Anda di halaman 1dari 15

Tasawuf Al-Ghazali

Mata Kuliah Tasawuf

Dosen Pembimbing:
Drs. Zulkifli Lubis, MA

Disusun Oleh:
Wulan Ayu Novitasari 1404617015
Mawiyatul Fitri 1404617017
Buyut Toyyib Salami 1404617065
Rian Maulana Putra 1404617070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2018
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih
dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi
Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M) Nama Al -Ghazali ini berasal
dari ghazzal, yang berarti tukang menunun benang, karena pekerjaan ayahnya adalah
menenun benang wol.

Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung
kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan
oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya 2 Orang tuanya
gemar mempelajari ilmu tasauf, karena mereka hanya mau makan dari hasil usaha
tangannya sendiri dari menenun wol.

Dan ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajaranya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menvaksikan keberhasilan anaknya sesuai do'anya. Pada mulanya Al Ghazali
mengenal tasauf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua
versi:

1. Ayahnya sempat menitipkan Al- Ghazali kepada saudaranya yang bernama


Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbingnya
dengan baik.
2. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu, sejak
masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya.

Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibnu Muhammad Al


Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang
pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam.
Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramain Al Juwaini yang merupakan guru besar
di Madrasah An-Nizhfirniyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam,
filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.

Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian


memberinya gelar Bahrum Mughriq (laut yang menenggelamkan).Al Ghazali kemudian
meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H
(1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhdm al- Mar di kota Mu’askar. Ia
mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu
selama 6 tahun.

Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhfimiyah,


Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan
bathiniyyah, islamiyah golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar diberbagai
tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhlaknyaia kembali ke kota
kelahirannya di Thus pada tahun1105 M.

Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu


pengetahuan dan kemewahan duniawi.Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat.Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan
hatinya.Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan baru mulai
muncul, 'inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Inilah kehidupan yang dikasihi
Allah?, `Nikah cara hidup yang diridhai Tuhan?, dengan mereguk madu dunia sampai ke
dasar gelasnya.

Bermacam-macam, pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap


daya serap indra dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran i1miahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal disana untuk beribadah.

Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi
mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nur yang dilimpahkan Tuhan
kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menuntut kebenaran.dari Damaskus
ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus.

di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia


dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M)
dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. dan ada juga yang
mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.

B. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali


Bahwa Imam al-Ghazali adalah ulama besar yang sanggup meyusun
kompromi antara syariat dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup
memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syari atau lebih-lebih dari kalangan
para sufi. Beliau sanggup mengikat taawuf dengan dalil-dalil wahyu baik ayat al-Quran
atau Hadis Nabi. Dan dari judul karyanya yang paling monumental Ihya’ulum al-Din
(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), nampak betapa besar jasa al-Ghazali, Yakni mampu
menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan ummat Islam mempelajari
ilmu-imu agama dan mengamalkan dengan penuh ketekunan.
Dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai. Yakni
menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan ummar Islam dan memantapkannya,
sehinga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari dan mengamalkan agama
mereka. Kedalaman spiritual yang ditimbulkan oleh ajaran tasawuf bisa didayagunakan
untuk mendukung kegairahan nempelajari ilmu-ilmu agama berikut pengamalannya.
Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat pengamalan tasawufnya dengan syariat dan
ayat ayat suci al-Qur’an dan hadis, tasawuf mulai mendapat hati dari pihak ulama ahli
syariat, dan diterimanya sebagai salah-satu cabang keilmuan islam yang paling kaya-raya
kerhanian dan tuntunan moral.
Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi
ditambah dengan doktrin Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah. Dari paham tasawufnya itu, ia
menjauhkan semua kecenderungan gnostik yang memengaruhi para filsuf Islam, seperti
sekte Isma'liyah, Syi'ah, dan Ikhwan ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan
bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adala psiko-
moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-
karyanya, seperti lhyá Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al
Hidayah, Mi'raj As-Salikin, dan Ayyuha Al-Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara
mematahkan hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat-Nya. la
berpendapat bahwa sosok yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan
moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab gerak dan diam mereka, baik lahir dan
batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi
cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali memandang negatif terhadap syathahat. la menganggap bahwa
syathahat memiliki dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya
mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan,
dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat adalah hasil pemikiran
yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, la menolak tasawuf
Semifalsafi meskipun ia bersedia memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Busthami.
Ungkapan-ungkapan yang ganjl itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani keliru
dalam menilai Tuhannya, sealin-akan ia berada di diri Al-Masih.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma'rifat, yaitu pendekatan diri kerada Allah tanpa dikuti penyatuan
dengan-Nya. Jalan menuju ma'rifat adalah Peraduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya
adalah moral. Ringkasan Al-Ghazali patut disebut berhasil dalam mendeskripsikan jalan
menuju Allah. Ma'rifat menurut versi Al-Ghazalī diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu
diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan
(maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu, Al-Ghazali memiliki jasa besar dalam dunia lslam. Ia adalah orang
yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam yaitu tasawuf, fiqh dan
ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan ketegangan.
Al-Ghazali menjadi tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa,
hingga sampai pada ma'rifat yang membantu menciptakan kebahagíaan (sa’adah).

