Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,


menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang
abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam
Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisimistisme Islam. Tasawuf merupakan
disiplin ilmu yang berorientasi pada moralitas berasas keislaman. Tasawuf bertujuan untuk
mendekatkan seorang hamba dengan tuhannya.

Pembahasan tentang tasawuf dan konsep ilmunya pasti tidak lepas dari tokoh-tokoh
yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh tasawuf atau yang lebih di kenal dengan sufi identik
dengan kehidupan yang sederhana dan kehidupan itu hanya ditujukan untuk mendekatkan dir
kepada Allah SWT.

Di dalam makalah ini akan dibahas tentang tokoh-tokoh tasawuf (sufi) pada masa
klasik, pertengahan, modern dan kontemporer. Yand dimana para tokoh tersebut memiliki
pandangan dan pemikiran yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa klasik?
2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa pertengahan?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa modern?
4. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa kontemporer?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa klasik
2. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa pertengahan
3. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa modern
4. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa kontemporer
BAB II
PEBAHASAN

A. Tokoh-tokoh tasawuf pada masa klasik


1. Ibnu Atha’illah as Sakandari
Syekh Ibnu Atha'illah atau Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-
Sakandari, lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/ 1250 M, dan meninggal di Kairo
pada 1309 M merupakan tokoh Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah
satu tokoh sufi terkemuka di dunia dan di Indonesia. Nama lengkap beliau adalah Taj
al-Din Abu'l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abd al-Karim ibn Atha 'illah al-
Iskandari al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang
pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan
ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam.
Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali
disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi,
Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang.Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam
bagi para juru nasihat. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin
dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di
dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan
utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
ilmu tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu
Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran
Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi.
Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu
Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia
lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran Ibnu Atha’illah tersebut adalah:

Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi


dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan
yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada
Allah dan mengenal rahmat Illahi.

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur.


Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh
sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada
asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral
(akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi
adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia
adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa
nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum
sufi," ujarnya.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik
boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan
sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika
kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat,


berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya
sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan


menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf
memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa


ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan;
mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri
orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan
dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu,
puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

2. Al Muhasibi

Al-Muhasibi dikenal sebagai sosok ulama yang alim dan serbabisa. Lahir di
Basrah pada 165 H/ 781 M, dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M.
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Abdullah al-Harits bin Asad bin Ma’qil al-
Hamdani al-Muhasibi. Selain dikenal sebagai seorang sufi, Al Muhasibi juga terkenal
di bidang ilmu fikih dan hadis.

Al Muhasibi belajar dari sederet tokoh terkemuka setelah ia hijrah ke Kota


Baghdad. Di bidang fikih ia berguru kepada Imam Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin
Salam, dan Qadli Yusuf Abu Yusuf. Sedangkan, ilmu hadis dipelajarinya dari Syuraih
bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu an-Nadar, dan Suwaid bin Daud.

Al Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan


yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-
muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang
yang tahu benar tentang keakhiratan, anmun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian
besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan
motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang
melakukan ibadah karenaAllah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.

Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh


melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan
meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal
diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh
dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari
pada dunia.

3. Abdul Qadir Al Jaelani

Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada
tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir
nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Saat usia 8 tahun, beliau sudah me-ninggalkan kota kelahirannya menuju


Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar
dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun, be-liau menghabiskan waktunya sebagai
pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh
besar yang harum namanya dalam dunia Islam.

Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi
yang mendirikan Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari
namanya. Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati oleh kaum
muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat
ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti
Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.

Perkembangan Tariqhat ini semakin melesat, terlebih pada abad ke ke 15 M.


Di India misalnya, Tariqhat Qadiriyah berkembang luas setelah Muhammad
Ghawsh (1517 M) memimpin Tariqhat ini. Dia juga mengaku sebagai keturunan
dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Di Turki ada Ismail Rumi (1041 H/1631 M)
yang diberi gelar mursyid kedua dari Tariqhat Qadiriyah. Adapun di Makkah,
penyebaran Tariqhat Qodiriyah sudah bermula sejak 1180 H/1669 M.

Berbeda dengan beberapa Tariqhat lainnya, Tariqhat Qadiriyah dikenal


sebagai Tariqhat yang luwes. Dalam pan-dangan shufi, seseorang yang sudah
mencapai derajat mursyid (guru) tidak mesti harus mengikuti Tariqhat guru di
atasnya lagi. Ia memiliki hak untuk memperluas Tariqhat Qadiriyah dengan
membuat Tariqhat baru, asalkan sejalan dengan Tariqhat Qadiriyah.
4. Al Hallaj

Al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada
tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha. Masa
kecilnya ia habiskan di kota Wasiṭ dekat dengan Bagdadsampai usia 16 tahun.
Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada
seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri
Ahwaz.

Kemudian setelah belajar di negri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar


kepada Amr al-Makki. pada tahun 264 H. ia melanjutkan belajarnya kepada al-
Junaid di kota Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula. Selain besar
keinginannya mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh sufi besar dan terkenal, ia
juga telah menunaikan ibadah haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak
diragukan bahwa pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan.

Ketika tiba di makkah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri
untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj tealah
memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaiman menyatu dengan Tuhan.
Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan
ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam
oleh pengusa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut
membawanya untuk kembali ke Baghdad.

Dalam perjalanan hidupnya yang dihiasi buah hasil pemikiranpemikirannya di


bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjaran akibat konflik dengan ulama
fikih, konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran al Hallaj yang dianggap ganjil.
Ulama fikih yang sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas
dan membantah ajaran-ajaran al Hallaj, sehingga ia ditangkap dan dipenjara
adalah Ibn Daud al-Isfahani. Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat
meloloskan diri atas bantuan seorang sipir penjara.

Untuk mencari pengamanan atas dirinya, dari bagdad ia melarikan diri ke Sus,
suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun bersembunyi di
kota tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya,
akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun.

Meskipun telah lama hidup dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi


pendiriannya atas ajaran-ajarannya tersebut. Sehingga pada tahun 309 H/921 M
mengharuskan para ulama di bawah pengawasan kerajaan Bani Abbas, masa
Khalifah Mu’tashim Billah, untuk mengadakan persidangan yang menghasilkan
hukumam mati pada al-Hallaj pada tanggal 18 Ẓulhijjah di tahun yang sama.
B. Tokoh-tokoh tasawuf pada masa pertengahan

1. Dzun Nun Al Misri

Dzun-Nun Al-Mishri adalah seorang tokoh sufi besar di abad ketiga Hijriah.
Beliau, yang memiliki nama lengkap Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-
Nun al Mishri al-Akhimini Qibṭy, dilahirkan di Akhmim, sebuah kota kuno di tepi
timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir, pada tahun 796 M (180 H). Beliau
meninggal di Kairo pada tahun 856 M (246 H).

Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama ulama
Hadits dan Fikih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal
yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan
hidupnya yang cukup sensitif menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak
sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang
menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya ia sampai
memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri
lain.

Jasa-jasa Zun Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang
jenjang perjalanan sufi menuju Allah Swt, yang disebut al-maqomat. Ajarannya
memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah Swt sesuai dengan
pandangan sufi.

Disamping itu, ia juga pelopor doktrin al-ma'rifah. Dalam hal ini ia


membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan
merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima melalui
panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan /
atau diperoleh melalui intuisi.

Beliau membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:

1). Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah Swt pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.

2). Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan


pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak,
pintar dan terpelajar.

3). Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik
orang-orang yang sholeh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah Swt
dengan mata hatinya.
2. Abu Yazid Al Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal
dengan Bayazid. Dia dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-
III dari Bistam wilayah Qum, lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73
tahun.

Abu Yazid al-Bustami adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar
abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham fana’dan baqa. Sebelum ia mendalami tasawuf ia
mempelajari ilmu fiqhi terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar
tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan
perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan
melaksanakan syari’at-Nya.

Perjalanan Abu Yazid al-Bustami untuk menjadi seorang sufi memakan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan
ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam buku.

Proses menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid al-Bustami


mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan
minum yang sedikit sekali. Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan
ajaran tasawuf dengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang
diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur.

Kepribadian Abu Yazid al-Bustami sangat menonjol di kalangan kaum sufi


Persia. Tidak banyak sufi yang mengesankan dan sekaligus membingungkan
orang-orang sezamannya dan zaman-zaman sesudahnya. Dia yang memulai
memperkenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan
tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta,
bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. Jadi wajar jika al-Bistami
dianggap oleh Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Lammen, sebagai
pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana
theosofi yang merupakan kekhasan pemikiran Yunani.

C. Tokoh tasawuf pada masa modern

1. Buya Hamka

1. Buya Hamka

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan
Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat,
dan aktivis politik. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah
dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun
1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan
mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928.

Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang


Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan
Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun
1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar,
Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai
seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan
sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia
mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia
menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama
besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja,
ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang
terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama “al-Mahdi”.

Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang


Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan
Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad
Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah
mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah
mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual,
untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat.

Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat


yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum
intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa
Anshary.

Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang


Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan
menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya
tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran,
Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah
Cita-Cita.

Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang


menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi
koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang
karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu,
ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.

Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka
melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu
langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan
tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

Pada tahun 1955 Hamka beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi
dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah
pemikiran Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.
Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki
Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Hamka
menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian
besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya
bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1960.

Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika
Sukarno wafat, justru Hamka yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara
dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap Hamka. “Ada yang mengatakan
Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun Hamka tidak peduli.
Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi,
di mata Hamka, Sukarno adalah seorang muslim.

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar
dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan
Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah.


Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef
untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.

Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal
bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap
keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri
dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk
mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai Ketua
MUI.

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam
dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada
bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di
Malaysia dan Singapura.

D. Tokoh-tokoh tasawuf pada masa kontemporer

1. Jalaluddin Rakhmat

Jalal adalah panggilan Jalaluddin Rakhmat, beliau lahir pada tanggal 29


Agustus 1949 di Rancaekek, Bandung. Beliau di lahirkan dikalangan keluarga
Nahdhatul Ulama (NU). Ibunya adalah orang yang aktif dalam mengajarkan
ajaran Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang pemuka agama sekaligus tokoh
masyarakat. Karena terjadi pergolakan politik pada waktu itu, Sang ayah
meninggalkan Jalaluddin Rakhmat yang masih berusia dua tahun untuk
menyebarkan dan menegakkan syariat Islam.

Dia dirawat oleh ibunya. Ibunya menyekolahkan Jalaluddin Rakhmat ke


sekolah umum pada pagi hari, mengantarkan ke Madrasah sore hari,
membimbingnya membaca kitab kuning pada malam hari. Jalal mendapatkan
pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.

Jalaluddin Rakhmat memulai memulai pendidikan formalnya dari Sekolah


Dasar di kampungnya. Lalu Dia melanjutkan sekolah di SMP Muslimin III
Bandung. Setelah lulus SMP,dia melanjutkan pendidikanya ke SMA II Bandung
dan ia sempat bergabung dengan Persatuan Islam (persis). Kemudian dengan
menggunakan ijazah SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik
Universitas Padjajaran (UNPAD) yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas
Ilmu Komunikasi, pada masa kuliah dia juga sempat bergabung dengan
Muhammadiyah dan di didik di Darul Akram Muhamaddiyah.

Awal mula Jalaluddin Rakhmat mengenal syia’ah, itu dimulai dari


perkanalanya dengan Haidar Bagir dari ITB, dan K. H. Endang Saefuddin
Anshory (almarhum) pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari
konferensi tersebut dia memperoleh buku-buku mengenai para pemikir syi’ah.
Sejak itula dia mendalami gagasan para pemikir iran seperti Ali Syari’ati,
Murthadha Muthahari, dan Imam Khomeini. Mengenai Imam Khomeini, dia
berpendapat bahwa Imam khomeini adalah seorang sufi yang tidak mengasingkan
diri dari masyrakat, Imam Khomeini adalah sufi yang telah mengguncangkan
dunia. Kekagumanya kepada Imam Khomeini membuat Jalaluddin Rakhmat
memperdalam ilmu tasawufnya. Selain alasan itu, Jalaluddin rakhmat
memperdalam ilmu Tasawufnya dikarenakan salah satu jamaahnya (Marwan)
meninggal tertabrak kereta api, yang mana sebelum meninggal Marwan sempat
menyampaikan pesan terakhir kepada keluarganya untuk merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad saw. Dengan kejadian itu, Jalaluddin Rakhmat
merenung, orang yang hanya memiliki sedikit ilmu tentang agama (Marwan) ingin
merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw akan tetapi kenapa dia (Jalaluddin
Rakhmat) yang memiliki ilmu agama yang luas tidak memiliki keinginan untuk
merayakan hari kelahiran Nabi Muhammada saw, padahal Nabi sangat berjasa
bagi umat Islam dan dirinya (Jalaluddin Rakhmat), sehingga sirnalah
kepongahanya yang kemudian mengantarkan dirinya untuk mendalami tasawuf.

Semenjak mempelajari ilmu tasawuf, dia beralih yang semula suka


mempelajari fikih menjadi memilih tasawuf sebagai kajian dakwahnya. Alasan
dan pertimbangan kenapa dia memilih pendekatan tasawuf di antaranya[9].

Pertama, perhatian umat Islam di Indonesia terhadap fikih sudah terlalu lama
dan terlalu dalam. Sehingga melahirkan organisasi-organisasi keagaaman yang
berdasarkan fikih.

Kedua, fikih tidak memberi makna yang mendalam dalam menjalankan


agama. Karena keimanan dan ketaqwaan seseorang hanya diukur oleh sejauhmana
dia menjalankan fikih, yang mana fikih itu masih berupa sesungguhnya masih
ijtihad para ulama dam memehami al-Qur’an maupun as-Sunnah.

