب ان َّ َما‬
‫الشأ ُن َأ ْن ُت ْر َز َق ُح ْس َن ا َْلد َِب‬ َّ ‫االشأ ُن ُو ُج ْو ُد‬
َّ ‫َم‬
128. “Tingkah laku (yang baik) bukanlah dengan terus meminta kepada Allah. Tetapi
ِ
tingkah laku (yang baik) adalah permohonan yang disertai dengan tata krama yang
baik”
Manusia jika dalam hidup menemui masalah, hambatan,kebutuhan tidak terpenuhi,
target tidak tercapai maka dianjurkan agar memohon, meminta hanya kepada Allah tidak pada
yang lain. Namun dalam berdoa, meminta dan memohon kepada Allah manusia banyak yang
tidak tahu aturan serta tatakramanya. Banyak yang beranggapan bahwa terus terusan merengek
rengek, meminta kepada Allah, sudah dianggap berdoa yang baik.
Karena tidak diiringi rasa pasrah dan baik sangka kepada Allah maka mayoritas
manusia berdoa itu tidak jauh beda dengan mengatur Allah.
Maka menurut al hikam memohon seperti ini dianggap tidak baik. Lantas memohon
kepada Allah yg baik itu seperti apa? Berdoa yang baik ialah meminta kebutuhan,bantuan
kepada Allah dengan mengedepankan adab yang baik kepada Allah. Diantaranya ungkap
bersyukur dulu atas segala nikmat, minta ampunan atas segala dosa, mohon kuat iman dan
taqwa dan hal-hal yang sifatnya menguatkan sifat kehambaan kita. Barulah menungkapkan
kebutuhan duniawi
Hikmah Ke-129
‫رس َع ِِبلْ َم َوا ِه ِب الَ ْي َك ِمثْ ُل دِال َّ َِل َو ْ ِالفْ ِتقَ ِار‬
َ ْ ‫يش ٌء ِمثْ ُل ْ ِالضْ ِط َرا ِر َو َل َأ‬
ْ َ ‫َما َطلَ َب َ َل‬
ِ
129. “tidak ada sesuatu pun yang membuatmu memohon selain kesulitan, dan tidak ada
yang dapat mempercepat datangnya pemberian selain kehinaan dan kefakiran.”
Jangan pernah berhenti dari memiliki kesadaran bahwa kita sangat membutuhkan
Allah, karena itulah sifat dasar seorang hamba; membutuhkan tuannya. Yang tidak
membutuhkan pertolongan pihak lain hanya Allah. Kalau kita tidak menyadari bahwa kita
butuh Allah, berarti secara tidak langsung kita ingin merebut sifat Allah,

79
Hikmah Ke-130

‫ َولَ ِك ْن ا َذا َأ َرا َد‬،‫لَ ْو َأن ََّك َل ت َِص ُل الَ ْي ِه الَّ ب َ ْعدَ فَنَا ِء َم َسا ِويْ َك َو َم ْح ِو َدعَا ِويْ َك لَ ْم ت َِص ْل الَ ْي ِه َأبَدً ا‬
ِ ِ ِ ِ
‫كل الَ ْي ِه ِب َما ِمنْ ُه الَ ْي َك َل ِب َما ِمنْ َك‬ َ َ ‫ فَ َو َّص‬,‫كل الَ ْي ِه غَ َّطى َو ْص َف َك ب َِو ْص ِف ِه َون َ ْعتَ َك ِبنَ ْعتِ ِه‬
َ َ ‫َأ ْن يُ ْو ِص‬
ِ ِ ِ
‫الَ ْي ِه‬
ِ
130. “Jika engkau tidak sampai kepada-Nya kecuali setelah lenyap semua keburukanmu
dan sirna semua hasat (dunia)mu niscaya selamanya engkau tidak akan pernah sampai
kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya maka dia akan
menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu
sampai kepada-Nya dengan sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan
sesuatu yang engkau berikan kepada-Nya.”
Jika kamu merasa tidak akan sampai(wusul) kepada Allah kecuali harus sudah habis
semua kejelekanmu dan terhapusnya segala dakwaanmu maka kamu selama lamanya tidak
akan pernah sampai (wushul) karena manusia sampai mati tidak akan pernah lepas dari dosa,
tetapi kalau Allah yang berkehendak menjemput kamu (membuatmu wusul),maka Allah yang
yang akan menghapus dan menutupi sipat jelekmu diganti dengan sipatNya. Maka wusulnya
engkau kepadaNya itu adalah dengan jemputan dari Allah bukan dengan kesungguhanmu
dalam menghilagkan sipat burukmu.
Kita buat sebuah ilustrasi; Juragan Asep punya pekerja 2 orang, Ujang dan Agus. Pada
satu malam jam 3 pagi Asep memanggil ke 2 pembantunya untuk mengambil gelang istrinya
yang jatuh di kolam. Yang pertama diperintah turun ujang , tapi karena malas dengan alasan
dingin, ujang bilang “ juragan gelang itu susah ketemu nya karena airnya dalem dan juga
dingin, nanti kalo airnya sudah surut dan enggak dingin saya baru mau mencarinya”, hingga
akhirnya ujang kabur.
Dan pada akhirnya Asep memerintah Agus untuk mencari gelang karena Agus itu
pembantu paling nurut diperintah apapun dan kapanpun pasti melakukan. Akhirnya turunlah
Agus mencari gelang, setelah 15 menit menyelam dikolam ujang naik dan bilang “ maaf
juragan gelangnya sulit ditemukan sepertinya kolam ini harus dikuras dulu airnya, boleh tidak
kolam ini saya kuras dulu?”
Asep : “ oh begitu, ya kalo mesti dikuras ya kuras saja yang penting gelangnya ketemu” .
Setelah diberi izin dikuraslah kolam oleh Agus dan gelang dicari ditemukan dan d serahkan
pada juragan Asep dengan kondisi menggigil karena kedinginan sampai juragan Asep
bertanya “ Agus kedinginan ya kamu ?, ini pakai jubah saya supaya kamu tidak kedinginan
!” Jadi ditemukannya gelang yang dicari oleh Agus itu hasil kerja Asep karena dia yang
mengizinkan kolam untuk dikuras oleh Agus.
Nah begitu juga kita selaku hambaNya, kita tidak akan pernah wushul ( sampai) kepada
Allah jika menunggu nunggu habisnya sipat jelek dan buruk kita, sampainya kita kepada Allah
itu bergantung pada jemputan dari Allah, jeemputan dari Allah tidak akan pernah datang kalau
kita tidak sungguh memperjuangkan jemputan dari Allah.

80
Hikmah Ke-131

ِ‫لَ ْو َل َ ِمج ْي ُل َس ْ ِرت ِه لَ ْم يَ ُك ْن َ ََع ٌل َأه ًَّْل لِلْقَ ُب ْول‬


131. “Kalaulah bukan karena keindahan penutup-Nya, niscaya tidak ada satu amal pun
yang layak diterima”
Jika tidak ada penutup dari Allah yang indah, maka tidak akan ada satu pun amalan
salik yang layak diterima oleh Allah.
Amalan-amalan yang dilakukan semuanya cacat tidak layak dipersembahkan kepada
Allah, kalaupun diterima itu karena cacatnya ditutupi . tidak ada amal yang tembus dengan
sendirinya, tetapi ketika Allah melihat kesungguhan dari seorang hamba sekali pun amalnya
cacat tidak sesuai dengan aturan semestinya Allah menerima amal tersebut.
Ilustrasinya seperti seseorang memesan kursi hias berwarna coklat di salah satu toko
mebeul, seminggu kemudian kursi itu datang tapi pas dilihat ternyata kursi tersebut berwarna
hitam , tadinya sang pemesan enggan menerima kursi tersebut karena tidak sesuai pesanan tapi
karena melihat orang mengantarkan nya yang terlihat sangat santun walaupun lelah setelah
melalui perjalanan jauh akhirnya sang pemesan menerima kursi tersebut.
Seperti itu jugalah Allah kepada kita, sebenarnya amalan ibadah yang kita kerjakan
apapun itu , solat , zakat, silaturahmi,dsb itu tidak ada yang diterima Allah tapi karena Allah
yang menutupi kecacatan tersebut maka Allah mengqobul amal kita.

Hikmah Ke-132
.‫َأن َْت ا ََل ِحلْ ِم ِه ا َذا َأ َط ْع َت ُه َأ ْح َو ُج ِمنْ َك ا ََل ِحلْ ِم ِه ا َذا َع َص ْي َت ُه‬
ِ ِ ِ ِ
132. “Engkau lebih membutuhkan kemurahan-Nya ketika engkau mentaati-Nya,
ketimbang saat berbuat maksiat kepada-Nya”

Kebutuhanmu akan kasih sayang Allah supaya Allah menerima amalan kita, dan
menutupi kekurangannya itu harus lebih besar dari pada kebutuhanmu terhadap kasih sayang
Allah ketika melakukan maksiat. Karena terkadang ketika melakukan ketaatan muncul sifat
ujub sombong dan riya, sedangkan setelah melakukan maksiyat terkadang kita merasa hina dan
butuh ampunan Allah.

Hikmah Ke-133
‫الس ْ َرت ِفْيْ َا‬ ِ ‫فَالْ َعا َّم ُة ي َ ْطلُ ُب ْو َن ِم َن‬. ‫ ِس ْ ٍرت َع ِن الْ َم ْع ِص َّي ِة َو َس ْ ٍرت ِفْيْ َا‬: ‫الس ْ ُرت عَ ََل ِق ْس َم ْ ِي‬
‫هللا تَ َع َاَل ِ د‬ ‫ِد‬
ِ ‫َاص ُة ي َ ْطلُ ُب ْو َن ِم َن‬
‫هللا ِ د‬
‫الس ْ َرت َعْنْ َا خ َْش َي َة ُس ُق ْو ِطه ِْم‬ َّ ‫ َوالْخ‬, ‫خ َْش َي َة ُس ُق ْو ِط َم ْرتَبَُتِ ِ ْم ِع ْندَ الْ َخلْ ِق‬
‫كل الْ َح د ِق‬
ِ ِ ‫ِم ْن ن ََظ ِر الْ َم‬
133. ”Penutup terbagi dua; penutup dari maksiat dan penutup dalam maksiat. Orang
awam memohon penutup dari Allah dari kemaksiatan karena takut harga diri mereka
jatuh di hadapan makhluk. Sedangkan orang khusus memohon penutup kepada Allah

81
dari maksiat karena takut jatuh harga diri mereka dalam pandangan Sang Penguasa
(Allah)”

Hikmah Ke-134
َ‫ لَيْ َس الْ َح ْمدُ ِل َم ْن َأ ْك َر َم َك َو َش َك َرك‬، َ‫فَالْ َح ْمدُ ِل َم ْن َس َ َرتك‬. ‫َم ْن َأ ْك َر َم َك ان َّ َما َأ ْك َر َم ِف ْي َك َ ِمج ْي َل ِس ْ ِرت ِه‬
ِ
134." Siapa yang memuliakanmu, maka sebenarnya memuliakan keindahan penutup-
Nya yang diselipkan di dalam dirimu. Maka segala puji bagi Allah yang menutupimu.
Pujian bukanlah bagi orang yang memuliakanmu dan berterima kasih kepadamu.”
Pernahkah ada orang yang memuliakan kita?
Kalau kita dimuliakan orang lain, sebenarnya yang sedang mereka muliakan adalah bukan
kitanya, tapi kehebatan penutup dari Allah, karena sesungguhnya kita itu serba kekurangan
namun karena kekurangan kita ditutupi oleh Allah dari pandangan orang lain, maka mereka
memuliakan dan menghormati kita, oleh karena itu pujilah Dzat yang menutupi kekurangan
kita tersebut, bukan hanya memuji orang yang menghormati kita.

Hikmah Ke-135
.‫ َولَيْ َس َذ ِ َل ا َّل َم ْو َلكَ الْ َك ِر ْ ُْي‬, ‫ُص َب َك َوه َُو ِب َع ْيب َِك عَ ِل ْ ٌْي‬
ِ َ ‫ُص َب َك ا َّل َم ْن‬
ِ َ ‫َما‬
ِ ِ
135." Tidak ada teman sejatimu kecuali seseorang yang menemanimu adalah orang yang
tahu tentang aibmu, namun orang yang seperti itu tidak akan pernah ada kecuali
Tuhanmu Yang Maha Pemurah”

Sebaik- baik teman adalah orang yang mengetahui kekurangan-kekurangan kita tapi
tetap mau berteman dengan kita, tidak malah menjauh. Dan yang mempunyai karakter seperti
itu hanyalah Tuhan kita. Dia yang menciptakan kita, dia pula yang memperhatikan kita setiap
saat, perhatiannya tidak pernah luput sedetikpun, maka tentulah Dia tahu semua kekurangan
kita, tapi walaupun begitu Dia tidak pernah meninggalkan kita.

Hikmah Ke-136

‫َش ٍء ي َ ُع ْو ُد ِمنْ َك الَ ْي ِه‬


ْ َ ‫خ ْ َُْي َم ْن ت َْص َح ُب َم ْن ي َ ْطلُ ُب َك َل ِل‬
ِ
136." Sebaik-baiknya sahabat adalah yang memintamu bukan untuk sesuatu yang akan
kembali kepadanya.”
Apabila kita berteman dengan orang lain, sulit sekali menemukan yang benar-benar
tulus, mereka memberi karena ingin menerima, memperhatikan karena ingin diperhatikan.
Hanya Allah yang benar-benar menyayangi kita. Karena Dialah yang selalu menyertai kita
tanpa menuntut apa-apa. Diperintahkan ibadah bukan untuk Allah, tapi untuk kebaikan kita
sendiri.

Kalau begitu kita jangan berteman dengan orang lain?. Bukan, tapi hati kita jangan
bergantung kepada teman, dan melupakan Allah.

82
Hikmah Ke-137

‫ َولَ َر َأيْ َت َم َح ِاس َن ادلم نْ َيا‬،‫ْش َق َ َل ن ُْو ُر الْ َي ِق ْ ِي لَ َر َأيْ َت ْاْلْ ِخ َر َة َأ ْق َر َب إالَ ْي َك ِم ْن َأ ْن تَ ْر َح َل إالَْيْ َا‬
َ ْ ‫لَ ْو َأ‬
.‫قَدْ َظه ََر ْت ِك ْس َف ُة الْ َفنا ِء عَلَْيْ َا‬
137. “Seandainya cahaya keyakinan menerangimu, niscaya engkau dapat melihat
akhirat lebih dekat daripada jarak yang akan kau tempuh. Dan niscaya kau akan melihat
keindahan dunia tertutupi tabir kemusnahan.”
Akhirat bukan nanti, sekarang bahkan dari dulu juga akhirat sudah ada. Waktu Nabi
Muhammad SAW isro beliau diperlihatkan tentang keadaan akhirat.
Kalau qalbu kita sudah diliputi cahaya iman, percaya dan yakin akan akhirat, akan
merasakan akhirat itu dekat. Maka orang yang beriman akan selalu menimbang segala
perbuatannya, diperhitungkan baik buruknya untuk diakhirat, bukan sebatas memuaskan nafsu.

Hikmah Ke-138

‫هللا ُو ُج ْو ُد َمو ُجو ٍد َم َع ُه ا ْذ َل َش ْ َئي َم َع ُه َولَ ِك ْن َح َج َب َك َع ْن ُه ت ََو م ُُه َم ْو ُج ْو ٍد َم َع ُه‬


ِ ‫َما َح َج َب َك َع ِن‬
ِ
138. “Wujud makhluk tidak dapat menghalangimu dari Allah. Karena tidak ada sesuatu
pun yang menyertai-Nya. Tetapi yang membuatmu terhalang dari-Nya adalah
dugaanmu bahwa ada yang lain bersama-Nya.”
Tidak ada yang dapat menghalangi kita dari Allah. Tetapi yang menghalangi kita adalah
dugaanmu adanya sesuatu bersama-Nya sehingga ia menghalangi Allah.
Pada pembahasan hikmah-hikmah sebelumnya sering kita ungkapkan tentag al
Muhitnya Allah ; depan-belakang, kanan-kiri, atas-bawah, luar-dalam kita dicakup oleh Allah
Dengan begitu, tidak ada yang menghalangi kita dari Allah.
Hikmah Ke-139
َ ْ ‫لَ ْو َل ُظه ُْو ُر ُه ِِف الْ ُم َك َّونَ ِت َما َوقَ َع عَلَْيْ َا ُو ُج ْو ُد ابْ َصا ٍر لَ ْو َظه ََر ْت ِص َفاتُ ُه‬
.‫اْض َحل َّ ْت ُم َك َّوَنَ تُ ُه‬
ِ
139. “Seandainya bukan karena tampak-Nya pada seluruh makhluk, niscaya tidak ada
sesuatu pun pada makhluk yang akan terlihat. Seandainya sifat-sifat-Nya tampak,
niscaya seluruh makhluk lenyap”

Kalau Allah tidak dzohir dalam semua makhluk maka kita tidak akan dapat melihat
semuanya. Kita bisa melihat pohon, karena pada pohon tersebut ada sifat Allah Adz-Dzohir
(yang tampak), dan pada mata kita ada sifat Allah Al-Bashir (yang melihat), ketika dicabut
sifat Allah yang ada pada pohon, atau mata kita, maka kita tidak akan bisa melihat pohon
tersebut.
Dan apabila Allah mendzohirkan semua sifat Allah (misalkan Adz-Dzohirnya) maka
akan hancurlah alam semesta, seperti yang terjadi pada Nabi Musa, saat beliau meminta Allah
menampakkan Adz-Dzohir-Nya.

83
Hikmah Ke-140

.‫الظا ِه ُر‬
َّ ‫يش ٍء ِ َْلن َّ ُه‬ ‫ َو َط َوى ُو ُج ْو َد ُ ِ د‬،‫يش ٍء ِ َْلن َّ ُه ال َبا ِط ُن‬
ْ َ ‫لك‬ َّ ُ ‫َأ ْظه ََر‬
ْ َ ‫لك‬
140. “Allah mendzohirkan segala sesuatu, karena Dia Maha Batin. Dan Dia melipat
keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Dzohir”
Contoh seperti ini :

Saya bersembunyi di balik meja, sehingga bapak-bapak tidak dapat melihat saya.
Kemudian saya mengangkat tangan ke atas sambil memegang peci. Maka yang nampak bagi
bapak-bapak adalah peci saya, bukan saya.

Saya bertanya, “apakah peci saya ada?”. Anda pasti mengatakan Ada karena dapat
anda lihat.
Saya bertanya lagi, “saya ada tidak?” Pasti anda menjawab ada, walaupun mata anda
tidak dapat melihat saya. Karena anda tahu yang “mendzohirkan peci” itu adalah saya. Dengan
demikian melalui dzohirnya (tampaknya) peci, anda bisa mengetahui dan menemukan
“ada”nya saya.

Maksud perkataan Syeikh Ibn ‘Athoillah “Dan Allah melipat wujud segala sesuatu,
karena Dialah yang maha dzohir.” Kalau disambungkan dengan contoh di atas, yang tampak
pertamanya adalah peci, kemudian anda mendekati peci yang saya pegang, setelah anda
semakin dekat dengan peci maka anda akan menemukan saya. Setelah itu keberadaan peci akan
anda anggap tidak ada, karena perhatian anda akan lebih terfokus kepada sayanya ketimbang
peci saya.

Ketika kita melihat makhluk, mula-mula yang terlihat adalah makhluk tersebut,
semakin kita “mendekati” atau mentafakkuri makhluk , disertai dzikir khofi dalam qalbu, maka
lama kelamaan wujud makhluk lenyap dari perhatian/pandangan kita, karena terkalahkan oleh
kuatnya dan nikmatnya pandangan mata hati (bashiroh) kepada Allah
Hikmah Ke-141
‫نت؛ قُ ْل ﴿ان ُْظ ُروا‬ ِ ‫ َو َما َأ ِذ َن َ َل أ ْن تَ ِق َف َم َع َذ َو ِات الْ ُم َك َّو‬،‫َأ َِب َح َ َل َأ ْن تَ ْن ُظ َر َما ِِف الْ ُم َك َّونَ ِت‬
‫ ِلئَ ََل يَدُ َّ َل عَ ََل‬.‫الس َم َو ِات‬ َ ‫﴾ فَتَ َح َ ََل‬9‫الس َم َاو ِات‬
َّ ‫ ُان ُْظ ُر ْوا‬:‫ابب ِ إالفْهَا ِم َولَ ْم ي َ ُق ْل‬ َّ ‫َما َذا ِِف‬
.‫ُو ُجو ِد ْ َاْل ْج َرا ِم‬
141." Allah membolehkanmu melihat sesuatu (yang ada) di dalam ciptaan-Nya, namun
Allah tidak mengizinkanmu menetap bersamanya. ‘katakanlah: lihatlah apa yang ada di
langit’. Niscaya Allah membukakanmu pintu pemahaman. Dan Dia tidak mengatakan:

9
Q.S. Yunus : 101

84
‘lihatlah langit’ karena Dia tidak menunjukan kepadamu keberadaan benda-benda
semata”

Silahkan lihat semua makhluk, nikmati manfaat dan keindahannya, tapi awas jangan
macet cuma di makhluk. Kita dikatakan macet dimakhluk, kalau melihat makhluk itu ya hanya
bentuknya saja, tidak dapat menjadikannya gerbang menuju Allah. Telah sering saya
contohkan, saat mata melihat mobil misalkan, tafakkuri; mobil terbuat dari besi, besi berasal
dari bijih besi, bijih besi berasal (ada di dalam) tanah, tanah berasal dari Nur Muhammad, Nur
Muhammad dari Nur Jamalillah. Dengan begitu mata melihat mobil, mata hati tembus kepada
Allah
Kalau disaat melihat mobil, cuma melihat bentuknya dan memuji keindahannya saja,
berarti kita macet di makhluk. Silahkan mobil dimiliki, dipelihara tapi jangan macet di mobil,
itu cuma jembatan.
Didalam Al-Qur’an Allah mengatakan “lihatlah apa yang ada dilangit” yaitu
rahasianya, bukan “lihatlah langit” supaya kita tidak sebatas melihat benda-benda kasat mata
saja.
Hikmah Ke-142
‫َا ْْلَ ْك َو ُان َث ِب َت ٌة ِِبثْ َباتِ ِه َو َم ْم ُح َّو ٌة ِبأَ َحدي َّ ِة َذاتِ ِه‬
142. “Seluruh makhluk tetap karena ketetapan-Nya, dan semuanya melebur dengan
ِ
Ketunggalan Dzat-Nya.“
Diantara makhluk contohnya adalah manusia, tubuh kita ini adalah kumpulan atom-
atom yang disatukan oleh kudrot Allah, yang namanya manusia hancur itu, atom-atomnya
dipisahkan oleh Allah, ketika hari kebangkitan (yaumul ba’ats) atom-atomnya Allah panggil
semua, disatukan lagi.
Hikmah Ke-143
‫ فَ ُك ْن َأن َْت َذا اما ِلنَ ْف ِس َك ِل َما تَ ْعلَ ُم ُه ِمْنْ َا‬،‫َالنَّ ُاس ي َ ْمدَ ُح ْون ََك ِل َما ي َ ُظنم ْون َ ُه ِف ْي َك‬
143. “Orang-orang memujimu karena mereka menyangka ada sesuatu pada dirimu.
Celalah dirimu karena kau mengethaui apa yang ditimbulkannya.”
Orang lain hanya melihat dari diri kita apa-apa yang tampak saja, mereka memuji kita
rajin shaum, padahal kita sedang shaum qhodo misalkan, atau kita lebih tahu bahwa shaum kita
hanya pindah makan saja. kita yang tahu bahwa saat shaum kita masih suka mengumbar nafsu,
sering lihat aurat perempuan walaupun cuma di tv, masih terselip ujub, riya takabbur dengan
shaum tersebut. Maka ketika ada orang memuji anda karena anda rajin shaum, celalah diri anda
oleh anda sendiri dengan kekurangan-kekurangan yang anda ketahui, katakanlah dalam diri
anda “ah cuma shaum pindah makan doang”. “ah masih suka ujub” dan celaan-celaan
semisalnya. Ini bukan karena kita tidak bersyukur atas nikmat Allah mentaqdirkan kita berbuat
baik, tapi agar tidak muncul sombong dalam diri, agar kita tidak merasa cukup dengan shaum
senin kamis saja.
Hikmah Ke-144
‫هللا تَعاَل َأ ْن يُث ْ َىن عَلَ ْي ِه ب َِو ْص ٍف َل ي َْشهَدُ ُه ِم ْن ن َ ْف ِس ِه‬
ِ ‫َالْ ُم ْؤ ِم ُن ا َذا ُم ِد َح ا ْإس َت ْح َيا ِم َن‬
ِ
85
144." Seorang mukmin, bila dipuji, ia merasa malu terhadap Allah. karena ia dipuji
dengan sifat yang tidak ia temukan dari dirinya.”

Ketika kita dipuji, harus sadar bahwa pujian itu tidak sesuai dengan keadaan diri kita
yang sebenarnya, karena sesungguhnya diri kita penuh cacat. Orang lain memuji kita karena
Allah menutupi cacat-cacat kita dari pandangannya. Kalau orang tahu bahwa mobil kita yang
berjejer di garasi belum lunas angsurannya, tentulah mereka tidak akan memuji kekayaan kita.
Kalau orang lain tahu bahwa dibalik shodaqoh kita ada keinginan untuk pamer harta dan supaya
disanjung, maka pastilah mereka tidak akan memuja kita.

Hikmah Ke-145
.‫َأ ْ َْج ُل النَّ ِاس َم ْن تَ َركَ ي َ ِق ْ َي َما ِع ْندَ ُه ِل َظ ِدن َما ِع ْندَ النَّ ِاس‬
145." Sebodoh-bodonya manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinan sendiri,
karena mengikuti dugaan orang lain”
Orang lain memuji kita karena mereka menduga kita baik, sedangkan kita mencela diri
kita sendiri karena yakin dengan kekurangan sendiri. Maka sebodoh-sebodoh manusia adalah
orang yang lebih percaya terhadap praduga dan mengesampingkan keyakinan.
Hikmah Ke-146

‫ فَأَث ِْن عَلَ ْي ِه ِب َما ه َُو َأه ُ ُْل‬،‫ا َذا َأ ْطلَ َق الث َّ َن َاء عَلَ ْي َك َولَ ْس َت بأَه ٍْل‬
146." Apabila Allah membiarkan suatu pujian diberikan kepadamu, padahal engkau
ِ
tidak layak mendapatkannya, maka pujilah Allah karena Dialah yang lebih berhak atas
pujian tersebut.”

Ketika Allah mentaqdirkan ada orang yang memuji kita, maka sadarilah bahwa kita
tidak berhak atas pujian itu, ada yang memuji kita tampan/cantik, pintar, kaya, dermawan atau
apapun itu, semua objek pujian tersebut adalah pemberian dan anugrah Allah. oleh karena itu
kembalikanlah pujiannya kepada Allah, karena sesungguhnya Dia lah yang lebih berhak atas
segala pujian. Seandainya ketika ada yang memuji kita, kemudian pujian tersebut kita akui,
dan merasa layak mendapatkannya sehingga tidak dilanjutkan dengan memuji Allah, berarti
kita telah lancang memakai “baju kebesaran” Allah.
Perumpamaannya seperti berikut ini :
Ada seorang jendral bintang 4 yang berpakain dinas lengkap, sedang jalan-jalan dengan
ajudannya yang berpangkat letnan. Saat sang jendral ingin ke toilet dilepaslah baju
kebesarannya itu, dititipkan kepada ajudannya . Karena sang jendral lama di toilet, muncul
pemikiran culas untuk memakai pakaian jendral, mumpung ada kesempatan, begitulah
fikirnya. Maka dipakailah pakain jendral tersebut oleh letnan, berangakatlah keliling lapang,
otomatis semua orang/prajurit yang bertemu dengannya, memberi hormat, membungkukan
badan karena segan. Sang letnan pun dengan bangga dan sombong serta membusungkan dada
semakin “menikmati” dan percaya diri dengan pakaian jendralnya.

86
Ketika tengah terbuai dengan “penghormatan dan sanjungan” orang-orang tadi, tiba-
tiba si letnan mendengar ada yang memanggil namanya dari belakang, saat menoleh
kebelakang, ternyata yang memanggilnya adalah sang jendral.
Kalau kita melihat kelakuan si letnan dan tahu bahwa baju yang dipakainya adalah milik
jendralnya, pasti kita menganggap dia gila, pengkhianat, bodoh. Karena berani memakai baju
jendralnya untuk membohongi orang lain, dan bangga dengan sesuatu yang bukan milikinya.
Begitu juga dengan pujian, yang hanya milik Allah. ketika ada orang yang memuji kita,
kemudian kita mengakui dan terlena olehnya. Maka sama saja kita memakai “baju kebesaran”
Allah. Seharusnya kita malu.
Oleh karena itu, mulai sekarang ketika ada yang memuji kita karena apapun itu, maka
ucapkanlah “ALHAMDU LILLAH”, yang keluar dari qalbu yang benar-benar menyadari
bahwa hanya Allah lah yang layak mendapat pujian tersebut
Hikmah Ke-147

‫ َوالْ َع ِارفُ ْو َن ا َذا ُم ِد ُح ْوا ِانْبَ َس ُطوا ِل ُشهو ِد ِ ُْه‬.‫مالزهَّا ُد ا َذا ُم ِد ُحوا ِانْقَ َبضُ وا ِل ُشه ُْو ِد ِ ُُه الث َّ َن َاء ِم َن اخلَلْ ِق‬
ِ ِ
‫كل احل د َِق‬ ْ
ِ ِ ‫َذ ِ َل ِم َن ال َم‬
147. " Para zahid, apabila dipuji, maka sesaklah hatinya, karena mereka menyaksikan
pujian itu datang dari makhluk. Sedangkan para ‘arif, apabila dipuji, maka lapanglah
hati mereka karena mereka menyaksikan bahwa pujian itu datang dari Raja Yang
Sebenarnya (Allah)”
Seorang yang zuhud atau dalam hal ini semakna dengan saalik, yaitu orang yang sedang
menempuh perjalanan menuju Allah, ketika mereka ada yang memuji, mereka merasa tak enak
hati, malu kepada Allah, karena mereka masih memandang makhluk sebagai pemberi pujian.
Sedangkan arifin/washilin yaitu orang yang sudah sampai kepada Allah, ketika ada yang
memuji, mereka merasa bahagia, karena menyadari bahwa pada hakikatnya pujian tersebut
datang dari Allah. Kemudian mereka mengembalikan pujian tersebut kepada Allah.

Hikmah Ke-148

‫ فَ ْاس َت ِد َّل ِب َذ ِ َل عَ ََل ثُ ُب ْو ِت‬،‫ َوا َذا ُم ِن ْع َت قَ َبضَ َك الْ َم ْن ُع‬،‫َم َىت ُك ْن َت إا َذا ُأع ِْط ْي َت ب َ َس َط َك الْ َع َطا ُء‬
ِ َِ ِ ِ َ ِ ِ
.‫ُط ُف ْو ِل َّيتِ َك َوعَدَ ِم صدْ قك ِف ُع ُب ْوديَّتك‬
148. " Bila kau diberi, lalu pemberian itu membuatmu lapang dan ketika kau ditahan
lalu penahanan itu membuatmu sempit maka itu menunjukan ada sifat kekanak-
kanakan dalam dirimu dan ketidak tulusan penghambaanmu”
Walaupun kepala sudah beruban, dagu berjenggot lebat, panggilannya Syeikhuna Al
Mukarrom, gelarnya Profesor, Doktor dan lain sebaginya, tapi kalau masih ada sifat senang
diberi, pamer kedekatan dengan Allah, berkecil hati ketika permintaan anda belum dipenuhi,
maka itu tandanya anda masih kekanak-kanakan.

87
Yang harus dikejar oleh kita adalah tahqiiqul ibadahnya (benar-benar dalam
beribadahnya) bukan imbalanya, kita ini sering merasa bangga karena pemberian-Nya, merasa
ibadah kita diterima karena imbalannya sudah dapat kita nikmati. Padahal seharusnya kita
muhasabah (introspeksi diri), jangan sampai pemberian-Nya menjadi istidroj bagi kita.
Hikmah Ke-149
‫ فَقَدْ يَ ُك ْو ُن َذ ِ َل‬،‫ا َذا َوقَ َع ِمنْ َك َذن ٌْب فَ ََّل يَ ُك ْن َسبَ ًبا ِل َيأ ِس َك ِم ْن ُح ُصولِ ْ ِال ْس تِقَا َم ِة َم َع َرب د َِك‬
ِ
‫أ ْ ِخ َر َذن ٍْب قُ دِد َر عَلَ ْي َك‬
149.”Apabila engkau terlanjur berbuat dosa, maka jangan sampai membuatmu putus
asa dalam menggapai istiqomah bersama Tuhanmu. Karena bisa jadi, itulah dosa
terakhir yang ditakdirkan kepadamu.”
Dalam menempuh perjalanan menuju Allah, ketika kita terpeleset kedalam satu dosa,
menyesali harus, karena perbuatan dosa dicela syara’. Tapi janganlah hal tersebut membuat
kita putus asa untuk mencapai istiqomah, Jangan menganggap telah gugur kesempatan untuk
istiqomah karena dosa yang telah kita lakukan. Istiqomah bukan berarti semua perilaku kita
langsung baik terus menerus, tidak melakukan dosa sama sekali. Tapi istiqomah adalah proses
menjadi baik. Kadang baik-kadang buruk, kadang melakukan dosa – kadang ta’at. Disaat
terlanjur melakukan dosa, bangkit lagi berupaya melakukan keta’atan, 1000x jatuh - 1000x
bangkit, itulah istiqomah untuk kelas kita. Karena siapa tahu, dosa yang itu merupakan dosa
terakhir yang kita lakukan
Menurut Imam Al-Ghazali perumpaman taubat kita itu seperti mandi. Ketika kotor, kita
mandi. Tak lama kemudian kotor lagi, ya kita mandi lagi, terus saja seperti itu. Dengan harapan,
kematian datang kepada kita dalam keadaan kita sudah mandi, bukan sebelumnya.
Hikmah Ke-150

‫ َوا َذا َأ َرد َْت َأ ْن ي َ ْف َت َح َ َل َِب َب الْخ َْو ِف‬.‫فاشهَدْ َما ِم ْن ُه إالَ ْي َك‬
ْ ‫إا َذا َأ َرد َْت َأ ْن ي َ ْف َت َح َ َل َِب َب َّالرجا ِء‬
ِ
‫فَ ْاشهَدْ َما ِم ْن َك إالَ ْي ِه‬
150. “Apabila engkau ingin Allah membukakan pintu raja’ untukmu, maka saksikanlah
apa yang Dia berikan kepadamu. Dan apabila engkau ingin Allah membukakan pintu
ketakutan untukmu, maka saksikanlah apa yang engkau berikan kepada-Nya”
Kalau anda ingin membangkitkan sifat roja (harapan) kepada Allah maka liatlah
pemberian Allah selama ini yang begitu tak terhingga padahal kita pendosa, pembangkang.
Pemberian Allah tersebut yakni nikmat ijad dan imdad yang pernah dibahas pada hikmah ke
96-97. Termasuk nikmat imdad seperti saat ini anda sedang duduk dengan nyaman, karena
pantat anda tidak bisulan, mata masih bisa berkedip, telinga mendengar, dan banyak
kenikmatan-kenikmatan lainnya, yang semuanya merupakan pemberian Allah.
Sedangkan kalau kita ingin membangkitkan sifat khauf (takut) dalam diri, maka
lihatlah ibadah kita kepada-Nya. Dilihat dari segi kuantitas, ibadah kita sangat sedikit, dari

88
yang sedikit itu kualitasnya juga tidak sempurna. Kalau melihat hal tersebut, kita tak layak
mendapatkan kebaikan-Nya.
Hikmah Ke-151

‫ون َأْيم ُ ْم َأ ْق َر ُب لَ ُ ْك‬ َ ْ ‫ُربَّام َأفَادَكَ ِِف لَ ْي ِل الْقَ ْب ِض َمالَ ْم ت َ ْس تَ ِفدْ ُه ِِف ا‬
َ ‫ْش ِاق هنَ ِار البَ ْسطِ ﴿ َل تَدْ ُر‬
ِ
﴾10‫ن َ ْف ًعا‬
151. “Bisa jadi Allah memberimu faidah ditengah gelap kesempitan, faidah yang tidak
kau dapatkan ketika berada dalam kelapangan. ‘sesungguhnya kalian tidak mengetahui
mana yang lebih dekat manfaatnya bagi kalian”

Pada hikmah ke 80-82 telah dibahas tentang basthun dan qobdhun. Pada hikmah ke 150
ini dikatakan bahwa; Terkadang dalam penolakan (qobdhun) Allah ada manfaat yang besar,
yang tidak bisa kita temukan saat kita mendapatkan pemberian (basthun)-Nya. Karena
beberapa alasan diantaranya; dalam basthun terkadang ada unsur pemuasan nafsu, sedangkan
dalam qabdhun tidak ada kepuasan nafsu samasekali. Kemudian banyak orang yang tidak bisa
menjaga adab kepada Allah karena seringnya mendapat basthun Allah, sedangkan dalam
menjalani qabdhun-Nya kebanyakan orang menjadi merasa hina dan merendahkan diri
dihadapan Allah.
Hikmah Ke-152

َ ْ ‫َم َطا ِل ُع ْ َاْلن َْو ِار الْ ُقلُ ْو ُب َو ْاْل‬


.‫رس ُار‬
152. “Tempat terbitnya cahaya (Allah) adalah kalbu dan sir”
Qalbu bukan daging hati atau jantung, melainkan dimensi ketuhanan dalam diri
manusia yang sifatnya abstrak. Sekali lagi cahaya Allah bukan cahaya seperti cahaya matahari
atau lampu, cahaya Allah tanpa warna. Sengaja ungkapan ini saya ulang-ulang, karena telah
melekat dalam pemikiran kita, bahwa cahaya Allah seperti cahaya matahari, terang begitu.
Qalbu itu gerbang ke alam bathin, sedangkan untuk masuk ke wilayah lahut gerbangnya
adalah jabarut
Alam mulki, malakut, jabarut, lahut

Jasad, qalbu, fuad, sirri olah tuntut


Ruh jismani, nuroni, sulthoni, qudsi
Kita terus berjuang tembuskan diri

Hikmah Ke-153
.‫ َمدَ ُد ُه ِم َن النم ْو ِر الْ َو ِار ِد ِم ْن خ ََزائِ ِن الْ ُغ ُي ْو ِب‬،‫ن ُْو ٌر ُم ْس َت ْو َد ٌع ِِف الْ ُقلُ ْو ِب‬
10
Q.S. An-Nisa : 11

89
153. “Cahaya yang disimpan dalam hati sumbernya adalah cahaya yang datang dari
gudang-gudang kegaiban”

Cahaya yang ada di dalam qalbu itu adalah cahaya yang bersumber dari Allah, makanya dari
hikmah-hikmah sebelumnya juga, nur/anwar diterjemahkan dengan cahaya Allah
Hikmah Ke-154
‫ َون ُْو ٌر يَ ْك ِش ُف َ َل ِب ِه َع ْن َأ ْو َصا ِف ِه‬،‫ن ُْو ٌر يَ ْك ِش ُف َ َل ِب ِه َع ْن أ ْ ِثر ِه‬
154. “Ada cahaya yang dengannya Allah menyingkapkan ciptaan-Nya dan ada pula
cahaya yang dengannya Allah menyingkapkan sifat-sifat-Nya kepadamu”

Ada cahaya yang muncul dari makhuk; ikan, air, batu, pohon dan lain-lain. Yakini
semua itu ada cahayanya, bukan harus terlihat terang menyilaukan, tapi ketika seluruh mahluk
tersebut bisa menjadi alat tembus kita kepada Allah maka bercahayalah makhluk tersebut.

Contoh; ketika kita melihat pohon, tafakkuri lah; pohon hidup diatas tanah, tanah bersal
dari nur Muhammad, nur Muhammad berasal dari nur Jamalillah, maka dengan melihat pohon
membawa qalbu kita kepada Allah, dengan begitu pohon tersebut menjadi cahaya dalam qalbu.

Hikmah Ke-155

‫ َ َمَك ُح ِج َب ِت النم ُف ْو ُس ِب َكث َائِ ِف ْ َاْل ْغ َي ِار‬،‫ُرب َّ َما َوقَ َف ِت الْ ُقلُ ْو ُب َم َع ْ َاْلن َْو ِار‬
155. “Bisa jadi hati berhenti bersama cahaya-cahaya, sebagaimana terhentinya nafsu
oleh gelapnya bayang-bayang makhluk”.
Hikmah ke 156

‫ َو َأ ْن يُ َنا ِد َى عَلَْيْ َا‬،‫الظ َوا ِه ِر ا ْج ََّل ًل لَهَا َأ ْن تُبْتَ َذ َل ب ُِو ُج ْو ِد ْال ْظه َِار‬
َّ ‫الَّسائِ ِر ِب َكث َائِ ِف‬
َ َّ ‫َس َ َرت َأن َْو َار‬
ِ ِ
.‫ِب ِل َس ِان ْ ِال ْش ُتِ َا ِر‬
156. “Allah menutupi cahaya-cahaya rahasia dengan tebalnya bentuk dzohir untuk
memuliakan cahaya itu agar tidak bebas di pandang dan lisan tidak bebas menyebut
kemasyhurannya.”
Sengaja Allah menutupi rahasia2 makhluk dengan yang dzohir, bentuk-bentuk makhluk
yang tampak itu cuma bungkusnya saja, rahasianya disembunyikan yaitu seperti yang telah
dicontohkan di atas, ketika dari melihat makhluk berujung kepada qalbu “melihat” Allah
Kalau ruhul qudsi anda tidak dilapisi dengan ruh suthoni, nuroni, jismani, maka dunia
bisa hancur sebagimana yg disebutkan oleh syekh abdul qodir al jailani dalam sirrul asror.