C. Konsep Ma'rifat al-Ghazali

Dalam bidang tasawuf al-Ghazali membawa faham al-Ma’rifah. Namun faham


al-ma’rifahnya ini berbeda dengan al-ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al-Misri, dan
karena jasa al-Ghazali lah tasawuf dapat diterima dikalangan ahli syari’at.

Makrifat, menurut al-Gazali berarti ilmu yang tidak menerima keraguan

(‫” )العلم الذى ال يقبل الشك‬pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh
siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-
yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan
sebagai berikut:

‫ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا ال يبقى معه ريب وال يقاالنه امكان الغلط والوهم وال يتسع القلب‬
‫لتقدير ذلك‬

“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek
pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan
terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu
untuk itu”. Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
‫اإلطالع على أسرار الربوبية والعلم بترتب األمور اإللهية المحيطة بكل الموجودات‬

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang


meliputi segala yang ada”.

Irwan Kurniawan, Risalah-Risalah Al-Ghazali, cetakan pertama (Pustaka


Hidayah), 1997, hal. 331

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf
al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih
jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif)
mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-
orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti
karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah
keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau
sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu,
dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup
pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada
kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara
seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari
setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. ‫النظر الى‬
‫( ))وجه هللا تعالى‬memandang kepada wajah Allah ta’ala)

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah
seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar,
tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan
kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan
dengan mahabatullah.

Dalam kitab Ihya ‘Ulum al Din, al Ghazali membagi cinta menjadi empat bagian, yaitu:

1. Mencintai seseorang karena zat dirinya


2. Mencintai sesuatu untuk memperoleh benda itu, selain dari bendanya, maka jadilah
benda itu wasilah untuk sampai pada yang dicintai yang lain dari pada benda itu
sendiri
3. Mencintai sesuatu, tidaklah dari sesuatu zat itu, tetapi untuk yang lain itu, tidaklah
kembali kepada segala bahagianya di akhirat
4. Mencintai karena Allah dan pada jalan Allah, tidak untuk memperoleh dari padanya
ilmu atau pekerjaan untuk dipergunakan menjadi wasilah pada sesuatu hal dibalik
orang itu sendiri.

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat
seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya.
Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini
berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali
mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan
lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas
bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai


mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada
tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang
yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal
ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain
Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang
bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal
Tuhan.

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya
seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’.
Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan
proses takhalli dan tahalli.

Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat


yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat
menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan
akal. Dan kebahagiaan yang sejati menurutnya ditemukan melalui ma’rifah. Ma’rifah
atau ilmu sejati bukan di dapat semata-mata melalui akal. Ma’rifah itu sebenarnya adalah
mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah), dengan kesenangan hati hanya di dapat setelah
diperoleh pengetahuan yang belum diketahui. Ia menyebut ma’rifat bebarengan dengan
mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifat. Mahabbah bagi al Ghazali adalah
cinta seseorang kepada yangberbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan
rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia kehidupan, rezeki, kesenangan
dan sebagainya.

Sarana ma’rifat menurut al Ghazali bukan akal, indera atau rasa, tetapi hati. Hati
disini adalah percikan rohaniah ketuhanan (Latifah Rabbaniyah) yang merupakan
kebenaran hakiki. Menurut al Ghazali, ruh, hati atau jiwa melekat di dalam jasad atau
badan. Dalam hal ini jasad sebagai wadah dari ruh dan jiwa sehingga dengan bantuan
jasad ruh akan memperoleh bekal hidup keduniaan dan bekal hidup akhiratnya. Ruh atau
jiwa adalah esensi kemanusiaan. Adapun badan adalah pembalutnya yang bertugas
sebagai alat untuk mencari bekal dan mencari kesempurnaan dalam bentuk aktifitas
kehidupan dan amal perbuatan, serta untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai dasar
kelangsungan hidup. Ruh yang melekat pada tubuh manusia tidak untuk menerima dan
mencari penderitaan dan kesengsaraan, tetapi untuk mencari dan menerima keselamatan,
kesenangan dan kebahagiaan.

