Anda di halaman 1dari 7

PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH JALALUDIN RUMI

Khoirotun Nisa
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15A. Kota Metro, Lampung 34111
E-mail: nisamufakir24@gmail.com
No. Hp: 089616003949

Ikhsan Nur Arifin


Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15A. Kota Metro, Lampung 34111
E-mail:
No. Hp:

Annisa Yuliya Rahma


Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15A. Kota Metro, Lampung 34111
E-mail: annisayuliya277@gmail.com
No. Hp: 081977681059

ABSTRACT

ABSTRAK

A. Pendahuluan

Untuk menelusuri arti Tasawuf secara etimologi maupun terminologi para ahli

berbeda pendapat mengenai asal usul kata tersebut. Namun demikian tidak mungkin

mencantumkan semua definisi tersebut, karena sebagian definisi memiliki kesamaan

makna dan tujuan dengan redaksi dan teks yang berbeda.1

Secara etimologi, Istilah tasawuf menurut satu sumber berasal dari kata shâfa yang

berarti bersih, suci, karena orang sufi adalah orang yang hatinya tulus dan bersih di

hadapan Tuhannya. Teori lain menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata shaff,

1
Zulfikli dan Jamaluddin, AKHLAK TASAWUF Jalan Lurus Mensucikan Diri (Yogyakarta: KALIMEDIA,
2018), 15.

1
barisan, karena para sufi senantiasa memilih barisan terdepan untuk mengejar keutamaan

dalam shalat berjamaah.

Ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut berakar pada kata shuffat, yang

berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati para sahabat nabi yang miskin

dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl al-shuffat, yang meskipun miskin namun

berhati mulia. Ini merupakan satu sifat kaum sufi yang tidak mementingkan dunia dan

mereka pun berhati mulia. Ahl-shuffah, juga berarti nama yang diberikan kepada

sebagian fakir miskin dikalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah

diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah

dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah.Teori lain menegaskan, bahwa kata sufi

diambil dari kata shûf yakni kain yang terbuat dari bulu atau wool.2

Dari berbagai pengertian kata tasawuf sebagaimana dipaparkan di atas, maka pada

dasarnya, menurut Mustafa Zahri, dalam bukunya Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,

mengemukakan bahwa kata tasawuf berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul, ( ‫( ُلّع َفَت‬yaitu

Tasawwafa-yatasawwafutasawwufan. Dari kata ini dapat diambil contoh, tasawwafa ar-

rajulu, maknanya seorang laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada

kehidupan sufi. Jadi, menurut Mustafa Zahri, orang yang bertasawuf itu adalah orang

yang mensucikan dirinya lahir batin dalam suatu pendidikan etika (budi

pekerti) dengan menempuh jalan atas dasar didikan tiga tingkat yang dalam istilah ilmu

tasawuf, dikenal dengan, Takhalli, tahalli dan tajalli.3

Bila dilihat dari segi kebahasaan dapat kita ketahui bahwa tasawuf ialah sikap atau

perbuatan jiwa yang selalu mensucikan hati, beribadah, selalu menampilkan

kesederhanaan dan rela berkorban dalam kebaikan dan juga bersikap sederhana. Pada

hakikatnya sikap jiwa yang senantiasa ada pada orang-orang tasawuf adalah akhlak yang
2
Afif Anshori, DIMENSI-DIMENSI TASAWUF (Bandar Lampung: CV. TeaMs Barokah, 2016), 11.
3
Muzakkir, TASAWUF (Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya Dalam Kehidupan (Medan: Perdana Publishing,
2018), 3–4.

2
mulia.

Adapun beberapa arti tasawuf menurut beberapa tokoh tasawuf secara terminologi yaitu

al-Kanani mengartikan tasawuf sebagai akhlak, oleh karena itu siapa pun yang

bertambah baik akhlaknya, maka akan bertambah juga kesuciannya. Menurut Syaikh

Zakarya Al-Anshari tasawuf ialah ilmu yang mana kita dapat mengetahui kondisi untuk

selalu menyucikan jiwa, membersihkan akhlak dan membenahi diri dari aspek lahiriyah

dan batiniyah agar mendapatkan kebahagian yang kekal.

Pendapat Imam Junaid bahwa tasawuf ialah mensucikan hati agar tidak ditimpakan suatu

kelemahan, menjauhi perbuatan yang buruk, membinasakan sifat kemanusiaan dan

menjauhi segala sesuatu yang menjadi keinginan hawa nafsu. Jika kita melihat tasawuf

dari sudut pandang Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayim Al-Jawziyyah atas apa yang beliau

berdua rasakan maka tasawuf tidak lebih dari budi pekerti islam, maka tasawuf

digambarkan sebagai budi pekerti islam, yang mana dalam hal ini bisa disamakan dengan

kewajiban Nabi Muhammad SAW. “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak

yang mulia”.4

B. Pembahasan

a. Biografi Syekh Jalaludin Rumi

Jalaluddin ar-Rumi nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al

Qunuwi, yang lahir di Balkh pada tahun 604 H/1217 M dan meninggal pada tahun 672

H/1273 M, di daerah Qunyah. Jalaluddin ar-Rumi pada usia empat atau lima tahun dia di

bawa ayahnya ke Asia Kecil, yang pada masa lalu dikenal dengan negeri Rum, berdasarkan

inilah namanya dinisbahkan dengan ar-Rumi.5

Jalaluddin Rumi juga mempunyai keluarga yang bisa dibilang cendekiawan. Karena ia

mempunyai seorang ayah yang ahli sekali dalam fiqih, menetapkan hukum atau fatwa, dan

4
Ilyas Arya, “Tauhid dalam Studi Tasawuf,” Gunung Djati Conference Series vol.19 (2023): 91–92.
5
M. Adib Bisri, Jalaludin Rumi Sufi Penyair Terbesar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 2.

