Anda di halaman 1dari 27

Dari sekian banyak aliran tarekat terdapat sekurang-kurangnya tujuh aliran tarekat yang

berkembang di Indonesia, yaitu tarekat Qadariyah, Rifaiyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah,


Khalwatiyah, al-Hadad, dan tarekat Khalidiyah.

1. Tarekat Qadiriyah

Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166) yang sering pula
disebut al-Jilli. Tarekat ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok, sampai ke pulau Jawa.

Pengaruh tarekat ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan
manaqib Pada acara-acara tertentu. Naskah asli manaqib ditulis dalam bahasa Arab Berisi
riwayat hidup dan pengalaman Sufi Abdul Qadir Jaelani sebanyak empat puluh
episode. Manaqib ini dibaca dengan tujuan agar mendapatkan berkah dengan sebab
keramatnya.

Sekilas Tarekat Qodiriyah

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu
sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan
bahawa peribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
melakukan tahannus dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari
masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanus dan
Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh
permasalahan dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada
Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada
keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga
tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silasilah tarekat Qadiriyah yang merujuk
pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari
Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhyuddin Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-
Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin
Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali
tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany
(440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal
oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan
ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir
Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656
H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh
jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski
sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di
India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku
keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi
gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180
H/1669 M.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luas. Yaitu bila murid sudah mencapai darjat syeikh, maka
murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak
pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat
gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya.”

Mungkin karena keluasannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam
kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19,
Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M),
Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah,
Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada
tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan
Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya,
Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul
Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya
pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan
makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.

Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut,
yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki
tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat redha dari Allah swt. Oleh sebab itu
dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan
terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, zikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara
nyaring, keras (zahir) yang disebut (nafi isbat) adalah contoh ucapan zikir dari Syiekh Abdul
Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu
dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan
Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali,
Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar solat agar berzikir
semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi
dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.

Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa
Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi erti yang sedalam-
dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri
dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap
muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah
masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin
Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah
dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran
sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan
sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw
adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik
peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan
sebagainya.

Bai’at

Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahap-tahap seperti pertama, adanya pertemuan
guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan solat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih
dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar,
lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi
minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru
mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang
murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai
murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun.
Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala
perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan
melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan
pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan
manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS
Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah)
pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan
itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini
mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi
eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang isi
kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan
tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus
mendapat ijazah, talqin dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi
dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Malaysia.
2. Tarekat Rifa’iyah

Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Syaikh Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin
Abbas. Meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H. bertepatan
dengan tanggal 23 September tahun 1106 M.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia meninggal pada bulan Rajab tahun 512 H.
bertepatan dengan bulan November tahun 1118 M. di Qaryah Hasan. Tarekat ini banyak
tersebar di daerah Aceh, Jawa, Sumatera Barat, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya.

Ciri tarekat ini adalah penggunaan tabuhan rebana dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian
dan permainan debus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi
dengan zikir-zikir tertentu. Permainan debus ini berkembang pula di daerah Sunda,
khususnya Banten, Jawa Barat.

Sejarah Tarekat Rifa’iyah


Dalam agama Islam, banyak sekali aliran keagamaan yang berkembang, baik dalam bidang
ilmu kalam (teologi) atau akidah, fikih, tasawuf, maupun lainnya.

Dibandingkan bidang teologi dan fikih, aliran yang paling banyak berkembang adalah
tasawuf. Setidaknya, banyak cara umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah melalui
pendekatan olah spiritual (hati), khususnya tasawuf.Dalam ilmu tasawuf, salah satu upaya
yang dikembangkan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) adalah mengikuti
tarekat. Tarekat berasal dari bahasa Arab, yakni thariqah, yang berarti jalan.
Sedikitnya terdapat 42 tarekat mu’tabarah (terkenal) di dunia. Mulai dari tarekat Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah,
Khalwatiyah, Syattariyah, Khalidiyah, Mufaridiyah, hingga Rifa’iyah.

Tarekat Rifa’iyah, khususnya, pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak
bagian selatan. Pendirinya adalah Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i. Ia lahir di
Qaryah Hasan, dekat Basrah, Irak bagian selatan, pada 500 H (1106 M). Sedangkan, sumber
lain menyebutkan, ia lahir pada 512 H (1118 M).

Abu Bakar Aceh dalam buku Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik
memaparkan, Ar-Rifa’i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian
selatan. Sewaktu berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya,
Mansur Al-Batha’ihi, seorang syaikh tarekat.

Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut, ia juga berguru pada pamannya yang lain,
Abu Al-Fadl Ali Al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi’i. Pada usia 21 tahun,
ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah sembilan sebagai pertanda
sudah mendapat wewenang untuk mengajar.

John L. Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern menyebutkan, garis
keturunan sufi Ar-Rifa’i sampai kepada Syaikh Junaid Al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl
At-Tustari (wafat 896 M).

Pada 1145, Ar-Rifa’i menjadi syaikh tarekat ini ketika pamannya (yang juga merupakan
syaikhnya) menunjuknya sebagai pengganti. Dia kemudian mendirikan pusat tarekat sendiri
di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat dia wafat kelak.

Tarekat Rifa’iyah berbeda dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) Rifa’iyah yang ada di
Indonesia.Ormas Rifa’iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad Ar-Rifa’i Al-Jawi bin
Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo. Lahir pada 9 Muharram 1200 H (1786 M ) di
Desa Tempuran, Kabupaten Kendal.
Tarekat Rifa’iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting
dalam pelembagaan sufisme. Di bawah bimbingan Ar-Rifa’i, tarekat ini tumbuh subur.

Dalam tempo yang tidak begitu lama, tarekat ini berkembang luas ke luar Irak, di antaranya
ke Mesir dan Suriah. Hal tersebut disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh
Timur Tengah.