Amril, Akhlak Tasawuf: Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, PT Refika Aditama,
2015, hal. 47-52

Ruh, hati atau jiwa menurut al Ghazali bersifat Ilahiyah, sehingga cenderung pada
kesucian, kebersihan, kebaikan atau kebenaran. Tetapi apabila ruh kalah dengan jasad
maka yang terjadi gangguan dalam kehidupan pribadinya. Untuk menjaga kesucian hati
menurut al Ghazali upaya yang ditempuh adalah:

1. Manusia harus memelihara hati atau jiwanya


2. Manusia harus merawat dan menjaga badan atau jasadnya

Al-Ghazali memandang ma’rifat sebagai tujuan akhir yang harus dicapai oleh
seorang sufi, yang sekaligus kesempurnaan tertinggi yang didalamnya mengandung
kebahagiaan yang tertinggi. Cara untuk memperkuat dan memantapkan ma’rifat akan
Allah dalam hati adalah dengan membersihkan hati itu dari kesibukan dunia. Untuk
perawatan dan pemeliharaan agar hati itu tetap istiqomah diperlukan dua kesadaran,
yaitu:
1. Kesadaran rasional, kesadaran seperti ini menunjukkan adanya penggunaan dan
pengembangan akal sebagai komponen kejiwaan yang dapat membedakan benar
dan salah dalam perbuatan. Menurut al Ghazali akal merupakan indera ke enam
dan sebagai esensi kemanusiaan.
2. Kesadaran emosional, yang berarti timbulnya perasaan cinta pada Tuhan sebagai
pencipta ala mini. Perasaan seperti ini menimbulkan pengorbanan dalam bentuk
alam perbuatan yang benar dan yang baik, sesuai dengan kebaikan Tuhan sendiri.

Meskipun orang-orang sufi berkeyakinan bahwa pengetahuan yang didapat lewat


pengalaman kasfy adalah pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, tetapi ia tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah hukum.

Al-Ghazali sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum


syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah
memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa
pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.
Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-Alim Mahmud, adalah tindakan bid’ah yang sangat
menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama
(Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu
Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan
dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Abd al-A’la al-Mauddiy,
antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah
(fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk
kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.

D. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah (Kebahagiaan)

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa
kebahagiaan itu sesuai dengan watak. Sementara itu, watak sesuai dengan ciptaannya.
Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya
telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota
tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan kalbu sebagai alat memperoleh
ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat-Nya merupakan kenikmatan paling
aggung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan yang lainnya. Sebagaimana perasaan dapat bertemu
seorang presiden akan lebih bangga daripada perasaan dapat bertemu mentri. Apalagi
jika mampu berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya
akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada
taranya.

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu


dan akan hilang setelah manusia mati. Sementara itu, kelezatan dan kenikmatan melihat
Tuhan bergantung pada kalbu dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal
ini karena, kalbu tidak ikut mati justru kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar
dari kegelapan menuju cahaya terang.

Konsep kebahagiaan yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali di dasarkan


pada Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat para ulama yang dirumuskan dalam sebuah karya
yang berjudul Kimiya’ As-Sa’adah (kimia kebahagiaan), ringkasan dari masterpiece-nya
yang berjudul Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama). Menurut Imam
Al-Ghazali ada empat bagian pengetahuan yang harus diramu untuk mencapai
kebahagiaan, yakni pengetahuan tentang diri sendiri, pengetahuan tentang Allah,
pengetahuan tentang dunia dan pengetahuan tentang akhirat. Menurutnya puncak
kebahagiaan adalah saat seseorang berhasil mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah
dengan sebenarnnya).

1. Mengenal Diri

Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis:
“Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” dan sebagaimana
dikatakan Alquran:

“Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka
agar kebenaran tampak bagi mereka.” (Q. 41: 53)

Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar
pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh
kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya. Bukan pula atribut-atribut yang
sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan
lain-lain. Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri”
adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan
kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati
dapat ditemukan?

Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri
kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat
kompleks. Butuh perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan
tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu
kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.

Untuk mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali mengawali penjelasan


dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: (1) sifat-sifat
binatang (shifâtul bahâ’im), sifat-sifat setan (shifâtusy syayâthîn), sifat-sifat
malaikat (shifâtul malâikah).

Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah
makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan
manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya.
Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan memiliki
ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat
alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.

Yang kedua, sifat-sifat setan. Setan adalah representasi keburukan. Ia


digambarkan selalu mengobarkan keja¬hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian
pula orang-orang yang memiliki sifat setan. Sementara yang ketiga, sifat-sifat
malaikat berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi keindahan Allah, memuji-
Nya, dan mentaati-Nya secara total.

Ringkasnya, kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu


memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi
kepentingan dirinya sendiri—atau paling banter untuk keluarganya. Sedangkan
kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau
memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian
mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari kedekatan
itu.

2. Mengenal Allah
Sebuah hadis Nabi SAW yang terkenal berbunyi “Barang siapa mengenal
dirinya, ia mengenal Allah.” Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-
sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Allah. Mengingat
banyak orang yang merenungkan dirinya tetapi tak juga menemu Tuhannya,
berarti ada cara-cara tersendiri untuk menjalani perenungan itu. Jika seseorang
merenungkan dirinya, ia akan menngetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada,
sebagaimana tertulis dalam Alquran:”Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya
ia bukan apa-apa?” (Q. 76: 1) Lalu ia akan mengetahui bahwa ia terbuat dari
setetes air yang tak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan
seterusnya. Jadi jelaslah, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak
menciptakan dirinya, bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai
rambut. Betapa sangat tak berdayanya manusia ketika ia hanya berupa setetes
mani! Jadi, sebagaimana telah dijelaskan, ia mendapati wujudnya sebagai
miniatur atau pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta Sang Pencipta. Jika
semua orang pintar dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka
diperpanjang sampai waktu yang tak terbatas, mereka tak akan bisa memperbaiki
sedikit saja dari struktur jasad manusia, yang paling kecil sekalipun.

3. Mengenal Dunia

Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi para musafir
dalam perjalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri
dengan berbagai perbekalan. Dengan bantuan perangkat indriawinya, manusia
harus memperoleh pengetahuan tentang ciptaan Allah dan, melalui perenungan
terhadap semua ciptaan-Nya itu, ia akan mengenal Allah. Pandangan manusia
mengenai Tuhannya akan menentukan nasibnya di masa depan. Untuk
memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke dunia tanah dan air.
Selama indranya masih berfungsi, ia akan menetap di alam ini. Jika semuanya
telah sirna dan yang tertingggal hanya sifat-sifat esensinya, berarti ia telah pergi
ke “alam lain”.

Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal penting,
yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan
jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah.
Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecintaan kepada
sesuatu selain Allah.

Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang
dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan perak,
makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai
kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu
pergi. Sebaliknya, tamu yang salah yaitu mencoba membawa beberapa piring
emas dan perak hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia
akhinya dicampakkan dalam keadaan hina dan malu.

Meskipun kita telah banyak bicara tentang bahaya dunia, mesti diingat
bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak dicela, seperti ilmu dan amal
baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan memengaruhi
nasib dan keadaannya disana. Terlebih lagi amal yang dibawa adalah amal ibadah
yang membuatnya selalu mengingat dan mencintai Allah. Semua itu,
sebagaimana ungkapan Alquran, termasuk “segala yang baik akan abadi”. Juga
ada beberapa hal baik lainnya di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian,
dan lain-lain, yang dipergunakan secara bijak oleh kaum beriman sebagai sarana
untuk mencapai dunia yang akan datang. Selain semua hal tersebut, terutama
yang memikat pikiran dan memaksa manusia untuk bersetia kepadanya dan
mengabaikan akhirat, sungguh merupakan kejahatan yang layak dikutuk.

4. Mengenal Akhirat

Orang yang memercayai Alquran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan
konsep nikmmat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Urusan utama
manusia di dunia ini adalah mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang.
Bahkan seandainya seseorang meragukan keberadaan akhirat, nalar mengajarkan
bahwa ia harus bertindak seakan-akan akhirat itu ada dengan mempertimbangkan
akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan hanya bagi orang-orang
yang mengikuti ajaran Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Imam al-Ghazali, Majmu'ah Rasa'il al-Imam al-Ghazali, jilid 2-6 (Beirut: Dar Al-kutub Al-
Ilmiyah, 1994) terjemahan Irwan Kurniawan, cet, pertama (Pustaka Hidayah, 1997)

Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah)

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.

Simuh. 2001. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

http://konsepmakrifatal-ghazali.blogspot.com/2010/03/konsep-marifat-al-ghazali.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai