Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RESUME ASWAJA

TASAWUF AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH


Dosen pembimbing : Mutho'am., S.HI., M. S. I

Nama : Nur Baiti


Nim : 2018190003

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN (FIKES)
UNIVERSITAS SAINS AL’QURAN
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2020
TASAWUF AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH

Dalam bidang tasawuf, Ahlussunah wal jamaah (Aswaja) memiliki prinsip untuk
dijadikan pendoman bagi pengikutnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fikih, di
mana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Manusia di ciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti meninggalkan
urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan dunia,
namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam memenuhi urusan dunia dan
akhirat mesti seimbang dan proporsional.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karna
itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-
Quran dan Sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui
tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang
bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan"Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih
telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf
telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran".
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga
pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabiin, tabiut tabiin
sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama waliyuLlah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial
merek. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara
(menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang di lakukan mereka. Kehidupan
sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab
tasawuf tercermin dari akhlak,bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan. tetapi juga
hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syariat. Karna itu, kaum Aswaja An-
Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban
syariat, seperti praktik tasawuf al-Hallaj(al-hulul) dengan pernyataannya ana al-haqq atau
tasawuf Ibnu Arabi (ittihad: manunggaling kawula gusti).
Dalam hal tasawuf, paham Ahlussunah Wal Jamaah mengikuti tasawuf yang di ajarkan
oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya,
konsep tasawuf yang dihadirkan para sufi sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu
tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
A. Tasawuf Imam Abdul Qadir al-Jailani
Beliau lahir pada 470H. (1077-1078) di al-jil (disebut juga Jailan dan Kilan),
kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah
Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw, melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu
ketika ibunya berkata "Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang
hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau di beri makan. 'Ketika berusia 18
tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad. 'Kudatangi
ibuku dan memohon kepadanya,' izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku
pergi mencari ilmu bersama para bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah."
Pada waktu itu, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu
Aqil, Abdul Khatthat, Abdul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim.
Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasasai ilmu-
ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada
tahun 521 H atau 1127 M, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan
fatwa-fatwa agama kepada Masyarakat. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan
waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia
sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah,
sebuah istilah yang tidak lain bersal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan
banyak di minati oleh banyak kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai
pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan
negara musim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika
dan Asia termasuk Indonesia.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis
(ikhlas). Ia rutin mengamalkan wirid dan dzikir, kegiatan wirid dan dzikir biasanya
dilakukan setelah sholat sunnah, baik siang ataupun malam hari. Namun demikian ia
juga sering melakukannya setelah sholat fardhu. Sholat-sholat sunnah yang sering
dikerjakan al-Jaelani ini setiap hari meliputi: sholat witir (3 rakaat), sholat fajar,
dholat isyrad (setelah matahari terbit) sholat isti'adah, Sholat istikharah, sholat duha,
sholat kaffarah li al-qawl, dan sholat tasbih. Sedangkan dzikir kesehariannya antara
lain: membaca al-Quran paling sedikit 200 ayat, surat al-ikhlas 100 kali, shalawat 100
kali, sayyaidaul istighfar 100 kali, tahlil 100 kali.
Jalan untuk mencapai proses tersebut sangatlah panjang, yang disebut dengan al-
maqamat. Adapun macam-macam dari al-maqamat itu sendiri yaitu:
1. Maqam tawbat yaitu meninggalkan dan tidak mengulangi lagi suatu perbuatan
dosa yang pernah dilakukan, demi menjunjung tinggi ajaran-ajaran Allah dan
menghindari murkanya.
2. Maqam wara' yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu guna
menjunjung tinggi perintah Allah atau meninggalkan sesuatu yang bersifat subhat.
3. Maqam zuhd yaitu lepasnya pandangan kedunian atau usaha memperolehnya dari
orang yang sebetulnya mampu memperolehnya.
4. Maqam shabr yaitu ketabahan karena dorongan agama dalam menghadapi atau
melawan hawa nafsu.
5. Maqam faqir yaitu perasaan tenang dan tabah di kala miskin harta dan
mengutamakan kepentingan orang lain di kala kaya.
6. Maqam khauf yaitu rasa ketakutan dalam menghadapi siksa dan azab Allah.
7. Maqam raja' yaitu rasa gembira karna mengetahui adanya kemurahan dzat yang
maha kuasa.
8. Maqam tawakal yaitu pasrah dan bergantung kepada Allah dalam kondisi apapun.
9. Maqam ridha yaitu sikap tenang dan tabah tatkala menerima musibah
sebagaimana di saat menerima nikmat.

B. Tasawuf Imam Abu al-Qosim al-Junaidi al-Bahdadi


Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-
Junaidi al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau di lahirkan di kota
Baghdad tanpa di ketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang
barang pecah belah, sementara ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-
Mughallis al-Saqathi (w.235 H/867 M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak
menjadi gurunya. Al-Junaidi dikenal cerdas, dan pada usia 20 tahun telah mampu
mengeluarkan fatwa.semua kalangan penerima madzhab yang dibangunnya, dan
beliau disepakati sebagai penyandang gelar "Syeikh at-Thaifah as-Shufiyyah wa
Sayyiduha" (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).
Abdul Wahhab as-Sya'rani , sebagaimana di kutip dari Dr. K. H Saefuddin
Chalim, mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid
menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga di akui
sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussunah Wal Jama'ah.
Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid
terhadap al-Quran dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam
membangun madzhabnya di atas fondasi islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa
adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke dalam
kesesatan. Oleh karenannya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama sebagai
pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
Kedua, konsistensi terhadap syari'ah. Para ulama mengakui bahwa belum
pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam dalam bidang tasawuf
yang bertentang dengan syari'ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari
jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
Ketiga, kebersihan dalam akidah. al-Junaid membangun madzhabnya diatas
fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah Wal Jama'ah.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat
merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah Wal Jamaah. Al-Junaid memandang bahwa
orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja,
sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada
manusia. Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang
beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali,
maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.

C. Tasawuf Imam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali


Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali at-Thusi. Beliau di lahirkan di kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450
H/1058 M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau
yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai
pemintal tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar
ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah
belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-
Isma'ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Maali Abdul Malik bin Abdllah al-
Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi'i.
Kecemerlangan al-Ghazali mengantarkannya menduduki guru besar di
Universitas Nizhamiyah Baghdad (Tahun 848/1091 M) disanalah waktu itu, al-
Ghazali dikelilingi dengan berbagai kesenganan duniawai, tetapi hal tersebut tidak
membuatnya bahagia. Lalu beliau memutuskan untuk pindah ke Damaskus di Syiria
dan tinggal di kota itu. Di sana beliau lebih banyak beri'tikaf dan berzikir, menjalani
riyadhah dan mujahadah. Setelah dua tahun, al-Ghazali kemudian meninggalkan
Damaskus menuju Baitul Maqdis di Palestina.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar
aslinya seperti yang di amalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis
puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumi ad-Din ( Menghidupkan
kembali ajaran islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan
pendoman perkembangan tasawuf islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesuai dengan akidah dan syariah.
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya
memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki
peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf. Jika pada awal
pembentukan tasawuf berupaya menengggelamkan diri pada Tuhan di meriahkan
dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (Khawf), Rabi'ah al-Adawiyah (huba al-
ilah) Abu Yazid al-Busthami (fana), al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang
dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibnu Arabi (wahdat al
wujud) Ibnu Sabiin (ittihad) dan Ibnu Faridh (cinta, fana dan wahdat al-wujud) yang
mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah,
kehadiran al-Ghazali justru telah memberikan warna lain dia telah mampu melakukan
konsolidasi dalam memadukan ilmu klam, fiqih dan tasawuf yang sebelumnya terjadi
ketegangan. Kendatipun sumbangan al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup
besar dan telah memberikan warna baru, dan berusaha merilis satu jalan ruhani
menuju Tuhan dengan mendasarkan al-Quran dan hadist, selain secara epistemologi
berusaha menemukan kebenaran dengan jalan instusi (dzauqiyah).
Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan al-Quran
dan sunnah Nabi di tambah dengan doktrin Ahlussunah Wal Jammah. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di
lihat dalam karya-karyanya seperti ihya Ulumi ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan al-
Amal, Bidayah al-Hidayah, M'raju as-Salikin, Ayyuha al-Walad. al-Ghazali menilai
negatif terhadap syathhat dan ia sangat menolak paham hulul dan it-tihad (kesatuan
wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang marifat, yakni pendekatan diri
kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
Menurut al-Ghazali marifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat untuk memperoleh marifat
bersandar pada sirr-al-qalb dan ruh. Pada saat sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan
kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan,
kelak keduannya akan mengalami ilumnisa (kasf) dari Allah dengan menurunkan
cahayanya kepada sang sufi sehingga yang di lihatnya hanyalah Allah, disini
sampailah ia ke tingkat marifat.
Tasawuf ini sering kali di artikan sebagai ilmu mengenai tahapan-tahapan
menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT. Tahapan-tahapan itu terbagi
dalam bagian thariqah, hakikat, dan marifat. Tasawuf sendiri merupakan ajaran
akhlaq yang didasarkan pada akhlaq Nabi Muhammad SAW. Diantara sikap batin
yang menonjol dibahas dalam tasawuf diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqamah,
zuhd, dan wara.
Thariqah sebagai jalan awal menuju ma'rifatLlah yang merupakan bagian dari
ilmu tasawuf telah di ajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti
Sayyidina Ali bin Abi Thaib kw. Dan Syyaidina Abu Bakar ash-shiddiq. Diantara
thariqah mu'tabarah (sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad
SAW) adalah Thoriqoh Qadiriyah yang di dirikan Syekh Abdul Qadir al-Jailan,
Thariqoh Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali as-Sadzili, Thariqoh
Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandiy, dan
Thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh at-Tijany. Menurut Habib Lutfi bin Yahya,
Mursyid Thariqoh di Indonesia, thariqoh yang mutabarah di indonesia tercatat sekitar
48 macam.
Kondisi saat berkembangnya Ilmu Tasawuf yang mulai di tuliskan dan dimulai
sekitar abad ke-3 H yang memperkenalkan konsep ittihad (penyatuan), hulul
(leburnyaa substansi manusia ke dalam substansi Ilahi), dan wahdat al-wujud
(penyatuan wujud) serta wahdat al-muthalaqah (penyatuan mutlak) dalam pengertian
marifat itu ditolak oleh Imam Abdul Hasan al-Asy'ari karena di anggap tidak sesuai.
Sikap Imam Asyari itu didukung dan berusaha diluruskan oleh para tokoh tasawuf
sunni, diantaranya Imam Ghazali dan Imam Qusyairi.
Menurut mereka tasawuf merupakan upaya sungguh-sungguh dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, melalui sikap zuhud (sikap
menjauhi cinta dunia) ketekunan ibadah (an-nusuk) dan latihan rohani (ar-riyadhah
an-nafs) meskipun harus di akui bahwa ada dua alam yakni alam dhohir yang dicapai
melalui panca indera dan alam batin yang dicapai dengan sarana emanasi(pancaran
rohani) dan ilham, tetapi hal itu bukanlah melalui proses ittihad, hulul atau wahdat al-
wujud, melainkan melalui proses mukasyafah dan musyahadah (terbukanya tirai hijab
ghaib dan terbukannya kemampuan untuk melihat keagungan Ilahiyah) yakini suatu
jenis pengetahuan perasaan tertentu yang dimiliki orang-orang yang sudah mampu
melepaskan dirinya dari pengaruh duniawi atau godaan materi dan mampu
berperilaku yang mencitrakan sifat-sifat terpuji (marifat dzauqiyah).
Meskipun konsep pemikiran para sufi falsafi, seperti Dzun Nun Al-Mishri,
Abu Yazid al-Bustami, Muhyiddin Ibnu Arabi dan Ibnu sabiin bahkan salah satu sufi
paling kontroversial, Husain bin Mansur al-Hallj (yang memperkenalkan istilah
ittihad, wahdatu al-wujud dsb) ditolak oleh kaum Aswaja, namun pada bagian
tertentu, seperti ilmu riyadhah, hikmah dan amaliyah yang diajarkan dan dilakukan
oleh para sufi falsafi tersebut tetap dipelajari dan dilakukan oleh kaum Aswaja dalam
rangka menambah nilai-nilai tasawuf dalam bingkai nilai-nilai syariat islam.
Prinsip dasar dari aspek tasawuf adalah adanya keseimbangan kepentingan
ukhrawi dan selalu mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan spiritual yang
bertujuan untuk memperoleh hakekat dan kesempurnaan hidup manusia. Akan tetapi
tidak boleh meninggalkan garis-garis syariatyang telah ditetapkan olah Allah dalam
al-Quran dan as-Sunnah. Jalan sufi yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad
dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap serta teguh memegang perintah-perintah
Allah. Karna itu umat islam tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari
kewajiban syariat, seperti perilaku tasawuf yang dilakukan oleh al-Hallaj (al-hulul)
dengan pernyataanya "ana al-Haqq", Ibnu Araby (al-ittihad atau manunggaling
kawula Gusti).
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Junaid al-
Baghdadi, kaum Aswaja an-Nahdliyah di harapkan menjadi umat yang selalu dinamis
dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan
dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal
semacam ini pernah ditunjukan oleh para penyebar islam di Indonesia, Walisongo.
Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada
saat yang sama mereka selalu membenahi akhlak masyarakat dengan penuh
kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat di terima oleh seluruh lapisan
masyarakat dengan penuh ke ikhlasan dan ketertundukan.

Anda mungkin juga menyukai