Dosen Pembimbing:
Drs. Zulkifli Lubis, MA
Disusun Oleh:
Wulan Ayu Novitasari 1404617015
Mawiyatul Fitri 1404617017
Buyut Toyyib Salami 1404617065
Rian Maulana Putra 1404617070
Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung
kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan
oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya 2 Orang tuanya
gemar mempelajari ilmu tasauf, karena mereka hanya mau makan dari hasil usaha
tangannya sendiri dari menenun wol.
Dan ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajaranya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menvaksikan keberhasilan anaknya sesuai do'anya. Pada mulanya Al Ghazali
mengenal tasauf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua
versi:
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi
mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nur yang dilimpahkan Tuhan
kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menuntut kebenaran.dari Damaskus
ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus.
(” )العلم الذى ال يقبل الشكpengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh
siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-
yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan
sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا ال يبقى معه ريب وال يقاالنه امكان الغلط والوهم وال يتسع القلب
لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek
pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan
terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu
untuk itu”. Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
اإلطالع على أسرار الربوبية والعلم بترتب األمور اإللهية المحيطة بكل الموجودات
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf
al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih
jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif)
mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-
orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti
karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah
keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau
sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu,
dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup
pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada
kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara
seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari
setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. النظر الى
( ))وجه هللا تعالىmemandang kepada wajah Allah ta’ala)
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah
seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar,
tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan
kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan
dengan mahabatullah.
Dalam kitab Ihya ‘Ulum al Din, al Ghazali membagi cinta menjadi empat bagian, yaitu:
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat
seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya.
Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini
berlaku dalam setiap taraf spritual.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali
mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan
lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas
bersandar dengan akal.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya
seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’.
Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan
proses takhalli dan tahalli.
Sarana ma’rifat menurut al Ghazali bukan akal, indera atau rasa, tetapi hati. Hati
disini adalah percikan rohaniah ketuhanan (Latifah Rabbaniyah) yang merupakan
kebenaran hakiki. Menurut al Ghazali, ruh, hati atau jiwa melekat di dalam jasad atau
badan. Dalam hal ini jasad sebagai wadah dari ruh dan jiwa sehingga dengan bantuan
jasad ruh akan memperoleh bekal hidup keduniaan dan bekal hidup akhiratnya. Ruh atau
jiwa adalah esensi kemanusiaan. Adapun badan adalah pembalutnya yang bertugas
sebagai alat untuk mencari bekal dan mencari kesempurnaan dalam bentuk aktifitas
kehidupan dan amal perbuatan, serta untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai dasar
kelangsungan hidup. Ruh yang melekat pada tubuh manusia tidak untuk menerima dan
mencari penderitaan dan kesengsaraan, tetapi untuk mencari dan menerima keselamatan,
kesenangan dan kebahagiaan.
Amril, Akhlak Tasawuf: Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, PT Refika Aditama,
2015, hal. 47-52
Ruh, hati atau jiwa menurut al Ghazali bersifat Ilahiyah, sehingga cenderung pada
kesucian, kebersihan, kebaikan atau kebenaran. Tetapi apabila ruh kalah dengan jasad
maka yang terjadi gangguan dalam kehidupan pribadinya. Untuk menjaga kesucian hati
menurut al Ghazali upaya yang ditempuh adalah:
Al-Ghazali memandang ma’rifat sebagai tujuan akhir yang harus dicapai oleh
seorang sufi, yang sekaligus kesempurnaan tertinggi yang didalamnya mengandung
kebahagiaan yang tertinggi. Cara untuk memperkuat dan memantapkan ma’rifat akan
Allah dalam hati adalah dengan membersihkan hati itu dari kesibukan dunia. Untuk
perawatan dan pemeliharaan agar hati itu tetap istiqomah diperlukan dua kesadaran,
yaitu:
1. Kesadaran rasional, kesadaran seperti ini menunjukkan adanya penggunaan dan
pengembangan akal sebagai komponen kejiwaan yang dapat membedakan benar
dan salah dalam perbuatan. Menurut al Ghazali akal merupakan indera ke enam
dan sebagai esensi kemanusiaan.
2. Kesadaran emosional, yang berarti timbulnya perasaan cinta pada Tuhan sebagai
pencipta ala mini. Perasaan seperti ini menimbulkan pengorbanan dalam bentuk
alam perbuatan yang benar dan yang baik, sesuai dengan kebaikan Tuhan sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa
kebahagiaan itu sesuai dengan watak. Sementara itu, watak sesuai dengan ciptaannya.
Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya
telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota
tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan kalbu sebagai alat memperoleh
ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat-Nya merupakan kenikmatan paling
aggung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan yang lainnya. Sebagaimana perasaan dapat bertemu
seorang presiden akan lebih bangga daripada perasaan dapat bertemu mentri. Apalagi
jika mampu berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya
akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada
taranya.
1. Mengenal Diri
Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis:
“Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” dan sebagaimana
dikatakan Alquran:
“Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka
agar kebenaran tampak bagi mereka.” (Q. 41: 53)
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar
pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh
kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya. Bukan pula atribut-atribut yang
sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan
lain-lain. Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri”
adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan
kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati
dapat ditemukan?
Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri
kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat
kompleks. Butuh perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan
tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu
kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.
Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah
makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan
manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya.
Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan memiliki
ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat
alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.
2. Mengenal Allah
Sebuah hadis Nabi SAW yang terkenal berbunyi “Barang siapa mengenal
dirinya, ia mengenal Allah.” Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-
sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Allah. Mengingat
banyak orang yang merenungkan dirinya tetapi tak juga menemu Tuhannya,
berarti ada cara-cara tersendiri untuk menjalani perenungan itu. Jika seseorang
merenungkan dirinya, ia akan menngetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada,
sebagaimana tertulis dalam Alquran:”Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya
ia bukan apa-apa?” (Q. 76: 1) Lalu ia akan mengetahui bahwa ia terbuat dari
setetes air yang tak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan
seterusnya. Jadi jelaslah, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak
menciptakan dirinya, bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai
rambut. Betapa sangat tak berdayanya manusia ketika ia hanya berupa setetes
mani! Jadi, sebagaimana telah dijelaskan, ia mendapati wujudnya sebagai
miniatur atau pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta Sang Pencipta. Jika
semua orang pintar dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka
diperpanjang sampai waktu yang tak terbatas, mereka tak akan bisa memperbaiki
sedikit saja dari struktur jasad manusia, yang paling kecil sekalipun.
3. Mengenal Dunia
Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi para musafir
dalam perjalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri
dengan berbagai perbekalan. Dengan bantuan perangkat indriawinya, manusia
harus memperoleh pengetahuan tentang ciptaan Allah dan, melalui perenungan
terhadap semua ciptaan-Nya itu, ia akan mengenal Allah. Pandangan manusia
mengenai Tuhannya akan menentukan nasibnya di masa depan. Untuk
memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke dunia tanah dan air.
Selama indranya masih berfungsi, ia akan menetap di alam ini. Jika semuanya
telah sirna dan yang tertingggal hanya sifat-sifat esensinya, berarti ia telah pergi
ke “alam lain”.
Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal penting,
yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan
jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah.
Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecintaan kepada
sesuatu selain Allah.
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang
dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan perak,
makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai
kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu
pergi. Sebaliknya, tamu yang salah yaitu mencoba membawa beberapa piring
emas dan perak hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia
akhinya dicampakkan dalam keadaan hina dan malu.
Meskipun kita telah banyak bicara tentang bahaya dunia, mesti diingat
bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak dicela, seperti ilmu dan amal
baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan memengaruhi
nasib dan keadaannya disana. Terlebih lagi amal yang dibawa adalah amal ibadah
yang membuatnya selalu mengingat dan mencintai Allah. Semua itu,
sebagaimana ungkapan Alquran, termasuk “segala yang baik akan abadi”. Juga
ada beberapa hal baik lainnya di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian,
dan lain-lain, yang dipergunakan secara bijak oleh kaum beriman sebagai sarana
untuk mencapai dunia yang akan datang. Selain semua hal tersebut, terutama
yang memikat pikiran dan memaksa manusia untuk bersetia kepadanya dan
mengabaikan akhirat, sungguh merupakan kejahatan yang layak dikutuk.
4. Mengenal Akhirat
Orang yang memercayai Alquran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan
konsep nikmmat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Urusan utama
manusia di dunia ini adalah mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang.
Bahkan seandainya seseorang meragukan keberadaan akhirat, nalar mengajarkan
bahwa ia harus bertindak seakan-akan akhirat itu ada dengan mempertimbangkan
akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan hanya bagi orang-orang
yang mengikuti ajaran Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Imam al-Ghazali, Majmu'ah Rasa'il al-Imam al-Ghazali, jilid 2-6 (Beirut: Dar Al-kutub Al-
Ilmiyah, 1994) terjemahan Irwan Kurniawan, cet, pertama (Pustaka Hidayah, 1997)
http://konsepmakrifatal-ghazali.blogspot.com/2010/03/konsep-marifat-al-ghazali.html?m=1