Anda di halaman 1dari 25

KONSEP MARIFAT MENURUT AL-GHAZALI

Disusun Oleh:

AHMAD IRFANI
28162455-2

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2016

BAB SATU
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah nya


menyatakan bahwa tasawuf adalah salah satu di antara ilmu-
ilmu syari'at yang baru tumbuh dalam agama Islam. Asal
mulanya adalah dari amal perbuatan salaf al-shaalihiin, dari
sahabat-sahabat Nabi, para Tabi'in, dan orang-orang yang

1
sesudah itu. Maksudnya ialah menuruti jalan kebenaran dan
petunjuk Allah (hidayah).
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam, dan
oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam
istilah Barat khusus dipakai untuk istilah mistisisme dalam Islam.
Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam
agama- agama lain.1 Telah disebutkan bahwa ada segolongan
umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri
kepada Tuhan melalui ibadat, salat, puasa dan haji.Mereka ingin
merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. 2 Mistisisme bertujuan
memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan.
Hubungan yang dimaksud adalah sebagai manifestasi manusia
sebagai hamba yang harus senantiasa mengabdikan dirinya
kepada Allah Swt. Tasawuf mengajarkan cara mensucikan diri,
meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan
rohani guna mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf
adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan
dan keselamatan abadi.
Marifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin
ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam,
yaitu al-Quran dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam
praktek kehidupan Rasulullah saw.3 Kata marifat yang secara
khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-Quran
memang tidak ditemukan secara harfiah. Akan tetapi dapat digali

1 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. XII; Jakarta: PT
Bulan Bintang, 2010), hlm.43.

2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-


Press, 1985), hlm. 71.

3 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 181.

2
makna marifat yang menjadi inti kesufian dari subtansi berbagai
pesan dalam al-Quran. Kata yang berakar dari arafa dalam
keseluruhan al-Quran disebutkan sebanyak 71 kali. 4 Dari 71 kali
penyebutan itulah dapat diketahui bahwa marifat dalam term al-
Quran memiliki banyak arti: mengetahui, mengenal, sangat
akrab, hubungan yang patut, hubungan yang baik, dan
pengenalan berdasarkan pengetahuan mendalam. Maka jika
semua pengertian itu dihimpun dalam satu pengertian, marifat
menurut subtansi al-Quran memiliki maksud sebagai
pengenalan yang baik serta mendalam berdasarkan
pengetahuan yang menyeluruh dan rinci. Sebagai buah dari
hubungan yang sangat dekat dan baik.5

4 Muhammad Solikin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, (Jakarta: PT. Buku Kita,
2007), hlm. 175.

5 Muhammad Solikin, Ajaran Makrifat Syekh,..., hlm. 176.

3
BAB DUA
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazali

Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad


bin Ahmad al-Ghazali. Dia di lahirkan di desa Ghuzala daerah Tus,
salah satu kota di Khurasan Persia pada tahun 450 H/1085M. 6
Ayahnya meninggal saat ketika ia masih kecil, sebelum
meninggal ayahnya menitipkannya kepada sahabatnya seorang
sufi, supaya diurus dan dididik besama adiknya. Diserahkan pula
sejumlah uang simpanan. Pesannya, jika bekal itu habis, ia
berharap kedua anaknya hidup mandiri dengan jalan mengajar.
Semua pesan itu dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya. 7
Kemudian setelah berumah tangga dan dikarunia seorang anak
laki-laki yang diberi nama Hamid, maka beliau dipanggil dengan
sebutan akrab Abu Hamid (Ayah Hamid).
Adapun nama Muhammad yang disebutkan secara
berturut-turut serta sebutan al-Ghazali yang terdapat pada nama
lengkapnya mengandung latar belakang historis dari
kehidupannya. Nama Muhammad yang pertama adalah namanya
sendiri, kemudian nama ayahnya dan yang terakhir adalah nama

6 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 126.

7 Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Marifah,Terj. Ahmadie Thaha,( Jakarta:


Pustaka Panjimas,1990), hlm. 7.

4
kakeknya. Sedangkan mengenai nama al-Ghazali sendiri,
berasal dari nama desa tempat kelahirannya, maka sebutannya
(dengan satu z). Adapun al-Ghazali kadang-kadang diucapkan
al-Ghazzali (dua z), berasal dari kata ghazzal yang berarti
tukang pintal benang wol. Karena pekerjaan ayahnya adalah
memintal benang wol.8
Pada masa kecilnya, al-Ghazali belajar pada salah seorang
faqih di kota kelahirannya, Tus, yaitu pada Ahmad al-Raz\akani.
Lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nashr al-
Ismaili. Setelah itu dia kembali ke Tus dan kemudian pergi ke
Nishapur. Di sana ia belajar pada salah seorang teolog aliran
Asyariyah yakni Abu al-Maali al-Juwaini yang bergelar Imam al-
Haramain. Di bawah bimbingan gurunya itulah dia sungguh-
sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai
masalah madzhab-madzhab berserta perbedaan pendapatnya,
teologi, ushul fiqh, logika sampai dengan filsafat.9
Selama berada di Nishapur, al-Ghazali tidak hanya belajar
kepada al-Juwaini, tetapi belajar juga kepada Yusuf an Nazaj (w.
477 H) dan Abu Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadhi
(w. 477 H) keduanya adalah pengamal dan ahli teori dibidang
tasawuf, dari pelajaran yang diterimanya itu, al-Ghazali
melakukan latihan dan praktik tasawuf, meskipun demikian hal
itu belum mendatangkan pengaruh yang signifikan pada
kehidupannya, praktik dan teori sufisme yang sesungguhnya
dilakukan pasca mengalami krisis psikologi.10
Al-Ghazali tetap mendampingi al-Juwaini, sampai gurunya
tersebut meninggal dunia pada tahun 478 H. Dia lalu

8 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm. 126.

9 Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,Terj.


Ahmad Rofi Ustmani, (Bandung: Penerbit Pustaka,1997), hlm. 148.

5
meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di situlah dia bertemu
dengan seorang menteri yang terkenal yakni Nizam al-Mulk.
Kedatangannya mendapat sambutan baik dari menteri ini, sebab
Nizam al-Mulk telah mengetahui kapasitas keilmuan al-Ghazali
yang tinggi. Menteri menyambut dengan melangsungkan sebuah
dialog antara al-Ghazali dengan sebagian ulama-ulama
mengenai berbagai masalah, dan dalam dialog tersebut tampak
keuggulan al-Ghazali dibanding para ulama. Dari sini namanya
menjadi terkenal, dengan segera Nizam al-Mulk menawarinya
untuk mengajar di perguruannya yakni Universitas al-Nizamiyah
yang berada di Baghdad. Dia pun menerima tawaran menteri
dan berangkat ke Baghdad, di sana dia mencapai puncak
karirnya dan banyak dikagumi orang.11
Imam al-Ghazali terkenal seorang pemikir besar, seorang
pengikut mazhab fiqh Syafi'i dan teologi Asyariyah. 12 Dia adalah
ilmuwan berwawasan luas dan seorang peneliti yang penuh
semangat. Kehidupannya adalah sebuah kisah perjuangan
mencari kebenaran. Apa yang menarik perhatian dalam sejarah
hidup Imam al-Ghazali adalah kehausannya terhadap segala
pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan
mencari hakikat kebenaran segala sesuatu. Pengalaman
intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam ke
falsafah, kemudian ke Ta'limiah/Bathiniyah dan akhirnya
13
mendorong ke tasawuf.

10M. Solihin, Penyucian Jiwa Dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali,


(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 24.

11 Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman,..., hlm. 149.

12 Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Marifah,..., hlm. 6.

6
Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang produktif dalam
berkarya serta luas wawasaannya. Dia menyusun banyak buku
dan risalah, meliputi berbagai bidang seperti fiqh, ushul fiqh,
ilmu kalam, akhlak logika, filsafat, dan tasawuf. 14 Semuanya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Kelompok Ilmu Akhlaq dan Tasawuf
1) Ihya Ulumuddin (Penghidupan kembali ilmu-ilmu
agama)
2) Ayyuhal Walad (Hai anak-anakku)
3) Mizan al-Amal (Timbangan amal)
4) Misyakat al-Anwar (Relung-relung cahaya)
5) Minhaj al-abidin (Pedoman beribadah)
6) Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara
penyingkap ilmu akhirat)
7) Al-Qurabah ila Allah Azza wa jalla (mendekatkan diri
kepada Allah)
8) Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlaq yang
luhur menyelamatkan dari keburukan)
9) Bidayatul Hidayah (Langkah-langkah mencapai
hidayah)
10) Al-Mabadi wa al-Ghayah (Permulaan dan tujuan
akhir)
11) Risalah al-Qudsiyah (Risalah suci)
12) Al-Ulumu al-Laduniyah (Ilmu-ilmu laduni)
b) Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
1) Maqasid Falasifah (Tujuan filsafat)
2) Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsuf)
3) Al-Iqtishad fi al-Itiqad (Moderasi dalam aqidah)
4) Al-Qishah al-Mustaqim (Jalan untuk mengatasi
kegelisahan)
5) Hujjatul Haq (Argumen-argumen yang benar)
6) Mahkum al-Nadar (Metodologika)

13 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


138.

14 Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman,..., hlm. 153.