Dalam perkembangan selanjutnya, Tarekat Rifa’iyah berkembang di kawasan Anatolia di


Turki, Eropa Timur, wilayah Kaukasus, dan kawasan Amerika Utara. Para murid Rifa’iyah
membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut. Setelah beberapa lama, jumlah
cabang Tarekat Rifa’iyah meningkat dan posisi syaikh pada umumnya turun-temurun.

Tarekat ini juga tersebar luas di Indonesia, misalnya di daerah Aceh terutama pada bagian
barat dan utara, di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun, di daerah Aceh, tarekat ini
lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang memiliki makna tabuhan rabana yang berasal dari
perkataan pendiri dan penyiar tarekat ini.
Meskipun terdapat di tempat-tempat lain, menurut Esposito, Tarekat Rifa’iyah paling
signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak, dan Amerika
Serikat.

“Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmani (Ottoman), Rifa’iyah merupakan tarekat penting.
Keanggotaannya meliputi sekitar tujuh persen dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi di
Istanbul,” tulis Esposito.

Pendiri Tarekat Rifa’iyah

Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i. Ia lahir di
daerah Irak bagian selatan, tepatnya di Qaryah Hasan, dekat Basrah, sekitar tahun 1106 M.
Namun, ada pula yang menyebutkan, ia dilahirkan pada 1118 M.Ia mendapat gelar muhyidin
(penghidup agama) dan sayyid al-‘arifin (penghulu para arif). Ia terkenal dengan tingkat
spiritualitasnya yang sangat tinggi. Menurut sejumlah literatur, Syaikh Ahmad Rifa’i ini
dikenal sebagai orang yang sangat tawadhu dan sangat menekankan pentingnya menjaga
hubungan dengan Allah.
Bahkan, sejumlah pengikutnya meyakini Syaikh Ar-Rifa’i mendapat anugerah dari Allah
sebagai salah satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit lepra, kebutaan, dan lainnya.
Sejak kecil, ia sudah memiliki berbagai keistimewaan. Pada usia 21, ia sudah mendapatkan
ijazah dari pamannya untuk mengajar. Syaikh Ahmad Rifa’i wafat pada 587 H.

Para Mursyid Tarekat Rifa’iyah


Setiap tarekat selalu dipimpin oleh seorang tokoh sentral yang disebut dengan mursyid atau
guru. Demikian juga dengan Tarekat Rifa’iyah. Entah siapa kini yang menjadi tokoh sentral
utamanya. Sebab, tarekat ini berada di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Mesir,
Palestina, Turki, bahkan Asia Tenggara. Masing-masing Tarekat Rifa’iyah di wilayah ini
memiliki mursyid masing-masing. Para mursyid itu mengajarkan ajaran tarekat berdasarkan
kondisi wilayahnya.
Rifa’iyah di Turki

Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Turki semasa pemerintahan Turki Usmaniyah (Ottoman)


terbilang sangat pesat. Sejarah mencatat beberapa nama mursyid (pemimpin) Tarekat
Rifa’iyah di Turki. Salah satunya adalah Syaikh Abu Al-Huda Muhammad As-Shayyadi
(1850-1909).Syaikh Shayyadi mendirikan salah satu cabang penting Tarekat Rifa’iyah.
Karena pengaruh yang dimiliki Syaikh Shayyadi terhadap Sultan Abdul Hamid II, Tarekat
Rifa’iyah menjadi tarekat resmi yang dianut Kesultanan Ottoman.
Pada masa berikutnya, sebagaimana ditulis John L. Esposito dalam Ensiklopedia Oxford:
Dunia Islam Modern, di Turki, dikenal sosok bernama Kenan Rifa’i (wafat 1950). Syaikh
Kenan tinggal di lingkungan yang mencakup banyak orang Turki yang berbudaya dan
berpendidikan tinggi, termasuk kaum perempuan dan orang-orang Kristen.

Syaikh Kenan mengajarkan sufisme sebagai cinta universal. Kecenderungan ini dimodifikasi
oleh Samiha Ayverdi – membimbing orang-orang yang setia kepada ajaran Syari’ati setelah
Syaikh Kenan wafat – dengan terbit karya politiknya yang tajam di Istanbul pada 1979 yang
berjudul Let Us Be Not Slaves but Masters.

Rifa’iyah di Timur Tengah


Di dunia Arab, Tarekat Rifa’iyah hadir secara signifikan di Mesir, Palestina, Lebanon,
Suriah, dan tempat kelahirannya, Irak. Pada awal abad ke-19, ungkap Esposito, di Mesir tidak
ada otoritas pusat di kalangan Rifa’iyah.Namun, sejak 1970, pemimpin tertinggi Tarekat
Rifa’iyah di Mesir adalah Syaikh Mahmud Kamal Yasin, yang juga merupakan ketua cabang
Amriyah dari tarekat tersebut.
Kaum Rifa’iyah Mesir, yang seperti kebanyakan kaum sufi Mesir, merasa bahwa salah satu
faktor yang membedakan kaum sufi dari Muslim lainnya adalah kesetiaan mereka kepada
Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.Di Palestina, pada 1981, syaikh Rifa’iyah aktif yang
utama adalah Syaikh Kamil Al-Jabari dari Hebron dan Syaikh Nazhmi Aukal dari Nablus.
Kaum Rifa’iyah di Tripoli, Lebanon, mulai aktif sejak 1984. Pada saat itu, terdapat lima
zawiyah terkenal yang masih mempraktikkan ritual dzikir.

Di Suriah, setelah Naqsyabandiyah, Rifa’iyah merupakan tarekat yang paling tersebar luas
dan dinamis. Sejak awal 1980-an, cabang Suriah yang paling signifikan adalah cabang Syaikh
Abdul Al-Hakim Abdul Al-Basith Al-Saqbani. Dia dan orang-orang yang berkaitan
dengannya telah menerbitkan banyak tulisan para syaikh Rifa’iyah.

Cabang utama Tarekat Rifa’iyah di Irak telah dipimpin oleh keluarga Al-Rawi. Beberapa
tahun terakhir, di bawah arahan Syaikh Khasyi Ar-Rawi dari Baghdad, kaum Rifa’iyah Irak
seperti halnya di Suriah menerbitkan sejumlah naskah Rifa’iyah lama.
Rifa’iyah di Amerika Serikat
Di Negeri Paman Sam, setidaknya terdapat tiga cabang tarekat Rifa’iyah. Syaikh Taner
Vargonen, yang berbasis di California Utara, memiliki garis keturunan Qadiriyah-Rifa’iyah
yang berasal dari Syaikh Muhammad Anshari (wafat 1978) dari Istanbul.Sejak 1992, seorang
Rifa’iyah Turki lainnya, Syaikh Mehmet Catalkaya (Serif Baba), telah mengawasi pendirian
tekke di Chapel Hill, North Carolina, dan di Manhattan. Syaikh dari Serif Baba adalah
Burhan Efendi dari Izmir.
Cabang Rifa’iyah ketiga terletak di negara bagian New York. DR Muhyiddin Shakoor,
seorang psikolog konseling, menuliskan keterlibatannya dengan mereka dalam bukunya yang
bertajuk The Writing on the Water. Ia menghubungkan para syaikh Tarekat Rifa’iyah cabang
New York ini secara garis keturunan dengan kaum Rifa’iyah di Kosovo.

3. Tarekat Naqsyabandi

Adapun tarekat Naqsyabandi didirikan oleh Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari
(727-791 H). Ia biasa disebut Naqsyabandi diambil dari kata naqsyaband yang berarti lukisan,
karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang gaib-gaib.

Tarekat ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Ke daerah Sumatera Barat,
tepatnya daerah Minangkabau, tarekat ini dibawa oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi,
sehingga dikenal dengan sebutan Tarekat Naqsyabandiah al-Khalidiyah. Amalan tarekat ini
tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.

Didirikan oleh Syekh Bahauddin pada abad ke-14, Naqsyabandiyah adalah sebuah aliran
tasawuf dengan pengikut yang signifikan. Di Indonesia, persebarannya digerakkan ulama-
ulama besar.
Biografi Syekh Bahauddin
Berbagai aliran tasawuf muncul sejak berabad-abad silam dan masih eksis hingga saat ini.
Salah satunya adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Martin van Bruinessen dalam
bukunya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan
Sosiologis (1992), menjelaskan asal usul aliran tersebut. Seperti tampak pada namanya,
perintis jalan sufi tersebut adalah Syekh Bahauddin al-Bukhari an-Naqsyaband (wafat 1389
M).
Tokoh tersebut lahir dengan nama Muhammad bin Muhammad al-Naqshaband di Desa Qasr
Arifan, Asia tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Ia termasuk keturunan Nabi
Muhammad SAW dari garis nasab Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu, dirinya
bergelar shah, sebutan lokal untuk kata bahasa Arab sayyid.

Pada masa dewasanya, Shah Naqshaband dijuluki sebagai Bahauddin. Sebab, dia dipandang
berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus dan penuh penghayatan. Ia juga disebut al-
Bukhari karena menghabiskan nyaris seluruh masa hidupnya di Kota Bukhara, yang terletak
tidak jauh dari kampung halamannya.
Pada awal abad kedelapan Hijriyah, tradisi tasawuf di Asia tengah berkembang di bawah
bimbingan tuan guru (khoja) Baba Sammasi. Konon, ulama besar itu melihat semburat
cahaya yang terang benderang dari Qasr Arifan tepat ketika Muhammad al-Naqshaband lahir.
Hal itu dianggap sebagai petanda bahwa seorang sufi akan muncul dan menyinari dunia dari
desa tersebut.
Baba Sammasi sesudah itu melanjutkan perjalanannya, mengunjungi kota demi kota di Asia
tengah. Sekira 18 tahun kemudian, khoja tersebut kembali ke Qasr Arifan untuk
menyambangi rumah tokoh setempat, yakni kakek Muhammad al-Naqshaband. Setelah
mengutarakan maksud kedatangannya, ulama tersebut meminta agar cucu sang tuan rumah
dibawa ke hadapannya. Al-Naqshaband muda lalu diangkatnya sebagai anak.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi berpesan kepada penerusnya, yakni Shah Amir
Kulali, agar membimbing al-Naqshaband dengan penuh perhatian. Bahkan,
sang khoja menekankan wasiatnya itu dengan berkata kepada Shah Amir, "Semua ilmu dan
pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu jika engkau lalai dari
melaksanakan pesanku ini." Demikian dinukil dari tulisan Aunul Abied Shah, "Bahauddin
Shah Naqshabandi: Mahaguru Pembaru Tasawuf" (2009).

Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu jika
engkau lalai dari melaksanakan pesanku ini.

Shah Muhammad al-Naqshaband hijrah ke Nasaf untuk mengikuti Shah Amir Kulali. Di
bawah arahannya, pemuda tersebut semakin mendalami ilmu-ilmu tasawuf. Salah satu latihan
spiritual (riyadhah) yang dilakukannya adalah menjaga hati. Tujuannya agar dirinya selalu
menjaga kesopanan dan perasaan sehingga tidak lancang terhadap Allah, Rasulullah SAW,
dan para guru.
Intinya, menghayati sikap rendah hati dalam kondisi apa pun. Dan, guru pertamanya dalam
tasawuf adalah Baba Shamsi. Almarhum telah berpesan agar, sepeninggalan dirinya, Shah al-
Naqshaband belajar kepada Shah Amir. Menaati wasiat tersebut adalah salah satu bukti
tawadhu kepada sang khoja.
Dikisahkan, saat sedang dalam perjalanan menuju Nasaf, remaja yang saleh itu bertemu
dengan seorang lelaki misterius. Berpakaian rapi dan penuh wibawa, pria tersebut turun dari
kudanya untuk berbicara dengan Shah al-Naqshaband. Rupanya, orang asing itu meminta
agar pemuda tersebut mau menjadi muridnya.

Dengan penuh kesopanan, al-Naqshaband menolak permintaan tersebut. Ia pun menjelaskan


keadaannya yang mesti menunaikan amanah almarhum gurunya. Setelah mendengarkan
alasannya, penunggang kuda itu pun pergi.

Sesampainya di Nasaf, al-Naqshaband pun menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya
kepada Shah Amir. Gurunya tersebut lalu mengungkapkan, sosok misterius itu sesungguhnya
adalah Nabi Khidir. "Mengapa engkau menolak menjadi murid sang nabi?" tanya penerus
Baba Sammasi itu.

"Karena aku telah diperintahkan oleh almarhum khoja untuk menimba ilmu kepadamu,"
jawabnya.
Berbagai kisah yang menakjubkan dikaitkan dengan al-Naqshaband. Sebagai contoh, ia
diceritakan mendapatkan ilmu dari seorang alim yang sudah meninggal, Abdul Khaliq
Gujdawani. Sebab, dirinya dituturkan pernah berinteraksi dengan roh khoja tersebut.
Sejak saat itu, ia dikenal dengan julukan al-Uwaysi karena memperoleh pencerahan dari
seorang guru yang tidak pernah ditemuinya --secara fisik-- di dunia. Keadaannya persis
seperti seorang tabiin, Uwais al-Qarni, yang hidup sezaman dengan Rasulullah SAW, tetapi
"hanya" berjumpa secara spiritual dengan dan mendapatkan pelajaran dari roh beliau.

Di bawah bimbingan Shah Amir, Shah al-Naqshaband tidak hanya mengkaji tasawuf, tetapi
juga ilmu-ilmu keislaman lainnya. Misalnya, akidah, fikih, hadis, dan sejarah kehidupan Nabi
SAW (sirah nabawiyah). Lantaran amanah gurunya pula, Amir Kulali selalu memberikan
perhatian yang lebih kepada muridnya itu. Hingga akhirnya, sang santri dinilai telah
mencapai kedalaman ilmu, selayaknya seorang sufi yang siap menuju pintu makrifat.

Semua yang ada di sini sudah habis Anda resapi. Maka mengembaralah, Bahauddin!
Sebelum merestui kepergian santrinya itu, Shah Amir berkata kepada al-Naqshaband sembari
menunjuk pada dadanya sendiri, "Semua yang ada di sini sudah habis Anda resapi. Maka
mengembaralah, Bahauddin!"

Dari Nasaf, Shah Bahauddin an-Naqsyaband pun berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Di
setiap tempat, salik tersebut berguru kepada para mursyid terkemuka. Dalam periode tersebut,
dirinya juga menunaikan ibadah haji hingga tiga kali. Barulah kemudian, ia menetap di
Bukhara guna mengajarkan ilmu dan tarekatnya kepada kaum Muslimin.

Sebelumnya, laku tasawuf di Asia tengah umumnya disebut sebagai Tarekat Ishqiyyah. Ini
merujuk pada nama tokoh Abu Yazid al-‘Ishqi, yang silsilah keilmuannya bersambung
hingga Abu Yazid al-Bustami (wafat 260 H/873 M) dan Imam Ja’far as-Sadiq (wafat 146
H/763 M). Seiring dengan popularitas Shah Bahauddin, maka perkumpulan dan ajaran-ajaran
tasawuf setempat dinamakan Tarekat Naqsyabandiyah atau ‘para pengikut Syekh Bahauddin
an-Naqsyaband.’

Hingga tutup usia, mursyid tersebut telah meninggalkan beberapa tulisan. Di antaranya
adalah Al-Aurad al-Baha’iyah, Tanbihul Ghafilin, Sulukul Anwar, dan Hidayatus Salikin wa
Tuhfatuth Thalibin. Terhadap karya yang pertama itu, para muridnya memberikan tanggapan
yang termaktub dalam Manbaul Asrar.
Syekh Bahauddin an-Naqsyaband juga menambahkan sebanyak tiga dari total delapan asas
yang telah diletakkan Abdul Khaliq Gujdawani. Ketiganya, dalam bahasa Persia, disebut
sebagai wuquf-izamani, wuquf-i adadi, dan wuquf-iqalbi. Sejak saat itu, silsilah dari Abdul
Khaliq lebih dikenal dengan sebutan Naqsyabandiyah.

Menurut Muhammad Rizqy Fauzi dalam tulisannya di laman Nahdlatul Ulama, Syekh
Bahauddin meletakkan rumusan-rumusan dasar untuk seorang Mukmin mendekatkan diri
kepada Allah. Caranya dengan senantiasa berzikir kepada-Nya.

Mursyid tersebut mengajarkan, ikhtiar untuk menjauhkan perhatian dari keramaian manusia
dilakukan guna mendekat kepada Rabb semesta alam. Khalwat itu tidak berarti hidup seperti
halnya seorang rahib, melainkan melatih fokus batin agar tertuju hanya kepada Allah. Dengan
demikian, sekalipun raga bersama banyak orang, kalbunya tetap melakukan zikrullah.
Dalam kitab Al-Budha’atul Muzjah, disebutkan sebagai berikut. “Sayyid Bahauddin pernah
ditanya perihal tarekatnya. Kemudian ia berkata, ‘Menyendiri dalam keramaian,
menghadapkan batin (hati) kepada al-Haqq (Allah), dan (menghadapkan) badan pada
makhluk. Dalam hal ini, terdapat isyarat firman Allah, (yang artinya) ‘Orang yang tidak
dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah’ (QS an-Nur: 37).’”
Metode zikir yang terutama diajarkannya dilakukan dengan cara diam atau tersembunyi
(sirr), yakni tidak bergerak dan tidak pula berbunyi. Ia meletakkan kemurnian zikir dan
ibadah pada umumnya hanya karena Allah Ta’ala.
Sang mursyid pernah menasihati muridnya tentang sebuah doa, “Tuhanku, Engkaulah yang
kumaksud dan ridha-Mu-lah yang kuharapkan.”

Agar hati dapat tertuju kepada-Nya, seorang salik pun mesti melawan hawa nafsu. Menurut
Syekh an-Naqsyaband, itulah cara yang paling dekat menuju ridha Allah. Dengan mengontrol
dorongan nafsu, seseorang pun dapat lebih merasa diawasi oleh-Nya.

Seperti para sufi ternama, Syekh an-Naqsyaband pun dikisahkan memiliki berbagai karamah.
Ambil contoh, sebagaimana diceritakan dalam Jami’ al-Karamat al-Auliya, ketika sang alim
dan sahabatnya, Syekh Alauddin al-Aththar berjalan bersama. Cuaca saat itu sedang
mendung. Ketika sedang singgah, Syekh an-Naqsyaband bertanya kepada kawan
seperjalanannya itu. “Apakah sudah tiba waktu zuhur?”
“Belum,” jawab Syekh al-Aththar.

“Coba engkau keluar, lalu lihatlah ke langit.”

Maka keluarlah Syekh al-Aththar dari tempatnya, untuk menatap ke atas. Tiba-tiba,
tersingkaplah hijab alam sehingga dirinya dapat menyaksikan barisan malaikat di langit
sedang shalat Zuhur. “Bagaimana menurutmu, apakah waktu Zuhur telah tiba?” tanya Syekh
an-Naqsyaband lagi dari dalam.

Syekh al-Aththar pun menjadi malu. Ia kemudian membaca istighfar, tetapi hingga beberapa
hari kemudian masih memikirkan kejadian tersebut.

Syekh Bahauddin wafat pada malam Senin, 3 Rabiul Awal 791 H/1391 M. Konon, pada
dadanya terukir lafaz Jalalah atau Allah yang bercahaya. Karena itulah, dirinya dinamakan
para pengikutnya sebagai an-Naqsyaband. Kata berbahasa Persia itu berarti ‘gambar yang
berbuhul'.
Tarekat Naqsyabandiyah tersebar luas dari Asia tengah ke Persia, Anatolia (Turki), Anak
benua India, dan Nusantara. Di Negeri Sungai Indus, popularitasnya “mengalahkan” Tarekat
Syattariyah.
Pada zaman modern, jalan salik tersebut bahkan berperan penting dalam syiar Islam di Eropa
dan Amerika. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, simbiosis dengan aliran sufi
besar lainnya menghasilkan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

4. Tarekat Samaniyah

Tarekat Samaniyah didirikan oleh Syaikh Saman yang meninggal dalam tahun 1720 di
Madinah. Tarekat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan mempunyai pengaruh yang dalam di
daerah ini, juga di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera.

Di Jakarta tarekat ini juga sangat besar pengaruhnya, terutama di daerah pinggiran kota. Di
daerah Palembang orang banyak yang membaca riwayat Syaikh Saman sebagai tawassul
untuk mendapatkan berkah.

Ciri tarekat ini zikirnya dengan suara keras dan melengking, khususnya ketika mengucapkan
lafaz la ilaha illa Allah. Juga terkenal dengan nama ratib saman yang hanya mempergunakan
perkataan “hu”, yang artinya Dia Allah.

Syaikh Saman ini juga mengajarkan agar memperbanyak shalat dan zikir, kasih pada fakir
miskin, jangan mencintai dunia, menukar akal basyariyah dengan akal robaniyah, beriman
hanya kepada Allah dengan tulus ikhlas.

Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh
Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah
Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).

Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di
kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di
Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan
penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini
berkembang luas.

Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan.
Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya
belajar di Makkah sekitar tahun 1800.
Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin
Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota
Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat
Sudan.

Syekh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik


keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang
bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan
pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan
masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk
menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.

Syekh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan
alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi
keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi
Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu
menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini berhasil
membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan
mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.

Amalan Sammaniyah

Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berzikir La Ilaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh
para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para murid Tarekat Sammaniyah biasa
melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai
tengah malam.

Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah
shalat sunah Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat,
memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT),
dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.

Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir.
Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia. Keempat,
menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan). Kelima,
menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun af'al-Nya.

5. Tarekat Khalwatiyah

Tarekat khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin (w. 1397 M) di Khurasan dan merupakan
cabang dari tarikat Suhrawardi yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawardi yang meninggal
tahun 1167 M.

Tarekat Khalwatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf Al-Khalwati al-
Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

Tarekat ini banyak pengikutnya di Indonesia, dimungkinkan karena suluk dari tarikat ini
sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke
tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah,
lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radhiyah, mardiyah dan nafsu kamilah.

Pada umumnya sebuah tarekat, namanya akan diambil dari nama sang pendirinya, seperti
Qadiriyah dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani atau Naqsyabandiyah dari Baha’uddin
Naqsyabandi. Namun berbeda dengan Tarekat Khalwatiyah yang justru diambil dari kata
“khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung.

Nama ini diambil karena seringnya Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
Karimuddin Al-Khalwat, pendiri Tarekat Khalwatiyah, menyendiri di tempat-tempat sepi.

Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-
Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syaikh Syihabuddin Abi
Hafs Umar As-Suhrawardi Al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Suhrawardiyah sendiri didirikan di Baghdad oleh Abu Najib As-Suhrawardi (w. 1167
M) dan Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah As-Suhrawardi (1145-1234 M). Mereka
juga sering menyebut dirinya golongan Shiddiqiyah, karena mereka berasal dari keturunan
khalifah kedua, Abu Bakar As- Shiddiq.
Cabang-Cabang Tarekat Khalwatiyah
Tarekat Suhrawardiyah ini sangat besar pengaruhnya di Afghanistan dan India. Cabang-
cabangnya yang terkenal antara lain Jalaliyah, Jamaliyah, Rawsaniyah, Safawiyah, Zainiyah,
dan Khalwatiyah sendiri.

Dalam perkembangannya yang pesat, Tarekat Khalwatiyah juga melahirkan cabang-


cabangnya. Seperti di Anatolia Asia Kecil: Jarrahiyah, Ighithashiyah, Usysyaqiyah, Niyaziah,
Sunbuliyah, Syamaiyah, Gulsaniyah dan Syujaiyah. Di Mesir: Daifiyah, Hafnawiyah,
Saba’iyah, Sawiah Dardiyah, dan Magaziyah di Nubia, Hijaz dan Somalia: Salihiyah dan
Indonesia: Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.

Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. la dibawa oleh Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali Al-Bakri As-Shiddiqi, seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia
mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syaikh Abdul Latif bin Syaikh
Husamuddin Al-Halabi.

Begitu pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa Al-Bakri sampai
dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif
menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara
karyanya yang terkenal adalah Tasliyatul Ahzan (Pelipur Duka).

Musthafa Al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorag zahid yang cerdas. Menurut salah satu
bukunya, Al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara,
sebab ketika berumur dua tahun, ayah dan ibunya bercerai.

Al Bakri kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-
Bakri juga menyatakan, secara nasab keturunan, ayahnya masih memiliki jalur sampai
kepada Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu
Rasulullah saw dari Al-Husain, putra Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Musthafa Al-Bakri sering berkeliling, terutama ke negeri- negeri yang ada di kawasan Timur
Tengah. Tujuannya adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan, serta belajar pada
guru-guru yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi.

Dari, kampung halamannya Damaskus , ia pergi ke kota Quds di Palestina, kemudian ke


Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida.
Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke Makkah
Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi
untuk memperdalam pengalaman batinnya.

Setelah tinggal beberapa lama di Makkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian


kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Bashrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Makkah
untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun 1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana
hingga wafat setahun kemudian.

Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari
gurunya, Syaikh Abdul Latif bin Husamuddin Al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya
telah banyak memberi pengaruh pada pemikiran pun amaliyah Al-Bakri sehari-hari. Sehingga
dari sekitar 200 karya Al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.

Terekat Khalwatiyah Masuk ke Indonesia


Tarekat ini masuk ke Indonesia melalui dua jalur:

Pertama, Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Masuk ke Indonesia melalui Syaikh Yusuf


Makasar pada tahun 1644 M. Syaikh Yusuf memperoleh ijazah Tarekat Khalwatiyah di
negeri Syam (Suriah) dari Abul Barakat Ayyub bin Alimad Al-Khalwati Al-Quraisy, imam
Masjid Syaikh Al-Akbar Muhyiddin bin Arabi. Ulama inilah yang memberi gelar Syaikh
Yusuf Tajul Khalwati Hidayatullah

Kedua, Tarekat Khalwatiyah Samman. Masuk ke Indonesia melalui Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim As-Sammani. Kedua cabang Tarekat Khalwatiyah ini bersumber dari satu
silsilah yang bercabang sesudah Syaikh Maulana Affandi Umar Al-Khalwati.

Dua murid Umar Al-Khalwati adalah Yahya Asy-Syarwani yang menurunkan Tarekat
Khalwatiyah Yusuf dan Muhammad Amir Ummul Khalwati yang menurunkan Tarekat
Khalwatiyah Samman.

Ajaran Tarekat Khalwatiyah


Pokok-pokok ajaran Tarekat ini fokus pada usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt (taqarrub ila Allah) dengan penekanan melakukan ritual, amalan dan latihan
kerohanian. Amalan Tarekat Khalwatiyah terletak pada pelaksanaan shalat dan dzikir yang
tertib dan teratur.
Dalam pelaksanaan dzikir, penganut Tarekat Khalwatiyah Yusuf berdzikir dengan suara yang
samar-samar atau dzikir khafi, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Dzikir ini dilakukan tanpa bergoyang, kecuali memiringkan kepala ke kanan pada saat
mengucapkan kalimat la ilaaha dan ke kiri saat mengucapkan illa Allah.

Adapun penganut Tarekat Khalwatiyah Samman berdzikir dengan suara keras atau dzikir
jahr. Selanjutnya berdzikir dan badan mereka bergoyang ke kanan dan ke kiri. Umumnya
dzikir dilakukan secara berjamaah di masjid atau di rumah keluarga.

Meskipun demikian, syarat berdzikir dengan keras tidaklah mutlak, melainkan dapat pula
dilakukan dengan suara pelan. Dzikir merupakan jalan utama bagi salik (penganut tarekat)
melakukan latihan kerohanian untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

Dzikir kepada Allah SWT bagi penganut Tarekat Khalwatiyah termasuk perkara yang
hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi setiap individu). Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
yang artinya:

‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اْذ ُك ُروا َهَّللا ِذ ْك ًرا َك ِثيًرا‬

”Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya…” (QS. Al Ahzab: 41)

Pengertian dzikir menurut Tarekat Khalwatiyah adalah mengingat Allah swt dengan
menyebut lafadz-lafadz dzikir, seperti kalimat tauhid la ilaha illa Allah, lafadz jalalah, Allah-
Allah, dan lafadz Huwa-Huwa.

Lafadz-lafadz dzikir tersebut mengandung makna yang sangat dalam bagi penganutnya, yang
harus dipahami bahwa hanya Allah swt yang berhak disembah, dituju, dicintai, dan tempat
bergantung segala sesuatu. Tidak ada dzat yang mutlak hakikatnya kecuali Allah swt.

Di samping itu, ketiga macam dzikir tersebut digunakan juga untuk membawa jiwa dari
tingkat yang terendah ke tingkat yang tertinggi melalui tiga martabat jiwa, yaitu nafsu
ammarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthma’innah.
3 Macam Dzikir
Pertama: Lafadz la ilaha illa Allah sebagai perbandingan nafsu ammarah
Kedua: Lafadz Allah-Allah sebagai perbandingan nafsu lawwamaah
Ketiga: Lafadz Huwa-Huwa sebagai perbandingan nafsu muthma’inah.

Dalam hubungan dengan ibadah shalat, Tarekat Khalwatiyah Yusuf mengupas rahasia-
rahasia shalat yang berbeda dengan uraian dalam kitab-kitab fiqih yang ada. Dalam Risalah
Asrarus Shalah (buku mengenai rahasia-rahasia kebaikan) diuraikan mengenai muqaranah
(perbedaan, perbandingan) niat dengan takbiratul ihram.

Hakikat niat ialah, mengingat Allah swt dengan martabat alam lahut. Qiyam (berdiri dalam
shalat) berarti roh salik berdiri para martabat alam asrar dan melihat dirinya dalam keadaan
berdiri pada martabat alam lahut, sementara jasadnya berada pada alam asy-syahadah.
Demikian seterusnya rahasia-rahasia shalat dibahas dalam Tarekat Khalwatiyah Yusuf secara
mendalam.

Oleh karena itu, dalam Tarekat Khalwatiyah ibadah shalat dan dzikir tidak dapat dipisahkan,
sebagaimana firman Allah swt yang artinya:

‫ِإَّنِني َأَنا ُهَّللا اَل ِإَٰل َه ِإاَّل َأَنا َفاْع ُبْد ِني َو َأِقِم الَّص اَل َة ِلِذ ْك ِر ي‬

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah, shalar untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14).

Ajaran dan Dzikir Tarekat Khalwatiyah


Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-
sab’ah (tujuh nama). Yakni 7 macam dzikir atau 7 tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh
setiap salik.

Pertama: La ilaha illa Allah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada
tingkatan jiwa pertama ini disebut An-Nafs Al-Ammarah (nafsu yang menyuruh pada
keburukan, amarah).

Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk
melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan
lain-lain.
Kedua: Allah. Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut An-Nafs Al-Lawwamah (jiwa yang
menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-
kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan buruk.

Ketiga: Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini di- sebut An-Nafs Al-Mulhamah (jiwa
yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah swt, sehingga
bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Keempat: Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut An- Nafs Al-Muthmainnah (jiwa
yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema
hidup maupun guncangan jiwa lainnya.

Kelima: Hayy (Maha Hidup). Disebut juga dzikir An-Nafs Ar-Radhiyah (jiwa yang ridha).
Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridha (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya,
karena semua berasal dari pemberian Allah.

Keenam: Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga An-Nafs Al-Mardhiyah (jiwa
yang diridhai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridha terhadap semua Allah juga
mendapatkan keridhaan-Nya.

Ketujuh: Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga An-Nafs Al-Kamilah (jiwa yang
sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus
mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.

6. Tarekat al-Haddad

Tarekat al-Haddad didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad. Ia
lahir di Tarim, sebuah kota yang terletak di Hadramaut pada malam Senin, 5 Safar tahun
1044 H.

Ia pencipta ratib haddad dan dianggap sebagai salah seorang wali qutub dan Arifin dalam
ilmu tasawuf. Ia banyak mengarang kitab-kitab dalam ilmu tasawuf, di antaranya kitab yang
berjudul Nashaihud Diniyah (Nasihat-nasihat Agama), dan al-Mu’awanah fi Suluk Thariq
Akhirah (Panduan mencapai hidup di Akhirat).
Tarekat Haddad banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur, dan
lain-lain.

Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin
Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.

Adapun garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad
bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin
Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-
Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib Krw.

Beliau dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut
Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada para
`ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt. menggantinya dengan sinar
mata hati yang justru melebihi penglihatan mata biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-
Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan. Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-
Irsyad di hadapan gurunya.

Allah Swt. telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia
berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani Alawi sebanyak
200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm Habib Abdullâh al-Idrus”.
Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.

Al-Haddad sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan
pemakaman para Habaib di Hadramaut.

Al-Haddad berguru dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin
Alwi Makkah dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar
bin Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi dari
saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari puteranya
Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari
ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari
ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh
al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-
Haddad berkata: “Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku,
padahal aku memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka
akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah
memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.

Dan Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas petunjuk
dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin Ali ba Alawi”.

Di antara aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000 kali.
Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000 kali sehingga genap
70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga juga membaca lâ ilâha
illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali setelah zhuhur.

Ia sering berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu
tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal. Puasa tersebut
ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.

Ketika dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku seperti
hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai shalat ashar sampai menjelang
maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai beberapa ilmu yang sekIranya aku
tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan mengingkarinya”.

Ia menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam
rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari sesuatu dan
sekarang sesuatu mencariku”.

Ia juga berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian.
Namun jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”
Ia wafat pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib
karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk
memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di sekitar
makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan kedamaian.

Di samping itu beliau juga seorang mushannif atau pengarang kitab terutama di bidang ilmu
tasawuf di antara kitabnya :

1. Al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah

2. Al-Da’wah al-Tamah Wattadkir al-Amma

3. Risalatu al-Muawanah Wa al-Mudhaharo Wa al-Muazarah al-Muraghabin Nimal


Mu’minin Fi Suluk Tarekat al-Akhirah

4. al-Fushul al-Ilmiyati Wa al-Ushul al-Khikmah

5. Sabilu al-Iddikar Wa al-I’tibar bima Yamurru Bil Insân Wayanqadhi lahu Minal
I’timar.

6. Risalah al-Mudzakiroh Maa al-Ikhwan al-Mukhibbin min Ahli al-Khoir Waddin.

7. Risâlah Adâb Sulûk al-Murid.

8. Kitab al-Hikam.

9. Adab Suluk al-Murid

7. Tarekat Khalidiyah

Tarekat Khalidiyah adalah salah satu cabang dari tarekat Naqsyabandiyah di Turki, yang
berdiri pada abad XIX. Pokok-pokok tarikat Khalidiyah dibangun oleh Syaikh Sulaiman
Zuhdi al-Khalidi.

Tarekat ini berisi tentang adab dan zikir, tawassul dalam tarikat, adab suluk, tentang saik dan
maqamnya, tentang ribath dan beberapa fatwa pendek dari Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-
Khalidi mengenai beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.
Tarekat ini banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid
yang diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain
yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman az-Zuhdi Al-Khalidi.

Demikianlah tujuh aliran tarekat yang berkembang di Indonesia hingga hari ini. Masih
banyak cabang-cabang tarekat yang belum dapat saya sebutkan di sini.

Salah satu ajaran tarekat yang banyak memiliki pengikut di Indonesia adalah Tarekat
Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad SAW yang
kemudian mengalir kepada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A, sahabat kesayangan Nabi
Muhammad SAW dan khalifahnya yang pertama, yang telah menerima ilmu istimewa seperti
diterangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, “Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah
ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar”

Pola hidup bersahaja yang ditampilkan Abu Bakar ditiru para sufi pada periode selanjutnya.
Menurut riwayat, Abu Bakar pernah hidup dengan sehelai kain saja. Ia pernah memegang
lidahnya sendiri, seraya berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Kemudian
untuk menjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat, Abu Bakar lazim mengulum batu
kerikil.

Kedermawanan Abu Bakar juga tak terukur nilainya. Misalnya pada Perang Tabuk,
Rasulullah SAW meminta kepada kaum Muslim agar mengorbankan hartanya. Maka
datanglah Abu Bakar membawa hartanya dan diletakkannya di antara dua tangan Rasulullah
SAW, seraya Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Apalagi yang engkau tinggalkan bagi
anak-anakmu, wahai Abu Bakar?” Jawabnya sambil tertawa, “Saya tinggalkan bagi mereka
Allah dan Rasul-Nya”.

Sikap kedermawanan Abu Bakar ini merupakan kerelaan berkorban di jalan Allah. Dia hanya
menyandarkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini merupakan sikap kepasrahan
yang tinggi yang kemudian dijadikan sebagai teladan bagi para sufi. Di mata para sufi, sikap-
sikap Abu Bakar seperti itu merefleksikan ahwal (keadaan) yang selalu disandarkan kepada
Allah semata. Inilah, yang oleh kaum sufi dianggap sebagai benih-benih akhlak para sufi.
Oleh sebab itu, kendatipun di abad 1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf,
tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Abu Bakar. Dan pada masa itu banyak
sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-
sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf.

Tarekat yang diterima Abu Bakar yang nantinya populer dengan nama Tarekat
Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali. Dalam
silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq berada pada urutan pertama.
Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami,
yang nama aslinya Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dan berada pada urutan kelima,
dinamakan “Shiddiqiah”. Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khalik
Fajduani, silsilah kesembilan, dinamakan “Tayfuriah”.

Periode antara Khawajah Abdul Khalik Fajduani yang lahir di daerah Uzbekistan itu sampai
Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah kelimabelas, dinamakan “Khawajakaniah”.
Diambil dari istilah Khwajagan (tuan guru yang bersilsilah). Periode antara Syaikh
Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah
kedelapanbelas, dinamakan “Naqsyabandiyah”.

Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 10 H/16 M, pusat aktivitas Naqsyabandiyah dan daya
tarik intelektualnya bergeser ke India. Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqibillah,
silsilah kedua puluh dua, yang lahir di Kabul (971 – 1012 H/1563 – 1603 M), berpetualang di
Transoxiana, Samarqand, Bukhara, Kashmir dan sekitarnya, kemudian datang ke India.

Dalam suatu catatan, dia katakan “tengah membawa benih kesucian (dalam tarekat) dari
Samarqand dan Bukhara dan menyemaikannya di tanah subur India.” Dalam waktu singkat,
lima tahun, dia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan
Mughal.

Dia sampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para malik (tuan tanah) dan
manshabdar (pejabat) dengan tingkat keefektifan yang sama. Penglihatannya tajam dalam
memilih bakat terbaik di berbagai area – dari kalangan tokoh politik Nawab Murtadha Khan,
di kalangan kaum sufi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, dan dari kalangan ulama Syaikh Abd
Al-Haqq – adalah murid-murid terkemuka Khawajah Muhammad Baqi.
Tarekat Naqsyabandiyah pada periode antara Syaikh Ubaidullah Al- Ahrar sampai Sayyidi
Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, silsilah kedua puluh tiga, dinamakan “Ahrariah”. Periode
antara Syaikh Ahmad Al-Faruqi sampai Sayyidi Syaikh Dhiyauddin Khalid Kurdi Al
Usmani, silsilah kedua puluh sembilan, dinamakan “Mujaddidiah”.

Lalu periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani sampai dewasa ini dinamakan
“Khalidiah”, atau dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah.

Setelah itu, tarekat ini tidak mengalami perubahan penyebutan nama. Karena bagi para
pengamal tasawuf di masa berikutnya, yang menjadi pusat perhatian adalah ilmu yang
diajarkan dan sumber ilmu yang ditunjukkan pada untaian silsilah keguruan. Lalu, setelah
Maulana Syaikh Khalid Kurdi adalah, silsilah keguruan berikutnya berturut-turut adalah:

1.Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Syekh Ismail Simabur Alkhalidi Alminangkabauwi.


2.Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Syekh Sulaiman AlQarimi.
3.Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Syekh Ibrahim alKhalidi Kumpulan.

Anda mungkin juga menyukai