Anda di halaman 1dari 16

Pengaruh budaya Barat atau yang dikenal dengan istilah “Westernisasi” telah terlihat jelas dewasa

ini. Dimana pola kehidupan masyarakat semakin hari semakin hanyut dalam pola modernis dengan
berkiblat kepada sistem budaya Barat (Westernisasi), yang dianggap sebagai kebudayaan modern
atau sebagai alternatif budaya masa kini. Dan ini terjadi di kalangan remaja, yang begitu rapuh
menerima peradaban-peradaban asing sebagai suatu kebanggaan. Pengaruh budaya ini memang
tidak dapat dihindari di zaman yang semakin canggih ini, proses interaksi antar bangsa-bangsa di
dunia melalui pertukaran pelajar atau mahasiswa kunjungan wisatawan dan program lainnya
semakin meningkat hari demi hari. Sedangkan proteksi untuk menghadapi arus pengaruh budaya ini
sangat lemah di masyarakat, sehingga merakapun mulai meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang
berbudi luhur, tanpa mengenal batas-batas ajaran agama dan moralitas budaya.

Westernisasi Dalam Kehidupan Masyarakat

Kata Westernisasi secara harfiah bermakna “membaratkan” berasal dari kata westernize. Keadaan
meniru-niru yang terdapat dalam dunia Barat. Atau dengan kata lain westernisasi menjadikan kita
orang Barat yang berkebudayaan Barat. Koentjaraninggrat mengatakan westernisasi itu adalah usaha
meniru gaya hidup orang Barat secara berlebihan, meniru dari segala segi kehidupan baik dari segi
fashion, tingkah laku, budaya dan lainnya. di sisi lain, sikap para peniru yang merendahkan adat,
budaya dan bahasa nasional.

Jadi, westernisasi merupakan perbuatan pemujaan yang berlebihan terhadap Barat dengan cara
mengadopsi secara keseluruhan pola kehidupan mereka tanpa ada filter yang menyaringnya. Pola
adopsi ini tidak saja terjadi secara objektif, namun bisa terjadi secara subjektif yaitu interaksi yang
lahir dari ide suatu individu, masyarakat atau bangsa untuk mengambil dan meniru cara-cara orang
Barat dalam berbagai demensi untuk suatu tujuan ke arah kemajuan.

Proses imperialisme dan kolonialime dalam waktu yang panjang terjadi di Indonesia memberikan
dampak yang luas dalam kehidupan masyarakat. Diantara dampak itu adalah terjadinya westernisasi
dalam segala segi kehidupan masyarkat Indonesia.

Dalam lembaran sejarah Indonesia tidak pernah dijelaskan secara pasti sejak kapan proses
westernisasi ini terjadi. Sebagian para pakar sejarah Islam mengatakan bahwa proses westernisasi ini
terjadi sejak dimulainya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia dan dunia Islam lainnya pada
abad 19 masehi. Hal dapat dibenarkan karena pengaruh secara langsung dapat dilakukan oleh Barat
terhadap masyarakat Indonesia terjadi di era itu.

Sementara itu, pengaruh westernisasi dikalangan masyarakat muslim secara umum muncul dalam
dua periode: Pertama, westernisasi muncul ketika Islam di bawah kepemimpinan Abbasyiah II. Hal
tersebut disebabkan bangsa Arab mulai memasuki era

kemunduran, baik di bidang politik maupun ekonomi. Pengaruh itu terlihat jelas pada era ini dengan
pergeseran nilai-nilai Islam akibat takluknya wilayah-wilayah Islam. Selain itu, dapat ditandai dengan
hilangnya sikap zuhud dalam tubuh masyarakat Islam. Kedua, westernisasi muncul di masa
kepemimpinan Turki Usmani ketika terjadi perpecahan di antara khalifah Islam yang memberi
peluang modernisasi westernisasi.
Disamping dua periode di atas, pada dasarnya proses westernisasi sudah lama terjadi melalui
interaksi sarjana Barat dengan sarjana Islam di perguruan-perguruan Arab di Andalusia dan wilayah-
wilayah Islam lainnya. Proses tersebut terjadi melalui penyerapan pendapat-pendapat pemikir Barat
atau tenaga westernisasi.

Faktor yang mempengaruhi timbulnya westernisasi di Indonesia secara umum disebabkan oleh faktor
informasi dan yang datangnya melalui audio visual, disamping itu juga melalui kontak sosial terutama
sekali di daerah-daerah pusat industri dan kepariwisataan. Kemajuan-kemajuan yang sangat besar
dalam bidang komunikasi menyongsong timbulnya era informasi secara global, artinya tidak ada satu
bangsapun di dunia ini menutup diri dari era informasi.

Kemudian dari pada itu, tuntutan perkembagan zaman yang menghendaki pola kehidupan yang lebih
maju dari segala segi kehidupan, mengakibatkan perubahanperubahan di sektor ekonomi dan sistem
sosial budaya masyarakat. Namun, yang sangat mengkhawatirkan adalah perubahan sistem sosial
budaya ini cenderung ke barat-baratan atau westernisasi.