Ketiga, fikih sering menjadi sebab perdebatan di antara umat Islam yang
mengakibatkan rapuhnya sendi ukhuwah Islamiyah. Sehingga menyebabkan umat
Islam terkotak-kotak, bahkan saling memusuhi dan saling menghancurkan.

Keempat, kecenderungan masyarakat era 80-an, banyak orang berbondong-


bondong mendalami Islam. Pada umumnya mereka tidak mau mendalami
persoalan fikih, tetapi mereka mencari dari Islam sesuatu yang bisa mendatangkan
ketenangan batin, yakni tasawuf. Atau dengan kata lain kecenderungan “pasar”
yang menginginkan tasawuf. Gejala ini terjadi khususnya bagi masyarakat
perkotaan dengan segmen kelas sosial menengah ke atas. Gejalanya bisa dilihat
dari semakin ramainya majelis ta’lim yang menyelenggarakan kajian tasawuf.

Kelima , Jalaluddin Rakhmat membaca buku-buku mengenai fikih klasik


sampai yang modern, menyimpulkan fikih pambahasanya monoton, bahkan
cenderung mengulang dari pembahasan fikih yang sebelumnya. Berbeda halnya
dengan tasawuf, dari zaman-ke zaman selalu berubah. Alasan keenam , berkaitan
denga aspek kejiwaan, masyarakat jenuh jika terus berdebat mengenai fikih. Fikih
jika diperdebatkan, maka fikih tidak akan ada habisnya.

2. Ibnu Masarrah

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah bin


Najih al-Qurtubi, ia lahir tahun 269 H/ 883 M di Cordova, Andalusia
(Spanyol). Ibnu Masarrah seorang filosof muslim dan juga seorang sufi yang
mengambil ajaran-ajaran neo-platonik Yunani dan sekaligus
mengembangkannya, dimana ia memadukan pemikiran filsafat dan tasawuf. Ia
merupakan pendahulu dari Ibnu ‘Arabi dan Imam al-Syadzili.

Ibnu Masarrah sebagai pendahulu dalam gerakan filosof Islam di


Spanyol, mengikuti al-Kindi yang alim dan sezaman dengan ar-Razi yang
radikal.
Ayahnya seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari madzhab
Mu’tazilah di Basrah dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah
Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah. Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu
kalam dan filsafat sangat terkenal dan sangat berharga bagi para pemikir
Andalusia.

Ibnu Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat Muktazilah dari


ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 286 H/ 899 M, pada saat itu Ibnu
Masarrah berumur 7 tahun, dan pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi
zahid dan sering menyendiri (i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan
para pengikutnya di gunung Cordova. Ia mengajarkan gagasan-gagasan
mu’tazilah tentang paham qadariyah, dan mengajarkan pula bahwa
kenikmatan surga dan siksa neraka tidaklah berkaitan dengan jasmani, tetapi
berkaitan dengan jiwa. Ajaran-ajarannya ini mendapatkan kecaman dan
tantangan dari ahli madzhab Maliki yang bernama Ahmad bin Khalid al-
Habbab, ia membuat buku untuk menentang pendapat Ibnu Masarrah.

Karena banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar dari


Andalusia untuk menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu
Muhammad bin al-Madini dan Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di
Kairouan, kemudian setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini
mereka singgah di rumah Abi Sa’id bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan
salah seorang murid al-Junaid, tetapi Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-
gagasan Ibnu Masarrah, maka ia membuat buku yang menentang Ibnu
Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu Masarrah telah mendapatkan banyak
manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab teologi dan ajaran-ajaran sufi.

Setelah perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah kembali ke


Cordova, ia ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari murid-muridnya
secara sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin membuktikan
kepada para ahli Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan dengan
agama, Ibnu Masarrah meninggal dunia tahun 319 H / 931 M, pada usia
hampir 50 tahun.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah
tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri
terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf
(bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi
maupunaspekkesejarahan.

Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Ibnu


Atha’illah as Sakandari; Al Muhasibi; Abdul Qadir Al Jaelani; Al Hallaj; Dzun Nun
Al Misri; Abu Yazid Al Bustami; Buya Hamka; Jalaluddin Rakhmat; Ibnu Masarrah.

B. Saran

Kita sebagai umat islam wajib mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf
karena dengan kita mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf hidup kita menjadi
lebih tenang dengan kita mendekatkan diri kepada Allah secara langsung. Senlain itu,
dengan kita mengetahui ilmu tasawuf insya allah kita selalu berada dijalan kebenaran
dan kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai