Anda di halaman 1dari 10

Menyama Braya Sebagai Bentuk Budaya danToleransi Dalam

Kehidupan Masyarakat Islam Dan Hindu Di Desa Pegayamanan


Jaysyur Rochman Alkindi
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Universitas Negeri Jakarta
jaysyurrochman_pai17s1@mahasiswa.unj.ac.id

Abstract: Menyama Braya culture is a culture that encourages people to have


attitudes and behaviors that tolerate differences because they see others as
their own siblings. Research This research is located in Pegayaman
Village, Sukasada Subdistrict, Buleleng Regency, Bali Province. This
study uses a literature study by gathering information relevant to the topic
or problem that is the object of research. The purpose of this study was to
determine the nyama braya and forms of cultural alkulturation in
pegayaman bali village. In this study, the culture of Menyama Braya in the
village of compassion as a form of harmony and tolerance of social life up
to now has been proven by the never occurring religious nuances of
conflict through the concept of Menyama Braya. Menyama braya is almost
the same as the Islamic concept of "Ukhuwah Islamiyah and Rahmatan Lil
Alamin". According to Hindus in Pegayaman Village, it's a way of life that
understands that all humans are brothers or a way of life that treats other
people like you.
Keyword: Menyama Braya, Tolerance, Culture

Abstrak: Budaya menyama braya merupakan budaya yang mendorong masyarakat


agar memiliki sikap dan perilaku toleransi terhadap perbedaan sebab
memandang orang lain sebagai saudaranya sendiri. Penelitian Penelitian
ini berlokasi di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, kabupaten
Buleleng, provinsi Bali Penelitian ini menggunakan penenlitian studi
kepustakaan dengan menghimpun informasi yang relevan dengan topik
atau masalah yang menjadi obyek penelitian. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui nyama braya dan bentuk alkulturasi budaya yang
ada di desa pegayaman bali. Dalam Penelitian ini menunjukan budaya
Menyama Braya di desa pengayaman sebagai bentuk kerukunan dan
toleransi kehidupan bermasayarakat hingga saat ini hal tersebut dibuktikan
dengan tidak pernah terjadi konflik yang bernuansa agama melalui konsep
Menyama Braya . menyama braya ini hampir sama dengan konsep islam
yakni “Ukhuwah Islamiyahdan Rahmatan Lil Alamin”. Sendangkan
menyama braya menurut umat Hindu di Desa Pegayaman adalah suatu
cara hidup yang memahami bahwa semua manusia adalah bersaudara atau
cara hidup yang memperlakukan orang lain seperti saudara sendiri.
Kata kunci: Menyama Braya, Toleransi, Budaya
Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kepulauan besar di dunia. Indonesia


memiliki lebih dari 17.000 pulau, di mana hanya sekitar 7.000 pulau yang berpenghuni.
Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Papua merupakan pulau utama di Indonesia.
Banyak sekali keanekaragaman di Indonesia baik dari suku, budaya, agama, bahasa, dan
adat istiadat. Namun keanekaragaman agama, sosial budaya, suku, kebiasaan, adat
istiadat dan sebagainya secara sosiologis rentan menimbulkan konflik. Hal tersebut dapat
dilihat dengan terjadinya konflik antar beragama di Indonesia yang berimbas
menimbulkan tragedi besar dan menakutkan.

Konflik antar agama merupakan konflik yang dapat ditimbulkan akibat dari perbedaan
keyakinan, yang tidak bisa disiasati dengan sikap saling menghormati dan menghargai
perbedaan.Kasus mengenai kekerasan dan konflik berbasis agama tetap membuat
kekhawatiran dan menjadi isu yang tidak boleh dianggap remeh. Beberapa tahun lalu
terjadi konflik di Poso dan di ambon antara umat Islam dan Kristen yang menelan korban
hingga ribuan orang yang kini telah berhasil dipadamkan. Kekerasan umat beragama juga
dialami oleh aliran tertentu yang terjadi di Madura 2011 yakni antara warga Syiah dan
Sunni dengan turut pula membakar rumah dan pesantren.

Namun tidak demikian halnya yang terjadi di Bali. Walaupun masyarakat bersikap
multietnik seperti perbedaan agama, suku dan sosial budaya, namun kenyataannya orang-
orang yang berasal dari luar Bali mampu menjalin hubungan yang rukun dan
menciptakan keharmonisan dengan penduduk asli Bali yang didominasi dengan agama
Hindu. Hak tersebut dapat dilihat dengan hubungan umat islam dan hindu.

Sistem nilai sosial yang terkenal digunakan pada masyarakat Bali Hindu adalah menyama
braya yang berarti suatu ikatan persaudaran yang menganggap orang lain itu adalah
saudara. Dengan konsep inilah diharapkan mampu menjaga keharmonisan umat
beragama tidak hanya di Bali, tetapi juga wilayah-wilayah indonesia lain yang memiliki
pluralitas agama dapat mengadopsi nilai ini. Karena dengan konsep ini kemungkinan
timbulnya konflik sangat kecil sebab konsep ini lebih menekankan terhadap perlakuan
terhadap orang lain, dan rasa persaudaraan yang tinggi. Apabial menyakiti dan
merendahkan orang lain sama aja dengan merendahkan diri sendiri.Salah satu daerah
yang identik dengan meyama braya yang merupakan hubungan harmonis antara umat
Hindu dan Islam yakni Desa Pegayamanan yang terletak di Kebupaten Buleleng.

Permukiman Desa Pegayaman merupakan satu-satunya desa di Bali yang mayoritas


penduduknya muslim. Permukiman ini terletak di perbukitan Bali utara tepatnya di
Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Keunikan permukiman ini
terletak pada kenyataan bahwa semua penduduknya beragama Islam dan masyarakat
Pegayaman bukan pendatang tetapi orang asli Bali. Walaupun berada di tengah-tengah
masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, masyarakat di dalam permukiman ini
tetap membangun kehidupan yang harmonis. Hal ini telah membuktikan bahwa agama
mampu menciptakan suatu kerukunan ditengah-tengah besarnya perbedaan di Bali.

Di dalam permukiman, ini seluruh tatanan kehidupan sosial dan keagamaan dilandasi
dengan semangat dan ajaran Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa karakteristik jagat
Bali sebagaimana yang selama ini dikenal telah hilang di Pegayaman. Akan tetapi, di
dalam permukiman ini terdapat unsur-unsur budaya Bali yang terlihat pada perayaan
hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, perayaan subak, sistem penamaan, dan
penggunaan bahasa.

Berdasarkan latar belakang seperti apa yang diuraikan diatas maka terdapat beberapa
permasalahan yang layak dikedepankan, yaitu: 1). Bagaimana pandangan masyarakat
Hindu dan Islam di Desa Pegayaman tentang menyama braya.2)Bagaimanakah bentuk
hubungan menyama braya dalam kehidupan sosial di Desa Pegayaman di desa.

Metodologi dan tujuan penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan
dengan menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi
obyek penelitian. Informasi tersebut dapat dari data sekunder yang diperoleh dari buku-
buku, karya ilmiah, tesis, disertasi, ensiklopedia, internet, dan sumber-sumber lain .
Penelitian ini memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan
dengan penelitiannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nyama braya
dan bentuk alkulturasi budaya yang ada di desa pegayaman bali.

PEMBAHASAN

A. Sejarah desa pegayaman


sejarahnya Desa Pegayaman telah ada pada abad ke-16, yang mana tidak bisa dilepaskan
atau dilupakan dari sosok seorang pemimpin Raja Buleleng yaitu Anglurah Ki Barak
Panji Sakti. Kata Pegayaman pada awalnya berasal dari nama sebuah tetumbuhan yang
sangat banyak atau yang sangat lebat yang berada di wilayah Desa Pegayaman.Pohon
tersebut adalah pohon Gatep (Gayam = dalam bahasa Jawa). Selain itu terdapat versi lain
bahwa kata Pegayaman berasal pegayaman berasal dari kata gayaman yaitu nama senjata
keris yang populer waktu kerajaan mataram di jawa dibawah kekuasaan raja paku
bowono 1 karena leluhur masyarakat Desa Pegayaman yang pertama berasal dari
mataram.
Penduduk Desa Pegayaman awal mulanya berasal dari Solo dan Blambangan
Banyuwangi. Kehadirannya di Buleleng adalah untuk mengantarkan atau mengiringi
keberangkatan Raja Buleleng dari Mataram menuju Blambangan lalu ke Bali. Para
pengantar tersebut diberi hadiah oleh Raja Buleleng (Anglurah Ki Barak Panji Sakti)
yaitu sebuah tempat tinggal, tempat tersebut berada di wilayah Banjar Jawa, yang
sekaligus juga sebagai tempat pengistirahatan gajah. Selanjutnya, orang-orang Jawa yang
ada di Banjar Jawa sebagaimana tersebut diatas, dipindahkan ke sebelah selatan wilayah
Kerajaan Buleleng, yaitu di sebuah perbukitan yang penuh dengan pohon Gatep (gayam:
bahasaJawa).
Seiring berjalannya waktu, ada sebuah cerita yang menyatakan bahwa pada tahun 1850
terdamparlah sebuah kapal di pantai Buleleng (Kampung Bugis). Kapal tersebut adalah
rombongan dari Raja Bone Sulawesi yang hendak berangkat ke Pulau Jawa dan Madura.
Akibat derasnya arus laut maka kapal tersebut kandas di Buleleng, sehingga rombongan
tersebut menghadap Raja Buleleng (Anglurah Ki Barak Panji Sakti), mereka diterima,
ditawarkan, dan diberikan wilayah oleh Raja untuk bergabung di Pegayaman.
Semua warga yang terdapat di Desa Pegayaman adalah orang-orang Islam yang taat, dan
warga tersebut adalah orang asli Bali yang terdiri dari tiga suku yaitu Solo, Blambangan,
Banyuwangi dan Bugis. Di dalam permukiman ini jagat Bali dengan tradisi Hindu benar-
benar hilang, hal ini bisa dilihat dari fakta antropologis dan sosiologis yang menyatakan
bahwa Islam telah datang ke Desa Pegayaman sejak dahulu dan telah memberikan
peranan penting pada semua aspek.
kehidupan di Desa Pegayaman sampai dengan saat ini. Di dalam permukiman ini,
terdapat berbagai macam pelaksanaan kegiatan- kegiatan, baikkegiatan sosial maupun
kegiatan budayayang telah berjalan dengan sangat baik, serta sesuai dengan tatanan
agama Islam berlandaskan adat yang berpangku Syara’.
Kegiatan-kegiatan budaya tersebut dapat dilihat pada peringatan Maulid Nabi, kegiatan
Subak, dan kegiatan hari raya Islam lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam
pelaksanaan Maulid Nabi, dimulai dari Masjid Jami’ sebagai awal pelaksanaan dan
dilanjutkan di masing- masing banjar yang terdapat di wilayah Desa Pegayaman, yang
mana semua rangkaian kegiatan- kegiatan tersebut dikoordinatori oleh Penghulu atau
Imam10. Kulturasi budaya Bali, agama Hindu dan agama Islam terlihat di desa ini pada
beberapa hal, contohnya seni burde(burdah) dan sokok base(daun sirih). Seni burde
adalah perpaduan lantunan sholawat, seni tabuh, dan gerak tari Pegayaman yang nada
lagu dan tariannya mirip dengan seni tradisional Bali.
B. Bentuk toleransi ,dan akulturasi budaya di desa pengayaman
Keharmonisasian antara umat hindu dan muslim yang ada di Bali tidak terlepas dari
peranan sikap toleransi yang ada di masyarakat Bali .hal tersebut di wujudkan alam
Bentuk “budaya Nyama’ di Pegayaman diwujudkan dengan akulturasi tradisi keagamaan
dan budaya setempat . Dalam pandangan Skowlimowski “setiap orang perlu untuk diberi
kesadaran mengenai lingkungannya agar tidak terjermus dalam hal-hal yang tidak
diharapkan. Bagaimanapun juga penanaman “sistem nilai” sejak dini sebagai dasar
pemahaman seseorang menjadi sangat penting untuk membekali pandangan dalam
pergaulan, cara menentukan baik dan benar, juga seleksi informasi sebagai ideologi”.1
Tokoh masyarakat Pegayaman, Komang Sohibul Islam yang juga menjabat
sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengatakan toleransi beragama di
desa pegayaman sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu. Warga Muslim telah bermukim
di desa itu sejak pertama kali berdiri Kerajaan Buleleng di bawah kepemimpinan Ki
Barak Panji Sakti sekitar awal abad ke-16. Beliau mengatakan:
"Kami telah diajarkan oleh para orang tua kami mengenai apa yang kami lakukan dan
kami yakini saat ini. Di desa kami punya pandangan bahwa semua adalah saudara. Sejak
dahulu kala bukan baru-baru ini saja saat kata toleransi mulai digaung-gaungkan. Semua
umat di dunia ini memang adalah bersaudara. Tidak ada yang membeda-bedakan. agama
adalah keyakinan setiap orang yang harus dihargai dan tidak boleh disamakan. dewasa ini
dimana masalah radikalisme menjadi bahasan hangat kami mengajak semuanya untuk
bangkit dari perbedaan karena memang kita semua adalah bersaudara. Nyama sendiri
bermakna Jika kita memang bersaudara mengapa kita harus bermusuhan dan saling
membenci? Bukankah bersaudara harus saling mengasihi dan menyayangi."2
1
Henryk Skolimowski, Filsafat Lingkungan terj. dari Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. Terj.
Saut Pasaribu. Yogyakarta: Bentang 2004 hlm 12
2
Putu Soviawan, 2013 (Menyama Brayadalam Kehidupan Masyarakat Islam Dan Hindu Di Desa
Pegayamanan Kecamatan Sukasada) jurnal Pendidikan kewarganegaraan Unidksha Vol 4, No 2
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/22024 . 2016.Hlm 8
Tokoh agama Islam Amir Amzah mengatakan bahwa : “Menyama braya adalah toleransi
atau kebersamaan masyarakat yang multi budaya, multi etnis dan multi agama. Seperti
contoh adalah pembangunan masjid Jamik Safinatusalam memang tidak terlepas dari
gontong royong dan kerja sama masyarakat Hindu yang ada di Desa Pegayaman.”
( Wawancara tanggal 28 Nopember 2013
Konsep nilai-nilai sosial yang terdapat dalam menyama braya memiliki kesamaan atau
terdapat dalam konsep Ukhuwah Islamiyahdan Rahmatan Lil AlaminYang dimana
menurut Abdul Manaf selaku tokoh Islam di Desa Pegayaman menyatakan arti kedua
kedua tersebut yakni sebagai berikut :
“Ukhuwah Islamiyah adalah sistem bagaimana manusia mampu bermasyarakat sesuai
dengan rukun islam yakni hubungan yang harmonis dengan Tuhan, Manusia dan
Tumbuhan yang ditambah dengan percaya dengan kiamat.Sedangkan Rahmatan Lil
Alamin adalah rahmat kepada seluruh umat manusia. Karena seluruh umat manusia
memiliki nilai plus”3
Menyama braya menurut pandangan Hindu, penulis melaksanakan wawancara pada
masyarakat Hindu yang berada di dusun Amertasari yang dimana banjar ini penduduk
Hindunya lebih banyak dibandingkan banjar-banjar yang lainnya. Made Gunarsa
mengatakan bahwa :
“Menyama braya menurut saya adalah hubungan yang baik dengan kita sesama manusia,
tidak hanya sesama masyarakat Hindu tetapi juga pada masyarakat Islam. Sehingga
dengan menjalin hubungan yang harmonis saya yakin kita akan selalu damai”.4
Menyama braya juga dimaknai sebagai toleransi atau kebersamaan masyarakat yang
multi budaya, multi etnis dan multi agama yang terwujud dalam bentuk Tat Tvam Asi
dan Tri Hita Karana.Menurut Bendesa Adat Desa Pegayaman mengatakan bahwa :
Tat Tvam Asi adalah suatu paham yang menyatakan bahwa aku adalah kamu, sehingga
apa yang dirasakan oleh aku maka kamu akan merasakannya juga. Sedangkan Tri Hita
Karana adalah suatu bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama
manusia serta manusia dengan lingkungannya sehingga timbul suatu kerukunan dan
keseimbangan hidup”5
pengertian di atas menunjukkan menyama braya adalah suatu cara hidup yang
memahami dan memaknai bahwa semua manusia adalah bersaudara atau cara hidup yang
memperlakukan orang lain seperti saudara sendiri.
Perwujudan budaya nyama dapat dilihat dari saling sikap menghormati antar kedua
agama tersebut seperti tradisi Penampahan atau hari memotong hewan hari raya besar

3
Ibid.hlm 8.

4
Ibid hlm 8.
5
Ibid hlm 9.
keagamaan seperti Idul Fitri, Maulid Nabi, Idul Adha dan beberapa perayaan besar lain.
Dimana dalam setiap perayaan hari besar tersebut umat islam tetap melestarikan budaya
leluhur yakni Ngejot atau memberikan berbagai jenis makanan kepada Nyama Hindu.
Hal tersebut juga dilakukan oleh umat Hindu di daerah itu. Tentu pemberian dari umat
Hindu disepakati merupakan berbagai makanan yang tidak mengandung daging babi.
Selain itu ada tradisi membuat orang-orangan semacam ogoh-ogoh di Bali setiap
perayaan Idul Fitri, penggunaan nama khas bali di depan nama seseorang (Wayan,
Kadek, Made, Komang dan Ketut), tradisi Sokok Sada Maulid Basa dan Jero Lingga
berbasis musyawarah antaragama. Tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian dari budaya
Nyama dalam merekatkan kebersamaan dalam masyarakat muslim desa pegayaman
menuju islam yang moderat, mengakui suatu perbedaan dan merajut persatuan bangsa
guna menangkal radikalisme yang berkembang saat ini di indonesia ini.
Interaksi Nyama Bali yang telah berlangsung beberapa abad- abad lamanya mendorong
mereka untuk saling mempengaruhi baik dari segi sosial maupun budaya. Hal tersebut
dilihat dengan berbagai pengunaan bahasa bali identitas etnik di kampung muslim di desa
Pegayaman seperti Wayan, Putu, Made, Nengah, Komang, Nyoman, Ketut. saling
kunjungi dalam acara adat, ritual, dan acara penting dalam kehidupan sehari-hari dapat
memperkuat integrasi, di kalangan umat muslim di daerah-daerah seperti Saren Jawa,
Desa Gelgel, Kepaon (Denpasar) dengan ciri menu masakan ala Bali seperti lawar
dengan tidak memakai darah dan daging babi, sate lilit, komoh, tum, urab dan pembuatan
Bebangkit Selam di Angantiga.
interaksi tersebut menjadi modal sosial masyarakat dalam mendorong terciptanya
integrasi sosial seperti adanya tradisi ngejot pada waktu umat Hindu mengadakan upacara
keagamaan seperti hari raya Galungan dan Nyepi, pada waktu yang baik tersebut umat
muslim memberikan buah atau jajanan, begitu juga sebaliknya pada waktu Idul Fitri
masyarakat Hindu ngejot buah ke saudara islamnya.
Adapun Bentuk hubungan sosial dan budaya yang dilakukan antara masyarakat Hindu
dan Islam dapat dijelaskan dalam 5 bentuk sebagai berikut :
1. Ngejot
Ngejot sebagai salah satu upaya untuk menjalin hubungan harmonis antar umat
beragama. Ngejot ini diartikan sebagai bentuk hubungan harmonis masyarakat Hindu dan
Islam, sebagai salah satu contoh hari raya Idul Adha masyarakat Islam membagikan
sebagian makanan itu kepada tetangga didekat rumah termasuk juga masyarakat umat
Hindu. Begitu juga sebaliknya apabila masyarakat umat Hindu memiliki acara agama
seperti Galungan membagikan sebagian buah-buahan kepada masyarakat Islam.
2. Borda
Dibidang budaya, bentuk hubungan harmonis salah satunya adalah kesenian Borda.Borda
merupakan kesenian musik masyarakat Islam dalam bidang tabuh yang memiliki
kemiripan dengan tabuh-tabuh masyarakat Hindu pada umumnya.Hubungan dengan
Hindu terletak pada alat music yang digunakan yakni tabuh juga terletak pada pakaian
yang digunakan yakni menggunakan udeng yang merupakan ciri khas masyarakat
Hindu.Seliain itu kesenian ini memiliki kesamaan pada nada dan irama seperti mekidung
di pura.Borda biasanya dilaksanakan pada hari raya Maulid Nabi, dan Sunatan warga.
3. Gontong royong
bentuk gotong royong terwujud dari masyarakat Hindu dan Islam secara bersama-sama
dalam bantu membantu kegiatan yang dilakukan bersifat suka rela agaer kegiatan yang
dikerjakan dapat berjalan dengan lancer, mudah dan ringan. Kegiatan Gotong royong
tersebut dilakukan pada kegiatan Galungan, Kuningan, Idul Fitri dan lain sebagainya.
Sebagai salah satu bukti yakni kegiatan Maulid Nabi pihak dari panitia mengundang
tokoh-tokoh dan masyarakat Hindu untuk melaksanakan gotong royong bersama.
4. Sokok Base dan taluh
Kebudayaan merupakan salah satu akulturasi budaya antara masyarakat Hindu dan Islam.
Apabila masyarakat Hindu mempunyai pajegan yaitu sarana upacara berupa buah-buahan
yang ditusukkan pada batang pohon pisang, buah-buahan yang dimaksud adalah buahan-
buahan yang sesuai dengan adat dan tradisi yang ada seperti buah pisang, apel, salak,
jeruk, mangga dan lain sebagainya. Tetapi berbeda dengan masyarakat Islam yang ada
didesa Pegayaman yakni adanya Sokok Base yaitu sarana upacara yang memiliki
kemiripan dengan pajegan. Kata sokok diduga berasal dari Bahasa Jawa, soko, yang
berarti tiang sendangkan base dalam bahasa bali yang berarti sirih dan taluh yang berarti
telur. Memang rangkaian ini terdiri dari tiang utama yang terbuat dari batang pisang yang
didirikan di atas sebuah dulang. Pada tiang tersebut ditancapkan beberapa batang bilah
bambu. Pada bilah bambu itulah sirih, kembang, dan buah-buahan dirangkai. Sokok ini
biasanya dibuat pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
5. Sistem Pengaturan Desa
Desa Pegayaman yang didominasi oleh masyarakat Islam tetapi tetap menggunakan
beberapa istilah masyarakat Bali misalnya dalam sistem pengaturan desa seperti yang
dipaparkan pada gambaran umum Desa Pegayaman yang disebutkan bahwa desa
Pegayaman terdiri dari lima banjar yakni 1). Banjar Dinas Barat Jalan, 2). Banjar Dinas
Timur Jalan, 3). Banjar Dinas Kubu, 4). Banjar Dinas Amertasari, 5). Banjar Dinas Kubu
Lebah.

KESIMPULAN
Bali merupakan kepulauan yang ada di Indonesia yang mampu menjalin
hubungan yang rukun dan menciptakan keharmonisan antar agama. Hal tersebut dapat
dilihat dengan hubungan umat islam dan hindu. Kerukunan umat beragama di bali sudah
terjaga sejak kedatangan islam hingga sekarang. Beberapa bukti yang ada diantaranya
adalah kerukunan dan toleransi kehidupan bermasayarakat didesa Pegayaman yang
hingga saat ini tidak pernah terjadi konflik yang bernuansa agama melalui konsep
Menyama Braya .

Menyama braya menyama braya adalah suatu cara hidup yang memahami dan memaknai
bahwa semua manusia adalah bersaudara atau cara hidup yang memperlakukan orang lain
seperti saudara sendiri.menyama braya ini hampir sama dengan konsep islam yakni
“Ukhuwah Islamiyahdan Rahmatan Lil Alamin”. Sendangkan menyama braya menurut
umat Hindu di Desa Pegayaman adalah suatu cara hidup yang memahami bahwa semua
manusia adalah bersaudara atau cara hidup yang memperlakukan orang lain seperti
saudara sendiri, selanjutnya dimaknai sebagai toleransi atau kebersamaan masyarakat
yang multi budaya, multi etnis dan multi agama yang dalam hal ini dapat terwujud dalam
bentuk Tat Tvam Asi dan Tri Hita Karana.

Menyama beryama sendiri diharapkan mampu menjaga keharmonisan dan toleransi umat
beragama tidak hanya di Bali, tetapi juga wilayah-wilayah indonesia lain yang memiliki
pluralitas agama dapat mengadopsi nilai ini. Karena dengan konsep ini kemungkinan
timbulnya konflik sangat kecil sebab konsep ini lebih menekankan terhadap perlakuan
terhadap orang lain, dan rasa persaudaraan yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

https://royteguhmusa.wordpress.com/2012/12/13/sejarah-desa-pegayaman/

http://www.jalan-jalan-bali.com/2009/06/maulid-nabi-di-pegayaman-ekspresi-bali.html

Skolimowski, Henryk. 2004. Filsafat Lingkungan terj. dari Eco-Philosophy: Designing New
Tactics for Living. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Bentang.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/22024/0

http://e-journal.ikhac.ac.id/index.php/almada/article/view/220

Anda mungkin juga menyukai