PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang tasawuf dan konsep ilmunya pasti tidak lepas dari tokoh-tokoh
yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh tasawuf atau yang lebih di kenal dengan sufi identik
dengan kehidupan yang sederhana dan kehidupan itu hanya ditujukan untuk mendekatkan dir
kepada Allah SWT.
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang tokoh-tokoh tasawuf (sufi) pada masa
klasik, pertengahan, modern dan kontemporer. Yand dimana para tokoh tersebut memiliki
pandangan dan pemikiran yang berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa klasik?
2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa pertengahan?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa modern?
4. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada masa kontemporer?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa klasik
2. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa pertengahan
3. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa modern
4. Untuk mengetahui tokoh tasawuf pada masa kontemporer
BAB II
PEBAHASAN
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang.Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam
bagi para juru nasihat. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin
dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di
dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan
utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
ilmu tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu
Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran
Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi.
Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu
Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia
lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh
sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada
asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral
(akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi
adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia
adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa
nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum
sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik
boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan
sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika
kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
2. Al Muhasibi
Al-Muhasibi dikenal sebagai sosok ulama yang alim dan serbabisa. Lahir di
Basrah pada 165 H/ 781 M, dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M.
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Abdullah al-Harits bin Asad bin Ma’qil al-
Hamdani al-Muhasibi. Selain dikenal sebagai seorang sufi, Al Muhasibi juga terkenal
di bidang ilmu fikih dan hadis.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada
tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir
nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.
Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi
yang mendirikan Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari
namanya. Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati oleh kaum
muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat
ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti
Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.
Al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada
tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha. Masa
kecilnya ia habiskan di kota Wasiṭ dekat dengan Bagdadsampai usia 16 tahun.
Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada
seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri
Ahwaz.
Ketika tiba di makkah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri
untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj tealah
memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaiman menyatu dengan Tuhan.
Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan
ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam
oleh pengusa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut
membawanya untuk kembali ke Baghdad.
Untuk mencari pengamanan atas dirinya, dari bagdad ia melarikan diri ke Sus,
suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun bersembunyi di
kota tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya,
akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun.
Dzun-Nun Al-Mishri adalah seorang tokoh sufi besar di abad ketiga Hijriah.
Beliau, yang memiliki nama lengkap Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-
Nun al Mishri al-Akhimini Qibṭy, dilahirkan di Akhmim, sebuah kota kuno di tepi
timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir, pada tahun 796 M (180 H). Beliau
meninggal di Kairo pada tahun 856 M (246 H).
Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama ulama
Hadits dan Fikih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal
yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan
hidupnya yang cukup sensitif menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak
sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang
menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya ia sampai
memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri
lain.
Jasa-jasa Zun Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang
jenjang perjalanan sufi menuju Allah Swt, yang disebut al-maqomat. Ajarannya
memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah Swt sesuai dengan
pandangan sufi.
1). Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah Swt pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
3). Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik
orang-orang yang sholeh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah Swt
dengan mata hatinya.
2. Abu Yazid Al Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal
dengan Bayazid. Dia dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-
III dari Bistam wilayah Qum, lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73
tahun.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar
abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham fana’dan baqa. Sebelum ia mendalami tasawuf ia
mempelajari ilmu fiqhi terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar
tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan
perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan
melaksanakan syari’at-Nya.
Perjalanan Abu Yazid al-Bustami untuk menjadi seorang sufi memakan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan
ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam buku.
1. Buya Hamka
1. Buya Hamka
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan
Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat,
dan aktivis politik. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah
dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun
1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan
mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928.
Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka
melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu
langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan
tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun 1955 Hamka beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi
dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah
pemikiran Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.
Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki
Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Hamka
menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian
besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya
bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1960.
Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika
Sukarno wafat, justru Hamka yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara
dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap Hamka. “Ada yang mengatakan
Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun Hamka tidak peduli.
Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi,
di mata Hamka, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar
dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan
Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal
bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap
keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri
dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk
mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai Ketua
MUI.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam
dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada
bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di
Malaysia dan Singapura.
1. Jalaluddin Rakhmat
Pertama, perhatian umat Islam di Indonesia terhadap fikih sudah terlalu lama
dan terlalu dalam. Sehingga melahirkan organisasi-organisasi keagaaman yang
berdasarkan fikih.
Ketiga, fikih sering menjadi sebab perdebatan di antara umat Islam yang
mengakibatkan rapuhnya sendi ukhuwah Islamiyah. Sehingga menyebabkan umat
Islam terkotak-kotak, bahkan saling memusuhi dan saling menghancurkan.
2. Ibnu Masarrah
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah
tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri
terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf
(bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi
maupunaspekkesejarahan.
B. Saran
Kita sebagai umat islam wajib mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf
karena dengan kita mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf hidup kita menjadi
lebih tenang dengan kita mendekatkan diri kepada Allah secara langsung. Senlain itu,
dengan kita mengetahui ilmu tasawuf insya allah kita selalu berada dijalan kebenaran
dan kebaikan.