Anda di halaman 1dari 8

1.

HADIST TENTANG LARANGAN KORUPSI,KOLUSI DAN NEPOTISME


2. Larangan Menyuap (BM: 1424)



.
:




Dari Ab Hurairah raiyaLlhu anhu, ia berkata; Rasulullah allaLlhu alaihi wasallam
melaknati penyuap dan yang disuap dalam masalah hukum. (Sunan At-Tirmiiy ad no. 1256)[1]

Hadits lainya yang menyangkut tentang larangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ialah:


:

Dari tsaubana berkata: rasulullah melaknat orang-orang yang menyuap dan orang-orang yang
disuap, dan juga orang yang menjadi perantara diantara keduanya. [HR. Ahmad] [Nailul Authar
4: 276].
2. Biografi Perawi

Abu Hurairah r.a. dilahirkan 19 tahun sebelum Hijrah. Nama sebenar beliau sebelum memeluk
agama Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang mashyur adalah Abd Syams.
Nama Islamnya adalah Abd al-Rahman. Beliau berasal dari qabilah al-Dusi di Yaman. Abu Hurairah
r.a. memeluk Islam pada tahun 7 Hijrah ketika Rasulullah S.A.W. berangkat menuju ke Khaibar.
Abu Hurairah r.a. adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi S.A.W. Ia dikenal sebagai salah
seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang miskin atau orang yang sedang menuntut ilmu yang tinggal
di halaman masjid. Beliau begitu rapat dengan Nabi S.A.W., sehingga baginda selalu menyuruh
Abu Hurairah r.a. untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad, yaitu
sebanyak 5.374 hadits. Pada tahun 678 atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di
Madinah, dan dimakamkan di Baqi.[2]
3. Penjelasan Hadist
Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara
memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi memang dirasakan
keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero
negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya merupakan perbuatan yang haram.
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya
kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.
Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan
haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh
melalui jalan batil. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
(Q.Surat Al-Baqarah:188)

Suap menyuap sangat berbahaya bagi Masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan yang ada
dalam Masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan
ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan
dan ketidak adilan. Dengan suap, banyak pelanggar yang seharusnya mendapat hukuman berat
justru mendapatkan hukuman yang ringan , bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya, banyak
pelanggar hukuman kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman yang sangat berat
karena tidak dapat menyuap para Hakim. Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana dikutip oleh
Yusuf Qardawy, menyindir Suap-menyuap dengan kata-katanya:
Jika Anda tidak dapat mendapat sesuatu
Yang Anda butuhkan
Sedangkan Anda Sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
Dan janganlah pesan apa-apa
Juru damai itu adalah uang
Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat
berbuat adil. Ia akan membolak-balikan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang
digunakannya merupakan hasil perbuatan manusia, maka mudah sekali baginya untuk mengutakatiknya sesuai dengan kehendaknya. Kalau kejadian tersebut terus berlangsung, maka lamakelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi kepada penegak hukum
karena selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang
dilaknat oleh Allah dan RasulNya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi
lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak
manapun selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan seorang hakim harus
diberikan kepada mereka yang berkecukupan, daripada dijabat oleh mereka yang hidupnya serba
kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha
mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Contohnya dalam penerimaan tenaga kerja. Jika didasarkan pada besarnya uang suap, bukan pada
profesionalisme dan kemampuan, hal ini diyakini akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja,
bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pekerja tersebut tidak mampu melaksanakan pekerjaan
yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang suap, maka pemenang tender
akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada dalam
gambar, tetapi mengurangi kualitasnya agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat tertutupi dan
ia tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan mereka tidak tahan lama atau cepat rusak,
seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi baru lima tahun saja telah
rusak.
Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan meyebabkan kerugian bagi masyarakat
banyak. Dengan demikian, larangan Islam untuk menjahui suap tidak lain agar manusia terhindar
dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan siksa allah SWT. kelak di akhirat.
Sangat disayangkan, suap-menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang
sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyalir sudah membudaya. Segala aktivitas, baik yang
berskala kecil maupun besar tidak terlepas dari suap-menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana
diungkapkan oleh beberapa tokoh:

1. Ibnu Malik, masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinyamunkar (tidak dibenarkan)
dapat menjadi maruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak
orang. Yang maruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
2. Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany, suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu
yang menjadi haknya atau untuk mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa dirinya
maupun keluarganya. Hal itu didasarkan pada pendapat sebagaian tabiin bahwa boleh
melakukan suap jika takut tertimpa zalim, baik terhadap dirinya maupun keluarganya.
3. Imam Asy-Syaukani, sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan
tidaknamun demikian, dalam Islam ada kaidah :
(kemadaratan membolehkan sesuatu yang membahayakan).
Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan
kecuali dengan melakukan suap, ia boleh melakukannya.
Menurut M. Qurais Shihab, argumen para ulama di atas tidaklah jelas, tetapi tampaknya keadaan
ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tampaknya saat itu budaya sogok-menyogok
telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya maka lahirlah
pendapat yang membolehkan tadi.
Akan tetapi, menurutnya, Asy-Syaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak
membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari sesorang, kecuali dengan hati yang tulus.
Tetapi Apakah mereka yang memberi pelicin itu tulus? Dan tidakkah sikap tersebut semakin
menumbuh suburkan praktek suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi
walaupun dengan dalih meraih hak yang sah, seseorang telah membantu si penerima untuk
memperoleh sesuatu yang haram dan terkutuk. Dengan demikian, si pemberi sedikit ataupun
banyak menurutnya, telah pula menerima saksi keharaman dan kutukan atas suap-menyuap
tersebut.[3]
4.Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

1. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu Corrupt yang secara harfiah berarti disuap, jahat,
buruk, curang, atau merusak. Di dalam kamus bahasa Indonesia, korupsi berarti perbuatan busuk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya.
Istilah ini kemudian dikaitkan dengan perilaku jahat, buruk atau curang dalam hal keuangan dimana
individu berbuat curang ketika mengelola uang milik bersama. Oleh karena itulah maka korupsi
adalah merupakan pemanfaatan dana publik yang seharusnya untuk kepentingan umum dipakai
secara tidak sah untuk memenuhi kebutuhan peribadi.
Istilah korupsi ini telah menjadi sebuah istilah yang sangat akrab di telinga kita, baik dalam
kehidupan kita sebagai ummat, sebagai bangsa maupun sebagai negara. Bahkan saking akrabnya
istilah ini dengan kita, pekerjaan korupsi sudah menjadi suatu yang lumrah dan biasa dalam
perilaku sehari-hari, akibatnya yang melakukan korupsi kita anggap biasa-biasa saja, dan bahkan
akan dijunjung setinggi langit manakala uang yang dikorupsi itu disumbangkan untuk kepentingan
sosial, baik sosial keagamaan maupun soisial kemasyarakatan. Padahal kita semua tahu dan sadar
bahwa yang menyebabkan keterpurukan bangsa dan negara ini ke jurang kehancuran adalah
disebabkan peraktek korupsi yang dilakukan oleh seuruh lapisan masyarakat, baik secara terangterangan maupun secara sembunyi-sembunyi, baik secara perorangan maupun secara berjamaah.
Kitapun tidak pernah menolak sumbangan orang untuk kegiatan sosial yang bersumber dari korupsi,
sikap kita justru sebaliknya.[4]
1. Pengertian Kolusi

Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Collution; artinya kerjasama rahasia untuk maksud
tidak terpuji, persekongkolan.
Kolusi dalam kamus besar adalah keja sama secara diam-diam untuk maksud tidak terpuji.
Tindakan kolusi biasanya tidak terlepas dari budaya suap-menyuap (risywah) yang sudah sangat
kita kenal di lingkungan budaya birokrasi dan telah memasuki sistem jaringan yang amat luas dalam
masyarakat umum.[5]

c. Pengertian Nepotisme

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti keponakan atau cucu. Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan
kemampuannya.
Dengan demikian Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih
mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam memberikan jabatan dan yang lain, baik dalam
birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta. Hal ini sesuai dengan teori
ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang
pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatanjabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan dan
mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan
apa-apa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kerabat memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya
dibandingkan dengan orang lain
2. Keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkandengan orang lain
3. Keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebihtinggi dibandingkan
dengan orang lain
4. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab
dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja oran glain.
Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme
serta bersifat amanah dalam memegang jabatanyang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu
yang perlu dipermasalahkan.Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau
orang lain yangdisenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau
tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya.
Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan apalagi jabatan yang
sangat strategis kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau
tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain
yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah disabdakan olehRasulullah dalam hadits shahih
riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak darisahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:
Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas
pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang
tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam
adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili
dengan tanpa memperhatikan.[6]
5. Penyebab Terjadinya Korupsi,Kolusi dan Nepotisme[7]

6. Lemahnya Keyakinan Agama


Hal ini disebabkan oleh karena pelaksanaan ajaran agama itu tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan sekaligus tidak mendalami makna yang terkandung dalam ibadah itu. Akibatnya ibadah
yang dilaksanakan baru sebatas ibadah ritual ceremonial, belum menjalankan ibadah sebagai ibadah
ritual dan aktual.
2. Pemahaman Keagamaan yang keliru
Pemahaman keagamaan yang keliru yang dimaksudkan di sini adalah adanya satu pemahaman
bahwa setiap berbuat satu kebaikan akan diberikan pahalanya tujuh ratus kali lipat pada satu pihak,
sebagaimana tercermin dalam Firman Allah SWT :
Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya
di Jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha luas (kurniaNya) lagi Maha Mengetahui.
Dan adanya pemahaman bahwa berbuat satu kejahatan akan diberikan satu ganjaran / balasan pada
pihak yang lain. Kedua pemahaman ini digabungkan menjadi satu dalam hal kejahatan. Akibatnya
seseorang berpikir bahwa kalau dia melakukan korupsi Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
akan diberikan dosa sebanyak seratus juta dosa. Untuk itu maka dia berpikir alangkah baiknya uang
yang dikorupsi itu disedekahkan sebanyak Rp. 1.000.000,00 (Satu juta rupiah) dan akan
mendapatkan pahala sebanyak 700.000.000,00 kebaikan. Dan masih untung sebanyak
600.000.000,00 kebaikan. Padahal dia tidak sadar bahwa uang yang disedekahkan itu harus
bersumber dari yang halal, bukan dari yang haram sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Tidak diterima sholat seseorang kecuali dalam keadaan suci dan tidak diterima sedekah
seseorang yang bersumber dari penipuan.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya pemahaman yang keliru tentang ganjaran pahala dan dosa yang
dipahami oleh seseorang, akibatnya dia rajin korupsi dan rajin pula memberikan infaq/shodaqah.
3. Adanya Kesempatan dan Sistem yang Rapuh
Seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah satunya adalah disebabkan adanya kesempatan
dan peluang serta didukung oleh sistem yang sangat kondusif untuk berbuat korupsi. Adanya
kesempatan dan peluang itu antara lain adalah dalam bentuk terbukanya kesempatan dan peluang
untuk berbuat korupsi karena tidak adanya pengawasan melekat dari atasannya dan terkadang justru
atasannya mengharuskan seseorang untuk berbuat korupsi. Atau bisa dalam bentuk sistem
penganggaran yang memang mengharuskan seseorang berbuat korupsi seperti diperlukannya uang
pelicin untuk menggolkan anggaran kegiatan, atau dalam bentuk lain diperlukannya uang setoran
kepada atasan di akhir pelaksanaan kegiatan.
4. Mentalitas yang rapuh
Mentalitas ataupun sikap mental yang rapuh adalah disebabkan pengetahuan dan pengamalan
agama yang kurang.
5. Faktor Ekonomi / Gaji Kecil
Faktor ekonomi / gaji kecil adalah salah satu faktor penyebab orang melakukan korupsi, sebab
bagaimana mungkin seseorang tidak melakukan korupsi, sementara gajinya relatif kecil,
kebutuhannya banyak, dan dia mengelola uang, akibatnya untuk mencari tambahan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan anak-anak sekolah, maka dicarilah jalan pintas dengan
mengambil uang negara secara tidak sah (melawan hukum). Hal ini sepintas kilas dapat dibenarkan,
tetapi karena yang melakukannya hampir semua orang yang mempunyai kesempatan dan peluang,
maka keuangan negara habis dikorupsi orang-orang tertentu untuk selanjutnya dinikmati oleh
orang-orang tertentu pula.

6. Faktor Budaya
Adalah sebuah kebiasaan bagi kita orang Indonesia bahwa setiap seseorang menjadi pejabat tinggi
dalam sebuah pemerintahan, maka yang bersangkutan akan menjadi sandaran dan tempat
bergantung bagi keluarganya, akibatnya dia diharuskan melakukan perbuatan korupsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya tersebut, apalagi permintaan akan kebutuhan itu
datang dari orang yang sangat berpengaruh bagi dirinya seperti mamak umpamanya. Selain
daripada itu dalam budaya kita akan dianggap bodoh seseorang manakala dia tidak mempunyai apaapa di luar penghasilannya, sementara dia menduduki suatu jabatan penting, akibatnya dipaksa
untuk melakukan korupsi.
7. Penegakan Hukum yang Lemah
Orang tidak kapok melakukan korupsi secara berulang-ulang, salah satu penyebabnya adalah karena
tidak adanya sanksi hukum yang jelas yang diberikan kepada pelaku korupsi, padahal hukuman
terhadap mereka telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi
karena penegakan hukumnya lemah, ditambah dengan aparat penegak hukumnya juga pelaku
korupsi, maka pelaku korupsi tadi tidak merasa jera dengan perbuatannya dan bahkan semakin
menjadi-jadi, akibatnya menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihindari apalagi untuk dihentikan.
8 .Hilangnya Rasa Bersalah
Seorang koruptor tidak merasa bersalah atas perilakunya memakan uang negara, sebab dia merasa
bahwa korupsi tidak sama dengan mencuri. Baginya korupsi berbeda dengan mencuri. Orang seperti
ini sering berdalih, kalau yang dirugikan itu negara maka negara tidak bisa bersedih apalagi
menangis, apalagi saya ini termasuk bahagian dari negara. Kalau yang dicuri uang rakyat, maka
rakyat yang mana ?sebab saya sendiri juga adalah rakyat, hal itu berarti bahwa saya juga mencuri
uang saya sendiri. Akibatnya para pelaku korupsi itu tidak pernah merasa bersalah atas
perbuatannya, padahal kalaulah ia merasa bersalah atas perbuatannya maka besar kemungkinan ia
akan mengembalikan uang yang dikorupsinya itu atau minimal dia tidak akan mengulangi lagi
perbuatnnya di kemudian hari. Perasaan hilangnya rasa bersalah atau tidak punya rasa malu ini,
harus ditumbuh kembangkan lagi, sehingga menjadi bahagian dari hidup ataupun menjadi budaya
bangsa. Namun inilah yang sudah hilang dari diri bangsa ini.
9 .Hilangnya Nilai Kejujuran

10. Adanya Sikap Tamak dan Serakah


Sikap tamak dan serakah adalah merupakan dua sikap yang sering menjerumuskan ummat manusia
ke jurang kehinaan dan keghancuran sebab kedua sikap ini mengantar manusia kepada sikap tidak
pernah merasa puas dan tidak pernah merasa cukup sekalipun harta yang telah dimilikinya sudah
melimpah ruah.
11 .Ingin Cepat Kaya, Tanpa Usaha dan Kerja Keras
Korupsi cepat tumbuh dan berkembang biak dengan pesat adalah disebabkan sikap manusia yang
ingin cepat mendapatkan kekayaan, tanpa melalui usaha dan kerja keras, akibatnya korupsi menjadi
pilihan utama untuk dilaksanakan, sebab pekerjaan korupsi tidak memerlukan kerja keras dan tidak
memerlukan waktu lama. Dalam sekejap seseorang bisa cepat kaya dan mendapat harta yang
berlimpah ruah, hanya dengan melakukan korupsi. Korupsi nampaknya menjadi jalan pintas untuk
mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah, padahal dalam konsep agama Islam, untuk
mendapatkan harta kekayaan haruslah melalui kerja keras dan halal.
12.Terjerat Sifat Materialistik, Kapitalistik dan Hedonistik
Materialistik, Kapitalistik dan hedonistik adalah tiga sifat yang siap siaga mengantarkan ummat
manusia untuk menghalalkan segala macam cara agar mendapatkan harta yang berlimpah. Harta

yang berlimpah inipun tidak pernah merasa puas dan cukup, selalu kehausan dan kekurangan setiap
saat. Sudah punya mobil satu maka ingin punya mobil dua, sudah punya mobil dua maka iapun
berhasrat untuk memiliki tiga dan seterusnya, akibatnya apapun dilakukan untuk mendapatkannya
termasuk di dalamnya dengan melakukan korupsi yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan
negara.
13. 13. Lemah dan kurangnya control kepemimpinan dalam suatu lembaga.
14. Cara Menanggulangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
15. Meningkatkan Penghayatan Ajaran Agama
16. Meluruskan Pemahaman Keagamaan
17. Meningkatkan Mentalitas
18. Meningkatkan Penghasilan
19. Meningkatkan Penegakan Hukum.
20. Menumbuhkan rasa bersalah dan rasa malu.
21. Menumbuhkan sifat Kejujuran dalam diri.
22. Menghilangkan Sikap Tamak dan Serakah.
23. Menumbuhkan budaya kerja keras.
24. Menghilangkan Sifat Materialistik, Kapitalistik dan Hedonistik.
8. Dampak Dari Perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
1. Runtuhnya akhlak, moral, integritas dan religiusitas bangsa.
2. Runtuhnya nilai-nilai luhur seperti amanah, kejujuran, penghormatan pada eksitensi orang
lain dan penghargaan akan hak-hak orang lain.
3. Runtuhnya perekonomian dan hukum
4. Meningkatnya kemiskinan
5. Negara mengalami kerugian finansial
6. Ketika suatu perkara korupsi tidak mendapat hukuman yang sesuai,dapat mendorong
munculnya tindakan korupsi yang lain
7. Perspektif masyarakat terhadap badan penegak hukum seperti kepolisian menjadi buruk,
yang memicu suasana tidak aman
8. Rakyat akan apatis terhadap pemerintah karena sudah tidak percaya lagi akan omongan
pemerintah, yang dapat menyebabkan kegagalan pemilu
9. Bila kegiatan korupsi, kolusi dan nepotisme dibiarkan terus menerus, dapat memicu
perlawanan rakyat yang bisa menumbulkan kerusuhan dan mengacaukan keadaan negara,
yang membuat para investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
10. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
11. Menyebabkan siksa neraka.

Anda mungkin juga menyukai