Anda di halaman 1dari 2

Masyarakat adat cireundeu sangat peduli dengan kondisi lingkungan, hal tersebut di lihat dari dasar

kehidupan yang di yakini itu terdiri antara dua unsur yaitu “Baik” dan “Buruk”. Falsafah mereka
terangkum dalam semboyan “Akur, repeh, rapih sesama hirup”. Mereka menegaskan jika konsep
Akur (damai), repeh (tidak ribut), dan rapih (tertib) tidak terbatas dengan sesama manusia saja
melainkan juga dengan sesama hirup lain (makhuk hidup) baik itu hewan maupun tumbuhan.Dan
konsep pelestarian mereka gunakan menggunakan “tri tangtung” yaitu, ngusti nu ngasih , manusia
nu ngasuh ,dan alam nu ngasah yang berarti Tuhan yang memberi, Manusia yang mengelola,dan
alam yang mengajarkan .

sejak terjadi musibah longsor sampah pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua
kampung terhapus dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat
Pembuangan Akhir Leuwigajah dan belum dampak dari longsor sampah tersebut . Hal tersebut
memberikan trauma bekas dikalangan masyarakat cireundeu dan juga memberikan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan.

“Dengan kita tetap menjaga alam, meskipun itu namanya leweung larangan, akan tetapi mesti tetap
dijaga, karena alam adalah hal yang inti, karena dengan alam, kita hidup dan untuk kelangsungan
yang akan datang, saluran air adalah nadi kita, ketika dia tersumbat, dia tidak akan mengalir. Intinya,
jika kita baik dengan alam, alam pun juga baik dengan kita, begitupun sebaliknya, jika kita
memperlakukan dengan tidak baik, maka alam pun juga tidak akan baik dengan kita.” Ungkapan dari
abah widi.

Pada lingkungan Masyarakat adat mempunyai konsep pembagian hutan di kampung yang diwariskan
dari nenek moyang warga Cireundeu yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena
bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.

Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut
dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang
baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.

Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun
masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan
umbi-umbian.

Pembagian tersebut sebagai bentuk pelestarian alam dan juga menjaga tempat sacral yang dianggap
kramat seperti menjaga mata air dan hutan larangan . selain itu juga hutan sebagai tempat sesajen
bagi kepercayaan masyarakat cireundeu terdahulu (sunda wiwitan). Penghormatan terhadap alam
tersebut

Model pertanian di cireundeu modelnya tupang sari memanfaatkan satu kebun dengan memasuki 3
tanaman berbeda jenis dan tanaman pangan pokok (singkong) lebih di khususkan. Dalam bercocok
tanam masyarakat menanam dengan selang waktu yang berbeda, sehingga Masyarkat dapat
memanen 2 dan 3 kali dalam sebulan, dan mereka tidak mengenal menanam bareng dan panen
bareng , karena pada pertanian mereka ada 3 jenis tanaman yang berbeda.
Masyarakat adat Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup warisan para leluhur yakni: "Teu
nyawah asal boga pare, Teu boga pare asal boga beas, Teu boga beas asal bisa nyangu, Teu nyangu
asal dahar, Teu dahar asal kuat". Artinya, "Tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras
asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat". Makna dari kalimat
yaitu masyarakat tidak ketergantungan pada satu bahan makanan pokok saja.

Makanan pokok yang di gunakan masyarakat cirendeu yaitu: singkong, dan umbi-umbian. hal
tersebut sebagai makanan penganti alternatif dari nasi, namun lebih dominan olahan singkong yang
disebut Rasi , dipelopori Ibu Omah Asnamah, putri tokoh adat di Kampung Cireundeu beliau juga
memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepat nya pada tahun 1964 oleh
Pemerintahan melalui Wedana Cimahi. Hingga kini Sesepuh adat dan warga Kampung Cireundeu
menjadikan singkong sebagai makanan pokok.

Anda mungkin juga menyukai