3
juga seorang pengajar di salah satu tarekat bernama al-Kubrawiyah. Beliau bernama

Bahauddin Walad Muhammad bin Husein. Maka tak heran jika kemampuan Jalaluddin Rumi

dalam mengembangkan keilmuannya di bidang tasawuf diturunkan dari ayahnya tersebut.

Selain itu, kakeknya juga merupakan seorang cendekiawan Arab yang telah wafat pada saat

pemerintahan Abu Bakar as-Shidiq. Selain itu, jika dilihat dari nasab keturunannya,

Jalaluddin Rumi masih mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar. Hal ini berasal dari

jalur ayah dan kakeknya.

Bersama ayah dan keluarganya, Jalaluddin Rumi pada tahun 1219, diusianya yang baru

menginjak ke 12 tahun, ia beranjak dari Balkh menuju ke Baghdad. Hal ini bukan tanpa

alasan, karena pada saat itu di Khurasan, tempat tinggal mereka sedang ada isu akan di

gempur oleh tentara Mongol dalam hal perebutan kekuasaan. Namun kejadian ini

berlangsung dua tahun setelah mereka berhijrah. Sehingga penyerangan itu sebenarnya tidak

terlalu berpengaruh, namun menyebabkan mereka tidak bisa kembali ke Khurasan. Hingga

pada tahun 616 atau 617 Hijriyah, Jalaluddin Rumi beserta keluarganya tinggal di Naisabur.

Di sana Jalaluddin Rumi mengenal Syekh Fariduddin al-Attar, seseorang yang hebat dan

terkenal sekali dalam membuat syair. Syekh Fariduddin sangat kagum akan kemampuan

Rumi dalam bidang keilmuan meskipun usianya masih sangat muda. Sehingga beliau

memberinya sebuah kitab karangannya sendiri berjudul Asrar Namih (book of secrets).

Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menetap dan tinggal di Rum atau Turki dan

menikah dengan seorang wanita bernama Jauhar Khatun dan mempunyai seorang putra

bernama Sultan Walad.6

Pada masa ketika ayahnya meninggal, yaitu Bahauddin Walad pada tanggal 18 Rabi’ul

Awal pada tahun 628 Hijriyah atau 1229 Masehi, Jalaluddin Rumi menggantikan ayahnya

menjadi seorang teolog dan khatib besar, sehingga semua murid yang sebelumnya telah diajar

6
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai
Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), 151.

4
oleh ayahya merasa sangat senang dan menghormati Jalaluddin Rumi dengan baik. Hingga

pada akhirnya ada salah seorang teman dari ayahnya bernama Burhanuddin Muhaqqiq at-

Tirmidzi mengunjunginya di Konya. Beliau merupakan salah satu murid didikan dari

ayahnya di Balkh sebelum mereka bertolak di Konya.

Burhanuddin Muhaqqiq adalah seorang petani yang sangat tekun ketika didik oleh

Bahauddin Walad. Ia merangkap menjadi seorang Syekh di Konya dan pemikirannya mampu

membuat Jalaluddin Rumi terperangah. Bahkan Jalaluddin Rumi di usianya yang baru

menginjak ke 25 tahun, ia sangat tertarik dan ingin mendalami ilmu tasawuf mengenai

peleburan jiwa dengan Tuhan. Hingga pada akhirnya, selama 10 tahun Jalaluddin Rumi

mendalami ilmu tasawuf dan menggantikan Burhanuddin pada tahun 1240 setelah ia wafat.7

Hingga pada akhirnya tahun 1244, ada seorang pengembara yang ahli juga dalam bidang

sufi bernama Syamsuddin at-Tabrizi membawa pengaruh yang sangat besar dan perubahan

pada Jalaluddin Rumi. Ia merupakan orang yang sering berguru kepada ahli tasawuf yang

lain, namun ia tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaan yang selama ini ada di

pikirannya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Jalaluddin Rumi dan mereka saling

berbagi ilmu.

