Anda di halaman 1dari 7

NAMA : MUHAMMAD FAKHRY

NIM : 1113034000041
KELAS : TAFSIR HADITS B
FAKULTAS : USHULUDDIN SEMESTER 1

IDENTITAS NASIONAL DAN GLOBALISASI

Identitas Nasional pada hakikatnya merupakan "manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan
dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hldup dan
kehidupannya".(Wibisono Koento : 2005) Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity
yang memiliki pengertian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada
seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi
antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri
pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri.
Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pula
pada suatu kelompok. Adapun kata nasional merupakan identitas yang melekat pada
kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik,
seperti budaya, agama, dan bahasa, maupun nonfisik, seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan.
Himpunan kelompok-kelompok inilah yang disebut dengan istilah identitas bangsa atau
identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (colective action) yang
diwujudkan dalam bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut
nasional.

Nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam Identitas Nasional tersebut bukanlah barang jadi
yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang
"terbuka" yang cenderung terus-menerus bersemi karena hasrat menuju kemajuan yang
dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah bahwa
Identitas Nasional adalah sesuatu yang terbuka untuk ditafsirkan dengan diberi makna baru
agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Globalisasi diartikan sebagai suatu era atau zaman yang ditandai dengan perubahan tatanan
kehidupan dunia akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi sehingga interaksi manusia nienjadi sempit, serta seolah-olah dunia tanpa ruang.
Era Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era
Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai
yang telah ada. Nilai-nilai tersebut, ada yang bersifat positif ada pula yang bersifat negatif.
Semua ini merupakan ancaman, tantangan, dan sekaligus sebagai peluang bagi bangsa
Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi di segala aspek kehidupan. Di era globalisasi,
pergaulan antarbangsa semakin ketat. Batas antarnegara hampir tidak ada artinya, batas
wilayah tidak lagi menjadi penghalang.

Identitas Nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang "dihimpun" dalam satu kesatuan
Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan roh "Bhinneka Tunggal
Ika" sebagai dasar dan arah pengembangannya.
Unsur-unsur pembentuk Identitas Nasional adalah Suku bangsa, Agama, Kebudayaan, dan
bahasa.
Globalisasi merupakan fenomena berwajah majemuk, seperti diuraikan scolte(2000), sebagai
mana dikutip Sugeng Bahagijo dan darmawan triwibowo, bahwa globalisasi sering
diidentikkan dengan: 1. internasionalisasi yaitu hubungan antar Negara, meluasnya arus
perdagangan dan penanaman modal; 2. liberalisasi yaitu pencabutan pembatasan-pembatasan
pemeritah untuk membuka ekonomi tanpa pagar (borderless world) dalam hambatan
perdagangan, pembatasan keluar masuk mata uang, kendali devisa dan ijin masuk suatu
Negara (visa); 3. Universalisasi yaitu ragam hidup seoerti makanan Mc Donald, kendaraan,
di seluruh pelosok penjuru dunia; 4. Westernisasi atau Amerikanisasi yaitu ragam hidup dan
budaya barat atau amerika; 5. De-teroterialisasi, yaitu perubahan-perubahan geografi
sehingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat dan distance menjadi berubah.
Globalisasi merupakan fenomena berwajah majemuk, globalisasi sering diidentikkan
dengan:
1.         Internasionalisasi yaitu hubungan antar negara, meluasnya arus perdagangan dan
penanaman modal:
2.          Liberalisasi yaitu pencabutan pembatasan-pembatasan pemerintah untuk membuka
ekonomi tanpa pagar (borderless world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar
masuk mata uang, kendali devisa dan ijin masuk suatu Negara:(visa).
3.         Universalisasi yaitu ragam hidup seperti makanan Mc Donald, kendaraan, di seluruh pelosok
penjuru dunia.
4.         Westernisasi atau Amerikanisasi yaitu ragam hidup dan budaya barat atau amerika:
5.         De-teroterialisasi, yaitu perubahan-perubahan geografi sehingga ruang sosial dalam
perbatasan, tempat dan distance menjadi berubah.
Istilah globalisasi telah menjadi istilah umum yang dibicarakan oleh setiap orang hingga
diskusi ilmiah dalam lingkungan akademik.

Lapis pertama, globalisasi sebagai transformasi kondisi spasial-temporal kehidupan, yaitu


menyangkut transfomasi cara-cara kita menghidupi ruang dan waktu. Globalisasi adalah
perubahan kondisi spasial-temporal kehidupan; ruang dan waktu tidak lagi dialami sebatas
lingkup suku atau negara bangsa, tetapi seluas bola dunia.
Lapis kedua, globalisasi sebagai transformasi lingkup cara pandang. Pada lapis ini
globalisasi menyangkut transformasi cara memandang, cara berfikir, cara merasa dan cara
mendekati persoalan.
Lapisan ketiga, globalisasi sebagai tansformasi modus tindakan dan praktik. Inilah lapis
arti globalisasi yang banyak ditampilkan secara publik oleh para pelaku bisnis serta pejabat
dan dalam citra di media. Pada lapisan ini, globalisasi menunjuk pada “proses kaitan yang
makin erat semua aspek kehidupan pada skala mondial. Gejala yang muncul dari interaksi
yang makin intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media, budaya, tranportasi,
teknologi,infomasi dan sebagainya.”
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya globalisasi antara lain: pertumbuhan
kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan informasi serta diciptakannya
regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan dalam skala besar dan luas seperti property
rights, standarisasi teknik dan prosedural dalam produk dan sistem produksi serta
penghapusan hambatan perdagangan.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu negara dengan negara lain menjadi
semakin tinggi. Dengan demikian, kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional
semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut, antara lain terkait dengan masalah narkotika, money
laundering, keimigrasian, human trafficking, penebangan hutan secara ilegal, pencurian laut, pengakuan
hak cipta, dan terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang
selama ini dijunjung tinggi.
Efek lainnya adalah globalisasi dapat memberikan efek negatif bagi budaya-budaya leluhur di Indonesia.
Dengan adanya globalisasi waktu, jarak, wilayah bukan lagi menjadi halangan, khususnya pada dunia
hiburan. Pada dunia hiburan, efek globalisasi sangat jelas dapat dirasakan, sebagai contoh: lunturnya
musik-musik tradisional, lunturnya budaya Indonesia dalam film-film lokal, minimnya pentas seni lokal
jika dibandingkan dengan pentas seni kontemporer moderen. Hal tersebut mencerminkan bahwa,
globalisasi dapat dengan mudah mengubah nilai-nilai budaya yang sudah ada sebelumnya.
Pada masyarakat, hal ini tentu sangat membahayakan. Hal tersebut didasarkan pada mulai mutimbulnya
sifat individualistis di masyarakat, minimnya tenggang rasa dan semangat gotong royong. Yang sudah jelas
banyak negara lain mengenal budaya masyarakat Indonesia sangat ramah tamah sebelumnya. Belum lagi
aksi teror, yang baru-baru ini marak terjadi. Ada sebagian kelompok masyarakat bangsa ini yang menganut
pandangan ekstim dan radikal, yang menolak landasan bangsa ini yaitu Pancasila sebagai pedoman
hidupnya, yang tentu sangat berbahaya bagi integritas bangsa ini kedepan. Hal-hal ini tentunya dapat
mengubah identitas bangsa ini, yang sebelumnya populer dengan bangsa yang menjunjung tinggi nilai
multikultur yang Bhenika Tunggal Ika yang memiliki kesatuan sangat erat serta masyarakatnya yang
sangat berjiwa ketimuran.
Gelombang globalisasi melahirkan budaya global. Didukung oleh information super highway atau
information market place maka unsur-unsur budaya global akan memasukli dunia lokal dengan sangat
cepat dan intensif. Proses globalisasi budaya akan merupakan ancaman terhadap budaya suatu bangsa.
Apabila budaya suatu bangsa yang terisolir akan tumbuh dan berkembang secara mantap dan statis, maka
dalam dunia terbuka keadaan yang demikian mulai terusik. Orang akan berpaling terhadap apa yang terjadi
di sebelah bumi sana, apa yang dirasakan oleh orang lain di seberang lautan sana, dan kini orang akan
mulai bertanya-tanya makna hidup kebudayaannya sendiri. Mungkin dia hanya sekedar ingin tahu,
mungkin ingin melepaskan diri dari ikatan budaya lokal dan ingin mencoba-coba sesuatu yang baru.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga
menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya
dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke
berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan
secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui
media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi
antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini
menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
a. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
b. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan
akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
c. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
d. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
e. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan
lain lain.
f. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia
FIFA.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan
mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa.Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang
kita memang tidaksuka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasiharus kita
jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil
menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita
menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam
setiap kita berpikir dan bertindak.
    Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan,
kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu
memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan
dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa
terjaga.
Sebagai rakyat Indonesia, sebaiknya kita dapat memanfaatkan arus globalisasi secara baik dan benar,
sehingga sesuai kaidah yang ada. Kemudian, untuk membendung arus globalisasi yang sangat deras
tersebut, harus diupayakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat terjaga. Kita perlu
mengingat kembali pesan Bung Karno, yaitu “Jadilah bangsa yang cerdas, buat rasa Indonesia, buat negara
lain tersenyum pada kita: Indonesia”, agar identitas serta cirri khas bangsa ini tidak lenyap. Untuk
mencapai hal itu, adalah dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan yang mengarah
kepada konsep identitas nasional.

Pancasila dan keharusan reaktualisasi

Orde baru berakhir pada 1998, Sepanjang masa orde baru Pancasila dijadikan Negara sebagai
rujukan, orientasi pembangunan, dan digalakkan di berbagai tingkatan.

Suasana tersebut berubah total setelah pergerakkan reformasi muncul, dan mengakhiri masa
kekuasaan panjang orde baru. Bersamaan dengan itu semua, bermunculan ancaman disintegrasi,
seperti : Lepasnya Timor Timur, Gerakkan Aceh Merdeka untuk memisahkan diri dari NKRI, Gerakkan
Papua Merdeka, dan konflik-konflik antar etnis lainnya di Indonesia.