90
AL-HIKAM JUZ II

Hikmah Ke-157
‫ُس ْب َح َان َم ْن لَ ْم َ َْي َع ِل ا َّدل ِل ْي َل عَ ََل َأ ْو ِل َيائِ ِه ا َّل ِم ْن َح ْي ُث ادلَّ ِل ْي ِل عَلَ ْي ِه َولَ ْم يُ ْو َص ْل الَْيْ ِ ْم ا َّل َم ْن‬
ِ ِ ِ
.‫َأ َرا َد َأ ْن يُ َو ِدص َ ُل الَ ْي ِه‬
157. “Maha Suci Allah yang tidak menjadikan petunjuk untuk mengenali para wali-Nya,
ِ
kecuali dengan petunjuk yang mengarahkan kepada-Nya. Dan Allah tidak wūshul
kepada mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk wūshul kepada-Nya”.
Hikmah Ke-158
‫رسا ِر الْ ِع َبا ِد‬ َ ْ ‫ُرب َّ َما َأ ْطلَ َع َك عَ ََل غَ ْي ِب َملَ ُك ْوتِ ِه َو َح َج َب َع ْن َك ا ِل ْس ِت‬
َ ْ ‫رش َاف عَ ََل َأ‬
158. “kadang-kadang Allah memperlihatkan kegaiban alam malakut kepadamu dan
menghalangimu dari memandang rahasia-rahasia hamba.”
Hikmah Ke-159
‫رسا ِر الْ ِع َب ِاد َولَ ْم ي َ َت َخل َّ ْق ِِب َّلر ْ َمح ِة ْاللَهِ َّي ِة؛ ََك َن د ِاط ََّلعُ ُه ِف ْت َن ًة عَلَ ْي ِه َو َسبَ ًبا ِل َج د ِر‬
َ ْ ‫َم ِن َّاطلَ َع عَ ََل َأ‬
ِ
‫الْ َو َِبلِ الَ ْي ِه‬
159. “Siapa orang yang dapat melihat rahasia-rahasia para hamba, sedangkan ia tidak
ِ
berperilaku dengan kasih sayang Ilahi maka penglihatannya menjadi fitnah baginya dan
sebab datangnya bencana.”
Hikmah Ke-160

َّ ‫ َو َح مظهَا ِف‬،‫َحظم النَّ ْف ِس ِف الْ َم ْع ِص َّي ِة َظا ِه ٌر َج ِِل‬


‫ َو ُمدَ َاوا ُة َما َ ْي َفى َص ْع ٌب‬, ‫الطاعَ ِة َِب ِط ٌن َخ ِفي‬
‫ِع ََّل ُج ُه‬
160. “Bagian nafsu dalam maksiat tampak jelas dan bagiannya dalam taat tersembunyi
lagi samar. Sungguh sulit menyembuhkan penyakit yang samar dan tersembunyi.”

Hikmah Ke-161

‫ُرب َّ َما َد َخ َل د ِالر ََي ُء عَلَ ْي َك ِم ْن َح ْي ُث ل ي َ ْن ُظ ُر الْ َخلْ ُق الَ ْي َك‬


ِ
161. “Kadang-kadang riya masuk dari sisi tidak melihatnya makhluk kepadamu.”
Hikmah Ke-162

‫رشافُ َك َأ ْن ي َ ْع َ َل الْ َخلْ ُق ِ ُخب ُص ْو ِص َّيتِ َك َد ِل ْي ٌل عَ ََل عَدَ ِم ِصدْ ِق َك ِ ْف ُع ُب ْو ِديَّتِ َك‬
َ ْ ‫ِا ْس ِت‬
162. “Keinginanmu agar orang (makhluk) mengetahui keistimewaanmu adalah bukti
ketidaktulusanmu dalam penghambaan.”

91
Hikmah Ke-163

‫ َوغَ دي ِْب َع ْن ا ْق َبا ِله ِْم عَلَ ْي َك ب ُِشه ُْو ِد ا ْق َب ِ ِاِل عَلَ ْي َك‬،‫هللا الَ ْي َك‬
ِ ‫غَ دي ِْب ن ََظ َر الْ َخلْ ِق الَ ْي َك ِبنَ َظ ِر‬
163.
ِ ِ
“Hilanglah dari penglihatan makhluk kepadamu menuju penglihatan Allah
ِ ِ
kepadamu. Dan menghilanglah dari penghadapan mereka kepadamu menuju
penyaksian penghadapan Allah kepadamu”
Hikmah Ke-164

‫ َو َم ْن َأ َحبَّ ُه لَ ْم يُ ْؤ ِث ْر‬،‫يش ٍء‬ َ َ‫ َو َم ْن فَ ِ َن ِب ِه غ‬،‫يش ٍء‬


‫اب َع ْن ُ ِ د‬
ْ َ ‫لك‬ ‫َم ْن َع َر َف الْ َح َّق َشهِدَ ُه ِ ْف ُ ِ د‬
ْ َ ‫لك‬
‫عَلَ ْي ِه َش ْيئًا‬
164. “Siapa orang mengenal Allah (Al-Haqq), maka ia melihat-Nya dalam segala sesuatu;
Barang siapa lebur bersama Allah, maka ia hilang dari segala sesuatu. Dan barang siapa
mencintai-Nya, maka ia tidak akan mementingkan apa pun selain Dia.”
Hikmah Ke-165

‫إان َّ َما َح َج َب احل ََّق َع ْن َك ِش َّد ُة قُ ْ ِرب ِه ِمنْ َك‬


165. “Sesungguhnya Allah (Al-Haqq) terhalang darimu karena begitu dekatnya Dia
darimu.”
Hikmah Ke-166

‫ان َّ َما ْاحتَ َج َب ِل ِش َّد ِة ُظه ُْو ِر ِه َو َخ ِف َي َع ِن ا َْلبْ َصا ِر ِل ِع َظ ِم ن ُْو ِر ِه‬
166. “Allah terhalang karena ketampakkan-Nya yang sangat jelas dan Dia tersembunyi
ِ
dari pandangan karena keagungan cahaya-Nya.”
Hikmah Ke-167

‫ َولْ َي ُك ْن َطلَ ُب َك ِل ْظهَا ِر الْ ُع ُب ْو ِدي َّ ِة َو ِق َيا ًما‬،ُ‫ل يَ ُك ْن َطلَ ُب َك ت َ َسب م ًبا ا ََل الْ َع َطا ِء ِمنْ ُه فَ َي ِق َّل فَهْ ُم َك َع ْنه‬
ِ ِ
‫ِ ُِب ُق ْو ِق مالربُ ْو ِب َّي ِة‬
167. “Jangan anggap permintaanmu kepada-Nya merupakan sebab pemberian-Nya,
karena anggapan itu merusak pemahamanmu. Dan jadikanlah permintaamu untuk
menampakkan sifat penghambaan dan penegakan hak-hak ketuhanan”
Hikmah Ke-168

َّ ‫َك ْي َف يَ ُك ْو ُن َطلَ ُب َك َّالَّل ِح ُق َسبَ ًبا ِ ْف َع َطائِ ِه‬


‫الساب ِِق‬
168. “Bagaimana bisa permintaamu yang baru muncul menjadi sebab bagi pemberian
yang telah ditetapkan sejak azali?
Hikmah Ke-169

‫َج َّل ُح ْ ُك ا َْل َزلِ َأ ْن ي َ ْنضَ َاف ا ََل الْ ِعلَ ِل‬
ِ
92
169. “Sungguh agung ketetapan azali yang tidak mungkin disandarkan pada hukum
sebab akibat.”
Hikmah Ke-170

‫اْج ْت َك ِعنَاي َ ُت ُه َوقَابَلَ ْت َك ِرعَاي َ ُت ُه؟ لَ ْم يَ ُك ْن ِِف‬


َ َ ‫ َو َأ ْي َن ُك ْن َت ِح ْ َي َو‬.‫َش ٍء ِمنْ َك‬
ْ َ ‫ِعنَاي َ ُت ُه ِف ْي َك َل ِل‬
‫َأ َز ِ ِِل اخ ََّْل ُص َأ ْ ََعالٍ َو َل ُو ُج ْو ُد َأ ْح َوالٍ ب َ ْل لَ ْم يَ ُك ْن ُهنَاكَ ا َّل َم ْح ُض ْالفْضَ الِ َو َع ِظ ْ ُْي النَّ َوال‬
ِ ِ
170. “Pertolongan Allah kepadamu bukan karena sesuatu yang berasal darimu. Dan
ِ
dimanakah engkau ketika pertolongan-Nya menghadapkanmu dan penjagaan-Nya
mengarahkanmu?. Di zaman azali tidak ada keikhlasan dalam beramal, tidak ada ahwāl,
yang ada hanyalah kemuliaan Allah dan pemberian-Nya.”
Hikmah Ke-171

‫ َوعَ ِ َل َأن َّ ُه‬.﴾‫﴿َ َ ْي َت مص ِب َر ْ َمحتِ ِه َم ْن يَشَ ا ُء‬: ‫ فَقَا َل‬،‫رس الْ ِع َناي َ ِة‬
ِ ‫عَ ِ َل َأ َّن الْ ِع َبا َد يَتَشَ َّوفُ ْو َن ا ََل ُظه ُْو ِر ِ د‬
ِ
‫هللا قَ ِريْ ٌب ِم َن‬ ْ َ ِ ْ
ِ ‫﴿ ا َّن َر ْ َمح َة‬:‫ فَقَا َل‬، ِ‫لَ ْو خ َََّّل ُ ُْه َو َذ ِ َل لَ َ َرت ُك ْوا ال َع َم َل ا ْعتِ َمادًا عََل َاْل َزل‬
ِ
﴾11‫الْ ُم ْح ِس نِ ْ َي‬
171. “Allah tahu bahwa hamba selalu menelisik untuk bisa mendapatkan rahasia
pertolongan. Maka, Dia berfirman: Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mengetahui bahwa seandainya Dia membiarkan mereka,
pasti mereka meninggalkan segala perbuatan karena berpegang pada ketentuan yang
azali. Maka Dia berfirman: Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat bagi orang yang
berbuat baik.”
Hikmah Ke-172

ْ َ ‫ِه ِا ََل‬
‫يش ٍء‬ َ ِ ُ‫ َول ت َ ْست َ ِند‬،‫يش ٍء‬ ‫ا ََل امل َ ِشيْئَ ِة ي َْست َ ِندُ ُ م‬
ْ َ ‫لك‬
172. “Segala sesuatu bersandar kepada kehendak Allah, Dan kehendak Allah tidak
ِ
bersandar kepada apa pun.”
Hikmah Ke-173

‫الطلَ ِب ِا ْعتِ َمادًا عَ ََل ِق ْس َمتِ ِه َو ْاش تِغ ًَال ِب ِذ ْك ِر ِه َع ْن َم ْسأَلَتِ ِه‬
َّ ‫ُرب َّ َما َدلَّهُ ُم ا َْلد َُب عَ ََل تَ ْر ِك‬
173. “Bisa jadi Dia menunjukkan adab kepada mereka untuk meninggalkan permintaan
karena bersandar pada bagian-Nya dan menyibukan diri dengan mengingat-Nya
sehingga melupakan permintaannya”
Hikmah Ke-174

‫ان َّ َما يُ َذكَّ ُر َم ْن َ َُي ْو ُز عَلَ ْي ِه ْال ْغ َفا ُل َوان َّ َما يُنَبَّ ُه َم ْن يُ ْم ِك ُن ِم ْن ُه ال ْ َمه ُال‬
ِ ِ ِ ِ
11
Q.S Al-A’raaf : 56

93
174. “Sesungguhnya orang yang harus diingatkan adalah orang yang biasa lalai (lupa),
dan yang harus diperingatkan adalah orang yang mungkin bisa abai (sembrono)”
Hikmah Ke-175

ِ َ‫ُو ُر ْو ُد الْ َفاق‬


‫ات َأ ْع َيا ُد امل ُ ِريْ ِد ْي َن‬
175. “Datangnya berbagai fāqoh (masa-masa serba sulit) adalah hari raya para murid
(sālik).”
Hikmah Ke-176

‫الص ََّل ِة‬ ِ َ‫ُرب َّ َما َو ْجدَ َت ِم َن الْ َم ِزيْ ِد ِِف الْ َفاق‬
َّ ‫ات َما َل َجتِدْ ُه ِِف‬
َّ ‫الص ْو ِم َو‬
176. Bisa jadi engkau memperoleh tambahan karunia (hikmah) di dalam fāqoh yang
tidak engkau dapatkan di dalam puasa dan shalat.
Hikmah Ke-177

‫ات ب ُُسطُ الْ َم َوا ِه ِب‬


ُ َ‫ال َفاق‬
177. Berbagai macam ujian (fāqoh) adalah hamparan pemberian (Allah).
Hikmah Ke-178

‫ات لِلْ ُفقَ َرا ِء‬ َّ ‫ان َّ َما‬. ‫ُص ِح الْ َف ْق َر َوالْ َفاقَ َة َ َدليْ َك‬
ُ َ‫الصدَ ق‬ ‫ا ْن َأ َرد َْت ُو ُر ْو َد الْ َم َوا ِه ِب عَلَ ْي َك َ ِ د‬
ِ
178. “Apabila engkau menghendaki limpahan karunia besar dari Allah kepadamu, maka
ِ
perbaikilah rasa fakir dan kesulitan (fāqoh) yang engkau alami. Sesungguhnya
pemberian sedekah itu bagi orang fakir.”

Hikmah Ke-179

‫ َ َحتقَّ ْق‬،‫ َ َحتقَّ ْق ِب َع ْج ِزكَ ي َ ُمدمكَ ِب ُقدْ َرتِ ِه‬،‫ َ َحتقَّ ْق ب ُِذ ِ د َل ي َ ُمدمكَ ِب ِع د ِز ِه‬،‫َ َحتقَّ ْق ِبأَ ْو َصا ِف َك ي َ ُمدمكَ ِبأَ ْو َصا ِف ِه‬
‫بِضَ ْع ِف َك ي َ ُمدمكَ ِ َِب ْو ِ ِِل َوقُ َّوتِ ِه‬
179. “Buktikan dirimu dengan sifat-sifatmu, niscaya kau akan dibantu dengan sifat-sifat-
Nya. Buktikan kehinaanmu niscaya Dia menlongmu dengan kemulian-Nya. Buktikan
kelemahanmu niscaya Dia menolongmu dengan daya dan kekuatan-Nya.”
Hikmah Ke-180

‫ُرب َّ َما ُر ِز َق الْ َك َرا َم َة َم ْن لَ ْم تَ ْمكُ ْل َ ُِل ا ِل ْس تِقَا َم ُة‬


180. “Bisa jadi karomah diberikan kepada orang yang belum sempurna istiqomahnya.”
Hikmah Ke-181

‫الَش ِء اقَا َم ُت ُه ا ََّيكَ ِف ْي ِه َم َع ُح ُص ْولِ النَّ َتا ِئ ِج‬


ْ َّ ‫ات اقَا َم ِة الْ َح د ِق َ َل ِِف‬
ِ ‫ِم ْن عََّل َم‬
ِ ِ
181. “Diantara tanda-tanda bahwa Allah menempatkanmu dalam suatu perkara adalah
ِ
Dia menempatkanmu di dalamnya dan kau mendapatkan hasil yang dituju.”

94
Hikmah Ke-182

‫هللا الَ ْي ِه لَ ْم ي َ ْص ُم ْت‬ َ ْ ‫َم ْن عَ َّ ََب ِم ْن ب َِس ِاط ا ْح َسا ِن ِه َأ‬


ِ ‫ْصتَ ْت ُه ال َسا َء ُة َو َم ْن عَ َّ ََب ِم ْن ب َِس ِاط ا ْح َسان‬
ِ ِ ِ ِ
‫ا َذا َأ َسا َء‬
182. “Barang siapa mengungkapkan hamparan kebaikannya maka ia akan diam bila
ِ
berbuat salah. Dan barang siapa menyebut-nyebut hamparan kebaikan Allah yang
diberikan kepadanya maka ia tidak akan diam ketika berbuat salah.”
Hikmah Ke-183
‫ت َ ْس ب ُِق َأن َْو ُار الْ ُح َمكَا ِء َأ ْق َوالَهُ ْم فَ َح ْي ُث َص َار التَّ ْن ِو ْي ُر َو َص َل التَّ ْعب ْ ُِْي‬
183. “Cahaya orang-orang bijak mendahului perkataannya. Maka, dimana pun cahaya
itu terpancar, sampailah apa yang mereka katakan.”
Hikmah Ke-184

‫لك َالك ٍم ي َ ْ َُب ُز َوعَلَ ْي ِه ِك ْس َو ُة الْقَلْ ِب َّ ِال ْي ِم ْن ُه بَ َر َز‬


‫ُم‬
184. “Setiap perkataan yang diungkapkan selalu diselimuti pakaian hati yang menjadi
sumbernya.”
Hikmah Ke-185

‫َم ْن ُأ ِذ َن َ ُِل ِف التَّ ْعب ْ ِِْي فُهِ َم ْت ِ ْف َم َسا ِمع ِ الْ َخلْ ِق ِع َب َارتُ ُه َو ُج ِل َي ْت الَْيْ ِ ْم ا َش َارتُ ُه‬
ِ ِ
185. “Barang siapa diberi izin oleh Allah untuk menyampaikan penjelasan maka
ucapannya akan meresap di hati pendengarnya dan petunjuknya menarik hati mereka.”
Hikmah Ke-186

‫ُرب َّ َما بَ َر َز ِت الْ َحقَائِ ُق َم ْك ُس ْوفَ َة ا َْلن َْوا ِر ا َذا لَ ْم يُ ْؤ َذ ْن َ َل ِفْيْ َا ِِب ْ ِل ْظه َِار‬
ِ
186. “Boleh jadi, hakikat muncul menutupi cahaya tatkala engkau belum di beri izin
(oleh Allah) untuk mengungkapkannya.”
Hikmah Ke-187

‫السا ِل ِك ْ َي َوالث َِّاِن َح ُال َا ْر َِب ِب‬ َ ْ َ‫ ف‬.‫ِع َب َاراهتُ ُ ْم ِا َّما ِل َف ْيضَ ِان َو ْج ٍد َا ْو ِلقَ ْص ِد ِهدَ اي َ ِة ُم ِريْ ٍد‬
َّ ‫ال َّو ُل َح ُال‬
‫الْ َم ِكن َّ ِة َوالْ ُم َح ِقد ِق ْ َي‬
187. “Ungkapan-ungkapan mereka terlontar baik karena luapan perasaan hati atau
untuk memberi petunjuk kepada murid. Yang Pertama adalah keadaan para sālik dan
yang kedua adalah keadaan guru spiritual (mursyid) dan ahli hakikat.”
Hikmah Ke-188

ٌ ِ ْ ‫ال ِع َب َار ُات قُ ْو ٌت ِل َعائِ َ ِةل الْ ُم ْس َت ِم ِع ْ َي َولَ ْي َس َ َل ا َّل َما َأن َْت َ ُِل أ‬
‫لك‬
ِ
188. “Tuturan adalah makanan pokok bagi keluarga orang-orang yang mendengarnya.
Kau tidak akan mendapat apa pun kecuali apa yang bisa kau makan.”

95
Hikmah Ke-189

‫ َو َذ ِ َل ُملْتَ ِب ٌس ا َّل‬. ‫ َو ُرب َّ َما عَ َّ ََب َع ْن ُه َم ْن َو َص َل الَ ْي ِه‬،‫رش َف عَلَ ْي ِه‬


َ ْ َ ‫ُرب َّ َما عَ َّ ََب َع ِن الْ َمقَا ِم َم ْن ِا ْست‬
ِ ِ
‫عَ ََل َصا ِح ِب ب َ ِص ْ َْي ٍة‬
189. “Terkadang ada orang yang belum sampai pada maqām berani membicarakannya.
Dan ada pula orang yang telah sampai pada maqām itu membicarakannya. Dan itu
sangat sulit kecuali bagi orang yang memiliki pandangan batin (bashirah)

Hikmah Ke-190

ِ ‫فَا َّن َذ ِ َل يُ ِق مل َ ََعلَهَا ِ ْف قَلْ ِب ِه َوي َ ْم َن ُع ُو ُج ْو َد د‬. ‫ال َأ ْن يُ َع ِ د ََب َع ْن َو ِاردَاتِ ِه‬
‫الصدْ ِق َم َع‬ ِ ِ ‫َل يَن ْ َب ِغي لِ َّلس‬
ِ
‫َ ِرب د ِه‬
190. “Tidaklah pantas bagi sālik untuk mengabarkan wārid yang diterimanya. Sebab
yang demikian itu akan melemahkan amal dalam hatinya dan menghalangi
kesungguhannya bersama Tuhannya.”
Hikmah Ke-191

‫فَا َذا ُك ْن َت َك َذ ِ َل‬. َ‫َل تَ ُمد ََّّن يَدَ كَ ا ََل ا َْل ْخ ِذ ِم َن الْخ َََّلئِ ِق ا َّل َأ ْن تَ َرى َأ َّن الْ ُم ْع ِط َي ِفْيْ ِ ْم َم ْو َلك‬
ِ ِ ِ
ْ‫فَخ ُْذ َما َوافَقَ ُه الْ ِع ُل‬
191. “Janganlah ulurkan tanganmu untuk menerima pemberian dari makhluk, kecuali
engkau melihat bahwa pemberian itu berasal dari Allah. Jika benar, terimalah
pemberian itu sesuai ilmu yang kalian pahami.”
Hikmah Ke-192

‫ فَ َك ْي َف لي َْس تَ ْح ِي َأ ْن يَ ْرفَ َعهَا‬،‫ُرب َّ َما ِا ْس تَ ْح َيا الْ َعا ِر ُف َأ ْن يَ ْرفَ َع َحا َجتَ ُه ا ََل َم ْو َل ُه ِل ْكتِ َفائِ ِه ِب َم ِش ْيئ َ ِت ِه‬
ِ
‫ا ََل َخ ِل ْيقَ ِت ِه؟‬
192. “Bisa jadi seorang ‘arif malu mengadukan kebutuhannya kepada Allah karena
ِ
merasa cukup dengan pertolongan-Nya. Jadi, bagaimana mungkin ia tidak malu
mengadukan kebutuhannya kepada makhluk?”
Hikmah Ke-193

‫ فَان َّ ُه َل يَثْ ُق ُل عَلَْيْ َا ا َّل َما ََك َن َحقاا‬،‫ا َذا الْتَبَ َس عَلَ ْي َك َأ ْم َر ِان فَان ُْظ ْر َأثْقَلَهُ َما عَ ََل النَّ ْف ِس فَات َّ ِب ْع ُه‬
ِ ِ
193. “Jika ada dua perkara yang membuatmu ragu maka lihatlah manakah di antara
ِ
keduanya yang paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah. Sesungguhnya tidaklah nafsu
merasa berat keculai jika itu benar.”