Jalaluddin Rumi yang awalnya mengajar dengan tekun di majelis yang sebelumnya

merupakan tempat ayahnya untuk mengajar berbagai macam disiplin ilmu berubah sangat

drastis. Ia sering sekali meninggalkan majelis dan lebih memilih berkhalwat dengan

Syamsuddin at-Tabrizi untuk bertukar pikiran. Bahkan anaknya sendiri yaitu Sultan Walad

mengatakan bahwa mereka berdua sering berada di dalam satu kamar secara tertutup selama

40 hari untuk bertukar pikiran tanpa adanya campur tangan dari orang lain. Jalaluddin Rumi

yang awalnya tekun sekali melakukan transfer ilmu kepada muridnya dan kutu buku berubah

menjadi orang yang menyukai seni, musik, sastra, dan ilmu tentang keillahian. Selain itu,

majelis maulawi bahkan sampai ditutup karena ia tidak lagi mengajar dan memaksimalkan
7
Ahmad Bangun Nasution, 149.

5
waktunya untuk berguru dengan Syamsuddin atTabrizi. Jika bisa diibaratkan, persahabatan

kedua ahli ilmu tersebut seperti halnya Nabi Musa yang dengan tekun berguru kepada Nabi

Khidir dengan meninggalkan segala eksistensi yang dimilikinya. Sehingga apapun yang ada,

ia selalu terfokus akan keilmuan yang ingin ia pelajarinya tersebut.8

Sampai karena hal itu, banyak sekali murid didikan Jalaluddin Rumi di maulawi marah

besar atas sikapnya yang menelantarkan mereka. Bahkan banyak sekali rumor dan desas

desus yang mengakibatkan fitnah untuk menghancurkan Syamsuddin at-Tabrizi karena telah

mempengaruhi Jalaluddin Rumi. Hingga pada akhirnya Syamsuddin atTabrizi memutuskan

untuk meninggalkan Konya dan bertolak ke Damaskus. Akan tetapi, karena keahlian dari

Sultan Walad yang diutus oleh Jalaluddin Rumi untuk mencarinya, akhirnya Syamsuddin at-

Tabrizi kembali lagi ke Konya. Hal ini disertai dengan permintamaafan murid Jalaluddin

Rumi atas apa yang telah diperbuatnya terhadap Syamsuddin atTabrizi. Namun meskipun

sudah meminta maaf, beberapa waktu kemudian mereka mengulangi perilakunya lagi yang

membuat Syamsuddin at-Tabrizi bertolak ke Damaskus untuk kedua kalinya, dan di bawa

kembali lagi oleh Sultan Walad. Hingga puncaknya pada tahun 1247 Syamsuddin at-Tabrizi

meninggal dunia yang menyebabkan luka mendalam pada Jalaluddin Rumi hingga ia

menciptakan syair yang menceritakan tentang Syamsuddin at-Tabrizi. Selain itu Jalaluddin

Rumi juga menciptakan tarian religius mevlevi untuk mengenang wafatnya Syamsuddin at-

Tabrizi.9

Mungkin banyak yang mengira Syamsuddin at-Tabrizi hanyalah kiasan dan tidak

mempengaruhi tasawuf yang dibawakan oleh Jalaluddin Rumi. Namun hal ini akan sangat

berperan banyak. Hingga pada akhirnya Jalaluddin Rumi wafat tepatnya pada tanggal 5

Jumadil Akhir pada tahun 672 Hijriyah atau 1273 Masehi karena sakit keras yang telah

dideritanya.

8
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), 59.
9
Husyain Ahmad, Seratus Tokoh dalam Agama Islam (Jakarta: Rosnida, 1997), 211.

6
b. Konsep Tasawuf Syekh Jalaludin Rumi

Dalam tasawuf, Syekh Jalaludin Rumi menggunakan pendekatan konsep tasawuf

Mahabbah. Yaitu cinta kepada Tuhan-Nya. Mahabbah sendiri mempunyai arti

mengabaikan hal-hal apa saja yang datang dari dirimu dan memandang besar hal-hal

apa saja yang datang dari Kekasihmu. (Kumalla, Konsep Mahabbah (Cinta) Dalam ‘

Rubaiyat’ Karya Rumi Dan Relevansinya Dalam Pendidikan Agama Islam.”

Ketika seseorang sudah dapat menerapkan konsep tasawuf mahabbah. Artinya,

seseorang tersebut dapat menerima baik maupun buruk pemberian dari yang di

cintainya. Otomatis ia beranggapan akan mensyukuri terkait hal-hal yang didapatkan

merupakan anugerah dan bisa bersyukut atas apa yang di peroleh. Sedangkan terkait

dengan mengabaikan hal-hal apa saja yang diperoleh, maksudnya adalah

mengabaikan segala hawa nafsu dan apapun yang ada pada diri seseorang karena

menganggap tidak ada artinya. Zayyin Alfi menuliskan bahwa, seorang sufi memiliki

tradisi dalam perjalanan yang dikenal dengan konsep mahabbah yang nemiliki makna

mengosongkan hati dari segala-galanya. Kecuali dari diri yang mengasihi. Seseorang

yang sudah kenal Tuhan akan dapat merasakan kehadiran dan sifat-sifatnya sehingga

sifat dan akan hal tersebut melekat di dalam jiwa yang mencintai. (Zayyin Alfi Jihad,

“Kisah Cinta Platonik Jalâl Al-Dîn al-Rûmî,” Teosofi Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran

Islam 1, no. 2 (2011): 203, https://doi.org/10.15642/teosofi.2011.1.2.196- 212.)

C. Kesimpulan

D. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai