Khoirotun Nisa
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15A. Kota Metro, Lampung 34111
E-mail: nisamufakir24@gmail.com
No. Hp: 089616003949
ABSTRACT
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Untuk menelusuri arti Tasawuf secara etimologi maupun terminologi para ahli
berbeda pendapat mengenai asal usul kata tersebut. Namun demikian tidak mungkin
Secara etimologi, Istilah tasawuf menurut satu sumber berasal dari kata shâfa yang
berarti bersih, suci, karena orang sufi adalah orang yang hatinya tulus dan bersih di
hadapan Tuhannya. Teori lain menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata shaff,
1
Zulfikli dan Jamaluddin, AKHLAK TASAWUF Jalan Lurus Mensucikan Diri (Yogyakarta: KALIMEDIA,
2018), 15.
1
barisan, karena para sufi senantiasa memilih barisan terdepan untuk mengejar keutamaan
Ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut berakar pada kata shuffat, yang
berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati para sahabat nabi yang miskin
dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl al-shuffat, yang meskipun miskin namun
berhati mulia. Ini merupakan satu sifat kaum sufi yang tidak mementingkan dunia dan
mereka pun berhati mulia. Ahl-shuffah, juga berarti nama yang diberikan kepada
sebagian fakir miskin dikalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah
diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah
dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah.Teori lain menegaskan, bahwa kata sufi
diambil dari kata shûf yakni kain yang terbuat dari bulu atau wool.2
Dari berbagai pengertian kata tasawuf sebagaimana dipaparkan di atas, maka pada
dasarnya, menurut Mustafa Zahri, dalam bukunya Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,
mengemukakan bahwa kata tasawuf berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul, ( ( ُلّع َفَتyaitu
rajulu, maknanya seorang laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada
kehidupan sufi. Jadi, menurut Mustafa Zahri, orang yang bertasawuf itu adalah orang
yang mensucikan dirinya lahir batin dalam suatu pendidikan etika (budi
pekerti) dengan menempuh jalan atas dasar didikan tiga tingkat yang dalam istilah ilmu
Bila dilihat dari segi kebahasaan dapat kita ketahui bahwa tasawuf ialah sikap atau
kesederhanaan dan rela berkorban dalam kebaikan dan juga bersikap sederhana. Pada
hakikatnya sikap jiwa yang senantiasa ada pada orang-orang tasawuf adalah akhlak yang
2
Afif Anshori, DIMENSI-DIMENSI TASAWUF (Bandar Lampung: CV. TeaMs Barokah, 2016), 11.
3
Muzakkir, TASAWUF (Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya Dalam Kehidupan (Medan: Perdana Publishing,
2018), 3–4.
2
mulia.
Adapun beberapa arti tasawuf menurut beberapa tokoh tasawuf secara terminologi yaitu
al-Kanani mengartikan tasawuf sebagai akhlak, oleh karena itu siapa pun yang
bertambah baik akhlaknya, maka akan bertambah juga kesuciannya. Menurut Syaikh
Zakarya Al-Anshari tasawuf ialah ilmu yang mana kita dapat mengetahui kondisi untuk
selalu menyucikan jiwa, membersihkan akhlak dan membenahi diri dari aspek lahiriyah
Pendapat Imam Junaid bahwa tasawuf ialah mensucikan hati agar tidak ditimpakan suatu
menjauhi segala sesuatu yang menjadi keinginan hawa nafsu. Jika kita melihat tasawuf
dari sudut pandang Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayim Al-Jawziyyah atas apa yang beliau
berdua rasakan maka tasawuf tidak lebih dari budi pekerti islam, maka tasawuf
digambarkan sebagai budi pekerti islam, yang mana dalam hal ini bisa disamakan dengan
kewajiban Nabi Muhammad SAW. “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia”.4
B. Pembahasan
Qunuwi, yang lahir di Balkh pada tahun 604 H/1217 M dan meninggal pada tahun 672
H/1273 M, di daerah Qunyah. Jalaluddin ar-Rumi pada usia empat atau lima tahun dia di
bawa ayahnya ke Asia Kecil, yang pada masa lalu dikenal dengan negeri Rum, berdasarkan
Jalaluddin Rumi juga mempunyai keluarga yang bisa dibilang cendekiawan. Karena ia
mempunyai seorang ayah yang ahli sekali dalam fiqih, menetapkan hukum atau fatwa, dan
4
Ilyas Arya, “Tauhid dalam Studi Tasawuf,” Gunung Djati Conference Series vol.19 (2023): 91–92.
5
M. Adib Bisri, Jalaludin Rumi Sufi Penyair Terbesar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 2.
3
juga seorang pengajar di salah satu tarekat bernama al-Kubrawiyah. Beliau bernama
Bahauddin Walad Muhammad bin Husein. Maka tak heran jika kemampuan Jalaluddin Rumi
Selain itu, kakeknya juga merupakan seorang cendekiawan Arab yang telah wafat pada saat
pemerintahan Abu Bakar as-Shidiq. Selain itu, jika dilihat dari nasab keturunannya,
Jalaluddin Rumi masih mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar. Hal ini berasal dari
Bersama ayah dan keluarganya, Jalaluddin Rumi pada tahun 1219, diusianya yang baru
menginjak ke 12 tahun, ia beranjak dari Balkh menuju ke Baghdad. Hal ini bukan tanpa
alasan, karena pada saat itu di Khurasan, tempat tinggal mereka sedang ada isu akan di
gempur oleh tentara Mongol dalam hal perebutan kekuasaan. Namun kejadian ini
berlangsung dua tahun setelah mereka berhijrah. Sehingga penyerangan itu sebenarnya tidak
terlalu berpengaruh, namun menyebabkan mereka tidak bisa kembali ke Khurasan. Hingga
pada tahun 616 atau 617 Hijriyah, Jalaluddin Rumi beserta keluarganya tinggal di Naisabur.
Di sana Jalaluddin Rumi mengenal Syekh Fariduddin al-Attar, seseorang yang hebat dan
terkenal sekali dalam membuat syair. Syekh Fariduddin sangat kagum akan kemampuan
Rumi dalam bidang keilmuan meskipun usianya masih sangat muda. Sehingga beliau
memberinya sebuah kitab karangannya sendiri berjudul Asrar Namih (book of secrets).
Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menetap dan tinggal di Rum atau Turki dan
menikah dengan seorang wanita bernama Jauhar Khatun dan mempunyai seorang putra
Pada masa ketika ayahnya meninggal, yaitu Bahauddin Walad pada tanggal 18 Rabi’ul
Awal pada tahun 628 Hijriyah atau 1229 Masehi, Jalaluddin Rumi menggantikan ayahnya
menjadi seorang teolog dan khatib besar, sehingga semua murid yang sebelumnya telah diajar
6
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai
Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), 151.
4
oleh ayahya merasa sangat senang dan menghormati Jalaluddin Rumi dengan baik. Hingga
pada akhirnya ada salah seorang teman dari ayahnya bernama Burhanuddin Muhaqqiq at-
Tirmidzi mengunjunginya di Konya. Beliau merupakan salah satu murid didikan dari
Burhanuddin Muhaqqiq adalah seorang petani yang sangat tekun ketika didik oleh
Bahauddin Walad. Ia merangkap menjadi seorang Syekh di Konya dan pemikirannya mampu
membuat Jalaluddin Rumi terperangah. Bahkan Jalaluddin Rumi di usianya yang baru
menginjak ke 25 tahun, ia sangat tertarik dan ingin mendalami ilmu tasawuf mengenai
peleburan jiwa dengan Tuhan. Hingga pada akhirnya, selama 10 tahun Jalaluddin Rumi
mendalami ilmu tasawuf dan menggantikan Burhanuddin pada tahun 1240 setelah ia wafat.7
Hingga pada akhirnya tahun 1244, ada seorang pengembara yang ahli juga dalam bidang
sufi bernama Syamsuddin at-Tabrizi membawa pengaruh yang sangat besar dan perubahan
pada Jalaluddin Rumi. Ia merupakan orang yang sering berguru kepada ahli tasawuf yang
lain, namun ia tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaan yang selama ini ada di
pikirannya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Jalaluddin Rumi dan mereka saling
berbagi ilmu.
Jalaluddin Rumi yang awalnya mengajar dengan tekun di majelis yang sebelumnya
merupakan tempat ayahnya untuk mengajar berbagai macam disiplin ilmu berubah sangat
drastis. Ia sering sekali meninggalkan majelis dan lebih memilih berkhalwat dengan
Syamsuddin at-Tabrizi untuk bertukar pikiran. Bahkan anaknya sendiri yaitu Sultan Walad
mengatakan bahwa mereka berdua sering berada di dalam satu kamar secara tertutup selama
40 hari untuk bertukar pikiran tanpa adanya campur tangan dari orang lain. Jalaluddin Rumi
yang awalnya tekun sekali melakukan transfer ilmu kepada muridnya dan kutu buku berubah
menjadi orang yang menyukai seni, musik, sastra, dan ilmu tentang keillahian. Selain itu,
majelis maulawi bahkan sampai ditutup karena ia tidak lagi mengajar dan memaksimalkan
7
Ahmad Bangun Nasution, 149.
5
waktunya untuk berguru dengan Syamsuddin atTabrizi. Jika bisa diibaratkan, persahabatan
kedua ahli ilmu tersebut seperti halnya Nabi Musa yang dengan tekun berguru kepada Nabi
Khidir dengan meninggalkan segala eksistensi yang dimilikinya. Sehingga apapun yang ada,
Sampai karena hal itu, banyak sekali murid didikan Jalaluddin Rumi di maulawi marah
besar atas sikapnya yang menelantarkan mereka. Bahkan banyak sekali rumor dan desas
desus yang mengakibatkan fitnah untuk menghancurkan Syamsuddin at-Tabrizi karena telah
untuk meninggalkan Konya dan bertolak ke Damaskus. Akan tetapi, karena keahlian dari
Sultan Walad yang diutus oleh Jalaluddin Rumi untuk mencarinya, akhirnya Syamsuddin at-
Tabrizi kembali lagi ke Konya. Hal ini disertai dengan permintamaafan murid Jalaluddin
Rumi atas apa yang telah diperbuatnya terhadap Syamsuddin atTabrizi. Namun meskipun
sudah meminta maaf, beberapa waktu kemudian mereka mengulangi perilakunya lagi yang
membuat Syamsuddin at-Tabrizi bertolak ke Damaskus untuk kedua kalinya, dan di bawa
kembali lagi oleh Sultan Walad. Hingga puncaknya pada tahun 1247 Syamsuddin at-Tabrizi
meninggal dunia yang menyebabkan luka mendalam pada Jalaluddin Rumi hingga ia
menciptakan syair yang menceritakan tentang Syamsuddin at-Tabrizi. Selain itu Jalaluddin
Rumi juga menciptakan tarian religius mevlevi untuk mengenang wafatnya Syamsuddin at-
Tabrizi.9
Mungkin banyak yang mengira Syamsuddin at-Tabrizi hanyalah kiasan dan tidak
mempengaruhi tasawuf yang dibawakan oleh Jalaluddin Rumi. Namun hal ini akan sangat
berperan banyak. Hingga pada akhirnya Jalaluddin Rumi wafat tepatnya pada tanggal 5
Jumadil Akhir pada tahun 672 Hijriyah atau 1273 Masehi karena sakit keras yang telah
dideritanya.
8
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), 59.
9
Husyain Ahmad, Seratus Tokoh dalam Agama Islam (Jakarta: Rosnida, 1997), 211.
6
b. Konsep Tasawuf Syekh Jalaludin Rumi
mengabaikan hal-hal apa saja yang datang dari dirimu dan memandang besar hal-hal
apa saja yang datang dari Kekasihmu. (Kumalla, Konsep Mahabbah (Cinta) Dalam ‘
seseorang tersebut dapat menerima baik maupun buruk pemberian dari yang di
merupakan anugerah dan bisa bersyukut atas apa yang di peroleh. Sedangkan terkait
mengabaikan segala hawa nafsu dan apapun yang ada pada diri seseorang karena
menganggap tidak ada artinya. Zayyin Alfi menuliskan bahwa, seorang sufi memiliki
tradisi dalam perjalanan yang dikenal dengan konsep mahabbah yang nemiliki makna
mengosongkan hati dari segala-galanya. Kecuali dari diri yang mengasihi. Seseorang
yang sudah kenal Tuhan akan dapat merasakan kehadiran dan sifat-sifatnya sehingga
sifat dan akan hal tersebut melekat di dalam jiwa yang mencintai. (Zayyin Alfi Jihad,
“Kisah Cinta Platonik Jalâl Al-Dîn al-Rûmî,” Teosofi Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran
C. Kesimpulan
D. Daftar Pustaka