96
Hikmah Ke-194

ِ ‫ات اتِ د َبا ِع الْه ََوى الـ ُم َس َارعَ ُة ا ََل ن ََوا ِف ِل الْخ ْ ََْي ِات َوالتَّ َاك ُس ُل َع ِن الْ ِق َيا ِم ِِبلْ َو ِاج َب‬
‫ات‬ ِ ‫ِم ْن عََّل َم‬
194. “Diantara tanda-tanda mengikuti nafsu adalah bergegas melakukan amal sunah dan
ِ
bermalas-malasan melakukan amal wajib.”
Hikmah Ke-195

‫ َو َو َّس َع عَلَ ْي َك الْ َو ْق َت َ َْك‬, ‫ات َ َْك َل ي َ ْمنَ َع َك َعْنْ َا ُو ُج ْو ُد الت َّ ْس ِويْ ِف‬
ِ َ‫ات ِبأَ ْع َي ِان ْ َاْل ْوق‬ِ َ‫الطاع‬
َّ َ‫قَيَّد‬
‫تَ ْبقَى َ َل ِح َّص ُة ا ِل ْخ ِت َيا ِر‬
195. “Allah membatasi ketaatan dengan waktu-waktu tertentu agar kau tidak menunda-
nunda dan Dia meluaskan waktu untukmu agar kau tetap memiliki waktu untuk
ikhtiar.”
Hikmah Ke-196

‫ فَ َساقَهُ ْم الَْيْ َا ب َِس ََّل ِس ِل‬،‫عَ ِ َل ِق َّ َةل هنُ ُ ْو ِض الْ ِع َبا ِد ا ََل ُم َعا َملَتِ ِه فَأَ ْو َج َب عَلَْيْ ِ ْم ُو ُج ْو َد َطا َع ِت ِه‬
ِ ِ
ِ ‫ َ ََع َب َرب م َك ِم ْن قَ ْو ٍم ي َُساقُ ْو َن اَل ال َجنَّة ِِب َّلس‬.‫ال ْ ََي ِاب‬
‫َّلس ِل‬ ِ ْ َ
196. “Allah mengetahui sedikitnya hamba yang bangkit untuk berkomunikasi dengan-
ِ ِ
Nya, maka Allah mewajibkan kepada mereka untuk taat kepada Allah. Kemudian Allah
menggiring mereka kepada ketaatan dengan belenggu-belenggu kewajiban. Tuhanmu
heran melihat orang yang digiring ke surga dengan belenggu.”
Hikmah Ke-197

.‫ َو َما َأ ْو َج َب عَلَ ْي َك ا َّل ُدخ ُْو َل َجنَّتِ ِه‬, ‫َأ ْو َج َب عَلَ ْي َك ُو ُج ْو َد ِخدْ َم ِت ِه‬
ِ
197. “Allah telah mewajibkan kepadamu untuk berkhidmat kepada-Nya dan Dia tidak
mewajibkanmu kecuali untuk masuk ke surga-Nya.”
Hikmah Ke-198

‫هللا ِم ْن َشه َْوتِ ِه َو َأ ْن ُ ْي ِر َج ُه ِم ْن ُو ُج ْو ِد غَ ْفلَتِ ِه فَقَدْ ِا ْس تَ ْع َج َز الْ ُقدْ َر َة‬


ُ ‫َم ِن ْاس تَغ َْر َب َأ ْن يُ ْن ِق َذ ُه‬
﴾‫يش ٍء مم ْقتَ ِد ًرا‬
ْ َ ‫لك‬ ُ ‫ ﴿ َو ََك َن‬.‫ْاللَهِ َّي َة‬
‫هللا عَ ََل ُ ِ د‬
198. “Barang siapa heran karena diselamatkan Allah dari syahwatnya dan dikeluarkan
ِ
dari lalainya, berarti ia menganggap lemah kuasa Tuhan. Padahal ‘Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu’ .”
Hikmah Ke-199
‫هللا ِب ِه عَلَ ْي َك‬
ُ ‫الظ َ ُل عَلَ ْي َك ِل ُي َع د ِرفَ َك قَدْ َر َما َم َّن‬
‫ُرب َّ َما َو َرد َِت م‬
199. “Terkadang kezaliman menimpamu agar kau mengetahui seberapa besar karunia
Allah kepadamu.”

97
Hikmah Ke-200
‫َم ْن لَ ْم ي َ ْع ِر ْف قَدْ َر النِد َع ِم ِب ِو ْجدَ اهنِ َا َع َرفَها ب ُِوجو ِد فُ ْقداهنِ َا‬
200. “Siapa orang yang tidak menyadari nikmat yang diberikan kepadanya maka akan
menyadarinya ketika nikmat itu dicabut darinya.”
Hikmah Ke-201
َ‫ فَا َّن َذ ِ َل ِم َّما َ َُيطم ِم ْن ُو ُج ْو ِد قَدْ ِرك‬، َ‫َات النِد َع ِم َع ِن الْ ِق َيا ِم ِ ُِب ُق ْو ِق ُش ْك ِرك‬
ُ ‫َل تُدْ ِه ْش َك َوا ِرد‬
ِ
201. Janganlah datangnya banyak nikmat, malah membuatmu bingung untuk memenuhi
kewajiban syukurmu. Sebab, itu bisa merendahkan kedudukanmu.
Hikmah Ke-202
‫َّلو ِة الْه ََوى ِم َن الْقَلْ ِب ه َُو ا َّدلا ُء الْ ُعضَ ا ُل‬
َ ‫تَ َمكم ُن َح‬
202. “Manisnya hawa nafsu yang telah menguasai hati adalah penyakit yang sangat sulit
untuk disembuhkan.”
Hikmah Ke-203
‫الشه َْو َة ِم َن الْقَلْ ِب الَّ خ َْو ٌف ُم ْز ِ ٌِع َأ ْو َش ْو ٌق ُم ْق ِل ٌق‬
َّ ‫َل ُ ْي ِر ُج‬
203. “Tiada yang dapat mengeluarkan syahwat dari hati kecuali rasa takut yang
ِ
mencemaskan dan rindu yang merisaukan.”
Hikmah Ke-204
‫ َوالْقَلْ ُب‬،ُ‫ الْ َع َم ُل الْ ُم ْش َ َرتكُ َل ي َ ْق َب ُل‬. َ‫َ َمَك َل ُ َِي مب الْ َع َم َل الْ ُم ْش َ َرتكَ َك َذ ِ َل َل ُ َِي مب الْقَلْ َب الْ ُم ْش َ َرتك‬
.‫الْ ُم ْش َ َرتكُ َل يُ ْق ِب ُل عَلَ ْي ِه‬
204. “Sebagaimana Dia tidak menyukai amal yang menyekutukan, Dia juga tidak
menyukai hati yang menyekutukan. Amal yang menyekutukan tidak akan diterima
Allah, sedangkan hati yang menyekutukan tidak dapat menghadap kepada Allah.”
Hikmah Ke-205
ِ‫ َو َأن َْو ٌار ُأ ِذ َن لَهَا ِف ادلم خ ُْول‬، ِ‫َأن َْو ٌار ُأ ِذ َن لَهَا ِف الْ ُو ُص ْول‬
205. “Ada cahaya yang diizinkan sampai dan ada cahaya yang diizinkan masuk.”
Hikmah Ke-206

‫ فَ ْار َ َحتلَ ْت ِم ْن َح ْي ُث نَ َزلَ ْت‬،‫ُرب َّ َما َو َرد َْت عَلَ ْي َك ا َْلن َْو ُار فَ َو َجدَ ِت الْقَلْ َب َم ْح ُش اوا ب ُِص َو ِر اْلْ َث ِر‬
206. “Kerap kali cahaya yang datang kepadamu, Namun ketika hati dipenuhi gambaran
makhluk, cahaya itu segera pergi dari arah datangnya.”
Hikmah Ke-207

َ ْ ‫فَ د ِر ْغ قَلْ َب َك ِم َن ا َل ْغيا ِر تَ ْم َ ُل ُه ِِبلْ َم َعا ِر ِف و ْ َال‬


‫رسا ِر‬
207. “Kosongkan hatimu dari segala makhluk sehinga ma’rifat dan rahasia
memenuhinya.”

98
Hikmah Ke-208

ِ‫َل ت َ ْست َ ْب ِط ْئ ِمنْ ُه النَّ َوا َل َولَ ِك ِن ْاست َ ْب ِط ْئ ِم ْن ن َ ْف ِس َك ُو ُج ْو َد ال ْق َبال‬


ِ
208. “Jangan anggap bahwa anugerah terlambat datang, tetapi anggaplah dirimu
terlambat menghadap.”
Hikmah Ke-209

‫ ا ْذ َما ِم ْن َو ْق ٍت يَ ِر ُد‬.‫ات َل يُ ْم ِك ُن قَضَ ا ُؤهَا‬ ِ َ‫ َو ُح ُق ْو ُق ا َْل ْوق‬،‫ات يُ ْم ِك ُن قَضَ ا ُؤهَا‬ِ َ‫ُح ُق ْو ٌق ِف ا َْل ْوق‬
ِ
‫ فَ َك ْي َف تَ ْق ِض ِف ْي ِه َح َّق غَ ْ ِْي ِه َو َأن َْت لَ ْم تَ ْق ِض َح َّق‬،‫ا َّل َو ِ د ِّلل عَلَ ْي َك ِف ْي ِه َحق َج ِديْ ٌد َو َأ ْم ٌر َأ ِك ْي ٌد‬
ِ
ِ‫هللا ِف ْيه‬ِ
209. “Hak-hak dalam waktu bisa diganti, sedangkan hak-hak waktu tak mungkin
diganti. Karena tidak ada sekejap pun waktu yang datang kecuali kau memiliki hak baru
(atas Allah) dan urusan yang tegas. Bagaimana bisa kau memenuhi hak yang lain dalam
waktumu sedangkan kau tidak memenuhi hak-Nya.”
Hikmah Ke-210

‫ َو َما َح َص َل َ َل ِمنْ ُه َل ِق ْي َم َة َ ُِل‬،ُ‫ات ِم ْن ُ َْع ِركَ َل ِع َو َض َِل‬


َ َ‫َما ف‬
210. “Apa yang telah hilang dari umurmu tak akan ada gantinya, dan apa yang kau
hasilkan dari umurmu tak ternilai harganya.”
Hikmah Ke-211

‫ َوه َُو َل ُ َِي مب َأ ْن تَ ُك ْو َن ِلغ ْ َِْي ِه َع ْبدً ا‬،‫َما َأ ْح َب ْب َت َشيْئًا الَّ ُك ْن َت َ ُِل َع ْب ًدا‬
211. “Tidaklah engaku mencintai sesuatu kecuali engkau menjadi hambanya dan Allah
ِ
tidak suka engkau menjadi hamba selain-Nya”
Hikmah Ke-212

‫ َوان َّ َما َأ َم َركَ هبِ َ ِذ ِه َوهنَ َاكَ َع ْن َه ِذ ِه ِل َما ي َ ُع ْو ُد عَلَ ْي َك‬،‫َض ُه َم ْع ِص َّي ُت َك‬
‫ َو َل ت ُ م‬،‫َل تَ ْن َف ُع ُه َطا َع ُت َك‬
212. Ketaatanmu tidaklah berguna bagi-Nya, dan kemaksiatan yang engkau lakukan pun
ِ
juga tidak membahayakan-Nya. Dia menyuruh berbuat ini dan melarang berbuat itu
demi kepentingan dirimu sendiri.
Hikmah Ke-213

‫ِ َو َل ي َ ْن ُق ُص ِم ْن ِع د ِز ِه اد َِْب ُر َم ْن َأدْبَ َر َع ْن ُه‬،‫َل يَ ِزيدُ ِ ْف ِع د ِز ِه ا ْق َبا ُل َم ْن َأ ْق َب َل عَلَ ْيه‬


ِ
213. Tidaklah bertambah kemuliaan Allah karena seseorang menghadap kepada-Nya,
ِ
dan tidak berkurang kemuliaan-Nya karena seseorang menjauhi-Nya.
Hikmah Ke-214

‫َِش ٍء‬ ْ َ ‫ِ َوا َّل فَ َج َّل َرب م َنا َأ ْن يَتَّ ِص َل ِب ِه‬،‫هللا ُو ُص ْو ُ َل ِا ََل الْ ِع ْ ِل بِه‬
ْ َ ‫يش ٌء َأ ْو يَتَّ ِص َل ه َُو ب‬ َ ُ ‫ُو ُص ْو‬
ِ ‫ل ا ََل‬
ِ ِ
99
214. “Sampaimu (wūshul) kepada Allah berarti sampaimu kepada ilmu tentang-Nya
(hakikat). Jika tidak demikian, maka Maha Agung Allah dari berkaitan dengan sesuatu,
atau berkaitannya sesuatu dengan-Nya.”
Hikmah Ke-215
‫ َوا َّل فَ ِم ْن َأ ْي َن َأن َْت َو ُو ُج ْو ُد قُ ْ ِرب ِه‬،‫قُ ْربُ َك ِمنْ ُه َأ ْن تَ ُك ْو َن ُمشَ ا ِهدً ا ِل ُق ْ ِرب ِه‬
ِ
215. “Kedekatanmu dari-Nya adalah engkau menyaksikan kedekatan-Nya. Jika tidak,
darimana engkau dan wujud kedekatan-Nya?”
Hikmah ke 216

‫ ُ َُّث‬،ُ‫ ﴿فَا َذا قَ َرأنَ ُه فَات َّ ِب ْع قُ ْرأْنَه‬،‫ َوب َ ْعدَ الْ َو ْع ِي يَ ُك ْو ُن الْ َب َي ُان‬،‫احلَقَائِ ُق تَ ِر ُد ِِف َحالِ التَّ َج ِ دَل ُم ْج َم َ ًةل‬
ِ
﴾12‫ا َّن عَلَ ْي َنا ب َ َيان َ ُه‬
216. “Hakikat-hakikat muncul pada kondisi tajalli secara global, dan setelah
ِ
direnungkan barulah menjadi jelas. ‘Apabila kami (Allah) telah selesai membacakannya,
maka ikutilah bacannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanngungan kami-lah
penjelasannya’.”
Hikmah Ke-217

‫ ﴿ا َّن الْ ُملُ ْوكَ ا َذا َد َخلُ ْوا قَ ْري َ ًة‬.‫َات اللَهِ َّي ُة عَلَ ْي َك هَدَ َم ِت الْ َع َوائِدَ عَلَ ْي َك‬
ُ ‫َم َىت َو َرد َِت الْ َوا ِرد‬
ِ ِ ِ
﴾13‫َأفْ َسدُ ْوهَا‬
217. “Ketika limpahan ilāhiyah datang kepadamu, ia menghancurkan kebiasaan-
kebiasaanmu. (firman Allah): ‘Sesungguhnya raja-raja itu, ketika masuk kedalam suatu
perkampungan, mereka tentu akan membinasakannya’.
Hikmah Ke-218

‫ ﴿ب َ ْل تَ ْق ِذ ُف ِِبلْ َح د ِق عَ ََل‬.ُ‫يش ٌء ا َّل َد َمغَه‬


ْ َ ‫ َْل ْج ِل َذ ِ َل َل يُ َصا ِد ُم ُه‬،‫ض ِة قَه ٍَّار‬
َ ْ ‫َالو ِار ُد يَأ ِِت ِم ْن َح‬
ِ
.﴾14‫الْ َبا ِط ِل فَ َيدْ َمغَ ُه فَا َذا ه َُو َزا ِه ٌق‬
218. “Wārid itu berasal dari hadirat Allah Yang Maha Memaksa, sehingga tida ada
ِ
sesuatu pun yang didatanginya kecuali ia akan menghancurkannya. (Firman Allah):
‘Sebenarnya kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap’"

12
Q.S. Al-Qiyamah : 18-19

13
Q.S. An-Naml : 34

14
Q.S. Al-Anbiya : 18

100
Hikmah Ke-219

ٌ ِ ‫َِش ٍء َو َّ ِال ْي َ َْيتَجِ ُب ِب ِه ه َُو ِف ْي ِه َظا ِه ٌر َو َم ْو ُج ْو ٌد َح‬


‫اض‬ ْ َ ‫َك ْي َف َ َْيتَجِ ُب الْ َح مق ب‬
219. Bagaimana mungkin Allah terhalang sesuatu, padahal Dia Tampak, ada, serta
Hadir dalam sesuatu yang (dianggap) sebagai penghalang tersebut.
Hikmah Ke-220
‫ فَ ُرب َّ َما قُ ِب َل ِم َن الْ َع َم ِل َمالَ ْم تُدْ َركْ ثَ ْم َرتُ ُه‬،‫َل تَ ْيأَ ْس ِم ْن قَ ُب ْولِ َ ََع ٍل لَ ْم َجتِدْ ِف ْي ِه ُو ُج ْو َد الْ ُحضُ ْو ِر‬
‫عَ ِاج ًَّل‬
220. “Jangan berputus asa dari penerimaan amal yang tidak disertai kehadiran hatimu.
Kadang-kadang amal yang tidak terlihat buahnya, lebih cepat diterima.”
Hikmah Ke-221
‫ َوان َّ َما الْ ُم َرا ُد ِمْنْ َا ُو ُج ْو ُد‬،‫الس َحاب َ ِة ْ َاْل ْم َط َار‬
َّ ‫ فَلَيْ َس الْ ُم َرا ُد ِم َن‬.ُ‫َل ُت َز ِكد َ َّي َوا ِردًا َل تَ ْع َ ُل ثَ ْم َرتَه‬
ِ
.‫ا َْلثْ َما ِر‬
221. “Janganlah engkau merasa senang karena datangnya suatu wārid yang buahnya
belum engkau ketahui. Sebab, yang diharapkan dari gumpalan awan bukanlah akan
turun hujan, melainkan tumbuhnya buah-buahan.”
Hikmah Ke-222

‫هللا ِغ ًىن‬ َ َ َ‫ ف‬،‫رس ُارهَا‬


ِ ‫كل ِف‬ ِ ‫َل ت َْطلُ َ ََّب بَقَ َاء الْ َو ِارد‬
َ ْ ‫َات ب َ ْعدَ َأ ْن ب َ َس َط ْت َأن َْو ُارهَا عَلَ ْي َك َو َأ ْو َد َع ْت َأ‬
ْ َ ‫ َولَيْ َس يُ ْغنِ ْي َك َع ْن ُه‬،‫يش ٍء‬
‫يش ٌء‬ ْ َ ‫لك‬ ‫َع ْن ُ ِ د‬
222. “Janganlah sekali-kali menuntut kekalnya wārid setelah cahayanya melimpah
kepadamu dan rahasia-rahasianya tersimpan. Cukuplah Allah untukmu dari segala
sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang menggantikan kebutuhanmu kepada Allah.”
Hikmah Ke-223

‫ت ََطل م ُع َك ا ََل بَقَا ِء غَ ْ ِْي ِه َد ِل ْي ٌل عَ ََل عَدَ ِم ُو ْجدَ ا ِن َك َِلُ؛ َو ْاس ِت ْي َح ُاش َك ِل ُف ْقدَ ِان َما ِس َوا ُه َد ِل ْي ٌل عَ ََل‬
ِ
‫عَدَ ِم ُو ْصلَتِ َك ِب ِه‬
223. “Keinginanmu akan kekalnya sesuatu selain Allah menunjukan bahwa engkau
belum menemukan-Nya. Dan kegelisahanmu karena kehilangan sesuatu selain Allah
adalah pertanda tidak sampainya kamu kepada Allah.”
Hikmah Ke-224

‫ َوالْ َع َذ ُاب َوا ْن تَ َن َّو َع ْت َم َظا ِه ُر ُه ان َّ َما ه َُو‬.‫النَّ ِع ْ ُْي َوا ْن تَ َن َّو َع ْت َم َظا ِه ُر ُه ان َّ َما ه َُو ِل ُشه ُْو ِد ِه َوا ْق ِ َرتا ِب ِه‬
ِ ْ ِ ِ ِ
‫ َواتْ َما ُم النَّع ْ ِْي ِِبلنَّ ْظ ِر اَل َو ْ ِْجه الك ِر ْْي‬،‫ فَ َسبَ ُب الْ َع َذ ِاب ُو ُج ْو ُد ال ِح َج ِاب‬.‫ِل ُو ُج ْو ِد ِح َجا ِب ِه‬
َ ِ َ ِ ْ
ِ ِ
101
224. “Nikmat, walau beraneka ragam rupanya, sesungguhnya hanya disebabkan karena
menyaksikan-Nya dan kedekatan dengan-Nya. Dan adzab, walau beraneka ragam,
sesungguhnya hanyalah disebabkan adanya penghalang (antara hamba) dengan-Nya.
Maka penyebab siksa adalah hijab. Sedang kesempurnaan nikmat adalah engkau
memadang Wajah Yang Maha Mulia.”
Hikmah Ke-225
‫َم َاجتِدُ ُه الْ ُقلُ ْو ُب ِم َن الْهُ ُم ْو ِم َوا َْل ْح َز ِان فَ ِ َل ْج ِل َما ُم ِن َع ْت ِم ْن ُو ُج ْو ِد الْ ِع َي ِان‬
225. “Hati yang masih merasakan kebingungan dan kesedihan adalah semata-mata
karena adanya penghalang untuk melihat (Allah).”
Hikmah Ke-226
‫ِم ْن تَ َما ِم ال ِند ْع َم ِة عَلَ ْي َك َأ ْن يَ ْر ُزقَ َك َما يَ ْك ِف ْي َك َوي َ ْم َن َع َك َما يُ ْط ِغ ْي َك‬
226. “Diantara kesempurnaan nikmat Allah kepadamu adalah Dia memberimu rezeki
yang dapat mencukupimu, dan mencegahmu dari sesuatu yang membuatmu lepas
kendali (lalai).”
Hikmah Ke-227
‫ِل َي ِق َّل َما تَ ْف َر ُح ِب ِه ي َ ِق َّل َما َ ْحت َز ُن عَلَ ْي ِه‬
227. “Sedikitkanlah sesuatu yang menyenangkanmu agar sedikit pula sesuatu yang
membuatmu sedih.”
Hikmah Ke-228
‫ا ْن َأ َرد َْت َأ ْن َل تُ ْع َز َل فََّل تَتَ َو َّل ِو َلي َ ًة َل تَدُ ْو ُم َ َل‬
228. Bila engkau tidak ingin tergeser, maka janganlah memangku jabatanmu
ِ
(kedudukan) yang tidak abadi bagimu.
Hikmah Ke-229

‫ ا ْن َدعَاكَ الَْيْ َا َظا ِه ٌر هنَ َاكَ َعْنْ َا َِب ِط ٌن‬.‫ا ْن َرغَّ َب ْت َك الْبِدَ َاَي ُت َزهَّدَ ت َْك ِ دالْنَ َاَي ُت‬
ِ
229. “Jika permulaannya membuatmu senang maka kesudahannya akan membuatmu
ِ ِ
jemu. Jika yang lahir mengundangmu kepadanya maka yang batin akan melarangmu
darinya.”
Hikmah Ke-230

‫ان َّ َما َج َعلَهَا َم َح ًَّل ِل ْ َل ْغ َي ِار َو َم ْع ِدنً ِل ْلَ ْكدَ ا ِر تَ ْز ِه ْيدً ا َ َل ِفْيْ َا‬
230. Sungguh Allah menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber
ِ
kerusuhan, agar kalian merasa jenuh di dalamnya.
Hikmah Ke-231

‫عَ ِ َل َأن ََّك َل تَ ْق َب ُل النم ْص َح الْ ُم َج َّر َد فَ َذ َّوقَ َك ِم ْن َذ َوا ِقهَا َما ي َْسهُ ُل عَلَ ْي َك ُو ُج ْو ُد ِف َرا ِقهَا‬

102
230. “Allah mengetahui bahwa kamu tidak akan menerima nasihat yang hanya berupa
kata-kata. Maka Dia mencicipkanmu citarasa dunia kepadamu, sesuatu yang mudah kau
tinggalkan.”
Hikmah Ke-232
‫الصدْ ِر ُش َعاعُ ُه َوي َ ْن َك ِش ُف ِب ِه َع ِن الْقَلْ ِب ِقنَاعُ ُه‬
َّ ‫ال ِع ْ ُل النَّا ِف ُع ه َُو َّ ِال ْي ي َ ْنبَ ِسطُ ِف‬
232. “Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya menyebar dalam dada serta
menyingkapkan penutup hati.”
Hikmah Ke-233
.‫خ ْ َُْي الْ ِع ْ ِل َما ََكن َِت الْخ َْش َي ُة َم َع ُه‬
233. “Sebaik-baiknya ilmu adalah yang menumbuhkan rasa takut”
Hikmah Ke-234

َ َ َ‫الْ ِع ْ ُل ا ْن قَ َ نار َ ْت ُه الْخ َْش َي ُة ف‬


.‫كل َوا َّل فَ َعلَ ْي َك‬
ِ
234. “Ilmu, apabila disertai dengan rasa takut (khasy-yah) kepada Allah, maka ia akan
ِ
mendatangkan kebaikan bagimu. Dan bila tidak, maka ia akan merugikanmu.”
Hikmah Ke-235

ِ ‫َم َىت َألَ َم َك عَدَ ُم ا ْق َبالِ النَّ ِاس عَلَ ْي َك َأ ْو ت ََو م ُْجهُ ْم ِِب َّل دِم الَ ْي َك فَ ْار ِج ْع ا ََل ِع ْ ِل‬
‫ فَا ْن ََك َن‬.‫هللا ِف ْي َك‬
ِ ِ ِ ِ
ِ َ ْ ِ ِ ِ ِ ِ
.‫َل يُ ْق ِن ُع َك ِعلْ ُم ُه فَ ُمص ْيبَتُ َك ِب َعدَ ِم قَنَا َعت َك ِبعلمه َأ َش مد م ْن ُمص ْيبَت َك ب ُِو ُج ْود َاْلذى مْنْ ُ ْم‬
ِ ْ ِ ِ ِ
235. “Bila kau sakit hati karena orang-orang tidak menghiraukanmu, atau mereka
mencela dan memakimu, maka kembalikanlah kepada ilmu Allah tentang dirimu.
Apabila kau masih belum puas dengan ilmu-Nya, maka derita yang menimpamu karena
tidak puas denga ilmu-Nya itu jauh lebih besar daripada derita menimpamu karena
aniaya manusia.”
Hikmah Ke-236

‫يش ٍء َح َّىت َل‬ ‫ َأ َرا َد َأ ْن ُي ْز ِ ََع َك َع ْن ُ ِ د‬.‫ان َّ َما َأ ْج َرى ْا َْل َذى عَ ََل َأيْ ِدْيْ ِ ْم َك ْي ََّل تَ ُك ْو َن َسا ِكنًا الَْيْ ِ ْم‬
ْ َ ‫لك‬ ِ ِ
َ َ ‫ي ُْش ِغ‬
ْ َ ‫كل َع ْن ُه‬
.‫يش ٌء‬
236. Sesungguhnya Allah sengaja mendatangkan aniaya dari makhluk agar kau tidak
merasa tentram bersama mereka. Allah ingin membuatmu jemu terhadap segala sesuatu,
sehingga tidak satu pun yang memalingkanmu dari-Nya.
Hikmah Ke-237
.‫الش ْي َط َان َل ي َ ْغ ُف ُل َع ْن َك فَ ََّل تَ ْغ َف ْل َأن َْت َ ََّع ْن نَ ِص َّيتِ َك ِب َي ِد ِه‬
َّ ‫ا َذا عَ ِل ْم َت َأ َّن‬
237. Jika kau tahu bahwa syaitan tidak pernah sekejap pun lupa kepadamu, maka
ِ
janganlah sekejap pun engkau lupa kepada Allah yang ubn-ubunmu berada dalam
genggaman-Nya.

103
Hikmah Ke-238
‫ال عَلَ ْي ِه‬
َ ُ ‫ َو َح َّركَ عَلَ ْي َك النَّ ْف َس ِل َيدُ ْو َم ا ْق َب‬،‫َج َع َ ُل َ َل عَدُ اوا ِل ُي ْح ِو َش َك ِب ِه الَ ْي ِه‬
ِ
238. Allah sengaja menjadikan syetan sebagai musuhmu, agar kau takut dan lari kepada-
ِ
Nya. Dan Allah menggerakan nafsu, agar engkau senantiasa menghadap-Nya.
Hikmah Ke-239

‫َم ْن َأثْبَ َت ِلنَ ْف ِس ِه ت ََواضُ ًعا فَه َُو الْ ُمتَ َك ِ د َُب َحقاا ا ْذ لَيْ َس التَّ َواضُ ُع ا َّل َع ْن ِرفْ َع ٍة فَ َم َىت َأثْبَ َت ِلنَ ْف ِس َك‬
ِ ِ
‫تَ َواضُ ًعا فَأَن َْت الْ ُم َت َك ِ د َُب َحقاا‬
239. “Barangsiapa yang merasa dirinya tawaddu’ (rendah hati), maka ia benar-benar
sombong (takabur). Sebab, tiada ketawadhuan kecuali dari keluhuran. Jadi, bila kau
menetapkan ketawadhuan pada dirimu sendiri berarti kau orang yang takabur.”
Hikmah Ke-240

‫ َولَ ِك َّن الْ ُم َت َو ِاض َع ا َذا ت ََواضَ َع َر َأى َأن َّ ُه‬, ‫لَيْ َس الْ ُم َت َو ِاض َع َّ ِال ْي ا َذا ت ََواضَ َع َر َأى َأن َّ ُه فَ ْو َق َما َص َن َع‬
ِ ِ
‫د ُْو َن َما َص َن َع‬
240. “Bukanlah orang tawadhu, yang memandang dirinya lebih tinggi dari apa yang
telah dia perbuat. Tetapi orang tawadhu adalah orang yang melihat dirinya lebih rendah
dari apa yang telah dia perbuat.”
Hikmah Ke-241

‫التَّ َواضُ ُع الْ َح ِق ْي ِق مي ه َُو َما ََك َن نَ ِش ئًا َع ْن ُشه ُْو ِد َع ْظ َمتِ ِه َو َ َجت ََّل ِص َف ِت ِه‬
241. “Tawadhu yang sebenarnya adalah tawadhu yang muncul dari menyaksikan
keagungan-Nya dan ketersingkapan sifat-Nya.”

Hikmah Ke-242
‫َل ُ ْي ِر ُج َك َع ِن الْ َو ْص ِف ا َّل ُشه ُْو ُد الْ َو ْص ِف‬
ِ
242. “Tidak ada yang dapat melepaskanmu dari sifat (burukmu), kecuali dengan
menyaksikan sifat (Tuhanmu).”
Hikmah Ke-243

ِ ‫ َوت َ ْشغ ُ ُُل ُح ُق ْو ُق‬, ‫هللا تَ َع َاَل َع ْن َأ ْن يَ ُك ْو َن ِل َن ْف ِس ِه َشا ِك ًرا‬


‫هللا َع ْن َأ ْن‬ ِ ‫امل ُ ْؤ ِم ُن ي َْشغ ُ ُُل الثَّنَا ُء عَ ََل‬
‫يَ ُك ْو َن ِل ُح ُظ ْو ِظ ِه َذا ِك ًرا‬
243. Seseorang mukmin adalah orang yang disibukan dengan memuja Allah, sehingga ia
tidak sempat untuk memuji dirinya sendiri. Dan ia sibuk menunaikan hak-hak Allah
(kewajiban) sehingga ia lupa akan porsi untuk dirinya sendiri.

104
Hikmah Ke-244

‫فَا َّن الْ ُم ِح َّب َم ْن ي َ ْب ُذ ُل‬. ‫لَيْ َس الْ ُم ِح مب َّ ِالى يَ ْر ُجو ِم ْن َم ْح ُب ْو ِب ِه ِع َوضً ا َأ ْو ي َ ْطلُ ُب ِمنْ ُه َع َرضً ا‬
ِ
‫لَيْ َس الْ ُم ِح مب َم ْن تَ ْب ُذ ُل َ ُِل‬. ‫َ َل‬
244. “Seorang pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya,
atau mengharapkan pemberian darinya. Tapi sejatinya, seorang pecinta adalah orang
yang memberi kepadamu, bukan orang yang kau beri.”
Hikmah Ke-245

‫ا ْذ َل َم َسافَ َة ب َ ْينَ َك َوب َ ْينَ ُه َح َّىت ت َْط ِوْيْ َا ِر ْحلَ ُت َك‬. ‫السائِ ِرْي َن‬
َّ ‫لَ ْو َل َم َيا ِد ْي ُن النم ُف ْو ِس َما َ َحتقَّ َق َس ْ ُْي‬
ِ
‫َو َل قَ ْط َع َة بَيْنَ َك َوبَيْنَ ُه َح َّىت تَ ْم ُح ْوهَا ُو ْصلَ ُت َك‬
245. “Seandainya tak ada lapangan nafsu, tentu perjalanan sāirīn (para pejalan menuju
Allah) tidak akan nyata. Karena tiidak ada jarak antara dirimu dan dirinya hingga kau
memanjangkan perjalananmu, dan tidak ada keterputusan antara dirimu dan dirinya
hingga ia menghapus wushūl mu.”
Hikmah Ke-246
‫ َو َأن ََّك‬, ‫كل ِِف الْ َعالَ ِم الْ ُم َت َو دِسطِ ب َ ْ َي ُملْ ِك ِه َو َملَ ُك ْوتِ ِه ِل ُي ْع ِل َم َك َج ََّل َ ََل قَدْ ِركَ ب َ ْ َي َمخْ لُ ْوقَاتِ ِه‬
َ َ ‫َج َع‬
‫َج ْوه ََر ٌة تَ ْن َط ِوى عَلَ ْي َك َأ ْصدَ ُاف ُم َك َّونَ تِ ِه‬
246. Allah menempatkanmu di alam pertengahan, antara alam mulki-Nya dan malakut-
Nya untuk mengabarkan mulianya kedudukanmu di antara makhluk-Nya dan bahwa
kau adalah permata yang dibungkus kulit-kulit alam ciptaan-Nya.
Hikmah Ke-247
‫ َولَ ْم ي ََس ْع َك ِم ْن َح ْي ُث ثُ ُب ْو ِت ُر ْو َحا ِني َّ ِت َك‬, ‫ان َّ َما َو ِس َع َك الْ َك ْو ُن ِم ْن َح ْي ُث ِج ْس َما ِني َّ ِت َك‬
247. “Alam mampu memuat isi jismanimu dan tidak dapat memuat isi keteguhan
ِ
ruhanimu.”
Hikmah Ke-248

ِ َ ‫ َو َم ْح ُص ْو ٌر ِ ْف َه ْي‬،‫ َم ْس ُج ْو ٌن ِب ُم ِح ْي َطاتِ ِه‬،‫الاكئِ ُن ِف الْ َك ْو ِن َولَ ْم تُ ْفتَ ْح َ ُِل َم َيا ِد ْي ُن الْ ُغ ُي ْو ِب‬
‫ك َذاتِ ِه‬ َ
248. “Orang yang berada di alam ini dan tidak dibukakan wilayah kegaiban untuknya
adalah orang yang dipenjara alam dan dibatasi kerangka zat.”
Hikmah Ke-249
.‫فَا َذا َشهِدْ تَ ُه ََكن َِت ْاْلَ ْك َو ُان َم َع َك‬. ‫َأن َْت َم َع ْاْلَ ْك َو ِان َما لَ ْم ت َ ْشهَ ِد الْ ُم َك د ِو َن‬
249. “Engkau bersama makhluk, selama kau belum mampu menyaksikan yang
ِ
menciptakan. Jika kau telah menyaksikan Dia maka seluruh ciptaan bersamamu.”

105
Hikmah Ke-250

‫ْش ِاق َ ُْش ِس‬ ِ َ َ‫َل يَلْ َز ُم ِم ْن ثُ ُب ْو ِت الْخ ُُص ْو ِص َّي ِة عَدَ ُم َو ْص ِف الْب‬
َ ْ ‫ان َّ َما َمث َ ُل الْخ ُُص ْو ِص َّي ِة ََك‬. ‫رشي َّ ِة‬
ِ ِ
‫ َوَتَ َر ًة‬, َ‫رش ُق ُ ُُش ْو ُس َأ ْو َصا ِف ِه عَ ََل لَ ْي ِل ُو ُج ْو ِدك‬ ُ ْ َ ‫َتَ َر ًة ت‬. ‫ َظه ََر ْت ِف ْ ُاْلفُ ِق َولَي َْس ْت ِمنْ ُه‬. ‫الْنَّ َا ِر‬
‫ َولَ ِكن َّ ُه َوا ِر ٌد عَلَ ْي َك‬, ‫ فَالْنَّ َ ُار لَيْ َس ِمنْ َك َوالَ ْي َك‬. َ‫ي َ ْقب ُِض َذ ِ َل َع ْن َك فَ َ ُْيدمكَ ا ََل ُحدُ ْو ِدك‬
ِ
250. “Diperolehnya keistimewaan itu tidak mesti harus menghilangkan sifat kemanusian.
ِ
Sesungguhnya keistimewaan itu laksana pancaran cahaya matahari di siang yang terbit
di ufuk namun bukan bagian darinya. Terkadang mentari sifat-sifat-Nya terbit
menyelimuti malam wujudmu. Dan terkadang Dia menariknya darimu lalu
mengembalikannya pada keterbatasanmu. Sesungguhnya siang tidak berasal darimu
dan untukmu tetapi datang kepadamu.”
Hikmah Ke-251

‫ َو ِبث ُ ُب ْو ِت َأ ْو َصا ِف ِه عَ ََل‬،‫ َوب ُِو ُج ْو ِد َأ ْ َسائِ ِه عَ ََل ثُ ُب ْو ِت َأ ْو َصا ِف ِه‬،‫َد َّل ب ُِو ُج ْو ِد أ ْ َث ِر ِه عَ ََل ُو ُج ْو ِد َأ ْ َسائِ ِه‬
‫ فَأَ ْر َِب ُب الْ َج ْذ ِب يَ ْك ِش ُف لَهُ ْم َع ْن َ َمَكلِ َذاتِ ِه‬.‫ ا ْذ ُم َحا ٌل َأ ْن ي َ ُق ْو َم الْ َو ْص ُف ِب َن ْف ِس ِه‬،‫ُو ُج ْو ِد َذاتِ ِه‬
ِ
ُ ِ
‫السالك ْو َن‬ َّ ‫ َو‬.‫ُ َُّث يَ ُرد ُ ْمُه ِا ََل ُشه ُْود ص َفاته َُّث ُي ْر ِج ُعهُ ْم اَل التَّ َعل ِق ِبأَ ْ َسائه َُّث يَ ُرد ْمُه ِاَل ُشه ُْود أ ْ َث ِره‬
ِ ِ َ ُ ُ ِ ِ ‫م‬ َ ِ ُ ِ ِ ِ ِ
.‫السا ِل ِك ْ َي هنِ َاي َ ُة الْ َم ْج ُذ ْوب ْ َِي‬َّ ‫ َو بِدَ اي َ ُة‬،‫السا ِل ِك ْ َي بِدَ اي َ ُة الْ َم ْج ُذ ْوب ْ َِي‬
َّ ‫ فَْنِ َاي َ ُة‬.‫عَ ََل َع ْك ِس َذ ِ َل‬
َّ ‫ فَ ُرب َّ َما ِالْتَقَ َاَي ِف‬،‫لَ ِك ْن َل ِب َم ْع َىن َوا ِح ٍد‬
.‫ َو َه َذا ِ ْف تَدَ ِل د ْي ِه‬،‫ َه َذا ِ ْف تَ َرِقد ْي ِه‬.‫الط ِريْ ِق‬
251. “Dia menunjukan keberadaan nama-nama-Nya melalui ciptaan-Nya, menunjukkan
ketetapan sifat-sifat-Nya melalui keberadaan-Nya, menunjukkan keberadaan zat-Nya
melalui ketetapan sifa-sifat-Nya; karena mustahil sifat berdiri sendiri. Pada Ahli Jadzb
(orang yang tertarik kepada Allah) Dia menyingkapkan kesempurnaan zat-Nya.
Kemudian mengembalikan mereka pada penyaksian sifat-Nya, kemudian
mengembalikan mereka pada ketergantungan dengan nama-nama-Nya, lalu
mengembalikan mereka pada penyaksian ciptaan-Nya. Sedangkan proses orang-orang
sālik adalah kebalikannya. Jadi, puncak pencapaian para sālik adalah permulaan bagi
para majdzūb dan permulaan para sālik adalah pencapaian bagi para majdzūb. Tetapi
tidak dengan satu makna. Kadang-kadang keduanya bertemu di jalan. Yang satu sedang
menaik dan yang lain sedang menurun.”
Hikmah Ke-252

‫الس َما ِء ا َّل ِ ْف‬


َّ ‫رس ِار ا َّل ِ ْف غَ ْي ِب الْ َملَ ُك ْو ِت َ َمَك َل ت َْظه َُر َأن َْو ُار‬
َ ْ ‫َل يُ ْع َ ُل قَدْ ُر َأن َْو ِار الْ ُقلُ ْو ِب َو ْا َْل‬
ِ ِ
ِ ْ ‫َشهَا َد ِة الْ ُم‬
‫كل‬
252. “Kadar cahaya hati dan rahasia tidak bisa diketahui kecuali dalam kegaiban
malakut. Seperti tidak tampaknya cahaya langit kecuali pada alam mulki.”

106
Hikmah Ke-253

‫ات عَ ِاج ًَّل بَشَ ائِ ُر الْ َعا ِم ِل ْ َي ب ُِو ُج ْو ِد الْ َج َزا ِء أ ْ ِج ًَّل‬
ِ َ‫الطاع‬
َّ ‫ِو ْجدَ ُان ثَ َم َر ِات‬
253. “Buah ketaatan di dunia adalah kabar gembira bagi orang yang beramal berupa
pahala akhirat.”
Hikmah Ke-254

‫ َأ ْم َك ْي َف ت َْطلُ ُب الْ َج َزا َء عَ ََل ِصدْ ٍق‬. ‫َك ْي َف ت َْطلُ ُب الْ ِع َو َض عَ ََل َ ََع ٍل ه َُو ُمتَ َص دِد ٌق ِب ِه عَلَ ْي َك‬
‫ه َُو ُمهْ ِديْ ِه الَ ْي َك‬
254. “Bagaimana kau meminta ganti atas amal, padahal Dialah yang menyedekahkannya
ِ
kepadamu. Atau bagaimana kamu meminta balasan atas sebuah kebaikan padahal
Dialah yang menghadiahkannya ke padamu.”
Hikmah Ke-255
‫ َوقَ ْو ٌم ت َ ْس ب ُِق َأ ْذ ََك ُر ُ ُْه َأن َْو َار ُ ُْه َوقَ ْو ٌم تَت َ َس َاوى َأ ْذ ََك ُر ُ ُْه و َأن َْو ُار ُ ُْه‬،‫قَ ْو ٌم ت َ ْس ب ُِق َأن َْو ُار ُ ُْه َأ ْذ ََك َر ُ ُْه‬
‫ َو َذا ِك ٌر‬،‫ َذا ِك ٌر َذ َك َر ِليَ ْس َت ِن ْ َْي ِب ِه قَلْ ُب ُه فَ َاك َن َذا ِك ًرا‬،‫هللا ِم ْن َذ ِ َل‬ ِ ‫َوقَ ْو ٌم َل َأ ْذ ََك َر َو َل َان َْو َار ن َ ُع ْو ُذ ِِب‬
‫ َو َّ ِال ْي ْاس َت َو ْت َأ ْذ ََك ُر ُه َو َأن َْو ُار َه فَ ِب ِذ ْك ِر ِه ْيَ َت ِدى َو ِب ُن ْو ِر ِه ي َ ْق َت ِدى‬،‫ا ْستَنَ َار قَلْ ُب ُه فَ َاك َن َذا ِك ًرا‬
255. ada satu kelompok (majdzūbun/murādūn) yang zikirnya mendahului cahayanya, ada
ِ
kelompok (murīdūn/sālikūn) yang cahayanya mendahului zikirnya, ada kelompok (yang
cahayanya bersama dengan dzikirnya dan ada pula kelompok yang tanpa dzikir dan
tanpa cahaya. Dan kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Orang yang
berdzikir untuk menerangi hatinya dan yang hatinya telah mendapat cahaya sehingga ia
menjadi orang yang terus berzikir.”
Hikmah Ke-256

‫َما ََك َن َظا ِه ُر ِذ ْك ٍر ا َّل َع ْن َِب ِط ِن ُشه ُْو ٍد َو ِف ْك ٍر‬


256. “Tidak ada yang menampakkan dzikir kecuali dari batin penyaksian dan berpikir.”
ِ
Hikmah Ke-257

َّ ‫َأ ْشهَدَ كَ ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن ي َْست َ ْشهَدَ كَ فَنَ َطقَ ْت ِِبلَ ِه َّيتِ ِه‬


َ َّ ‫الظ َوا ِه ُر َو َ َحتقَّقَ ْت ِبأَ َح ِديَّتِ ِه الْ ُقلُ ْو ُب َو‬
‫الَّسائِ ُر‬
257. “Allah telah mempersaksikanmu sebelum Dia memintamu bersaksi. Maka
ِ
kemudian kau mengucapkan ketuhanan lahir. Sedangkan hati dan rahasia (sirr)
membuktikan keesaan-Nya.
Hikmah Ke-258

،‫كل َذا ِك ًرا َ ُِل َولَ ْو َل فَضْ ُ ُل لَ ْم تَ ُك ْن َأه ًَّْل ِلـ َج َر ََي ِن ِذ ْك ِر ِه عَلَ ْي َك‬ َ َ ‫ َج َع‬:‫ات ثَ ََّل ٍث‬ ٍ ‫َأ ْك َر َم َك ِب َك َرا َم‬
‫كل َم ْذ ُك ْو ًرا ِع ْندَ ُه فَ َت َّم َم ِن ْع َم َت ُه عَلَ ْي َك‬
َ َ ‫ َو َج َع‬،‫كل َم ْذ ُك ْو ًرا ِب ِه ا ْذ َحقَّ َق ِن ْسبَ َت ُه َ َدليْ َك‬
َ َ ‫َو َج َع‬
ِ
107
258. “Allah memuliakanmu dengan tiga kemuliaan: Dia menjadikanmu orang yang
berzikir. Seandainya bukan karena kemuliaan dan karunia-Nya, kau tidak akan
termasuk golongan orang yang terus-terusan berzikir. Dan Dia menjadikanmu orang
yang disebutkan di sisi-Nya ketika kau berzikir kepada-Nya. Dan Dia menjadikanmu
orang yang disebutkan di sisi-Nya sehingga Dia menyempurnakan nikmat-Nya
kepadamu.”
Hikmah Ke-259

.‫ َو ُر َّب ُ َُع ٍر قَ ِل ْي َ ٌةل َأ َما ِد ِه َكثِ ْ َْي ٌة َأ ْمدَ ا ُد ُه‬،‫ُر َّب ُ َُع ٍر ات َّ َس َع ْت أ ْ َما ُد ُه َوقَل َّ ْت َأ ْمدَ ا ُد ُه‬
259. “Betapa banyak usia yang panjang masanya tetapi sedikit manfaatnya. Dan betapa
banyak umur yang pendek masanya tetapi banyak manfaatnya.”
Hikmah Ke-260
‫هللا تَ َع َاَل َما َل يَدْ ُخ ُل َ ْحت َت د ََوائِ ِر الْ ِع َب َار ِة‬
ِ ‫َم ْن بُ ْو ِركَ َ ُِل ِ ْف ُ َْع ِر ِه َأد َْركَ ِ ْف ي َِس ْ ٍْي ِم َن َّالز َم ِن ِم ْن ِم َ َِن‬
.‫َو َل تَلْ َح ُق ُه ْال َش َار ِة‬
261. “Barangsiapa yang diberkahi umurnya, maka dalam waktu yang singkat ia pasti
ِ
mendapatkan anugerah dari Allah, sebuah anugerah yang sulit diungkapkan dengan
kata-kata dan sulit digambarkan dengan isyarah.”
Hikmah Ke-261

‫ َوتَ ِق َّل َع َوائِ ُق َك ُ َُّث َل تَ ْر َح ُل‬،‫الش َوا ِغ ِل ُ َُّث َل تَتَ َو َّج ُه الَ ْي ِه‬
َّ ‫لك الْ ِخ ْذ َل ِن َأ ْن تَتَ َف َّر َغ ِم َن‬
َّ ُ ‫ا ِخل ْذ َل ُن‬
ِ
‫الَ ْي ِه‬
261. “Kesialan terbesar adalah ketika kau kosong dari kesibukan tetapi kemudian tidak
ِ
menghadap kepada-Nya. Dan di saat kau menghadapi sedikit rintangan, tetapi kau tidak
berangkat menuju-Nya.”
Hikmah Ke-262

‫ال ِف ْك َر ُة َس ْ ُْي الْقَلْ ِب ِ ْف َم َيا ِد ْي ِن ْا َْل ْغ َيا ِر‬


262. “Bepikir adalah perjalanan hati dalam wilayah makhluk”
Hikmah Ke-263

‫ فَا َذا َذ َه َب ْت فَ ََّل اضَ َاء َة َ ُِل‬.‫رس ُاج الْقَلْ ِب‬


َ ِ ‫ال ِف ْك َر ُة‬
ِ ِ
263. “Pikiran adalah cahaya hati. Maka apabila pikiran hilang maka tidak ada lagi
cahaya bagi hati.”
Hikmah Ke-264

،‫اْل ْو ََل ِ َْل ْر َِب ِب ْ ِال ْعتِ َبا ِر‬


ُ ْ َ‫ ف‬.‫ ِف ْك َر ُة ت َْص ِديْ ٍق َوايْ َم ٍان َو ِف ْك َر ُة ُشه ُْو ٍد َو ِع َي ٍان‬:‫ال ِف ْك َر ُة ِف ْك َرَتَ ِن‬
ِ
‫الشه ُْو ِد َو ْ ِال ْس ِت ْب َصا ِر‬
‫َوالث ِ َّْاين ِ َْل ْر َِب ِب م‬

108
264. “Berpikir ada dua: berpikir dengan membenarkan dan mengimani, serta berpikir
dengan menyaksikan dan melihat. Berpikir yang pertama dilakukan para ahli ta’bir
(para pemilik ungkapan). Dan berpikir yang kedua dilakukan ahli penyaksian dan
pemilik pandangan batin.”
Hikmah Ke-265

‫ َأ َّما ب َ ْعدُ فَ ِا َّن الْبِدَ َاَي ِت َم َح ََّّل ُت ِ دالْنَ َاَي ِت‬.‫هللا َع ْن ُه ِم َّما َكتَ َب ِب ِه ِل َب ْع ِض ِاخ َْوا ِن ِه‬
ُ ‫يض‬َ ِ ‫َوقَا َل َر‬
265. “Berkata Ibn Atha’illah dalam surat yang ditulis untuk kawan-kawannya: Amma
ba’du: Sesungguhnya langkah awal adalah cermin keadaan akhir”
Hikmah Ke-266
‫َوا َّن َم ْن ََكن َْت ِِب ِهلل بِدَ اي َ ُت ُه ََكن َْت إالَ ْي ِه هنِ َاي َ ُت ُه‬
267. Barang siapa di awal perjalanannya bersama Allah maka di akhir perjalanan ia
ِ
akan berujung kepada Allah.
Hikmah Ke-267
‫َوالْ ُم ْش َت ِغ ُل ِب ِه ه َُو َّ ِال ْي أ َْح َب ْب ُت ُه َو َس َار َع ْت الَ ْي ِه َوالْ ُم ْش َت ِغ ُل َع ْن ُه ه َُو الْ ُم َؤ ِثد ُر عَلَ ْي ِه‬
ِ
267. “Mustaghal bih (sesuatu yang kau sibuk dengannya) adalah yang kau cintai dan kau
bersegera menujunya. Sedangkan musytaghal ‘anhu (sesuatu yang kau abaikan) adalah
apa pun yang tidak berarti bagimu.”
Hikmah Ke-268

‫لك عَلَ ْي ِه‬ ِ ‫ َو َم ْن عَ ِ َل َأ َّن ْا ُْل ُم ْو َر ِب َي ِد‬،‫الطلَ ُب الَ ْي ِه‬


ِ ‫هللا ِا ْ َْن َم َع ِِبلتَّ َو م‬ َّ ‫هللا ي َ ْطلُ ُب ُه َصدَ َق‬
َ ‫َو َأ َّن َم ْن َأيْقَ َن‬
268. “Barang siapa meyakini bahwa Allah memintanya maka benarlah pencariannya.
ِ
Dan barang siapa mengetahui bahwa semua urusan ada dalam kuasa-Nya maka
sepenuhnya ia akan tawakul kepada-Nya.”
Hikmah Ke-269

‫َو َأن َّ ُه َلبُ َّد ِل ِبنَا ِء َه َذا الْ ُو ُج ْو ِد َأ ْن تَْنْ َ ِد َم َدعَائِ َم ُه َو َأ ْن ت َ ْسلُ َب َك َرائِ َم ُه‬
269. “Dan bangunan yang ada ini pasti roboh penyangganya dan kemuliannya dicabut
kembali.
Hikmah Ke-270

َ ْ ‫ َأفْ َر َح ِمنْ ُه ِب َما يُ ْف ِ ْن قَدْ َأ‬. ‫فَالْ َعا ِق ُل َم ْن ََك َن ِب َما ه َُو َأبْقَى‬
‫ْش َق ن ُْو ُر ُه َو َظه ََر ْت تَ َب ِاش ْ ُْي ُه‬
270. “Maka orang yang berakal adalah orang yang lebih gembira dengan sesuatu yang
melanggengkan daripada dengan sesuatu yang memusnahkan. Sungguh memancar
cahayanya dan tampak jelas kabar baginya.”
Hikmah Ke-271

‫ فَ َ ْل يَتَّ ِخ ْذهَا َو َطنًا َو َل َج َعلَهَا َس َكنًا‬.‫رص ُف َع ْن َه ِذ ِه ا َّدل ِار ُمغ ِدَض ًيا َو َأع َْر َض َعْنْ َا ُم َو ِل د ًيا‬
ْ َ َ‫ف‬

109
271. “Maka dia (‘āqil) berpaling dari dunia dengan memejamkan mata dan
menghindarinya dengan membelakanginya. Maka dia (‘āqil) tidak menjadikan dunia
sebagai tanah air dan tidak pula membuatnya sebagai tempat tinggal.
Hikmah Ke-272
ِ ‫ب َ ْل َأهنْ َ َض الْهِ َّم َة ِفْيْ َا ا ََل‬
‫هللا تَ َع َاَل َو َس َار ِفْيْ َا ُم ْس َت ِع ْينًا ِب ِه ِف الْ ُقدُ ْو ِم عَلَ ْي ِه‬
272. “Tapi dia membangkitkan cita-citanya di dunia hanya untuk Allah. Dan dia berjalan
ِ
di muka bumi dengan memohon pertolongan Allah seraya menghadap kepada-Nya.”
Hikmah Ke-273

‫ض ِة الْ ُقدْ ِس َوب َِس ِاط‬ َ ْ ‫فَ َما َزالَ ْت َم ِط َّي ُة َع ْز ِم ِه َل ي َ ِق مر قَ َر ُارهَا دَائِ ًما تِ ْس َي ُارهَا ا ََل َأ ْن َأنَ خ َْت ِ َِب‬
ِ
‫ض ُة‬ ْ ِ َ ْ ْ
َ ْ ‫اْج ِة َوالْ ُم َجالَ َس ِة َوالْ ُم َحا َدثَ ِة َوال ُمشَ اهَدَ ِة َوال ُم َطال َعة فَ َص َار ِت ال َح‬
َ َ ‫احت ِة َوالْ ُم َو‬
َ َ ‫ْا ُْلن ْ ِس َم َح مل الْ ُم َف‬
‫ُم َع ِ دش َش قُلُ ْوهبِ ِ ْم الَْيْ َا يَأ ُو ْو َن َو ِفْيْ َا ي َْس ُكنُ ْو َن‬
273. “Ia tunggangi ketetapan hatinya sebagai kendaraan dan sekali pun tak pernah
ِ
berhenti, sehingga ruh turun di hadirat kesucian dan hamparan keintiman di tempat
saling membuka (mukāsyafah), saling menemani (mujālasah), berdialog (muhādastah),
saling menyaksikan (musyāhadah), dan saling memperhatikan (muthāla’ah). Maka
hadirat Allah menjadi tempat bersarang hati mereka, ke sanalah mereka berlindung dan
di sanalah mereka menetap”
Hikmah Ke-274
‫فَا َذا نَ َزلُ ْوا ا ََل َ َسا ِء الْ ُح ُق ْو ِق َأ ْو َأ ْر ِض الْ ُح ُظ ْو ِظ فَ ِب ْال ْذ ِن َوالتَّ ْم ِك ْ ِي َو مالر ُس ْو ِخ ِف الْ َي ِق ْ ِي فَ َ ْل ي َ ْ ِْنلُوا‬
ِ ِ ِ
ِ‫َاب َوالْغَ ْف َ ِةل َو َل ا ََل الْ ُح ُظ ْو ِظ ِِب َّلشه َْو ِة َوالْ ُم ْت َع ِة ب َ ْل َد َخلُ ْوا ِ ْف َذ ِ َل ِِبهلل‬ َ ْ ِ
ِ ‫اَل ال ُح ُق ْو ِق ب ُِس ْوء اْلد‬ ْ َ
ِ ِ
ِ‫هللا َوا ََل هللا‬ ِ ‫َو ِهلل َو ِم َن‬
274. Jika mereka turun menuju langit hak atau ke bumi hasrat, maka mereka turun atas
ِ
izin dan setelah keyakinannya kokoh. Maka mereka tidak turun pada berbagai
kewajiban dengan akhlak jelek dan kelalaian. Mereka tidak turun kepada bagian-bagian
dunia dengan syahwat dan kesenangan. Tetapi mereka masuk ke dalam semua itu
dengan Allah, karena Allah, dari Allah, dan kepada Allah.”
Hikmah Ke-275
‫َوقُ ْل َر ِ دّب َأ ْد ِخلْ ِىن ُمدْ َخ َل ِصدْ ٍق َو َأ ْخ ِر ْج ِىن ُمخ َْر َج ِصدْ ٍق ِل َي ُك ْو َن ن ََظ ِر ْى ِا ََل َح ْو ِ َل َوقُ َّوتِ َك‬
‫ِا َذا َأ ْد َخلْ َت ِىن َو ْاس ِت ْس ََّل ِمى َوانْ ِق َيا ِدى ِالَ ْي َك ِا َذا َأخ َْر ْج َت ِىن َوا ْج َع ْل ِ ْيل ِم ْن َ ُدلن َْك ُسلْ َطانً ن َِص ْ ًْيا‬
ْ ‫ِس َويُ ْف ِن ْي ِ ْن َع ْن دَائِ َر ِة ِح ِ د‬
‫ِس‬ ْ ِ ‫رص ِ ْين عَ ََل ُشه ُْو ِد ن َ ْف‬ ُ ُ ‫رص ِ ِْب َو َل ي َ ْن‬
ُ ُ ‫رص عَ َ َِّل ي َ ْن‬ ُ ُ ‫رص ِ ْين َوي َ ْن‬
ُ ُ ‫ي َ ْن‬
276. “Dan katakanlah, Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan
keluarkan aku di tempat keluar yang benar. Agar penglihatanku tertuju kepada daya
dan kekuatan-Mu ketika kau memasukanku, dan kepatuhanku hanya untuk-Mu ketika

110
kau mengeluarkanku. Dan berikan pula kepadaku dari sisi-Mu kekuatan yang
menolong, yang membelaku, yang menolong denganku, dan kekuasaan yang tidak
menjatuhkanku. (kekuasaan) yang membantuku menyaksikan nafsuku, dan (kekuasaan
yang) melenyapkanku dari kuasa indrawi.”
Hikmah Ke-276

‫يض َأن َّ ُه َل بُ َّد ِم ْن ُش ْك ِر‬ ِ َّ َ‫هللا َوا ِح ٌد ِ ْف ِمنَّتِ ِه ف‬


ْ ِ َ‫الرشيْ َع ُة تَ ْقت‬ َ ‫ا ْن ََكن َْت عَ ْ ُي الْقَلْ ِب تَ ْن ُظ ُر ا ََل َأ َّن‬
ِ ِ
ِ‫َخ ِل ْيقَ ِته‬
276. “Jika mata hati melihat bahwa Allah Satu dalam anugerah-Nya maka syari’at
menuntut keharusan syukur kepada makhluk-Nya
Hikmah Ke-277

‫ غَا ِف ٌل ُمْنْ َ ِم ٌك ِ ْف غَ ْفلَتِ ِه قَ ِوي َ ْت دَائِ َر ُة ِح ِ دس ِه َو ِان َْط َم َس ْت‬:‫َو َأ َّن النَّ َاس ِ ْف َذ ِ َل عَ ََل ثَ ََّلثَ ِة َأ ْق َسا ٍم‬
ْ ِ َ‫ فَنَ َظ ُر ْال ْح َس ِان ِم َن الْ َمخْ لُ ْو ِق ْ َي َولَ ْم ي َْشهَدْ ُه ِم ْن َر ِ دب الْ َعالَ ِم ْ َي ا َّما ِا ْعتِقَادًا ف‬.‫ض ُة قُدْ ِس ِه‬
‫رش ُك ُه‬ َ ْ ‫َح‬
ِ ِ
ِ‫رش ُك ُه َخفي‬ْ ِ َ‫ َوا َّما ِا ْس ِتنَادًا ف‬،‫َج ِِل‬
277. “Sesungguhnya dalam hal itu manusia terbagi ke dalam tiga golongan. Orang yang
ِ
lalai dan binasa dalam kelalaiannya menguatkan bagian indrawinya sehingga ia melihat
kebaikan datang dari makhluk dan tidak menyksikannya turun dari Allah. Jika itu
berupa keyakinan maka ia telah melakukan syirik yang nyata. Dan jika hanya
penyandaran maka ia telah melakukan syirik yang samar.”
Hikmah Ke-278

‫كل الْ َح د ِق َوفَ ِ َن َع ِن ْ َاْل ْس َب ِاب ب ُِشه ُْو ِد ُم َس ِبد ِب‬


ِ ِ ‫اب َع ِن الْ َخلْ ِق ب ُِشه ُْو ِد الْ َم‬ َ َ‫َو َصا ِح ُب َح ِق ْيقَ ٍة غ‬
ٌ ِ ‫ َس‬.‫ا َْل ْس َب ِاب فَه َُو َع ْب ٌد ُم َو ِاج ٌه ِِبلْ َح ِق ْيقَ ِة َظا ِه ٌر عَلَ ْي ِه ِس نَاهَا‬
‫ال لِ َّلط ِريْقَ ِة قَدْ ِا ْس تَ ْو ََل عَ ََل‬
ْ َ ‫ َوقَدْ غَلَ َب َس ْك ُر ُه عَ ََل‬،‫ غَ ْ َْي َأن َّ ُه غَ ِريْ ُق ا َْلن َْوا ِر َم ْط ُم ْو ُس اْلْ َث ِر‬،‫َمدَ اهَا‬
‫ َو َ ْمج ُع ُه عَ ََل‬،‫ُص ِو ِه‬
‫ َوفَنَا ُؤ ُه عَ ََل بَقَائِ ِه َوغَ ْيبَتُ ُه عَ ََل ُحضُ ْو ِر ِه‬،‫فَ ْرِق ِه‬
280. Ahli hakikat, lenyap dari makhluk dengan menyaksikan Raja yang Haq. Dia juga
fana’ (lebur diri) dari menyaksikan pembuatan sebab. Itulah hamba yang menghadap
dengan hakikat, tampak jelas cahaya hakikat padanya. Ia telah menempuh tarekat
(jalan) dan ia telah menguasai penghujungnya. Hanya saja ia tenggelam dalam cahaya,
terputus dari makhluk, mabuknya mengalahkan kesadarannya, ketergabungannya
mengalahkan keterpisahannya, fana’nya mengalahkan baqa’nya, serta lenyap
mengalahkan hadirnya.

111
Hikmah Ke-279
‫اب فَ ْازدَا َد ُحضُ ْو ًرا فَ ََّل َ ْمج ُع ُه َ َْي ِج ُب ُه َع ْن َ ْمج ِع ِه َو َل‬ َ َ‫ُص ًوا َوغ‬ ْ َ ‫ْش ٌب فَ ْازدَا َد‬ ِ َ ‫َو َأ َْكَ ُل ِمنْ ُه َع ْب ٌد‬
‫لك ِذ ْي‬‫لك ِذ ْي ِق ْسطٍ ِق ْس َط ُه َويُ َو ِ د ْف ُ م‬ ‫فَنَا ُؤ ُه ي َ ُص مد ُه َع ْن بَقَائِ ِه َو َل بَقَا ُؤ ُه ي َ ُص مد ُه َع ْن فَنَائِ ِه يُ ْع ِط ْي ُ ِ د‬
‫َح د ٍق َحقَّ ُه‬
279. “Dan yang lebih sempurna adalah hamba yang minum dan bertambah sadar serta
lenyap dan bertambah hadir. Ketergabungan tidak menghalangi dari keterpisahan, dan
keterpisahan tidak menghalanginya dari ketergabungan. Juga fana’nya tidak
menghalanginya dari baqa’ dan baqa’nya tidak menghalanginya dari fana’. Dia
memberikan pada setiap bagian haknya dan memenuhi hak kepada yang berhak.

Hikmah Ke-280

‫هللا َعْنْ َا لَ َّما نَ َزلَ ْت بَ َرا َءهتُ َا ِم َن ْالفْ ِك‬


ُ ‫يض‬ َ ِ ‫هللا َع ْن ُه ِل َعائِشَ َة َر‬ُ ‫يض‬ ِ ‫َوقَدْ قَا َل َأبُ ْو بَ ْك ٍر د‬
َ ِ ‫الص دِديْ ِق َر‬
ِ‫هللا ِعَلَ ْيه‬
ُ ‫هللا َص ََّل‬ ِ ‫ ََي عَائِشَ َة ُا ْش ُك ِر ْي َر ُس ْو َل‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ َل‬ ُ ‫هللا َص ََّل‬ ِ ِ‫عَ ََل ِل َس ِان َر ُس ْول‬
‫هللا َل َا ْش ُك ُر ا َّل هللا؛ َدلَّهَا َأبُ ْو بَ ْك ٍرعَ ََل الْ َمقَا ِم ْاْلَ َْكَ ِل َمقَا َم الْ َبقَا ِء الْ ُم ْق َت َض‬ ِ ‫ َو‬:‫ فَقَالَ ْت‬.‫َو َس َّ َل‬
ِ
َ‫ل‬: ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ َل‬ َّ َ ِ ُ
ُ ‫ َأ ِن ْاشك ْر ِ ْيل َول َو ِ َادليْ َك َوقَال َصَل‬:‫هللا تَ َعاَل‬ َ ُ ‫ات ْاْلْ َث ِر َوقَدْ قَا َل‬ ِ ‫ِلثْ َب‬
ِ
ً‫ِه ِ ْف َذ ِ َل الْ َو ْق ِت ُم ْص َط ِل َم ًة َع ْن َشا ِه ِدهَا غَائِ َبة‬ َِ ‫ َو ََكن َْت‬،‫هللا َم ْن َل ي َْش ُك ِر النَّ َاس‬ َ ‫ي َْشك ِر‬ ُ
.‫َع ِن ْاْلْ َث ِر فَ َ ْل ت َ ْشهَدْ ا َّل الْ َوا ِح ِد الْقَهَّا ِر‬
280. “Abu Bakar As-Shiddiq berkata kepada Aisyah r.a. ketika turun ayat melalui lisan
ِ
Rasulullah SAW. yang membebaskannya dari tuduhan kebohongan: ‘wahai Aisyah,
berterima kasihlah kepada Rasulullah SAW.’ Siti Aisyah menjawab, ‘Demi Allah aku
tidak berterima kasih kecuali kepada Allah’. Kemudian Abu Bakar menunjukkan
kepadanya tingkat kedudukan yang lebih sempurna yaitu baqa’ yang mengakui adanya
makhluk. Sedang Allah telah berfirman: bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang
tuamu. Dan Rasulullah SAW. bersabda: ‘tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang
tidak bersyukur kepada manusia.’ Aisyah pada saat itu tercerabut dari penyaksiannya
pada waktu itu. Lenyap dari makhluk sehingga ia tidak menyaksikan kecuali Yang Maha
Esa dan Maha Memaksa.”
Hikmah Ke-281

ُ ‫ا َّن قُ َّر َة الْ َع ْ ِي ِِب ملشه ُْو ِد عَ ََل قَدْ ِر الْ َم ْع ِرفَ ِة ِِبلْ َم ْشه ُْو ِد فَ َّالر ُس ْو ُل َص ََّل‬
‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ َل لَ ْي َس َم ْع ِرفَ ٌة‬
ِ
ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ َ ِ ِ ْ ِ ِ َ َ
‫َك ْع ِرفَته فَليْ َس قُ َّر ُة عَ ْ ٍي ك ُق َّرته َوان َّ َما قُل َنا ا َّن قُ َّر َة َع ْينِه ِ ْف َصَّلته ب ُِشه ُْوده َجَّل َل َم ْشه ُْوده ِ َْلن َّ ُه‬ِ ِ َ َ
ِ ِ ِ ِ َ َ َِ َ َ َ
‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ََّل ُم ُه َل‬ ِ ‫الص ََّل ِة َولَ ْم ي َ ُق ْل ِِب َّلص ََّل ِة ا ْذ ه َُو َصلَ َو ُات‬ َّ ‫قدْ أ َش َار اَل ذل ِبق ْوِل ف‬
ِ ِ
112
ُ ‫تَ ِق مر َع ْينُ ُه ِبغ ْ َِْي َ ِرب د ِه َو َك ْي َف َوه َُو يَدُ مل عَ ََل هَذ َا الْ َمقَا ِم َوي َأ ُم ُر ِب ِه َم ْن ِس َوا ُه ِبقَ ْو ِ ِِل َصلَ َو ُات‬
‫هللا‬
َ ‫ ُا ْع ُب ِد‬:ُ‫عَلَ ْي ِه َو َسل َّ ُمه‬
‫ فَا ْن قَا َل قَائِ ٌل قَدْ تَ ُك ْو ُن‬،‫هللا َ ََكن ََّك تَ َرا ُه َو ُم َحا ٌل َأ ْن يَ َرا ُه َوي َْشهَدُ َم َع ُه ِس َوا ُه‬
ِ
َ‫هللا فَ َك ْي َف َل ي َ ْف َر ُح هبِ َا َو َك ْي َف ل‬ ِ ‫قُ َّر َة الْ َع ْ ِي ِِب َّلص ََّل ِة ِ َْلهنَّ َا فَضْ ٌل ِم َن‬
ِ ‫هللا َو َِب ِر َز ٌة ِم ْن عَ ْ ِي ِمن َّ ِة‬
‫هللا َو ِب َر ْ َمحتِ ِه فَ ِب َذ ِ َل فَلْ َي ْف َر ُح ْوا ﴿سورة‬
ِ ‫ َوقَدْ قَا َل ُس ْب َحان َ ُه َوتَ َع َاَل قُ ْل ِب َفضْ ِل‬, ‫تَ ُك ْو ُن قُ َّر َة الْ َع ْ ِي هبِ َا‬
‫فَ ِب َذ ِ َل‬: ‫ِس الْ ِخ َط ِاب ا ْذ قَا َل‬ َّ ِ ‫﴾ فَا ْع َ ِِل اِلآي َ َة قَدْ َأو َم َا ْت ِا ََل الْ َج َو ِاب ِل َم ْن تَدَ بَّ َر‬۵۸:‫يونس‬
ِ
ْ
‫فَلْ َي ْف َر ُح ْوا َو َما قَا َل فَ ِب َذ ِ َل فَافْ َر ْح ََي ُم َح َّم ٌد قُ ْل لَهُ ْم فَلْ َي ْف َر ُح ْوا ِِب ْل ْح َس ِان َوالتَّ َفضم ِل َول َيك ْن فَ ْر َح َك‬
ُ
ِ
: ‫َأن َْت ِِبلْ ُم َت َف ِدض ِل َ َمَك قَا َل ِف ْاْلْي َ ِة ْ ُاْلخ َْرى قُ ِل هللا ُ َُّث َذ ْر ُ ُْه ِ ْف خ َْو ِضه ِْم يَل َع ُب ْو َن ﴿سورة ا أِلنعام‬
ْ
﴾۹۱
281. “Sesungguhnya nikmat penyaksian sesuai dengan makrifat yang disaksikan. Tidak
ada makrifat seperti makrifat Rasululla SAW. Maka tidak ada kenikmatan seperti yang
beliau rasakan. Sesungguhnya kami berkata bahwa kenikmatan Rasulullah SAW dalam
shalatnya adalah dengan penyaksiannya terhadap keagungan yang disaksikan, karena
beliau berkata ‘dalam shalat’ bukan dengan shalat. Karena Rasulullah SAW. tidak
merasa nikmat selain dengan Allah. Bagaimana hal itu menunjukan pada maqām ini?
Sementara Rasulullah memerintahkan ihsan kepada umatnya, (sebagaimana sabdanya)
‘sembahlah Allah seolah-olah kau melihat Allah. Dan tidak mungkin dia melihat-Nya
juga menyaksikan selain-Nya bersama-Nya. Maka apabila seseorang bertanya:
‘kenikmatan itu kadang-kadang terjadi dengan shalat, karena shalat merupakan
karunia dari Allah dan bersumber dari keutamaan-Nya. Maka bagaimana bisa
seseorang bergembira dengan shalat dan bagaimana tidak merasa nikmat dengannya
padahal Allah berfirman: ‘hendaklah dengan itu mereka gembira’. Maka ketahuilah
bahwa dalam ayat itu juga telah ada isyarat untuk jawaban terhadap pertanyaan ini bagi
orang yang memperhatikan rahasia kata-katanya. Sebab Allah berkata: ‘dengan itulah
engkau bergembira ya Muhammad’. Seolah-olah berkata: ‘katakan kepada mereka
supaya mereka bergembira dengan pemberian karunia itu, tetapi kegembiraanmu hanya
dengan yang memberi karunia itu, sebagaimana di dalam ayat: ‘katakanlah, Allah.
Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya‘.”
Hikmah Ke-282

‫ َولَ ِك ْن‬, ‫فَ َر ٌح ِِبلْ ِم َ َِن َل ِم ْن َح ْي ُث ُمهْ ِدْيْ َا َو ُمن ْ ِش ُئُ َا‬: ‫النَّ ُاس ِ ْف ُو ُر ْو ِد الْ ِم َ َِن عَ ََل ثَ ََّلثَ ِة َأ ْق َسا ٍم‬
‫ َح َّىت ا َذا فَ ِر ُح ْوا ِب َما َأت َْوا َأخ َْذنَ ُ ُْه‬: ‫فَهَ َذا ِم َن الْغَا ِف ِل ْ َي ي َ ْص ِد ُق عَلَ ْي ِه قَ ْو ُ ُِل تَ َع َاَل‬, ‫ب ُِو ُج ْو ِد ُم ْت َعتِ ِه ِفْيْ َا‬
ِ

113
‫ َو ِن ْع َم ًة ِم َّم ْن َأ ْو َصلَهَا ي َ ْص ِد ُق عَلَ ْي ِه‬, ‫ َوفَ ْر ٌح ِِبلْ ِم َ َِن ِم ْن َح ْي ُث َأن َّ ُه َشهِدَ هَا ِمن َّ ًة ِم َّم ْن َأ ْر َسلَهَا‬, 15‫ب َ ْغتَ ًة‬
‫ َوفَ ِر ٌح ِِب ِهلل َما َشغ َ َُل‬, ‫هللا َو ِب َر ْ َمحتِ ِه فَ ِب َذ ِ َل فَلْ َي ْف َر ُح ْوا ه َُو خ ْ ٌَْي ِدم َّما َ َْي َم ُع ْو َن‬
ِ ‫قَ ْو ُ ُِل تَ َع َاَل قُ ْل ِب َفضْ ِل‬
‫هللا َ ََّعا ِس َوا ُه َوالْ َج ْم ُع عَلَ ْي ِه فَ ََّل‬
ِ ‫ب َ ْل َشغَ َ ُل النَّ َظ ُر ا ََل‬, ‫ َو َل َِب ِط ُن ِمنَُّتِ َا‬, ‫ِم َن الْ ِم َ َِن َظا ِه ُر ُم ْت َعُتِ َا‬
ِ
َ ْ ُ َ َ ْ ْ ْ ِ ‫قُ ِل هللا ُ َُّث َذ ْر ُ ُْه‬: ‫ي َ ْص ِد ُق عَلَ ْي ِه قَ ْو ُ ُِل تَ َع َاَل‬, ‫ي َْشهَدُ ا َّل ا ََّي ُه‬
16‫ف خَو ِضهِم يلْعبون‬

282. “Manusia di dalam menghadapi karunia Allah terbagi tiga golongan: pertama,
ِ ِ
golongan yang bergembira bukan karena yang memberinya atau yang menjadikannya,
tetapi dari sisi karunia itu sendiri yang memberinya rasa senang. Ini adalah kelompok
orang yang lalai. Sesuai dengan firman Allah: ‘sehingga apabila mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepadanya, Kami siksa sekonyong-konyong’. Kedua, dia
gembira dengan anugerahnya dari sisi-Nya, dia menyaksikannya sebagai pemberian dari
yang mengirimnya dan sebagai nikmat dari yang menyampaikannya. Sesuai dengan
firman Allah: ‘katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu
hendaklah mereka bergembira itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan’.
Ketiga, golongan yang hanya gembira bersama Allah tidak ada anugerah dunia yang
menyibukannya, lahir maupun batinnya. Tetapi dia sibuk dengan menatap Allah dan
lupa kepada selain Allah. Dirinya terhimpun kepada Allah sehingga tidak menyaksikan
kecuali Dia. Kelompok ini sesuai dengan firman Allah: ‘katakanlah, Allahlah (yang
menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.
Hikmah Ke-283

‫ ََي د َُاو َد قُ ْل لِ د ِلص دِديْ ِق ْ َي‬: ‫الس ََّل ُم‬


َّ ‫الص ََّل ُة َو‬ َّ ‫هللا تَ َع َاَل ا ََل د َُاو َد عَلَ ْي ِه َوعَ ََل ن َ ِب ِي دنَا عَلَ ْي ِه‬
ُ ‫َوقَدْ َأ ْو ََح‬
ِ
ِ َ ْ َّ ِ ِ ْ ُ
‫هللا يَـ ْج َع ُل فَ َر َحنَا َوا ََّيمك ِبه َو ِِب د ِلرضَ ا منْ ُه َو َأ ْن َي َعلنَا م ْن َأه ِْل‬ َ ْ
ُ ‫ َو‬.‫ِ ِْب فَلْ َي ْف َر ُح ْوا َو ِب ِذ ْك ِر ْي فل َيتنَ َّع ُم ْوا‬
َ
‫ال الْ ُمتَّ ِق َي‬ َ ِ ِ ‫كل ِبنَا َم َس‬ َ ُ ‫الْ َفهْ ِم َو َا ْن َل َ َْي َعلَنَا ِم َن الْغَا ِف ِل ْ َي َو َا ْن ي َْس‬
283. “Dan Allah telah mewahyukan kepada Dawud a.s., ‘katakanlah kepada orang-orang
yang memegang teguh kebenaran dengan-Ku hendaklah mereka bergembira, dan
dengan mengingat-Ku hendaklah mereka bergembira, dan dengan mengingat-Ku
hendaklah mereka bersenang-senang. Semoga Allah menjadikan kegembiraan kita
bersama-Nya dengan keridhaan dari-Nya dan menjadikan kita termasuk golongan orang
yang memahami Dia. Dan jangan sampai Dia menjadikan kita termasuk golongan lalai.
Dan semoga Dia memperjalankan kita pada jalan orang-orang yang takwa.

‫وهللا اعلم بالصواب‬


15
Q.S. Al-An’am : 44

16
Q.S. Al-An’am : 91

114
NADHOM PERJALANAN MANUSIA
ALAM MULKI MALAKUT JABARUT LAHUT
JASAD QOLBU FUAD SIRRI OLAH TUNTUT
RUH JISMANI NURONI SULTHONI QUDSI
URANG TERUS BERJUANG NEMBUSKEUN DIRI

DIAGRAM PERJALANAN MANUSIA

ALAM

MULKI MALAKUT JABARUT LAHUT

MANUSIA

JASAD QALBU FUAD SIRRI

RUH

NURONI/
JISMANI SULTHONI QUDSI
ROWANI

115
Diagram Sifat Manusia

116
117
‫﴿ن ََظ ْم َو ِص َّي ْة لُ ْق َم ِن الْ َح ِ ْامك﴾‬
‫ــظ ًة ِل د َولَـ ِد الْ َكـــــ ِر ْ ِْي‬
‫َم ْو ِع َ‬ ‫ِذى َو ِصـ َّي ِة لُ ْق َم ِن الْ َحا ِكــ ِم‬
‫الص ََّل ِة‬ ‫َم ْعــ ِرفَ ٌة ُ َُّث اقَــا َم ُة َّ‬ ‫َع ِق ْيــدَ ٌة ُش ْك ٌر ثُـ َّم ْالنَ ب َ ْة‬
‫ْ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬
‫ِ‬
‫َص ْ ٌَب تَ َــواضُ ــ ٌع ب َ ِْرتك ال َف ْخ ِر‬ ‫َأ ْم ٌـر ِب ُع ْــر ٍف َوهنَ ْ ٌيي َع ْن ُم ْنك ٍر‬

‫اش﴾‬ ‫﴿ َصلَ َو ْة ب َ ِىن َه ِ ْ‬


‫َالَّلهُ َّم َص ِ دل عَ ََل النَّ ِ ِ دب الْه ِ ِ‬
‫َاُش د ِي ُم َح َّم ٍد َوعَ ََل أ ِ ِِل َو َس ِ د ْل ت َ ْس ِل ْي َما‬

‫‪118‬‬
• ZAKAT HARUS MEMBUKTIKAN
NADZOM IQOMAH RUKUN ISLAM • TANMIYAH DAN KEBERKAHAN
(BAHASA INDONESIA) • WIHDAH UMMAH, KEMAJUAN
Oleh: KH. Zezen ZA Bazul Asyhab • SEJATERA DAN KEJAYAAN

‫الرحيم‬
ّ ‫الرحمن‬ ّ ‫بسم هللا‬ • ZAKATNYA HARUS TERBUKTI
‫ ال اله اال هللا محمد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬ • YANG NISAB CEPAT ZAKATI
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫اللهم صلّ على سيدنا محمد‬ • BELUM NISAB PUN DI TITI
• DUA SETENGAH PERSEN BERI
• PUJI HANYA MILIK ALLAH
• ROHMAT SALAM PADA RASULULLAH • INFAQ SERIBU HIDUPKAN
• SAHABAT DAN KELUARGA • HARIAN, MINGGU, BULANAN
• PEJUANG AGAMA ALLAH • URUS PENUH KEJUJURAN
• JANGAN TIMBUL KERAGUAN
• ISLAM AGAMA YANG BENAR
• SEJAHTERA LUAS DAN DAMAI ‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬
• RUKUNNYA LIMA UTAMA
• AMALKAN DENGAN SMPURNA ‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬
ّ ‫اللهم‬

‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬ • SHAUM HARUS BERFAIDAH
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬ • SABAR, TAHAMUL, DAN QURBAH
ّ ‫اللهم‬ • HIDUP WUSHUL DAN BAROKAH
• ISLAM KUAT SANGAT GAGAH
• SYAHADAT HARUS BERBUAH
• MA’RIFAT, SYUKUR, MAHABBAH • SHAUM ROMADHON
• JIHAD BERJUANG JANGAN PECAH SEMPURNAKAN
• HATI IKHLAS JANGAN RUBAH • TARAWIH, TILAWAH QURAN
• QIYAMULLAIL DILAKUKAN
• SYAHADATNYA DIKUATKAN • ZAKAT FITRI LAKSANAKAN
• TOLAB ILMU, BACA QUR’AN
• BANYAK DZIKIR PADA TUHAN • SENIN KAMIS LAKSANAKAN
• MELAWAN NAFSU DAN SYETAN • BAYAD, ARFAH, DILAKUKAN
• SYAWAL, DAUD, KESUCIAN
• YAKIN KUAT AQIDAHNYA • PINTU LANGIT DI BUKAKAN
• JAUHKAN PEMURTADANANYA
• UKHUWAH HARUS DI JAGA ‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬
• CEGAH DARI MAKSIATNYA
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬
ّ ‫اللهم‬
‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬ • HAJI PUN HARUS BERBUA
ّ ‫اللهم‬ • TAUSI’UL FIKRI, IMAMAH
• TA’AWWUN, WIHDATUL UMMAH
• SHOLAT HARUS BERMANFAAT • SILATURAHMI BAROKAH
• MUNAJAT, TA’AWUN, TAUBAT
• JAUH SEGALA MAKSIAT • HAJI TERUS DI TINGKATKAN
• IMAMAH SERTA BAROKAT • DIPERLUASNYA WAWASAN
• RUKUN YANG EMPAT BUKTIKAN
• SHALAT HARUS DIPERKUAT • NYATAKAN KEPELOPORAN
• AWAL WAKTU BERJAMAAT
• MUNAJAT KHUSYU DAN KHIDMAT • IHROM SUCI THOWAF QURBAH
• LENGKAPKAN FARDU DAN SUNAT • SA’I TO’AT BERIBADAH
• WUKUF HARUS MUSYAHADAH
‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬ • DENGAN JUMROH SYETAN
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬ USIRLAH
ّ ‫اللهم‬
‫ ال اله اال هللا حممد رسول هللا‬# ‫ال اله اال هللا ال اله اال هللا‬
‫ وعلى اله وصحبه وسلم‬# ‫صل على سيدان حممد‬
ّ ‫اللهم‬
119
‫﴿مناجات ابن عطاء هللا السكندري ريض هللا عنه﴾‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬أنَ الْ َف ِق ْ ُْي ِف ِغنَ َاي ‪ ,‬فَ َك ْي َف َل َأ ُك ْو ُن فَ ِق ْ ًْيا ِف فَ ْق ِري؟!‬
‫ِ‬
‫ون َ ُْج ْو ًل ِ ْف َ ْْج ِِل؟!‬ ‫الٰهِيي‪َ ،‬أنَ الْ َجا ِه ُل ِف ِعلْ ِمي‪ ،‬فَ َك ْي َف َل َأ ُك ُ‬
‫ِ‬
‫الس ُك ِ‬
‫ون‬ ‫رسعَ َة ُحلُ ْولِ َمقا ِدي ِركَ َمنَ َعا ِع َبادَكَ ال َع ِارِف َي ب َِك َع ِن م‬‫الٰهِيي‪ ،‬ا َّن ا ْخ ِت ََّل َف تَدْ ب ِِْيكَ َو ُ ْ‬
‫ِ ِ‬
‫ا َٰل َعطا ٍء َوال َّيأ ِس ِمنْ َك ِف ب َ ََّلء‪ٍ.‬‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪ِ ،‬م ِ دن َما ي َ ِل ْي ُق ِبلُ ْؤ ِمي‪َ ،‬و ِمنْ َك َما ي َ ِل ْي ُق ِب َك َر ِم َك‪.‬‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي َو َص ْف َت ن َ ْف َس َك ِِبلل م ْط ِف َو َّالرأفَ ِة ِ ِْب قَ ْب َل ُو ُجو ِد ضَ ْع ِفي‪َ ،‬أفَ َت ْم َن ُع ِن ِمْنْ ُام ب َ ْعدَ َو ُجو ِد‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ضَ ْعفي؟!‬
‫كل‪َ ،‬و َ َل ا ِملنَّ ُة عَ َ َِّل‪َ .‬وا ْن َظه ََر ِت امل َ َسا ِو ُي ِم ِ دن‬ ‫الٰهِيي‪ ،‬ا ْن َظه ََر ِت امل َ َح ِاس ُن ِم ِ دن فَ ِب َفضْ ِ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫فَ ِب َعدْ ِ َل‪َ ،‬و َ َل احلُ َّج ُة عَ َِّل‪َ.‬‬
‫ارص ِ ْيل‪َ ،‬أ ْم َك ْي َف‬ ‫ِس َوقَدْ ت ََو َّ ُْك َت ِيل؟! َو َك ْي َف ُأضَ ا ُم َو َأن َْت النَّ ِ ُ‬ ‫ِالٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف تَ ِ ُلك ِن ِا َٰل ن َ ْف ِ ْ‬
‫َأ ِخ ْي ُب َو َأن َْت احلَ ِف مي ِِب؟! َها َأن َأت ََو َّس ُل الَ ْي َك ِب َف ْق ِري الَ ْي َك‪َ .‬و َك ْي َف َأت ََو َّس ُل الَ ْي َك ِب َما ه َُو‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َم َحا ٌل َأ ْن ي َ ِص َل الَ ْي َك؟! َأ ْم َك ْي َف َأ ْش ُك ْو الَ ْي َك َح ِايل َوه َُو َل َ ْي َفى عَلَ ْي َك؟! َأ ْم َك ْي َف ُأتَ ْر ِج ُم‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ِه قَدْ َوفَدَ ْت الَ ْي َك؟! َأ ْم َك ْي َف َل‬ ‫َ‬ ‫ايل َو ِ‬‫ْ‬ ‫ِب َمقَ ِايل َوه َُو ِمنْ َك بَ َر َز الَ ْي َك؟! َأ ْم َك ْي َف ُ ََت دي ِْب أ ْ َم ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُ ْحت ِس ُن َأ ْح َو ِايل َوب َِك قَا َم ْت الَ ْي َك؟!‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬ما َألْ َط َف َك ِِب َم َع َع ِظ ِْي َ ْْج ِِل‪َ ،‬و َما َأ ْر َ َمح َك ِ ِْب َم َع قَ ِب ْي ِح ِف ْع ِِل!‬
‫ِ‬
‫َّ‬ ‫ٰ‬
‫الهِيي‪َ ،‬ما َأ ْق َرب َ َك ِم ِ دن َو َما َأبْ َعدَ ِين َع ْن َك! الهِيي‪َ ،‬ما َأ ْر َأفَ َك ِ ِْب‪ ،‬فَ َما ِالي َ َْي ُج ُب ِن َع ْن َك؟!‬ ‫ٰ‬
‫ِ‬ ‫ٰ‬ ‫ِ‬
‫لك‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬
‫الهِيي‪ ،‬عَل ْم ُت ِِب ْختَّلف اْلْ َث ِر َوتَ َنقمَّل ِت ا َْل ْط َوا ِر َأ َّن ُم َرادَكَ ِم ِ دن َأ ْن تَ َت َع َّر َف ا َّيل ِف ُ ِ د‬ ‫ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫كل ِف َيشء‪ٍ.‬‬ ‫َيش ٍء َح َّىت َل َأ ْ َْج ََ‬

‫‪120‬‬
‫الٰهِيي‪ُُ ،‬كَّ َما َأخ َْر َس ِن لُ ْؤ ِمي َأن َْطقَ ِن َك َر ُم َك‪َ .‬و ُُكَّ َما أْي ََستْ ِن َأ ْو َص ِاف َأ ْط َم َع ْتن ِمنَنُ َك‪ .‬الٰهِيي‪،‬‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َم ْن ََكن َْت َم َح ِاس نُ ُه َم َسا ِو َي فَ َك ْي َف َل تَ ُك ْو ُن َم َسا ِو ُؤ ُه َم َسا ِو َي؟! َو َم ْن ََكن َْت َحقَائِ ُق ُه َدعَا ِو َي‬
‫ون َدعَاوا ُه َدعَا ِو َي؟!‬ ‫فَ َك ْي َف َل تَ ُك ُ‬
‫الٰهِيي‪ُ ،‬ح ْ ُمك َك النَّا ِف ُذ َو َم ِش يئ َ ُت َك القَا ِه َر ُة لَ ْم ي َ ْ ُرت ََك ِ ِلي َمقَالٍ َمقَا ًل‪َ ،‬و َل ِ ِلي َحالٍ َحا ًل‪.‬‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪ْ َ ،‬مك ِم ْن َطاعَ ٍة ب َنَيُْتُ َا َو َح َ ٍاَل َش َّيدْ هتُ َا هَدَ َم ا ْعتِ َما ِدي عَلَْيْ َا عَدْ ُ َل‪ ،‬ب َ ْل َأقَالَ ِن ِمْنْ َا فَضْ ُ َ‬
‫كل!‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪ ،‬ان ََّك تَ ْع َ ُل َأ ِ دين َوا ْن لَ ْم تَدُ ِم َّ‬
‫الطاعَ ُة ِم ِ دن ِف ْع ًَّل و َج ْز ًما‪ ،‬فَقَدْ َدا َم ْت َم َح َّب ًة َو َع ْز ًما‪.‬‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف َأ ْع ِز ُم َو َأن َْت القَا ِه ُر‪َ ،‬و َك ْي َف َل َأ ْع ِز ُم َو َأن َْت اْلْ ِم ُر؟!‬
‫ِ‬
‫ُوصلُ ِن الَ ْي َك‪.‬‬ ‫امج ْع ِن عَلَ ْي َك ِ ِخبدْ َم ٍة ت ِ‬ ‫وج ُب بُ ْعدَ امل َ َزا ِر‪ ،‬فَ ْ َ‬ ‫الٰهِيي‪ ،‬تَ َر مد ِدي ِف اْلْ َث ِر يُ ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الظهُو ِر َما‬ ‫ون ِلغ ْ َِْيكَ ِم َن م‬ ‫الٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف ي ُْس تَدَ مل عَلَ ْي َك ِب َما ه َُو ِف ُو ُج ْو ِد ِه ُم ْفتَ ِق ٌر الَ ْي َك؟! َأيَ ُك ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُ‬
‫لَيْ َس َ َل َح ٰ دىت يَ ُك ْو َن ه َُو امل ْظه َِر َ َل؟!‬
‫ِه ال َّ ِت‬
‫يل يَدُ مل عَلَ ْي َك! َو َم ٰىت ب َ ُعدْ َت َح َّىت تَ ُك ْو َن اْلْ َث ُر ِ َ‬ ‫َم ٰىت ِغ ْب َت َح َّىت َ ْحت َت َاج ا َٰل َد ِل ٍ‬
‫ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ََّس ْت َص ْفقَ ُة َع ْب ٍد ل ْم ْجت َع َل ُِل ِم ْن ُح دب َِك‬ ‫ت ُْو ِص ُل الَ ْي َك؟! َ َِع َي ْت عَ ْ ٌي ل تَراكَ عَلْيْ َا َرق ْي ًبا‪َ .‬وخ ِ َ‬
‫ِ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ِ‬
‫ن َِص ْي ًبا‪.‬‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬أ َم ْر َت ِِب ملر ُج ْو ِع ا َٰل اْلْ َث ِر فَ ْار ِج ْع ِن الَْيْ َا ِب ِك ْس َو ِة ا َْلن َْو ِار َو ِهدَ اي َ ِة ا ِل ْس ِت ْب َصا‪َ .‬ح َّىت َأ ْر ِج َع‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الَّس َع ْن النَّ َظ ِر الَْيْ َا‪َ ،‬و َم ْرفُ ْو َع الْهِ َّم ِة َع ِن ْ ِال ْعتِ َمادِ‬ ‫الَ ْي َك ِمْنْ َا َ َمَك َد َخلْ ُت الَ ْي َك ِمْنْ َا‪َ :‬م ُص ْو َن د د ِِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ِ‬
‫لك َيشء قَد ٌير‪.‬‬‫ٍ‬ ‫ُ‬ ‫ٰ‬
‫عَلْيْ َا‪ .‬ان ََّك عََل ِ د‬ ‫َ‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬هذا ذ ِيل َظاه ٌر ب َ ْ َي يَدَ يْ َك‪َ .‬و َهذا َح ِايل ل َ ْي ٰفى عَل ْي َك‪ .‬منْ َك َأطل ُب ُالو ُص ْول ال ْي َك‪،‬‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫د‬ ‫ُ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َوب َِك َأ ْس تَ ِد مل عَلَ ْي َك‪ .‬فَا ْه ِد ِين ِبنُو ِركَ الَ ْي َك‪َ .‬و َأ ِق ْم ِن ب ِِصدْ ِق ال ُع ُب ْو ِدي َّ ِة ب َ ْ َي يَدَ يْك‪َ.‬‬
‫ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫َِّس اسك امل ُص ْو ِن‪.‬‬ ‫ِ‬ ‫ْ‬ ‫الٰهِيي‪ ،‬عَ ِل د ْم ِن ِم ْن ِعلْ ِم َك املَخ ُْز ْو ِن‪َ ،‬و ُص ِ دن ب د ِ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫‪121‬‬
‫ال َأه ِْل اجل َْذ ِب‪.‬‬ ‫كل ِِب َم َس ِ َ‬ ‫الٰهِيي‪َ ،‬ح ِقد ْق ِن ِ َِبقَائِ ِق َأه ِْل الْ ُق ْر ِب‪َ .‬و ْاس ُ َ‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬أ ْغنِ ِن ِب َتدْ ب ِِْيكَ ِيل َع ْن تَدْ ب ْ ِِْي ْي ‪َ ،‬و ِِب ْخ ِت َيا ِركَ َع ْن ا ْخ ِت َي ِاري‪َ .‬و َأ ْو ِق ْف ِن عَ َٰل َم َرا ِك ِز‬
‫ِ‬
‫اضْ ِط َر ِاري‪.‬‬

‫ْش َِك قَ ْب َل ُحلُ ْولِ َر ْم ِِس‪ .‬ب َِك َأنْتَ ِ ُ‬


‫رص‬ ‫الٰهِيي‪َ ،‬أ ْخ ِر ْج ِن ِم ْن ُذ ِ دل ن َ ْف ِِس َو َطهد ِْر ِين ِم ْن َش ِ دّك َو ِ ْ‬
‫ِ‬
‫لك فَ ََّل تَ ِ ْلك ِن‪َ ،‬وا ََّيكَ َأ ْسأَ ُل فَ ََّل ُ ََت ِ ديبْ ِن‪َ ،‬و ِف فَضْ َِ‬
‫كل َأ ْرغَ ُب فََّلَ‬ ‫ْرص ِين‪َ ،‬وعَلَ ْي َك َأت ََو َُّ‬
‫فَان ُ ْ‬
‫ِ‬
‫َ ْحت ِر ْم ِن‪َ ،‬و ِ َِبنَاب َِك َأنْت َ ِس ُب فَ ََّل تُ ْب ِعدْ ِين‪َ ،‬و ِب َباب َِك َأ ِق ُف فَ ََّل ت َْط ُرد ِْين‪.‬‬
‫الٰهِيي‪ ،‬تَقَد ََّس ِرضَ اكَ َأ ْن تَ ُك ْو َن َ ُِل ِع َّ ٌةل ِمنْ َك‪ .‬فَ َك ْي َف تَ ُك ْو ُن َ ُِل ِع َّ ٌةل ِم ِ دن؟!‬
‫ِ‬
‫ون غَنِ ايا َع ِ دن؟!‬ ‫الٰهِيي‪َ ،‬أن َْت الغ ِ مَن ِب َذاتِ َك َع ْن َأ ْن ي َ ِص َل الَ ْي َك النَّ ْف ُع ِم ْن َك‪ .‬فَ َك ْي َف َل تَ ُك ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫رس ِين‪ .‬فَ ُك ْن َأن َْت النَّ ِص ْ َْي ِيل‬ ‫الٰهِيي‪ ،‬ا َّن القَضْ َاء َوالقَدَ َر غَلَ َب ِن‪َ .‬وا َّن اله َٰوى ب َِو َثئِ ِق َّ‬
‫الشه َْو ِة َأ َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ْش ْق َت‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫َ‬
‫كل َح َّىت ْاس تَغ ِْن ب َِك َع ْن َطل ِب‪َ .‬أن َْت الي َأ ْ َ‬ ‫ِ‬ ‫ْ‬
‫رص ِِب‪َ .‬و َأغن ِن ِب َفضْ ِ َ‬ ‫رص ِين َوتَ ْن ُ َ‬ ‫َح َّىت تَ ْن ُ َ‬
‫ا َْلنْو َار ِف قُلُ ْو ِب َأ ْو ِل َيائِ َك َح َّىت َع َرفُ ْوكَ َو َو َّحدُ ْوكَ ‪َ .‬و َأن َْت َّ ِالي َأ َزلْ َت ا َْل ْغ َي َار َع ْن قُلُ ِ‬
‫وب‬
‫َأ ِحبَّائِ َك َح َّىت لَ ْم ُ َِي مب ْوا ِس َواكَ ‪َ .‬ولَ ْم يَلْ َجأَ ْوا ا َٰل غَ ْ ِْيكَ ‪َ .‬أن َْت امل ُ ْو ِن ُس لَه ُْم َح ْي ُث َأ ْو َح َش ُتْ ُ ُم‬
‫ِ‬
‫ال َع َوا ِل ُم‪َ .‬و َأن َْت َّ ِالي هَدَ ْيُتَ ُ ْم َح ْي ُث ْاست َ َبان َْت لَهُ ْم امل َ َعا ِل ُم‪َ .‬ما َذا َو َجدَ َم ْن فَقَدَ كَ َو َما َّ ِالي فَقدََ‬
‫ََّس َم ْن ب َ ٰغى َع ْن َك ُمتَ َح َّو ًل‪.‬‬ ‫يض ُدون ََك بَدَ ًل‪َ ،‬ولَقَدْ خ ِ َ‬ ‫اب َم ْن َر ِ َ‬ ‫َم ْن َو َجدَ كَ ؟! لَقَدْ َخ َ‬
‫الٰهِيي‪َ ,‬ك ْي َف ُي ْر َٰج ِس َواكَ َو َأن َْت َما قَ َط ْع َت ال ْح َس َان؟!‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫ْ‬
‫َو َك ْي َف يُ ْطلَ ُب ِم ْن غَ ْ ِْيكَ َو َأن َْت َما ب َ َّدل َت عَا َد َة ا ِل ْم ِت َن ِان؟! ََي َم ْن َأ َذ َاق َأ ِحبَّا َء ُه َحَّل َو َة‬
‫ُم َؤان َ َس تِ ِه فَقَا ُم ْوا ب َ ْ َي يَدَ يْ ِه ُم َت َم ِل د ِق ْ َي‪َ .‬و ََي َم ْن َألْبَ َس َأ ْو ِل َيا َء ُه َم ََّلب َِس َه ْيبَ ِت ِه فَقَا ُم ْوا ِب ِع َّزتِ ِه‬
‫ُم ْس َت ِع د ِزْي َن‪َ .‬أن َْت ا َّلا ِك ُر قَ ْب َل ا َّلا ِك ِرْي َن‪َ ،‬و َأن َْت ال َبا ِد ُي ِِبل ْإح َس ِان قَ ْب َل ت ََو مج ِه ال َعا ِب ِد ْي َن‪َ ،‬و َأن َْت‬
‫َّاب‪َُّ ُ ،‬ث ِل َما َو َه ْب َت لَنا ِم َن امل ُ ْس َت ْق ِر ِض ْ َي‪.‬‬ ‫الطا ِلب َِي‪َ ،‬و َأن َْت َالوه ُ‬ ‫اجل ََوا ُد ِِبل َع َطا ِء قَ ْب َل َطلَ ِب َّ‬
‫الٰهِيي‪ُ ،‬ا ْطلُ ْب ِن ِب َر ْ َمحتِ َك َح َّىت َأ ِص َل الَ ْي َك‪َ .‬وا ْج ُذبْ ِن ِب َمنِد َك َح َّىت ُأ ْق ِب َل عَلَ ْي َك‪.‬‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫‪122‬‬
‫الٰهِيي‪ ،‬ا َّن َر َج ِاِئ َل ي َ ْنقَ ِط ُع َع ْن َك َوا ْن َع َص ْي ُت َك‪َ َ .‬مَك َأ َّن خ َْو ِف َل ُي َزا ِيلُ ِن َوا ْن َأ َط ْع ُت َك‪ .‬فَقَدْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫َدفَ َع ْت ِن ال َع َوا ِل ُم الَ ْي َك‪َ .‬وقَدْ َأ ْوقَ َف ِن ِعلْ ِمي ِب َك َر ِم َك عَلَ ْي َك‪.‬‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف َأ ِخ ْي ُب َو َأن َْت َأ َم ِِل‪َ ،‬أ ْم َك ْي َف ُا َه ُان َوعَلَ ْي َك ُمتَّ َ ِلكي؟!‬
‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف أ ْس َت ِع مز َو ِف ا دِل َّ َِل َأ ْر َك ْزت َِن‪َ ،‬أ ْم َك ْي َف َل َأ ْس َت ِع مز َوالَ ْي َك ن َ َس ْبت َ ِن؟!‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الٰهِيي‪َ ،‬ك ْي َف َل َأفْتَ ِق ُر َو َأن َْت َّ ِالي ِف ال َف ْق ِر َأقَ ْمتَ ِن! َأ ْم َك َيف َأفْتَ ِق ُر َو َأن َْت َّ ِالي ِ ُِبو ِدكَ‬
‫ِ‬
‫َأغنَ ْيت َ ِن!‬ ‫ْ‬
‫يش ٌء‪َ .‬و َأن َْت َّ ِالي تَ َع َّرفْ َت ا َ َّيل ِف‬ ‫ْ‬ ‫كل َ‬ ‫ك َيش ٍء فَ َما َ ِْج َ َ‬ ‫َو َأن َْت َّ ِالي َل ا ٰ َِل غَ ْ ُْيكَ ‪ ،‬تَ َع َّرفْ َت ِل ُ ِد‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ك َيش ٍء‪ََ .‬ي َم ِن ْاس تَ ٰوى ِب َر ْ َمحا ِني َّ ِت ِه‬ ‫الظا ِه ُر ِل ُ ِد‬
‫لك َيش ٍء َو َأن َْت َّ‬ ‫لك َيش ٍء فَ َر َأيْ ُت َك َظا ِه ًرا ِف ُ ِ د‬ ‫ُ ِد‬
‫عَ َٰل َع ْر ِش ِه‪ ،‬فَ َص َار ال َع ْر ُش غَ ْي ًبا ِف َر ْ َمحا ِني َّ ِت ِه‪َ َ .‬مَك َص َار ِت ال َعوا ِل ُم غَ ْي ًبا ِف َع ْر ِش ِه‪َ .‬م َح ْق َت اْلْ َث َر‬
‫ات ِع د ِز ِه َع ْن‬ ‫ات َأفْ ََّل ِك ا َْلن َْوا ِر‪ََ .‬ي َم ِن ْاحتَ َج َب ِف ُ َ‬
‫رسا ِدقَ ِ‬ ‫يار ِب ُم ِح ْي َط ِ‬‫ِِبْلْ َث ِر‪َ ،‬و َم َح ْو َت ا َْل ْغ َ‬
‫رس ُار‪َ .‬ك ْي َف َ َْت ٰفى َو َأن َْت‬ ‫َأ ْن تُدْ ِر َك ُه ا َْلبْ َص ُار‪ََ .‬ي َم ْن َ َجت ٰ دَل ِب َمكَالِ هبَ َائِ ِه فَ َت َحقَّقَ ْت َع َظ َم َت ُه ا َْل ْ َ‬
‫يش ٍء قَ ِد ٌير َواحلَ ْمدُ ِهلل‬ ‫لك َ ْ‬ ‫اض؟! ان ََّك عََل ُ ِ د‬ ‫الظا ِه ُر؟! َأ ْم َك ْي َف تَ ِغ ْي ُب َو َأن َْت َّالرِق ْي ُب احلَ ِ ُ‬ ‫َّ‬
‫ِ‬
‫َو ْحدَ ُه‪.‬‬

‫‪123‬‬

Anda mungkin juga menyukai