Pengaruh tersebut terjadi di masyarakat secara nyata saat ini dalam berbagai bidang kehidupan di
antaranya yaitu; Pengaruh Ilmu dan Teknologi, Ilmu pengetahuan dan Teknologi mempunyai peranan
penting dalam kehidupan dewasa ini, suatu bangsa akan maju dan berkembang jika memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mumpuni. Perkembangan ilmu pengetahuan ini terjadi dalam
berbagai sektor industri, mulai dari pertanian, pertahanan, ekonomi, kedokteran, dan lain
sebaginnya.

Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia Barat terjadi dengan begitu pesatnya, kadang-kadang
jauh melampaui nilai manfaat dan kegunaannya bahkan nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Penciptaan industri batu bara dan perminyakan dengan mengabaikan kerusakan lingkungan,
penemuan-penemuan di bidang meliter seperti

bom atom berdampak sangat luas tidak saja terhadap manusia itu sendiri tetapi juga terhadap
lingkungan.

Pengertian Westernisasi menurut para Ahli

a. Soerjono Soekanto, menurut ahli ini makna yang terkandaung dalam westernisasi

adalah proses kehidupan yang mengedepakan pada industrialisasi dan sistem

ekonomi kapitalis. Sehingga kehidupan di dalamnya meniru atau sama persis dengan

kehidupan masyarakat yang ada di dunia barat.

b. Koentjaraningrat dalam pandangannya westernisasi diartikan sebagai satu peniruan

gaya hidup orang barat yang dilakukan masyarakat secara berlebihan, pergaulan,

kebiasaan, proses gaya hidup danlain sebaginya. Sehingga hal ini mengindikasikan

bahwa westernisasi tidak cocok untuk dipergunakan atau diterpakan di Indonesia

yang notabene masyarakatnya masih memegang erat kehidupan dengan budaya.


c. Menurut Samuel.P.Huntington dalam bukunya yang berjudul ”The Clash Of

Civilization” Westernisasi adalah Proses yang mengikuti segala bentuk gaya hidup

bangsa barat. Adapun pengertian lain, Westernisasi adalah suatu perbuatan seseorang

yang mulai kehilangan jiwa nasionalisme yang meniru atau melakukan aktivitas

bersifat kebarat-baratan.

Faktor-Faktor Penyebab Westernisasi

Westernisasi tidak serta merta masuk ke negara-negara Timur tanpa faktor-faktor

tertentu. Terdapat beberapa faktor penyebab westernisasi di antaranya :

1. Masuknya budaya Barat dan contoh akulturasi budaya

Masuknya budaya Barat merupakan ciri-ciri westernisasi yang utama. Budaya barat

dapat masuk melalui media maupun interaksi budaya secara langsung dengan bangsa

Barat yang berkunjung ke negara Timur. Hidup berdampingan dengan mereka tentu

saja mampu membuat bangsa Timur mampu mengenal bahkan memungkinkan

meniru beberapa pola perilaku dan pemikiran bangsa Barat.

2. Munculnya keinginan mencari kebebasan seperti ditemukan pada budaya Barat

Bangsa Timur terkenal sebagai bangsa yang memiliki eksklusivitas budaya yang

tinggi sehingga tak jarang cenderung konservatif dan menganggap tabu hal-hal

tertentu yang justru lumrah dalam budaya Barat. Kondisi ini memungkinkan orangorang

Timur mencari-cari kebebasan dalam melakukan banyak hal sebebasbebasnya

seperti budaya Barat.

3. Kurangnya daya seleksi budaya

Masyarakat seringkali belum pandai memilah antara budaya yang baik dan budaya

yang buruk untuk ditiru. Masyarakat khususnya yang belum mahir dalam

menggunakan internet sebagai arus pertukaran informasi utama cenderung sulit

menyeleksi bentuk-bentuk informasi yang diterima, sehingga seringkali mengambil

semua hal yang ditemukan. Umumnya, masyarakat meniru budaya barat dengan

anggapan budaya barat sebagai budaya masa kini, menaikkan prestise, dan terlihat

modern di mata orang lain.

4. Adanya toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang


Budaya barat identik dengan hal-hal bebas yang dianggap negatif dalam budaya

timur. Namun, orang-orang timur yang terpapar budaya Barat dan memiliki sifat

toleran yang tinggi berpotensi menganggap perbuatan-perbuatan menyimpang dalam

budaya barat sebagai hal yang biasa. Hal ini jika dibiarkan akan

menyebabkan contoh dekadensi moral.

5. Konsumersime terhadap produk-produk Barat

Produk-produk Barat sangat banyak macamnya mulai dari produk seni seperti film

hingga produk makanan seperti junk food. Kebanggaan mampu mengonsumsi

produk-produk ini mendorong westernisasi semakin berkembang.

6. Mudahnya memperoleh fasilitas pendukung imitasi terhadap budaya Barat

Fasilitas utama yang memengaruhi imitasi gaya hidup adalah internet. Internet

kemudian memberikan informasi seputar gaya hidup lainnya seperti gaya

berpakaian, gaya rambut, kehidupan malam, dan sebagainya. Peniruan terhadap gaya

hidup semakin mudah dengan adanya diskotik, pewarna rambut, pakaian-pakaian

impor, dan jual beli online lintas negara.

Menurut Koentjaraningrat, westernisasi adalah upaya untuk meniru gaya hidup Barat secara
berlebihan dengan meniru semua aspek kehidupan, baik dalam hal fashion, perilaku, budaya dan
lainnya. Sebaliknya, sikap peniru yang menghina/merendahkan adat, budaya, dan bahasa nasional.
(Koentjaraningrat, 1981).