Berbagai konflik dan pergerakkan yang menambah daftar panjang perusak integritas bangsa dan jati
diri Indonesia. Bahkan beragam realitas yang tidak sejalan dengan cita-cita reformasi, dan tujuan
awal dibentuknya Negara Indonesia ini tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi semata, tetapi
menjadi ancaman serius terhadap eksistensi Empat Konsensus atau pilar wawasan kebangsaan
Indonesia : Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Saat gegap gempita reformasi merebak, bermunculan pandangan tentang bagaimana memosisikan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Ada kelompok yang melihat demokrasi liberal
sebagai penyebab keterpurukan bangsa. Kelompok ini beranggapan keterpurukan tersebut
dikarenakan bangsa Indonesia telah meninggalkan Pancasila.

Sebaliknya kelompok lain beranggapan pula, demokrasi adalah pilihan yang tepat. Bagi kelompok ini
pancasila tetap sebagai dasar dar negra.

Pancasila sebagai ideologi Indonesia yang terbuka dan lahir dari budaya Indonesia, sebagai
perwujudan atas kemerdekaan Indonesia. Pancasila sepantasnya dibarengi dengan pendidikan, dan
pengajaran Pancasila melalui pembelajaran dengan pendekat bagi pengajar, dan peserta didik.

Pada 2001 Kuntowijoyo memunculkan gagasan “Radikalisasi Pancasila” yang berisi : 1)


Mengembalikan Pancasila sebagai ideology negara; 2) Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi
menjadi Pancasila sebahgai ilmu; 3) Mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi tehadap
produk-produk perundangan, koherensi antara sila, dan korespondensi dengan realisasi social; 4)
Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan negara menjadi melayani kepentingan rakyat;
dan 5) Menjadikan pancasila kritik kebijakan negara.

Sebagai system yang digali dari kebudayaan, dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus
ditempatkan sebagai cita-cita dan etika berpolitik warga negara. Maka sila-sila Pancasila yang terkait
harus menjadi orientasi praktik politik setiap hari. Misalnya sila pertama “ketuhanan Yang Maha Esa”
yang mengandung prinsip spiritual harus besinergi dengan prinsip sila kedua “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab” dimana berpolitik sebagai cara menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dan keadilan di
dunia sebagai pesan universal Agama.

Menurut budayawan Abdul Hadi W.M, adalah menjadi kekuasaan negara dijadikan
sebagai, Pertama, asas legalitas atau legistimasi hukum yang berlaku di NKRI berdasarkan
pancasila. Kedua, disahkan dan dijalaankan secara demokratis. Ketiga, dilaksanakan berdasarkan
prinsip moral.

Pancasila: Pengertian Etimologi, Historis, dan Terminologi

Pancasila terdiri dari dua kata, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar”. Secara harfiah,
Pancasila memiliki pengertian “Dasar yang memiliki lima unsur”. Secara historis Pancasila tidak lepas
dari situasi perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan.

Menurut Soekarno, panduan, dan dasar negara Indonesia mestilah bukan meminjam dari unsur-
unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim
kebudayaan Indonesia sendiri..

Pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Mr. Mohammad Yamin mengusulkan dasar negara yang
mencerminkan asas dasar negara Indonesia. antara lain:

1.      Peri Kebangsaan.

2.      Peri Kemanusiaan.

3.      Peri ketuhanan.

4.      Peri kerakyatan.
5.      Kesejahteraan Rakyat.

Kemudian yang disarikan secara tertulis dalam bentuk rancangan konstitusi atau UUD RI. Pada
bagian pembukaan usulan konstitusi tersebut termaktub rumusan dasar negara sebagai berikut.

1.       Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.      Kebangsaan persatuan Indonesia.

3.      Rasa kemaqanusiaan yang adil dan beradab.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada 22 Juni 1945 sembilan tokoh pergerakkan nasional yang disebut panitia Sembilan antara lain:
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Moezakir,
Haji  Agus Salim,  Jakarta panitia Sembilan menyusun sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan
“Piagam Jakarta” dirumuskan di dalamnya butir-butir pancasila sebagai berikut:

1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.      Persatuan Indonesia.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD’45.
Pengesahan ini meliputi:

1.      Melakukan beberapa perubahan pada rumusan Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi
sebagai pembukaan UUD’45.

2.      Menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima badan penyidik pada 17 Juli 1945,
setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta ,
kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar 1945.

3.      Memilih presiden dan wakil presiden pertama.

4.      Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai Badan Musyawarah Darurat.

Berdasarkan pengesahan tersebut UUD’45 terdiri dari Pembukaan, dan pasal-pasal yang terdiri dari
37 pasal, 1 Aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal, dan 1 Aturan tambahan yang terdiri dari 2 ayat.
Pada bagian pembukaan konstitusi UUD’45 inilah kelima sila pada Pancasila yang sering kita ucapkan
dan dengarkan hingga saat ini tercantum.

Anda mungkin juga menyukai