Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

GLOBALISASI BUDAYA

Cindisa Kalamulya Awanda Cindy O Nurul Lailiy

(125120401111039) (125120407111011) (125120407111046)

HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014

BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi seperti dua sisi mata uang yang memiliki wajah berbeda dalam setiap sisinya. Tentu sisi tersebut ada yang positif dan ada pula yang negatif, karena pengaruh dan sikap penerima yang berbeda-beda juga. Semakin meningkatnya kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi membuat sebagian masyarakat sebagai bagian dari global village (penerima adanya globalisasi) semakin melek dengan perubahan dunia yang luar biasa terkait dengan adanya globalisasi. Hal ini dimulai dari fashion, selera, kebiasaan, dan standarhidup lainnya. Makalah ini akan membahas bagaimana globalisasi dari dimensi kultural mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, bagaimana proses penyebarannya, dan bagaimana globalisasi yang terjadi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan globalisasi budaya? 2. Bagaimana globalisasi budaya bisa menyebar ke hampir seluruh dunia? Bagaimana proses-prosesnya? 3. Bagaimana kondisi budaya lokal Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi?

BAB II

PEMBAHASAN

a. Definisi Globalisasi Budaya Definisi Globalisasi Budaya Ketika berbicara tentang globalisasi, maka yang terbesit dalam benak kita adalah perubahan dunia yang konstruktif, kecanggihan, kondisi masyarakat yang modern, akses terhadap berbagai elemen kehidupan yang terbuka lebar, dan sebagainya. Dari sini kita bisa memaknai globalisasi sebagai sebuah fenomena yang telah sedang terjadi dan akan terus berlanjut dalam rentang waktu yang tidak bisa diterka dan tidak dapat kembali ke keadaan semula. Globalisasi dalam kajian hubungan internasional mulai dikenal pada abad ke-20 yakni setelah terjadinya Perang Dunia II dan globalisasi ekonomi di Eropa. Sejak masa itu, terjadi perombakan luar biasa di Eropa. Industrialisasi berkembang dengan sangat cepat seiring dengan canggihnya teknologi yang digunakan. Instrumen-instrumen yang bisa memudahkan pekerjaan manusia ini kemudian menjadi alat dalam menentukan tradisional atau modern suatu hal. Globalisasi terus merambah hingga dalam permasalahan paling fundamental. Jadi, diakui ataupun tidak, globalisasi tumbuh kembangnya juga dipengaruhi oleh ambisi manusia untuk menguasai, mendominasi, bahkan menghegemoni. Selain pada aspek ekonomi, globalisasi juga menyentuh aspek kultural dalam kehidupan masyarakat global. Karena pada hakikatnya, globalisasi bukanlah fenomena satu-dimensi, namun merupakan proses multi-dimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan interaksi yang berbedabeda, termasuk ranah kultural. Menurut Tomlinson, definisi globalisasi budaya atau kultural adalah semakin meningkatnya jaringan kesalingterkaitan dan interdependensi kultural yang kompleks yang menjadi ciri kehidupan modern. Ia menegaskan bahwa arus kultural global dikendalikan oleh perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan identitas. Kesalingterkaitan yang disebabkan oleh globalisasi kultural ini menentang nilai-nilai dan identitas parokial, karena kesalingterkaitan tersebut melemahkan hubungan yang mengkaitkan kultur pada kepastian lokasi (Steger : 2002)1. Pada kenyataannya, memang globalisasi budaya terjadi adalah karena semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi. Semakin besar intensitas interaksi dengan dunia luar, maka semakin cepat masyarakat suatu negara menerima budaya baru.

(Steger, 2002)

Menurut pandangan penulis, globalisasi adalah proses alamiah yang diinginkan sehingga bereduksi menjadi sesuatu yang dibentuk agar manusia atau negara-negara (khususnya negara dunia ketiga) menjadi objek, konsumen, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada negara hegemon. Tujuan globalisasi jika menilik hal diatas maka tidak lain adalah untuk melanjutkan imperialisme masa lampau, mendoktrin bahwa kemajuan harus sesuai yang mereka inginkan. Negara maju seperti negara-negara barat yang merupakan expenjajah dimasa lalu, tentu tidak ingin kekuasaannya hilang begitu saja dengan kemerdekaan negara yang dijajah. Entah selanjutnya akan menjadi pasar negara penjajah atau produk hukum dan ideologinya dilestarikan oleh negara terjajah, main point globalisasi adalah hal yang dibentuk untuk kepentingan mereka. Perkembangan globalisasi terbagi menjadi berbagai aspek mulai dari ekonomi, politik, hingga aspek kebudayaan. Aspek kebudayaan yang sering tidak disadari oleh manusia. Globalisasi yang membuka seluas-luasnya interaksi antar negara bahkan antar warganegara, sedikit banyak memberikan perubahan terhadap kehidupan masyarakat luas. Karena interaksi dan informasi yang terbuka tersebut, kita bisa melihat bagaimana pertukaran budaya sangatlah mudah seperti kebiasaan hidup yang berbeda, pandangan terhadap suatu masalah, hingga terciptanya standar kelayakan dalam berbagai aspek ; tradisional atau modern. Ironisnya, globalisasi digadang-gadangkan oleh negara barat. Sehingga secara tidak langsung, apa yang menurut negara barat adalah kebenaran, maka itulah yang seharusnya diikuti oleh semua negara. Fenomena seperti ini juga dikaji dalam perspektif postkolonialisme dimana dijelaskan bahwa untuk melanggengkan kekuasaannya, negara barat yang merasa superior menciptakan standar kebenaran bagi dunia dengan alih-alih globalisasi. Begitu juga dengan kebudayaan yang setiap region tidak sama. Kebudayaan di Asia tentu berbeda dengan di Timur Tengah dan lainnya, namun realitanya saat ini adalah hampir seluruh masyarakat suatu negara memakai standar barat dalam kehidupan sehari-hari. Budaya lokal mulai tergerus, bahasa daerah yang mulai dilupakan, maraknya tren baru yang terkesan dipaksakan (fashion, gaya hidup) dan lain sebagainya. Adapun perspektif dalam memandang budaya globalisasi ini terbagi menjadi dua; skeptis dan globalis. Dalam perkembangannya, dua perspektif ini menjadi perdebatan besar dalam kajian globalisasi budaya. Perspektif skeptis memandang bahwa budaya lokal tidak akan mudah tergerus oleh budaya asing, sebab kenyataannya suatu negara tidak lahir begitu saja tapi melalui proses yang panjang dengan sejarah dan kebudayaannya. Dalam argumennya, kaum skeptis menyatakan bahwa ada dua penyokong atau yang menjadi cikal

bakal lahirnya identitas yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah budaya. Kedua penyokong tersebut adalah negara-bangsa dan nasionalisme (Held, 2003:25).2 Adanya budaya nasional yang lahir dengan adanya negara-bangsa memunculkan lahirnya nasionalisme, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahanakan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu ; semangat kebangsaan3. Sehingga sangat sulit bahkan tidak mungkin, bagi kaum skeptis, budaya asing menggantikan posisi budaya lokal dalam kehidupan suatu masyarakat. Berbeda dengan kaum skeptis, kaum globalis justru sebaliknya. Kaum globalis percaya bahwa seiring dengan semakin pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat akan terpengaruh dan mengikuti budaya yang masuk pada keseharian mereka (masyarakat). Sebab, globalisasi yang ditunjang oleh media ini tidak dapat dihindari. Perspektif globalis ini kemudia terbagi lagi menjadi dua kelompok ; globalis positif dan globalis negatif. Globalis positif menilai bahwa gobalisasi sangat menguntungkan, sebab dengan itu masyarakat bisa dengan mudah mengakses dunia luar dan hal ini sangat nampak pada hubungan internasional. Negara, bahkan individu akan diuntungkan dengan mudahnya mendapat informasi, berinteraksi dengan aktor lain dalam lintas batas negara, dan lain sebagainya. Sedangkan globalis negatif memandang bahwa globalisasi hanyalah bentuk kapitalisem negara barat, khususnya Amerika Serikat, yang tujuannya untuk meningkatkan budaya kondumtif masyarakat dunia yang pada akhirnya akan menguntungkan industri mereka. b. Proses Globalisasi Budaya Seiring dengan semakin intensnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi semakin menyebar ke segenap penjuru dunia. Tidak hanya menyebar ke negara-negara maju, namun juga ke negara berkembang, dan negara miskin. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi penunjang utama, yang sangat penting dalam laju kembang penyebaran globalisasi budaya. Melalu kecanggihannya, yang sebagian besar adalah produksi negara-negara barat, teknologi informasi dan komnukasi membawa masyarakat pada perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan budaya lokal mereka. Globalisasi menjadi sebuah fenomena yang tidak terelakkan (Scholte 2001)4. Semua lapisan masyarakat di dunia harus dihadapkan pada sebuah fenomena yang menyatakan bahwa manusia modern adalah mereka yang menerima perkembangan teknologi, menerima
2 3

(Held, 2003) (Universitas Indonesia, 2008) 4 (Scholte, 2001)

budaya dari luar, dan mengikuti standar-standar modern yang sengaja diciptakan untuk menggerakkan pasar. Benar bahwa kehidupan menjadi lebih baik, pekerjaan manusia menjadi lebih ringan, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan cepat karena adanya teknologi, tapi seiring dengan itu ada yang sedikit-demi sedikit terlupakan, yakni bagaimana menjaga eksistensi budaya lokal agar mampu membendung maraknya buadaya asing yang masuk ke suatu negara lewat tekonologi informasi dan komukasi tersebut. Menurut Jan Aart Scholte (2001), proses globalisasi bisa melalui lima indikator ; (1). Internasionalisasi (2) Liberalisasi (3) Westernisasi (4) Deteritorialisasi (5) Universalisasi.5 Internasionalisasi adalah proses dari lokalitas yang mendunia. Artinya, fenomena di suatu wilayah atau negara bisa berdampak atau terjadi juga di negara lainnya. Internasionalisasi bisa berupa meluasnya laju perdagangan, investasi, informasi dan ide-ide, dan lain sebagainya. Internasionalisasi ini pada perkembangannya akan menciptakan pertukaran nilai-nilai dan interdependensi. Liberalisasi adalah proses menurunnya batas-batas antar negara dalam rangka menciptakan suatu negara yang terbuka atau borderless (Scholte, 2001 : 16). Misalnya, perdagangan bebas antar negara sebagai perwujudan dari integrasi ekonomi. Kemudian globalisasi sebagai proses westernisasi atau modernisasi, yakni lebih kepada penyebaran budaya-budaya barat ke dalam nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dibuktikan dengan adanya homogenitas budaya di dunia. Globalisasi dalam pengertian ini lebih kepada dinamika dimana struktur sosial modernitas seperti kapitalisme, rasionalisme, birokratisme, dan lain-lain itu menyebar ke seluruh dunia yang implikasinya pada pudarnya budaya lokal. Proses yang keempat adalah deteritorialisasi ; memudarnya peran negara sebagai aktor. Ketika individu dapat bertindak secara bebas tanpa campur tangan negara, dalam berinteraksi dengan dunia luar misalnya, maka ia memiliki akses yang lebih intens dan budaya asing akan lebih mudah masuk daripada ketika kontrol negara sangat kuat. Yang terakhir, proses universalisasi. Proses ini adalah semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia terutama budaya dan ide.

c. Studi Kasus ; Indonesia, Tantangan Globalisasi, dan Korean Wave Sejalan dengan adanya globalisasi dalam setiap aspek kehidupan manusia di dunia, masyarakat Indonesia-pun tidak lepas dari pengaruh globalisasi, dlaam hali ini globalisasi budaya. Indonesia sebagai negara majemuk, yang kaya akan budaya dan bahasa, mulai kehilangan jati dirinya seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

lbid

Fenomena ini mulai menyeruak setelah dekade 19960-an, terutama ketika Soeharto membuka link seluas-luasnya pada negara barat. Indonesia menjadi tempat yang startegis bagi penyebar globalisasi, sebab sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif juga berperan penting dalam hal ini. Tentu saja situasi ini mengancam eksistensi identitas budaya Indonesia. Kondisi itu memunculkan permasalahan pada melunturnya warisan budaya. Bukti nyata melunturnya warisan budaya itu antara lain dapat disaksikan pada gaya berpakaian, gaya bahasa, dan teknologi informasi. Rok mini dipandang lebih indah daripada pakaian rapat. Bahasa daerah, bahkan bahasa nasional, tergeser oleh bahasa asing. Di berbagai kesempatan sering terlihat masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih modern6. Fenomena yang sedang in saat ini adalah fenomena Hallyu7 di Indonesia. Umumnya Hallyu memicu banyak orang-orang di negara tersebut untuk mempelajari Bahasa Korea dan Kebudayaan Korea. Sejarah singkatnya, kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat Cina dan Asia Tenggara mulai akhir 1990-an. Istilah Hanliu, bahasa Korea Hallyu, diadopsi oleh media Cina setelah album musik pop Korea dirilis di Cina. Serial drama TV Korea mulai diputar di Cina dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Virus budaya Korea kontemporer Hallyu yang mengakibatkan demam Korea sudah menginfeksi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Ratusan judul drama, musik pop, serial, film, game, hingga boyband yang berbau Korea diputar dan dipertontonkan di layar televisi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Saat ini, cara berpenampilan remaja di seluruh dunia sudah terpengaruh terhadap gaya berpenampilan dari negara Korea Selatan. Masyarakat menyukai budaya Korea, hampir semua channel televisi atau media massa memuat mengenai Korea, tidak terkecuali Indonesia. Mulai dari film Korea, lagu / musik Korea, boyband atau girlband Korea dan artis/aktor Korea. Masyarakat ketika ditanya lebih menyukai film produksi Indonesia atau produksi Korea dan mayoritas akan menjawab lebih menyukai film produksi Korea. Bahkan dari film atau drama Korea itu, mereka jadi ingin meniru gaya hidup yang ada dalam drama Korea itu karena menurut mereka apa yang ada dalam budaya Korea itu adalah sesuatu yang mengagumkan dan sering mereka sebut keren. Dari penjelasan seperti yang di atas menunjukkan bahwa remaja saat ini lebih menyukai budaya Korea daripada budaya negara sendiri. Sehingga budaya negara sendiri seiring berjalannya waktu menjadi pudar atau bahkan
6 7

(Mubah, 2011) Hallyu adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tersebarnya budaya pop Korea ke seluruh dunia

sama sekali menghilang. Korean Wave (Hallyu) mampu mempengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat yang dipengaruhi. Hal ini lah yang disadari pemerintah Korea, bahwa dengan merebaknya Korean Wave, akan membuka jalan bagi kemajuan ekonomi Korea. Pemerintah Korea menyadari betul potensi Korean Wave sehingga rela mengucurkan dana untuk membiayai produksi hiburan mulai dari film, sinetron hingga musik. Dalam konstruksi gaya hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea, keberadaan komunitas menjadi vital. Komunitas penggemar budaya pop Korea dapat dilihat sebagai sub-kultur. Mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik budaya ekslusif bersama, yang berada di luar masyarakat dominan. Para penggemar budaya pop Korea memiliki gaya bicara yang khas dengan campuran-campuran Korea yang biasa digunakan dalam tayangantayangan Korea yang mereka konsumsi. Selain itu, mereka juga mengadopsi fashion ala Korea. Tidak ketinggalan pula pemilihan produk baik kosmetik maupun gadget mengacu pada merek yang digunakan para ikon budaya pop Korea. Industri budaya pop Korea takkan seperti sekarang jika bukan karena basis penggemarnya. Dalam waktu singkat telah terjaring ratusan, ribuan, bahkan jutaan penggemar. Komunitas penggemar kemudian membentuk subkultur mandiri dan membuat industri budaya pop Korea tetap hidup sampai sekarang dan menjadi sebuah sub-kultur yang hadir secara global. Peran media massa dalam hal ini tentu sangat besar sebagai Transmission of Values atau penyebaran nilai-nilai, dalam hal ini penyebaran nilai-nilai yang ada pada tayangan-tayangan Korea yang kemudian diadopsi oleh khalayak penggemar. Hal ini juga sejalan dengan teori difusi inovasi yang diutamakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Difusi berkaitan erat dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru dimana difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota-anggota suatu sistem sosial, dalam hal ini komunitas penggemar tayangan Korea atau dikenal dengan sebutan Korea Lovers. Jika menilik sejak kapan budaya Korea menjadi diagung-agungkan remaja Indonesia, maka peranana besar televisi tidak bisa dinafikan. Dari tahun 2002-2005 drama-drama Korea yang populer di Indonesia antara lain : Endless Love, Winter Sonata, Love Story from Harvard, Glass Shoes, All In, Memories in Bali, Sorry I Love You yang merupakan serial drama melankolis. Drama komedi romantis muncul berikutnya, antara lain : Full House, Sassy Girl, Princess Hours. Dan pada tahun 2008-2009 drama Korea yang banyak mendapatkan perhatian lebih dari remaja adalah Boys Before Flower (BBF). Dari film-film inilah Korean Wave atau Hallyu Indonesia muncul pertama kali. Bahkan saat ini, model baju di Indonesia sangat bervariasi. Model-model yang trendy sangat diminati banyak orang.

Baru-baru ini model pakaian Korea telah berhasil memasuki pasaran penjualan pakaian Indonesia. Pakaian Korea ini pun sangat diminati para kaula muda / remaja. Selain Indonesia, saat ini pula di beberapa negara di seluruh kawasan regional sudah terkena virus Korea. Seperti cara berpakaian yang diterapkan di negara Korea Selatan khususnya wanita. Gaya hidup yang mewah dan membuat dirinya menjadi terlihat sempurna dan bahkan agar sama dengan idolanya. Hal tersebut membuat budaya dalam negaranya menjadi pudar. Sehingga yang ditakutkan adalah ketika budaya sendiri sudah tidak dikenali lagi atau menjadi budaya yang di nomor duakan. Bagaimana strategi membendung arus globalisasi budaya yang sudah sangat kental ini? Setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh setiap elemen bangsa Indonesia, yakni ; membanguna jati diri bangsa, memahami falsafah budaya, menerbitkan peraturan daerah, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi8.

(Mubah, 2011)

BAB III

PENUTUP PENUTUP

Kesmipulan Globalisasi adalah suatu kondisi yang tidak dapat dihindari dan harus disikapi dengan arif oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Globalisasi akan terus menggerus budaya lokal, dan menjadikan budaya antar negara bereduksi pada homogenitas budaya. Indonesia, sebagai negara yang saat ini mengalami degradasi budaya, harus melakukan upaya-upaya starategis sebagai tameng dominasi budaya asing yang akhirnya akan menghilangkan warisan budaya Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Held, D. d. (2003). The Fate of National Culture, dalam Globalization/Anti-Globalization. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Mubah, S. (2011). Stategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus Globalisasi. Jurnal Universitas Airlangga , 4. Scholte, J. A. (2001). Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Steger, M. B. (2002). Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (terj. Heru Prasetya, Globalism, The New Market Ideology). Yogyakarta: Lafald Pustaka. Universitas Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Retrieved April 21, 2014, from bahasa.cs.ui.ac.id: http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?

Anda mungkin juga menyukai