Westernisasi akan membuat pencampuran budaya terjadi, tidak sedikit masyarakat akan meniru
budaya barat yang tentunya budaya tersebut sangat berpotensi untuk bertolak belakang dengan
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, terutama persatuan dan kesatuan.

Pengaruh budaya asing telah tampak jelas. Di mana pola kehidupan masyarakat Indonesia semakin
hari semakin tertuju pada budaya Barat. Dan ini terjadi di kalangan remaja, yang begitu mudahnya
terpengaruh oleh peradaban asing. Pengaruh budaya asing ini dapat kita lihat dari berbagai aspek,
baik itu sosial, budaya, maupun ekonomi.

Pada aspek sosial budaya, westernisasi berpengaruh pada identitas lokal, contohnya adalah bahasa.
Digunakannya unsur bahasa asing pada percakapan sehari-hari dapat menyebabkan pergeseran
bahasa jika kita tidak membentenginya dengan terus mempergunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.

Sedangkan, pada aspek ekonomi, westernisasi memberikan pengaruh dengan memasukkan budaya
kapitalisme dan konsumerisme. (Naomi Diah Budi Setyaningrum. 2018). Budaya kapitalisme ini
mampu menyebabkan semangat gotong royong yang merupakan bagian dari
Jurnal Kewarganegaraan

Vol. 6 No. 1 Juni 2022

P-ISSN: 1978-0184 E-ISSN: 2723-2328

Gentur Sahadewa & Fatma Ulfatun Najicha – Universitas Sebelas Maret 562

persatuan dan kesatuan menjadi luntur akibat sebagian orang lebih memilih membayar upah kepada
orang lain untuk mengerjakan sesuatu daripada bergotong-royong mengerjakannya.

Pengaruh budaya ini sulit dihindari di zaman modern sekarang yang semakin canggih, Sedangkan
proteksi atau sistem keamanan untuk menghadapi pengaruh budaya ini masih terbilang kurang di
masyarakat (Nurgiansah, 2020).

Dampak Westernisasi Dalam Kehidupan bagi umat Islam.

Pengaruh arus globalisasi saat ini terjadi di setiap negara, pengaruh ini menyebabkan dampak luas di
masyarakat pada setiap negara. Kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin maju menyebabkan
perubahan budaya pada setiap bangsa, arus asimilasi budaya akibat globalisasi ini setidaknya
menyebabkan banyak dampak negatif dan positif bagi agama dan budaya suatu bangsa khususnya
bagi umat Islam. Antara lain dampak negatif yang di timbulkan adalah:

1. Keraguan terhadap Syari’at Islam

Pengaruh westernisasi yang telah tumbuh lama di Indonesia sangat terasa khususnya di bidang
hukum. Hal ini disebabkan penjajahan dan kolonialisasi yang dilakukan oleh kaum Barat dalam segala
bidang di masa lalu, sehingga dampaknya masih terasa sampai saat sekarang. Dampak pengaruh
penjajahan dari orang-orang Eropa ini mengakibatkan berubahnya pola pikir terhadap penerapan
hukum, bahkan sebagian Umat Islam menggangap hukum syari’at adalah hukum usang yang tidak
layak diterapkan lagi pada masa sekarang ini.

2. Akidah Umat Islam Menjadi Rusak.

Tidak dapat dipungkiri, pengaruh westernisasi menyebabkan rusaknya akidah dan moral masyarakat.
Pengaruh itu berupa budaya yang memang tidak sesuai dengan syariat Islam seperti budaya minum
akohol, sex bebas, dan sebagainya. Hal ini sangat membahayakan umat Islam dan pada masa kinibida
terlihat bahwa umat Islam telah terlena mengikuti budaya tersebut. Sehingga umat Islam jadi malas
dalam melaksanakan syariat agama bahkan cenderung mengabaikan bahkan menyalahinya yang
tidak sesuai zaman.

3. Adanya Kehidupan Individualis

Pada zaman era globalisai sekarang ini kehidupan yang bersifat individualis telah mengakar dan
menjadi tradisi dalam jiwa ummat Islam, terutama sekali dalam pergaulan remaja sebagai generasi
masa kini. Dalam kenyataannya mereka bebas tanpa menghiraukan norma-norma agama, minum-
minuman keras, berdiskotik, dan dalam kehidupan sehari-hari tidak menghiraukan norma sosial dan
bersifat mementingkan diri sendiri.

Dan akhirnya mereka tenggelam dalam kemewahan hidup, kesombongan, hurahura karena
menganggap kehidupan dunia adalah kehidupan indah dan kekal selamalamanya. Disisi lain, mereka
tidak menghiraukan mayarakat yang hidup miskin, begitulah sikap egois yang tinggi telah
menghilangkan kasih sayang sesama ummat di zaman sekarang ini.

4. Adanya Pemikiran yang diwarnai oleh Sekulerisasi

Persepsi masyarakat tentang kebahagiaan dan kesuksesan hanya dilihat dari materi semata telah
mengeser pemahaman qana’ah, kesederhanaan, sifat tolong menolong dan kebersamaan
sebagaimana yang telah diajarkan dalam Islam. Sehingga penyimpangan persepsi ini menyebabkan
orang-orang menghalalkan berbagai cara dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia, dan
menganggap agama hanya untuk akhirat semata.

Hal ini telah merasuki di bidang pendidikan misalnya, pemisahan ilmu-ilmu yang di gagas oleh para
pemikir Barat telah menyebakan terpisahnya antara ilmu yang dikelompokkan dengan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu science yang terlepas dari nilai-nilai keagamaan. sehingga akibat pemisahan ini
terjadi ketidakseimbangan masyarakat dalam memperoleh ilmu secara utuh. Maka lahirlah para
ilmuan di bidang science yang melakukan penemuan-penemuan baru tanpa batas dan tidak
menghiraukan nilai-nilai agama, seperti penemuan di bidang persenjataan dan militer untuk
melakukan pembunuhan manusia secara massal dan banyak penemuan lainya yang merusak
lingkungan.

MAKALAH TENTANG

“WESTERNISASI”

MATA KULIAH : TEORI DAN ISU PEMBANGUNAN

DOSEN PENGAMPU : Dra. KARTIKA NINGTIAS, M.SI

DI SUSUN :

MARKO

E1011171074

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

TAHUN 2018/2019

KONTRIBUSI MAHASISWA DALAM MENGHADAPI WESTERNISASI SEBAGAI BENTUK MENJAGA


PERSATUAN DAN KESATUAN

Gentur Sahadewa1 & Fatma Ulfatun Najicha2

Informatika, Fakultas Teknologi Informasi dan Sains Data, Universitas Sebelas Maret1

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret2

Email : gentoer@student.uns.ac.id1 & fatmanajicha_law@staff.uns.ac.id2

MAKALAH

WESTERNISASI DAN CARA MELESTARIKAN IDENTITAS NASIONAL


Diajukan untuk memenuuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Eropa (Kode 872010001420)

Dosen Pengampu :

Dr. Mohamad Zaenal Arifin Anis, M.Hum

Mansyur, S.Pd., M.Hum

Vol.2, No.2 Desember 2021

99

Copyright ©2021 JURNAL SOSIAL POLITIKA

e-ISSN: 2798-2238, p-ISSN: 1410-6604

BUDAYA WESTERNISASI TERHADAP MASYARAKAT

1Dzakiy Muhammad Alfadhil, 2Agung Anugrah, 3Muhammad Hafidz Alfidhin Hasbar

123Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Correspondence author : dzakiy.alfadh@gmail.com1


Islamisasi Ilmu

slamisasi Ilmu Pengetahuan di Awal

Islam

Islamisasi ilmu telah terwujud lama semenjak Muhammad SAW diutus sebagai Nabi dan Rasul lebih
1.400 tahun yang lalu. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi secara jelas menegaskan
semangat Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah Sumber dan
Asal ilmu pengetahuan manusia. Dalam masa turunnya wahyu selama 23 tahun, baginda Rasulullah
telah mengubah paradigma jahiliyyah pelbagai sudut kehidupan manusia ke prinsip rabbaniyyah dan
tauhid kepada Allah (Wan Daud, 1998: 340).

Proses Islamisasi ilmu lebih jelas tampak pada era pemerintahan Abbasiyah ketika kegemilangan
Islam memuncak. Sarjanasarjana Islam pada zaman tersebut diberi amanah dan kepercayaan untuk
menterjemahkan dan sekaligus mengIslamisasikan karya-karya Yunani, Parsi dan India kedalam
Bahasa Arab. Pada masa-masa awal Islam, diskursus keilmuan Islammencapai tingkat yang tinggi
sehingga mampu memberikan sumbangan besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dunia di
masa-masa sesudahnya.

Ini terjadi disebabkan beberapa hal. Di antara motivasi internal ajaran Islam sendiri yang
menganjurkan agar kaum Muslimin menuntut ilmu tanpa batasan waktu dan tempat. Juga tak
terelakkan adanya faktor eksternal, akibat terjadinya kontak antara orang-orang Islam dan kalangan
non Islam, atau lebih tepatnya dengan kebudayaan lain yang jauh lebih maju jika dibandingkan
dengan kebudayaan yang dimiliki Islam, seperti diBizantium, Persia dan India (Mastuhu, 1999:52).

Dari gabungan beberapa kondisi ini, tentunya, terdapat peluang bagi Islam untuk mencapai prestasi
yang gemilang sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarahnya. Tak aneh jika sejak preode-preode
awal, perhatian terhadap ilmu pengetahuan dikalang Islam telah terjadi. Al-Haris bin Qaladah,
sahabat Nabi, misalnya telah belajar kedokteran di Jundishapur. Sahabat Nabi lainnya, Khalid bin
Yazid dan Ja’far Al-Shadiq, mempelajari ilmu kimia. Kemudian diteruskan oleh para sahabat, tabi’in
dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu (Mastuhu,1999: 53).

Kemajuan yang dicapai Islam pada masa kelasik sangat erat hubungannya dengan terjadinya interaksi
antara Islam dan aneka ragam kebudayaan yang berkembang saat itu. Interaksi ini kemudian
melahirkan sikap terbuka kalangan Islam untuk mempelajari dan menerima sesuatu yang
ditemukannya. Islam tidak serta merta dengan pasif mengambil seluruh keilmuan yang ada,
melainkan menyeleksinya dengan baik sehingga tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip Islam yang
fundamental. Kemudian, dikembangkan dengan kreatif sehingga pada gilirannya melahirkan
penemuan-penemuan baru yang dapat dikontribusikan dalam dunia ilmu pengetahuan.

Dengan demikian patut kiranya apabila kemudian diskursus keilmuan Islam ini tidak dikatakan
sebagai pengkopian atau pinjaman seadanya dari Yunani. Melainkan itu semua merupakan Islamisasi
berbagai tradisi keilmuan (Mastuhu, 1999: 54). Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun
konsep yang terkandung didalam kata tersebut bukanlah baru. Al-Quran telah mengislamkan
sejumlah kosa kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’an mengislamkan struktur-struktur
konseptual, bidang-bidang semantik dan kosa kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep
kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam.

Karena itu, Islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Gagasan itu
merupakan kontinum dari gagasan Islamisasi ilmu sebelumnya. Ia mempunyai akar dalam teradisi
intelektual Islam. Dan dilihat dari segi konsepnya, ia lahir dari aqidah Islam itu sendiri (Wan Daud,
1998: 341).

Pada zaman pertengahan, Islamisasi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti Al-
Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, Sayfuddin Al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang
mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam.
Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada yang ditolak (Wan Daud,
1998: 343).

Terjadinya Islamisasi berbagai tradisi keilmuan itu mempunyai berbagai implikasi. Di antaranya
pemfungsian ilmu-ilmu yang berserakan di berbagai tempat, yang tentunya berbentuk lokal, menjadi
satu kesatuan. Disamping itu, adanya pembebasan ilmu-ilmu yang ada ini dari berbagai bentuk lokal,
etnis, mitologi, dan lain sebagainya, kemudian membentuknya dalam skala yang universal.Inilah
tampaknya sumbangan Islam terpenting dibidang ilmu pengetahuan yang mempunyai andil besar
terhadap terjadinya renaissains di Eropa. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang hingga kini
merupakan sumbangan abadi kaum Muslimin bagi kesejahteraan umat manusia (Wan Daud, 1998:
343).

Namun demikian, pada abad ke-14 beransur-ansur kejayaan intlektual kaum muslimin memudar.
Umat mengalami kemunduran dibidang ilmu pengetahuan yang menurut para ahli banyak faktor
penyebabnya. Disinilah sains yang telah diislamkan oleh ilmuan Islam kemudian diambil ilmuan-
ilmuan Barat (Handrianto, 1990: 126).

Kemunduran umat Islam waktu itu menjadi blessing in disguise bagi Barat yang sejak awal memang
‘mengincar’ harta intlektual kaum Muslimin. Bermula dari interaksi dan kontak orang-orang Eropa
dengan Islam di Spayol pada tahun 711 Hijriyah. Kontak tersebut awalnya membawa orangorang
Eropa untuk mengkaji studi Islam. Menurut M. In’am Esha, sebagaimana dikutip oleh Budi
Handrianto dalam Islamisasi Sains, pada awal studi Islam karya-karya seperti Progugnaculum karya
Flotentino Ricoldo dan Monte Croce yang mengkaji bahasa dan agama Arab sekitar tahun 1290 di
Bagdad, Thomas Erpenius yang mengkaji geografi Abul Fida’, Babad Persia karya Mirkhwan, Jacobus
mengarang kamus Arab-Latin, dan sebagainya.

Kajian-kajian keislaman ini pada akhirnya mengarahkan mereka pada studi orientalisme di abad
modern. Akan tetapi sebelum priode penerjemahan besar-besaran pada abad ke-12 sudah ada
usaha-usaha sporadis untuk memajukan ilmu pengetahuan di Barat. Bukti yang jumlahnya tidak
banyak, menunjukkan bahwa usaha-usaha penerjemahan ke bahasa Latin sudah dimulai pada abad
ke-9. Meskipun demikian, sarjana penting pertama yang mempelajari ilmu pengetahuan Arab adalah
Gerbert dari Aurillac, yang menjadi Paus Syilvester II (999-1003) (Esha, 2006).

Banyak buku-buku menyebutkan kemajuan yang terjadi di Barat didukung oleh kontribusi peradaban
Islam di abad pertengahan. Kata “kontribusi” mengandung arti positif. Namun demikian, apabila
tidak ada pengakuan, maka kontribusi tersebut bukanlah sebuah sumbangsih, melainkan sebuah
pengambilalihan, dalam arti, sebenarnya Barat telah mengambil beberapa kekayaan intlektual untuk
menjadi landasan kebangkitan mereka.

Meskipun beberapa ahli sejarah telah mengakui bentuk-bentuk kontribusi peradaban Islam, tapi
secara mainstream Barat saat ini tidak mengakuinya. Dengan demikian, wajarlah dikatakan kemajuan
Barat yang di awali dengan kemajuan sains dan teknologi, karena mengambil produk-produk
kemajuan peradaban Islam, terutama memanfaatkan kondisi di saat peradaban Islam mengalami
kemunduran.
Menurut Mehdi Nakosteen, salah satu penyebab kemunduran Islam adalah banyaknya perpustakaan
Islam yang dihancurkan oleh tentara Mongol, sementara itu di Barat banyak buku yang tidak ikut
hancur karena banyak perpustakaan yang letaknya jauh dari jangkauan penghancuran (Nakosteen,
1995:56). Banyak perpustakaan pribadi yang memiliki beberapa buku-buku penting. Karya tersebut
telah diselamatkan oleh para ilmuan Eropa melalui beberapa penerjemahan ke dalam bahasa Latin,
Hebrew, Spanyol, Italia, Catalan, dan bahasa lainnya selama abad 12 dan 13. Terdapat beberapa
dimensi karya yang mungkin perlu kita sebutkan dalam konteks ini,seperti:

1. Karya Sastra Persia. The Fables of Bed Pai, The Hazar Afsana, telah diterjemahkan dalam bahasa
Arab Alf Laila wa Laila, Shah Namah karya Firdausi dari Thus, Khudai Namah karya Daniswar.
Rubaiyyat karya Omar Khayam oleh telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Erward
Fitzgeraid, Matsnawi karya Jalaludin Rumi, Gulistan dan Bustan karya Sa’di.

2. Karya Matematika. Angka-angka Hindu diuraikan oleh Khawarizmi (abad ke-9) dan Biruni (abad ke-
11), telah selesai diperkenalkan kepara Eropa oleh Adelard dari Barh dan melalui suatu adaptasi oleh
Ibrahim Ibn Ezra (abad ke-12). Pada masa Indonesia banyak karya matematika yang diterjemahkan
dalam bahasa Hebrew, Spanyol, Latin, misalnya dibawah Raja Alfonso.

3. Karya Kedokteran. Karya Ensiklopedia Al- Razi tentang menyakit menular, Ibn Sina menemukan
karakter penyakit menular melalui air, dan Ibn Khatib dan Ibn Baitar yang telah menemukan indeks
obat-obatan dan juga Optical Tha Saurus karya Al Hazim.

4. Karya-karya lain yang ada dalam berbagai

bidang seperti musik, arsitektur, trigonometri, astronomi, kimia dan sebagainya. Dari beberapa buku
yang selamat, Barat telah mengembangkan sains dan teknologi yang menjadi cikal bakal Revolusi
Ilmiah. Fakta telah menunjukkan, bahwa kekayaan intlektual Islam yang berhasil diambil tersebut
telah membangkitkan intlektual Barat sekarang ini (Nakosteen, 1995: 56).

Dapat disimpulkan, bahwa kemajuan Barat banyak didukung oleh intlektualisme Islam, yaitu melalui
penerjemahan karya-karya sarjana Muslim. Barat mengambil ilmu-ilmu tersebut dan
mengembangkannya sehingga terciptalah revolusi ilmiah abad 17-18. Mereka juga mengambil model
pembelajaran Universitas sebagaimana yang mereka lihat di institusi-institusi perguruan tinggi Islam,
seperti Universitas Qarawiyyin (University of Al Karaouine) di Fez Maroko, yang berdiri pada tahun
1067 di mana imam Ghazali pernah mengajar di sana.

Selain itu ada Baitul Hikmah, Darul Kutub, Majlis An Nazar, dan tidak terkecuali Universitas Al Azhar
Cairo tahun 1171 (Zarkasyi, 2007: 6). Setelah sains mengalami transformasi dari sains Islam kepada
sains Barat yang sekuler, maka beberapa ilmuan maupun intlektual Muslim berupaya untuk
mengislamkan kembali. Pada kurun inilah dimulai kembali projek Islamisasi yang biasa disebut
dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Islamisasi Ilmu: Definisi dan Pendekatan al-Attas Pendefinisian Islamisasi ilmu bagi al-Attas lahir dari
idenya terhadap Islamisasi secara umum. Menurut al-Attas, Islamisasi ialah ‘pembebasan manusia,
mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan kemudian dari
penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap
tunduk kepada keperluan jasmaniahnya yang condong menzalimi dirinya sendiri, sebab sifat
jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap tabiatnya sehingga menjadi jahil tentang tujuan
asalnya. Islamisasi bukanlah satu proses evolusi tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah.

Al-Attas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-
Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Jadi, Bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkait erat
dan saling bergantung dalam membayangkan tasawwur (world view) atau visi Hakikat (Reality)
kepada manusia. Pengaruh Islamisasi bahasa mencetuskan Islamisasi pemikiran dan rasionalitas.

Ilmu hendaklah diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan
konsep pokok asing dikeluarkan dari setiap ranting. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok asing
(pathregen) bagi Islam ini terdiri :

1. Konsep dualisme (dualism) yang meliputi Hakikat danKebenaran.

2. Doktrin Humanisme

3. Ideologi Sekuler

4. Konsep Tragedi-khususnya dalam kesusastraan

Menurut al-Attas, proses Islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama. Pertama, ialah i) mengisoliir
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat, dari setiap
bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora.
Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam
penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka
sebuah fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini
mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan
rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan
teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu
tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya
serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.

memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsepkonsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi
akan membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang
bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan bahasanya.
Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi
kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi.
Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi,
makna dan ungkapan sekular. Tujuan Islamisasi ilmu adalah untuk melindungi orang Islam dari Ilmu
yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.
Islamisasi Ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan
pemikiran dan rohani pribadi Muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah.
Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.

Islamisasi Ilmu: Definisi dan Pendekatan al-Faruqi

Dalam karyanya yang masyhur, Islamization of Knowledge :General Principles dan Workplan, al-
Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu yaitu,
untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi
berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkayakan visi dan perjuangan Islam.

Seperti juga al-Attas, al-Faruqi menekankan kepentingan mengacu dan membangun kembali disiplin
sains sosial, sains kemanusiaan dan sains tabi’i dalam kerangkan Islam dengan memadukan prinsip-
prinsip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut.

Menurut beliau lagi, Islamisasi ilmu dapat dicapai melalui pemaduan ilmu-ilmu baru kedalam
khazanah warisan Islam dengan membuang, menata, menganalisa, menafsir ulang dan
menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam. Dari sudut metodologi, al-faruqi
mengemukakan ide Islamisasi ilmunya bersandarkan tawhid. Menurut pandangan beliau, metodologi
tradisional tidak mampu memikul tugas ini karena beberapa kelemahan.

Pertama, ia telah menyempitkan konsep utama seperti fiqh, faqih, ijtihad dan mujtahid. Kedua,
kaedah tradisional ini memisahkan wahyu dan akal, dan seterusnya memisahkan pemikiran dan
tindakan. Ketiga, kaedah ini membuka ruang untuk dualisme sekuler dan agama. Sebaliknya al-Faruqi
menggariskan beberapa prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran,
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah (1) Keesaan Allah, (2) Kesatuan
Penciptaan, (3) Kesatuan Kebenaran (4), Kesatuan Ilmu (5), Kesatuan Kehidupan dan (6), Kesatuan
Kemanusiaan. Al-Faruqi melangkaui usaha al-Attas dengan menggariskan satu kerangka kerja sebagai
panduan untuk usaha Islamisasi ilmu. Beliau menjelaskan lima tujuan dalam rangka untuk Islamisasi
Ilmu yaitu untuk :

1. Menguasai disiplin modern

2. Menguasai warisan Islam

3. Menentukan relevansi Islam yang tertentu bagi setiap bidang ilmu modern

4. Mencari cara-cara bagi melakukan sintesis yang kreatif antara ilmu modern dan ilmu warisan
Islam.

5. Melancarkan pemikiran Islam ke arah jalan yang boleh membawanya memenuhi acuan Allah.
Disamping itu, al-Faruqi menggariskan 12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan tersebut
diatas.

Langkah-langkah tersebut ialah :

1. Penguasaan disiplin modern-prinsip, metodologi,

masalah, tema dan perkembangannya.

2. Peninjauan disiplin

3. Penguasaan ilmu warisan Islam : antologi


4. Penguasaan ilmu warisan Islam : analisis

5. Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada

sesuatu disiplin

6. Penilaian secara kritis disiplin modern-memperjelas

kedudukan disiplin dari sudut Islam dan dan

memberi panduan terhadap langkah yang harus

diambil untuk menjadikannya Islamic.

7. Penilaian secara kritis ilmu warisan Islampemahaman

terhadap al-Qur’an dan Sunnah, perlu

dilakukan pembetulan terhadap kesalahpahaman

8. Kajian masalah utama umat Islam

9. Kajian masalah manusia sejagat

10. Analisis dan sintesis kreatif

11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangkan Islam :

buku teks universitas.

12. Penyebarluasan ilmu yang sudah di Islamkan30.

SEJARAH ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman
kita sekarang ini. Wahyu yang pertama diturunkan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat
Islamisasi ilmu pengetahuan.

”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia Telah menciptakan manusia
dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah(3), Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5) (Qs Al
Alaq : 1-5)

Menurut Quraish Shihab, iqra’ bismi rabbik mempunyai pengertian ”bacalah demi Tuhanmu,
bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” (Shihab,1997: 82). Artinya, melakukan
sesuatu demi Tuhan. Maka mengembangkan, mempelajari dan mengkaji ilmu pengetahuan pun atas
nama Tuhan, tidak ada yang bebas nilai. Ayat ini juga menginformasikan, Allah adalah sumber dan
asal ilmu manusia (Al-Maroghi,1993: 348). Allah adalah al’aliem, maha mengetahui. Dia mengetahui
apa yang ada di langit dan di bumi, baik yang ghaib maupun yang nyata. ”Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?;
bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al Hajj : 70)

Karena Rahman dan Rahim-Nya, Allah menuntun manusia untuk mempelajari ilmu Allah, melalui
ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah atau melalui wahyu dan alam semesta (Ilyas, 1990: 61). Ide
yang disampaikan Al-Qur'an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari pemahaman umum
bangsa Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi kesukuan serta pengalaman empiris,
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

Pada sekitar abad ke-8 Masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi
ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karya-
karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep
Agama Islam (Al-Attas, 2006: 24).

Disamping itu, para ilmuwan melakukan analisis kritis dan bahkan melakukan rekonstruksi terhadap
pemikiran para filosof Yunani (Kartanegara, 2011: 292). Salah satu karya besar tentang usaha
Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali, Tahafut al- Falasifah. Dalam buku tersebut
Imam al Ghazali telah menangkal para filsuf Yunani dalam bidang metafisika. Beliau tidak menyerang
dan membuang filsafat sebagai sistem berfikir, melainkan hanya meluruskan tradisi kebanyakan filsuf
yang menurut beliau dapat merancukan aqidah umat Islam (Kartanegara, 2011: 292).

Hal demikian, walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan sejalan dengan makna Islamisasi. Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal
menegaskan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam bukunya, The
Reconstruction of Religion Thought in Islam, beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan
oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga beliau
menyarankan umat Islam agar "mengkonversikan ilmu pengetahuan modern", atau melakukan
rekonstruksi pemikiran (Syaefuddin, 1987: 51).

Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada
identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang
sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan saransaran atau program konseptual atau metodologis
untuk mengkonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan
Islam. Sehingga, pada saat itu, tidak ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai
Islamisasi ilmu pengetahuan.

Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim
Amerika kelahiran Iran. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang
mengancam dunia Islam. Karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek
epistemologis, ontologi maupun aksiologis melalui karyanya Science and Civilization in Islam, Islamic
Science, dan Islamic Art and Spirituallity. Melalui Science and Civilization in Islam dan Islamic Science.
Nasr memaparkan filsafat islami tentang ilmu (Syaefuddin, 1987: 28). Melalui Islamic Art and
Spirituallity Nasr menjelaskan tentang hubungan seni dengan spiritualitas (Nasr, 1993: 13).

Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek "Islamisasi"
yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang pertama di
Makkah pada tahun 1977 (Indrayogi, 2011). Al-Attas, cendekiawan Islam Malaysia kelahiran Bogor
(Husaini, 2005:251) ini dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan
tentang perlunya Islamisasi pendidikan dan Islamisasi ilmu pengetahuan. Selain itu, secara konsisten
dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman
pada saat ini, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya.

Menurut al-Attas, "Ilmu Pengetahuan" yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme
yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan menjadikannya
sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan masa
kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan
dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Jika
pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan
timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai " virus
deislamisasi pikiran pikiran umat Islam” (Armas, 2009: 8). Oleh karena itulah, sebagai bentuk
keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan Saat Ini” (the Islamization of present day knowlwdge) seraya
memberikan formulasi awal yang sistematis (Armas, 2009: 9).

Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas antara lain, Islamisasi ilmu pengetahuan
melibatkan dua unsur yaitu: Islamisasi diawali dengan melakukan isolasi unsur dan konsepkonsep
kunci peradaban barat yang tidak sejalan dengan Islam dari ilmu pengetahuan, kemudian
memasukan unsur-unsur Islam dalam konsep-konsep kunci ilmu pengetahuan (Armas, 2009: 9).
Gagasan Al Attas kemudian dimatangkan dengan didirikannya International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) di KualaLumpur pada tahun 1987 dengan dukungan banyak pihak,
antara lain Wakil Perdana Menteri Malaysia saat itu, Anwar Ibrahim (Nata, 2008: 410).

Di kancah internasional, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dianggap dipelopori Ismail Raji al-
Faruqi, padahal Faruqi menggagas teori Islamisasi ilmu pengetahuan sepuluh tahun setelah Naquib
Al Attas (Al-Attas, 2006: 285). Sebagaimana Al Attas, Ismail Raji Al Faruqi, ilmuwan Muslim terkemuka
kelahiran Palestina, memimipin institusi yang misi dan tujuan terpenting (raison d’etre)nya
menggodok dan mensosialisasikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Institusi yang dimaksud
adalah International Institute of Islamic Thought (IIIT) Washington DC. Di tingkat nasional, gagasan
Islamisasi Ilmu juga disambut oleh kalangan cendekiawan muslim antara lain; AM Syaefuddin, Haidar
Bagir, Dawam Raharjo, Deliar Noer, Mulyanto, dan lainnya..

PENDEKATAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu
yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah
kepada ilmu-ilmu tersebut label "Islam" sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam,
kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya. Bahkan ada sebagian orang yang ceroboh menganggap
Islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek eksternal, kemudian
mengaitkannya dengan komputer, kereta api,mobil bahkan bom Islam.

Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan oleh al-Attas, yaitu:
”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, budaya nasional (yang bertentangan
dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Islamisasi juga
pembebasan akal manusia dari keraguan (shak), dugaan (dzan) dan argumentasi kosong (mira’)
menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan
mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan
ungkapan sekuler

(Armas, 2009: 9-10). Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari
belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian
dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya. Sejalan dengan itu Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa
kata Islam dalam ”islamisasi” sains, tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus
ditemukan rujukannya secara harfiah dalam al-Qur’an dan hadist, tetapi sebaiknya dilihat dari segi
spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental Islam (Kartanegara, 2003:
130).
Implementasi Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia Islam, mempunyai banyak ragam pendekatan.
Setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu :
pendekatan labelisasi /ayatisasi, pendekatan aksiologis, dan pendekatan penerapan nilai-nilai Islam
dan Konsep Tauhid.

ISLAMISASI

ILMU PENGETAHUAN

Salafudin*

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN KONTEMPORER SEBAGAI KEBUTUHAN

DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM1

Sudarto

Dosen Fakultas Agama Islam STIT Muhammadiyah Ngawi dan Alumni Doktor Pendidikan Islam

Universitas Ibnu Khaldun – Bogor

sudartokampus@gmail.com

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM

Oleh:

Muksin

(STIT Al-Ibrohimy Bangkalan)

Anda mungkin juga menyukai