Diajukan sebagai salah satu syarat pemenuhan nilai tugas Aswaja An-Nahdliyah
Disusun Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya, sehingga saya mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai salah satu
syarat pemenuhan nilai tugas Aswaja An-Nahdliyah yang berjudul “MAKALAH ASWAJA
AN-NAHDLIYAH POKOK-POKOK ASWAJA DI BIDANG TASAWUF”.
Dengan harapan pada pembuatan makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi saya
dan pembaca diberbagai kalangan. Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Dengan
kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran dari dosen pengampu, guna peningkatan
pembuatan makalah pada waktu mendatang dan agar saya dapat memperbaikinya untuk
kemajuan kedepannya.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 4
C. Tujuan…………………………………………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pokok-pokok Ajaran Aswaja berpedoman kepada teladan Rasulullah SAW dan para
sahabat, dalam aspek keyakinan, amal-amal lahiriah, maupun akhlak hati.
Sebagaimana isyarat dalam redaksi hadist riwayat Imam Muslim yang mengisahkan
datangnya malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Untuk bertanya mengenai iman,
islam dan Ihsan. Iman, islam dan ihsan merupakan tiga pilar yang harus diyakini dan
diamalkan seorang muslim secara universal. Ketiganya harus dijalankan secara
seimbang dan menyeluruh agar tidak terjadi ketimpangan.
Menurut Syaikh 'Izzuddin Ibnu 'Abdissalam, objek ajaran iman adalah penataan
hati. Esensi islam diartikan sebagai penataan aspek lahiriah, sedang ihsan menata
aspek rohaniah.
Dalam sejarahnya, muncul berbagai disiplin ilmu yang serius membahas tiap-tiap
aspek ajaran tersebut. Dimensi iman dipelajari dalam ilmu akidah (tauhid), Islam
diteliti dalam ilmu syari'at (fiqih). Sedang, ihsan dibahas dalam ilmu akhlak
(tasawuf).
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah pokok-pokok aswaja dalam bidang tasawuf?
2.Siapa sajakah tokoh aswaja dalam bidang tasawuf?
3.Jelaskan tentang biografi tokoh aswaja dalam bidang tasawuf
C.Tujuan
1.Mengetahui apa itu pokok-pokok aswaja dalam bidang tasawuf
2.Mengetahui tokoh-tokoh aswaja dalam bidang tasawuf
3.Mengetahui biografi masing-masing tokoh aswaja dalam bidang tasawuf
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi
kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil
posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena
itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun
meninggalkan Al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja.
Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi
Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih
telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan
tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah
yang akan menemukan kebenaran”.
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya.
Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan
oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami
sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat
dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-
zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela)
dan dzikir yang dilakukan mereka.
5
Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama
manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak, bukan semata hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja
An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-
kewajiban syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya
“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan),
kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh
Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw, melalui cucu
terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata, “Anakku, Abdul Qadir, lahir
di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah
mau diberi makan.”
6
tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir
Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-
Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan
di kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya
seorang pedagang barang pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara
kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi
terkemuka yang kelak menjadi gurunya. Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada
usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan
menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai
penyandang gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru
dan Pemimpin kaum sufi).
7
mengedepankan ilmu agama sebagai pegangan kaum sufi dalam
menempuh jalan suluk.
2) Konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah
ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang
bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi
keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
3) Kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas
fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.
4) Ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan
ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa
orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah
saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan
kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian
mematahkan tasawuf ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang
sudah sampai pada derajat makrifatatau wali, maka pengamalan terhadap
ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
8
Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf Islam,
dan menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan paham positifisme
yang sesusi dengan akidah dan syariah.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-
Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu
dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan
bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan oleh
para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu
memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka
selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan
akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan
penuh kaikhlasan dan ketertundukan.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bidang tasawuf ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni tasawuf yang
tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan al-
Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
10
DAFTAR PUSTAKA
11