7
7) Asrar Addin (Misteri ilmu agama)
8) Isbatu al-Nadar (Penetapan logika)
9) Mufahil al-khilaf fi Ushul al-Din (Memisahkan
perselisihan dalam ushuluddin)
c) Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1) Al-Basit (Pembahasan yang mendalam)
2) Al-Wasit (Perantara)
3) Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)
4) Al-Mankhul (Adat kebiasaan)
5) Syifa al-Alil fi al-Qiyas wa al-Tawil (Terapi yang tepat
pada qiyas dan tawil)
6) Al-Zariah ila Makarimi as-Syariaah (Jalan menuju
kemuliaan syariah)
d) Kelompok Tafsir
1) Yaqut al-Tawil fi Tafsir al-Tanzil (Metode tawil dalam
menafsirkan al-Quran)
2) Jawahirul Quran (Rahasia-rahasia al-Quran).15

B. Pengertian dan Konsep Marifat Menurut Al-Ghazali


1. Pengertian Marifat
Marifat berasal dari kata `arafa, yurifu, irfan, berarti:
mengetahui, mengenal,16 atau pengetahuan Ilahi.17 Orang yang

15 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


141-144.

16 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka


Progresif, 2002), hlm. 919.

8
mempunyai marifat disebut arif.18 Menurut terminologi, marifat
berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, 19
atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman
secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan.20 Dimana sering
digunakan untuk menunjukan salah satu maqam (tingkatan) atau
hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam
wacana sufistik, marifat diartikan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya
penghayatan marifat kepada Allah SWT (marifatullah) menjadi
tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.21
Marifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-
hal yang bersifat eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam
terhadap penekanan aspek esoteris (bathiniyyah) dengan
memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud
penghayatan atau pengalaman kejiwaan.22 Sehingga tidak
sembarang orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih

17 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Penerbit
Amzah, 2005), hlm. 139.

18 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan


Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), hlm. 103.

19 Syihabuddin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awarif al-Maarif,


Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, Terj. Ilma Nugrahani Ismail,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 105.

20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 219.

21 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,..., hlm. 220.

22 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,..., hlm. 219-220.

9
tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada
umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.23
Marifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan
bertafakkur melalui penzahiran (manifestasi) sifat keindahan dan
kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala
yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini. Jelasnya, Allah SWT
dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang
tampak oleh pandangan makhluk-Nya.24
2. Konsep Marifat Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan seorang sufi yang terkenal memiliki
keahlian dalam merumuskan berbagai masalah sehingga menjadi
sebuah karya yang luar biasa. Al-Ghazali berbeda dengan para
sufi sebelumnya, ia memiliki karakteristik dalam merumuskan
marifat yakni dengan ciri-ciri dan batasan-batasan yang jelas. 25
Marifat menurut al-Ghazali bukanlah didapatkan semata-mata
dengan menggunakan akal. Marifat yang sebenarnya adalah
mengenal Allah SWT, mengenal wujud Tuhan yang meliputi
segala wujud, tidak ada wujud selain Allah SWT.26
Teori al-Ghazali tentang marifat menurut al-Taftazani
(1979) dipandang sebagai teori yang komplementer dan
komprehensif, sebab secara rinci al-Ghazali telah berhasil
membahas pengetahuan mistis dari segi pencapaiannya,
metodenya, objeknya, dan tujuannya. Teorinya dipandang
memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan maupun

23 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus ...,hlm. 47.

24 Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia


Ilahi, Terj. Imron Rosidi, (Yogyakarta: Citra Risalah, 2009), h. 113.

25 Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman,..., hlm. 171.

26 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan,..., hlm. 126.

10
perkembangan tasawuf.27Al-Ghazali mengklasifikasikan tasawuf
menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sebagai ilmu
muamalah, kedua tasawuf sebagai ilmu marifat. Ilmu
muamalah sebagai tahap perjalanan dan perjuangan tasawuf
jika dihadapkan dengan Ilmu marifat yang merupakan
pencerapan spiritual langsung, terdapat perbedaan mendasar
yang berkaitan dengan esensi masing-masing.
Esensi tasawuf dalam konteks ilmu muamalah merupakan
upaya penempuh jalan sufi (salik) untuk mencapai moralitas-
moralitas tertentu baik lahir maupun batin dengan tujuan final,
mengkodisikan qalb untuk mempersiapkan saat tinggal landas
menuju pendakian lebih jauh memasuki dataran alam metafisis
ke hadirat Tuhan. Sebaliknya, esensi tasawuf dalam konteks ilmu
marifat adalah upaya pencapaian dan menemukan realitas
mutlak (al-Haqq).28
Al-Ghazali memandang marifat sebagai tujuan yang harus
dicapai manusia, dan sekaligus merupakan kesempurnaan yang
di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Sebab dengan
marifat manusia akan benar-benar mengenal Tuhannya, setelah
mengenal maka akan mencintai dan kemudian mengabdikan
dirinya secara total. Al-Ghazali menjelaskan bahwa setiap orang
yang tidak mengenal atau tidak memperoleh kelezatan
marifatullah di dunia, maka tidak akan memperoleh kelezatan
memandang di akhirat. Karena tidak akan berulang kembali bagi
seorang di akhirat, apa yang tidak menyertainya di dunia.
Padahal sempurnanya kenikmatan adalah ketika bermarifat
dengan-Nya. Maka menikmati surga tanpa menyaksikan

27 Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman,..., hlm. 171.

28 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


159.

11
Penciptanya, akan menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa,
dengan demikian seringkali malah akan merasakan sakit.29
Jadi kenikmatan surga itu menurut kadar kecintaan kepada
Allah SWT, dan kecintaan kepada Allah SWT sesuai kadar
marifatnya kepada Allah SWT. Maka pokok kebahagiaan ialah
marifat, yang diibaratkan oleh syara dengan Iman. 30 Al-Ghazali
dalam karyanya Ihya Ulum al-Din menganalogikan hati ibarat
cermin dan ilmu adalah gambar yang disaksikan dalam cermin
tersebut. Ia menjelaskan agar cermin dapat memantulkan
gambar maka harus selalu dibersihkan, memiliki posisi yang
tepat, serta tidak ada penghalang antara gambar dan cermin.
Begitu juga hati, supaya bisa menyerap cahaya marifat dari
Tuhan maka harus bersih, tidak terdapat penghalang dan
memiliki posisi yang tepat.31
Kemudian yang membuat cermin hati keruh atau tidak
bening adalah disebabkan karena perbuatan durhaka, besarnya
hawa nafsu dan banyaknya perbuatan maksiat. Oleh karena itu
agar hati cemerlang maka seharusnya memalingkan diri dari
hawa nafsu (riyadhah), selalu berbuat baik, beriman dan selalu
taat kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Itulah yang
akan membuat qalb berlinang dan cemerlang, dan dari sini akan
memperoleh ilmu-ilmu keilhaman dari Allah SWT.32
Sebenarnya itulah yang menjadi kecenderungan ahli
tasawuf dimana memperoleh ilmu-ilmu keilhaman bukan kepada

29 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin jilid VII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta:
C.V. FAIZAN, 1985), hlm. 459.

30 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 459.

31 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 17-18.

32 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 19.

12
ilmu-ilmu yang dipelajari. Jalan yang ditempuh ialah
mendahulukan mujahadah (bersungguh-sungguh melawan nafsu
dan mendekatkan diri kepada Tuhan) dan menyapu sifat-sifat
tercela. Setelah berhasil maka Allah SWT akan memerintahkan
hati hamba-Nya, menyinarinya dengan sinar nur ilmu. Apabila
Allah SWT telah memerintahkan urusan hati, melimpahlah
rahmat-Nya kepada hati, terbukalah dada, tersingkap rahasia
alam malakut, dan cemerlanglah pada hati hakikat urusan ke-
Tuhanan sehingga al-Haqq terlihat dengan tanpa ada keraguan
sama sekali .33
Al-Ghazali percaya bahwa cara untuk mencapai marifat
dalam bentuk seperti itu tidak bisa diukur hanya dengan
parameter rasional, melainkan bisa diraih dengan qalb, dan
keduanya saling memiliki keterkaitan. Al-Ghazali menjelaskan
bahwa indra dan akal memiliki objek alam yang disaksikan nyata
ini, sedangkan qalb memiliki objek berupa alam malakut (alam
kerajaan), yakni sebuah alam yang berada dibalik alam.34
Dalam pandangan al-Ghazali terdapat hubungan erat
antara rasio dan intuitif, ia mengibaratkan orang yang
memperoleh pengetahuan rasio diumpamakan sebagai anak
kecil (al-thifl) dan orang yang memperoleh pengetahuan intuitif
diibaratkan dengan remaja (al-mumayyiz). Perumpamaan
tersebut mengisyaratkan sebuah tahapan yang terkait bukan
keterpisahan masing- masing, artinya rasio manusia setelah
mampu menangkap pengetahuan-pengetahuan apriori
(daruriyat) pada gilirannya akan memperlihatkan dua
kemampuan, yaitu kemampuan memproduksi pengetahuan
33Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, Sebuah Kritik
Metodologis, Terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), hlm. 98-99.

34 Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama...., hlm. 93.

13
melalui pemahaman (olah) fikir dan melalui pemahaman (olah)
rasa. Selanjutnya al-Ghazali menjeaskan bahwa pengetahuan
yang diperolah melalui olah fikir adalah menggunakan sarana al-
mufakkirah yang bertempat di otak, sedang pengetahuan yang
diperoleh melalui olah rasa adalah menggunakan sarana al-
iradah yang berpusat di hati. Dengan ini, tampak bahwa otak
berhubungan dengan akal dan hati berhubungan dengan
intuisi.35
Lebih lanjut al-Ghazali berpendapat bahwa pengetahuan
intuitif sufi (kasyf) memang berkompeten untuk memberikan
pengetahuan (marifat) yang tak terjangkau oleh akal. Namun
pengetahuan yang dimustahilkan oleh akal tidak sepenuhnya
bisa dipakai, meski pengetahuan tersebut datang dari seorang
wali. Disatu sisi intuisi dipandang lebih tinggi kemampuannya
dari akal, akan tetapi di sisi yang lain intuisi mempunyai ruang
lingkup yang terba tas, karena pengetahuan yang dihasilkan
harus tetap berada dalam bingkai rasionalitas, sehingga ia tidak
bisa mengklaim dengan pengetahuan yang dimustahilkan akal.
Dengan demikian pengetahuan intuitif menurut al-Ghazali masih
dalam batasan-batasan dan tidak semena-mena dengan mudah
untuk dipercaya. Maka dari itu al-Ghazali menolak pandangan
sufi yang mengaku dirinya bersatu dengan Tuhan (ittihad)
ataupun mengaku Tuhan karena telah larut dan mengambil
tempat dalam dirinya (hulul). Sebab ittihad maupun hulul
dimustahilkan oleh akal.36
Menurut al-Ghazali, ilmu mukasyafah merupakan ilmu yang
tersembunyi dan hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar
35 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.
195-196.

36 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


197.

14
mengenal Allah SWT (marifatullah). Sebab itulah mereka hanya
mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak
memperbincangkan di luar kalangan sendiri.37
Sebab, jika diungkapkan dengan fulgar kepada siapapun,
maka bagi yang tidak memiliki porsi pengetahuan dan
pengalaman tersebut akan mudah menimbulkan masalah.
Demikian pula bagi seorang arif yang telah memperoleh
pengetahuan dan pengalaman marifat tidak diperkenankan
mengungkapkannya kepada sufi lain yang belum atau tidak
sampai pada tingkatan tersebut. Ketersembunyian pengalaman
marifat bagi yang belum atau bukan ahlinya pada hakikatnya
bukan karena pengalaman dan pengetahuan itu tidak dimiliki
nilai kebenaran, melainkan karena kesulitan mendapatkan
contoh objektif, sehingga sulit untuk diungkapkan dan setiap
upaya untuk mengungkapkan pengalaman tersebut pasti
membawa kekeliruan.38
Al-Ghazali sangat selektif terhadap berbagai aliran atau
konsep sufisme yang ada pada masanya. Al-Ghazali menolak
paham al-Hulul dan al-Ittihad dengan dalil-dalil rasional.39
Dalam Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali menyebutkan minimal ada
tiga golongan di antara para sufi yang tertipu (mugtarrin) dalam
kehidupan sufi mereka. Pertama, mereka yang berlagak seperti
orang-orang sufi sungguhan, baik dalam berpakaian maupun
dalam perilaku, padahal mereka tidak pernah sama sekali

37 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


160.

38 Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,..., hlm.


161.

39Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali Pendekatan Metodologi,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm. 214.

15
mencoba membersihkan batin mereka dari noda dan dosa.
Padahal proses tazkiyat (pembersihan), merupakan tangga untuk
menaiki jenjang para sufi.
Kedua, mereka yang mengaku sudah memperoleh marifat
langsung dari Tuhan, yang diketahui dari kata-kata yang keluar
dari mulut mereka. Padahal kata-kata tersebut merupakan kata-
kata klise dari pengalaman sufi sebenarnya, yang selalu mereka
hafalkan. Akibat persepsi ini terhadap diri mereka, maka mereka
menganggap hina para ulama: fiqh, tafsir, hadis, kalam, dan lain-
lain, juga menganggap hina para ahli ibadah yang tidak seperti
praktek mereka
Ketiga, mereka yang katanya mementingkan hati, karena
hati itulah titik pandangan Allah SWT kepada manusia. Karena itu
mereka membiarkan segala anggota tubuh mereka berbuat
maksiat, karena menurut anggapan mereka hal itu tidak akan
diperhitungkan Allah SWT, sebab yang diperhitungkan hanyalah
gerak hati mereka yang katanya tidak pernah absen dari
dzikrullah (mengingat Allah SWT). Akibatnya, mereka
memandang remeh syariat yang mengatur halal dan haram,
perintah dan larangan. Padahal membersihkan hati dengan cara-
cara tidak mengindahkan hukum syariat itu adalah jalan yang
keliru.40
Sebagaimana yang dialami al-Ghazali bahwa
sesungguhnya marifat tidak bisa didapatkan melalui susunan
argumentasi logis atau rasionalitas belaka, sebab dalam
menggapai kemarifatan Nur Ilahiah yang menentukannya.
Manusia hanya bisa berjaga atau mempersiapkan akan
datangnya Nur Ilahiah tersebut. Dalam mencapai marifat tahap
yang dilalui al-Ghazali, yakni pencarian ilmu, tafakkur dan
tazkiyat an-nafs.

40 Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali,..., hlm. 214-215.

16
a) Urgensi Ilmu dan Amal
Menurut William C. Chittik, ilmu dan marifat memang
memiliki arti yang sama, yaitu pengetahuan, namun terdapat
perbedaan, yakni bahwa ilmu adalah pengetahuan lahiriah
yang diperoleh melalui belajar, sedang marifat adalah
pengetahuan batiniah (gnostik) yang langsung didapat dari
Allah melalui praktik spiritual yang menghasilkan
penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah).41
Menurut al-Ghazali ilmu adalah dasar-dasar segalanya, yaitu
dasar iman, ibadah dan pengenalan (marifat) kepada Allah
SWT, ilmu merupakan jalan menuju marifat.42
Mengenai lebih tingginya kedudukan marifat daripada
ilmu Ibn `Arabi (w. 1240 M) mengatakan :
Marifat adalah sebuah jalan, karenanya, setiap ilmu
hanya dapat diaktualisasikan melalui amal, takwa dan
menempuh perjalanan rohani. Itulah marifat, karena ia
berasal dari sebuah ketersingkapan yang tidak mungkin
terjadi melalui keragu-raguan. Hal ini kontras dengan
pengetahuan yang teraktualisasikan melalui
pertimbangan reflektif (al-Nadar al-fikr) yang tidak
pernah lepas dari keragu-raguan dan kebingungan.43

Meskipun marifat lebih tinggi daripada ilmu, tetapi


kedudukan ilmu juga sangat penting, terutama ilmu yang
bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat ialah ilmu yang terlepas
dari sumber dan asalnya, yakni hakikat ketuhanan.

b) Urgensi Tafakkur

41 Sudirman Teba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat,


(Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 44-45.

42 Sudirman Teba, Kecerdasan Sufistik Jembatan,..., hlm. 44.

43 Sudirman Teba, Kecerdasan Sufistik Jembatan,..., hlm. 45.

17
Di dalam mencari marifat (pengetahuan tentang
hakikat sesuatu), akal juga merupakan komponen penting
yang ikut andil, proses berfikir adalah kunci masuknya cahaya
dan bekal untuk mempertajam mata batin (hati). Meskipun
menurut al-Ghazali akal manusia tidak mungkin menemukan
hakikat keimanan melalui ilmu yang dimiliki atau yang telah
diupayakanya. Akal harus disandingkan atau dibantu dengan
ilmu syariah yang bersumber dari al-Quran. Kedudukan al-
Quran bagi akal bagaikan cahaya dan mata yang sangat
bekaitan erat.44

c) Urgensi Tazkiyat an Nafs


Dalam pemabahasan tentang ilmu, ia menjelaskan
bahwa tazkiyat an-nafs merupakan jenis ilmu terpuji yang
wajib diamalkan oleh setiap muslim. Dalam bidang akidah al-
Ghazali melihat tazkiyat an-nafs sebagai tanzih dan marifat
kepada Allah SWT. Dalam pembahasan thaharah, tazkiyat an-
nafs meliputi thaharah lahir dari najis dan thaharah hati dari
akhlak tercela. Dan dalam pembahasan tentang keajaiban
hati ia memandang tazkiyat an-nafs sebagai jiwa yang sadar
akan dirinya dan mau bermarifat kepada Allah SWT.45
Dalam memperoleh marifat ada empat rukun yang
disampaikan al-Ghazali dalam ihya Ulum al-Din yakni : pertama,
mengasingkan diri (al-uzlah), kedua, berdiam diri(as-samt),
ketiga, lapar (al-ju), keempat, terjaga atau tidak tidur di malam
hari (as-sahar).46
1) Mengasingkan Diri (al-Uzlah)

44 Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Marifah,..., hlm. 15.

45M. Solihin, Penyucian Jiwa Dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali,


(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 11-12..

18
Sesungguhnya Islam menganjurkan untuk menjalankan pergaulan
dengan baik, beramah-tamah, berkumpul secara sehat, berkumpul dengan
orang-orang sholeh dan menghadapi realitas problema masyarakat, bukannya
mengasingkan diri. Memang secara subtansi Islam mengajarkan demikian,
agar seseorang bermanfaat bagi yang lainya, ia layaknya harus membaur
dengan masyarakat. Namun yang dimaksud uzlah disini bukanlah
mengasingkan diri dari hal itu semuanya, tapi ini merupakan salah satu rukun
dari rukun-rukun mujahadah, sebagai langkah awal atau media intropeksi
yang nanti muaranya juga akan kembali kepada khalayak ramai.47
Berikut beberapa manfaat uzlah diantaranya :
a) Selamat dari penyakit lisan, karena orang yang
menyendiri tidak akan membicarakan orang lain,
terlebih membicarakan kerburukan atau aib.
b) Penglihatan juga terjaga dan selamat dari bahaya
pendangan mata.
c) Hati terjaga dan terlindung dari penyakit riya, sikap
mencari muka, dan berbagai penyakit hati lainnya.
d) Tidak bersahabat dengan orang jahat. Sebab, banyak
bergaul dengan orang jahat akan menyebabkan perilaku
buruk dan kerusakan.
e) Fokus beribadah, berdzikir, serta bertekad untuk
menjalani ketakwaan dan berbuat baik.
f) Merasakan manisnya taat serta nikmatnya munajat,
dalam keadaan hati yang bersih.

46 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju Allah, Sebuah Konsep


Tasawuf Gerakan Islam Kontemporer I, Terj. Imam Fajrudin,(Solo: Era
Intermadia, 2002), hlm. 231.

47 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 232.

19
g) Berkesempatan melakukan ibadah dan tafakur dan
mengambil pelajaran, inilah tujuan terakhir uzlah.48

2) Diam (as-samt)
Memelihara lisan merupakan hal penting untuk
diperhatikan, sebab lisan adalah sarana pertama untuk
mengekspresikan diri. Padahal diri (seseorang) cenderung
kepada banyak hal, termasuk hal-hal yang tidak patut untuk
diungkapkan. Seperti halnya, membanggakan diri,
mengumpat, pamer, berbantahan, dan marah, serta memiliki
kecenderungan untuk membuang-buang waktu dengan
omong kosong.
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk
memelihara lisan, antara lain :
a. Mengekang lisan, pengekangan diwujudkan dalam
bentuk diam
b. Melakukan latihan untuk berbicara dengan
pembicaraan yang bermanfaat. Ini dilakukan secara
berjenjang dan bertahap, sehingga dia menjadi
terbiasa dengan ucapan-ucapan yang dibutuhkan dan
benar.
Membiasakan diri untuk diam merupakan awal dari
pembiasaan menimbang kata-kata sebelum diucapkan. 49
Umar bin `Abdul Aziz berkata: Sungguh yang mencegahku
banyak bicara adalah rasa takut (menjadi) angkuh. Jika
seorang berada dalam suatu majelis lalu kalau ia bicara
membuatnya bangga maka hendaklah ia diam. Dan jika sikap
diamnya tersebut membuat ia bangga maka bicaralah.50

48 Ibnu Athaillah, Tajul Arus Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa Terj.


Muhammad Nadjat, Jakarta: Penerbit Zaman, 2003), hlm. 240.

49 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 241-242.

20
Jadi, antara diam dan bicara memang harus
proporsional, sebab tidak diragukan lagi, bahwa lisan
merupakan sumber dari kesalahan terpenting dan kesalahan
paling besar. Kegagalan seseorang dalam mengendalikan
lisan merupakan kegagalan besar dalam menggembleng diri
dalam proses mendidik dirinya. Demikian juga, keberhasilan
seseorang dalam mengendalikan dan memelihara lisan
merupakan kesuksesan besar dalam mendidik diri dan
memeliharanya untuk selalu konsisten.51

3) Lapar (al-ju)
Adapun lapar akan mengurangi darah jantung dan
memutihkannya, dan pada putihnya itu, nurnya (cahaya)
akan menghancurkan lemaknya hati. Pada kehancuran itu
menjadi halusnya hati, dan halusnya hati merupakan kunci
mukasyafah.52 Lapar adalah proses perjalanan ruhani
manusia menuju Allah SWT.53
Maka, ketika perut kekenyangan akibatnya membuat
hati menjadi beku, membawa otak tumpul, melemahkan
kecerdasan, dan menjadi pelupa. Seluruh anggota badan
menjadi berat sehingga berakibat malas untuk mengerjakan
ibadah dan mencari ilmu. Disinilah seringkali manusia
terjerumus untuk menuruti hawa nafsunya.54

4) Terjaga di Malam Hari (as-sahar)


50 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 499.

51 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 243.

52 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 204.

53 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 244.

21
Kemudian tentang menjaga malam atau tidak tidur di
malam hari kecuali untuk beribadah, hal itu menambah
kejernihan hati saat telah berhasil menahan lapar. Lalu hati
akan berkilau-kilau layaknya bintang atau seperti halnya kaca
yang bening. Maka disaksikanlah kehinaan dunia dan
ketinggian derajat akhirat. Dengan demikian maka
sempurnalah kebenciaannya kepada dunia dan
menghadapkan kepada akhirat, dengan bersikap seperti itu
menurut al-Ghazali menjadi sebab terbukanya rahasia-
rahasia ghaib.55
Empat hal tersebutlah yang akan membentengi kejernihan
hati dari penyakit-penyakit hati atau membentengi dari para
perampok. Perlu ditegaskan bahwa keempat hal itu bukan
merupakan tujuan, namun hannyalah sebagai alat atau sarana
dalam melakukan perjalanan menuju Allah SWT. Dari semua hal
itu sesungguhnya memiliki signifikasi dalam mendekatkan diri
pada-Nya, tanpa semuanya itu, proses perjalanan menuju Allah
SWT bisa terhambat atau bahkan tidak berjalan sama sekali.56
Menurut al-Ghazali kasyf (penyingkapan) akan terjadi
secara sempurna apabila tumbuh berkembang dari sikap
istiqamah, karena penyingkapan biasa dihasilkan dari menahan
lapar, qiyamu lail, diam, dan khalwat. Namun, jika tidak ada
sikap istiqamah maka penyingkapan itu akan seperti ahli sihir.

54 Imam al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, Terj Rusan,(Semarang:


Wicaksana, 1984), h. 161.

55 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 203.

56 Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju,..., hlm. 252.

22
Penyingkapan yang dimaksud disini ialah yang tumbuh dari sikap
istiqamah.57
Pada waktu mujahadah, kadang-kadang badan itu rusak
dengan timbulnya penyakit, badan terasa sakit, dan juga akal
akan merasa was-was. Apabila tidak didahului dengan latihan
jiwa dan pendidikan dengan hakikat keilmuannya, maka akan
tumbuh hayalan-hayalan yang merusak sampai masa yang tidak
tentu. Banyak para sufi yang menjalani hal seperti ini sampai
datanglah Allah SWT akan menyinari hatinya.58

BAB TIGA
PENUTUP

Kesimpulan
Marifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-
hal yang bersifat eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam
terhadap penekanan aspek esoteris (bathiniyyah) dengan
memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud
penghayatan atau pengalaman kejiwaan.
Marifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan
bertafakkur melalui penzahiran (manifestasi) sifat keindahan dan
kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala
yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini. Jelasnya, Allah SWT
dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang
tampak oleh pandangan makhluk-Nya.

57 Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syari Kritik atas Kritik, (Jakarta:
Penerbit Hikmah, 2000), hlm.191.

58 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,..., hlm. 59.

23
Al-Ghazali memandang marifat sebagai tujuan yang harus
dicapai manusia, dan sekaligus merupakan kesempurnaan yang
di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Sebab dengan
marifat manusia akan benar-benar mengenal Tuhannya, setelah
mengenal maka akan mencintai dan kemudian mengabdikan
dirinya secara total.
Dalam mencapai marifat tahap yang dilalui al-Ghazali,
yakni:
a) Pencarian ilmu
b) Tafakkur, dan
c) Tazkiyat an-nafs.
Adapun rukun untuk mencapai marifat menurut al-Ghazali
adalah:
a) Mengasingkan diri (al-uzlah),
b) Berdiam diri(as-samt),
c) Lapar (al-ju), dan
d) Terjaga atau tidak tidur di malam hari (as-sahar).

DAFTAR PUSTAKA

Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke


Zaman,Terj. Ahmad Rofi Ustmani, (Bandung:
Penerbit Pustaka,1997).
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996).
Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan
dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. XII;
Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010).

24
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-
Press, 1985).
Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, Sebuah Kritik
Metodologis, Terj. Ija Suntana dan E. Kusdian,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Imam al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, Terj Rusan,(Semarang:
Wicaksana, 1984).
Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin jilid VII, Terj. Ismail Yakub,
(Jakarta: C.V. FAIZAN, 1985).
M. Solihin, Penyucian Jiwa Dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Said Hawa, Perjalanan Ruhani Menuju Allah, Sebuah Konsep
Tasawuf Gerakan Islam Kontemporer I, Terj. Imam
Fajrudin,(Solo: Era Intermadia, 2002)
Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syari Kritik atas Kritik,
(Jakarta: Penerbit Hikmah, 2000).
Sudirman Teba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat,
(Jakarta: Prenada Media, 2004).
Syihabuddin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awarif al-Maarif,
Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, Terj. Ilma
Nugrahani Ismail, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1998).
Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali Pendekatan Metodologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009).

25

Anda mungkin juga menyukai